Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Inilah Profesor Pertama dari Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia

$
0
0

Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Prof.Dr. Hesti Sadtyadi, M.Si telah dikukuhkan sebagai Profesor/Guru Besar Bidang Ilmu Evaluasi Pendidikan.

Hesti Sadtyadi saat ini menjabat sebagai Lektor Kepala/Ketua STABN Raden wijaya Wonogiri Jawa Tengah. Ia adalah lulusan S3 jurusan Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta pada Tahun 2014.

Dengan diraihnya gelar profesor/guru besar dalam Bidang Ilmu Evaluasi Pendidikan, Hesti kini menjadi profesor pertama dari Perguruan Tinggi Agama Buddha di Indonesia.

Pengukuhan ini juga membuka peluang lebih besar bagi Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Negeri Raden Wijaya Wonogiri untuk naik level menjadi institut. Karena saat ini STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri sudah mempunyai 7 jurusan yaitu S1 Pendidikan Keagamaan Buddha, S1 Kepenyuluhan Buddha, S1 Kepanditaan Buddha, S1 Ilmu Komunikasi, S1 PGSD, S1 Pariwisata, dan PPG.

The post Inilah Profesor Pertama dari Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia appeared first on BuddhaZine.


Five Leadership Lessons From The Buddha bersama Bhikkhu Jayamedho dan Steve Sudjatmiko

$
0
0

Percayakah Anda bahwa Leadership menentukan nasib sebuah Organisasi? Karena itulah, cara terakhir organisasi memperbaiki kinerja buruknya adalah dengan mengganti pemimpinnya.

Lantas bagaimana peran seorang pemimpin Buddhis bagi organisasinya agar teamnya bukan hanya dapat bersosialisasi tetapi juga merasakan perbedaan dari Pemimpin yang batinnya berkesadaran dan waspada.

Garda Dharma Indonesia – Online Dharma Week kali ini hadir dengan perbincangan yang sangatlah menarik, yaitu “Five Leadership Lessons from the Buddha”. Dibawakan oleh Bhikkhu Jayamedho dan Bapak Steve Sudjatmiko sebagai pembicara-nya.

Mari tandai kalender anda dan pasang alarm pada:
Jumat, 24 Juli 2020
Pukul 19.00 WIB s/d 21.00 WIB
Via Zoom Meeting dan Live Streaming di Youtube Channel, Garda Dharma Indonesia

Zoom
Meeting ID: 445 680 4327
Password: gdi

YouTube
Subscribe Channel: Garda Dharma Indonesia dan aktifkan notifikasi
Link: https://youtu.be/ugHrKrbKfD8

Mari segera daftarkan diri anda dengan menghubungi:

WA : Alvin | 0882 2590 2102
FB : @gardadharmaindonesia
IG : @gardadharma

The post Five Leadership Lessons From The Buddha bersama Bhikkhu Jayamedho dan Steve Sudjatmiko appeared first on BuddhaZine.

Studi Banding Pemuda Buddhis Indonesia dan Malaysia

$
0
0

Minggu, 12 Juli 2020 Young Buddhist Association Indonesia (YBAI) mengadakan studi banding secara online dengan Persatuan Belia Buddhist Malaysia atau yang lebih dikenal dengan Young Buddhist Association of Malaysia (YBAM).

Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Isahito Norhatan selaku Dewan Pengawas YBAI dan Gondo Wibowo Tantri selaku Ketua YBAI, diikuti pengurus lainnya. Merupakan suatu jodoh dan karma baik tentunya karena melalui acara ini YBAI dapat bertemu dengan YBAM yang dipimpin oleh Tan King Leong selaku Presiden YBAM dan diikuti oleh Wakil Presiden, dan beberapa pengurus lainnya.

Video conference dimulai pada pukul 17:00 WIB atau 18:00 waktu Malaysia, diisi dengan perkenalan dari masing-masing organisasi, baik keanggotaan dan kepengurusan; penjelasan secara garis besar mengenai visi misi, kegiatan atau program kerja yang telah, sedang, dan akan dilakukan; dan juga mengenai kondisi Buddhisme di Indonesia dan Malaysia.

Tidak hanya itu, ada juga sesi tanya jawab dan saling bertukar opini dengan YBAM yang telah berkiprah selama 50 tahun dalam menyebarkan dan mengembangkan Buddhisme, khususnya untuk para generasi muda.

Acara yang berlangsung selama dua jam tentunya merupakan waktu yang cukup singkat untuk sebuah perkenalan. Namun, YBAI berharap dapat berkolaborasi dengan YBAM untuk kedepannya, dengan mengadakan acara untuk muda-mudi Buddhis di Indonesia dan Malaysia, dan tidak menutup kemungkinan untuk muda-mudi lainnya yang berminat untuk mengenal dan belajar mengenai Buddhism.

Semoga semangat dari muda-mudi Buddhis untuk mengembangkan Buddha Dharma dapat selalu bergelora di bumi nusantara dan ke seluruh penjuru dunia.

The post Studi Banding Pemuda Buddhis Indonesia dan Malaysia appeared first on BuddhaZine.

Menjaga Perkataan (注意言行 Mindful Words) – Seri Mengenal Dharma #2

Pringtali, Candi Tersembunyi di Perbukitan Menoreh

$
0
0

Di Kabupaten Kulonprogo, tepatnya di Dusun Pringtali, Desa Kebonharjo, Kecamatan Samigaluh, terdapat bangunan candi kecil unik berbentuk punden setinggi lebih kurang dua meter. Candi di kawasan perbukitan Menoreh ini dikenal sebagai Candi Pringtali. Lokasinya tersembunyi di lereng pinggir jalan alternatif Nanggulan-Samigaluh, persis di depan SD Kebonharjo.

Tak jelas bagaimana sejarah atau kisah di balik adanya candi ini. Yang jelas keberadaan lingga di depan candi merupakan bukti bahwa ini adalah candi Shiwa (Hindu). Meski demikian ada tokoh setempat yang menyebut bahwa ini adalah bekas candi Buddhis, dan berhubungan dengan keberadaan umat Buddha di Samigaluh.

Kurniawan, seorang warga setempat yang tinggal tak jauh dari candi menerangkan, memang warga tak ada yang tahu persis sejarah candi itu. Meski demikian, menurutnya warga masih merawat dan melestarikan keberadaan candi. Salah satunya dengan rutin mengadakan upacara adat kenduri Kembul Tumpeng Kepyur setiap bulan Sapar menurut penanggalan Jawa.

“Kalau warga banyak versi menyebutnya. Ada yang bilang Candi Bisu, Candi Mulyo dan ada lagi yang lainnya. Usianya juga tidak diketahui persisnya, tapi sama Borobudur mungkin tua sini,” katanya pada BuddhaZine belum lama ini.

Candi Pringtali ini sendiri bentuknya sudah tidak asli lagi. Sebab pada tahun 1980-an ada orang yang tidak bertanggungjawab membongkar bangunan candi. Orang yang diduga sakit jiwa tersebut kemudian mengembalikan batu-batu candi secara tidak sempurna. Akibatnya, ada beberapa bagian batu candi yang hilang dan tercecer di sekitar lokasi berdirinya candi.

The post Pringtali, Candi Tersembunyi di Perbukitan Menoreh appeared first on BuddhaZine.

Buddha Dharma Nusantara; Mencari Benang Merah

$
0
0

Buddha Dharma pernah berkembang pesat, dan dianut oleh sebagian besar leluhur bangsa Indonesia. Yang terkenal paling tidak masa kerajaan Majapahit, Syailendra, dan Sriwijaya. Hal ini terbukti dengan banyaknya tinggalan sejarah berupa candi-candi Buddha, prasasti, dan juga naskah kuna yang tersebar diberbagai pelosok tanah air.

Banyak yang beranggapan runtuhnya kerajaan Majapahit, dan berpindahnya Hindu Buddha ke Islam membuat ajaran Buddha seolah menghilang dari Bumi Nusantara. Lalu bagaimana dengan ajaran Hindu Buddha yang sebelumnya menjadi pedoman masyarakat saat itu? Apakah benar-benar menghilang begitu saja?

Ternyata tidak, ajaran Buddha yang telah mengakar kuat pada masyarakat Nusantara pada masa itu tidak menghilang begitu saja setelah peralihan Hindu Buddha ke Islam. Di beberapa daerah ajaran itu masih dikenal, bahkan diajarkan secara turun-temurun meskipun tanpa “nama” Buddha Dharma. Setidaknya itu yang BuddhaZine tangkap dari obrolan ringan dengan beberapa sesepuh umat Buddha Desa Traji, Kecamatan Parakaran, Temanggung.

Seperti sudah disebutkan dalam beberapa artikel sebelumnya, Desa Traji merupakan salah satu desa di Kecamatan Parakan, Temanggung. Di desa itu (tak jauh dari lokasi vihara) terdapat beberapa situs candi tinggalan agama Buddha. Candi Setapan yang berjarak tak lebih dari 500 meter dari lokasi vihara, Situs Gunung Candi berjarak sekitar 1 kilometer, dan Situs Kayumwungan berada di desa lain namun masih berada di Parakan.

Berdasarkan artefak tinggalan, situs tersebut jelas candi tinggalan kerajaan Buddha. Candi Setapan adalah reruntuhan bangunana setupa, situs Kanyuwungan adalah tempat ditemukannya prasasti Kanyuwungan yang masih berhubungan dengan Candi Borobudur, sedangkan situs Gunung Candi berdasarkan artefak tersisa dulu berbentuk bangunan yang ada dalam panel relief Candi Borobudur.

Tak hanya tiga situs tersebut, di Kecamatan Parakan memang banyak ditemukan situs tinggalan kerajaan Hindu Buddha. Namun hingga kini yang ditengarai sebagai situs Buddha baru tidak situs itu. Menurut keterangan umat Buddha setempat, situs Buddha berada di sebelah kanan jalan, sedangkan di sebelah barat jalan raya adalah candi-candi Hindu.

“Menurut cerita dari leluhur kami, candi yang berada di sebelah kanan jalan memang candi Buddha,” kata Budi Yanto, sesepuh umat Buddha Desa Traji. Melihat keberadaan Vihara Metta Lokha yang berada di tanah leluhur Hindu Buddha, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah adakah kesinambungan antara Buddha Dharma yang berkembang pada masa lalu dengan yang sekarang?

Dalam ingatan Mbah Bud, Buddha Dharma berkembang di Desa Traji sejak tahun 1962. Sebelum itu, kebanyakan dari mereka menganut spiritualitas Jawa. “Dari Guru Malatan (nama sebuah desa di Lereng Gunung Sindoro) itu para Mbah Buyut sebagian umat Buddha Traji belajar falsafah kehidupan,” tutur Mbah Bud.

Sosok Guru Malatan mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan spiritual masyarakat Traji pada masa kolonial Belanda. Meski begitu, dalam mengajar Ia hanya melakukannya pada waktu-waktu tertentu. “Masa itu cara penyampaian ajaran oleh Guru Malatan harus dengan hati-hati dan secara sembunyi-sembunyi. sebab masa itu masih banyak orang mencurigai ajaran dari Guru Malatan sebagai ilmu klenik. Biasanya Guru Malatan akan mengajar pada malam hari di jam-jam tertentu, konon mendekati tengah malam,” cerita Mbah Bud.

