Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Gema Asadha, Puluhan Bhikkhu Melakukan Pindapata di Kota Salatiga

$
0
0

Minggu (24/7), puluhan bhikkhu sangha mengadakan pindapata di kota Salatiga, Jawa Tengah. Pindapata yang diikuti oleh umat Buddha Salatiga dan Semarang ini diadakan untuk memperingati hari Asadha 2560 BE/2016 dan juga hari ulang tahun kota Salatiga.

Pukul tujuh pagi, ribuan umat Buddha telah berkumpul dan membentuk barisan yang dimulai di Kelenteng Hok Tek Bio, Jl. Letjen Sukowati menuju Lapangan Pancasila dan berakhir di Puskesmas Kalicacing.

Pindapata merupakan tradisi Buddhis yang telah dijalankan sejak zaman Buddha Gotama. Semasa hidup, Buddha Gotama setiap pagi beserta rombongan para bhikkhu pergi meninggalkan vihara, memasuki desa atau kota untuk berpindapata. Selain untuk mengumpulkan dana makanan dari umat, ini merupakan suatu cara pendekatan masyarakat secara agama Buddha.

Dalam kehidupan menjadi seorang samana (pertapa) pada umumnya tidak bekerja atau bercocok tanam, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengumpulkan makanan dari rumah ke rumah. Mengumpulkan dana makanan dari rumah ke rumah inilah yang kemudian disebut sebagai pindapata.

Pindapata berasal dari dua suku kata, yaitu: ‘pinda’ dan ‘patta’. ‘Pinda’ berarti gumpalan/bongkahan (makanan) dan ‘patta’ berarti mangkuk makan. Jadi dapat diartikan, pindapata adalah pengumpulan makanan dengan mangkuk oleh para bhikkhu dari rumah ke rumah penduduk.

Bhikkhu Cattamano, Padesanayaka Sangha Theravada Indonesia Propinsi Jawa Tengah mengatakan bahwa pindapata yang dilakukan bhikkhu sangha di Salatiga merupakan upaya melestarikan tradisi Buddhis yang telah ada sejak zaman Buddha Gotama. “Pindapata yang diikuti oleh 24 bhikkhu dan samanera ini merupakan upaya melestarikan tradisi dan budaya Buddhis,” ujar Bhante.

Menurut Bhante Cattamano, tradisi pindapata harus tetap dijalankan, selain untuk menjaga tradisi, juga untuk mengenalkan tradisi dan budaya Buddhis kepada umat Buddha.

“Pindapata adalah mempersembahkan dana makanan kepada bhikkhu sangha sebagai penjaga Buddha Dhamma. Dengan melaksanakan pindapata, umat Buddha telah mendukung kelestarian Buddha Dhamma, sekaligus menanam kebajikan,” jelas Bhante.


Umat Buddha Temanggung Rayakan Asadha Bersama Umat Muslim

$
0
0

Sabtu kemarin, kita dikejutkan oleh berita tentang tentang pembakaran sejumlah vihara yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Namun saya hanya membaca sekilas berita tersebut, sampai pada siang hari saat saya keluar dari rumah menuju Vihara Dhamma Putra, Dusun Toleh, Desa Kaloran, Kecamatan Kaloran, Temanggung untuk mengikuti perayaan Asadha, banyak teman yang mengirim pesan singkat menanyakan kabar pembakaran vihara tersebut.

Seketika itu, saya mulai membaca-baca berita mengenai peristiwa yang terjadi pada Sabtu dini hari itu. Mengerikan memang kalau melihat konflik agama, percikan api sedikit saja bisa menimbulkan kemarahan yang berujung pada tindakan-tindakan anarkis.

Namun setelah sampai pada tempat acara perayaan Asadha, yang dilaksanakan pada hari Sabtu (30/7), ada pemandangan yang berbeda dan menyejukkan. Bukan hanya ribuan umat Buddha dari seluruh Temanggung yang hadir dalam perayaan ini, namun juga umat Muslim turut hadir dan mengikuti perayaan Asadha 2560 BE/2016. Jelas ini adalah pemandangan yang menyejukkan.

“Sejak tadi, ketika kita menonton dan membaca berita, kita diperlihatkan peristiwa yang cukup mengerikan. Ada tindakan intoleran antar agama, namun kita melihat hal yang jauh berbeda di sini, banyak umat lain ikut dalam perayaan hari raya agama Buddha. Ini adalah peristiwa yang menentramkan,” ujar Sutarso, Pembimas Buddha Jawa Tengah.

Imam Suwiknyo, Kepala Desa Kaloran, juga turut merasa senang. “Saya pribadi ikut senang dengan perayaan seperti ini, kegiatan seperti ini harus tetap dijaga. Komunikasi antar umat beragama juga harus tetap dijaga untuk menciptakan kehidupan yang damai. Apabila ada persoalan di masyarakat harus dikomunikasikan. Kalau istilah saya, konflik yang kecil harus dihilangkan, yang besar harus dibuat kecil,” ujarnya.

Lebih lanjut, Imam berharap antar umat beragama harus saling menghormati, “Setiap orang harus mempunyai keyakinan. Agama Buddha yang Anda anut saat ini silahkan dihayati. Teladani Buddha Gotama dalam kehidupan sehari-hari, jangan tanggung-tanggung, namun tetap harus menjaga persaudaraan. Kalau dalam Islam, ‘Agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku’.”

20160730 Umat Buddha Temanggun Rayakan Asadha Bersama Umat Muslim 2

Sementara itu, Bhante Cattamano menyampaikan bahwa hari raya Asadha merupakan salah satu hari raya yang penting bagi umat Buddha, “Pada hari Asadha, Buddha Gotama mengajarkan Dhamma yang Ia temukan untuk yang pertama kali. Pada saat itu, sekaligus sangha terbentuk dan lengkaplah Tiga Permata: Buddha, Dhamma, dan Sangha.”

Jumlah Umat Buddha di Australia Terus Tumbuh Pesat

$
0
0

Sebuah laporan terbaru menyebutkan, jumlah umat Buddha di Australia memang masih terhitung kecil tapi mengalami pertumbuhan pesat. Bahkan sekarang lebih banyak penduduk Buddha (2,5 persen dari total penduduk) yang tinggal di Australia daripada Muslim (2,2 persen), dan jumlah imigran Muslim yang datang dari negara-negara seperti Lebanon dan Iran menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu pemerintah federal mengatakan bahwa program migrasi ke Australia adalah non-diskriminatif. Analisa data dari surat kabar Australia pada hari Jumat (29/7) menunjukkan bahwa migrasi Muslim telah menyusut.

Petugas imigrasi mengatakan kepada media setempat The Australian, bahwa rendahnya jumlah imigran Muslim dari Timur Tengah tidak ada hubungannya dengan agama mereka, karena pemohon imigrasi tidak diminta untuk menyatakan agama mereka ketika mereka akan menetap. Sebaliknya, itu adalah konsekuensi yang tidak diharapkan dari kebijakan migrasi yang hampir seluruhnya berfokus pada kemampuan dan reuni keluarga migran dari negara-negara seperti India dan Tiongkok.

Data dari Biro Statistik Australia menunjukkan bahwa rata-rata 2.000-4.000 orang Lebanon bermigrasi ke Australia setiap tahun, tapi jumlah itu turun menjadi 1.242 pada tahun 2015, dan hanya 550 dari mereka yang mengikuti Islam.

“Kami tidak fokus pada agama. Kami fokus pada keterampilan,” kata Menteri Imigrasi Peter Dutton kepada News Limited.

Sementara itu, Direktur Ilmu dan Penelitian Akademi Islam Australia, Mehmet Ozalp menyebut pertumbuhan populasi Buddha justru meningkat.

