Profesor Paola Muti adalah seorang ilmuwan medis dan tokoh terkemuka di dunia dalam bidang epidemiologi kanker dan pencegahan kanker. Sebelumnya, ia merasa ada mata rantai (missing link) yang hilang dalam pendekatan penyakit ini. Menurut dia, ada penyebab kanker yang lebih, di samping faktor lingkungan. Dia berasal dari Italia dan tinggal di Kanada tetapi menemukan jawaban atas pertanyaannya itu, dari Candi Borobudur.
Hal itu dituturkan lewat tulisannya dalam buku bunga rampai berjudul “Borobudur: Buddha’s Garden of Peace and Healing” terbitan SpaceCreate Independent Publishing Platform (2017). Buku ini menampilkan lebih dari 50 kisah spiritual para murid Lama Gangchen Rinpoche [1941-2020].
“Bagi saya, Borobudur merupakan langkah final di jalan yang panjang, dan pada saat yang sama itu adalah langkah pertama di jalan selanjutnya,” tulis sangat profesor.
Perempuan kelahiran 1956 itu mengaku telah bekerja dalam sebagian besar hidupnya di bidang pengetahuan ilmiah yang berkaitan dengan penyebab kanker. Paola Muti melihat risiko populasi, hubungannya dengan faktor lingkungan, dan juga dengan faktor gaya hidup seperti diet, aktivitas fisik, faktor metabolisme, dan glukosa.
“Dan saya menyadari bahwa hubungan antara faktor lingkungan dan tubuh tidak menjelaskan segalanya. Jika Anda melihat misalnya hubungan antara perokok dan kanker paru-paru, tidak semua perokok terkena kanker, meskipun dari seratus pasien, sembilan puluh telah merokok. Saya merasa ada hal lain yang harus kita pertimbangkan,” katanya.
Pada level personal, ia mengaku selalu mencari jalan spiritual. Sains membutuhkan pikiran yang selalu penuh perhatian dan mengabdi. Namun, ia menemukan bahwa ini tidak cukup baginya. Ia benar-benar membutuhkan sesuatu yang memungkinkannya membantu orang, lebih dari sekadar memberi mereka perawatan medis, perhatian, dan nasihat.
“Dalam perawatan kanker, hubungan konstan dengan kematian adalah sesuatu yang membuat Anda bertanya-tanya tentang kehidupan dan kehidupan orang lain. Anda berbicara dengan seseorang dan Anda tahu bahwa dalam beberapa bulan dia tidak akan ada di sini lagi. Bagaimana saya bisa menggunakan kesadaran ini dengan cara yang positif untuk orang itu dan diri saya juga?” tulisnya.
Awalnya, ia mengaku mencoba mencari jawaban ini lewat agama monoteistik. Tetapi, fakta bahwa di situ ada iman untuk harus memercayai sesuatu tanpa bertanya, tidak sesuai dengan pola pikirnya. Terlebih, sebagai peneliti, ia selalu mencari sebab dan akibat. Kemudian ia mulai menganggap dirinya sebagai seorang ateis. Tapi jauh di lubuk hatinya, masih ada sesuatu yang dipertanyakan. Bahkan sejak ia masih kanak-kanak, ia selalu tidak puas dengan berbagai peristiwa kehidupan, ia membutuhkan jawaban.
Jadi ia lantas melanjutkan pencariannya dan ia mulai mempelajari semua jenis tradisi filsafat, seperti pemikiran para filsuf Yunani, untuk mencari solusi bagi berbagai pertanyaan dalam otaknya.
“Akhirnya saya menemukan guru Buddhis berbahasa Italia ini, Lama Michel [murid Lama Gangchen], di Internet! Dia bahkan memiliki aksen Genova, karena penutur asli bahasa Portugis yang berbicara bahasa Italia terdengar persis sama dengan orang-orang dari daerah asal saya. Jadi saya mulai mendengarkan pengajarannya, dan tidak lama kemudian, saya sangat terpesona sehingga saya tidak sabar untuk pulang setelah bekerja untuk mulai mendengarkan lagi. Sementara saya mendengarkan, saya menyusun ide dan penjelasan yang berbeda. Rasanya seperti menyusun teka-teki saya. Filsafat Buddhis menyediakan mata rantai yang hilang dengan sains,” tutur dia.
Akhirnya, pada tahun 2014, ia memutuskan pergi ke Albagnano, Italia, untuk pertama kalinya, ke pusat meditasi Lama Ganchen Rinpoche. Selanjutnya, setelah mempelajari Buddhadharma, di tahun 2016, bersama pada Buddhis dari Italia, ia ikut perjalanan ke Borobudur untuk kali pertama, dibimbing Lama Gangchen dan Lama Michel. Setelah berada di sana, ia menyadari bahwa itu adalah akhir dari pencarian spiritualitasnya.
“Berada di stupa pada hari pertama, pertama-tama saya terpesona oleh struktur bangunan, patung-patung, sekitarnya. Saya terpesona oleh lingkungannya,” ungkap Prof Muti.
Selanjutnya, di hari kedua, ketika ia duduk dan melakukan meditasi di Borobudur, ia merasa seperti berada di pusaran air. Dan di hari ketiga, ia benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda, seperti kehadiran, getaran, dengan nuansa warna ungu.
“Saya seperti berada di lingkungan yang energik. Dan energi itu tidak meninggalkan saya saat saya berjalan di sekitar stupa. Ketika kami tiba di puncak saya merasa benar-benar lelah, tetapi tidak cara fisik. Tidak ada lagi pikiran… itu sangat magis,” ungkapnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengaku bisa melepaskan segalanya. Ia bisa tidur nyenyak setelah lima tahun melalui malam-malam yang penuh kegelisahan. Akhirnya, semua kecemasannya hilang.
“Jadi Borobudur adalah obat bagi saya, saya merasa jauh lebih baik ketika saya di sana. Itu adalah pengalaman yang sulit dan kuat, tetapi semakin banyak waktu yang berlalu di sana, semakin saya merasa terhubung,” ungkap dia.
Sebelum bisa bepergian ke Borobudur, ia mengaku sudah sangat senang menemukan Lama Michel di Internet yang dianggapnya sebagai kekuatan pendorong utamanya. Itu menurutnya semacam kebahagiaan rasional, karena bisa memasukkan kepingan puzzle yang hilang ke dalam teka-teki di otaknya. Tapi sekarang ia merasa terhubung pada tingkat yang jauh lebih dalam, dengan Lama Michel dan juga Lama Gangchen. Susunan teka-teki hidupnya terjawab sejak mengunjungi Borobudur.
“Ketika saya melakukan meditasi harian, saya meneteskan air mata akan kedalaman semua ini. Saya merasa menjadi bagian dari alam semesta, tidak lagi terisolasi. Bukan dengan kesombongan saya mengatakan ini: Saya tahu bahwa apa pun dapat terjadi pada saya dan saya mungkin menderita, tetapi saya bahagia sekarang.”
The post Prof Paola Muti: Perjumpaan dengan Borobudur Menjawab Berbagai Misteri Kehidupan appeared first on BuddhaZine.