Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Belajar Keindahan Hidup dari Umat Buddha Blitar

$
0
0

Jauh sebelum agama Buddha dianut secara resmi di Blitar, masyarakat telah menganut Siwa-Buddha dan Kejawen sebagai jalan spiritual. Baru pada 1965 ketika pemerintah Orde Baru mewajibkan masyarakat Indonesia memilih salah satu agama yang diakui oleh pemerintah, sebagian besar masyarakat berbondong-bondong masuk agama Buddha, sebagian masuk ke agama Hindu, sebagian kecil masuk ke agama Islam, Kristen maupun Katolik.

Blitar pada masa lalu termasuk wilayah Kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit, sebuah wilayah spiritual bagi Hindu dan Buddha. Karena keterhubungan sejarah inilah, umat Buddha di Kabupaten Blitar Jawa Timur bisa tumbuh dan bekembang dengan baik.

“Sebagian besar umat Buddha di Blitar, sudah ada secara turun temurun. Legalnya pada 1965, memperkuat sebelumnya, mereka sudah berbudaya dan berciri hidup dengan agama Buddha. Awalnya kejawen yang condong ke Siwa-Buddha karena masih dalam peninggalan Kediri, Singasari dan Majapahit,” terang bhante yang baru menyelesaikan sepuluh masa vassa ini.

Perkembangan agama Buddha

Hingga saat ini, umat Buddha di Kabupaten Blitar tersebar di segala penjuru. Hampir di setiap kecamatan dan desa ada walaupun secara jumlah tidak banyak. Kecamatan Selorejo termasuk daerah dengan perkembangan agama Buddhanya sangat baik, terdapat lima vihara, dan yang terutama adalah pemahaman akan Buddhadhamma.

“Vihara Buddhasasana Jaya, Desa Boro, Dusun Buneng, umat Buddhanya mayoritas, ada lebih dari 150 kepala keluarga, jadi kalau mau dihitung secara jumlah di dusun ini umat Buddhanya paling banyak. Karena dari turun temurun itu memang mayoritas, di sekitar desa ini ada 5 vihara, ada Sidorejo, Sidomukti, Dusun Jeding.”

Selain itu, di Blitar juga banyak vihara-vihara besar sebagai pusat meditasi dan aktivitas umat Buddha. Salah satu yang paling terkenal adalah Pondok Meditasi Balerejo, yang dibina langsung oleh Bhante Uttamo dan Vihara Samaggi Jaya yang berada di Kota Blitar dekat dengan makam Bung Karno.

Saat ini, perkembangan agama Buddha di Blitar semakin baik. Hal ini tidak lepas dari para Pembina terutama para bhikkhu yang memang fokus membina di wilayah Blitar. Beberapa Bhikkhu yang mempunyai pengaruh besar adalah Bhante Uttamo dan Bhante Sukito.

“Makin terang perkembanganya, makin jelas dan makin eksis meskipun secara jumlah memang agama Buddha tidak mengejar kuantitas, tapi lebih pada kualitas hidup sebagai umat Buddha. Menurut saya umat Buddha Blitar, bertahan dan lebih baik dalam arti pemahaman Buddhadhamma.”

4

Kebersamaan dan toleransi

Dari kacamata bhante Jayaratano sebagai seorang pendatang, masyarakat Blitar sangat menarik dari sisi kebersamaan dan toleransi.

“Saya sendiri pendatang, sudah 3 tahun bantu di Blitar. Bagi saya pribadi di Blitar ini menarik, menurut saya masyarakatnya sangat guyub, kalau ada acara seperti ini semua terlibat, ibu-ibu masak dan tidak ada beli masakan dari luar, asli dari sini. Toleransi umat beragama pun sangat baik di sini, kalau kita lihat tadi yang masak ada yang berjilbab, yang bantu parkir di luar tadi bukan umat Buddha. Inilah menariknya Blitar.

“Begitupun sebaliknya ketika umat lain ada acara, masyarakat Buddha juga bantu, di sini guyubnya sangat terasa. Saya sering keliling Indonesia melakukan pembinaan, tapi saya merasakan hal yang sangat berbeda di Blitar ini, dalam hal guyub dan toleransi. Saya kalau ke sini seperti pulang ke rumah,” tuturnya.

Bhante memberikan contoh, “Kenaapa mereka bisa guyub, mereka sudah meninggalkan ego. Ini berbeda dengan di daerah lain, ketika temanya sukses di sini yang lain ikut senang, tidak iri, mohon maaf tidak seperti di tempat lain. Misalnya ada ibu yang pintar memasak, yang lain tidak sabotase tetapi malah minta diajari dan yang diajari mau. Inilah guyubnya,” pungkasya.


Perayaan Waisak 2017 dan Festival Candi Muarojambi

$
0
0

Pergelaran wisata sejarah, Festival Candi Muarojambi di lokasi Candi Muarojambi, Kecamatan , Kabupaten Muarojambi dilaksanaan bersamaan dengan perayaan Hari Raya Waisak 2561, Kamis, 11 Mei 2017. Kedua kegiatan tersebut digelar secara bersamaan sebagai salah satu strategi meningkatkan kunjungan wisata mancanegara ke Jambi, khususnya wistawan dari Thailand, Singapura, Tiongkok dan Hongkong.

Untuk mempersiapkan Festival Candi Muarojambi dan perayaan Waisak 2561 BE tersebut Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, Zumi Zola mengundang unsur pimpinan umat Buddha se-Provinsi Jambi. Pertemuan  tersebut dilaksanakan di ruang utama kantor Gubernur Jambi, Selasa (21/03/2017). Pertemuan yang dipimpin Asisten Administrasi Umum (Asisten III) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi, H Saipudin tersebut dihadiri puluhan tokoh agama Buddha Jambi.

H Saipudin pada pertemuan tersebut mengungkapkan, Gubernur Jambi, H Zumi Zola Zulkifli menginginkan adanya nuansa baru dalam perayaan Waisak di Provinsi Jambi, 11 Mei 2017. Nuansa baru tersebut, yakni semua umat Buddha di Provinsi Jambi bisa berkumpul bersama di Candi Muarojambi untuk merayakan Hari Raya Waisak.

Menurut Saipudin, berdasarkan hasil pertemuan dengan tokoh agama Buddha Jambi tersebut, umat Buddha Jambi dan jajaran Pemprov Jambi akan membentuk panitia Festival Candi Muarojambi dan Perayaan Waisak 2017. Panitia bersama tersebut sudah mewakili semua vihara-vihara, majelis-majelis untuk masyarakat Buddha di Jambi.

“Kita sangat mengharapkan semua masyarakat Buddha dan biksu yang ada di Provinsi Jambi dapat hadir pada acara tersebut. Perayaan Hari Raya Waisak se-Provinsi Jambi ini bersamaan dengan Perayaan Hari Waisak Nasional yang terpusat di Candi Borobudur,”katanya.

Saipudin mengatakan, masyarakat Buddha dari wilayah tetangga Provinsi Jambi, termasuk se-Sumatera juga diharapkan bisa menghadiri perayaaan Waisak di Candi Muarojambi dalam rangka memperingati Hari Raya Waisak 2017 di Jambi.

“Bapak Gubernur Jambi ingin adanya warna baru pada peringatan Hari Raya Waisak, yakni adanya rangkaian kegiatan wisata di Candi Muarojambi. Pelaksanaan Festival Candi Muarojambi dan perayaan Waisak ini bermanfaat meningkatkan kunjungan wisata ke Jambi sekaligus menjadi arena pembauran umat beragama dan etnis di Jambi,” katanya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kesejahteraan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Jambi, H Syahruddin mengatakan, pertemuan Pemprov Jambi dengan tokoh umat Buddha di Jambi tersebut bertujuan mempersiapkan acara Perayaan Hari Raya Waisak 2017 yang akan dilaksanakan di Candi Muarojambi.

Acara tersebut, bertepatan dengan Festival Candi Muarojambi yang akan dilaksankan pada tanggal 11 Mei 2017. Pada kesempatan tersebut akan diundang seluruh masyarakat Buddha yang ada di Sumatera serta dan Menteri Pariwisata RI. (jambipos-online.com)

Mengenal Agama Budhojawi/Wisnu

$
0
0

Berapa agama yang Anda kenal di Indonesia? 6? Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu? Benar! Itu agama yang diakui secara sah oleh negara. Selain itu, tidak diakui sebagai agama yang resmi oleh pemerintah. Berarti, selain keenam agama di atas termasuk kategori apa? Penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME, alias bukan agama.

