Meskipun terkesan “tabu” untuk dibicarakan, namun, topik seputar kematian sebetulnya selalu menarik untuk dibahas. Wajar, kematian sejatinya merupakan bagian dari kehidupan. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang bisa mengelak atau menghindar darinya. Alhasil, suka-tidak suka, kenyataan tadi mesti dipahami dengan baik dan diterima dengan hati yang lapang.
Topik tentang kematian mempunyai tempat tersendiri dalam Ajaran Buddha. Sejumlah peristiwa yang berhubungan dengan kematian banyak diungkap di dalam sutta. Sebut saja, cerita tentang pengalaman Pangeran Siddharta yang termenung menyaksikan orang mati dalam perjalanannya berkeliling kerajaan.
Pengalaman tadi begitu membekas di hati pengeran, hingga kemudian menginspirasinya untuk menjadi seorang samana demi menemukan “obat” yang mampu membebaskan banyak makhluk dari jerat kematian.
Cerita lainnya ialah kisah tentang gadis penenun. Dari perjumpaan awalnya dengan Buddha, gadis tersebut mendapat ajaran bahwa kehidupan itu tidaklah pasti, tapi kematian pasti terjadi. Sejak saat itu, ia terus merenungkan makna ajaran tersebut, hingga akhirnya bisa menembus tingkat kesucian.
Beberapa tahun kemudian, Buddha mengajukan 4 buah pertanyaan dalam sebuah pertemuan yang dihadiri banyak orang. Meskipun pertanyaan itu begitu ringkas dan sederhana, namun tidak ada satu pun hadirin yang mampu menjawabnya dengan tepat, kecuali si gadis penenun tadi. Buddha kemudian memujinya karena sudah memahami Dhamma sebagaimana adanya.
Kisah lainnya yang juga terkenal ialah kisah tentang peristiwa jelang kematian yang dialami oleh Anathapindika. Dikisahkan, pada waktu itu, Anathapindika terserang sakit keras. Buddha menyadari bahwa kehidupan Anathapindika sudah “dekat”.
Maka, Buddha kemudian meminta Yang Ariya Sariputta dan Ananda untuk datang membesuk Anathapindika. Jelang kematiannya, Anathapindika dibimbing oleh Yang Ariya Sariputta untuk menembusi Dhamma. Alhasil, Anathapindika pun bisa meninggal dunia dengan tenang dan terlahir di alam dewa.
Fenomena mental jelang kematian
Tak hanya menyampaikan cerita, Ajaran Buddha juga cukup banyak membahas fenomena mental yang muncul ketika seseorang sedang berada di detik terakhir kehidupannya. Pembahasan ini bisa ditemukan di Kitab Abhidhammattha Sangaha. Di kitab tersebut tercatat setidaknya ada 3 fenomena mental yang timbul jelang kematian.
1. Kamma
Kamma adalah perbuatan tertentu yang bakal muncul di pikiran seseorang jelang kematian. Perbuatan ini bisa baik, bisa pula buruk sifatnya.
Apabila perbuatan baik yang terlihat di pikiran, maka hal ini akan memungkinkan seseorang terlahir di alam yang menyenangkan.
Sebaliknya, jika yang muncul ternyata perbuatan buruk, maka hal itu akan mengondisikan seseorang untuk tumibalahir ke alam yang menyedihkan.
Proses mental ini terjadi secara alamiah. Tidak ada yang bisa memanipulasi wujud kamma yang bakal muncul jelang kematian.
Namun demikian, bukan berarti tidak ada cara yang bisa dilakukan agar peluang munculnya kamma baik jelang kematian tetap terbuka lebar. Caranya cukup sederhana, yakni dengan terus memupuk perbuatan baik.
Cara ini memang bukan “jaminan” bahwa kalau orang sudah rutin berbuat baik semasa hidupnya, maka fenomena mental yang bakal timbul di detik terakhir kehidupannya pastilah yang baik-baik saja. Tidak. Tidak demikian. Masih ada kemungkinan bahwa kamma buruk yang pernah diperbuat-lah yang bisa muncul pada momen tersebut.
Ingat kasus Ratu Mallika? Walaupun sudah banyak melayani Buddha, namun, jelang kematiannya, Ratu Mallika ternyata malah teringat satu kamma buruk yang pernah dilakukannya. Alhasil, ia pun terlahir di Alam Niraya, meskipun durasinya hanya seminggu saja.
