Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Babah Tan dan Babah Oey: Dua Kakek Berbudi Luhur

$
0
0

“Aku ingin mati menyusul saudaraku Den Panji (Margana) dan saudaraku Tan Kee Wie…” Kata-kata terakhir Mayor Oey Ing Kiat sebelum gugur dalam perang melawan VOC-Belanda, pada bulan Agustus 1750.

Dikisahkan Sian Sing Babah Mayor Oey Ing kiat yang ada di medan tempur Layur, setelah mendengar kabar bahwa Raden Panji Margana gugur di Karangpace, seketika terus mengamuk seperti orang gila dan berteriak-teriak; “Aku ikut mati menyusul saudaraku Den Panji, menyusul saudaraku Tan Kee Wie !!!”

Dengan berbekal pedang, ia nekat maju menyusup ke depan, kemudian mengamuk menebaskan pedangnya kian kemari membabat Prajurit Tumenggung Citrasoma-antek Kompeni, yang dekat dan tidak sigap. Meletusnya peluru dan meriam tak membuat khawatir dan ciutnya hati, banyak bala tentara Belanda tewas terkena tajamnya pedang Mayor Oey Ing Kiat.

Pahlawan Tionghoa muslim itu gugur mulia

Karena terbakar emosi, hilanglah kewaspadaan, akhirnya Oey Ing Kiat terkena tembakan tentara Belanda yang orang Ambon, menembus dadanya kemudian mundur dari medan tempur sambil menekan lukanya. Setelah sampai di belakang medan tempur, kemudian jatuh.

Ia berpesan kepada yang menolong; Setelah meninggal, jasadnya agar dimakamkan di lereng Gunung Bugel, di bagian yang menjorok sebelah barat. Makamnya agar ditandai dengan dayung perahu dan pohon beringin, serta disembunyikan dari orang lain, kecuali hanya kerabatnya saja.

Lalu jasadnya diungsikan, dibawa ke Desa Warugunung, dirawat oleh saudaranya, orang Jawa dari istri selirnya, yaitu orang Desa Warugunung. Ketika itu Babah Mayor Oey Ing Kiat sudah mempunyai tiga putra bernama: Sudana, Suparing, dan Sudriyah.

Di kemudian hari Sudana menjadi petinggi Desa Warugunung, keturunannya berkembang di desa itu dan desa sekitar Gunung Bugel. Karena Babah Oey Ing Kiat itu juga saudagar yang memiliki perahu-perahu besar di Sungai Paturen yang sudah ditembok pinggirnya, maka orang-orang Lasem keturunannya nanti mengabarkan bahwa yang dimakamkan di lereng Gunung Bugel itu adalah makamnya Dhang Puhawang Lasem.

Baca juga: Relief Gandawyuha Bukti Sejarah Tua Toleransi di Nusantara

Setelah perang selesai, rumah RP Margana di Lasem, segera direbut dan ditempati Kompeni-Belanda, dihuni tuan kontrolir Hapen mulai bulan Januari 1751. Rumah Kyai Dhang Puhawang Oey Ing Kiat ditempati keponakannya, yang diangkat oleh Belanda menjadi Kapitan Tetuler Lasem. Perahu dan kapal-kapalnya semua disita Kompeni Belanda.

Bupati Suro Adimenggolo III dikembalikan ke Semarang, karena dianggap tidak becus menenteramkan orang-orang di Lasem. Tumenggung Citrasoma dinaikkan pangkatnya menjadi Bupati Lasem, bertempat tinggal di Binangun; karena merasa nyaman berada di Bonang, berdekatan dengan umat Islam yang menghormat Sunan turunan Tuban, dan juga karena orang-orang di Bonang Binangun itu tunduk kepada Kompeni-Belanda, yang dianggap bisa melindungi mereka dalam berdagang lewat laut.

Pemerintah Kompeni-Belanda mengirim mata-mata ke setiap desa di wilayah Kabupaten Lasem, mengawasi kalau ada orang yang membuat perkara, membuat onar yang berniat memberontak melawan pemerintah. Walaupun hanya membicarakan atau menceritakan tentang brandhal-brandhal saja, sudah mendapat hukuman. Apalagi memiliki catatan cerita para jawara brandhal, pasti dihukum penjara atau dibuang ke lain pulau.


Muda-mudi Buddhis dari Temanggung, Kab. Semarang, Kendal, Kota Semarang, Jepara, Pati dan Lasem, sebelum melantunkan Kidung Puji Badra Santi di teras klenteng Gi Yong Bio, Babagan, Lasem (foto: Sarbini C).

