Mungkin sudah banyak orang yang mengenal sosok Xuanzang, biksu asal Tiongkok era Dinasti Tang yang melakukan perjalanan ke barat mencari kitab suci. Kisah perjalanannya yang didramatisir dan dibumbui mitologi fiksional banyak dikenal publik lewat cerita Kera Sakti / Monkey King.
Namun kelihatannya belum banyak yang tahu mengenai sosok gurunya di India, yang didatangi Xuanzang jauh-jauh lewat perjalanan darat selama empat tahun. Namanya adalah Śīlabhadra, seorang biarawan dan filsuf. Ia paling dikenal sebagai kepala biara di Nālandā India, dan juga sebagai pakar dalam filsafat Yogācāra.
Śīlabhadra lahir dalam keluarga brahmana di Magadha. Sebagai seorang pemuda, ia pergi ke barat ke Nālandā, dan dilatih di sana oleh Dharmapāla dari Nālandā, yang juga menahbiskannya sebagai biksu. Menurut catatan Xuanzang, Śīlabhadra secara bertahap menjadi terkenal hingga ke luar India karena kepandaiannya.
Pada usia 30 tahun, setelah mengalahkan seorang brahmana dari India selatan dalam debat agama, raja bersikeras untuk memberinya pendapatan dari sebuah kota, yang diterima Śīlabhadra dengan enggan, dan dipakainya untuk membangun sebuah biara dengan nama Śīlabhadra Vihāra .
Biksu Xuanzang sendiri pada usia 33 tahun melakukan perjalanan berbahaya ke India untuk mempelajari agama Buddha di sana dan untuk mendapatkan teks-teks Buddhis guna diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok.
Xuanzang menghabiskan lebih dari sepuluh tahun di India bepergian dan belajar di bawah berbagai guru Buddhis. Guru-guru ini termasuk Śīlabhadra, Kepala Biara Nālandā, yang saat itu berusia 106 tahun. Śīlabhadra digambarkan sangat sepuh saat itu dan sangat dihormati oleh para biksu.
Xuanzang mencatat jumlah guru di Nalanda di abad ketujuh sebanyak sekitar 1.510 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.000 orang mampu menjelaskan 20 koleksi sutra dan śāstra, 500 mampu menjelaskan 30 koleksi, dan hanya 10 guru mampu menjelaskan 50 koleksi. Xuanzang termasuk di antara sedikit orang yang mampu menjelaskan 50 koleksi atau lebih. Pada saat itu, hanya kepala biara Śīlabhadra yang telah mempelajari semua koleksi utama sutra dan śāstra di Nālandā.
Di sana, Xuanzang diajari ajaran Yogācāra oleh Śīlabhadra selama beberapa tahun di Nālandā. Sekembalinya dari India, Xuanzang membawa serta gerobak berisi teks-teks Buddhis, termasuk karya-karya penting Yogācāra yakni Yogācārabhūmi-śastra. Secara total, Xuanzang membawa pulang 657 teks Buddhis dari India. Sekembalinya ke Tiongkok, ia diberi dukungan pemerintah dan banyak asisten untuk menerjemahkan teks-teks ini ke dalam bahasa Mandarin.
Menurut penerjemah India Divākara, Śīlabhadra membagi ajaran Buddha menjadi tiga putaran Roda Dharma, mengikuti pembagian yang terdapat dalam Saṃdhinirmocana Sūtra :
Pada putaran pertama, Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Mulia di Vārāṇasi bagi mereka yang berada dalam kendaraan śravaka. Hal ini digambarkan sebagai luar biasa dan indah, tetapi membutuhkan interpretasi dan kontroversi sesekali. Doktrin putaran pertama dicontohkan dalam Dharmacakra Pravartana Sutra. Pembabaran ini mewakili fase paling awal dari ajaran Buddha dan periode paling awal dalam sejarah agama Buddha.
Pada putaran kedua, Sang Buddha mengajarkan ajaran Mahāyāna kepada para Bodhisatwa, mengajarkan bahwa semua fenomena tidak memiliki esensi, tidak muncul, tidak lenyap, aslinya diam, dan pada dasarnya dalam pelenyapan. Pembabaran ini juga digambarkan sebagai hal yang luar biasa dan menakjubkan, tetapi membutuhkan interpretasi dan kontroversi. Ajaran pemutaran Roda Dharma kedua ini ditetapkan dalam ajaran Prajñāpāramitā, yang pertama kali ditulis sekitar 100 SM. Di ranah filosofi India, itu dicontohkan oleh filsafat Madhyamaka dari Nagarjuna .
Di putaran Roda Dharma ketiga, Sang Buddha mengajarkan ajaran mirip dengan pemutaran kedua, tetapi untuk semua orang di tiga kendaraan, termasuk semua Śravaka, Pratyekabuddha, dan Bodhisatwa. Ini dimaksudkan untuk menjadi ajaran yang sepenuhnya eksplisit dalam seluruh detailnya, yang interpretasinya tidak diperlukan, dan tidak mengandung kontroversi. Ajaran-ajaran ini terdapat di Saṃdhinirmocana Sūtra yang muncul sejak abad ke-1 atau ke-2 Masehi. Dalam aliran filosofi India, pemutaran ketiga dicontohkan oleh filsafat Yogācāra dari Asaṅga dan Vasubandhu.
Śīlabhadra menganggap ajaran dari pemutaran ketiga (Yogācāra) sebagai bentuk tertinggi ajaran Buddha, karena sepenuhnya menjelaskan Trisvabhāva (tiga hakikat). Namun guru Mādhyamaka yang bernama Jñānaprabha secara khusus menentang gagasan ini dan menganggap ajaran Yogācāra berada di bawah Mādhyamaka, karena ajaran tersebut (konon) menempatkan keberadaan batin yang sesungguhnya.
Menurut versi film Xuanzang tahun 2016, tiga tahun sebelum bertemu Xuanzang, Śīlabhadra bermimpi bertemu tiga Maha Bodhisatwa, yakni Avalokiteśvara, Maitreya, dan Manjushri yang mengatakan bahwa akan ada biksu dari Tang yang belajar Dharma dengannya. Sehingga, meski sudah berusia di atas satu abad, ia masih bersemangat hidup.
Secara historis, Śīlabhadra dikenal sebagai penyusun teks Buddhabhūmivyākhyāna, yang sekarang sayangnya hanya ada dalam terjemahan bahasa Tibet.
The post Śīlabhadra, Guru Besar Nalanda yang Dicari dalam Perjalanan ke Barat appeared first on BuddhaZine.