Kalau begitu, untuk apa kita terus menimbun kebajikan? Bukankah kebiasaan berbuat baik bukan satu-satunya faktor yang bisa mengondisikan munculnya kamma baik jelang kematian?
Betul, tetapi memupuk kamma baik tetaplah hal yang perlu dilakukan. Sebab, kamma baik tadi bakal menjadi “bekal” bagi seseorang dalam mengarungi alam berikutnya. Tanpa “deposito kamma baik” yang banyak, meskipun terlahir di alam yang baik, namun seseorang cenderung kurang bisa menikmati kehidupannya tadi.
2. Kamma Nimitta
Kamma Nimitta adalah “tanda kamma”. Petanda ini wujudnya bisa “barang” yang biasa digunakan sehari-hari. Petanda ini bisa bermacam-macam maknanya, bergantung pada perbuatan yang menyertainya.
Dalam sebuah ceramah, Bhante Kheminda pernah menggunakan sebuah ilustrasi untuk menjelaskan hal ini. Katakanlah ada seseorang yang memiliki sebuah laptop. Laptop tadi biasanya dipakai untuk menyampaikan ceramah Dhamma, membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, atau melakukan perbuatan baik lainnya.
Alhasil, laptop tadi bisa menjadi Kamma Nimitta. Jika di detik terakhir kehidupan orang tadi, citra yang muncul adalah “laptop”, maka hal ini menjadi tanda bahwa yang bersangkutan akan terlahir di alam yang bahagia.
Namun, beda kasusnya kalau laptop tadi merupakan hasil curian. Dengan demikian, laptop tadi menjadi Kamma Nimitta yang memperlihatkan munculnya potensi alam kelahiran yang menyedihkan.
Makanya, kalau ada seorang pencuri laptop yang jelang kematiannya tiba-tiba terbayang citra “laptop” yang pernah dicurinya, maka yang bersangkutan bakal terlahir di alam-alam rendah.
3. Gati Nimitta
Gati Nimitta adalah “tanda alam kelahiran”. Berbeda dengan Kamma Nimitta yang sifatnya cenderung simbolis, Gati Nimitta memperlihatkan gambaran alam kehidupan berikutnya secara lebih tegas. Di dalam sutta terdapat sebuah cerita yang dapat menggambarkan konsep Gati Nimitta.
Cerita yang dimaksud ialah Gati Nimitta yang dialami oleh Dhammika. Dhammika adalah upasaka yang saleh. Semasa hidupnya ia gemar berdana dan berbuat baik. Ia terus mengamalkan Ajaran Buddha hingga akhir hidupnya.
Jelang kematiannya Dhammika didatangi oleh beberapa “kereta surgawi”. Karena mempunyai “deposito kamma baik” yang berlimpah, maka ia bebas memilih alam surga mana yang ingin ditujunya. Alhasil, ia pun memilih Surga Tusita sebagai tempat kelahirannya (Dhammapada 16).
“Kereta surgawi” yang dilihat oleh Dhammika merupakan wujud Gati Nimitta. Citra ini sudah cukup jelas, sehingga siapapun yang melihatnya jelang kematian bakal terlahir di alam yang bahagia. Demikian pula perwujudan alam kelahiran lainnya. Semuanya bisa dikenali dengan jelas jika yang muncul jelang kematian ialah Gati Nimitta.
***
Walaupun konsep tentang kematian dibahas secara terperinci dalam Ajaran Buddha, namun, sesungguhnya tidak ada yang betul-betul bisa menembusinya secara langsung, kecuali kalau memang sudah waktunya. Oleh sebab itu, boleh dibilang, kematian masih begitu “misterius”.
Dengan demikian, daripada repot membayangkan peristiwa yang bakal terjadi jelang kematian, lebih baik, kita menggunakan waktu yang masih kita punya untuk melakukan semua hal baik yang bisa dilakukan. Mulai dari mengembangkan kemurahan hati, melaksanakan sila, dan melatih meditasi.
Jika semua hal baik tadi dilaksanakan, maka ketakutan terhadap kematian bisa berkurang. Ibarat seorang pengembara yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, kalau seseorang mempunyai banyak “bekal kebajikan”, maka semuanya akan berlangsung dengan lebih mudah.
Demikian pula, orang yang sudah “menabung” banyak kebaikan dalam hidupnya berpeluang besar menyambut kematian tanpa rasa khawatir yang berlebihan.
Salam.
The post Inilah 3 Kondisi Mental yang Bakal Muncul Jelang Kematian appeared first on BuddhaZine.