Masih terekam jelas dalam ingatan Hadi Wiyoto (72), pada suatu malam di tahun 1967, saat Pramono Wirono dibawa oleh aparat keamanan ke rumah Priyo Hartoyo, Kepala Desa Sampetan. Pramono Wirono diamankan karena dicurigai sebagai pelarian Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah menjalani interogasi selama satu malam, ia dilepaskan karena tidak terbukti sebagai anggota maupun simpatisan PKI.
Pramono Wirono, yang belakangan diketahui sebagai anggota dewan perwakilan rakyat dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), saat itu baru menyelesaikan laku prihatin, bertapa di Gua Lowo yang berada di lereng Gunung Merbabu. “Pak Pramono Wirono itu orang Salatiga, beliau penganut Buddha, jadi tidak ada kaitannya dengan PKI. Lha beliau itu tokoh PNI kok, namun karena saat itu masih dalam suasana geger, beliau dicurigai dan diamankan ke rumah Pak Lurah,” kata Hadi Suwito saat ditemui BuddhaZine di Pondok Meditasi Girisasono, Desa Sampetan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali, Minggu (12/01).
Saat kejadian itu Mbah Hadi Wiyoto sudah berusia 19 tahun. Ia adalah kemenakan Prio Hartoyo yang menjabat sebagai Kepala Desa Sampetan masa itu. Kedekatannya dengan Lurah Sampetan membuat Mbah Hadi bisa menyaksikan jelas peristiwa yang menjadi awal masuknya agama Buddha di Desa Sampetan pasca kemerdekaan RI.
“Ya, kalau mau bicara agama Buddha di Desa Sampetan ini, awalnya dari Pak Pramono dan dimulai pada peristiwa malam itu,” tegas Mbah Hadi. Ia bercerita setelah (Pranomo Wirono) menyelesaikan laku prihatin, ia berjalan ke arah selatan sampai di rumah Mbah Tukinem, Dusun Ngrowosewu, Sampetan. Di sana Pak Pramono ditangkap oleh aparat keamanan dan dibawa ke rumah Pak Lurah untuk diinterogasi.
Dari situ menurut penuturan Mbah Hari, Pramono Wirono mulai membabar ajaran yang ia anut dan hendak mengajarkan kepada masyarakat yang ia temui. Gayung pun bersambut, Lurah Sampetan yang awalnya sudah mendalami spiritualitas kejawen merasa cocok dengan agama Buddha yang disampaikan oleh Pramono Wirono. “Mendengar ajaran Buddha, Pak De saya cocok. Seketika itu juga beliau mengikuti Pak Pramono.”
Setelah mendapat persetujuan dan dukungan Pak Lurah, masyarakat Sampetan segera mendeklarasikan agama Buddha. Deklarasi “kebangkitan” agama Buddha Sampetan dilaksanakan di rumah Bapak Harjo Kuri, Dusun Purwogondo pada hari Rabu Legi tahun 1967.
Tak hanya umat Buddha Sampetan dan Pak Pramono Wirono, dalam deklarasi itu juga dihadiri oleh tokoh-tokoh agama Buddha sekitar seperti; Romo Sariputra Sadono dari Semarang, Sutomo Dwijo Harmoko dari Ampel, Bapak Yoto dari Desa Ngadirojo dan sekitar 200 masyarakat yang sebelumnya menganut kejawen menjadi umat Buddha.
Usai deklarasi, agama Buddha kemudian menyebar keberbagai dusun yang ada di Desa Sampetan. Hingga tahun 1970’an setidaknya terdapat 11 Dusun yang menjadi basis agama Buddha.
“Yang menyebarkan itu Pak Lurah, tapi yang mengajarakan agama Buddha itu Pak Pramono. Saya itu kelahiran 1948, jadi setelah itu ya mengikuti agama Buddha, dan mungkin saya adalah umat Buddha yang paling tua sendiri saat ini di Sampetan. Setelah sekitar dua tahun berjalan, agama Buddha menyebar ke berbagai dusun seperti, Karangboyo, Selorejo, Purwogondo, Mongsari, Purwosari, Gumuk, Guyang, Sokorame, Morosewu, Pereng, Baturejo, dan Dusun Sampetan, semua dusun-dusun ini menjadi basis Buddha saat itu,” jelas Mbah Hadi.
Sedikit disayangkan menurut Mbah Hadi, perkembangan Buddhadharma di Sampetan tidak segairah tahun-tahun 70’an. “Tetapi karena gelombang perpindahan ke agama lain, umat Buddha semakin menyusut,” tuturnya dengan suara lirih.
Sampetan adalah nama salah satu desa di Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Desa ini terletak di sebelah timur lereng Gunung Merbabu dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan air laut. Desa ini berhawa sejuk dan bertanah subur sehingga mendukung sektor pertanian dan perkebunan sebagai mata pencaharian utama masyarakat.
The post Kini Umat Buddha Sampetan di Lereng Merbabu Semakin Habis? appeared first on BuddhaZine.