Syarat untuk diakui sebagai agama harus mempunyai kitab suci, nabi, ajaran yang baku, dan pengakuan internasional. Itu terjadi pada 1952 yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Belum lagi ditambah unsur agama samawi pada 1959, setiap keyakinan yang menghendaki pengakuan sebagai agama haruslah memiliki “Wahyu Allah”.

Sementara menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) definisi agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan YME serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta manusia dan lingkungannya. Menurut Kamus Jawa Kuna Indonesia, agama merupakan sebuah aturan suci karya suci, dan ajaran suci. Secara umum bagi manusia Jawa, agami yakni agemaning aji, busana untuk hati.

Sebuah agama tua di Jawa

Weddo Djojo sampurno ditulis oleh Resi Budhojawi/Wisnu yang menerangkan bahwa agama Budhojawi/Wisnu bangkit kembali di Surabaya pada 19 November 1925. Orang yang berperan mengembangkan kembali ajaran ini adalah Rama Resi Kusumodewo. Pria dengan nama kecil Slamet. Ia merupakan tokoh seangkatan Bung Karno, Supriyadi, dan Hamengku Buwono IX.

Agama Budhojawi/Wisnu terdiri dari beberapa unsur, Tantra Vajrayana, Kejawen, dan Hindu Wisnu. Tantra Vajrayana dicirikan dengan mantra pembuka, yakni Hong Wilaheng, sebagaimana tertera dalam kumpulan mantra suci dalam bahasa Jawa yang dihimpun oleh Wiku Dewadharmaputra Maha Sthavira dari Wihara Buddhayana, Rembang (2012). Contoh, Hong wilaheng awighnam astu namah siddham, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa menjadi, Rahayu sagung dumadi saindengin buana. Sayektine temen-temen metu sakarasanigsun sedaya. (Selamat sejahtera semua yang tercipta di seluruh alam. Sejatinya semua benar-benar keluar dari kehendak saya pribadi).

Kejawen, tampak dari praktik-praktik budaya yang diturunkan sejak sebelum pengaruh Islam puritan menjadi kuat di Jawa. Seperti misalnya, selamatan, kepatuhan terhadap numerologi kalender Jawa, dan keyakinan terhadap sedulur papat limo pancer (Sebuah konsep tua di Jawa tentang makhluk suci penjaga diri manusia).

Hindu Wisnu, cirinya tampak pada pemujaan pada Dewi Sri (Dewi kesuburan tanah/ Dewi padi). Ibu bumi sebagai sumber kehidupan. Diwujudkan dengan sedekah bumi, yang dianggap sebagai wujud bhakti yang terpenting dalam tradisi Budhojawi/Wisnu.

Theravada, hal yang terakhir ini karena tekanan dari negara pasca tragedi 1965, demi memenuhi aturan negara untuk menganut salah satu agama yang diakui secara sah oleh negara. Bergabungnya pemeluk Budhojawi/Wisnu ke agama Buddha tak lepas dari peran Bhante Girirakhito pada 1968 yang datang dari Bali ke Banyuwangi, Jawa Timur atas prakarsa dari tokoh Budhojawi/Wisnu.

JK-2

Kondisi saat ini

Hampir musnah! Di Banyuwangi hanya tinggal menunggu waktu punah. Komunitas Mbah Kerto adalah yang tersisa, secara praktik ibadah, mereka mempraktikkan ibadah sesuai dengan tradisi Theravada. Namun komunitas ini tetap ingin mempertahankan ciri khusus mereka, antara lain mengenakan pakaian adat Jawa ketika sembahyang/puja bhakti. Bagi pria mengenakan surjan atau beskap atau baju batik dengan celana panjang, wajib mengenakan ikat kepala atau blangkon. Berkebaya dan memakai jarik sebagai bawahannya.

Di samping itu, mereka menekankan pentingnya menentukan hari-hari penting berdasar kalender Jawa, bagi pria kemaluannya tidak disunat/khitan, serta memasang senjata cakra di atap wihara. Wihara menurut Mbah Kerto menyebutnya dengan istilah sanggar pamujan. Membangun sanggar pamujan selalu mensyaratkan laku yakni mengurangi bicara yang tak penting. Praktik spiritual di Jawa khususnya, tak lepas dari penyesuaian dengan kondisi alam, manusia, dan budayanya. Negara tak pernah berpihak pada agama lokal. Mampukah agama Budhojawi/Wisnu menembus dimensi ruang dan waktu yang pekat di tanah tempat ia tumbuh, Jawa?

Hong Wilaheng

Ngigena mestuti, luputa sarik lawan sandi, luputa dendhaning tawang-towang.

Jagad Dewa Bathara, Hyang Jagad Pramuditha buwana langgeng.

(Hong Wilaheng

Semoga selamat semuanya, terhindar dari marabahaya, terhindar dari segala godaan.

Alam Dewa Batara, Hyang alam keluhuran alam langgeng)

 

*Disarikan dari buku, “Senjata Cakra di Atap Wihara”. Oleh Nusya Kuswantin. Penerbit Wiwara, Maret 2017.

Ibu Bumi dan Tumimbal Lahir

$
0
0

Pengertian reinkarnasi berbeda dengan apa yang dalam bahasa Inggris disebut rebirth, yang dalam bahasa Indonesia biasanya akan diterjemahkan sebagai lahir-ulang atau tumimbal lahir. Karena reinkarnasi berlandaskan pada ajaran Hindu dan lahir-ulang atau rebirth berasal dari ajaran Buddha, ada perbedaan mendasar dari kedua ajaran tersebut, mengenai atta (diri sejati, entitas mutlak dalam diri setiap makhluk): Hindu meyakini adanya atta, Buddha menolaknya melalui ajaran Anatta (tidak ada inti diri).

Apa hubungannya antara tumimbal lahir dengan Ibu Bumi?

Dalam pelbagai bentuk pendidikan tentang pentingnya melestarikan alam, kita sering menemukan ungkapan-ungkapan yang menggugah seperti, “Mari kita lestarikan Bumi demi anak-cucu kita”, atau “Bumi ini bukanlah milik kita, tetapi pinjaman dari anak-cucu kita.”

Ungkapan-ungkapan itu benar adanya. Masalahnya, suka atau tidak, makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya sesungguhnya makhluk-makhluk yang terutama sekali dimotivasi oleh dorongan egosentris. Semangat altruistik adalah sesuatu yang langka di kalangan kita, jika tak bisa dikatakan tak ada sama sekali. Hal ini misalnya, pernah dibahas dalam sebuah buku tentang gen-gen egois atau selfish gen yang memaparkan kepada kita bahwa, bahkan di tingkat gen pun kecenderungan untuk bersikap egois, egosentris, itu sudah ada dan tampaknya di sisi lain adalah bagian dari mekanisme seleksi alam.

Jadi, ketika makhluk egois seperti kita mendengar ajakan “Mari lestarikan Bumi demi anak-cucu kita”, mari bersikap jujur: apa yang langsung seketika muncul dalam batin kita?”

Pikiran

Barangkali tidak banyak yang menyadarinya karena kecepatan gerak pikiran yang luar biasa, tetapi saya yakin yang muncul adalah suatu rasa “emangnya gue pikirin” dalam pelbagai derajat. Itu karena kecenderungan egoistik kita menciptakan jurang antara kita dengan anak dan cucu yang akan mewarisi Ibu Bumi dari kita: kita menganggap mereka (anak dan cucu itu) adalah yang lain, liyan, yang bukan AKU, dan karenanya buat apa ku pedulikan?

Tetapi sebagaimana alam memanfaatkan gen-gen egois dalam putarannya, kita pun bisa memanfaatkan kecenderungan ini untuk menggugah kesadaran kita akan pentingnya mencintai Ibu Bumi. Hanya saja, cara ini barangkali hanya berhasil bagi mereka yang meyakini adanya kelahiran ulang setelah kehidupan yang sekarang ini: dengan memandang pelestarian lingkungan dari sudut pandang kelahiran ulang, membuat kita menyadari bahwa, apa yang kita anggap sebagai anak-cucu yang kelak mewarisi bumi bisa jadi bukan lain daripada KITA sendirilah. Karena dalam ajaran tentang kelahiran ulang menurut agama Buddha, disebutkan bahwa setiap makhluk hidup akan terus lahir-mati berulang-ulang di pelbagai alam kehidupan di antara 31 alam—yakni, singkatnya: alam manusia, alam neraka dengan pelbagai tingkat, alam surga dengan pelbagai tingkat, alam binatang, dan alam para hantu dan siluman dengan pelbagai tingkatannya juga—sepanjang belum mencapai pencerahan tertinggi.