Salah satu ajaran sloka yang masih diingat oleh Mbah Bud dari ajaran guru maladan adalah ‘mati sak jroning urip’. Dalam pengertian Mbah Bud sebagai umat Buddha, sloka tersebut di artikan sebagai meditasi. Mbah Bud pun meyakini bahwa apa yang diajarkan Guru Malatan dahulu masih berkaitan dengan ajaran Buddha. Hal itu diperkuat dengan apa yang pernah didengarnya dari buyut sewaktu berdoa. Dalam doanya, Mbah Buyutnya pernah menutup doanya dengan ucapan sadhu.

Di Desa Traji saat ini masih tersisa murid dari Guru Malatan, namanya Mbah Gini. Sayang dalam kunjungan itu BuddhaZine tidak berhasil menemui beliau karena kondisinya sudah sepuh. Tapi menurut cerita dari umat Buddha setempat, berkembangnya agama Buddha di Desa Traji membuat Mbah Gini yang semula belajar spiritualitas Jawa bersama Guru Malatan serasa menemukan ajaran yang selama ini menjadi rahasia.

“Setelah tahu ada agama Buddha yang masuk ke daerah Traji, Mbah Gini lalu bergabung untuk menjadi umat Buddha.‘Eee..aku ra iso nek ra melu iki’ (aku nggak bisa kalau nggak ikut ini (agama Buddha),” turut Sudaryono menirukan apa yang dikatakan Mbah Gini.

Pernyataan yang pernah diungkapkan Mbah Gini ketika awal mengenal agama Buddha itu seolah menjadi penekanan bahwa apa yang beliau dapatkan dari Guru Malatan adalah ajaran Buddha. Atau minimal ada kesinambungan dengan ajaran Buddha saat ini.

The post Buddha Dharma Nusantara; Mencari Benang Merah appeared first on BuddhaZine.

Penderitaan Adalah Benih Bagi Kesuksesan

$
0
0

Penerbit Karaniya sampai saat ini telah menerbitkan 12 judul buku karya Thich Nhat Hanh. Sudah banyak yang mengetahui riwayat Biksu Thich Nhat Hanh. Namun kisah tentang beliau yang ditulis oleh Vajiramedhi masih menarik untuk disimak.

Dalam bukunya, The Miracle of Suffering (edisi Indonesia telah diterbitkan Penerbit Karaniya), Bhante Vajiramedhi berkisah tentang Thich Nhat Hanh dan apa yang dilihatnya di Plum Village, Perancis pada saat kunjungannya di tahun 2009. Berikut ini adalah beberapa petikannya.

Plum Village, yang lebih mirip sebuah desa daripada sebuah wihara, dibangun oleh seorang biksu dari Vietnam bernama Thich Nhat Hanh. Di sana, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Thich Nhat Hanh mengajar. Hanya kursus meditasi yang ditawarkan di sana. Di retret yang saya ikuti, ada hampir tujuh ratus peserta, sebagian besar orang Barat. Tidak ada amulet, jimat, aji, jampi sakti yang diberikan atau disarankan. Hanya meditasi dan pengembangan pikiran yang diajarkan. Hanya Dharma murni yang menarik orang Barat dari seluruh dunia ke wiharanya.

Saya adalah satu-satunya biksu Therawada Thailand di antara sekitar tujuh ratus orang Barat. Thich Nhat Hanh adalah seorang biksu Zen dari Vietnam dengan balutan jubah coklat tua. Saya adalah satu-satunya biksu yang memakai jubah jingga kunyit. Ketika berada di sana, saya terus-menerus mengatakan pada diri sendiri bahwa ini adalah Dharma yang sesungguhnya, pertunjukan sejati.

Selama latihan, di tengah-tengah orang asing, saya menoleh ke belakang, merenungkan negara saya sendiri, Thailand. Apakah di sana ada sebanyak ini orang yang tertarik dengan Dharma? Jika para biksu hanya memberikan khotbah mengajarkan Dharma, tanpa membagi amulet, aji, atau cindera mata, apakah umat akan tertarik dan berpartisipasi? Ini ada di pikiran saya sepanjang waktu.

Pikiran lain dalam benak saya adalah kenyataan menakjubkan bahwa seorang biksu dalam pengasingan, yang suatu ketika tidak memiliki tempat untuk menjejakkan kaki, diasingkan sendirian, telah menjadi sosok magnet spiritual dahsyat yang menarik orang dari seluruh penjuru dunia untuk pergi mengunjunginya. Perlu dicatat bahwa beliau pernah menjadi kandidat utama hadiah Nobel Perdamaian.

Kepulangan beliau ke negara asalnya sekarang seperti kedatangan seorang negarawan. Bepergian keliling dunia, beliau diperlakukan seperti seorang tokoh selebriti. Wiharanya telah memiliki cabang di seluruh dunia. Buku-buku beliau masuk dalam daftar buku laris internasional.

Pertanyaannya adalah: mengapa orang yang dijadikan korban dan dianiaya hingga terdampar jauh ke ujung dunia serta yang sungguh menderita seperti ini telah menjadi, melalui perjalanan waktu, seorang pemimpin yang karismatik dan penuh bahagia?

Thich Nhat Hanh sesungguhnya adalah simbol kesengsaraan dan penderitaan mengerikan, kesulitan ekstrem dan pengasingan tanpa tempat tinggal. Namun demikian, sekarang beliau telah menjadi seorang tokoh penting di mata dunia. Tak bisa dipungkiri, ini disebabkan oleh kontribusi besar dari apa yang disebut penderitaan.

Tanpa penderitaan yang menyiksa itu, akankah beliau berkelana keliling dunia? Tanpa penderitaan, mampukah beliau sedemikian memahami penderitaan umat manusia di seluruh dunia? Tanpa penderitaan, bisakah beliau berhasil berkampanye bagi perdamaian dunia? Tanpa penderitaan, akankah beliau memiliki pandangan terang yang sedemikian mendalam tentang Dharma seperti ini?

Thich Nhat Hanh telah bangkit ke garis terdepan pemimpin spiritual dunia karena beliau telah sangat menderita dalam hidupnya. Beliau pernah dimasukkan dalam daftar pencarian orang oleh pejabat berwenang dari rezim komunis. Untungnya, beliau melarikan diri tepat pada waktunya. Lihatlah bagaimana penderitaan menghampiri kita dan membuat kita memanen kebahagiaan? Sejak berada di sana, beliau menemukan Dharma mendalam dan telah menyebarkannya ke sebagian besar umat di dunia.

Selama berhari-hari saya menghabiskan waktu dengannya, saya bertanya pada diri sendiri: apakah ini orang yang telah sangat menderita? Apakah ini orang yang pernah masuk daftar pencarian orang? Apakah ini orang yang dahulu tidak memiliki negara untuk tinggal? Mengapa beliau sekarang memancarkan aura yang begitu membahagiakan? Sinar matanya penuh belas kasih dan cinta kasih.

Setiap gerakannya meluap penuh dengan sadar-penuh, menjadikan orang waspada seketika bahwa seorang yang penuh kebahagiaan sedang bergerak di depannya. Seorang bahagia sedang berceramah di depan kita. Seorang bahagia sedang menjalani kehidupannya di depan kita. Beliau memancarkan kebahagiaan dalam keheningan. Dengan berada di dekatnya, seseorang akan seketika tahu bahwa inilah sosok kebahagiaan yang bergerak.

Pernahkah Anda melihat orang seperti kebahagiaan yang bergerak? Pejalan kaki yang kita lihat di jalan sebagian besar adalah ketidakbahagiaan yang bergerak. Kapankah kita bisa mengubah diri menjadi kebahagiaan yang bergerak seperti Thich Nhat Hanh? Kita akan mencapai keadaan itu hanya ketika kita dapat memahami kebahagiaan tersembunyi di balik penderitaan yang kita alami. Apabila memandang penderitaan sebagai guru, kita tidak akan lagi membenci atau takut atau menghindari penderitaan.

The post Penderitaan Adalah Benih Bagi Kesuksesan appeared first on BuddhaZine.

Corona Menggerus Humanisme

$
0
0

Fenomena lockdown dan physical distancing belakangan ini, ditambah dengan memborbardirnya pemberitaan-pemberitaan tidak menyenangkan mengenai virus corona dan kematian karena covid-19 di berbagai wilayah di Indonesia, nampaknya membuat sejumlah masyarakat kehilangan sifat humanisnya.

Bukan berarti pemerintah salah menerapkan kebijakan lockdown dan social distancing, tidak ada masalah dengan hal itu. Karena setiap pengalaman adalah netral, namun kitalah yang menilai dan menyikapinya secara positif maupun secara negatif.

Maraknya imbauan untuk menjaga jarak antar manusia, serta imbauan untuk lebih banyak diam di rumah daripada pergi keluar, nampaknya disikapi secara berlebihan oleh beberapa orang. Namun sebelum kita berlanjut, marilah kita pahami dulu apa itu ‘Humanisme’.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, humanisme merupakan aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik dan menganggap manusia sebagai objek pembelajaran terpenting.

Humanisme lebih melihat sisi kepribadian manusia, terutama bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif bukan hal-hal negatif, baik sebagai pelaku maupun sebagai obyek.

Humanistik adalah salah satu pendekatan atau aliran dari psikologi yang menekankan kehendak bebas, pertumbuhan pribadi, kegembiraan, kemampuan untuk pulih kembali setelah mengalami ketidakbahagiaan, serta keberhasilan dalam merealisasikan potensi manusia.

Tujuan humanistik adalah membantu manusia mengekspresikan dirinya secara kreatif dan merealisasikan potensinya secara utuh. Salah satu pencetus psikologi humanistik adalah Abraham Maslow.

Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadap aliran yang telah ada sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisis.

Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Psikologi humanistik membela kodrat manusia yang telah dianggap negatif dan deterministik oleh aliran behaviorisme dan psikoanalisis.

Menurut humanisme, belajar adalah memanusiakan manusia. Manusia di dunia ini mengetahui dan menyadari bagaimana menggapai energi positif yang ada disekitarnya dan berinteraksi satu sama lain.

Jalan pemikiran dalam menyelesikan masalah yang dihadapi oleh manusia dan mencari bagaimana mengatasi permasalahan itu dengan membangun dirinya untuk melakukan hal yang positif. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif (emosi).

Teori humanisme menurut Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Jika teori psikoanalisa dan behaviourisme dinilai kurang menghargai manusia sebagai individu, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keinginan bawah sadarnya, behaviourisme memandang manusia yang takluk kepada lingkungan, maka Psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreativitas, nilai, dan makna serta pertumbuhan pribadi.