“Populasi Muslim dari Timur Tengah itu pada satu titik tumbuh cepat, tapi itu sekitar 10 tahun yang lalu, dan sekarang sedang melambat. Sedangkan populasi Buddha dan Hindu cukup rendah, tetapi meningkat secara dramatis,” kata Ozalp. (www.xinhuanet.com)

Dhamma Competition 2016

$
0
0

Dhamma Sutta SMA Negeri 1 Tangerang mempersembahkan:

DHAMMA COMPETITION 2016
Find the Essence of Dhamma

Minggu, 14 Agustus 2016
Pkl. 07.00 WIB – selesai
SMA Negeri 1 Tangerang
Jl. Daan Mogot No. 50 Tangerang

#Lomba Cerdas Cermat
Persyaratan:
– Setiap sekolah/vihara mengirimkan maksimal 2 tim
– 1 tim terdiri dari 3 orang
– Biaya pendaftaran lomba Rp 120.000 per tim
– Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi dcom16.wordpress.com
Contact person: Tri Riyanti 089636406517, Line: _tririyanti

#Lomba Menyanyi Solo
Persyaratan:
– Setiap vihara/sekolah hanya diperbolehkan mengirim 1 orang putra dan putri
– Biaya pendaftaran lomba Rp 50.000 per orang
– Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi dcom16.wordpress.com
Contact person: Raynathan 082213861230, Line: rayyy.p

Pendaftaran lomba berlangsung tanggal 20 Juni – 30 Juli 2016
Pendaftaran secara online melalui dcom16.wordpress.com

Pembayaran pendaftaran dilakukan dengan cara:
– Transfer melalui Bank BRI 0335-01-030716-50-7 a.n. Yetty. Bukti pendaftaran dikirimkan ke DP D-COM 2016
– Menghubungi dan bertemu langsung dengan CP D-COM 2016

CP D-COM: Rafika Shanti 089628459809, Line: fikachuuu

Technical meeting 6 Agustus 2016 pkl. 10.00 WIB – selesai

Umat Buddha Sikapi Kerusuhan Tanjung Balai dengan Hati Penuh Damai

$
0
0

Aparat kepolisian bergerak cepat mengatasi kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara yang meletus pada Jumat malam (29/7). Polisi menetapkan 12 tersangka untuk dua kasus berbeda pada Senin (1/8). Mereka adalah 4 orang sebagai tersangka perusakan tempat ibadah dan 8 orang tersangka kasus penjarahan. Sedangkan 39 orang diperiksa sebagai saksi.

“Ada enam vihara dan kelenteng yang diserang beberapa ratus warga,” kata juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Kombes Rina Sari Ginting seperti dilansir BBC Indonesia. Massa juga membakar 3 mobil, 3 sepeda motor, dan 1 becak motor.

Laporan Beritagar menyebutkan, kini suasana di Tanjung Balai telah kondusif. Garis polisi yang dipasang di lokasi kerusuhan sudah dibuka. Bekas kerusuhan pun telah dibersihkan secara bersama-sama. Meski begitu, aparat gabungan Polri-TNI masih terus berjaga di sekitar lokasi dan sejumlah titik.

“Kami mengapresiasi upaya cepat dan tegas dari Kepolisian RI dalam menangani insiden ini,” ujar Ketua Dewan Pembina Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sudhamek AWS kepada BuddhaZine.

Di tempat terpisah, Kepala Wihara Dharma Bhakti Jakarta, Bhikkhu Saddhanyano mengajak umat Buddha untuk menghadapi masalah ini dengan hati tetap damai.

“Semoga kita semua, umat Buddha senantiasa memiliki kebijaksanaan dan kesabaran yang kuat agar bisa melewati segala masalah dengan damai. Bisa menyikapi masalah dengan hati yang damai,” ajak Bhante Saddhanyano.

“Kita semua adalah pengikut Buddha, bukan penyembah berhala. Artinya kita siap untuk menjadi orang yang sadar, yang bisa membawa kebenaran dan kasih sayang di segala situasi. Tidak mudah terbakar emosi dan tidak terpancing balas dendam,” tambah Bhante.

Ajakan serupa juga dilontarkan oleh Sudhamek. “Ajaran Buddha mengajarkan welas asih kepada umatnya, sehingga peristiwa tragis di Tanjung Balai ini tidak akan menyebabkan umat kami untuk mendendam apalagi ingin balas dendam. Kami percaya akan bekerjanya hukum karma,” tambah Sudhamek.

Namun Sudhamek mengingatkan, tindakan yang terindikasi melanggar hukum harus tetap diproses.

“Dalam konteks hidup bernegara, kita juga diatur dengan berbagai norma yang lain; utamanya norma hukum. Sebagai negara hukum, suatu negara tidak boleh melakukan pembiaran, apalagi kalau itu berupa kejahatan besar,” Sudhamek mengingatkan.

“Semoga kejadian yang memalukan ini tidak terulang lagi di masa depan. Bangsa Indonesia harus bersatu menuju ‘Indonesia Baru yang Maju dan Beradab’. Oleh karena itu kita tidak boleh mudah diadu dan dipecah belah,” tutup Sudhamek.

Ketika Nilai Kehidupan Dibolak-balik, Agama Kehilangan Keteduhannya

$
0
0

Mengenai pengalaman seperti kejadian di Tanjung Balai, telah berkali-kali terjadi di muka bumi tempat kita lahir, hidup, senang, sehat, sakit, tua, mati. Dan tidak hanya menimpa salah satu pihak, tetapi banyak pihak dan selalu dengan dalih salah paham.

Menurut pandangan saya, jika ada peristiwa tidak mengenakkan hati dengan dalih “salah paham”, yang sebenarnya terjadi bukanlah karena salah paham, tetapi karena pahamnya yang salah.

Karena itu, barangsiapa menuduh, menuding, mengamuk, mengutuk, menjarah, menyalahkan pihak lain, sesungguhnya sama dengan mempertontonkan menunjukkan ketidakpahamannya sendiri tentang suatu masalah soal. Maka bagi yang sudah dewasa kencana, cara berpikirnya tidak serta merta mempersoalkan soal yang sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan.

Yang dulu sudah lewat, esok belum terjadi, saat ini yang sudah pasti. Biar usia berkurang, kebajikan harus bertambah. Barangsiapa banyak kebajikan, tidak lama dalam kesulitan; dan lebih sebentar dalam penderitaan.

Semua yang terjadi pasti ada sebab akibatnya. Sebab-sebabnya tidak hanya satu sebab, melainkan banyak sebab, dan banyak akibat di kemudian. Untuk jelasnya, setiap kejadian apa pun yang sudah, sedang, atau masih akan terjadi masing-masing ada ukurannya.

Dalam pandangan para pengamat, setiap momentum itu merupakan persoalan tersendiri. Soal gengsi, untung-rugi, senang-susah, menang-kalah, salah-benar, layak atau tidak, hina atau mulia.

Dari sudut pandang sistem perekonomian, setiap kejadian dihitungnya untung-rugi. Menurut dunia birokrasi, setiap langkah dinilainya salah-benar. Secara matematika politis, diukurnya menang-kalah.

Sedangkan jika secara psikologis ukuran teologis, sebuah perbuatan itu diukurnya baik-buruk, hina-mulia dalam bertindak dari apa yang dilakukan.

Secara Dharma, semua yang terjadi pasti ada hikmahnya. Hanya saja tidak semua pihak cukup memiliki perasaan sabar yang kuat untuk menunggu mendengar hikmah berbuah.

Bila memandang sesuatu dengan kacamata Dharma, frame kesunyataan produk alam, kualitas manusia dapat diukur dari cara menyelesaikan masalah: dengan cara-cara bagus halus diplomatis akademis atau anarkis kasar.

Jika dengan pandangan batin dan pikiran jernih pintar terpelajar membaca menulis lancar, akan dapat menyelesaikan persoalan dengan tidak menyebabkan persoalan baru yang menimbulkan akibat-akibat secara beruntun turun-temurun di kemudian hari.

Dalam sejarah peradaban ketika kaum spiritual ditempatkan tersendiri dan terhormat, menempatkan harga hidup di atas harga diri, menempatkan harga materi di bawahnya lagi, serta memberi garis batas jelas antara sekularitas keduniawian dan spiritualitas keagamaan. Memberlakukan hukum agama juga tersendiri dari hukum negara, artinya hukum agama tidak disejajarkan dengan hukum negara. Patimokkhasila bhikkhu di atas Pancasila upasakha. Pada saat itulah tata kehidupan mudah damai dan tenteram.

Ketika semua serba sebaliknya, masing-masing bergeser posisi dan beralih fungsi, sehingga tidak jelas garis batas antara agamawan-negarawan-usahawan, dan cara menempatkan harga materi paling tinggi, harga hidup paling di bawah. Akibatnya, harga hidup menjadi murah, pembunuhan terjadi di mana-mana, kadang-kadang diatasnamakan agama.

Di saat yang sama, kehadiran seseorang di tengah masyarakat dilihat secara materi, diukur dengan alat-alat teknologi, bukan dari kualitas moralitas. Dampaknya terasa, tata kehidupan mudah guncang, persahabatan rawan dan rapuh mudah putus hubungan. Agama seperti seolah-olah kehilangan daya tangkal yang menenteramkan tempat yang teduh sejuk nyaman bagi umatnya.