Dengan begitu, memandang dari sudut ini berarti bahwa, ketika saat ini kita bersikap kasar kepada Ibu Bumi dan menyebabkan kesengsaraan yang hebat padanya, dan lalu kita meninggal dalam kehidupan ini, ada kemungkinan setelahnya kita terlahir ulang kembali di Bumi ini dan mendapatkan Ibu Bumi yang sengsara. Apa akibatnya bagi kita jika Ibu Bumi sengsara?

IB

Kita sesungguhnya tak pernah pergi jauh-jauh dari lingkaran keluarga kita sendiri. Di Bali yang mayoritas Hindu sudah lama dikenal suatu kepercayaan bahwa para bayi yang lahir di setiap keluarga bukanlah “orang asing” bagi keluarga itu. Mereka bisa jadi adalah kakek atau nenek dari pihak ayah atau ibu yang telah meninggal, atau leluhur yang lebih jauh yang numitis (lahir kembali) ke dunia ini. Kepercayaan ini mungkin akan terasa menggelikan bagi sebagian yang skeptis, tetapi ada suatu tanda-tanda bahwa apa yang diyakini masyarakat Hindu Bali bukanlah suatu omong kosong. Pelbagai temuan di belahan dunia lain memiliki kesamaan kepercayaan dengan orang-orang Hindu Bali, dan bukti-bukti ilmiah penguatnya barangkali kini sedang dalam proses ditemukan.

Karenanya, dengan mempertimbangkan hal-hal itu, bahwa kita bisa jadi akan terlahir ulang kembali di bumi ini kelak sebagai anak-cucu KITA sendiri, semoga bisa membuat kita makin menyadari pentingnya mencintai Ibu Bumi. Sebab aksi cinta ini, pelestarian ini, bukanlah demi siapa-siapa, tetapi sesungguhnya DEMI KITA sendiri!

 

Hidup EGOIS!

Chuang 141113

Romo Among, Penyemai Agama Buddha di Yogyakarta dan Temanggung

$
0
0

“Kalau berbicara tentang umat Buddha Kaloran, tidak akan bisa dilepaskan dari peran Romo Among”. Bhikkhu Sri Pannyavaro.

Pandita Sailendra Among Pradjarto atau lebih akrab disapa Romo Among merupakan tokoh yang berjasa besar dalam perkembangan agama Buddha Yogyakarta dan Temanggung. Pada masa awal “kebangkitan” agama Buddha di Indonesia, di Yogyakarta Romo Among bersama delapan tokoh (djoyo wolu) memelopori kegiatan keagamaan buddhis hingga berdirinya Vihara Buddha Karangdjati.

Menurut catatan Kris Budiman, seorang seniman dan dosen di Yogyakarta, menyebutkan bahwa sebelum ada vihara-vihara lain di Yogyakarta, Vihara Buddha Karangdjati adalah vihara pertama. “Vihara ini, tak pelak lagi, adalah sebuah heritage budaya (cultural heritage) yang penting bagi umat Buddha di Yogyakarta,” tulisnya.

Bagaimana Romo Among mengenal agama Buddha?

“Pada mulanya di Cetiya Buddha Khirti, Daerah Sayidan milik bapak Tjan Tjoen Gie kedatangan tamu Bhante Jinaputa. Bhante Jinaputa ini adalah bhante yang sangat teguh memegang vinaya. Jadi tidak mau tinggal terlalu lama di lingkungan umat. Tjan menghubungkan dengan Romo Among. Saat itu Romo Among belum beragama Buddha, masih kejawen.”

“Bisa tidak kalau ngopeni (merawat) bhikkhu ini, Romo Among menjawab bisa. Dulu di vihara ini adalah kandang sapi yang sudah lama tidak dipakai, milik Romo Among pasca perpindahan kekuasaan Hindia Belanda, dibersihkan lalu digunakan untuk tinggal Bhante Jinaputa. Pada masa itu, Romo Among melayani dan terjadi diskusi, tapi diskusinya apa kami tidak tau. Hanya Romo Among pernah mengatakan kalau ada adu kekuatan spiritual antara Bhante Jinaputa dan dirinya”.

Dari diskusi-diskusi tersebut Romo Among mengakui bahwa Bhante Jinaputa adalah sosok bhikkhu yang luar biasa yang membuatnya mengikuti jejak Bhante Jinaputa belajar Dharma. Ketokohan Romo Among di Yogyakarta, khususnya daerah Karangdjati membuatnya mempunyai banyak pengikut. Para pengikut spiritual Romo Among ini kemudian mengikuti jejaknya belajar Dharma.

Sejak saat itu, mulai ada aktivitas agama Buddha di Karangdjati. Bekas kandang sapi yang semula digunakan untuk tinggal Bhante Jinaputa dijadikan vihara dengan nama Vihara Buddha Karangdjati.

“Sampai ada sarasehan malam purnama siddhi di sini, ada kebaktian, diskusi, dan makan bersama. Sayang sepeninggalan Romo Among, tradisi ini sempat terhenti lama. Sekarang kami baru memulai mengembalikan apa yang telah dimulai oleh Romo Among. Kalau berbicara tentang tradisi purnama siddhi ini memang dilakukan di mana-mana, termasuk di India itu kan tradisi weda ini digunakan untuk melekan (tidak tidur di malam hari), mertapa (meditasi), ngangsu kawruh (mendalami Dharma).

R-A-3

Perjumpaan Romo Among dengan Temanggung

Bagaimana cara Romo Among waktu itu bisa sampai ke Temanggung? Menurut informasi yang diperoleh Totok Tejamano dari putri tertua Romo Among karena ada kontak kenegaraan antara Romo Among dan Mbah Manggis.

“Pada saat itu Romo Among kan pejabat negara, kira-kira kalau sekarang disebut kepala satpol PP sementara Mbah Manggis adalah seorang Glondong, kepala para lurah. Jadi menurut putri tertua romo masih ada kontak kenegaraan antara romo dengan Mbah Manggis. Romo Among dulu yang belajar agama Buddha, kemudian Mbah Manggis menyerap dari Romo Among dan diikuti oleh 8 tokoh lainnya”.

Ketertarikan masyarakat terhadap Romo Among dalam mengajarkan agama Buddha bukan tanpa alasan. Beliau adalah seorang terpelajar yang menggunakan berbagai metode pendekatan dalam mengajarkan agama Buddha.

“Romo Among memang orangnya terpelajar. Kalau ceramah menjelaskan ajaran Buddha harus ditulis, saya pernah baca bagus sekali, terperinci. Tentang dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha sampai jalan menuju lenyapnya dukkha terinci bagus. Sebelum ceramah harus ada teks, supaya bisa dibaca oleh anak cucu kita.”

Saya cukup terkesan waktu itu, perjuangan Romo Among meyakinkan para orang-orang yang curiga bahwa agama Buddha itu tidak percaya ada Tuhan. Waktu itu orang yang datang tidak percaya, lalu Romo Among mengajak mereka hening sejenak lalu meditasi. Begitu selesai meditasi mereka mengatakan percaya kalau dalam agama Buddha ada Tuhan.

Salavat Fidai Kerap Lakukan Meditasi sebelum Mengukir Pensil

$
0
0

Setiap seniman pastinya punya ritual tertentu sebelum membuat karya seni. Sama halnya seperti Salavat Fidai asal Rusia yang dikenal sebagai ahli pahat miniatur ternama di dunia. Dia mengaku kerap melakukan meditasi sebelum berkarya.

“Sebelum bekerja, saya bermeditasi dan saya selalu melakukannya (meditasi),” tuturnya belum lama ini.

“Ketika saya sedang membuat karya, setiap getaran di tembok sangat terasa. Bahkan saya bisa mendegar degup jantung,” ujar Salavat, dikutip dari berbagai sumber.

Meditasi dianggap sebagai ritual wajib bagi ayah tiga anak ini. Untuk menciptakan karya yang rumit dan terperinci pada ujung pensil dengan diameter antara 2mm sampai 5mm, dia menggunakan berbagai alat.

Seperti pisau X-Acto, mikroskop, dan kaca pembesar berlampu. Dia mampu menyelesaikannya mulai dari 12 jam hingga 14 hari.

TM
“Ketika aku punya ide atau tawaran dari klien, beberapa gambar saya coba cari referensi dari online. Lalu menggabungkannya dengan permintaan klien. Saya kemudian membuat sketsa,” terang Salavat.

“Ketika prosesnya dimulai dengan tangan saya, saya sudah bisa membayangkan prosesnya dari awal sampai jadi,” tutupnya.

