Di dunia ini, hal yang paling menyebalkan selain menunggu adalah terjebak dalam kemacetan. Entah itu kemacetan lalu lintas, kemacetan pikiran (buntu, tidak bisa berpikir jernih) dan kemacetan kehidupan (susah move on).
Aapa yang menyebalkan itu bisa muncul sekejap tanpa diduga, muncul begitu saja mengikuti hembusan angin. Dalam waktu sekejap itu, semua bisa terjadi, pikiran langsung mencerca apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Sekarang aku berada dalam situasi kemacetan-kemacetan itu…
Hampir setiap bangun tidur handphone-ku selalu berdering. Entah itu alarm yang sengaja kuatur setiap jam enam pagi, notif pesan dari berbagai media sosial seperti BBM, WA, Line, Twitter, Instagram, dan telepon.
Ya, baru saja mata ini menikmati sinar emas kekuningan yang menembus dari celah gorden, handphone-ku berdering. Aku enggan mengangkat telepon di pagi hari, bahkan ketika doa pagiku belum usai untuk mengucap syukur atas napas yang masih berhembus hingga detik ini.
“Halo Anna..” jawab seseorang dengan suara berat nan seksi. Dan, argh!! Itu suara Rico. Ada perasaan menyesal telah mengusapkan jari ke arah warna hijau di layar ponselku, sebuah nomor tanpa nama.
“Ya halo, ada apa pagi-pagi begini?” jawabku seadanya.
“Ini nomor baruku ya, disimpan nomor yang lama dihapus aja,” jawab Rico sumringah.
“Anna, pacarku jahat sekali. Kamu tidak ditelepon sama dia ‘kan?” lanjut Rico.
Aku menghembuskan napas, berharap aku tidak pernah bertemu dengan pria seperti Rico. Ganteng, pintar, kaya, religius, baik, tampak sempurna di mata semua kaum hawa.
Sosok seperti itulah yang dicari wanita di zaman sekarang. Namun di balik kesempurnaan yang terlihat itu, hanya bisa dinilai satu hari, satu bulan, dua bulan, semakin mengenal dekat, semakin ketidaksempurnaan yang terlihat.
“Gak ada yang telepon aku tuh. Jahat kenapa lagi sih?” aku menggaruk kepalaku, sebentar lagi jam mandi memanggil.
Selama sepuluh menit aku dan Rico bicara lewat telepon dan bagiku itu adalah waktu terlama yang pernah kulalui. Mudah saja bagiku untuk memblokir nomor Rico, memisahkan hidupku dari hidupnya atau bahkan pura-pura amnesia terhadapnya. Melupakan bagaimana kami bertemu untuk pertama kali.
Aku yang mengaguminya dan berharap sosok seperti dia. Yang ternyata Rico tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Aku mencoba menjadi temannya, mendengarkan ceritanya, walau kadang aku tidak menginginkannya dan muak terhadapnya.
Cerita yang berulang-ulang dengan solusi yang sama, yang katanya ingin berpisah dari pacarnya, tetapi masih saling menyayangi walau terhalang restu orangtua dan perbedaan keyakinan.
Apa iya aku menyukai Rico? Atau sekedar kasihan dengan apa yang dialaminya saat ini? Pertanyaan ini mengganggu pikiranku. Ganteng, muda, kaya raya, ngapain juga seorang Rico tertarik pada gadis biasa sepertiku? Ribuan gadis cantik, pinter, dan kaya raya kayak dia, pastinya sudah siap antre kalau Rico sudah benar-benar putus sama pacarnya.
Brrrr.. aku mengguyurkan air dingin dari ujung kepalaku. Rasanya adem seperti menyiram bara yang sedang membara. Ya, pikiranku saat ini bagai bara api yang menyimpulkan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi dan mencoba tahu apa yang akan terjadi.
Mentari sudah menduduki singgasananya dengan sempurna, sinar kuning keemasan terpancar ke segala penjuru, padahal waktu baru menunjukan pukul delapan lebih tiga puluh menit.
Tiba waktuku untuk berangkat kerja dengan sepeda motor kesayanganku. Lebih tepatnya hanya ada sepeda motor, andai saja tempat kerjanya dekat, akan lebih baik untuk jalan kaki sekalian olahraga dan akan lebih senang lagi kalau naik mobil sendiri.
Aih, aku terkekeh. Hidup tidak bisa se-instant itu girl! gumamku. Lets go! Aku pun menyamankan diri untuk segera mengendarai motor dengan waspada.
Teett! Bunyi klakson mobil di belakangku mengagetkanku yang sedang tenggelam dalam lamunan. Pikiranku sedang berada dalam mode aktif, melamunkan segala hal yang terlihat, seperti plat nomor kendaraan orang diolah menjadi angka-angka yang bisa dibagi dan dikalikan atau dikurangi.
Baru saja tersadar, kedua bola mataku terbelalak, di depan mataku dengan jarak satu meter terjadi kecelakaan beruntun saling tabrak pengendara satu dengan yang lainnya. Jalanan menjadi sangat macet dan orang-orang mulai tidak sabar diburu waktu.
Kecelakaan itu tidak menimbulkan korban jiwa, hanya saja terjadi kerusakan pada kendaraan mereka. Aku melanjutkan perjalanan dengan jantung berdegup kencang karena kaget, andai saja aku tidak me-rem motorku apa yang akan terjadi?
Baru saja insiden kecelakaan itu berlalu, di lampu merah dengan detik 89, waktu yang cukup lama karena biasanya hanya 30 detik, ada kejadian aneh yang terjadi. Entah itu orang gila, orang normal yang lagi stres, sosok dewa atau hanya aku yang bisa melihatnya. Seorang perempuan meninju-ninju tiang listrik, jelas sekali suaranya terdengar di telingaku yang memakai helm.
“Lambat sekali roda berputar! Di mana keadilan dunia? Biarkan aku mati saja.” Perempuan itu menangis dengan sekencang-kencangnya. Seorang temannya menyusul, wanita dengan rambut panjang memeluk dan menghentikan tindakan wanita itu.
“Aku ingin mati!” teriak wanita itu histeris.
“Kenapa kau menyakiti diri sendiri? Aku akan selalu mendukungmu apa pun yang terjadi,” seru teman wanita itu. Mereka berpelukan dan menangis bersama. Dan, aaakkh! Masa iya aku berhalusinasi? Karena semua pengendara fokus pada lampu hijau yang menyala menggantikan warna merah. Pagi ini benar-benar kacau.
Lambat sekali roda berputar! Kata-kata itu menempel terus di otakku. Dan kenapa kau menyakiti diri sendiri? Pertanyaan yang seringkali butuh jawaban. Kenapa? Bukankah hidup untuk bahagia tapi seringkali kebahagiaan itu mengorbankan prinsip hidup. Pada detik ini aku menyadari bahwa masalah ada pada setiap hidup manusia. Ada yang ringan, berat, atau sedang-sedang saja.
Debu mulai beterbangan di depan mataku, dan sesekali terhirup oleh hidung meski sudah memakai masker. Debu-debu itu sama seperti masalah-masalah yang terjadi, kadang membuat sesak di dada, bahkan kadang membuat perasaan tak dianggap.
Tepat pukul sembilan aku sampai di kantor, pekerjaan terakhir di bulan Desember di tahun 2017. Semangat!
Drrtt… ponselku berdering. Tanda pesan masuk.
From : Rico
Anna, sudah sampai kantor?
Antara senang, kesal dan… butiran debu.
*Sebuah Cerpen
Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.
Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.
The post Melodi Anna (Debu Jalanan) appeared first on .