Sekarang marilah kita soroti dua aliran besar dalam humanisme yang berkembang hingga saat ini: 1. Humanisme keagamaan atau religi, dan 2. Humanisme sekular. Aliran yang kedua, yaitu humanisme sekular lebih berfokus pada kebebasan yang tidak terbatasi oleh perbedaan adat istiadat, agama, maupun kebudayaan. Aliran ini dirasa lebih cocok mewakili budaya masyarakat kita saat ini, yang seharusnya tidak lagi mengkotak-kotakkan manusia dari latar belakang, status social ekonomi, maupun ras dan agama.

Tentu, jika mengamati dari teori humanisme tersebut, kita menjadi tersadarkan bahwa manusia memiliki hak, kemampuan, potensi dan pilihan untuk lebih peduli pada lingkungan sekitarnya. Beberapa waktu ini mulai banyak komunitas-komunitas yang peduli pada kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar.

Orang-orang berlatar belakang menengah ke atas pun bahu membahu mengumpulkan sampah dan barang bekas yang kemudian diolah kembali, atau dijual dan hasilnya disumbangkan untuk aksi social. Hal ini tentu menjadi salah satu contoh besar yang bisa kita teladani di jaman dimana manusia semakin tidak peduli dengan lingkungannya, dan lebih sibuk memikirkan kariernya, keluarganya, serta cita-citanya daripada memikirkan hal-hal tetek bengek seperti itu.

Pusat perhatian teori humanistik, adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi humanistik yang disebut sebagai Homo Ludens, yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan.

Jadi dari sini, dapat kita lihat bahwa humanisme berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita me’manusia’kan manusia, melihat manusia sebagai makluk yang bermartabat dan tinggi derajatnya, memandang kelebihan dan kekurangan manusia apa adanya, serta perbedaan antar individu sebagai sesuatu hal yang berharga, unik dan indah.

Bagaimana seorang individu memberikan makna terhadap cara pandang akan manusia lain sangatlah penting di dalam teori humanisme.

Di masa pandemic corona seperti sekarang ini, dimana mayoritas orang-orang mengkarantina dirinya di rumah, bekerja dari rumah, sekolah dan kuliah dari rumah masing-masing, apakah kita masih peduli bahwa masih ada segelintir orang di luar sana yang terpaksa tetap harus keluar dari rumah setiap harinya demi mencari sesuap nasi untuk keluarganya?

Orang-orang yang harus terpisah dari keluarga tercintanya demi melawan pandemic ini? Orang-orang yang tidak tidur siang malam demi perjuangan untuk negara dan demi terselamatkannya lebih banyak nyawa-nyawa manusia?

Marilah kita sebagai insan manusia, tingkatkan kepedulian kita terhadap mereka-mereka yang mungkin tidak seberuntung orang-orang menengah ke atas, dimana tidak bekerja selama berbulan-bulan pun masih bisa makan tiga kali sehari.

Memang banyak fenomena orang-orang yang sibuk mengumpulkan dana, sumbangan, hand sanitizer, masker dan keperluan-keperluan lainnya dari teman-temannya untuk disumbangkan pada yang membutuhkan dan kurang beruntung.

Dan ini adalah salah satu tindakan nyata dari humanisme tanpa pandang bulu, humanisme yang tidak pilih kasih. Sebuah bentuk tindakan nyata yang patut diacungi jempol. Berkeliling di jalanan demi membagikan keperluan kebersihan dan makanan.

Namun akan lebih indah lagi jika masyarakat mau bergerak bersama, bersama-sama membangun kepedulian dan keprihatian bagi mereka di luar sana yang tidak terlalu beruntung. Jika lebih banyak lagi masyarakat yang mau peduli dan beraksi, tentu akan menimbulkan efek yang jauh lebih massif.

Sumbangkanlah apapun yang kita miliki demi orang lain. Bahkan ketika yang kita miliki hanya social media untuk mengajak teman-teman agar lebih peduli pada sesama, itu pun salah satu bentuk humanisme. Bukannya malah menjauhkan diri dari orang lain, bersikap jijik seolah-olah orang itu adalah carrier pembawa virus untuk diri kita. Disinilah pertumbuhan pribadi sebagai manusia humanis sedang diuji.

Mengacu pada konsep Homo Ludens, dimana memberikan makna pada kehidupan dinilai jauh lebih penting daripada mengutamakan rasa takut, cemas, kuatir dan jijik terhadap sesama, ataupun pikiran-pikiran negatif bahwa kita akan tertular virus oleh seseorang di luar sana yang kita temui.

Bahkan di beberapa daerah terdengar penolakan atas tanah pemakaman bagi para jenazah yang meninggal karena terpapar covid-19. Padahal kalau dipikir-pikir jenazah itu kan tidak mungkin menulari kita lagi, bahkan tim dari rumah sakit pun sudah bersiap siaga sedemikian rupa untuk mengurangi kemungkinan orang-orang tertular virus corona.

Bahkan keluarga yang boleh ikut ke pemakaman saja dibatasi. Tapi masih saja banyak daerah yang menolak tanah pemakaman untuk jenazah penderita covid-19. Maka marilah kita bersama membangun masyarakat yang lebih peduli pada sesama, melalui berbagi hal sekecil apapun yang mudah untuk dilakukan, melalui kepedulian dan empati kita sebagai sesama manusia, secara emosional, maupun secara spiritual.

Belum lagi driver-driver ojol di luar sana sudah mulai mengembar-gemborkan tentang penghasilan yang menurun drastis. Memang untuk saat ini, bukan hanya driver ojol yang mengalami hal demikian. Bahkan pelaku usaha pun mengeluhkan hal yang sama.

Namun jika nilai kemanusiaan dna kebersamaan ini tetap bisa kita pegang di masa sekarang ini, bukankah ini akan dapat meringankan sedikit beban orang lain? Bukankah berbagi tidak akan pernah rugi atau membuat kita miskin? Bukankah sebuah beban akan terasa lebih ringan jika dipikul bersama daripada sendirian?

Yuk, daripada sibuk menggerutu dan berkeluh kesah dengan kondisi ini, kita membuka hati dan pikiran kita, lakukan sebuah action atau tindakan untuk meningkatkan humanisme kita.

Jika anda adalah seorang akademisi, gunakan itu untuk menyerukan kepedulian terhadap sesama, lewat ilmu pengetahuan dan riset, jika anda adalah relawan, kini saatnya untuk menguatkan saudara-saudara kita di luar sana yang sedang ketakutan dan tegang menghadapi pandemic corona, dengan support mental serta emosional.

Jika anda adalah seorang pengusaha, sisihkan sedikit saja dari penghasilanmu untuk membantu orang-orang yang berpenghasilan harian dan sibuk memikirkan besok akan makan apa dengan keluarganya.

Inilah salah satu makna kehidupan yang sesungguhnya, dimana aksi dan kapasitas kita diberdayakan dan dimanfaatkan untuk memberikan makna pada kehidupan bersama.

Karena aksi dan tindakan sekecil apapun, yang menurut kita tidak berarti, mungkin merupakan sebuah anugerah luar biasa bagi orang lain di luar sana. Daripada diam tidak bertindak, mulailah lakukan tindakan dari hal-hal kecil.

Luangkan sedikit berasmu untuk sesama, luangkan sedikit uangmu untuk membantu sesama, sisihkan satu maskermu untuk diberikan pada yang kekurangan, belikan satu saja sabun untuk disumbangkan ke tempat ibadah.

Baik humanisme sekular maupun humanisme religi, sama-sama menekankan kita sebagai umat manusia untuk lebih proaktif mengembangkan cinta, kepedulian pada sesama, dan kebermaknaan hidup yang bisa dibangun melalui tindakan penuh toleransi dan empati.

Di dalam humanisme sekular, tindakan-tindakan positif tidak perlu memandang perbedaan latar belakang seseorang. Jadi dalam menolong sesama, tidak perlu kita pusingkan apa latar belakang, ras, agama maupun suku orang yang akan kita tolong.

Untuk apa sibuk memikirkan perbedaan dimana semua orang sedang mengalami kesulitan yang sama saat ini? Perbedaan hanyalah fenomena yang menjauhkan manusia satu dari manusia lainnya. Jurang pemisah akan semakin terasa jika kita berfokus pada perbedaan.

Social distancing telah membuat jurang antar manusia semakin lebar, lockdown telah membuat manusia menjadi lebih egois dan individualis. Dimana biasanya kita tinggal di lingkungan dan negara yang ramah, saling sapa dan senyum ketika bertemu dan berpapasan, sekarang kita justru menghindar dan menjauh karena rasa takut.

Kita jadi takut menerima tamu di rumah kita, takut untuk saling bersentuhan dengan orang lain, yang sejatinya itu adalah esensi humanity yang sesungguhnya sebagai manusia.

Menerima barang atau membeli barang dari penjual ke pembeli, atau dari driver ojol harus semakin berjarak, bahkan terlebih dahulu disemprot sebelum menyentuh tangan. Lama kelamaan manusia akan kehilangan ekspresi dan kemampuannya untuk berinteraksi. Jangan sampai nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri kita ikut tergerus karena fenomena ini.

Masih banyak aksi yang bisa diperjuangkan di tengah pandemic corona, dengan tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk menjaga jarak dan menjaga kebersihan. Jarak hanya bersifat fisik semata, tapi jangan sampai hati ikut berjarak pada sesama.

Di atas semua itu, kita sebagai manusia yang humanis, tetap memiliki pilihan bebas, untuk menebarkan energi positif pada sesama melalui cinta dan kepedulian, maupun memilih untuk menolak dan menghindar. Namun tentu saja, semakin banyak menebar energi yang positif pada orang lain, hal itu akan kembali lagi pada diri kita.

Mungkin dalam bentuk yang berbeda, mungkin dalam bentuk yang sama. Maka dari itu, mari bentuk barisan, susun kekuatan dari dalam, sebarkan itu keluar, dan mulai nikmatilah masyarakat yang bersatu padu, serta mudah untuk menemukan cinta dimana-mana.

Dunia begitu indah bukan? Namun manusia sangat suka untuk mengkotak-kotakkan dirinya, lebih sibuk mencari perbedaan daripada persamaan. Jadi, kalau kita memahami apa itu Humanisme, tentunya kita dapat menumbuhkan sifat-sifat humanis dalam diri kita, yang sudah pasti dimiliki oleh setiap individu.

Marilah kita bersatu padu, jadikan masyarakat kita adalah masyakat sekular yang humanis, penuh cinta, dan keindahan. Apa artinya warna kulit yang berbeda, selama kebutuhan kita sebagai manusia tetaplah sama? Apa artinya cara beribadah yang berbeda, jika kesedihan dan ketakutan kita sebetulnya sama? Kita masih tinggal di atap yang sama, memijak bumi yang sama, dan makan dari hasil bumi yang sama.

Mari lakukan dan ajak orang-orang di sekitar untuk memulai sebuah tindakan kecil yang mungkin bermakna besar untuk sesama mulai dari sekarang. Kebaikan dan kepedulian itu pasti akan menular, dan diawali dari niat di dalam diri untuk lebih peduli dan me’manusia’kan manusia. Bersediakah kita menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang lebih humanis? Dan bukannya hanya mempedulikan ‘distance’ diantara kita?

Menarik khan ngikutin artikel dan tulisan di laman ini?
kalo masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik dan bermutu untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…

The post Corona Menggerus Humanisme appeared first on BuddhaZine.