BDC Surabaya Gelar Dhamma Talk Selama Delapan Hari Berturut-turut

$
0
0

Vihara Buddhayana Dharmawira Centre (BDC), Surabaya menggelar Dhamma talk selama delapan hari berturut-turut. Dhamma talk yang digelar di aula Vihara BDC dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan atas 32 tahun masa pengabdian Dharma dan ulang tahun ke-68 Bhikkhu Viryanadi.

Hudy, salah satu panitia penyelenggara menyampaikan, kegiatan Dhamma talk ini merupakan kesempatan besar bagi umat Buddha di Surabaya dan sekitarnya untuk memahami lebih dalam ajaran Buddha.

“Kegiatan ini kami dedikasikan untuk guru kami, Y.M. Bhikkhu Viryanadi Mahathera, dalam menyambut ulang tahun dan 32 tahun massa vassa beliau,” jelas Hudy.

“Sebenarnya Bhante Viryanadi sendiri tidak mau ulang tahunnya dirayakan. Oleh karena itu, perayaan kami buat berbeda bukan bentuk perayaan seremonial, tetapi kegiatan yang dapat membantu beliau untuk memberi pemahaman Dhamma kepada umat Buddha Surabaya khususnya dan Indonesia pada umumnya melalui seminar delapan hari penuh ini,” lanjut Hudy.

Seminar yang dilaksanakan selama delapan hari penuh ini mengambil pokok bahasan “Delapan Jalan Utama” yang merupakan ajaran pokok ajaran Buddha menuju pembebasan dari samsara.

Masing-masing pokok bahasan dalam delapan jalan utama menghadirkan pembicara-pembicara nasional, yaitu: (1) Pandangan Benar oleh Bhikkhu Dharmavimala, (2) Perbuatan Benar oleh Andrie Wongso, (3) Perhatian Benar oleh Bhikkhu Nyanabandhu Shakya, (4) Ucapan Benar oleh Ponijan Liaw, (5) Konsentrasi Benar oleh Selamat Rodjali, (6) Daya Upaya Benar oleh Sudhamek AWS, (7) Matapencaharian Benar oleh Wenny Lo, dan (8) Pikiran Benar oleh Adi W. Gunawan.

Dhamma talk ini di laksanakan setiap malam dan dimulai sejak hari Jumat, 5 Agustus dan akan berakhir pada tanggal 12 Agustus 2016.

Bhikkhu Dharmavimala, sebagai pembicara pertama yang membahas tentang Pandangan Benar/Pengertian Benar mengatakan bahwa untuk menumbuhkan pandangan benar, harus melalui praktik tujuh jalan lainnya, “Pengertian sebenarnya bisa dikatakan sebagai akhir dari praktik dari ke tujuh jalan lainnya. Karena pengertian benar bertumbuh melalui praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan.”

Karenanya, Bhante Dharmavimala berharap umat Buddha dapat mengikuti secara penuh Dhamma talk ini, “Mau tidak mau, untuk memahami pengertian benar, Anda harus mengikuti bahasan ketujuh unsur jalan lainnya.”

“Tujuh unsur jalan mulia dijalankan dengan ketekunan, maka pengertian benar akan meningkat dan akan sempurna,” tandas Bhante.

8th International Lay Buddhist Forum

$
0
0

International Lay Buddhist Forum (Forum Upasaka-upasika Internasional) adalah sebuah komunitas independen yang terdiri dari umat awam Buddhis yang bergabung dalam keanggotaan.

8th INTERNATIONAL LAY BUDDHIST FORUM
“Caring for the Past, Safeguarding the Future: Buddhism, Heritage, Sustainability”

19 – 23 Agustus 2016
Hotel Mega Permata
Padang Sidempuan, Sumatera Utara

Agenda kegiatan:
– Pembukaan
– Ekowisata Barumun Nagari
– Meditasi
– Diskusi Dhamma
– Kunjungan ke Candi Bahal
– Pameran UMKM

Biaya registrasi: Rp 500.000,- per peserta + biaya akomodasi Rp 500.000,-
Informasi & pendaftaran:
– Yen Yen 0614555586
– Bobby 085262723982
– Rorinto 081361421009
– Henny Wira 08126097696

Organized by: Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia (SIDDHI)
Powered by: International Lay Buddhist Forum
Supported by:
– Majelis Buddhayana Indonesia
– Wanita Buddhis Indonesia
– Sekber PMVBI


Biksu Tertua di Indonesia Wafat

$
0
0

Biksu Wu Thung yang berusia 105 tahun dengan masa kebiksuan 85 warsa wafat di Jakarta pada hari Selasa 9 Agustus 2016 pukul 11.45 WIB. Jenazah disemayamkan di Wihara Buddhayana, Jalan Lautze, Jakarta Pusat dan akan dikremasikan pada hari Sabtu 13 Agustus 2016 di krematorium Nirwana, berangkat dari Wihara Buddhayana pukul 09.00.

Terlahir dengan nama Kwa Mon Se pada tahun 1912 di Hing Hwa, Tiongkok, ia menjadi sramanera saat berusia 17 tahun dan menjadi biksu pada usia 21 tahun. Nama penahbisannya adalah Wu Thung yg berarti “menjadi sadar dari ketidaktahuan”.

Disiplin, ketekunan, dan kejujuran Biksu Wu Thung membuatnya dipercaya menjadi ketua harian Wihara Guanghua di Putien, Fujian, Tiongkok. Wihara Guanghua adalah wihara asal dari Biksu Benqing, guru dari Biksu Ashin Jinarakkhita.

Atas permintaan sesepuhnya, pada tahun 1956 Biksu Wu Thung yang saat itu telah berusia 39 tahun berangkat ke Indonesia. Pertama-tama tinggal di Bandung selama tiga bulan, selanjutnya menetap di Bogor selama sembilan tahun, kemudian pindah ke Malang dan memimpin wihara di sana selama 27 tahun. Di hari tuanya, ia sempat tinggal di Batu selama dua tahun dan akhirnya menetap Wihara Buddhayana Jakarta.

(Alm.) Biksu Ashin Jinarakkhita, dalam buku Biksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasihatnya, mengatakan bahwa umat perlu bersyukur akan keberadaan Biksu Wu Thung di sini, dan semestinya menggunakan semua kesempatan yang ada untuk belajar darinya.

Biksu Wu Thung adalah biksu paling bersahaja dan luar biasa yang pernah ia jumpai. Ia sendiri bersujud di hadapan kaki Biksu Wu Thung. Kesederhanaan, disiplin, dan kebijaksanaan Biksu Wu Thung harus diteladani biksu-biksu muda saat ini.

Semoga Biksu Wu Thung berbelas kasih untuk terlahir kembali di bumi Indonesia.

Yongey Mingyur Rinpoche’s Teaching Tour 2016

$
0
0

Yongey Mingyur Rinpoche’s Indonesia Teaching Tour 2016

Surabaya
# Public Talk: Meditasi Joy of Living (Kunci Hidup Sukses, Sehat, dan Bahagia)
Rabu, 12 Oktober 2016

Pkl. 18.00 – 21.00
Mercure Hotel, Raya Darmo, Surabaya
Tiket: 0811347056, 081330035118, 0816502988

Jakarta
# Meditation Workshop: Awareness and Compassion (Essential Teachings on The Joy of Living)
Grand Auditorium Universitas Bunda Mulia
Jumat–Sabtu, 14–15 Oktober 2016
Pkl. 09.00 – 18.00
Registrasi: 081286860002, 089615060240

# Public Talk: Transforming Stress into Inner Peace and Joy
Minggu, 16 Oktober 2016
Pkl. 13.00 – 17.00
Grand Auditorium Universitas Bunda Mulia
Info: 083806922450, 0817359988

# Meditation Workshop: Exploring the Nature of Mind ~ Heart Advice on the Path of Awakening
(Hanya bagi yang memenuhi syarat )
Senin – Rabu, 17 – 19 Oktober 2016
Tergar Meditation Center, Jakarta
Registrasi: 081388618818, 0818997857

Info selengkapnya:
http://tergar.or.id/

Indonesia Sudah 71 Tahun Merdeka, Tapi Sudahkah Kita Merdeka?

