Dua tahun belakangan, karena tuntutan pekerjaan, saya tenggelam dalam kajian neurosains dan filsafat. Banyak hal yang membuka mata saya. Beberapa tulisan sudah diterbitkan di http://www.rumahfilsafat.com dan beberapa jurnal. Tahun depan, ada tawaran mendadak untuk memberikan beberapa materi terkait soal serupa.
Neurosains adalah kajian ilmiah tentang hubungan antara otak, kompleksitas sistem saraf dan hidup manusia secara keseluruhan. Kajian ini dimulai pada akhir abad 20, dan meledak di awal abad 21, sampai sekarang. Begitu banyak eksperimen dilakukan. Banyak hal baru yang ditemukan, atau pandangan lama yang mengalami pembuktian.
Saya sendiri tidak tertarik pada eksperimen neurosains di laboratorium. Itu terlalu kering dan membosankan untuk saya. Saya lebih tertarik pada dampak dari temuan kajian-kajian neurosains pada hidup manusia secara umum. Sebagai praktisi Zen full time, temuan-temuan tersebut sungguh sangat mencerahkan.
Dunia Seolah-olah
Yang paling menarik adalah soal kenyataan. Apa yang kita sebut kenyataan bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Ia adalah sebuah model yang diciptakan oleh otak. Model tersebut terbatas pada kemampuan otak manusia, dan dari organ-organ yang menopangnya, yakni panca indera dan sistem saraf yang kompleks.
Konsekuensinya, warna, bentuk dan bau yang kita cium bukanlah kenyataan. Itu semua adalah ciptaan dari otak dan sistem-sistem yang menopangnya. Kenyataan yang sebenarnya tak berwarna, berbentuk dan berbau. Kita tak bisa sungguh memahaminya dengan akal budi, karena itu di luar jangkauan kemampuan kita sebagai manusia.
Otak manusia juga adalah organ yang selektif. Ia menerima banyak informasi. Dengan bekal informasi yang ada, otak kita memilih apa yang paling relevan. Dari situ, model dari kenyataan pun dibentuk. Kita menyebutnya sebagai “realitas”.
Mengapa otak melakukan itu? Seperti segala yang ada di dalam tubuh manusia, semua ditujukan untuk pelestarian diri (survival). Evolusi jutaan tahun telah membuat manusia menjadi mahluk multisel yang sangat kompleks. Gambaran tentang kenyataan, sebagaimana dibuat oleh otak dan berbagai sistem yang menopangnya, adalah hasil dari kompleksitas tersebut.
Cerita-cerita
Otak juga bekerja dengan membangun cerita. Ia membangun cerita tentang dunia. Ia membangun cerita dengan warna, bentuk dan bau tertentu. Semua ini khas manusia. Hewan, dengan struktur otak dan sistem saraf yang berbeda, memiliki gambaran kenyataan yang berbeda.
Salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang keberadaan ego, atau diri. Otak membuat cerita, bahwa setiap orang adalah ego yang mandiri satu sama lain. Ada perbedaan mendasar antara satu orang dengan orang lainnya, atau antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Cerita tentang ego, yang sesungguhnya hanya ilusi, inilah yang menjadi akar derita dan perang sepanjang sejarah manusia.
Cerita lain adalah soal waktu. Otak membuat setiap kejadian seolah linear, yakni terjadi berurutan. Ada awal, tengah dan akhir. Ini juga bukan kenyataan, melainkan hanyalah “model” kenyataan yang dibuat oleh otak dengan berbagai sistem yang menopangnya. Waktu hanyalah ciptaan otak.
Neuro(Z)en
Temuan-temuan neurosains berjalan bareng dengan tradisi Zen. Sudah ribuan tahun, Zen, dan tradisi Buddhis pada umumnya, melihat kenyataan sebagai sesuatu yang kosong. Kenyataan adalah keterbukaan total pada segala yang ada. Tidak ada ego, waktu, warna, bentuk dan bau di dalamnya. Ini bukanlah ajaran yang harus dipercaya buta, melainkan lahir dari eksperimen yang teruji nyata berulang kali.
Otak bergerak dengan membangun cerita. Cerita tersebut hanyalah model, bukanlah sesuatu yang nyata. Namun, kita kerap lupa akan hal ini. Kita mengira mimpi sebagai kenyataan, dan akhirnya terjebak, karena kebodohan kita sendiri.
Zen ingin mengajak kita semua kembali ke kenyataan. Ini berarti kembali sebelum cerita. Kita melampaui unsur-unsur biologis yang selama ini menentukan hidup kita. Kita menjadi bebas seutuhnya.
Inilah yang disebut sebagai pencerahan di dalam tradisi Zen. Orang hidup dari kesadaran atas dunia sebagaimana adanya. Ia berada di titik sebelum pikiran muncul. Ia juga berada sebelum bahasa, konsep maupun teori.
Hasilnya adalah kejernihan dan kedamaian batin yang mendalam. Kita mengalami dunia seutuhnya disini dan saat ini. Pertimbangan kita menjadi sepenuhnya obyektif, karena tidak lagi dikotori oleh kepentingan diri yang sempit. Tindakan yang tepat pun akan muncul, sesuai dengan keadaan nyata di depan mata.
Tak ada ajaran yang perlu diimani secara buta. Tak ada neraka yang perlu ditakuti. Tak ada surga palsu yang digunakan untuk menipu. Tak ada dongeng yang mesti dipercaya mentah-mentah. Tak ada ibadah yang merusak ketenangan hidup bersama.
Semua menjadi sederhana. Pikiran digunakan seperlunya. Jika tak digunakan, kita kembali ke sebelum cerita, yakni sebelum pikiran. Kejernihan dan kedamaian akan datang berkunjung.
Jika lapar, maka kita makan. Jika lelah, maka kita beristirahat. Jika ada orang susah, maka kita membantunya semampu kita. Inilah kebijaksanaan yang berpijak pada ilmu pengetahuan: Kebijaksanaan ilmiah untuk manusia abad 21.
The post Neuro(Z)en: Menjadi Bijaksana secara Ilmiah appeared first on BuddhaZine.