“Pikiran kita selama ini dibuat kerdil oleh sistem pendidikan yang kacau, pikiran kita selalu dibatasi tentang segala hal. Oleh sebab itu kadang kita tidak bisa menggunakan pikiran untuk berimajinasi,” ujar Wahyudi AR dalam pelatihan organisasi pemuda Buddhis di Vihara Buddha Metta, Dusun Mranggen, Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada 10-11 Desember 2016 lalu.
Untuk membuktikan ucapannya, peneliti sosial budaya Buddhis yang akrab dengan Kitab Badra Santi ini dalam pelatihan tersebut mengajak peserta pelatihan bermain menggambar ikan paus dalam selembar kertas.
“Apakah ini yang dianggap ikan paus? Kok seperti ikan teri?” tanya Wahyudi mengomentari gambar peserta. “Inilah sebabnya saya katakan bahwa pikiran kita selalu dibatasi oleh kebiasaan kita sendiri, oleh sistem pendidikan yang memasung, sehingga memasung imajinasi kita juga. Padahal dalam Dhammapada, Buddha Gotama mengatakan bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu.”
Karena pikiran itu pula, menurut Wahyudi, pemuda Buddhis di pedesaan merasa minder, merasa kerdil. Padahal kalau mau ditelusuri, pada masa lalu Nusantara adalah pusat peradaban Buddhis. “Sejarah kita selama ini juga dibuyarkan, ditutup-tutupi, kita dibuat tidak suka sejarah. Ketika berbicara Temanggung, apa yang Anda ketahui? Tembakau kan?” jelasnya.
Padahal, kalau ditelusuri lebih jauh, Temanggung pada masanya adalah pusat peradaban manusia dan Hindu Buddha. “Dengan ditemukannya Candi Liyangan yang begitu besar semakin membuktikan bahwa Temanggung dulu adalah pusat peradaban Siwa Buddha. Tidak jauh-jauh tentang peradaban Siwa Buddha, apakah Anda tahu dan mengenal siapa saja yang membangkitkan kembali agama Buddha di Temanggung? Sebelum kegiatan pemuda Buddhis yang diawali bulan April lalu ya. Karena saya dengar, Anda diajak menelusuri dan napak tilas kebangkitan kembali agama Buddha. Jadi, mungkin sekarang Anda sudah ada gambaran.
“Inilah yang saya maksud pikiran kita sudah dikerdilkan oleh sistem pendidikan, dan kita dibuat tidak suka sejarah, sehingga sejarah terdekat sendiri pun tidak kita pelajari dengan benar. Oleh sebab itu, mulai dari sekarang Anda harus bangga menjadi pemuda Buddhis, karena agama Buddha di Temanggung pada masa yang akan datang berada di pundak Anda semua,” terangnya.
Lalu bagaimana cara mengembangkan agama Buddha terutama di pedesaan? Menurut Wahyudi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemuda Buddhis ke depan. “Buddhisme harus dibuat agama merakyat dengan pendekatan sosial budaya. Seni, gotong royong, anjangsana ketika ada umat yang berduka, ketika ada umat yang punya gawe, dan yang tidak kalah penting mengunjungi para sesepuh dan leluhur. Penguatan ekonomi dan politik juga sangat penting untuk memperkuat umat Buddha,” urai Wahyudi.
Namun yang tidak kalah penting, menurut Wahyudi, adalah regenerasi. “Regenerasi ini bisa melalui perkawinan, kaderisasi di dalam organisasi, dan estafet kepemimpinan. Dan semua ini ada di pundak Anda semua,” pungkasnya.
Pelatihan yang diikuti oleh lebih dari 30 pemuda Buddhis terpilih dari Temanggung, Semarang dan Kendal ini merupakan lanjutan dari dua pelatihan sebelumnya yang dilaksanakan di Vihara Buddha Gaya Watu Gong, Semarang dan Vihara Kartika Kusala, Dusun Gletuk.
Dengan dilakukan setiap bulan, diharapkan muncul penggerak pemuda Buddhis mulai dari vihara, wilayah hingga kabupaten, dan antar kabupaten, sehingga ada kaderisasi kepemimpinan Buddhis ke depan.