$
0
0

Rabu (17/8), saat sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai karnaval, perlombaan dan lain-lain, umat Buddha Vihara Buddhagaya, Watugong, Semarang merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-71 sambil merayakan Asadha. Puja bakti peringatan pertama kalinya Buddha Gotama membabarkan Dhamma kepada lima orang pertapa digelar di Dhammasala vihara tertua di Semarang ini dihadiri oleh ratusan umat Buddha dari Semarang dan Temanggung.

Padesanayaka Sangha Theravada Indonesia (STI) Jawa Tengah Bhikkhu Cattamano dalam ceramah Dhammanya menyampaikan betapa beruntungnya umat Buddha Indonesia saat ini yang telah menikmati kemerdekaan. “Berkat jasa perjuangan para pahlawan, pendahulu kita, saat ini negara kita sudah merdeka dari penjajah,” ujar Bhikkhu Cattamano.

Namun menurut Bhante, meskipun saat ini kita sudah merdeka, sudah bebas dari penjajahan bangsa-bangsa lain, tetapi manusia masih dijajah oleh penjajah yang ada dalam diri sendiri. “Seperti yang dikatakan oleh Buddha Gotama, dalam diri kita masih dijajah oleh penjajah yang tidak tampak, yaitu keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Penjajah inilah yang menyebabkan manusia menderita,” jelas Bhante.

Oleh sebab itu, lanjut Bhante, umat Buddha harus tetap berjuang untuk terbebas dari penjajah yang tidak tampak, dengan menjalankan ajaran Buddha untuk mengikis penderitaan, karena pada hakikatnya kehidupan ini adalah penderitaan.

“Buddha juga mengajarkan kepada kita cara terlepas dari penderitaan supaya benar-benar merdeka dan tidak dicengkeram lagi oleh kesedihan, ketakutan, kekhawatiran, ratap tangis, dan lain-lain. Oleh karenanya, seperti yang dipesankan Buddha, kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh untuk merdeka membebaskan diri dari penderitaan,” jelas Bhante.

Bhante menambahkan, umat Buddha harus bersungguh-sungguh berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha. “Buddha adalah orang yang telah mampu membersihkan kekotoran batin yang menyebabkan penderitaan. Dhamma yang Beliau ajarkan adalah hasil dari perjuangan Beliau, dan Sangha adalah manusia-manusia yang telah berjuang untuk sembuh dari penderitaan.”

Mengakhiri ceramahnya, Bhante Cattamano mengucapkan selamat merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia. “Dirgahayu ke-71 Indonesia dan selamat merayakan Asadha,” Bhante mengakhiri.

Nafas Baru Perkembangan Agama Buddha di Pelosok Kalimantan Selatan

$
0
0

Umat Buddha di Kalimantan Selatan, khususnya Kotabaru, sekarang sudah bisa bernafas lega, pasalnya perhatian dari lembaga-lembaga Buddhis sudah mulai nampak. Ini dapat dilihat dari kedatangan Ehipassiko Foundation yang mengadakan program Abdi Desa untuk membantu perkembangan agama Buddha di pelosok-pelosok Nusantara, khususnya di Kabupaten Kotabaru.

Sugianto, dari Abdi Desa Ehipassiko Foundation yang aktif membina di wilayah Jawa Timur pada hari Senin, 25 Juli 2016 lalu mewakili Ehipassiko berkunjung ke wilayah-wilayah terpencil di Kotabaru, di antaranya Desa Laburan dan sekitarnya. Tujuan utamanya adalah mencari kandidat-kandidat Abdi Desa yang nantinya dapat membantu perkembangan Buddha Dhamma di Bumi Sa-Ijaan.

Kotabaru adalah salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang memiliki jumlah umat Buddha yang lumayan banyak. Umat di sana memiliki semangat yang tinggi dalam belajar Buddha Dhamma. Kemajuan Buddha Dhamma di Kotabaru tidak lepas dari perjuangan Sangha Theravada Indonesia (STI) yang merintis pembinaan sejak tahun 1990-an. Melalui Bhikku Saddhaviro dan beberapa anggota sangha yang membina di Kalimantan Selatan, Roda Dhamma mulai diputar dan dibabarkan.

Seiring berjalannya waktu, antusiasme umat makin hari makin meningkat. Ini dapat dilihat dari keinginan dan permintaan umat untuk dibina. Permintaan akan pembinaan umat sangat banyak, dan para Dharmaduta sangat kewalahan menangani permintaan umat.

Antusiasme akan ajaran Buddha juga ditunjukkan, bahkan oleh mereka yang belum mengenal ajaran Buddha dan masih memegang tradisi leluhur. Masyarakat adat khususnya yang terletak di Kotabaru, sangat menjunjung tinggi tradisi nenek moyang. Tradisi ini sangat dekat dengan ajaran Buddha Dhamma, misalnya ajaran tentang leluhur dan upacara pelimpahan jasa atau patidana dalam agama Buddha.

Kedekatan tradisi dengan ajaran Buddha inilah yang membuat perkembangan agama Buddha di Kalimantan Selatan terutama di pelosok pedalaman sangat diterima oleh masyarakat adat sekitar. Jika melihat ke sejarah masa silam, pengaruh kerajaan masa lalu membawa mereka mengenal ajaran Buddha dalam bentuk tradisi dan kepercayaan. Inilah mengapa masyarakat adat sangat tertarik terhadap ajaran Buddha Dhamma.

Ketertarikan masyarakat adat inilah yang akhirnya membuat permintaan pembinaan dan pembangunan vihara di pelosok-pelosok khususnya di Kotabaru sangat meningkat. Namun keterbatasan tenaga penyuluh dan pengajar menjadi kendala yang besar untuk kemajuan Buddha Dhamma di Kalimantan Selatan, khususnya Kotabaru.

Dengan kehadiran Ehipassiko Foundation yang menawarkan program Abdi Desa merupakan solusi yang selama ini dinantikan oleh umat Buddha di Kabupaten Kotabaru. Semoga program ini segera terealisasi dan pembinaan di Kotabaru bisa lebih maksimal karena mendapatkan perhatian dari banyak pihak.

Perhatian Ehipassiko sebelumnya sudah ditunjukkan dengan pemberian buku-buku Dhamma kepada vihara-vihara pelosok dan sekolah-sekolah yang memiliki siswa beragama Buddha. Karena di Kotabaru belum ada Abdi Desa dari Ehipassiko, maka selama ini yang membantu adalah Ehipassiko Family Club Depok yang diketuai oleh Panya dan Ibu Sumiati yang merupakan Abdi Desa di daerah Halong. Kelak dengan adanya program Abdi Desa, seluruh umat Buddha di Kotabaru sangat berharap ke depannya akan lebih mudah mendapatkan pembinaan dan perhatian berkaitan dengan Buddha Dhamma.

Masyarakat Buddhis berharap ke depan program Abdi Desa ini dapat memberikan semangat baru sehingga perkembangan umat Buddha di Kotabaru dan Nusantara pada umumnya dapat terealisasi dengan maksimal.

*) Adhi Verawanto, Dharmaduta Kotabaru

Petugas Imigrasi Jakarta Barat Tangkap Dua Bhiksu Palsu

$
0
0

Tim Pengawasan dan Penindakan Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Barat menangkap dua bhiksu palsu yang berstatus warga negara Republik Rakyat Tiongkok. Kedua bhiksu palsu ini diduga melanggar Pasal 122 huruf (a) Undang Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian terkait penyalahgunaan izin tinggal, karena mereka berada di Indonesia dengan Visa Kunjungan Wisata.

“Ancaman hukuman paling lama lima tahun dengan denda paling banyak Rp 500 juta,” ujar Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Barat, Abdul Rachman, Selasa (23/8).

Dia melanjutkan, kedua WN Tiongkok bernama Yao Xianhua dan Hu Qiyan tersebut ditangkap saat petugas imigrasi melakukan operasi rutin. Kedua pria berkepala plontos tersebut tertangkap basah sedang meminta-minta pada warga.

Setelah melakukan pemeriksaan administrasi, petugas kemudian meminta keterangan kedua lelaki tersebut dengan dibantu pihak Wihara Ekayana yang berada di Tanjung Duren, Jakarta Barat.

Hasilnya, Yao Xianhua dan Hu Qiyan dipastikan bhiksu palsu karena ternyata pengetahuan agama Buddha mereka sedikit sekali. Mereka hanya bermodal tasbih, buku agama berbahasa Mandarin, dan kitab-kitab untuk menarik perhatian masyarakat.