Ke-16 ukiran kayu Salavat Fidai dipamerkan di ajang ‘GAME OF THRONES A Pencil Microsculpture Exhibition by Salavat Fidai’. Eksibisi yang terselenggara berkat kerjasama dari HBO Asia dan K+ itu digelar di K+ Curatorial Space, Scotts Square #03-11/12/13, 6 Scotts Road, Singapura 228209 mulai 22 April hingga 4 Juni 2017. (detik.com)

Stand Up Dhamma Competition

$
0
0

Dhamma itu indah pada awalnya, indah di tengah, dan indah pada akhirnya.

Dhamma yang indah akan lebih indah apabila disampaikan dengan cara yang tepat sesuai audiensnya. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan membabarkan Dhamma dengan gaya yang asyik, profesional dan bersemangat.

Sehingga mempermudah audiens untuk mencerna Dhamma yang disampaikan. Mari kita berkontribusi untuk Dhamma dengan mengikuti acara Stand Up Dhamma.

Keluarkan potensi terbaikmu! Cara mengikuti lomba:

  1. Daftar kepada panitia (contact person)
  2. Rekam sharing Dhamma lewat video
  3. Upload di sosmed (Facebook, YouTube, dll) sambil menyertakan hashtag:

#youthby #buddhist #sharingdhamma #bodhinyanayen

  1. Informasikan linknya kepada panitia
  2. Setelah tanggal 18 Mei 2017 akan dinilai
  3. Durasi yang diperkenankan minimal 7 menit dan maksimal 10 menit.
  4. Pemenang akan diinformasikan lebih lanjut
  5. Babak kedua di Jakarta, 4 Juni 2017, tempat dan waktu akan diinfokan kepada peserta yang lolos babak pertama.

CP:

Terra Samiddha: 0878-8303-7779

Djuwita Ratna Wati: 0818-0280-9595

Ananta Kandaka: 0822-1098-3945

Ardy Wong: 0818-0850-0150

 

 

Hati yang Baik: Inti Praktik Dharma yang Tak Ternilai

$
0
0

Liputan One Day Dharma Talk Drepung Tripa Khenzur Rinpoche

JAKARTA, 23 April 2017–Drepung Tripa Khenzur Rinpoche memberikan pengajaran dengan topik “Dharma: Tak Bernilai atau Tak Ternilai” dalam acara One Day Dharma Talk di Grand Auditorium Universitas Bunda Mulia, Jakarta. Acara yang dimulai pukul 13.00 WIB ini merupakan bagian dari rangkaian Drepung Tripa Khenzur Rinpoche Indonesia Visit 2017. Turut dihadiri oleh direktur pendidikan dan urusan agama Buddha Kementerian Agama RI, Drs. Supriadi M.Pd dan kepala Pusdiklat Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling Biksu Bhadraruci, serta dibuka oleh penampilan dari musisi dan pencipta lagu Buddhis sekaligus presiden direktur Nuansa Musik, Irvyn Wongso.

Drepung Tripa Khenzur Rinpoche memberikan ajaran berdasarkan penjelasan yang pernah disampaikan oleh Yang Mulia Dalai Lama XIV. Penjelasan ini dibuka dengan definisi Dharma yang berasal dari Bahasa Sanskerta (choe dalam Bahasa Tibet), artinya “mencakup semua fenomena”. Dharma juga dapat diartikan sebagai kebenaran yang mampu menghilangkan ketakutan akan samsara atau penderitaan di alam-alam rendah jika tertanam dalam kesinambungan batin. Dharma sangatlah luas dan bisa ditemukan dalam ajaran agama lain seperti Kristen, Katholik, Islam atau Hindu dalam bentuk ajaran tentang kesabaran, kemurahan hati, dan kualitas bajik lainnya. Karena perannya dalam menghilangkan ketakutan paling mendasar, maka Dharma menjadi sangat berharga dan tak ternilai.

X2 X3

Praktik Dharma

Berikutnya, Rinpoche menjelaskan cara mempraktikkan Dharma. Praktik Dharma adalah tidak menyakiti makhluk lain. Praktik Dharma itu tidak terbatas pada duduk meditasi di wihara saja. Walaupun kita berada di tempat umum melakukan rutinitas, selama dilandasi oleh motivasi bajik, maka aktivitas ini bisa disebut sebagai praktik Dharma. Kita juga harus memiliki pandangan yang benar dalam menghadapi masalah. Pandangan yang benar adalah hati yang ingin memberikan manfaat untuk mahkluk lain. Dengan memiliki welas asih dan cinta kasih terhadap mahkluk lain seperti itu, kita tidak akan menyakiti mahkluk lain dan membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar kita.

Ada satu pandangan tentang “Aku” yang secara otomotis muncul, “Aku menginginkan kebahagiaan dan Aku tidak menginginkan penderitaan”. Begitu juga dengan mahkluk lain menginginkan hal yang sama, mereka berhak atas kebahagian dan mereka juga mampu mewujudkannya. Apakah pantas jika kita mengorbankan mahkluk lain yang jumlahnya tak terbatas demi mewujudkan kebahagiaan kita yang hanya satu orang ini? Analisis terhadap pertanyaan itu memunculkan kerelaan untuk membantu mahkluk lain yang jumlah tak terbatas dalam mewujudkan kebahagiaan mereka. Ketika kita sudah membiasakan diri kita membantu mahkluk lain. Ketika kita membantu orang lain, hal ini otomatis mewujudkan kebahagiaan kita sendiri dalam artian ketika kita baik sama orang lain mereka pun akan baik sama kita. Ketika kita berpikir demikian, lama kelamaan akan muncul cinta kasih dan welas asih yang spontan tanpa perlu dibangkitkan.

X4 X5

Rasa Kasih

Beberapa orang mungkin akan berpikir menumbuhkan cinta kasih, welas asih, berlatih kesabaran adalah hal-hal yang tidak masuk akal. Coba lakukan dan buktikanlah apa yang dinasihatkan ini masuk akal dan benar atau tidak. Di antara semua ajaran, ajaran tentang welas asih inilah yang terpenting sehingga dapat ditemukan juga di agama-agama lain. Memang tidak semua agama mengenal pembebasan seperti di agama Buddha. Akan tetapi jika seseorang mempraktikkan cinta kasih, welas asih dan kesabaran serta memiliki hati yang baik maka otomatis pembebasan bisa dicapai tidak peduli apa agamanya. Kebalikannya, walaupun kita membahas pembebasan tapi tidak mempraktikkannya, hal ini tidak akan membawa kita ke pembebasan sesungguhnya. Kasus lainnya, ada yang berpikir praktik Dharma hanya untuk praktisi Dharma saja, tidak berlaku untuk kita yang melakukan politik, belajar atau bekerja. Tapi Rinpoche menegaskan ini tidaklah demikian. Politik, dagang, sains, dan sebagainya jika dilakukan dengan motivasi baik bisa juga disebut praktik Dharma.

Kesimpulannya, Drepung Tripa Khenzur Rinpoche mengajarkan bahwa praktik Dharma dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, asal kita mampu menjaga hati yang baik dan memikirkan makhluk lain dalam beraktivitas. Praktik Dharma yang seperti ini nilainya tak terkira karena dapat membebaskan kita dari penderitaan. (Sekar Dewi)

 

Ikuti rangkaian acara Drepung Tripa Khenzur Rinpoche Indonesia Visit 2017 berikutnya:

  1. Kelas Intensif “Citta dan Cetasika: Mengenali Batin dan Faktor Mental berdasarkan Abhidhamma” 24-28 April 2017 di Kemang, Jakarta,
  2. Public Teaching “Dasar Semua Kebajikan”, 29 April-1 Mei di Prasadha Jinarakkhita, Jakarta.
  3. Tur Candi dan Perayaan Waisak, 5-12 Mei 2017 di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pusdiklat Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling, Kab. Malang

Contact Person: Stiven | 0852-6401-4324 atau 0853-7403-7297

Registrasi dan info lengkap bisa diakses di lamrimnesia.org/KR2017

 


Ketika Agama Buddha Dinista, Apa yang Seharusnya Dilakukan?

$
0
0

Dikutip dari jawaban Ajhan Brahm mengenai pertanyaan seorang wartawan, “Apa yang Ajahn Bram lakukan bila seseorang memasukkan kitab suci agama Buddha ke toilet?” Beliau menjawab, “Saya akan panggil tukang untuk membersihkan toilet dan mengangkat kitab suci itu. Supaya toilet tidak buntu.”

Wartawan itu tertawa dan mengatakan ini baru jawaban yang masuk akal.

