Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Umat Buddha di Buleleng Rayakan Waisak Berbalut Budaya dan Tradisi Bali

$
0
0

Ratusan umat Budha di Vihara Giri Manggala, Desa Alasangker, Kabupaten Buleleng, Bali, merayakan Hari Suci Waisak dengan kegiatan berbalut budaya dan tradisi Bali. Sebuah akulturasi terwujud di sini.

“Akulturasi budaya di desa kami memang begitu kental, sehingga tidak ada perbedaan antara pemeluk agama satu dengan yang lain. Semua saling mengasihi dan menyayangi,” kata Ketua Vihara Giri Manggala, Romo Ketut Widiasa, di Singaraja, Kamis (11/5).

Dijelaskan, akulturasi budaya di Desa Alasangker telah terjalin sejak puluhan tahun lalu, tidak ada jarak dan batas antarumat Hindu dan Buddha di desa tersebut, karena semuanya menyatu dalam tradisi dan budaya Bali.

Romo Widiasa menuturkan, setiap perayaan Waisak, umat Buddha berkumpul bersama-sama membuat sesajen persembahan ke hadapan Buddha dibantu masyarakat sekitar yang beragama Hindu.

Bentuk dan sarana persembahan pun pada dasarnya sama dengan beberapa jenis sesajen yang lain, seperti banten yang terdiri dari buah, bunga atau canang sari, air, dupa, serta lilin. Dalam kepercayaan Hindu, banten adalah salah satu sarana persembahyangan sebagai rasa ucap syukur terhadap kebesaran Ida Sang Hyang Widhi. Dalam setiap perayaan hari suci Waisak, sesajian banten itu dinyatakan sebagai sebuah tradisi dari leluhur mereka di masa lalu.

Selain itu, masyarakat sekitar juga membantu menata vihara, selain juga menjaga keamanan dan ketertiban di vihara yang dikoordinasikan langsung oleh pecalang. Bukan hanya itu, perayaan Waisak di sore hari juga dimeriahkan dengan beberapa penampilan tarian Bali dan juga gong kebyar atau penampilan tetabuhan alat musik tradisional Bali. “Vihara punya aset alat-alat musik Bali yang dikenal dengan gamelan. Anak-anak kami memanfaatkannya untuk belajar setiap seminggu sekali,” terangnya.

Menurut Romo, sikap toleransi dan kerukunan umat di desa tersebut sejalan dengan tema perayaan Waisak tahun ini yakni Cinta Kasih Penjaga Kerukunan. “Mari bersama-sama menjaga kerukunan umat beragama. Jangan ada perbedaan di antara kita. Cinta kasih adalah dasar yang harus terus dipupuk bersama-sama,” kata dia.

Dalam kehidupan sehari-hari pun, warga selalu berdampingan saling membantu dalam setiap perayaan hari raya. “Kami selalu ikut jika desa adat menggelar upacara Ngaben massal. Kami tetap ikut ngayah dengan cara kami. Entah ikut menjadi sekeha gong atau yang lainnya,” ujarnya.

Sementara Ketua Yayasan Giri Manggala, Gede Sukada, mengungkapkan bahwa ajaran Buddha Dharma masuk ke Desa Alasangker sekitar tahun 1974. Memang sempat terjadi ketegangan di kala itu, namun lambat laun proses perjalanan kehidupan warga hingga kini justru menjadi rukun. Warga di Desa Alasangker selalu berdampingan dalam kehidupan sosiokultural.

“Kini kami sudah terbiasa, dalam satu keluarga ada yang beragama Hindu dan Buddha. Sama saja. Saya beragama Buddha, kakak saya ada yang Hindu,” ungkapnya.

Sukada mengungkapkan, pembangunan Vihara Giri Manggala di Desa Alasangker penuh dengan makna kerukunan dan kehidupan gotong royong sesama warga. Vihara ini dibangun secara bergotong-royong mulai dari mencari batu kali untuk pondasi secara mandiri di sungai terdekat, hingga mencetak batu bata juga dilakukan oleh warga setempat. 

20170512 Umat Buddha Buleleng Rayakan Waisak Berbalut Budaya Bali 2 20170512 Umat Buddha Buleleng Rayakan Waisak Berbalut Budaya Bali 3

Perjalanan Ajaran Buddha di Desa Alasangker
Di Desa Alasangker, hingga kini warganya hidup rukun dan berdampingan dengan menganut dua keyakinan. Ada yang beragama Buddha, ada juga yang beragama Hindu. Dulunya, nenek moyang mereka adalah warga Hindu, lalu terjadi konversi agama hingga sebagian dari warga di Desa Alasangker menganut agama Buddha hingga kini.

Vihara Giri Manggala bukanlah vihara tertua. Vihara ini berdiri sekitar tahun 1991. Di dekat Desa Alasangker, tepatnya Desa Petandakan, jauh sebelumnya juga sudah ada Vihara Samyang Darsana. Di Desa Penglatan juga ada Vihara Samyang Dresti.

Tiga vihara di tiga desa ini berkaitan di masa lalunya. Ajaran Buddha masuk ke Desa Alasangker dimulai sekitar tahun 1974.

Dikutip dari sebuah hasil penelitian dari Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, yang berjudul Vihara di Tengah-tengah Seribu Pura (Sebuah Studi Kasus tentang Konversi Agama dari Agama Hindu ke Agama Buddha di Desa Alasangker, Kecamatan Buleleng) oleh I Ketut Sedana Arta dan Ni Putu Rai Yuliartini mengungkapkan, ada faktor internal dan eksternal sebagai latar belakang konversi agama di Desa Alasangker.

Faktor internal, seperti untuk memperbaiki citra diri. Hal ini disebabkan yang berkonversi agama pada zaman Orde Lama adalah orang-orang yang dituding sebagai anggota PKI dan Partindo sehingga segala aktivitasnya dicurigai oleh masyarakat desa.

Kedua, kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama Hindu yang hanya berasal dari lontar dan buku-buku agama Hindu yang sulit didapatkan pada tahun 1970-an. Pada zaman itu, PHDI juga dinilai kurang dalam memberikan pembinaan ke desa-desa. Ketiga, faktor kemiskinan, kepapaan disebabkan mereka kehilangan sanak saudara yang menjadi tulang punggung keluarga.

Sementara faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi konversi agama Hindu ke Buddha yakni pengaruh dari ajaran tokoh-tokoh Buddha yang mempunyai keahlian dan kharisma. Serta kemiripan ajaran Hindu dengan Buddha, seperti ajaran hukum karma, punarbhava, serta tujuan akhir kehidupan manusia. Lembaga-lembaga agama Buddha juga memberikan kemudahan-kemudahan seperti pemberian buku-buku tentang ajaran Buddha secara gratis. (media indonesia/koran buleleng)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Trending Articles