Vihara Tathagata Buddha, Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung menjadi pusat pembelajaran Buddhadharma anak-anak, dan remaja Pulau Belitung. Di vihara itu, setiap hari Minggu, ratusan anak-anak dan remaja melakukan pujabhakti, meditasi, bermain, dan belajar Dharma bersama guru agama Buddha yang mengajar mereka di sekolah.
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Belitung, per 31 Agustus 2013, umat Buddha Belitung berada di urutan kedua setelah Muslim, yaitu sebesar 6,37%. Umat Buddha Pulau Belitung didominasi oleh masyarakat keturunan Tionghoa yang melakukan sembahyang di Klenteng. Karena itu, kehadiran Vihara Tathagata Buddha yang dibangun satu kompleks dengan Klenteng Kwan Im menjadi babak baru perkembangan agama Buddha di Pulau Belitung.
Klenteng Kwan Im sendiri telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Menurut cerita masyarakat setempat, pembangunan Klenteng Kwan Im berawal dari kedatangan seorang tabib dari Tiongkok berjuluk Suhu Chong. Semasa hidupnya, Suhu Chong kerap membantu masyarakat dalam hal pengobatan. Hingga suatu masa, muncul penyakit-penyakit aneh yang tidak dapat disembuhkan dan berujung pada kematian.
“Dalam kondisi seperti itu, mendorong Suhu Chong untuk pulang ke Tiongkok. Sekembalinya dari Tiongkok, Suhu Chong membawa satu patung Kwan Im dan dibikin tempat kecil untuk sembahyang. Perpaduan spiritual dan ilmu pengobatan Tiongkok ini yang dipakai oleh Suhu Chong untuk mengobati masyarakat waktu itu. Di sini kemudian banyak penduduk yang terbantu yang akhirnya membantu dana untuk membangun klenteng kecil,” turur Romo Aryindra Yapriadi, Ketua Vihara Tathagata Buddha kepada BuddhaZine, Minggu (29/9).
Seiring berjalannya waktu, Klenteng Kwan Im semakin berkembang. Seorang bernama Aliung, kelahiran Belitung mengajak para umat Klenteng untuk proses pengembangan Buddhadharma dengan membangun vihara, vihara itu kemudian diberi nama Vihara Tathagata Buddha dan diresmikan pada tahun 1994. “Kami menggandeng Sangha dan Majelis Buddhayana untuk membangun vihara. Kemudian mendatangkan guru-guru agama Buddha dari Jawa, dari Boyolali. Di sini mulai diajarkan agama Buddha yang ‘sesungguhnya’,” lanjut Romo Aryin.
Kundarto, adalah guru agama Buddha dari Jawa yang pertama kali datang dan mengajar di Belitung. Laki-laki kelahiran Jepara itu tiba di Belitung pada tahun 1997, menjadi pegawai negeri sipil, mengajar siswa-siswi beragama Buddha di salah satu Sekolah Dasar. Sebagai orang baru, Kundarto mengaku mengalami banyak kendala di sekolah tempatnya mengajar. Ia pernah ditolak oleh siswa, bahkan dimintai keterangan di kejaksaan Belitung lantaran ajaran Buddha yang ia ajarkan berbeda dengan yang telah berkembang di sana.
“Jadi pada waktu itu saya juga sebagai guru banyak sekali kendala. Ketika masuk di sekolah tidak di terima oleh siswa yang beragama Buddha sendiri, tapi lama kelamaan, mereka juga akhirnya mereka mau mengikuti pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Bahkan kita pernah dipanggil diadukan dipihak kejaksaan, kemudian saya bawakan buku-buku agama Buddha,” tuturnya mengenang.
Terkait umat Buddha Vihara Tathagata Buddha, menurut Kundarto selalu mengalami dinamika pasang surut. “Tahun 1997 khususnya muda-mudi (Vihara Tathagata) kalau kebaktian bisa penuh bahkan kadang sampai ndak muat. Karena waktu itu masih ada biksunya. Tetapi sejak tidak ada bikksu, waktu itu guru agama Buddha juga masih saya sendiri, harus memegang Sekolah Minggu, kegiatan vihara, sekolah SD, SMP sampai SMA sempat mengalami titik terendah.”
Seperti yang dituturkan oleh Kundarto, guru agama Buddha memang mempunyai peran yang sangat vital dalam pembinaan umat Buddha di Belitung. “Pembinaan dari sangha hampir tidak ada. Bhikkhu datang mungkin hanya sekali dalam satu tahun, saat Kathina. Jadi hanya mengandalkan kami guru-guru, bisa dikatakan pemegang kendali vihara di sini adalah guru-guru, tanpa guru-guru vihara ini bisa mati,” imbuhnya.
Perlu terobosan baru
Dengan segala keterbatasan tenaga, guru-guru agama Buddha fokus mendidik anak-anak dan remaja Buddhis. Datang ke vihara pada hari Minggu menjadi wajib bagi siswa-siswi di sekolah Pak Kundarto, Pak Eko Purnomo, dan guru-guru agama Buddha lain. “Anak-anak, SD, SMP dan SMA itu generasi yang menjadi fokus kita. Kalau orang tua itu masih kuat tradisinya, kita ajak kebaktian itu susah, mereka sembayang sendiri di klenteng. Kalau kita ajak kumpul di vihara, kemudian kita kasih ceramah susah.” terang Eko Purnomo, guru asal Lampung.
Eko Purnomo, menjadi generasi ke dua guru agama Buddha yang datang ke Pulau Belitung. Ia mengajar di SD Negeri 5 Tanjung Pandan dan beberapa sekolah SMP dan SMA sebagai guru tambahan. “Waktu pertama kali masuk ada 90 siswa Buddha, tapi semakin ke sini semakin kurang. Sekarang murid saya tinggal 25 orang di SD 5 Tanjung pandan, kalau SMP saya juga ngajar SMP PGRI ada sekitar 70’an siswa. SMA ada ratusan, tapi saya ngajar hanya kelas 10 sekitar 40 orang”.
Sedangkan Sunyi Suzana, Guru Agama Buddha SMK Negeri Tanjung Pandan mengajar 102 siswa beragama Buddha. “Sebenarnya di beberapa sekolah, siswa Buddhis jumlahnya cukup banyak. Di sekolah saya saja lebih dari 10% dari jumlah keseluruhan siswa. Tetapi pengetahuan Buddha Dharmanya masih sangat minim, baru setelah ada guru agama Buddha, anak-anak mulai belajar Dharma,” kata guru yang baru tiga bulan tinggal di Belitung itu.
Saat ini, guru PNS agama Buddha di Pulau Belitung berjumlah 6 orang. Selain mengajar di sekolah, mereka juga dijadwalkan mengajar anak-anak remaja di vihara. Tetapi, menurut Sunyi, pembinaan umat Buddha yang berfokus pada anak-anak seolah tidak ada perkembangan. Saat masih sekolah hingga SMA, mereka aktif datang ke vihara, tetapi setelah kuliah apalagi sudah berkeluarga, mereka sudah tidak aktif di vihara lagi.
The post Jalan Terjal Pengembangan Buddhadharma di Tanah Belitung appeared first on BuddhaZine.