In memoriam Putra Pertama Pandita Takrip Hadidarsana / Mbah Guru – 2
Bapak Winarno dan adik-adiknya yang memeluk iman Kristiani, sungguh sangat berbakti pada kedua orangtuanya, pasangan Pandita Takrip Hadidarsana dan Ibu Djajalien. Dari ayahnya yang keturunan Brandhal nGada, ia berhak menyandang gelar bangsawan Raden Panji. Ini karena Brandhal nGada adalah keturunan Adipati Tejakusuma V Lasem. Brandhal nGada bernama asli Kek Kambara, masih keturunan Brandhal Anggada Balik atau lebih dikenal sebagai Tan Oei Jie Sian Sieng.
Terdiri dari Raden Panji Margono, Oey Ing Kiat dan Tan Ke Wie. Semasa hidup, Raden Panji Margono tidak bersedia meneruskan menjadi adipati Lasem. Ia lebih memilih menjadi rakyat biasa. Tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa, setelah peristiwa Geger Pacinan tahun 1740 di Batavia. Raden Panji Margono mempelopori perjuangan rakyat melawan tentara VOC Belanda bersama Penduduk Tionghoa yang mengungsi ke Lasem. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Perang Kuning ini, terjadi pada tahun 1741, 1743 dan 1750.
Pada perang terakhir yang juga didukung Kyai Ali Badawi dari Lasem, Raden Panji Margono gugur dan dimakamkan di bawah pohon Tal, di Desa Dorokandang, Lasem. Adalah Raden Panji Witono, putranya yang juga anti penjajahan, meneruskan perjuangan sang ayah. Hingga nantinya, anak-cucu Raden Panji Witono secara turun temurun, meneruskan pelestarian Badra Santi.
Pada tahun 1932, Raden Panji Askun Sasongko Kusumasmara, menulis ulang Badra Santi dalam bentuk gancaran. Beliau adalah ayah dari Pandita Raden Panji Takrip Hadidarsana. Putra dari Raden Panji Karsono atau lebih dikenal sebagai Mbah Modin. Mbah Modin adalah anak Kek Kambara. Kek Kambara adalah anak kedua dari R.P. Witono yang selain Kambara menurunkan Kamsih – anak pertama dan Kamzah – anak terakhir. R.P. Kamzah inilah yang menuliskan ulang catatan bersejarah leluhur Lasem, Carita Lasem & Badra Santi pada tahun 1858.
Image may be NSFW.
Clik here to view. Image may be NSFW.
Clik here to view.
Bangsawan tanpa gemerlap duniawi
Dalam kesempatan bincang-bincang santai ketika Bapak Winarno masih sugeng, dipaparkan bahwa leluhur Lasem berbeda dengan bangsawan lainnya. Lasem tidak pernah tunduk pada VOC Belanda maupun Mataram Baru yang berdiri pascaperjanjian Giyanti tahun 1755. Itulah mengapa kemudian, pahlawan Lasem yang dikenal dengan nama Banteng Argasoka, mendapat julukan peyoratif menjadi Brandal Lasem.
Setelah ibukota dipindahkan ke sebuah panewu bernama Rembang, Lasem menjadi kota kecil yang hanya seluas wilayah kecamatan saja. Sesudahnya, kehidupan anak cucu bangsawan Lasem menjadi terlunta-lunta. Mereka menyamar menjadi petani biasa dan mengembara ke berbagai daerah di luar Lasem. Seperti ke Majakerta, Madiun, Kaliwungu-Kendal, Semarang, Cepu dan paling banyak berada di Kudus, Seren dan Sulang di wilayah Rembang.
Sebagai putra pembarep, Bapak Winarno menjumpai masa-masa sulit yang dihadapi orangtuanya sejak masih balita. Pada masa Agresi Militer Belanda II, ayahnya yang bergabung ke dalam BKR Laut, hampir saja tewas dalam perang kemerdekaan tersebut. Pada tahun 1966 sampai 1969, Bapak Winarno menjadi tulang punggung keluarga, karena sang ayah dipenjara di Kudus. Kriwikan dadi grojokan, begitulah peribahasa Jawa. Waktu itu, seorang carik dan seorang ketua ormas di Kudus, menjebloskannya ke dalam penjara dengan tuduhan menjadi anggota PKI.
“Bapak tidak pernah terlibat atau tidak pernah menjadi anggota (PKI). Kesalahan utama Bapak adalah sering mengajar piwulang jawa di Dusun Semliro-Rahtawu yang kebanyakan masih melestarikan ajaran Jawa. Bapak sering blusukan ke desa-desa mengajarkan agama Buddha dalam bahasa Jawa”, demikian penuturan Bapak Winarno menjelang akhir hayatnya.
“Bapak pernah berkata, untuk lebih baiknya, buku-buku saya dibawa Pak Rekso (U.P. Ramadharma S Rekwowardojo) saja. Agar Badra Santi dapat diselamatkan, maka yang dicantumkan sebagai penyusun bukan nama Bapak, tapi nama Pak Rekso, karena Bapak tidak pernah ingin terkenal. Lalu selanjutnya, karya Bapak dipopulerkan oleh Pak Tamat (Bhikkhu Khemasarano-peny) dari Bakaran Wetan-Juwana”, tuturnya lebih lanjut.
