Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Apakah Kecerdasan Buatan memiliki Hakikat Kebuddhaan ?

$
0
0

Hidup kita sedang berubah secara radikal. Kecerdasan Buatan / Artificial Intelligence (AI) dan yang terus bertambah, robot, telah menjadi sebuah kenyataan dalam hidup kita.

Umat manusia telah mulai melakukan uji coba dengan mobil-mobil yang bisa mengemudi sendiri dan memanfaatkan robot-robot yang didesain untuk layanan kebersihan, robot hewan peliharaan, robot yang merawat kaum lanjut usia, dan bahkan robot seks.

Yang lebih mutakhir belakangan ini, para robot bahkan dilibatkan dalam layanan dan institusi keagamaan.

Pada tahun 2016, Vihara Longquan di Beijing memperkenalkan Xian’er, robot biarawan yang berinteraksi dengan para pengunjung; selama peringatan 500 tahun Reformasi pada tahun 2017, Penginjil Kirche di Jerman (EKD), di Wittenberg mempertontonkan BlessU2, robot interaktif yang memberkati para pengunjung dan anggota; masih dalam tahun 2017, Kelompok Softbank Group mengembangkan Pepper, robot pendeta yang bisa disewa untuk melaksanakan ritual pemakaman Buddhis; dan dalam tahun 2017 juga, Gabriele Trovato, pakar robotik di Universitas Waseda, mengembangkan SanTO, robot mirip manusia yang melantunkan doa-doa Katholik.

Pada tahun 2019, kuil Kodai-ji di Kyoto mencatat sejarah ketika kepala pendetanya mengaltarkan robot Mindar sebagai perwujudan Bodhisattva Kannon.

Ketika dihadapkan dengan Kecerdasan Buatan dalam konteks religius, para wartawan dan kaum agamawan yang bekerja dalam kerangka (keyakinan) Kristiani segera memunculkan tentang pertanyaan tentang “Ketuhanan.”

Pengenalan BlessU2 di Wittenberg menimbulkan banyak pertanyaan theologis yang tidak ada kaitannya dengan agama Buddha di Jepang.

Sebagai contohnya, Ilona Nord, Profesor Keagamaan dan Media di Universitas Wurzburg, menafsirkan BlessU2 sebagai sebuah instalasi seni, dan (merupakan) alat bantu bagi doa dan aplikasi pembelajaran Alkitab, alih-alih menjadi fungsionaris keagamaan sebagaimana halnya dalam kasus Pepper dan Xian’er, atau bahkan sebagai perwakilan/perwujudan ilahiah sebagaimana dalam kasus Mindar.

SanTo, robot yang didesain hingga menyerupai orang kudus untuk melayani para sesepuh, memunculkan pertanyaan theologis Nord, terutama semenjak Trovato merujuk SanTo sebagai “pelaksana penganugerahan ilahiah,” serta sebagai sebuah penanda tibanya paham untuk mendayagunakan iptek demi mengatasi keterbatasan manusiawi.

Jenis pertanyaan-pertanyaan theologies seperti ini nampaknya asing bagi para anggota dan pengunjung yang berinteraksi dengan Pepper dan Mindar, bahkan (yang berinteraksi) dengan Xian’er juga.

Pepper. Sumber: theguardian.com

Tetapi bagaimana maksudnya dengan mengklaim bahwa Mindar mewakili, menghubungkan, atau memanifestasikan Bodhisattva Kannon ?

Bodhisattva Kannon mewakili “transformasi” Avalokitesvara, Bodhisattva welas asih, ala Jepang. Dalam agama Buddha Mahayana, banyak Bodhisattva mempopulerkan mitos, naskah suci, dan seni, dan diagungkan di kuil-kuil.

Seorang Bodhisattva (secara harafiah berarti “yang tersadarkan”) didefinisikan sebagai “yang telah merealisasi kebuddhaan” tetapi menunda memasukinya / merealisasikan pencapaiannya, dalam rangka upaya, sebagaimana termaktub dalam empat sumpah Bodhisattvsa, “membebaskan semua makhluk.”