Profil Vihara Surya Dharma Temanggung

$
0
0

Vihara ini berada di Dusun Ngadiroso RT 3/ RW 4, Desa Wonokerso, Kec. Pringsurat, Kab. Temanggung. Jumlah umat Buddha di sini sekitar 52 KK, atau sekitar 150 orang.

Kegiatan di vihara selama satu minggu pasti ada. Tetapi untuk keadaan seperti sekarang kegiatan pujabhakti dilakukan bergiliran per malam dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.

Untuk pujabhakti anjangsana ke rumah-rumah sementara diliburkan dulu.

Vihara ini sendiri diresmikan pada 27 Desember 2009 oleh Bhikkhu Jotidhammo Mahatera.

The post Profil Vihara Surya Dharma Temanggung appeared first on BuddhaZine.

Pengorbanan Menurut Ajaran Buddha

$
0
0

Pengorbanan (dalam konteks ini yaitu kurban) adalah sebuah tindakan penyembelihan hewan atau obyek lainnya sebagai persembahan dan bentuk ketaatan dari umat manusia kepada makhluk Adi Kuasa.

Praktik ini telah berlangsung sejak lama dan hampir semua agama di dunia mengenal ritual pengorbanan ini (di India dikenal yajna, di Yunani dikenal thusia, di Jerman disebut blōtan, di Arab/Semit disebut qurban, dll).

Selain dilakukan untuk menunjukkan ketaatan kepada Yang Kuasa, praktek ini juga memiliki manfaat sosial dengan cara membagikan hasil kurban kepada orang lain yang membutuhkan untuk dikonsumsi. Bahkan obyek pengorbanan ini tidak saja hewan tetapi juga manusia.

Menurut agama-agama Abrahamik/Samawi, asal usul praktik pengorbanan ini berawal dari kisah perintah Yang Kuasa kepada Abraham untuk mengorbankan putra kandung semata wayangnya sendiri sebagai bentuk ketaaatan atas perintahnya.

Sebelum Abraham benar-benar mengorbankan putranya – Ishak, Tuhan menyediakan seekor domba sebagai pengganti korban. Untuk memperingati kejadian ini, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ritual pengorbanan dengan hewan setiap tahun yang dikenal sebagai Iduladha.

Di Hindu, praktek pengorbanan sering disamakan dengan yajna – sebuah ritual yang menggambarkan persembahan ghee, padi-padian, bumbu-bumbu, dan kayu ke dalam api sembari melantunkan mantra suci. Api melambangkan medium yang mengantarkan persembahan kepada para Dewa.

Meskipun sudah jarang, praktek pengorbanan hewan dapat ditemukan seperti pada ritual Gadhimai di Nepal yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pengorbanan hewan ini ditujukan kepada Dewi Gadhimai – Dewi Kekuatan yang dipercaya akan mengakhiri kejahatan dan membawa kesejahteraan.

Praktik pengorbanan menurut ajaran Buddha

Menurut tradisi agama-agama Dharma seperti agama Buddha, Jain, dan beberapa sekte Hindu yang mendukung ajaran ahimsa (tanpa kekerasan), praktek pengorbanan hewan maupun manusia tidak didukung.

Pada kasus agama Buddha, umat rohaniawan yaitu para bhikkhu dan bhikkhuni tidak diperkenankan untuk mengambil bentuk kehidupan apapun sebagai bagian dari aturan disiplin monastik mereka, sedangkan bagi umat awam, sikap tanpa kekerasan dan penghargaan kehidupan didorong dengan penerapan Pancasila Buddhis dimana sila pertama adalah menghindari pembunuhan makhluk hidup.

Persembahan berdarah apa pun (seperti daging hewan) sangat tidak dianjurkan disajikan pada altar-altar Buddhis karena melanggar prinsip dasar ajaran Buddha yang menekankan pada metta dan karuna.

Agama Buddha dikenal kritis terhadap pengorbanan makhluk hidup. Buddha sendiri bersikap vokal terhadap praktik pengorbanan hewan yang lazim ditemukan di India kuno pada masa kehidupan Buddha.

Sebuah sutta di Digha Nikaya, yaitu Sutta Kutadanta menceritakan tentang seorang Brahmana bernama Kutadanta yang memohon petunjuk pelaksanaan upacara pengorbanan hewan yang akan dilaksanakannya.

Buddha menjelaskan tentang upacara pengorbanan yang tidak melibatkan pembunuhan hewan seperti sapi, kambing, unggas, babi atau makhluk hidup lainnya – tidak ada tangisan maupun ancaman.

Selanjutnya Buddha menjelaskan bentuk upacara korban yang lebih mulia yaitu (1) dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik, (2) mendirikan vihara atas nama Sangha pada empat arah, (3) memiliki keyakinan dan berlindung pada Tiratana, (4) memiliki keyakinan melaksanakan Pancasila, dan (5) memuliakan seorang Tathagata.

Dengan demikian, konsep pengorbanan ini bukannya sama sekali tidak dikenal dalam ajaran Buddha. Alih-alih mengorbankan kehidupan makhluk lain untuk Yang Kuasa, dalam narasi buddhis terdapat beberapa cerita pengorbanan diri (self sacrifice/immolation) dimana peran ganda sebagai si pengorban dan korban dilakukan oleh satu orang yang sama.

Jataka

Sebagai contoh cerita Jataka tentang Pangeran Sattva yang ketika melihat seekor macan betina kelaparan yang hendak memangsa anaknya sendiri, dengan penuh cinta kasih rela mengorbankan dirinya sebagai pengganti anak macan.

Di cerita lain dari Jataka, terdapat kisah Raja Sibi yang terkenal dengan kedermawanannya, diuji oleh Dewa Sakka dan Vishvakarman yang menjelma menjadi seekor elang dan merpati.

Si merpati yang hendak dimangsa oleh elang mencari perlindungan ke Raja Sibi. Alih-alih menyerahkan merpati kepada elang, Raja Sibi menawarkan dagingnya sendiri seberat merpati kepada si elang.

Demikianlah praktik pengorbanan diri dianggap sebagai salah satu bentuk dana yang harus disempurnakan oleh seorang bodhisattwa. Praktik pengorbanan diri ini, meski jarang terjadi, dapat kita temukan pada beberapa elemen agama Buddha Mahayana. Di sini, konsep pengorbanan ditekankan pada melayani dan menyelamatkan makhluk lain.

Contoh praktik pengorbanan diri ini juga dapat ditemukan pada agama Kristen dimana Yesus dikenal sebagai anak domba Allah karena Ia memberikan dirinya sendiri sebagai korban penebusan bagi dosa-dosa dunia. Dalam injil Yohanes disebutkan bahwa Yesus disalib tepat pada festival domba kurban Paskah (Yahudi) disembelih.

Meskipun maksudnya berbeda dengan ajaran Buddha, pengorbanan Yesus yang digambarkan sebagai bentuk ketaatan Yesus kepada Allah Bapa, “Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh 6:38) sepertihalnya seekor anak domba yang dengan sukarela pergi ke tempat pembantaiannya sendiri.

The post Pengorbanan Menurut Ajaran Buddha appeared first on BuddhaZine.

Melacak Jejak Pendeta Agung Jawa Buddha, Ki Ajar Windusono

$
0
0

Ki Ajar Windusono adalah cendekiawan dan pendeta agung Jawa Buddha pada zaman dahulu, yang mampu mengajarkan ilmunya lewat teladan.

Panembahan Ki Ajar Windusono menurut teks Belanda dikenal sebagai seorang pendeta Buddha yang diduga berasal dari kawasan Klaten.

Saat Islam mulai masuk Jawa Tengah, pendeta agung itu menyingkir ke lereng barat Gunung Merbabu.

Bareng Deny Hermawan (Editor BuddhaZine)

Kelas dilaksanakan pada:
Sabtu, 1 Agustus 2020 | 20.00 WIB

Registrasi
0887-1662-332

Sampai jumpa di kelas

The post Melacak Jejak Pendeta Agung Jawa Buddha, Ki Ajar Windusono appeared first on BuddhaZine.

Profil Vihara Metta Dhamma Kabupaten Semarang

$
0
0

Vihara ini beralamatkan di Dusun Ngasinan RT 1/RW 3, Desa Kebonagung, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang.

Jumlah umat di sini sebanyak 10 KK, atau sekitar 30 orang.

Umat melaksanakan puja bhakti rutin setiap malam di vihara. Kecuali malam Rabu Kliwon dan Rabu Legi karena dilaksanakan pujabhakti anjangsana ke rumah-rumah umat.

Vihara ini pertama kali didirikan pada tahun 1988, kemudian direnovasi yang diresmikan pada 24 juli 2018 oleh Bhikkhu Subhapanno Mahathera.

The post Profil Vihara Metta Dhamma Kabupaten Semarang appeared first on BuddhaZine.

Di Saat Kau Merasa Terpuruk dan Berada di Titik Terendah dalam Kehidupan Ini…

$
0
0

Di saat kau merasa sendiri, terpuruk dan seolah-olah seperti berada di titik terendah dalam kehidupan ini, akan selalu ada 1 orang yang menyayangi, mencintai, mendukungmu dan menginginkanmu untuk bangkit kembali.

Pernahkah Anda berada di satu titik dalam kehidupan ini, di mana Anda merasa sudah sangat-sangat putus harapan, hilang semua semangat dan keinginan, seolah-olah ingin mengakhiri hidup ini karena tidak ada lagi tujuan untuk dituju?

Semua orang pasti pernah mengalami momen seperti ini, entah karena habis mengalami kejadian yang sangat traumatis, kehilangan yang amat sangat, atau kejadian hebat dalam hidup ini yang meninggalkan kesedihan mendalam, atau banyak lagi penyebab-penyebab lainnya. “Serasa ingin mati saja”…begitu pernyataan beberapa orang yang mengalaminya, atau “sudah tidak kuat lagi rasanya menjalani hidup ini sendirian…”

Tidak enak rasanya berada di dalam situasi seperti itu, perasaan di dada sungguh sesak rasanya, mau makan tidak enak, mau tidur tidak enak, mau melakukan apapun rasanya tidak ada semangat dan gairah. Bahkan untuk menjalani satu hari lagi dalam hidup ini saja sudah malas rasanya. Menyemangati diri sendiri pun rasanya sudah tidak ada daya, bahkan untuk berpikir positif saja sudah tidak sanggup lagi.

Pertanyaannya…kenapa ya manusia harus mengalami momen-momen seperti itu? Kenapa hidup ini tidak bisa mengalir dan bahagia-bahagia saja? Kenapa kesakitan seperti itu harus ada dalam kehidupan ini?