Tidak hanya berhenti di situ, Bapak Winarno sekali lagi harus menjumpai ayahnya dituduh kawan yang selama itu sudah dianggap adiknya sendiri. “Bapak dilebokno mbuen mergo dituduh Badra Santi iku klenik lan sesat – Bapak dimasukan penjara lagi, karena Badra Santi dianggap klenik dan sesat”.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1985 atau sesudah terbitnya Badra Santi edisi ke-2. Bapak Winarno yang waktu itu tinggal di Jakarta, segera membebaskan ayahnya yang ditahan di Polsek Lasem selama 2 minggu. Menurut penuturan Mbah Atun, wanita yang menemani dan merawat Pandita Takrip Hadidarsana di masa senjanya, “Mas Win iku atine teteg, momong adik-adikke ngasi mentas lan dadi kabeh. Mas Win mbebasno Mbah Takrip wektu dijebloske mbuen kancane sing omahe neng Desa Gedung Mulya, jalaran mung ora seneng karo Mbah Takrip”.
Image may be NSFW.
Clik here to view. Image may be NSFW.
Clik here to view.
Disiplin, hemat dan sederhana
Bapak Winarno adalah lulusan Sekolah B.1, Jurusan Ilmu Pasti (sekarang SMA Negeri 1) Semarang). Sesudahnya Ia kuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Semarang dan meraih gelar insinyur pada tahun 1968. Ia menjumpai detik-detik bersejarah saat nama universitas diganti menjadi Universitas Diponegoro oleh Presiden Sukarno.
Sejak di bangku sekolah menengah, Bapak Winarno mengisi waktu luang dengan bekerja sambilan. Salah satunya menjadi tukang foto keliling benda cagar budaya peninggalan Belanda, dan dikirimkan ke pemesannya di luar negeri. Saat kuliah, Ia menjadi supir bemo di kawasan Rejo Mulyo, Semarang dan pernah menjadi pemborong bangunan di awal lulus kuliah.
Ia meniti karir di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan sempat ditugaskan di Eropa. Saat itulah Ia berhasil menamatkan pendidikan S-2 nya di IHE Delft Institute, Belanda pada tahun 1979. Pada masa-masa awal berdomisili di Semarang, Bapak Winarno setia mengantar jemput ayahnya untuk puja bhakti di Vihara Buddha Gaya Watu Gong Semarang. Saat itu, ia menanti sang ayah yang bertemu dengan tokoh-tokoh Watu Gong dengan menunggu di Warung Watu Gong dan menikmati menu masakan vegetaris kesukaannya.
Meski telah menjadi pejabat DPU dengan keahlian khusus dalam bidang Teknik Pengairan, hidupnya tetap bersahaja. Sebagai seorang putra pertama, Ia sukses mendidik seluruh adik-adiknya taat beragama dan meraih pendidikan tinggi tanpa meninggalkan akar tradisi kebudayaan Jawa. Bukan hanya dalam karir, Bapak Winarno sangat memperhatikan keharmonisan rumah tangga adik-adiknya.
Dengan mempraktikan piwulang Badra Santi, tak pernah terdengar Bapak Winarno beserta adik-adiknya terlibat suatu pelanggaran norma susila hingga kawin cerai. Bahkan bahasa Jawa wajib dipraktikkan keluarganya, meski sanak turunnya ada yang tinggal di luar negeri sekalipun. Di tengah kesibukannya, Bapak Winarno tidak punya hobby meriah. Seperti bermain golf, tenis, bela diri dan sebagainya. Waktu luangnya habis digunakan untuk berkebun yang Ia lakukan hingga usia sepuh.
“Mas Win itu orangnya setiti dan disiplin, saya malah menganggapnya seperti ayah kandung sendiri”, ujar Widianto, adiknya nomor tujuh. Sementara Witri Setyorini putri semata wayangnya mengenang, “Bapak seperti Mbah Kung (Pandita T. Hadidarsana-peny). Beliau selalu berpesan untuk hidup sederhana, tak bosan-bosannya Bapak selalu mengingatkan, ana sithik dicukup-cukupke, ana akeh sakcukupe – kalau adanya sedikit, dicukup-cukupkan. Tetapi bila sedang ada banyak, secukupnya saja”.
KRT Sugiyanto, M.Sn atau lebih dikenal sebagai Mas Gitunk Svara, seniman dari FBS Universitas Negeri Semarang menyampaikan kenangan, “Pak Win piyayi yang lembut, lembah manah dan sungguh damai”. Sementara Gusti Ayu Rus Kartika mewakili Gamelan Mpu Santi Badra menyampaikan, “Dibalik ketegasan Pakdhe Win, beliau humoris, penuh kasih sayang dan perhatian kepada semua orang dengan tidak pilih kasih. Saat berada di samping beliau, rasanya ayem. Kalau kebanyakan orangtua itu suka menasihati atau menggurui, Pakdhe Win kersa menjadi pendengar yang baik. Petuah nasehat diselipkan dalam candaan santun dan bijak’’.
Demikianlah kemudian, generasi penerus Adipati Tejakusuma Lasem yang tersisa ini, dilepas kepergiannya dengan Kidung Puji Badra Santi. Seperti yang beliau sampaikan ketika masih sugeng, “Iku gending Kraton Lasem nalika isih ngadeg ngger”. Lalu dengan tangis haru, para pelayat melepas kepergian Bapak Winarno layaknya seorang bangsawan diiringi tetabuhan gending kemanak. “Sugeng Tindak Den Panji Pembarep. Mugi Rahayuo Sagung Dumadi. Badra Santi Begja Rahayu. Santi-Santi-Santi” (tamat).
The post Bakti Luhur Putra Pandita Buddha appeared first on BuddhaZine | Situs Berita Buddhis.