Tidak pernah saya bayangkan kalau dulu waktu saya menghabiskan waktu di Jakarta dan sering bertandang serta ikut dalam kegiatan Wihara Ekayana, saya betul-betul sedang berada dalam karma baik saya, yang saya bisa leluasa berjumpa dengan guru meditasi yang beragam, mendengar pembabaran Dharma yang beragam, dan bersahabat dengan sahabat sedharma yang juga beragam. Sungguh sebuah nikmat yang tidak terbeli oleh uang atau apa pun. Saya bisa lukiskan masa-masa itu adalah masa indah dalam perjalanan spiritual saya hingga kini.
Mundur beberapa saat di mana saya harus kembali ke kampung halaman saya, Bandar Lampung, saya ingin sekali pergi ke wihara. Singkat cerita, saya bersama keponakan saya mendaraskan Paritta di kebaktian pemuda di Wihara Bodhisattwa. Saya sangat suka pergi ke wihara dan mendaraskan Paritta atau Sutra Suci yang panjang ataupun pendek saya ikuti. Saya mendapatkan rasa damai selesai mendaraskan Sutra dan Paritta itu, sehingga saya menjadikan rasa itu sebuah tolok ukur saya saat itu… yang rasa itu tidak saya jumpai apabila proses pendarasan tidak khusyuk dan tenang.
Saya tidak mempermasalahkan pengisi pembabaran Dharma atau Dharma sharing, namun kesederhanaan dari sikap panitia dan pengurus dari kebaktian tersebut belum terasa dan tercerminkan dalam semua tindak tanduknya.
Sedikit yang saya ketahui tentang pengurus atau pemuda-pemudi yang bersukarela mengurus kebaktian tersebut, mereka tidak bertahan lama karena satu dan lain hal, proses regenerasi yang kurang berjalan lancar. Sehingga adik-adik pengurus juga kurang jam terbang, pengetahuan, arahan dan pengalaman dalam membawa upacara kebaktian tersebut.
Saya tidak merasakan mindfulness dalam penyajiannya, walaupun ada niat dalan pelaksanaannya. Saya bisa berpendapat seperti itu, belajar dari seorang pengurus yang membaktikan diri dan waktunya untuk mengurus kebaktian itu. Namun tidaklah sebuah hal yang perlu dikhawatirkan. Karena begitu seseorang membaktikan dirinya di sini, mereka juga akan ikut dalam keluarga wihara lainnya yang saling terhubung. Banyaknya jumlah wihara yang ada di Lampung, tidak sepadan dengan jumlah pengurus yang bisa mengisi acara, dan mengurus umat yang ada di pedalaman.
Di sinilah ironi itu berada, banyak wihara, sedikit pengurus, dan pengurus yang datang pergi, ditambah kealpaannya generasi aktif pemuda yang hendak beribadah di wihara. Sungguh pelik dan membingungkan, sehingga nyala api semangat hanya dari satu orang tidak cukup menerangi kegelapan ini. Kita butuh banyak lagi nyala api yang terus ada sehingga jalan kita akan terus terang.
The post Berbagi Cerita tentang Wihara di Lampung appeared first on BuddhaZine.