Lalu siapa yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Di dalam teori, buku-buku motivasi yang kita pelajari sering ada jawaban begini: “semua itu terjadi untuk membawa hikmah tertentu dalam kehidupan kita, untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih kuat dan tangguh lagi, untuk membuat kita lebih tahan uji, untuk membuat kita naik level ke tingkat yang lebih tinggi, untuk membuat Anda menjadi manusia yang lebih tawaqal dan sholeh, dll…”

Apapun jawaban yang muncul, semuanya kembali ke diri Anda sendiri, jawaban yang muncul selalu bersifat sangat pribadi dan subyektif (berbeda-beda untuk tiap individu). Anda bisa mengutip salah satu jawaban di atas untuk permasalahan Anda, namun bisa juga jawaban Anda sangat jauh dari itu semua.

Hikmah yang muncul dari jawaban tersebut tidak pernah ada yang benar atau salah, semuanya kembali kepada pribadi anda masing-masing. Dan tidak ada satu orang pun yang bisa membantu Anda untuk menemukan jawabannya, Anda harus menemukannya sendiri jauh di dalam lubuk hati anda yang paling dalam.

Yang ingin saya bahas di sini adalah, apapun yang Anda alami dalam kehidupan ini, seberapa beratnya itu semua, meskipun Anda merasa sudah betul-betul tidak ada lagi semangat untuk menjalani hidup ini, akan selalu ada satu orang yang masih mengharapkan diri Anda bangkit kembali, bersemangat kembali, dan terbebas dari semua permasalahan ini. Siapakah dia?

Diri anda sendiri!

Yap…diri Anda sendiri lah yang selalu mengharap Anda untuk kembali seperti dulu, tersembuhkan, pulih kembali meskipun bekas-bekas luka itu tidak mungkin menghilang secara permanen. Diri Anda sendirilah yang selalu menunggu-nunggu anda untuk bisa kembali menjadi pribadi yang utuh, kembali menajdi individu yang merdeka, terbebas dari semua kesakitan-kesakitan dan keterpurukan itu.

Anda tidak percaya?

Ada banyak bagian-bagian dari diri kita, misalnya ada bagian ‘diri kecil’, ‘diri bijaksana’, ‘diri yang kuat’, ‘diri yang bersemangat’, dsb…bagian-bagian diri anda ini akan ikut terluka ketika Anda terluka, akan ikut terpuruk ketika Anda terpuruk. Mereka tidak punya daya untuk mengajak anda bangkit kembali, mereka tidak bisa memulai berkomunikasi dengan Anda jika anda tidak memberinya kesempatan. Mereka ikut terdiam ketika Anda menganggap mereka tidak ada, dan sibuk dengan permasalahan serta keterpurukan anda.

Tapi apakah anda tau, bahwa setiap saat bagian-bagian diri ini menanti Anda untuk sembuh, menanti Anda untuk meraih kembali cita-cita lama Anda, meraih kembali semangat yang pernah hilang karena banyaknya peristiwa-peristiwa menyakitkan dalam hidup ini. Mereka selalu menyayangi dan memperhatikan anda, dan menunggu momen dimana Anda benar-benar ‘tersembuhkan’ dan ‘pulih kembali’.

Mereka ikut ‘sakit’ ketika Anda ‘sakit’, dan mereka ikut ‘bahagia’ ketika anda ‘bahagia’. Jadi, apapun hikmah dari jawaban yang Anda temukan atas permasalahan dalam hidup Anda, paling tidak selalu ingatlah bagian-bagian dari diri Anda yang selalu mengharap Anda untuk kembali lagi seperti dulu. Mereka yang selalu menyayangi dan mencintai Anda dengan tulus. Diri anda sendirilah yang paling mengetahui tentang seluk beluk diri Anda.

Ajaklah mereka berkomunikasi, ajaklah mereka berinteraksi. Hal ini bisa dilakukan dengan :

1. self talk (berbicara dengan inner self Anda, atau secara awam ‘mendengarkan’ kata dan suara hati Anda)
2. bercermin dan melihat lekat-lekat wajah dan mata anda di kaca
3. berkonsultasi dengan ahli (misalnya psikolog, psikiater, ahli spiritual, dsb)
4. menggunakan media kartu tarot
5. bertanya dan berkonsultasi ke orang-orang terdekat Anda, seperti teman, keluarga sahabat, pasangan
6. bermeditasi, agar terhubung dengan higher self Anda
7. menenangkan diri (melepaskan diri dari rutinitas selama beberapa hari)
8. me time (melakukan kegiatan yang Anda suka tanpa gangguan dari siapapun)
9. melakukan hobi-hobi lama/ mengulang kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah jarang dilakukan
10. berolahraga, dsb.

Tanyakan kepada diri Anda, “apa yang betul-betul Anda inginkan dalam hidup ini?”, “mengapa Anda harus bangkit dari semua permasalahan ini?”, “apa yang diri Anda inginkan terjadi dalam hidup Anda?”, “perubahan seperti apa yang diinginkan diri Anda dan pikiran bawah sadar Anda terhadap permasalahan ini?”, dan lain sebagainya…

Percayalah bahwa di saat-saat seperti itu, ketika anda merasa tidak ada satu orang pun yang mempercayai Anda, ketika Anda merasa tidak ada satu orang pun yang mendukung memahami dan mengerti Anda, hanya diri Anda sendirilah yang bisa melakukan itu semua. Hanya dia lah yang akan selalu mempercayai dan memberikan support terbaiknya untuk Anda.

Jadi, mulai hari ini, selalu ingatlah kapanpun juga Anda merasa terpuruk, paling tidak selalu masih ada 1 pribadi yang mengharapkan diri anda untuk bangkit dan bersinar kembali. Itu adalah pribadi Anda yang terdalam, seluruh bagian-bagian dalam diri anda! Tanpa lelah mereka mensupport Anda, dan memberikan dukungan terbaiknya, namun seringkali kita acuhkan. Mulai saat ini, dengarkanlah suara mereka, rasakan perasaan mereka, pahami keinginan dan harapan mereka akan diri Anda! Dan jadilah pribadi yang lebih bersinar dari sebelumnya!

Menarik kan ngikutin artikel dan tulisan di laman ini? Kalau masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik dan bermutu untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…

The post Di Saat Kau Merasa Terpuruk dan Berada di Titik Terendah dalam Kehidupan Ini… appeared first on BuddhaZine.

Profil Vihara Sasana Dhamma Temanggung

$
0
0

Temanggung, Jawa Tengah merupakan salah satu basis umat Buddha. Di sini terdapat banyak vihara. Salah satunya Vihara Sasana Dhamma yang berada di Dusun Pakisan RT 3/ RW 5, Desa Wonokerso, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.

Jumlah umat di vihara ini sekitar 120 orang atau 28 KK.

Vihara didirikan pertama kali pada tahun 1947. Seiring berjalannya waktu dilakukan renovasi yang diresmikan pada tahun 2000.
Untuk saat ini kondisi Vihara Sasana Dhamma sedang dalam proses renovasi tahap 4.

Kegiatan pujabhakti tetap dilaksanakan setiap malamnya. Menariknya pujabhakti ini dilaksanakan oleh muda-mudi vihara, untuk malam minggu bisa lebih banyak anak muda-mudi yang hadir.

Anak anak muda ini juga eksis di medsos dengan membuat channel youtube tentang Vihara Sasana Dhamma dan juga Instagram.

Link kepo ada di bawah :

Youtube : https://m.youtube.com/channel/UCCvSSxEJTp_d-wCvJcwctxQ

Instagram : @vihara.sasana.dhamma

The post Profil Vihara Sasana Dhamma Temanggung appeared first on BuddhaZine.

Mari Katakan ‘Cinta’

$
0
0

Siang hari itu, saya masih bisa mengingatnya dengan jelas betapa teriknya matahari di siang bolong, yang terkadang memicu emosi ini semakin mudah untuk naik dan sudah diturunkan kembali.

Padatnya lalu lintas di kota Semarang saat itu memang cukup membuat setiap pengendara mobil ingin mengumpat. Sama seperti dua orang yang datang ke klinik konseling saya, ternyata mereka adalah pasangan suami istri, dan datang dari luar kota Semarang.

Wajah mereka berdua sama kusutnya, entah habis ditagih membayar hutang, atau habis bertengkar hebat sebelum menuju ke klinik saya. Untung saja klinik konseling dan psikoterapi saya berada di dalam area perumahan, sehingga suasananya cukup tenang dan sejuk.

Dalam hati saya berkata: “Untung tempat praktek saya nggak di jalan raya, bisa tambah berabe ini emosinya karena suara berisik kendaraan dan motor lalu lalang.”

Nah, setelah mengobrol ringan sejenak untuk pembukaan, alias membuat rappor jika dalam bahasa keren istilah psikologinya dengan sepasang suami istri yang sudah berusia paruh baya seusia ayah saya ini, saya baru tau kalau ternyata mereka berdua ini datang ke klinik saya atas rekomendasi ayah saya beberapa waktu yang lalu terhadap mereka.

Jadi ceritanya sang suami ini memang sedang membutuhkan layanan psikologi terkait penerimaan karyawan di hotel yang dimilikinya, dan kemudian bertanya ke ayah saya, yang merupakan kenalan lama dan sekaligus rekan bisnis yang cukup dipercaya olehnya.

Kemudian ayah saya merekomendasikannya kepada saya, dan sang suami ini pun setuju. Namun ternyata, kebutuhan itu hanyalah kebutuhan pembuka sebelum masuk ke inti permasalahan yang sesungguhnya.

Sebelum berlanjut, sang suami ini bertanya kepada saya: “Nonik, kamu apakah sudah menikah?”
“Belum Pak, ada apa ya?” Begitu jawab saya dengan ekspresi keheranan.
“Nggakpapa sih, tapi apa bisa kamu memberi kami konseling perkawinan sedangkan kamu sendiri belum menikah?” Tanya sang suami ini melanjut dari pertanyaan saya.
“Ohh, ya memang saya belum menikah Pak, dan mungkin belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia pernikahan sebagai pelaku, tetapi konseling yang saya berikan itu berdasarkan ilmu pengetahuan dan sudut pandang yang saya miliki, yaitu dari bidang psikologi Pak.” Jawab saya dengan ekspresi wajah tenang.
“Ohh, betul juga ya..oke-oke kita lanjut ya..”
“Baik Pak…” jawab saya.

Kemudian obrolan berlanjut, dan ternyata terungkap bahwa pasangan suami istri ini sedang mengalami krisis kepercayaan karena sebuah perbuatan yang dilakukan oleh istrinya setahun yang lalu. Namun sebelum berlanjut ke sesi konseling yang lebih serius, saya bertanya dulu kepada sepasang suami istri ini:

“Maaf Bapak dan Ibu, saya ingin tahu apa goal/tujuan yang ingin dicapai dari sesi konseling ini terhadap pernikahan Bapak dan Ibu?” Tanya saya sebelum memulai sesi konseling.
“Yaaa..beberapa waktu yang lalu kami sempat berpikir untuk bercerai, bahkan sudah pisah rumah segala.. tapi semakin kesini setelah dipikir-pikir lagi buat apa juga bercerai, wong anak-anak juga sudah besar, kami juga sudah enggak muda lagi, dan menurut agama kami, perceraian itu tidak ada. Kalo sekarang ya saya Cuma pengen bisa ngembaliin kepercayaan saya lagi sama istri seperti dulu, tapi kok rasanya susah sekali..” Jawab sang suami bergegas dan mantap.
“Kalo dari Ibu sendiri bagaimana? Apa yang diharapkan Bu?” Jawab saya bergantian kepada sang istri kali ini.
“Yaa…saya tau sih saya pernah nglakuin kesalahan besar, tapi keinginan saya juga sama, masih pengen terus berlanjut pernikahan ini, nggak mau cerai, karena dampaknya nggak akan baek buat anak-anak. Tapi meskipun saya udah nglakuin banyak hal untuk menyesal, minta maaf, dan ngembaliin rasa percaya suami saya, rasanya kok dia tetep sudah untuk maafin saya dan kembalu kayak dulu lagi. Tapi saya tetep nggak pengen cerai.” Jawab sang istri kali ini.
“Oke, saya bisa paham.” Jawab saya untuk mengakhiri sesi wawancara awal dan memulai sesi konseling.