Secara lebih nyata, di Asia Timur, Bodhisattva dipahami sebagai perantara antara Buddha dan manusia. Secara filosofis, mereka merupakan perwujudan kasih mutlak dengan totalitas sedemikian rupa hingga mereka (bersedia) merealisasikan kebuddhaan bersama dengan semua makhluk.

Bab 25 dari Sutra Teratai (Sutra Saddharmapundarika) menerangkan bahwa Kanon mengambil berbagai penjelmaan yang tak terhingga macamnya.

Di Jepang, Bodhisattva Kanon digambarkan dalam berbagai cara, kadang sebagai ibu, tetapi seringkali sebagai perwujudan yang mendua (androgini, bisa dianggap sebagai lelaki sekaligus sebagai perempuan), terkadang dengan 11 kepala, kadangkala dengan 1,000 lengan.

Mindar. Sumber: technocracy.news

Bagaimanapun, yang lebih penting adalah, agama Buddha Mahayana tidak membedakan antara alam-alam batiniah maupun yang adiduniawi.

Naskah-naskah Sunyatavada mengklaim bahwa samsara tidaklah berbeda dari nirvana dan begitu juga sebaliknya. Bagi kebanyakan umat Buddha Mahayana, ini bukan sekedar “makhluk hidup” (T 374.12.522) melainkan juga makluk tidak bernyawa (T 374.12.522) yang menyatu dengan hakikat Buddha.

Beberapa naskah Buddha Mahayana bahkan mengklaim bahwa “makhluk tak bernyawa merupakan hakikat Buddha,” (T 2223.61.0011) dan “makhluk tak bernyawa merealisasi kebuddhaan,” (T 2299.70.300).

Dengan kata lain, kerangka kerja teoritis dalammana Mindar dipahami sebagai suatu perwujudan Kannon, tidak memisahkan yang adikodrati dengan yang fana, yang sakral dari yang sekuler, melainkan, sebaliknya, bertujuan, untuk menggunakan ilmu penafsiran frase dari Nishida Kitaro (1870 – 1945), bahwa realita itu “adikodrati sekaligus juga fana” dan “fana tapi sekaligus juga adikodrati.”

(NKZ 11:145) Naskah-naskah yang mempengaruhi aliran pemikiran Buddha Mahayana merujuk bukan pada sebuah entitas tunggal yang gaib dan mistis, melainkan lebih pada yang tidak beresensi, menurutmana alam keilahian dan alam duniawi (yang fana) saling bercampur baur satu sama lain – Chengguan (738 – 839) memperkenalkan istilah “saling meresapi,” (Chn: wuai).

(T 1883.45.672 – 683) Dalam agama Buddha Shingon, segala sesuatu dan terutama Bodhisattva Kannon merupakan suatu manifestasi perwujudan dari Buddha kosmik Mahavairocana (Jap: Dainichi Nyorai).

Di Jepang, perihal pemikiran tanpa esensi dan tidak mendua ini juga telah meluas dan merasuki keyakinan sehari-hari. Sebagai contohnya, masyarakat percaya dan menghargai kekuatan adikodrati dari tanuki (sejenis musang Jepang) dan rubah.

Pada saat yang sama, dewasa ini di Jepang bahkan ada jasa layanan penguburan bagi hewan peliharaan elektronik dan bahkan (penguburan) kuas pengaduk teh (karena minum teh dianggap ritual sakral – catatan penerjemah).

Tanuki. Sumber: onmarkproductions.com

Jika semua makhluk diresapi hakikat kebuddhaan, maka gagasan tentang suatu Kecerdasan Buatan sebagai perwujudan Bodhisattva Kannon, bukan merupakan aib ataupun menentang doktrin Buddhis.