“Ini cara lama. Modus seperti ini sudah ada di Indonesia sejak tahun 2006,” kata Abdul.

Adapun dalam kasus ini, pihak imigrasi mengamankan sejumlah barang bukti seperti jubah bhiksu, buku dan kitab, mangkuk kayu, uang sejumlah 9.120 Yuan, 280 dolar Hongkong, serta Rp 240.000.

Masyarakat pun diminta untuk selalu mewaspadai modus-modus bhiksu peminta-minta. Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Imigrasi Khusus Kelas I Jakbar Syamsul Sitorus menegaskan, berdasarkan keterangan pemuka agama dari Wihara Ekayana, seorang bhiksu sejati tidak diperkenankan keluar dari vihara untuk meminta-minta. (www.merdeka.com)

Vihara Budhi Daya di Temanggung Ini Jalankan Tiga Aliran Sekaligus

$
0
0

Desa Jlegong merupakan sebuah desa yang masuk dalam Kecamatan Bejen, pemekaran dari Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kendal. Di desa ini terdapat komunitas umat Buddha.

Romo Kasdi adalah orang yang pertama kali belajar agama Buddha yang kemudian membawa dan mendirikan agama Buddha di Jlegong. Menurut penuturannya, sebelum mendirikan agama Buddha di Jlegong, selamat empat tahun ia mondok (tinggal) di Desa Congkrang untuk belajar agama Buddha.

“Di Desa Congkrang –saat ini masuk kecamatan Bejen, pemekaran dari Kecamatan Candiroto– lebih dulu berkembang agama Buddha. Selamat empat tahun lebih, saya bersama beberapa teman belajar dan mengikuti segala aktivitas umat Buddha di Desa Congkrang. Saat itu kami belajar dengan Bapak Suyono sebagai pimpinan umat Buddha Kecamatan Candiroto,” kenang Kasdi.

Namun seiring perjalanan waktu, Suyono harus transmigrasi ke Kalimantan. “Sebelum Pak Suyono berangkat transmigrasi, pada tahun 1974 saya minta Pak Suyono untuk meresmikan agama Buddha di Desa Jlegong. Tidak banyak waktu itu yang menyatakan diri beragama Buddha, hanya delapan kepala keluarga dengan 12 jiwa,” cerita Kasdi.

20160825 Vihara Budhi Daya di Temanggung Ini Jalankan Tiga Aliran Sekaligus 2Setelah menyatakan diri sebagai umat Buddha, 12 orang ini kemudian belajar bersama-sama ajaran Buddha secara otodidak. “Bagi kami, belajar agama Buddha seperti mencari ajaran filsafat leluhur kami yang telah lama hilang. Kedatangan Bhikkhu Narada ke Kecamatan Kaloran, di situlah untuk pertama kali kami melihat sosok seorang bhikkhu. Bombong rasa neng ati, koto deneng ketemu kari Sang Buddha (Senang sekali hati ini, seperti ketemu Sang Buddha),” tutur Kasdi.

Pada tahun 1992, umat Buddha Jlegong mendirikan cetiya yang diberi nama Cetiya Budhi Daya. Dan hingga saat itu, agama Buddha terus berkembang. Ketika banyak wilayah di Temanggung sempat terjadi gesekan antar sekte dan organisasi, umat Buddha Jlegong justru semakin berkembang karena bisa menyatu dengan berbagai sekte.

“Saya kenal umat Buddha Jlegong sejak tahun 1991. Umat Buddha di Desa Jlegong pada awal perkembangannya, mereka hanya berpikir dan mau belajar agama Buddha. Itu saja. Hingga tahun 90-an seorang romo dari kota Temanggung mulai mengenalkan sekte dan majelis. Saat itu juga muncul pembimbing dari pandita yang berasal dari Temanggung mengenalkan sekte dan majelis, tetapi saat itu tidak direspon oleh umat Buddha Jlegong karena menjaga keutuhan agama Buddha di Jlegong,” ujar Samidi, salah satu pembina umat Buddha Kabupaten Kendal, dan beberapa wilayah di Temanggung (Kecamatan Bejen, Candiroto, dan Jumo).

Setidaknya saat ini ada tiga aliran dan majelis yang hidup bersama di Vihara Budhi Daya, yaitu Theravada, Buddha Dhamma Indonesia, dan Mahayana. “Inilah istimewanya umat Buddha Jlegong, meskipun berbeda-beda bisa melaksanakan kegiatan bersama-sama, tanpa pernah terjadi pergesekan. Karena umat memahami bahwa belajar agama Buddha bisa dari mana saja,” tambah Samidi.

Begitu juga dengan Sri, pembina sekolah minggu vihara ini, harus mempelajari tiga tradisi dan aliran yang ada untuk mengajar sekolah minggu. “Pada malam hari, sebelum saya mengajar sekolah minggu, saya harus belajar bermacam-macam tradisi dalam agama Buddha. Dan kami melakukan kegiatan sekolah minggu ya secara bersamaan,” ujar Sri.

Keunikan tersebut mengundang para pemuda Buddhis dari Kabuapaten Temanggung, Semarang dan Kendal untuk melakukan safari vihara ke Jlegong pada Minggu (7/8) lalu. Di vihara ini para pemuda Buddhis belajar kehidupan rukun umat Buddha yang berbeda majelis dan tradisi.

Mereka harus menaiki mobil bak terbuka sambil berdiri selama lebih dari tiga setengah jam dari titik kumpul di Kaloran. Namun rasa lelah seakan hilang karena suguhan berbagai makanan dan senyum tulus umat Buddha Jlegong.

20160825 Vihara Budhi Daya di Temanggung Ini Jalankan Tiga Aliran Sekaligus 3 20160825 Vihara Budhi Daya di Temanggung Ini Jalankan Tiga Aliran Sekaligus 4

“Anak muda adalah generasi penerus bagi kami yang babat alas pertama kemunculan agama Buddha. Kami berharap melalui kegiatan seperti ini, pemuda Buddhis semakin memegang keyakinan terhadap Buddha Dhamma,” pesan Suwardi, Ketua Vihara Desa Jlegong.

“Ketika umat Buddha sudah sama-sama bergerak dan memegang teguh ajaran Buddha, saat itulah agama Buddha bangkit. Jangan fanatik dengan sektenya sendiri, karena apa pun organisasi dan tradisi yang kita jalankan semua adalah murid Buddha,” pesan Suwardi.

Lebih dari 185 Stupa Rusak Akibat Gempa Bumi di Myanmar

$
0
0

Ratusan stupa mengalami kerusakan akibat gempa bumi berkekuatan 6,8 skala Richter yang terjadi di Myanmar (Birma) pada Rabu (24/8).

Kekuatan gempa yang terjadi di sekitar 12 mil sebelah barat dari kota Chauk di wilayah Magway pada sekitar pukul 17.00 waktu setempat, dirasakan di berbagai wilayah di Magway, Bago, Ayeyawady, Yangon, Mandalay, Nay Pyi Taw, Sagaing, Shan, dan Rakhine.

Kementerian Agama dan Kebudayaan Myanmar mengatakan 185 stupa dan vihara di kota kuno Bagan, sembilan di wilayah Salay, tiga di Mrauk U dan tujuh di Sagaing, mengalami kerusakan. Begitu juga stupa dan bangunan lainnya di Mandalay, Rakhine dan Magway mengalami keretakan.

Sejumlah foto yang dikirim oleh Kementerian Informasi Myanmar dalam laman Facebook-nya MOI Webportal Myanmar, menunjukkan kerusakan pada stupa-stupa khususnya pada bagian puncaknya termasuk pada bagian yang disebut chatta/chatra (payung).

Dr. Kyaw Tun dari Komite Gempa Myanmar, seperti yang dilansir Eleven Myanmar, Kamis (25/8), mengatakan, “Ada patahan yang disebut ‘Gwaycho’ di kota Chauk, dengan ‘patahan Tuyintaung’ ke arah barat. Gempa Bagan tahun 1975 mengguncang Taungoo, Hinthada, Pyay, dan daerah deltanya. Gempa ini merupakan gempa dangkal. Menurut catatan, gempa Bagan terjadi karena patahan Tuyintaung.”

“Mungkin akan ada gempa susulan di Chauk, Magway, atau Rakhine. Ini dapat berlangsung beberapa bulan, tergantung pada tingkat keparahan gempa awal. Melihat gempa bumi di Taungdwingyi dan Thabeikkyin, serangkaian gempa susulan terjadi selama enam bulan berturut-turut,” tambahnya.