Sang suami ini saya persilakan untuk masuk ke ruang konseling sendiri tanpa istrinya, agar lebih leluasa menyampaikan uneg-uneg dan mungkin juga kejengkelan-kejengkelan dirinya. Kemudian setelahnya jika dimungkinkan akan dilakukan psikoterapi untuk forgiveness kesalahan istrinya di masa lalu.

Setelah sekitar 1 jam saya melakukan konseling dan terapi pemaafan bagi sang suami, saya kemudian memanggil sang istri dan memintanya untuk juga masuk ke ruang konseling sendiri tanpa suaminya. Setelah melakukan sesi konseling dan penggalian masalah secara panjang lebar, saya mendapatkan sebuah poin.

Intinya, kedua orang ini sebetulnya sama-sama masih saling menyayangi dan ingin menjaga mahligai rumah tangga yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun. Namun ternyata rasa gengsi untuk saling mengungkapkan keinginan, harapan, pemikiran, penyesalan mereka satu sama lain sangatlah besar.

Sehingga perasaan-perasaan yang sesungguhnya seperti harapan, cinta, kasih sayang, keceriaan dan kegembiraan pun seolah-olah tidak Nampak dan tertutupi oleh perasaan-perasaan negatif yang lebih dominan.

Di akhir sesi, setelah memahami isi hati dari sang suami, dan juga sang istri, saya meminta kepada kedua orang ini untuk hadir bersama-sama dalam ruang konseling saya.

Saya menyampaikan kepada sang suami, hal-hal apa saja yang menjadi harapan, keinginan, curahan hati sang istri yang selama ini belum pernah diungkapkannya kepada suaminya, termasuk rasa penyesalannya atas kesalahannya di masa lalu, dan betapa ia ingin suaminya kembali seperti dulu lagi.

Hal yang sama saya lakukan kepada sang istri, saya sampaikan curahan hati sang suami, betapa ia masih begitu mencintai dan mengasihi istrinya, berharap istrinya tidak mengulang kesalahan yang sama, dan hubungan mereka bisa kembali seperti sedia kala.

Sepasang suami istri ini meneteskan air mata, meskipun rasa gengsi masih tampak diantara keduanya. Namun saya yakin, bahwa mereka pasti belum pernah saling mengungkapkan hal-hal yang saya sampaikan barusan ini kepada pasangannya masing-masing.

Selama setahun belakangan ini, hubungan rumah tangga mereka seperti neraka. Sang suami selalu diliputi rasa tidak percaya dan sakit hati pada istrinya. Sedangkan istrinya, meskipun sangat merasa menyesal di dalam hatinya, juga gengsi untuk menyampaikan bahwa ia ingin rumah tangga ini kembali seperti dulu.

Karena setiap pembicaraan mereka, sang suami selalu mengkaitkan dengan kesalahan istrinya di masa lalu. Akhirnya komunikasi tidak terjalin dengan baik, sedangkan satu sama lain tidak tahu isi hati masing-masing pasangannya.

Nah, sebelum saya pertemukan berdua di ruang konseling, masing-masing dari mereka sudah saya minta untuk menuliskan surat cintanya di secarik kertas kepada pasangannya. Surat tersebut saya tunjukkan dan bacakan, pertama-tama untuk sang suami, dan kedua untuk sang istri. Saya meminta mereka menuliskan hal-hal yang indah dan mengungkapkan betapa besar harapan dan cinta mereka terhadap pasangannya.

Kemudian setelah membacakan surat tersebut, saya meminta ijin ke kamar mandi, sekaligus memberikan waktu kepada sepasang suami istri ini untuk mendekatkan hati mereka kembali dan mencairkan suasana diantara mereka. Ya entah apa yang mereka lakukan di dalam ruangan konseling saat itu, tapi ketika saya kembali, saya melihat raut wajah mereka sangat jauh berbeda dibanding sebelumnya.

Sudah tampak senyum yang mengembang disana, warna wajah yang lebih segar dan tampak kemerahan dari keduanya, serta tatapan mata yang lebih lembut dan sejuk. Eitsss…ternyata ketika saya melihat sekilas ke bawah kursi mereka, tangan mereka saling bergandengan, ujung-ujung jari mereka saling bertautan, meskipun tidak ingin ditampakkan di depan saya.

Nah, setelah kembali ke ruangan, saya merefleksikan kembali hal-hal apa yang saya dapatkan dari proses konseling tadi, sikap-sikap dan pola pikir apa saja yang perlu diperbaiki, dipertahankan, dikurangi maupun ditingkatkan dari kedua orang ini.

Terutama cara-cara untuk memperbaiki komunikasi dan bahasa cinta diantara keduanya. Dan semua hal-hal ini bukan berasal dari pemikiran saya loh, namun berasal dari pemahaman-pemahaman baru yang didapatkan klien sendiri ketika melakukan konseling tadi.

Jadi pada intinya, dalam setiap sesi konseling saya tidak pernah memberikan arahan, saran ataupun nasehat kepada para klien yang datang dan berkonsultasi. Kami sebagai psikolog hanya bertugas untuk memfasilitasi para klien agar lebih menyadari darimana akar permasalahan mereka awalnya, tujuan apa yang ingin mereka raih dan capai, hal-hal apa yang perlu ditingkatkan lagi, dan bagaimana cara mencapai tujuan/harapan tersebut.

Sepertinya teorinya memang sederhana, namun ketika berada di ruang konseling, otoritas sebagai seorang psikolog harus betul-betul kita jaga, agar tidak sembarangan memberikan arahan/nasehat kepada klien. Selain bisa dianggap sok tahu, arahan yang kita berikan ini belum tentu tepat sasaran kepada si klien tersebut.

Entah karena pola pikir yang berbeda, atau karakter maupun pola penyelesaian masalah yang berbeda, jadi sebaiknya solusi-solusi atau cara-cara penyelesaian masalah ini harus datang dari diri si klien sendiri, dan bukan dari kita sebagai psikolognya. Kecuali jika memang si klien nampak sudah sangat tertekan dan tidak bisa berpikir dengan jernih lagi, kita boleh memberikan bimbingan sedikit untuk lebih mengarahkan klien menuju pemahaman tersebut.

Tapi tetap saja bukan dengan cara menggurui/mengajari loh ya…sehingga kesimpulan akhir dari pencapaian setiap sesi konseling, kembalikan dan refleksikan lagi ke klien, apakah hal tersebut sudah betul-betul sesuai dengan dirinya.

Dan di akhir sesi konseling pasangan suami istri tadi, mereka berdua berucap:
“Terimakasih ya Nik, meskipun kamu belum menikah, ternyata itu bukan jaminan, karen Om dan Tante merasa sangat terbantu habis konseling ini…”
“Hehehehehe sama-sama Om, Tante.”

Menarik kan mengikuti artikel dan tulisan di laman ini? Kalau masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…

The post Mari Katakan ‘Cinta’ appeared first on BuddhaZine.


7 Kolam Kuno di Petirtaan Cabean Kunti yang Syahdu

$
0
0

Petirtaan Cabean Kunti merupakan sebutan dari tujuh kolam atau sendang yang berada di Desa Cabean Kunti, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, di Provinsi Jawa Tengah. Di kawasan ini terdapat Sungai Kunti yang di sekitarnya terdapat tujuh mata air.

Oleh penduduk Jawa lebih dari 1000 tahun tahun lalu, di situ dibuatlah tujuh kolam atau sendang dari bebatuan candi, yang terdiri dari di Sendang Jangkang, Sendang Lerep, Sedang Sidotopo, Sendang Panguripan, Sedang Kunti Lanang, Sendang Kunti Wadon, dan Sendang Semboja.

Lokasi ketujuh sendang relatif berdekatan. Sebagian ada di barat jalan desa, dan sebagian di sisi timur. Salah satu sendang, yakni Sendang Wadon, saat ini sedang dalam proses restorasi.

Berada di 750 mdpl, ketujuh kolam petirtaan ini memiliki dimensi yang sama, yakni persegi panjang berukuran 4,70 m x 1,50 m. Namun sebagian sudah runtuh berserakan. Semua kolam tidak menganut orientasi empat mata angin. Hampir semua kolam tidak dipahat, kecuali kolam kedua yang berada di barat, yakni Sendang Lerep, yang memiliki ukiran relief.

Menurut papan keterangan di sini, petirtaan dibangun pada masa klasik Jawa Tengah yaitu sekitar abad VlII-X Masehi. Latar Belakang keagamaan dapat dilihat dari relief binatang, raksasa dan manusia yang ada di Sendang Lerep. Ini diduga merupakan tantri atau cerita binatang berisi ajaran moral pada agama Buddha.

Berdasarkan pendapat para ahli, ada dua kemungkinan tentang siapa tokoh yang membangun Petirtaan Cabean Kunti. Pertama, Petirtaan Cabean Kunti kemungkinan dibangun oleh tokoh bangsawan yang melarikan diri. Kedua, oleh petapa yang ingin mencapai kebebasan spiritual atau moksa.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post 7 Kolam Kuno di Petirtaan Cabean Kunti yang Syahdu appeared first on BuddhaZine.

SantuyZen

$
0
0

Kelompok meditasi itu berkumpul setiap Jumat malam. Setelah pulang kerja, beberapa orang berkumpul, termasuk saya, dan duduk meditasi bersama.

Namun, nuansa ketenangan tak tampak. Yang tampak adalah ketegangan.

Meditasi menjadi semacam perlombaan. Siapa yang bisa duduk paling lama, dialah pemenangnya.

Si pemenang biasanya tertawa bangga. Ia merasa sudah tercerahkan, karena sudah bisa duduk lama, tanpa gerak.

Saya menemukan pola ini tidak di satu tempat latihan meditasi. Beberapa tempat di Jakarta menggunakan pola yang sama.

Meditasi menjadi kompetisi duduk lama. Siapa paling lama, dialah yang sudah tercerahkan.

Ego menjadi kuat. Padahal, tujuan utama meditasi adalah menyadari dunia sebagaimana adanya yang terus berubah.

Segala hal, termasuk ego, berubah terus menerus. Ia tidak sepenuhnya ada, melainkan hanya keadaan sementara.