Selanjutnya beliau mengatakan, “Seseorang mungkin bisa meledakkan banyak patung Buddha, membakar vihara atau membunuh biksu dan biksuni, mereka mungkin menghancurkan semuanya, tetapi saya tidak akan pernah membiarkan mereka menghancurkan ajaran Buddha.

“Kalian bisa saja membuang kitab suci ke dalam toilet, tetapi saya tidak akan membiarkan kalian membuang pengampunan, kedamaian, dan welas asih ke dalam toilet. Buku bukanlah agama, demikian juga dengan patung, bangunan dan para pemuka agama. Ini semua hanyalah “kontainer”

“Apa yang telah buku ajarkan kepada kita? Patung itu merepresentasikan apa? Kualitas apa yang seharusnya diwujudkan para pemuka agama? Inilah yang disebut dengan “isi”

“Ketika kita dapat mengetahui perbedaan antara “kontainer” dan “isi”, maka kita akan mampu mempertahankan “isi” meskipun kontainernya telah dihancurkan.

“Kita dapat mencetak lebih banyak buku, membangun lebih banyak vihara dan patung-patung, bahkan melatih lebih banyak biksu dan biksuni, tetapi ketika kita kehilangan cinta kasih dan rasa hormat kepada sesama dan diri kita sendiri dan menggantinya dengan kebencian, maka keseluruhan agama itu telah jatuh ke dalam toilet.”(Indologue.com/Ajahn Brahm)

 

Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung”

$
0
0

Kagyu, ka berarti ucapan langsung dari Buddha, gyu yakni aliran. Kagyu merupakan salah satu dari empat aliran besar agama Buddha di Tibet, (Kagyu, Nyingma, Sakya, dan Gelug). Monlam terdiri dari dua kata, Mon (Aspirasi) lam (Jalan). Monlam, adalah doa yang membangkitkan aspirasi agung di dalam mempraktikkan Dharma.

Kagyu Monlam ke-9 digelar di Candi Borobudur, Jawa Tengah (22-24/4), doa aspirasi yang diselenggarakan oleh tradisi kagyu dipimpin oleh Tulku Rinjung Rinpoche, beliau lahir di Taplejung, Nepal pada 1994. Ketika masih kanak-kanak, beliau telah memiliki kesempatan untuk belajar di salah satu institut silsilah Sakya Tibet, di Darjeeling sebagai bocah awam selama 9 tahun. Ia kemudian dikenali oleh Y.M. Gyalwang Karmapa ke 17 Ogyen Trinley Dorje sebagai kelahiran kembali dari seorang guru spiritual yang disebut Yongzin Damchoe Losal Rinpoche yang merupakan seorang guru pembimbing terkemuka.

Sejumlah biksu dan umat awam melakukan serangkaian acara, melepas satwa, menanam pohon bodhi, mendaras sutra suci. Acara berlangsung secara khidmat, diikuti oleh ratusan umat Buddha dari berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan India. Kegiatan doa bersama untuk perdamaian, keharmonisan, keselarasan, dan kebahagiaan di seluruh dunia, khususnya Indonesia. (antaranews.com)

Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung”
Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung”
Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung” Kagyu Monlam ke-9, “Jalan Aspirasi Agung”

Pelangi di Dalam Hati

$
0
0

Pelangi adalah jembatan yang menghubungkan langit dengan bumi, itu pesan yang sering terdengar di hutan keheningan. Bagi jiwa-jiwa yang peka dalam rasa mengerti, ada pesan indah yang mau disampaikan langit melalui munculnya pelangi. Keindahannya tidak bisa diwakili oleh lidah mana pun.

Mungkin itu sebabnya, di atap bumi Tibet salah satu nama yang diberikan pada mahluk tercerahkan adalah rainbow body (tubuh yang seindah pelangi). Di saat wafat, jiwa-jiwa indah seperti ini akan dihormati oleh alam dalam bentuk munculnya pelangi di langit, serta gempa kecil di bumi.

Dalam segelintir kisah, bahkan ada Guru suci yang sudah mengalami tubuh yang seindah pelangi di saat tubuh beliau masih segar bugar. Ringkasnya, bahkan lidah Buddha pun akan kurang panjang untuk bisa menjelaskannya.

Kendati demikian, mari menemukan sejumlah bahan renungan yang mau disampaikan langit melalui pelangi. Sejumlah pencari di dunia spiritual sering mengutip pesan seperti ini. Kebencian dan serangan orang-orang mirip dengan cahaya panas matahari. Namun ketulusan Anda untuk memaafkan adalah hujan rintik-rintik yang muncul di sana.

Akibatnya, ada pelangi spiritual yang muncul di sana. Sebagai pedoman dalam melangkah, di setiap tempat dan putaran waktu ada orang yang menyerang dan mencaci. Yang dilakukan jiwa-jiwa yang dalam sederhana, bukannya terbakar oleh hawa panas kebencian orang lain, tapi melukis pelangi indah di sana. Terutama melalui ketulusan untuk selalu memaafkan.

Di Barat pernah lahir wanita bercahaya bernama Maya Angelou, salah satu warisan indah wanita kharismatik ini berbunyi seperti ini: “belajar menjadi pelangi di awannya orang-orang”. Kemarahan orang mirip dengan awan yang menghalangi munculnya cahaya. Tapi ketulusan Anda untuk melihat orang marah sebagai jiwa menderita yang meminta pertolongan adalah pelangi indah yang muncul kemudian.

Dari dua penjelasan ini terlihat terang benderang, rupanya ada pelangi indah di dalam hati. Sebagaimana pelangi di langit yang memerlukan cahaya matahari panas dan sedikit awan, pelangi di dalam hati juga serupa. Ia memerlukan kebencian, kemarahan dan serangan orang-orang.

Serupa petani yang tidak bisa bertani kalau tidak ada tanah, mirip dengan nelayan yang tidak bisa memancing ikan jika tidak ada lautan, pelangi di dalam hati tidak akan muncul indah kalau seseorang tidak diserang dengan penuh kebencian.

Itu sebabnya, di jalan belas kasih (compassion) orang-orang yang mencaci dan melukai disebut sebagai permata langka yang paling berharga. Mengulangi pesan sebelumnya, merekalah yang membantu jiwa-jiwa bercahaya agar bisa berjumpa pelangi di dalam hati.

Di atap bumi Tibet pernah lahir jiwa seindah pelangi bernama Gyalse Ngulchu Thogme (1295-1369). Tatkala musim gagal panen tiba, beliau memberikan semua hal yang dimiliki kepada pengemis. Suatu hari ada pengemis kedinginan yang meminta baju yang beliau kenakan. Itu juga dikasi. Sebagai akibatnya, sebagian orang mengira beliau sudah sakit jiwa karena ke mana-mana tidak mengenakan baju. Di saat beliau wafat, langit penuh pelangi, bumi menghormat dengan gempa kecil.

Penulis: Guruji Gede Prama (belkedamaian.org)

Syair Kakawin Siwa-buddha dalam Musik Kontemporer

$
0
0

Astakosala Volk sebuah grup musik kontemporer asal Solo menggelar pentas di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta. Kalau biasanya syair-syair kakawin khususnya di Bali, mocopat di Jawa, itu disajikan dengan alat musik tradisional, gamelan dan lain-lain, Astakosala mencoba menggunakan pendekatan yang berbeda, instrumen modern supaya lebih akrab di telinga anak muda.

“Astakosala merupakan kelompok pemain musik, syairnya yang diolah 80% adalah kakawin Jawa Kuno yang saat ini sudah jarang ada orang yang mengenal apa itu kakawin. Paling hanya para filolog, akademisi atau pengamat sastra Jawa Kuno saja yang mengenal,” ujar Andre Sam mengawali pentas Sabtu, (8/04).

“Kemasannya alat-alat modern, alasannya sederhana karena kami tidak terampil main gamelan. Selain itu, telinga masyarakat saat ini khususnya anak muda gampang menerima nada-nada musik modern. Musiknya modern tapi syair atau kontennya sastra Jawa Kuno. Prosesnya kita lebih sering ke alam ataupun candi. Teman-teman yang mengolah musik ketika ke alam lebih banyak mendengarkan suara-suara alam. Tentu ditambah meditasi,” jelas Andre Sam.

Grup musik beraliran New Age menampilkan 12 lagu terbaik Astakosala seperti Banawa Sekar, Lir Ilir, Sarasvati dan Rahina Mijil. Tema yang diangkat adalah Rahina Mijil, merupakan bahasa Jawa Kuno serapan dari Sanskerta. “Rahina (hari), Mijil (Lahir/tumbuh). Jadi kalau diterjemahkan secara bebas Rahina Mijil adalah hari menyambut pagi,” terangnya.