Aung Swe Win, Wakil Kepala Departemen Pemadam Kebakaran Myanmar mengatakan, “Kami sedang melakukan operasi pencarian dan penyelamatan di Magway dan Mandalay, dengan 35 anggota untuk masing-masing kota. Satu orang tewas setelah sebuah bangunan runtuh di Magway Region dan sebuah vihara rusak.”

Saat berita ini diturunkan, gempa yang juga dirasakan di Bangladesh itu, menewaskan empat orang dan melukai satu orang.

“Empat orang telah dilaporkan tewas, di Kota Yenangyaung dan Pakokku, masing-masing dua orang. Satu korban dikirim ke rumah sakit Pakokku,” kata Ko Ko Naing, Direktur Jenderal Departemen Kesejahteraan Sosial, Bantuan, dan Pemukiman.

Kota kuno Bagan yang juga dikenal sebagai Pagan, memiliki wilayah yang luas yang merupakan daya tarik wisata utama di Myanmar, dengan menampilkan panorama vihara-vihara kuno yang berjajar memanjang di cakrawala dengan diapit oleh Sungai Irrawaddy.

Situs tersebut memiliki lebih dari 2.200 bangunan, termasuk stupa dan vihara yang dibangun dari abad ke-10 hingga ke-14. Banyak di antara bangunan tersebut yang telah rusak karena faktor usia dan alam, sementara yang lain telah dipugar dalam beberapa tahun terakhir, dibantu oleh lembaga kebudayaan PBB, UNESCO.

Stupa-stupa di Myanmar tidak luput dari bencana alam khususnya gempa bumi karena negara Myanmar sendiri berada di wilayah rawan gempa, tempat di mana Lempeng Indo-Australia bergerak menentang Lempeng Eurasia. Dengan kata lain, bencana gempa bumi relatif umum terjadi di Myanmar.

Gempa besar terakhir di Myanmar melanda pada bulan April tahun ini menyebabkan kerusakan kecil dan tidak ada korban. (www.bhagavant.com)


Antara Eling dan Kehidupan Bisnis, Dapatkah Sejalan?

$
0
0

Beberapa waktu lalu, ada seorang rekan yang rajin membaca tulisan saya mengenai “Memimpin dengan Eling”. Dia menyukainya, hanya rekan saya ini mengatakan sepertinya sulit untuk diterapkan di dunia bisnis, terutama pada posisinya yang sering diuber target, diuber deadline.

“Bang, cocoknya mungkin untuk rumah ibadah saja ya ilmu eling ini.”

Sejenak kemudian kami terlibat percakapan yang lebih dalam mengenai bagaimana ilmu memimpin dengan eling ini diterapkan di dalam pekerjaan, terutama yang kaitannya dengan pekerjaan uber-menguber target, deadline, dan suasana di bawah tekanan. Juga yang tak kalah penting yang membuat banyak orang stres adalah politik kantor.

Memulai percakapan, saya memberikan analogi demikian. Umpama jam tangan Anda jatuh ke kolam, dan kolam tersebut airnya keruh. Apa yang akan Anda lakukan? Mereka yang biasa bekerja dengan spontan, cepat tanpa berpikir pasti akan memasukkan tangannya ke kolam. Mengambil apa saja dan mengeluarkannya. Ada batu, ada lumpur, ada mungkin kotoran lain, binatang kecil, ikan, belut, mungkin Anda akan memegang ular dan dipatuk ular. Ya, dengan kemujuran Anda mungkin akan mendapatkan jam tangan Anda kembali. Meskipun peluang tersebut terbilang kecil. Insting Anda mengatakan ambil semua secepatnya, sebab lingkungan Anda membentuk Anda untuk melakukan hal tersebut.

Terbentuk, barangkali sejak Anda kecil. Rebutan makanan, rebutan mainan, rebutan apa saja. Indera Anda menyerap itu semua, memasukkannya ke memori Anda, dan otak reptilian Anda memanggilnya secara refleks tanpa bisa Anda cegah.

“Akan tetapi, semua orang melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Kalau aku diam saja, mungkin aku dikira gila,” demikian rekan saya membela diri.

Gila. Tidak salah memang. Di zaman gila ini, yang gak ikut gila memang dipandang jadi aneh. Tapi falsafah kuno negeri kita mengatakan selalu lebih baik eling dan waspada. Tidak perlu mengikuti orang-orang menjadi gila.

Dunia ini dibentuk oleh persepsi, oleh bentukan indera kita yang memakan segalanya. Lewat mulut, lewat mata, lewat sentuhan, lewat pencerapan, lewat perasaan, dan lewat telinga. Semua berbaur menjadi satu, membentuk sang aku saat ini. Rumitnya, persepsi ini seringkali lebih banyak salahnya daripada benarnya.

Lihatlah secara sederhana bagaimana iklan shampo membentuk citra wanita cantik. Selalu harus panjang hitam berkilap mengurai. Dibombardir sedemikian rupa dengan iklan televisi, billboard, dan semua media lainnya. Perempuan yang tidak dikaruniai rambut panjang mengurai, sibuk melakukan rebonding untuk meluruskan rambut ikalnya. Hanya agar terlihat cantik. Suatu definisi yang dibuat bukan oleh sang pencipta, tapi oleh iklan yang kita makan setiap hari. Bila Anda ingin mengambil contoh lain, sungguh banyak, tak sulit menemukannya.

Kembali kepada soal mengambil jam tangan tadi. Praktisi eling melakukannya dengan cara yang berbeda. Jauh lebih cepat, lebih akurat, dan terhindar dari bahaya. Praktisi eling menunggu air keruh tersebut mengendap, kemudian ketika kotoran telah mengendap, kita dapat melihat benda-benda di dalamnya dengan transparan. Tidak perlu merogoh batu, kerikil, sampah, ikan, belut, dan lain-lain. Sekali ambil Anda akan dapat mengeluarkan jam tangan Anda. Lebih cepat, lebih akurat dan less risky.

Seringkali, pikiran reaktif kita begitu mendominasi sehingga kita seperti mengemudi tanpa rem. Rem blong. Gas pooll, akhirnya masuk jurang. Pikiran reaktif ini bekerja seperti refleks. Sedikit atasan tidak setuju dengan ide Anda, langsung ngambek. Sama seperti Anda ngambek ketika dulu tidak disetujui membeli mainan. Sedikit anak buah salah, kebun binatang bertebaran di seisi ruangan. Persis ketika di lingkungan Anda, Anda melihat bagaimana para orangtua memarahi anak-anaknya. Hanya ilmu eling yang dapat meredam pikiran reaktif ini. Pikiran reaktif ini seperti monyet yang liar, melompat terus-menerus, dari satu pohon ke pohon lain. Dari satu objek ke objek lain.

Dasarnya kebodohan, keserakahan, kebencian, dan angkara murka. Ada satu perumpamaan bagaimana menjerat monyet di hutan. Tanamlah toples berisi kacang di dalam tanah. Lihat bagaimana monyet memasukkan tangan ke dalam toples, meraup sebanyak-banyaknya kacang tersebut dan meronta-ronta untuk menarik kepalan tangannya agar bisa keluar dari mulut toples. Ia tidak ingin melepaskan genggaman kacang dari toples tapi ia ingin mengeluarkan tangannya dari toples. Itu perlambang pikiran reaktif kita. Ketika keserakahan datang, kebodohan ikut menemani. Setelah itu angkara murka menampakkan diri. Monyet akan teriak meraung-raung berjuang mengeluarkan kepalan tangannya, sambil marah, sambil ngomel. Alangkah sedihnya.

Seandainya dia tahu, hanya dengan eling dia dapat mengambil semua isi toples, mengeluarkan satu per satu kacang tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga, tanpa amarah. Oh, seandainya kita juga tidak seperti monyet tersebut, alangkah bahagianya. Namun, hidup di dunia yang berpacu dengan penumpukan materi ini membuat orang menjadi buas. Sikut kanan, sikut kiri, berkomplot di sana sini, partisan sana sini. Kantor pun jadi ajang politik. Ada yang suka atasan A, ada yang suka atasan B. Saling menjatuhkan pun terjadi. Jilat-menjilat pun terjadi. Upeti pun bertebaran. Mirip saweran organ tunggal kalau sudah semakin malam di Pantura. Lagunya dari kasidahan berubah menjadi “Buka titik josss!” Bagaimana kita bisa memulai sesuatu yang benar dengan cara yang salah. Bersyukurlah nenek moyang kita masih punya warisan ilmu eling ini. Ilmu yang mengingatkan kita untuk kembali kepada yang punya hidup.