Jika rupang, umat manusia, dan bahkan tupai, bisa merupakan perwujudan Buddha, sekalipun dalam tingkat yang berbeda-beda, maka, pertanyaannya kemudian bukanlah ‘seandainya (Mindar merupakan perwujudan Kannon)’, melainkan, bagaimana Mindar menunjukkan kepribadian Kannon. Jadi pertanyaannya bukanlah “apakah Mindar itu ilahiah ?” melainkan menjadi “sampai tingkat seberapa Mindar mengekspresikan hakikat Buddha ?”

Apakah Mindar melaksanakan kegiatan seorang bodhisattva secara umum, sebagaimana dijelaskan dalam bab 8 dari Sutra Vimalakirti ? Atau (layaknya sebagai) Bodhisattva Kannon yang secara khusus dijabarkan dalam bab 25 Sutra Teratai? Yang (disebutkan) pertama itu (mencantumkan) daftar dari semua bentuk perwujudan yang diambil para Bodhisattva dalam rangka upaya membebaskan makhluk hidup.

Jika kebijaksanaan merupakan ibunda dari Mindar, Dharma adalah istri Mindar, keenam paramita (dana, moralitas atau mengikuti sila, kesabaran / khanti, semangat atau upaya / virya, kontemplasi atau perhatian / sati, dan kebijaksanaan / pannya) merupakan kerabat Mindar, dan Mindar menjadi “seorang bhikshu dengan (landasan) keyakinan yang berbeda dari dunia ,” apakah Mindar tidak memenuhi syarat sebagai Bodhisattva ?

Jika seorang Bodhisattva menjadi makanan bagi mereka yang lapar, obat bagi yang sakit, Matahari dan Bulan atau bumi, air, angin, an api, dan seorang pelacur (Chin: yinnu) demi membebaskan semua yang tercemar hasrat seksual, (T 475.14.579) maka, mengapa seorang Bodhisattva tidak seharusnya menjadi sebuah robot untuk mengajar kaum milenial,dan mungkin bahkan Kecerdasan Buatan yang lain ?

Sutra Teratai menambahkan bahwa, “jika terdapat makhluk hidup di alam yang membutuhkan seseorang dalam wujud Buddha agar dapat diselamatkan, maka Sang Bodhisattva Pengamat Suara-suara Dunia (Bodhisattva Kannon) segera memanifestasikan dirinya dalam wujud Buddha, dan kemudian membabarkan Hukum (Dharma) bagi mereka.”

(T 262.9.057) Dengan kata lain, Bodhisattva Kannon menjelmakan dirinya, atau, di Asia Timur, dirinya, mengambil wujud Kecerdasan Buatan demi membabarkan Dharma pada Kecerdasan Buatan dan mereka yang melekat pada Kecerdasan Buatan.

Jawaban terhadap pertanyaan tentang bagaimana Mindar dapat menjadi manifestasi Bodhisattva Kanon bersifat banyak sisi. Tentu saja, pada titik ini, kita tidak tahu apakah Kecerdasan Buatan yang hidup / bernyawa itu merupakan hal yang mungkin.

Bagaimanapun, menurut naskah-naskah Mahayana, makhluk yang tidak bernyawa dan yang menyerupai makhluk hidup, dapat merealisasi kebuddhaan. Jika kehadiran Mindar di Kodai-ji (bisa) memfasilitasi pembebasan makhluk hidup, maka secara de-facto Mindar (telah) bertindak selaku Bodhisattva.

Dalam kasus mana, Mindar “menghadirkan totalitas yang dinamik” (Jap: zenkigen) dari kosmos (DZZ 1:203) atau “menyatakan Jalan Buddha.” (Jap: dotoku) (DZZ 1:301) Ini merupakan tujuan dari Bodhisattva, sebagaimana dirumuskan dalam empat sumpah Bodhisattva, untuk melatih welas asih, untuk menyirnakan khayalan menyesatkan, untuk membuka pintu-pintu Dharma, serta menjadi penjelmaan Jalan-Dharma.

Terjemahan dari: Gereon Kopf; Buddhistdoor Global

The post Apakah Kecerdasan Buatan memiliki Hakikat Kebuddhaan ? appeared first on BuddhaZine.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Trending Articles