Meditasi dengan pola kompetisi tidak akan membawa orang pada pencerahan. Sebaliknya, ego mengeras, dan orang justru semakin terjebak di dalam ilusi.

Ilusi akan membawa orang pada penderitaan. Orang akan mengira, bahwa dunia itu sepenuhnya nyata dan tetap.

Ia akan coba merebut dan mencengkramnya. Namun, ini bagaikan mengejar bayangan, atau menggenggam asap.

Semua upaya akan sia-sia. Orang akan terjebak pada penderitaan yang amat besar, pada akhirnya.

Meditasi, atau Zen, adalah upaya untuk mengenali keadaan alamiah kita sebagai manusia. Artinya, kita hanya perlu kembali ke diri kita yang asli, sebelum pikiran dan emosi muncul.

Maka, orang tak boleh tegang. Keadaan alamiah manusia hanya dapat dikenali, jika orang sepenuhnya relaks. Ia santuy.

Bahaya dari sepenuhnya relaks adalah orang menjadi ngantuk, dan tertidur. Bahaya lainnya adalah ia menjadi ngelamun. Pikirannya terbang ke berbagai penjuru.

Jika keduanya bisa dihindari, orang bisa mencapai keadaan meditatif. Ia bisa mengenali, siapa dirinya yang sebenarnya.

Inilah yang saya sebut sebagai SantuyZen. Meditasi dengan relaks sepenuhnya, namun tak hanyut dalam lamunan, dan tak tertidur.

Kita cukup menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di saat ini. Angin berhembus, nafas di tubuh, atau suara di sekitar. Ini langkah pertama.

Langkah kedua adalah dengan mengamati kesadaran di dalam diri kita. Ini yang disebut sebagai kesadaran atas kesadaran (awareness of awareness).

Kita mengalami sesuatu tanpa obyek, karena obyek kita adalah kesadaran kita sendiri. Hasilnya adalah perasaan jernih dan tenang. Inilah Sunyata.

Kesadaran ini adalah diri yang kita yang sebenarnya. Ia bersifat murni, sebelum obyek pikiran muncul di dalam diri.

Di titik ini, kita terbebas dari derita. Kita pun lalu bisa saat demi saat bersikap dengan tepat.

Ada saatnya kita diam dan mengamati keadaan. Ada saatnya kita bertindak untuk campur tangan. Semua diputuskan dengan akal sehat dan pikiran jernih.

Namun ingat, ini semua perlu dilakukan dengan sesantai mungkin, tanpa hanyut dalam lamunan, atau tertidur. Saat demi saat, terapkanlah SantuyZen. Nikmati hasilnya.

The post SantuyZen appeared first on BuddhaZine.

Membangun Rumah ‘Cinta’

$
0
0

Dulu aku pernah menjadi seorang remaja. Dandananku sederhana, penampilanku biasa saja, bahkan bisa dikatakan standar. Nggak yang terlalu istimewa dari diriku. Fisik standar, wajah standar, prestasi pun juga standar-standar saja. Tidak ada sesuatu hal yang bisa dibanggakan banget..

Dari SD, SMP, SMA, menuju bangku kuliah menurutku tidak ada suatu hal yang sangat berkesan dan sulit dilupakan. Pengalaman pacaran juga biasa-biasa saja, bahkan seringnya aku hanya menonton dan menemani teman-temanku asik menghabiskan malam minggunya bersama kekasihnya, dan aku hanya duduk menikmati pemandangan malam, atau asik bermain di Timezone, atau hanya duduk-duduk di kafetaria sambal membaca buku dan menghabiskan makanan kesukaanku.

Padahal kata ibuku, masa SMA adalah masa paling indah…

Tapi kok rasanya aku tidak pernah mengalami keindahaan masa itu yah…nggak suram juga sih masa SMA ku, tapi nggak terlalu indah-indah banget juga..jadi kalau sekarang berkunjung ke sekolah saya di jaman SMA, guru-guru tidak terlalu mengingat saya atau berkesan banget ketika melihat saya.

Perlu beberapa menit dulu baru bisa mencerna siapa nama saya, tahun berapa angkatan saya, bahkan terkadang harus bertanya dulu siapa saja kira-kira teman seangkatan saya, barangkali satu atau dua diantaranya masih ada yang diingat oleh sang guru tersebut.
Ahh sudahlah, kok sepertinya suram sekali yang saya ceritakan..hehehe

Meskipun sekolah SMA saya itu dikenal sebagai salah satu sekolah paling borjuis dan mahal di kota saya saat itu, juga sampai saat ini sih..tapi saya kok tidak pernah merasakan keborjuisan itu. Bahkan teman-teman saya pun masih banyak yang naik sepeda atau jalan kaki ke sekolah, diantara banyak teman-teman seangkatan kami yang lain yang diantar jemput dengan mobil mewah keluaran terbaru.

Tetap ada teman kami yang baju seragamnya sampai sudah using dan tipis, bahkan ada sobekan di beberapa bagian, dimana ada teman-teman seangkatan kami yang lain yang memakai sepatu boot tinggi selutut yang baru saja dibeli di Eropa saat liburan sekolah bulan sebelumnya.

Namun kami bahagia-bahagia saja dengan kondisi itu, tidak merasakan adanya perbedaan status sosial yang mengganggu pada saat itu. Kami berteman tanpa pandang bulu, kami akrab dengan semua kalangan. Bahkan dengan security penjaga sekolah kami, tukang bersih-bersih di sekolah kami, dan penjual es jeruk serta batagor di depan sekolah kami pun, saya akrab dengan mereka, bahkan hingga hari ini.

Keakraban itulah yang lebih saya ingat dibandingkan pesta-pesta sweet 17th yang hampir setiap minggu ada undangan baru di meja saya, merayakannya di restoran-restoran dan ballroom termutakhir di masa itu setiap hari Sabtu malam. Tapi entah mengapa saya sulit jika diminta mengingat-ngingat mana pesta yang paling berkesan, mana yang paling tidak berkesan. Rasanya semua berlalu begitu saja untuk urusan senang-senangnya. Hehehe

Beda hal nya dengan anak remaja jaman sekarang, entah mengapa mereka itu rasa-rasanya masa SMA nya lebih menyedihkan lagi dari saya. Menyedihkannya begini, di kala era gadgeting semakin tinggi sekarang ini, dari mulai membuka mata di pagi hari hingga menutup mata kembali di malam hari, tangan tidak terlepas dari gadgetnya barang sedetikpun.

Meskipun sedang mengikuti pelajaran di kelas, cara apapun akan dilakukan untuk mencuri-curi tetap melihat gadgetnya dan melihat ada pesan dari siapa yang masuk, entah dari kekasih hatinya atau dari sahabatnya.

Ketika ditanya siapa nama teman di bangku sebelahnya, padahal sudah masuk sekolah satu minggu, mereka belum tahu. Ketika ditanya hari ulang tahun ibunya, mereka butuh waktu lama sekali untuk menjawab. Boro-boro menjawab, seringnya jawabannya malah “Nggak tau”,,, “Nggak Inget”,,, “Ehmm, coba aku liat di FB dulu”… waduh…eladalah…anak jaman sekarang….

Saya kok jadi semakin prihatian melihat anak remaja jaman sekarang ini, yang dengan tetangga sebelah rumahnya saja nggak pernah bertegur sapa, apalagi kenal nama dan sekolahnya dimana.

Sudah nggak ada lagi momen-momen menantikan kartu ucapan selamat natal dan tahun baru dari teman-teman sekelas di tong surat mereka ketika menjelang liburan akhir tahun, sudah nggak ada lagi susah payah berebut diskon untuk membeli majalah kesayangan yang sudah limited di bulan itu, nggak ada lagi namanya keringetan untuk merekam ulang rekaman tape dari band kesayangan karena kalau harus beli ori harganya cukup mahal rekkkk untuk kantong anak SMA.

Kebersamaan-kebersamaan yang saya miliki dulu di jaman SMA saya, misalnya menunggu jemputan yang cukup lama pas pulang sekolah, tanpa adanya HP, membuat kami mau nggak mau cuman bisa ngobrol aja satu sama lain, beli jajanan bersama, makan satu bungkus batagor rame-rame kalo lagi tanggal tua.

Neriakin temen-teman sekelas kami yang lagi pedekate. Apalagi ketika tau kalo mereka ternyata udah jadian. Wah semakin rame nyorakinnya. Kemudian rasa malu kami ketika harus disuruh keluar kelas karena lupa ngerjain PR hari itu, atau wajah yang memerah ketika dibagikan nilai ulangan tapi nilai saya yang paling rendah sekelas.

Lalu betapa girangnya kami jika ada acara sekolah pada hari tertentu, dan kami diberikan pengumuman kalau sekolah akan memulangkan kami lebih awal. Wahhh senangnya…apalagi kalau lagi mendapat tugas untuk keluar kelas untuk rapat pengurus OSIS, atau meminta bantuan dana ke kakak kelas kami, atau memberikan pengumuman buat teman-teman kami di kelas-kelas yang lain.

Kebetulan saya waktu itu pernah menjadi wakil pengurus OSIS di SMP dan SMA, jadi ya lumayan familiar deh dengan pengalaman beginian.

Kok hal-hal sederhana dan kecil begitu sudah membuat kami begitu girang dan senang ya?

Tapi balik lagi ke anak SMA jaman sekarang, saya kok susah sekali ya melihat senyuman bahagia dan lepas dari wajah-wajah mereka? Sepertinya sulit sekali untuk hanya memberikan satu senyuman yang manis kepada orang yang baru dikenalnya.

Apakah rasa tidak aman dan ancaman-ancaman bahaya di jaman sekarang bagi para anak-anak sekolah segitu berpengaruhnya bagi kondisi kesehatan mental mereka? Sampai-sampai hanya untuk memberikan salam atau berpamitan saja ke orang yang baru dikenal begitu tabu nya?

Di jaman yang semakin canggih, maju dan mutakhir ini, kenapa semakin sedikit kebahagiaan dan keceriaan yang kita lihat dari wajah-wajah remaja jaman sekarang? Mengapa tersenyum dan tertawa itu begitu mahal harganya bagi mereka?

Sudah tidak adakah lagi sentuhan-sentuhan kehangatan dengan mengobrol sejenak dengan tukang bersih-bersih sekolah? Sudah tidak ada lagikah momen untuk saling bertukar sapa dan bercanda ria dengan penjual es jeruk di depan sekolah? Sebegitu sibuknya kah anak SMA jaman sekarang dengan berbagai les, tuntutan belajar, serta kegiatan-kegiatan lainnya sehingga security di skeolahnya saja tidak kenal?

Belum lagi ditambah dengan banyaknya keluhan-keluhan ”mood swing” yang sering mereka gadang-gadang dan banggakan ketika bertemu dengan psikolog di ruang konseling? Kemudian setelah berkonsultasi dan mendapatkan arahan, bukannya semakin memperbaiki diri, tapi malah bangga dengan dirinya, dan esok harinya dijadikan bahan bercerita ke teman-teman sekelasnya.

Bahwa mereka sudah ke psikolog dan mendapat diagnosa ”mood swing”.
Saya kok masih nggak paham dimana kebanggaannya dengan menyandang status “penderita mood swing”?