Saya mencoba menginventarisir apa saja yang akan Anda peroleh bila praktik memimpin dengan eling ini Anda terapkan dalam bisnis atau pekerjaan Anda.

Pertama, letih akan berkurang. Praktisi eling selalu tidak terburu-buru, jantung tidak deg-degan selalu. Napas tidak seperti kuda pacuan. Mereka yang rush akan cepat letih sebab napas tidak terkendali, makan pun seperti balapan Formula 1.

Ada kesalahan persepsi soal kecepatan dalam hal ini. Cepat tidak selalu menjadi baik. Cepat haruslah juga akurat/tepat. Biarkan pikiran kreatif Anda bekerja untuk memberikan hasil yang lebih baik daripada menggergaji terus tanpa pernah mengasah gergaji Anda. Hasilnya tidak akan lebih baik. Gergaji yang tidak pernah diam diasah tidak akan menjadi tajam, produktivitas pasti menjadi rendah. Dengan berlatih bernapas secara eling, tubuh akan lebih rileks, pikiran lebih jernih. Ketegangan otot, saraf akan mengendur, dan Anda lebih siap untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik.

Kedua, problem solving atau pemecahan masalah. Analogi jam tangan yang jatuh di kolam tersebut dapat memberikan insight kepada Anda bagaimana eling dapat membantu Anda menyelesaikan masalah jauh lebih cepat dan akurat. Dengan Anda dapat menahan diri, tenang dalam menghadapi masalah, Anda akan beroleh keuntungan karena dapat melihat masalah dengan lebih jernih. Semakin Anda piawai mempraktikkan hal ini, Anda akan mampu menyelesaikan banyak masalah dengan lebih baik. Banyak orang berpikir multi tasking itu sangat baik dan cepat dalam menyelesaikan masalah, ilmu eling mengatakan, single tasking lebih baik dan lebih cepat menyelesaikan masalah. Fokus pada satu masalah dan selesaikan. Jangan campur adukkan semua masalah dan membuat Anda panik, jengkel, marah, dan tidak bisa jernih mengatasinya.

Ketiga, lebih jarang frustrasi. Biasanya profesional dan pebisnis seringkali jatuh pada tindakan frustrasi menyalahkan diri dan orang lain. Praktisi eling melihatnya dengan kaca mata yang berbeda. Praktisi eling tidak akan menghakimi diri sendiri dan orang lain atas peristiwa negatif. Semua kegagalan, hambatan, tantangan dilihat secara objektif. Bahwa kegagalan adalah bagian dari keberhasilan. Bahwa hambatan adalah bagian dari peluang, bahwa kesulitan adalah bagian dari jalan keluar. Praktisi eling selalu ingat: tidak ada kanan tanpa kiri, tidak ada bahagia tanpa derita. Tidak ada teratai tanpa lumpur.

Sahabatku, paling tidak ada tiga hal tersebut yang akan kita peroleh ketika berlatih memimpin dengan eling. Semua memang masih dalam tataran pengetahuan, ubahlah menjadi keterampilan, dan jadikanlah memimpin dengan eling menjadi kebiasaan. Semoga Anda akan memperoleh manfaat dari latihan tersebut.

Akhir kata, dunia dibentuk persepsi. Kita termakan persepsi. Yang gila dianggap waras, yang waras dianggap gila. Tak heran seorang bijak mengatakan jangan percaya dan mengikuti sesuatu hanya dikarenakan orang banyak melakukannya, orangtua mengajarkannya, teman-teman mengajak atau karena atasan mengatakannya. Periksalah dengan eling, dengan demikian kita akan terbebas dari belenggu subjektivitas dan menjadi manusia yang selalu objektif memandang segala hal. Tidak mudah terjebak pada ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Selalu melihat dengan jernih.

*) Budiman Goh, bisa diikuti blognya di https://leadershipmindful.wordpress.com

Moon Cake Festival

$
0
0

Kamis, 15 September 2016
Pukul 19.00 – selesai
Vihara Mudita Center
Jl. Bisma Raya Blok A No. 68, Sunter Agung, Jakarta Utara

Acara: kebaktian, kesenian, ramah tamah, dan makan Kue Bulan bersama

Informasi:
– Harrison 087878443735
– Jesika 0811190735
– Mudita Center (021) 65305315

Penyelenggara:
Mudita Center

Enam Pertanyaan Mendasar tentang Agama Buddha

$
0
0

Anda baru mengenal agama Buddha? Atau mungkin Anda punya teman atau anggota keluarga yang tertarik pada agama Buddha? Mungkin ada banyak pertanyaan, dan di sini Anda akan menemukan jawaban yang semoga bisa membantu. Berikut ulasan singkatnya!

1. Apa ciri keyakinan dalam agama Buddha?
Agama Buddha memiliki banyak konsep keyakinan dan praktik, tetapi ada beberapa prinsip bersama; ini adalah penemuan mendasar yang dibuat oleh Guru Agung Buddha.

Thich Nhat Hanh menggambarkannya dengan cara ini: ketidakkekalan, (semuanya selalu berubah), tidak ada diri (tidak memiliki inti jiwa), dan nirwana (kedamaian adalah pembebasan dari segala tentang konsep).

2. Apakah agama Buddha itu religius?
Cendekiawan Charles Prebish menjawab, “Ya!”
Guru Dzogchen Ponlop Rinpoche menjawab, “Tidak!”
Guru Zen Joan Sutherland menjawab, “Keduanya.”

Semua jawaban tergantung kepada siapa Anda bertanya, dan itu tergantung pada definisi Anda tentang “agama,” juga. Sebagai contoh, kita sudah meminta tiga pendapat pemikiran kepada seorang Buddhis yang terkemuka mengenai pertanyaan yang sama, dan mereka memiliki tiga tanggapan yang berbeda.

Jawaban yang paling penting, tentu saja, adalah Anda sendiri. Dan karena itu Anda mungkin mencari penghiburan dalam kenyataan bahwa apa pun pandangan Anda −agama, psikologi, cara hidup− jika itu bekerja untuk Anda, Anda benar.

3. Jika saya tidak religius, apakah itu baik-baik saja?
Benar. Banyak orang −khususnya mereka yang menganggap dirinya “spiritual tetapi tidak ingin dikaitkan dengan institusi yang bernama agama”− telah menemukan bahwa pemikiran Buddhis dan meningkatkan praktik dapat bekerja dengan baik dalam kehidupan mereka.

4. Apakah ada jiwa yang kekal di dalam agama Buddha dan reinkarnasi?
Narayan Helen Liebenson menjelaskan, “Anatta (tiada diri) adalah inti ajaran Buddha, seperti kelahiran kembali.” Bagaimana kita menempatkan ajaran-ajaran yang tampaknya bertentangan itu? Guru Agung Buddha mengajarkan bahwa pembebasan dari samsara yakni putaran berulang kelahiran dan kematian adalah mungkin melalui pemahaman tiada diri.

Semua ajaran membimbing kita menuju berakhirnya penderitaan; Buddha tampaknya lebih tertarik dalam membantu makhluk hidup menemukan jalan keluar dari penderitaan.

5. Apa itu Dharma?
Reginald Ray menulis, di antara tiga permata dari Buddha, Dharma dan Sangha, di mana semua umat Buddha berlindung, Dharma adalah unggulan. Di satu sisi, Ray menjelaskan itu adalah “yang mendasari, substratum realitas −kehidupan kita dan dunia kita.”

Dalam arti kedua, Dharma adalah fenomena, yakni “apa yang terjadi dalam hidup kita, apakah kita suka atau tidak, apakah kita berharap untuk itu atau tidak, apakah kita berharap atau tidak.” Dalam pengertian ketiga dan keempat, Dharma dianggap sebagai jalan Buddha itu sendiri, dan yang paling penting, ajaran Buddha yang membawa kita sepanjang jalan.

