Minggu pagi tanggal 7 November 2021 menjadi sebuah hari istimewa, pasalnya pada hari tersebut terukir sebuah momen sejarah baru bagi umat Buddha Kabupaten Kayong Utara khususnya para siswa Sekolah Minggu Buddha. Harumnya dupa yang memberikan efek terapi dan lantunan Paritta yang menggema membuat suasana terbalut dalam energi positif yang damai dan tenang. Hari itu untuk pertama kalinya mereka merayakan Kathina di daerahnya. Selama ini belum pernah ada kegiatan ritual dan perayaan Kathina dalam sejarah Kabupaten Kayong Utara bahkan sejak republik ini berdiri. Semesta juga mendukung di momen bersejarah tersebut, cuaca yang biasa panas atau hujan namun hari itu cuaca begitu nyaman, tidak hujan juga tidak panas sehingga acara berjalan lancar.
Bertempat di aula Vihara Dewi Kwan Im, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir, para siswa SMB dari tiga kecamatan berkumpul dengan seragam kuning terang kebanggaan mereka. Wajah ceria, semangat dan senyum terlihat menghiasi suasana sukacita di antara para generasi emas umat Buddha masa depan. Keakraban dan kebersamaan begitu terlihat diantara mereka. Antusias mereka untuk merayakan Kathina sudah bergejolak sejak jauh hari. Sejak seminggu sebelumnya mereka memunculkan tekad dan memupuk semangat untuk berdana kepada Bhante. Mereka sibuk mencari dan menetukan barang yang akan di danakan karena sudah dianjurkan untuk tidak berdana uang. Barang-barang yang mereka pilih segera dikemas dalam bentuk kado atau parsel dengan hiasan agar terlhat indah dan menarik.
Dibawah koordinasi penyuluh agama, para guru dan simpatisan akhirnya acara Sanghadana Kathina dapat terlaksana. Acara diawali dengan pujabhakti, meditasi, pesan Dhamma, Sanghadana dan menyanyikan lagu bertema Kathina kemudian ditutup dengan makan bersama. Energi positif begitu terasa ditengah nuansa nan bahagia. Rasa gembira dan haru berkecamuk dalam hati ketika melihat para siswa berduyun-duyun memberikan persembahan kepada Bhante. Diusia mereka yang masih belia telah tertanam semangat dan benih kebajikan dalam praktik berdana dan memberi penghormatan kepada Sangha. Mereka adalah generasi emas untuk agama Buddha di masa depan. Mereka perlu sentuhan dan polesan untuk menjadi pewaris Dhamma penjaga Buddha Sasana.
Momen ini semakin istimewa karena Y.M. Bhikkhu Upasamo Thera selaku Sangha Nayaka Sangha Theravada Indonesia Provinsi Kalimantan Barat yang sekaligus menjadi Pembina Yayasan Dhamma Giri Kayong Utara berkenan hadir di hari bersejarah tersebut. Kehadiran beliau menjadi pemantik semangat bagi para siswa, umat dan pejuang Dhamma di Kayong Utara.

Makna Kathina
Setiap bulan Oktober sampai dengan November umat Buddha di manapun berada secara serentak dapat mengikuti perayaan Kathina yang diselenggarakan di berbagai vihara. Ciri utama perayaan Kathina adalah berdana kepada Sangha. Sejak jaman Sang Buddha masih hidup seluruh umat perumahtangga ikut berperan aktif dalam perayaan ini. Mereka berperan aktif dengan mempersembahkan dana berupa empat kebutuhan pokok para bhikkhu. Keempat kebutuhan pokok ini adalah kebutuhan bhikkhu akan makanan, jubah, tempat tinggal serta obat-obatan.
Secara harfiah, berdasarkan kamus bahasa Pali-Inggris oleh TW Rhys Davids, William Stede, kata “kathina” (Pali, Sanskerta: Kaṭhina) berarti keras, kuat, kaku. Kata ini kemudian digunakan untuk menyebut bingkai kayu yang digunakan untuk menjahit jubah bhikkhu, juga untuk menyebut kain yang terbuat dari bahan katun – kemungkinan karena sifat bahan katun yang kuat. Pada masa kehidupan Sri Buddha, di luar persembahan dari umat, para bhikkhu menggunakan jubah yang berasal dari kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang di dalam hutan.
Perayaan Kathina sering salah diartikan sebagai Hari Kathina, seperti dalam ucapan ”Selamat Hari Kathina”. Pada kenyataannya apa yang disebut dengan Kathina merupakan masa atau waktu selama sebulan penuh. Oleh karena itu tidak tepat jika disebut dengan perayaan “Hari Kathina” yang mengacu pada perayaan pada masa selama 1 hari. Ucapan “Selamat Kathina” atau “Selamat Merayakan Kathina” bisa menjadi alternatif untuk memberikan ucapan.
Perayaan Kathina dilaksanakan antara bulan Assayuja (Skt: Āśvina) hingga bulan Kattika (Pali: Kattikā; Skt: Kārttika) dalam penanggalan kalender Buddhis, yaitu setelah 3 bulan sejak awal vassa (retret musim hujan) para bhikkhu pada bulan Asadha (Pali: Āsāḷha; Sanskerta: Āṣāḍha). Pengucapan pada awal kata yang hampir sama antara “kathina” dengan “kattika” membuat sebagian orang mengalami kerancuan sehingga sering menyebut kathina sebagai nama bulan. Kenyataannya, dalam penanggalan Buddhis maupun India kuno tidak ada nama bulan Kathina, tetapi yang ada adalah bulan Kattika.(https://berita.bhagavant.com/2014/10/20/5-hal-tentang-kathina-yang-mungkin-belum-anda-ketahui.html).
Secara umum makna dari perayaan Kathina adalah berdana kepada Sagha sebagai wujud bakti dan penghormatan atas praktik Dhamma. Kathina juga dapat dimaknai sebagai upaya melestarikan Buddha Sasana agar dapat terus memberikan manfaat bagi para dewa dan manusia. Ketika masih ada Sangha yang mempraktikan Dhamma dan Vinaya maka kelangsungan Buddha Sasana masih punya harapan. Ketika Sangha monastik kokoh dalam Dhamma dan Vinaya maka kesempatan bagi perumahtangga untuk memperoleh manfaat dari Buddha Sasana terbuka lebar. Oleh karena itu hubungan timbal balik yang erat antara Sangha monastik (pabbajita) dan perumahtangga (gharavasa) sangat berperan besar untuk menjaga kelestarian Buddha Sasana.
Disisi lain upaya melestarikan Buddha Sasana perlu dilakukan melalui transimi ajaran untuk mewariskan Dhamma dari generasi ke generasi. Dalam hal ini peran dan tanggungjawab Sangha dan umat perumahtangga sangat dibutuhkan guna memastikan bahwa ajaran Buddha dapat terus dipelajari dan dipraktikan oleh generasi ke generasi untuk waktu yang lama. Bila Buddha Sasana dapat bertahan lama maka semakin banyak makhkluk yang dapat memperoleh manfaat dari ajaran Buddha.