Bukankah lebih bangga untuk menyandang gelar pemegang nilai ujian dan prestasi terbaik di sekolah? Dan ketika hari kelulusan tiba, orangtua kita dipanggil namanya untuk maju ke depan dan mendapatkan piala kehormatan itu dari sang kepala sekolah?

Bukannya lebih membanggakan bisa menginspirasi teman-teman satu angkatan dengan memiliki prestasi di bidang non akademik? Misalnya jadi juara karate tingkat daerah, lomba menyanyi di acara 17 Agustusan, atau menjadi atlet badminton yang dikirim ke tingkat nasional?

Apakah tekanan belajar membuat mereka-mereka ini menjadi kaku dan datar ekspresinya ketika bertemu dengan orang lain? Hanya sibuk memandangi gadgetnya, mengecek siapakah teman-teman seangkatannya yang akan memposting feed tentang gaya terbaru fashion di sekolahnya, atau postingan tentang liburan akhir tahun ke luar negeri yang begitu prestise dan membanggakan?

Marilah kita sebagai pendidik, pemerhati pendidikan, orangtua, bersama-sama menjadikan hal ini sebagai sebuah renungan, apa yang telah berubah dan tidak lagi dimiliki anak-anak kita di jaman sekarang? Terlalu banyak kah pengaruh teknologi masuk ke dalam pemikiran dan sanubari mereka? Sehingga kepekaan terhadap lingkungan social pun menjadi semakin jauh berkurang?

Atau kita sebagai orang tua yang terlalu banyak menuntut anak kita dengan berbagai kegiatan, les, kursus agar prestasinya tidak kalah dengan anak tetangga sebelah? Supaya kita tidak malu jika nanti ketika arisan ditanya oleh orangtua murid yang lain, ranking berapa anak kita di sekolah?

Atau kita sendiri yang sudah mulai jarang menyentuh hati anak-anak kita dengan obrolan-obrolan ringan dan hangat? Mengajak mereka untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitar dan orang lain melalui kegiatan-kegiatan social dan aksi kepedulian? Ataukah kita yang terlalu sibuk mengejar materi duniawi hingga melupakan bahwa anak-anak kita adalah harta terpenting? Untuk apa segala materi yang kita cari jika bukan untuk membahagiakan hati anak-anak kita?

Tapi sudahkah mereka bahagia?

Terlebih lagi, sudahkah anda sendiri bahagia dengan kehidupan anda saat ini?

Karena orangtua yang bahagia dan penuh cinta, rumah yang penuh kehangatan dan canda tawa adalah kunci kebahagiaan seorang anak, kunci prestasi yang baik bagi seorang anak, pengunci seorang anak dari pengaruh-pengaruh negative di jaman sekarang. Karena jika “Rumah” adalah tempat berpulang yang paling nyaman di dunia ini, mengapa harus mencari kebahagiaan lagi di luar sana?

Marilah kita bangun Rumah yang bukan hanya sekedar “Rumah”, namun menjadi “Tempat” yang paling nyaman untuk berpulang bagi diri kita dan anak-anak kita terlepas dari semua kegiatan yang telah usai di sepanjang hari. Maka generas-generasi berikutnya yang penuh cinta dan kegembiraan akan terus berkembang, menyinari kehidupan ini, dunia ini, dan menjadikan bumi ini tempat yang lebih indah untuk ditinggali.

Menarik kan ngikutin artikel dan tulisan di laman ini. Kalau masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…

The post Membangun Rumah ‘Cinta’ appeared first on BuddhaZine.

Jalan Kebahagiaan (快乐的路 The Way Of Happiness) – Seri Mengenal Dharma #3

Berputar, Seperti Roda

$
0
0

Bagi sejumlah orang, 2020 boleh jadi menjadi tahun yang nyata kelam. Terutama untuk mereka yang harus merelakan diri kehilangan sanak saudara karena tak terselamatkan dari keganasan virus corona.

Bagi mereka yang tengah berkutat dan berharap bisa sembuh dari sakit karena virus. Mereka yang harus melapangkan dada dan menerima kenyataan di-PHK oleh perusahaan atau tempat di mana mereka selama ini mencari nafkah. Serta mereka yang dibayang-bayangi kemungkinan buruk lainnya akibat situasi sulit seperti ini.

Situasi ini pada akhirnya memberi efek pada banyak lini dan sektor kehidupan, selain yang utama pada kesehatan dan keselamatan itu sendiri. Salah satu aktivitas lainnya yang juga terdampak adalah rutinitas keagamaan.

Umat Buddha kini harus menahan diri untuk tidak menginjakkan kaki di wihara demi menghindari keramaian, mengikuti protokol kesehatan dari pemerintah, setidaknya sebelum wacana New Normal benar-benar diterapkan di wihara yang biasa mereka datangi.

Pandemi dan antusiasme umat Buddha belajar dhamma

Kemajuan teknologi beserta kelebihannya menunjukkan peran serta fungsinya dengan baik dan positif. Banyak wihara yang akhirnya melakukan serangkaian kegiatan seperti biasa melalui layanan virtual.

Kita bisa melihat dari banyaknya sebaran informasi yang beredar atau unggahan di media sosial mengenai jadwal kelas Dhamma yang nyaris selalu ada setiap pekan. Beberapa wihara bahkan rutin mengadakan Dhammasākacchā Online setiap malam dan dengan jumlah partisipan yang tidak sedikit, terlebih ketika mengundang narasumber kawakan.

Semangat yang ditunjukkan oleh umat Buddha mengikuti kelas Dhamma secara online merupakan fenomena menarik. Jika sebelumnya umat Buddha terpisah oleh jarak dan tersekat gedung wihara masing-masing, kini mereka disatukan oleh media sosial.

Sekarang siapapun bisa dengan leluasa mengikuti kegiatan yang ada cukup dari setatapan layar gawai. Internet menunjukkan eksistensi dan kuantitas mereka secara tak langsung.

Roda kehidupan

Kita sering mengandaikan hidup tak ubahnya sebuah roda yang terus berputar. Ada kalanya kita di atas, hidup seperti menawarkan sejuta kebahagiaan tak berkesudahan. Ada masanya kita berada di bawah, pengalaman pahit seakan membuat kita tersungkur hingga titik terendah dari sebuah kenyataan hidup.

Ada saatnya kita merasa hidup seperti percuma, stagnan, dan tak punya arti apa-apa. Perputaran ini membuktikan bahwa tidak ada kondisi yang permanen.

Semuanya berubah sewaktu-waktu, dan lebih jauh mengisyaratkan pesan penting yaitu sebesar apapun kita menaruh harapan pada hal-hal baik, kita tidak pernah bisa mencegah sesuatu yang buruk tidak terjadi menimpa kita. Pun sebaliknya seburuk apapun kondisi yang kita alami saat ini pasti akan berubah pada waktu mendatang.

Hidup tengah menunjukkan kenyataan dari siklusnya melalui petaka dari sebuah pandemi. Kita sedang berada di posisi dasar, dalam masa sulit, dan bahwa begitulah sejatinya kehidupan. Seperti roda yang berputar.

Sang Buddha sudah mengingatkan kita soal ini. Bahwasanya ada kondisi-kondisi yang silih berganti dan tak terhindarkan selama kita masih menjadi bagian dari kehidupan. Ragam kondisi itu adalah Delapan Kondisi Dunia, yaitu untung-rugi, masyhur-tidak terkenal, dipuji-dicela, dan suka-duka.

Semuanya bisa datang kapan saja. Berputar, seperti roda. Tidak ada seorang pun yang bisa memonopoli keadaan sebagaimana yang diinginkan. Seperti roda, kehidupan berputar dengan presisi di antara ketidakpastian di dalamnya.

Satu hal yang sangat pasti, di ujung sana ada pemberhentian yang kita disebut sebagai kematian. Sang Buddha bersabda, dalam untaian indah syair Dhammapada 128, “Tidak dapat ditemukan suatu tempat di dunia ini bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari kematian.”

Kita pasti mengalami kematian. Tidak ada tempat bersembunyi darinya. Senada dengan itu, di lain kesempatan Beliau mengatakan bahwa kehidupan tidaklah pasti, kematianlah yang pasti.

Musibah akan terus ada sepanjang peradaban itu ada. Jika menilik kejadian silam, kita akan mendapati kisah dan fakta bahwa musibah semacam ini terjadi bukan kali pertama dan pasti tidak pula menjadi yang terkahir kalinya.

Di masa hidup Sang Buddha, kita familiar dengan kisah petaka yang pernah terjadi di Vesali. Kisah yang kemudian diyakini menjadi awal mula tersabdakannya wejangan Ratana Sutta. Seiring berjalannya waktu fakta kemudian mencatatkan sederet kasus yang pernah terjadi dari masa ke masa.

Semuanya hanya datang dengan wujud dan waktu berbeda, tetapi memiliki satu kesamaan yakni menjadi sumber bagi penderitaan. Berbicara soal penderitaan, ia adalah kenyataan pasti yang menjadi paket lengkap dari kehidupan, lagi-lagi, yang tidak bisa kita hindari.

Kenestapaan akan selalu kita dapati sepanjang hayat. Itu berlaku bagi siapapun tanpa terkecuali, tidak pernah mengenal bulu. Perbedaannya, antara seorang praktisi Dhamma dan yang bukan, terletak pada cara pandang dalam melihat dan menyikapi itu semua.

Seorang yang terlatih dalam pemahaman benar akan melihat bahwa segala sesuatunya terjadi karena banyak sebab dan dapat berubah kapan saja. Dengan pemahaman seperti itu dan disertai upaya, ia tidak akan terlalu dirundung oleh kesedihan dan ketakutan yang berlebihan ketika tengah mengalami cobaan hidup.

Sebagaimana ia juga tidak akan terlalu berlebihan melekati semua jenis kebahagiaan duniawi yang sementara. Sementara itu, seorang yang tidak terlatih akan menunjukkan sikap sebaliknya. Itu semua merupakan proyeksi dari apa yang ada dalam batin seseorang yang belajar Dhamma dan tidak.

Belajar dan praktik Dhamma tidak menjamin kita akan terhindar dari mala petaka, tetapi sangat pasti memberikan kita kesiapan mental dalam menghadapi segala sesuatu yang ditawarkan hidup.

Sang Buddha mengibaratkan seseorang yang terlatih seperti batu karang, kokoh tak tergoyahkan (Dhammapada VI, 81). Ia bijaksana dalam menyikapi keadaan. Tidak marah saat dicela, tetapi juga tidak berbesar kepala saat mendapatkan pujian.

Meskipun bait tersebut secara spesifik merujuk pada kasus sanjungan dan cemooh, tetapi juga dapat menjadi gambaran bagaimana seorang bijaksana menyikapi permasalahan yang lain.

Seseorang yang menjadi bijaksana karena belajar Dhamma akan merespons setiap keadaan dengan arif pula. Untuk alasan dan manfaat itulah mengapa kita perlu mendekatkan diri dengan pemahaman dan praktik Dhamma.

The post Berputar, Seperti Roda appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live