6. Bagaimana jika saya tidak punya guru atau komunitas untuk belajar?
“Bagi penekun spiritual,” tulis Judy Lief, “tidak ada peta yang jelas. Bahan belajar sangat banyak, sehingga dapat mencari tahu di mana saja untuk memulai. Jadi yang terbaik untuk mulai dari awal −dengan diri sendiri.” (www.lionsroar.com)

17 Dhammaduta dari Solo, Jepara dan Semarang Membabarkan Dhamma di Temanggung

$
0
0

Program Dharmaduta Keliling (Dharling) Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) Jawa Tengah berlanjut. Kali ini sebanyak 17 Dhammaduta dari Jepara, Solo dan Semarang mendapat giliran berceramah di Temanggung. Namun karena luasnya wilayah dan banyaknya vihara yang menyebar hampir di semua daerah di Temanggung, Dharling kali ini baru terlaksana di wilayah Kaloran.

Dharling merupakan program Magabudhi Jawa Tengah yang bertujuan untuk saling mengunjungi dan mengenal umat Buddha dan Dhammaduta dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Program ini sudah berlangsung sejak bulan Maret 2016. Namun sampai sekarang, program ini baru berjalan tiga kali, yaitu ke Jepara, Kebumen, dan Temanggung.

Sabtu (27/8) pukul 15.00, para Dhammaduta dari berbagai daerah berkumpul di PAUD Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran. Setelah melakukan bersih diri dan pembagian tugas, 17 pembabar Dhamma dikirim ke berbagai vihara. Sebanyak 15 vihara di wilayah Kaloran mendapat jatah kunjungan pada Sabtu malam.

Patma Galih Sambawa, Dhammaduta dari Solo, mendapat jatah menyampaikan Dhamma di acara Puja Bakti Minggon (anjangsana rutin dari rumah ke rumah umat Buddha). Kepada umat Buddha Vihara Dhamma Sarana, Patma mengungkapkan kegembiraannya, “Saya dengar tadi pas berbincang dengan umat sini, satu dusun ini semua beragama Buddha ya? Bangga rasanya saya bisa berada di sini.”

Alumni Vidyasena angkatan pertama ini menyampaikan betapa beruntungnya masyarakat di Dusun Krecek mengenal agama Buddha, “Saya dulu terlahir bukan beragama Buddha. Dari proses pencarian spiritual dan berbagai pertanyaan tentang kehidupan, akhirnya saya menemukan ajaran Buddha. Ajaran Buddha yang sangat masuk akal tentang kehidupan ini yang membuat saya tertarik mempelajari dan ehipassiko (membuktikan sendiri -red) terhadap ajaran Buddha. Jadi beruntungnya Anda yang terlahir sejak kecil dan mengenal agama Buddha.”

Oleh sebab itu, Patma mengajak umat Buddha Krecek untuk memperkokoh keyakinan terhadap Buddha Dhamma dengan praktik dan ehipassiko sendiri. “Meditasi merupakan ajaran Buddha yang sangat populer di dunia belakangan ini. Bapak Ibu harus berlatih meditasi setiap hari untuk mendapat manfaat kebahagiaan dari ajaran Buddha,” pesan Patma.

“Saya sendiri setiap hari berlatih meditasi, saya mempunyai usaha, punya bisnis dan punya banyak karyawan. Kalau saya tidak meditasi tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan, tidak akan bisa konsentrasi dalam melakukan pekerjaan saya,” jelasnya.

20160906 17 Dhammaduta dari Solo, Jepara dan Semarang Membabarkan Dhamma di Temanggung 2

Bukan hanya Patma, Rhin Daryono sesama Dhammaduta dari Solo juga merasa kagum dengan umat Buddha Temanggung. “Pada umumnya umat sini kan petani, jam 9 malam puja bakti baru dimulai, selesai hampir sampai jam 11 malam. Paginya mereka harus bangun pagi-pagi untuk ke ladang. Betapa hebat semangat umat Buddha di sini!” puji Rhin.

Sementara Waluyo, Dhammaduta dari Semarang yang mendapat tugas di Vihara Dhamma Siki, Dusun Batursari, Desa Tleter menyampaikan tentang bagaimana menjadi orang baik. “Ajaran Buddha menuntun kita untuk menjadi orang baik. Bahkan tidak cukup menjadi orang baik saja, tetapi orang yang bersih pikirannya,” ujar Waluyo.

Para Dhammaduta itu kembali ke PAUD hampir pukul 12 malam. Minggu pagi, setelah makan pagi, kegiatan dilanjutkan dengan mengunjungi sekolah minggu di beberapa vihara. Dan pukul 1 siang kembali melaksanakan tugas membabarkan Dhamma. Kali ini tidak banyak yang dukunjungi, hanya empat vihara, yaitu Vihara Dharma Sagara (Larangan Jayan), Buddha Metta (Mranggen), Dhamma Puspita (Cendono), dan Kartika Kusala (Gletuk).

Menemukan Kembali Akar Spiritualitas, Agama Buddha di Bali

$
0
0

Agama Buddha tidaklah asing bagi masyarakat Bali, karena di pulau ini pernah tercatat berkembang agama Siwa-Buddha. Catatan ini membuktikan agama Buddha pernah menjadi salah satu agama masyarakat Bali dan membuktikan pula bahwa agama Buddha memiliki landasan filosofi moral cinta kasih yang universal sehingga mampu hidup berdampingan dan menyatu dengan agama-agama (sekte-sekte) lain secara harmonis.

Catatan sejarah menunjukkan agama Buddha diperkirakan masuk ke Pulau Dewata pada abad VII-VIII. Banyak bukti sejarah yang kini menjadi saksi keberadaannya, seperti stupika (stupa), candi, patung-patung Buddha yang ditemukan di wilayah Kabupaten Gianyar, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng. Terakhir diketemukan stupa-stupa di Desa Kalibukbuk.

Banyak tokoh Buddhis di Bali yang tercatat memiliki peran amat penting dalam menata sosial kemasyarakatan, misalnya Mpu Kuturan, Mpu Nirarta (Dang Hyang Nirarta kemudian menyebarkan Siwa, yang dalam praktik hidupnya masih kental dipengaruhi oleh filosofi Buddha), Mpu Astapaka, dan lain-lainnya. Bahkan keturunan Mpu Astapaka (merupakan keponakan Dang Hyang Nirarta) hingga kini masih jelas identitas Buddhisnya.

Seperti yang kita lihat saat ini, paham-paham Buddhis telah demikian luas dan menyatu secara harmonis dengan faham-faham lainnya seperti Siwa, Bojangga, Waisnawa, Sora dan lain-lainnya menjadi satu, yaitu yang kita kenal sebagai agama Hindu Bali yang kemudian menjadi agama Hindu.

Seiring dengan perkembangan sosial kehidupan masyarakat Indonesia secara umum, agama Hindu dan Buddha mengalami kemunduran yang sangat berarti setelah tokoh-tokoh di atas tiada. Guru-guru spiritual yang berkualitas amat langka, kitab-kitab suci pun amat terbatas (kalau toh ada cenderung dikeramatkan oleh pemiliknya), lontar-lontar mulai ditinggalkan dan dilupakan karena desakan teknologi dan arus materialisme. Makna ritual keagamaan mulai bergeser menjadi dogma. Keadaan seperti ini berlangsung hingga bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda dan Jepang.

Setelah zaman kemerdekaan, mulailah muncul keinginan-keinginan mempelajari agama-agama leluhur dan lahirlah kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban yang khusus menggali dan mempelajari agama dan sastra yang pada zaman itu sangat populer dengan sebutan kelompok-kelompok kebatinan. Kitab-kitab suci agama Hindu dan Buddha mulai bisa didapatkan dari luar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dhammaduta asing mulai datang ke Indonesia. Kaum intelektual mulai tertarik memperdalam belajar agama yang otentik/murni.

Tercatat pelajar-pelajar Bali di Yogyakarta antara lain I Ketut Tangkas (Alm. Bhante Tithaketuko), IGN Oka Diputhera dan lain-lainnya ikut tergabung dalam kelompok-kelompok yang menggali dan mempelajari filsafat-filsafat agama yang murni. Di Bali tercatat nama Ida Ketut Jelantik dari Desa Banjar Tegehe merupakan figur sastrawan yang getol mempelajari agama Buddha. Ida Ketut Jelantik yang terkenal dengan karya sastranya yang berjudul Sucita Subudi adalah paman Ida Bagus Giri (kemudian dikenal dengan nama Alm. Bhante Girirakkhito).

Ida Ketut Jelantik membangkitkan kembali ajaran Buddha yang otentik melalui kelompok-kelompok sastrawan di Bali Utara/Buleleng khususnya di desa Banjar dan sekitarnya. (www.brahmavihara.com)

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live