Kakawin

Teks Rahina Mijil terdapat dalam Kakawin Siwaratikalpa karya Mpu Tanakung abad XV. “Mpu Tanakung ini adalah seorang tokoh Siwa-buddha. Tan berarti tanpa, akung bermakna kekasih. Sehingga berdasarkan nama, kemungkinan beliau hidup selibat atau bhiksuka,” imbuhnya.

Selain pentas, dalam acara ini juga digelar diskusi budaya dengan menghadirkan Bramantyo Prijosusilo sebagai pembicara. Menurut Bramantyo, karya sastra dan seni kuno bukan ekspresi pribadi, semua adalah bentuk puja dan sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Setiap ada pementasan, baik musik, teater, adu jago dan lain-lain itu orang Jawa dulu meyakini para leluhur, Para Dewa hadir. Kita harus menghargai karya itu melalui penghayatannya,” terangnya yang saat ini tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Bram memberi contoh, “Sabung ayam itu bagi nenek moyang kita bisa menjadi aktivitas pemujaan apabila dilakukan dengan totalitas. Nilai ini mungkin yang bisa diekspresikan kembali, nilai ini yang harusnya dapat dirasakan. Apabila ini bisa digali dan dirasakan saya rasa ekspresi musiknya akan berbeda meskipun tidak mudah.”

“Gamelan itu bukan alat ekpresi musik pribadi, tidak seperti gitar, piano, bass, atau alat musik modern lain. Gamelan itu hampir setiap instrumennya tidak bisa dimainkan secara solo, gong itu tidak bisa dimainkan sendiri,” jelasnya.

Astakosala Volk Astakosala Volk Astakosala Volk

Dialektika

Mengambil suatu nilai dari masa lalu harus ada urgensinya, bukan sekedar nguri-uri masa lalu tetapi bisa digunakan untuk kehidupan yang lebih baik. Contohnya nilai tentang harmoni, kesenian tradisi Jawa yang paling sederhana misalnya nyanyian untuk mengendalikan kerbau. “Uro-uro, nyanyian untuk orang membajak sawah guna menggiring dan menenangkan kerbau. Ini tidak ada lagu baku seperti mocopat, terserah yang menyanyi kata-katanya pun terserah yang menyanyi kalau belok kiri her-her-her kalau belok kanan giyok-giyok-giyok. Kerbau itu sangat sensitif, dan sangat berbahaya serta susah diatasi kalau sudah ngamuk.”

Menangapi pertanyaan dan kritikan dari Bramantyo, Andre Sam sebagai orang yang memilih dan memilah syair-syair kakawin menyampaikan bahwa menelusuri teks-teks Jawa Kuno tidak mudah. “Untuk mendapatkan Kakawin Mpu Tanakung misalnya, ini juga kebetulan dalam tanda kutip. Saya dapat kiriman dalam bentuk hard cover yang isinya Kakawin Sawaratrikalpa, sangat susah carinya dokumen ini, kalaupun ada itu di Bali dalam daun lontar. Belum lagi bahasanya Jawa Kuno dan bahasa Bali. Saya nggak ngerti bacanya. Untunglah buku tersebut sudah diterjemahkan oleh A. Teeuw, S.O. Robson, Th. P. Galestin, P.J. Worsely, dan P.J. Zoetmulder.

“Kami sendiri percaya bahwasanya hidup penuh dengan dialektika. Tanpa dialektika tak kan mungkin sebuah sintesa mampu dilahirkan. Kami mencoba mendekati leluhur dengan jalan kontemporer, sementara Mas Bram dari Kraton Ngiyom menawarkan pendekatan tradisi; sebuah tawaran yang juga tak bisa dipandang sebelah mata.

“Semoga tawaran kontemporer kami mampu mengisi kekosongan ruang tradisi dan kiranya pendekatan tradisi yang ditawarkan dapat mengukuhkan dasar perjalanan. Pastinya leluhur tanah Jawa (a.k.a Nusantara) tetap dapat berbangga pada anak cucunya, terlepas dari apa aliran ataupun jalan tempuh yang digunakan untuk nguri-nguri kabudayan lan kapitayan dalam keseharian hidup, selama masih menjunjung tinggi toleransi dan adab kemanusiaan. Matur nuwun,” tutup Andre Sam.

Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak

$
0
0

Upacara Tribuana Manggala Bhakti merupakan kegiatan spiritual agama Buddha yang selaras dengan budaya Jawa, upacara ini adalah rangkaian acara dalam menyambut Hari Raya Waisak 2561 BE/2017. Senin, (1/5) di Ekowisata Taman Sungai Mundal Kulon Progo.

Umat Buddha di Kulon Progo nyuwun tirtha suci, pengambilan air ini dipimpin oleh para pandita sepuh (jubah putih). Tirtha ditampung dalam kendi dan disucikan kembali di altar Buddha.

Upacara ini merupakan perwujudan rasa penghargaan masyarakat Buddha di Kulon Progo, DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) terhadap keberlangsungan alam, kegiatan ini juga dirangkai dengan pelepasan satwa burung dan satwa air (ikan) serta penanaman pohon sebagai bentuk ungkapan terima kasih yang mendalam terhadap alam semesta, khususnya mata air.

Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak
Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak
Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak Upacara Tribuana Manggala Bhakti, Nyuwun Tirtha Suci Waisak

Mendengar Suara Dhamma di Alam Terbuka

$
0
0

Sewaktu mengikuti acara camping, umumnya kita hanya melakukan kegiatan yang itu-itu saja, seperti mendirikan tenda, masak secara mandiri, dan melaksanakan kegiatan outdoor. Namun, camping yang satu ini justru menawarkan konsep yang unik karena setiap pesertanya berkesempatan mempelajari Dhamma di alam terbuka.

Camping diadakan oleh Patria DPC Kota Bekasi pada tanggal 22-24 April lalu. Acara yang dinamakan “CERIA 2” (Camping Bersama Patria “jilid” 2) itu setidaknya diikuti oleh 46 peserta yang berasal dari pelbagai daerah, seperti Jakarta, Bekasi, Karawang, dan Bandung.

Rangkaian acara dimulai ketika semua peserta berangkat naik tronton TNI dari Wisma Vippasana Kusalacitta, Bekasi, ke Kawasan Gunung Geulis, Bogor. Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar satu jam setengah, sebelum akhirnya semua peserta harus lanjut berjalan kaki menuju lokasi kemah yang jaraknya sekitar 400 meter.

Jalan yang berlumpur dan berlubang menjadi “tantangan” tersendiri dalam perjalanan tersebut. Maklum saja, jalan yang tersedia hanya terbuat dari pecahan batu yang disusun sedemikian rupa. Makanya, bagi yang memakai sandal jepit, jalanan itu sangat licin untuk dilalui, terutama sewaktu usai diguyur hujan.

Tak lama setelah beristirahat, para peserta kemudian mendirikan tenda masing-masing. Dengan dibantu sejumlah panitia, mereka menyambung tulang tenda, memasang patok, dan menutupi tenda dengan terpal. Lantas mereka beristirahat selama acara berlangsung.

1

Belajar Dhamma

Pada sore harinya, mereka berkumpul di tenda pleton untuk menyimak materi yang disampaikan sejumlah pembicara. Pembicara pertama yang mengawali sesi materi itu adalah Bapak Handaka Vijjananda dari Ehipassiko.

Pada kesempatan itu, beliau berceramah tentang kehidupan remaja. Biarpun di luar tenda hujan turun lumayan deras, para peserta tetap fokus menyimak ceramah yang disampaikan. Kemudian, pada malam harinya, Bapak Heru Suherman hadir menyajikan materi tentang pengembangan diri. Dari situ para peserta belajar banyak tentang talenta yang dimilikinya. Bhante Dhammiko menyampaikan Dhamma pada hari berikutnya. Biarpun berlangsung hanya satu jam, Dhamma yang diberikan terasa mengena di hati lantaran dibabarkan dengan bahasa yang sederhana.

Setelah makan siang, Bapak Andriyanto mengisi ceramah tentang kebahagiaan, yang konon kabarnya sudah semakin “langka” diperoleh saat ini. Dari situ, para peserta mendapat pelbagai “bekal” ilmu untuk meningkatkan kebahagiaannya masing-masing.

Pada malam harinya, tak ada sesi pemberian materi. Makanya, waktu yang tersedia kemudian diisi oleh Mas Juna dan rekan-rekannya, mereka melakukan hipnosis terhadap beberapa peserta. Sesi itu sukses menghibur peserta, yang mungkin saja sudah lelah setelah mengikuti acara pada sore harinya. Setelah sesi itu, semangat peserta yang tadinya sempat “redup” kini berkobar kembali.