Aset dan Investasi Masa Depan
Aset yang paling besar bukanlah megahnya gedung vihara dengan taman, stupa, pagoda bahkan danau buatan di halaman vihara. Namun aset yang paling berharga adalah generasi muda sebagai penerus dan penjaga Buddha Sasana. Tanpa adanya generasi penerus maka kelestarian ajaran Buddha akan pupus dan vihara yang megah hanya menjadi museum sebagai bukti sejarah masa lalu. Betapa banyaknya aset fisik megah yang menjadi bukti sejarah kejayaan Buddha Dhamma Nusantara di masa lalu yang kini hanya berdiam bisu. Betapa banyak rupaka Buddha dan Bodhisatva di masa lalu menjadi obyek puja yang diagungkan namun kini hanya menjadi penghuni museum dan hiasan taman. Betapa banyak candi dan vihara dimasalalu menjadi pusat belajar dan praktik Dhamma kini hanya menjadi tempat wisata. Fakta demikian perlu menjadi perenungan bersama untuk berbuat sesuatu demi Buddha Dhamma di masa depan. Ini bukan kemelekatan terhadap ajaran namun tanggungjawab moral untuk generasi mendatang, agar agama Buddha tidak hanya menjadi peninggalan jejak sejarah bangsa ini.
Aset masa depan agama Buddha di Kabupaten Kayong Utara adalah siswa Sekolah Minggu Buddha. Mereka merupakan aset yang sangat berharga bagi agama Buddha. Merekalah yang akan mewarisi Dhamma dan meneruskan estafet perjuangan untuk melestarikan Dhamma di masa depan agar Buddha Dhamma dapat terus memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi banyak pihak sebagaimana niat awal Buddha mengajarkan Dhamma. Guna memastikan agar Buddha Dhamma terus lestari di Kabupaten Kayong Utara maka perlu usaha dan investasi jangka panjang untuk masa depan. Salah satu solusinya adalah mendirikan Yayasan Dhamma Giri sebagai wadah perjuangan dan investasi bagi masa depan agama Buddha di Kayong Utara. Disini peran keluarga, vihara dan sekolah sangat dibutuhkan untuk memastikan generasi Buddhis tidak terputus di masa depan.

Yayasan Dhamma Giri Kayong Utara
Yayasan Dhamma Giri Kayong Utara terbentuk sebagai wujud kepedulian dan semangat untuk berjuang dalam melestarikan dan mengembangan ajaran Buddha di Kayong Utara. Tekad untuk merawat benih-benih Dhamma yang masih ada agar dapat tumbuh berkembang mencapai kejayaan. Anak-anak Buddhis di Kayong Utara laksana benih-benih berharga yang perlu di jaga dan dirawat agar menjadi generasi penerus agama Buddha di masa depan. Secara kuantitas memang tidak banyak jika dibandingkan dengan wilayah lain. Justru karena tinggal sedikit maka perlu dirawat dan dipertahankan agar tidak punah. Cara terbaik untuk menjaga generasi ini adalah melalui jalur pendidikan. Menyadari kenyataan ini maka Yayasan Dhamma Giri menjalankan program prioritas utamanya adalah di bidang pendidikan.
Yayasan Dhamma Giri mengelola satu Cetiya dan tiga Sekolah Minggu Buddha di Kabupaten Kayong Utara. Cetiya Dhamma Giri di Kota Sukadana, SMB Mahabodhi di Kota Sukadana, SMB Obhasati di Kecamatan Simpang Hilir dan SMB Pubbakari di Kecamatan Teluk Batang. Bekerjasama dengan Yayasan Be Good Jakarta, kini Yayasan Dhamma Giri memiliki empat orang Guru Agama Buddha yang bertugas di Kabupaten Kayong Utara untuk melakukan pembinaan siswa-siswi Buddhis.
Mimpi yang ingin diwujudkan oleh Yayasan adalah dapat menyediakan fasilitas pendidikan dan pelayanan umat dalam bentuk Pusdiklat atau sekolah Buddhis sebagai sarana untuk menjaga kelestarian ajaran Buddha di Kabupaten Kayong Utara. Jalinan historis Bumi Tanjungpura dengan Buddha Dhamma menjadi spirit kuat untuk mewujudkan mimpi luhur tersebut.
The post Pertama Kalinya Perayaan Kathina Di Kayong Utara appeared first on BuddhaZine.