Klenteng Gi Yong Bio

Setelah wafatnya Babah Tan Kee Wie dan Babah Oey Ing Kiat, serta setelah kota Lasem kembali tenteram, nama dua tokoh tersebut diabadikan oleh orang-orang Tionghoa di Lasem. Lalu disebut; “Tan – Oey Ji Sian Sing” yang artinya Babah Tan dan Babah Oey, “kakek yang gagah-berani dan berbudi luhur”.

Tiruan wujud mereka diukir dalam bentuk patung wirengyuda kembar, disematkan pada altar pemujaan di klenteng Desa Karangpelem Wetan, sebelah barat Sungai Paturen. Klenteng ini adalah klenteng ketiga yang berdiri di Lasem, sekarang terletak di Jl Babagan No. 7 Lasem.

Perang Bandawala adalah perang-nya brandhal membela bumi pertiwi dan membela martabat orang Jawa, agar jangan sampai diinjak-injak oleh orang-orang ‘’ngatas angin magribi’’. Perang berlangsung sampai tiga bulan lamanya, dengan gugurnya ribuan jiwa raga para brandhal atau pahlawan.

Jasad para brandhal wirengsudra tergeletak di mana-mana, dikubur seperti kucing di sembarang tempat. Ada yang di pinggir jalan atau di lapangan bekas medan perang bandayuda; daerah sebelah utara dan sebelah selatan jalan raya Dresi sampai Binangun Lasem.

Baca juga: Kunlun: Akar Tionghoa dan Nusantara

Di mana-mana banyak kuburnya brandhal, ini menjadi tanda pengingat bagi anak cucu, sebagai bukti nyata, bahwa orang tua leluhur kita yang sudah gugur itu, dikubur di sembarang tempat, karena membela bangsa dan bumi kita dengan berani menjadi brandhal pahlawan wirengsudra.

Leluhur kita bukanlah bangsa yang merampok harta orang lain seperti yang diberitakan Belanda dan antek-anteknya. Kata Belanda, leluhur kita yang menjadi brandhal itu adalah orang yang sudah murtad, tidak suci, tidak takut neraka jahanam, berani melawan pemerintah dan pejabat. Setiap ada tingkah laku yang tidak benar pasti diibaratkan seperti “tingkahnya brandhal”.

Karena saking lengkapnya persenjataan Belanda yang berupa senapan dan meriam, serta banyaknya bala bantuan prajurit begundalnya Belanda dari banyak kabupaten, ditambah bangsa Jawa sendiri tidak memiliki kesetiaan untuk mendukung brandhal, malah banyak yang tidak menyukainya.

Dikatakan pengorbanan besar para brandhal wirengsudra itu hanyalah sia-sia belaka. Kekuatan para brandhal menjadi lumpuh kemudian mundur dengan hati terbakar dan rasa malu, lari mengungsi mencari hidup tersebar di mana-mana, meninggalkan anak istri dan orangtua. Akhirnya terputuslah cerita para wirengsudra yang membela bangsa dan buminya .

Bumi Lasem diselimuti mendung keprihatinan, Gunung Ngargapura gelap gulita diselimuti asap kesusahan, pada bulan Oktober tahun 1750 menjadi akhir rontoknya “Bunga Teratai (simbol Buddha Dharma), rimbunnya pohon beringin (Bodhi) di setiap desa.”

Munculnya dongeng Devide et Impera

Sejak itu, Belanda memerintahkan oknum pujangga Mataram untuk mengarang cerita ngawur-sembarangan. Salah satunya dengan narasi bahwa orang utara itu kasar, pemarah, sakit jiwa, dan tak beradab.

Lebih-lebih karangan yang menceritakan bahwa Islam itu menentang Kejawen Kebuddhaan dan orang Jawa itu membenci Tionghoa. Karangan yang bermuatan politik Devide et Impera atau adu domba antar etnisitas dan agama, yang sebenarnya pernah rukun bersatu melawan Kompeni-Belanda.

Sesudahnya, penduduk Tionghoa dipisahkan dari saudaranya yang orang Jawa, lalu Kompeni melokalisir pemukiman Tionghoa dengan daerah yang disebut sebagai Pecinan.

 

Tulisan ini disadur dari hasil terjemahan Buku Badra Santi 1985 yang terbit atas usaha Pandita Raden Panji T. Hadidarsana dengan dukungan penerbitan dari Bhikkhu Khemasarano Mahathera.

Dhammateja Wahyudi Agus R |Wakil Ketua PC Magabudhi, Semarang. Memperoleh Penghargaan sebagai upacarika padana dari PP Magabudhi pada tahun 2014.

The post Babah Tan dan Babah Oey: Dua Kakek Berbudi Luhur appeared first on .


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Trending Articles