2

Hari Penutup

Lantaran penutup, acara dilanjutkan dengan memasak barbeque bersama-sama diterangi oleh nyala api unggun dan live music. Di situlah keakraban yang sudah terjalin di antara peserta bertambah erat.

Acara pada malam itu kemudian ditutup dengan menerbangkan lampion. Kegiatan itu mirip dengan proses penerbangan lampion di Candi Borobudur pada hari Waisak. Makanya, sebelumnya, semua peserta menulis harapannya di lampion masing-masing.

Karena angin yang berembus cukup kencang, hanya tiga lampion yang sukses “mengudara” di langit yang gelap. Biarpun demikian, lampion tersebut dianggap mewakili harapan semua peserta.

Pada esok paginya, para peserta mengikuti tracking mengelilingi bukit selama dua jam lebih. Lelah memang, tetapi peserta menjalaninya dengan penuh kesabaran. Lewat kegiatan itulah pemahaman Dhamma para peserta “diuji” sehingga setiap peserta punya kesempatan untuk menerapkan Dhamma yang didengarnya secara langsung.

Hari terakhir acara ditutup dengan ceramah yang dibawakan oleh Ibu Yanah Sucintani. Pada saat itu, Ibu Yanah melakukan hipnoterapi yang terbukti sukses “menguras” air mata peserta. Acara tersebut memang hanya berlangsung tiga hari. Namun, pengalaman yang diperoleh dari acara itu barangkali bisa menjadi bahan cerita yang akan terus dituturkan selamanya.

Lord Buddha

$
0
0

Melihat perkembangan agama Buddha saat ini di Indonesia, sungguh menyenangkan hati. Tidak seperti masa kecil saya dulu, tatkala hanya amat sedikit orang yang mengetahui apa itu agama Buddha. Para pemeluknya sendiri pun bahkan sebagian besar hanya beragama secara KTP. Jangankan kaset-kaset lagu-lagu buddhis, siar pembabaran Dhamma yang lebih konvensional seperti ceramah dari para biksu atau buku-buku pun amat sulit dijumpai. Beda dengan kondisi sekarang ini. Ada banyak buku-buku Dhamma, CD lagu-lagu dan ceramah Dhamma mudah diperoleh, VCD dan DVD serta informasi tentang agama Buddha mengalir deras dari internet. Betapa mudahnya bagi kita bertemu dengan para biksu yang melakukan siar Dhamma, terutamanya kita yang tinggal di kota-kota besar.

Tentang lagu buddhis, saya ingat kejadian ketika pertama kali mendengarkan lagu buddhis. Waktu itu saya berumur 11 atau 12 tahun, masih duduk di bangku SD kelas 6. Saya sedang menikmati libur panjang kenaikan kelas dengan menginap di rumah salah seorang keponakan yang sebaya.

Pengalaman Hidup

Pada suatu hari, salah seorang kerabatnya membawa sebuah kaset. Seingat saya, kaset itu adalah kumpulan lagu-lagu buddhis yang dinyanyikan oleh Metta Selani, bersampulkan gambar Buddha yang sangat klasik: sedang duduk di bawah pohon Bodhi dengan sinar aura di sekeliling kepala-Nya dan warna keemasan dari jubah dan kulit-Nya. Saat kaset itu diputar, untuk pertama kalinya saya mendengarkan apa itu lagu buddhis. Saya sangat terkesan pada salah satu lagu dari kaset itu. Judulnya Lord Buddha.

        Lord Buddha Yang Maha Mulia

        Guru jagat yang bijaksana, Lord Buddha

        Yang terjunjung di Tri Buwana

        Penunjuk Jalan ke Nibbana, Lord Buddha

        Bhagavato Arahatto Sammasambuddhasa

Karena begitu mendalam kesan pengalaman pertama itu, sampai-sampai ketika masa libur selesai dan roda-roda rutinitas bersekolah dimulai lagi, begitu saja saya menyanyikan lagu itu di depan kelas pada saat pelajaran seni suara. Tatkala yang lain menyanyikan lagu-lagu anak-anak standar masa itu atau memilih lagu-lagu nasional untuk dinyanyikan, hanya saya sendiri yang menyanyikan sebuah lagu rohani, di sebuah kelas dari sekolah Kristen, lagu dari agama paling minoritas.

Edan, gak?

Makanya, coba tebak apa yang terjadi? Penghuni kelas tercengang!

Saat itu saya tidak tahu dan tidak peduli apa yang menyebabkan teman-teman serta guru saya tercengang. Saya tidak peduli dan tidak merasa terhina jika mereka menganggap suara saya sumbang. Soalnya, memang iya sih. Saya pun tidak merasa harus berbesar kepala, andai pun suara saya dianggap merdu (mimpi kali, ye!). Saya bahkan tidak peduli nilai berapa yang diberikan guru untuk aksi solo nan nekat itu, yang terpenting, pada saat itu saya sudah menuntaskan keinginan saya untuk mengekspresikan identitas saya sebagai buddhis, ditengah-tengah masyarakat yang amat tidak mengenal apa itu agama Buddha.

Beberapa tahun kemudian barulah saya menemukan jawaban teka-teki mengapa teman-teman dan guru saya waktu itu tercengang. Secara kebetulan saya bertemu dengan salah seorang teman sekelas di SD dulu. Entah mengapa, tiba-tiba si teman tanpa dinyana mengungkit tentang peristiwa itu. Dia bilang waktu itu suasana terasa amat mencekam. Karena dia pikir saya sedang mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa yang aneh. Saya tertawa mendengarnya. Oh, jadi itu rupanya yang membuat teman-teman saya tercengang. Oh, jadi bagian liriknya yang berbunyi bhagavato arahatto sammasambuddhasa itu dianggap mantra aneh?

 

Begitulah pengalaman pertama saya dengan lagu buddhis.

Chuang 040609

 


Sambut Waisak 2017, Anggota Koramil Sorong Barat Donor Darah

$
0
0

Sorong Barat, PW – Anggota Koramil 1704-13/Sorong Barat melaksanakan pembinaan teritorial dengan  membantu dan mendukung serta partisipasi dalam kegiatan Kemanusiaan (Aksi Donor Darah Sukarela) bertempat di Vihara Budha Budi Luhur Boswesen Kelurahan Rufei Distrik Sorong Barat (30/04). Wandanramil 1704-13/Sorong Barat Kapten Inf Muchlison Efendi S.H mengungkapkan dalam rangka memperingati hari Raya Waisak tahun 2017. Aksi Donor Darah Sukarela dihari Raya Waisak yang bertujuan untuk bertujuan meningkatkan kualitas TNI-POLRI serta masyarakat guna mewujudkan rasa  kemanusiaan, kegiatan ini mengandung makna sebagai wujud kesetiakawanan sosial, rasa  kebersamaan  dan   kepedulian  terhadap  warga masyarakat yang membutuhkan.

Sedangkan dilihat dari aspek kesehatan, kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya arti kesehatan serta meningkatkan derajat kesehatan demi kesejahteraan masyarakat. Lanjut Wadanramil menambahkan Koramil 13/Sorong Barat jajaran Kodim 1704/Sorong selalu rutin melaksanakan kegiatan Donor darah baik yang diselenggarakan oleh satuan jajaran TNI maupun undangan dari Instansi luar, bahkan tak jarang masyarakat datang secara langsung meminta bantuan donor darah ke Satuan kami.

“Hal tersebut tentu saja kami sadari bahwa saat ini antara stok dengan kebutuhan darah untuk keperluan medis masih sangat timpang, oleh karenanya dengan ada kegiatan seperti ini setidaknya dapat menyuplai kebutuhan darah tersebut, selain membantu masyarakat atau pasien yang membutuhkan juga bagi si pendonor sendiri mendapatkan manfaat kerena dengan kita mendonorkan darah, maka secara otomatis tubuh kita akan memproduksi darah baru yang segar dan secara tidak langsung meningkatkan kesehatan”, tandasnya. (peloporwiratama.co.id)

Menerapkan Sati dan Samadhi dalam Kehidupan Sehari-hari

$
0
0

Masa lalu telah pergi, masa depan belum tiba, hanya masa sekarang ini yang merupakan keajaiban hidup.

Jum’at (21/4), Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) Lampung telah mengawali kegiatan Retret Hidup Berkesadaran dengan tema “Menerapkan sati dan samadhi dalam kehidupan sehari-hari”. Kegiatan ini bertempat di Vihara Bodhisattva Teluk Betung Kota Bandar Lampung, dengan jumlah peserta terbatas hanya 50 Orang. Jadwal kegiatan retret berlangsung selama 4 hari, dimulai pada Jum’at, 21 April 2017 pukul 19:00 WIB dan selesai pada hari Senin, 24 April 2017 Pukul 12:00 WIB.

Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Lampung menyelenggarakan retret khususnya untuk umat Buddha guna memberi pengertian dan praktik serta betapa pentingnya “Hidup Sadar” dalam kesibukan sehari-hari. Sesuai dengan arti dari retret yaitu menarik diri, mundur, menjauhkan diri dari lingkungan kesehariannya.

“Seni Hidup Berkesadaran adalah sebuah metode untuk membimbing siapa saja keluar dari samudera penderitaan. Sepanjang perjalanan hidup kita, kita telah mengalami kemarahan, kesedihan, kekecewaan, pertikaian, perpecahan, dan lain sebagainya yang telah membuat hidup kita seperti sebuah medan perang yang tak pernah selesai. Seni Hidup Berkesadaran, ketika dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, telah banyak membantu menghadirkan kedamaian dan sukacita kepada banyak orang yang telah lelah bergumul dan bertikai dengan batin dan kehidupannya sendiri.

“Hidup sadar membuat kita hadir sepenuhnya bersama mereka yang berada di antara kita. Kita juga menjadi senantiasa ada ketika kita sedang melakukan segala sesuatu. Latihan hidup berkesadaran bersatu padu dengan rutinitas keseharian di rumah seperti berjalan, duduk, bekerja, makan, dan sebagainya. Kita berlatih untuk sadar dengan apa yang sedang kita lakukan. Selain berlatih sebagai individu, berlatih sebagai komunitas membuat suasana menjadi begitu ceria, santai, dan solid. Setiap orang menjadi lonceng kesadaran bagi sahabat lainnya. Saling mengingatkan serta saling mendukung di sepanjang perjalanan latihan, mengingatkan untuk senantiasa hidup di saat ini.

“Hidup dalam suasana ini, kita sudah menjadi anggota yang berharga dari komunitas. Kita akan terampil bekerja dalam proses yang terus-menerus dalam membangun sebuat tempat berlindung bagi banyak makhluk,” terang Bhante Nyanabadra selaku pembimbing retret.

Pabajja Samanera di Vihara Tanah Putih, “Belajar ke Dalam Diri”

$
0
0

Sangha Theravada Indonesia menggelar pabajja samanera. Latihan hidup sebagai samana yang dilaksanakan mulai 28 April sampai dengan 12 Mei 2017 di Vihara Tanah Putih, Semarang. Upacara penahbisan samanera dilakukan di dhammasala Vihara Tanah Putih. Sebanyak delapan bhikkhu senior Sangha Theravada turut hadir dalam upacara penahbisan ini.

“Selama dua minggu, dua belas samanera dari berbagai daerah di Indonesia ini akan diajak untuk berlatih teori dan praktik Dhamma. Namun yang berbeda dari pabajja-pabajja sebelumnya, selain berlatih di Vihara Tanah Putih, para samanera juga akan menjalankan aktivitas di vihara-vihara lain seperti, Vihara Dhammapala Deplongan, Vihara Vidyasasana, Candi Garon, Sumowono, Vihara Dhammasurya Dusun Janggleng. Selama berada di desa-desa para samanera akan menjalankan aktivitas pindapatta, menghadiri perayaan Waisak dan bermeditasi di kebun-kebun di alam terbuka,” ujar Bhante Khemadiro dalam penahbisan para samanera.

 1 2

Sebuah pesan

Bhante Sri Pannyavaro berpesan kepada para samanera untuk menjalankan praktik Dhamma dengan melihat ke dalam diri masing-masing.

“Menjadi Samanera harus tumbuh dari keyakinan terhadap Tiratana, Tiga Pertama. Permata Buddha, Dhamma, dan Sangha yang sekaligus menjadi pelindung. Menjadi samanera tanpa keyakinan terhadap Tiratana, tidak akan banyak memberi manfaat untuk kemajuan batin Anda sekalian. Oleh karena itu melatih diri menjadi samanera harus tumbuh dan timbul dari keyakinan terhadap Tiratana,” tutur bhante mengawali pesan Dhamma.

“Permata pertama yang paling dekat dari kita adalah guru agung kita Buddha Gotama. Dilahirkan di Lumbini, kurang lebih 600 tahun Sebelum Masehi sebagai putra mahkota Kerajaan Kapilavastu dengan nama Siddharta Gotama.

“Siddharta melihat penderitaan makhluk-makhluk, penderitaan itu mendorong dirinya untuk meninggalkan kenikmatan duniawi yang tidak kekal dan mencari jalan untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaaan. Setelah berjuang selama enam tahun di Hutan Uruvela kemudian bermeditasi di bawah pohon Bodhi seperti yang kita kenal sekarang, pada saat bulan Purnama Siddhi di bulan Vesaka yang sebentar lagi kita rayakan, Bodhisattva Siddharta akhirnya mencapai pencerahan sempurna atas usahanya sendiri.

“Oleh sebab itulah Bodhisattva Siddharta kemudian disebut sebagai Sammasambuddha, yang mencapai pencerahan atas usahanya sendiri dan membabarkan apa yang beliau capai, itulah kemudian diberi nama Dhamma yang menjadi permata kedua,” jelas bhante.

“Dhamma itulah yang mengubah Bodhisattva Siddharta, seorang manusia biasa menjadi manusia luar biasa Sammasambuddha. Dhamma itulah yang mengubah makhluk-makhluk yang membuat transformasi, yang membuat perubahan makhluk-makhluk dari penderitaan menuju pembebasan. Pembebasan dari penderitaan,” terang bhante.

 3 4

Dhamma

Secara singkat Dhamma itu adalah praktik sila, samadhi, dan pannya. Sila sikha, citta sikha dan Pannya sikkha.  Melatih sila menjaga perilaku, ucapan dan perbuatan terus menerus apakah sebagai samanera atau umat awam, upasaka dan upasika. Karena dengan menjalankan sila, maka kekotoran-kekotoran batin akan berkurang.

“Sila, samadhi, dan pannya bisa disingkat, bisa disebut dengan kalimat lain, melatih sila, melatih meditasi samatha, dan melatih meditasi vipassana. Meditasi samatha itulah samadhi, meditasi vipassana itu mengembangkan kebijaksanaan. Itulah latihan yang harus samanera lakukan, itulah yang harus kita lakukan.

“Sebab yang membuat kita menderita ada di dalam diri kita, tumbuh atau muncul dalam diri kita, tidak dari luar. Kemudian, bagaimana mengatasi sebab penderitaan itu? Dimulai dari dalam, dari dalam diri ini dengan menjadi perilaku, sila dengan melatih meditasi samatha dan meditasi vipassana. Melatih itu diri kita sendiri, bukan orang lain, sebagai jalan untuk menghapus, mengatasi sebab penderitaan. Karena sebabnya juga berada di dalam diri kita bukan di luar.

“Kalau kita sudah melatih di dalam diri kita, maka penderitaan akan berkurang. Siapa yang merasakan kebahagiaan? Di mana kebahagiaan itu dirasakan? Di dalam diri ini juga. Kebahagiaan dan kebebasan tidak bisa dicari di luar, di buku-buku, di relik-relik, di sutta-sutta, tetapi dirasakan di dalam diri ini setelah kita melatih diri.

“Oleh karena itu saya mengatakan empat kebenaran arya, dukkha, sebab dukkha, jalan menuju lenyapnya dukkha dan lenyapnya dukkha itu berada di dalam diri kita sendiri. Tidak banyak sebetulnya teori yang harus dipelajari, yang pokok-pokok memang perlu dipelajari tapi praktik ini lebih perlu. Praktik sila, samadhi dan pannya.

“Oleh karena itu, pabajja samanera kali ini yang lebih fokus pada upayoga, mengajak para samanera untuk melihat Dhamma, melihat empat kebenaran arya ke dalam, bukan sekadar membaca huruf-huruf, bukan sekadar membaca buku-buku. Itulah yang harus dipraktikkan para bhikkhu, samanera, dan umat. Kalau tidak ada latihan melihat ke dalam, tidak ada praktik ke dalam, Dhamma hanya sebagai kebanggaan saja, Dhamma hanya sebagai kepuasan berpikir saja tidak banyak manfaat dalam kehidupan kita.

“Seseorang yang sudah mencapai kebebasan, seseorang yang sudah mulai mencapai kebebasan, semakin banyak-semakin banyak. Orang ini disebut orang suci, orang yang sudah mulai terbebas dari penderitaan, mencapai sotapanna, sakadagami, anagami, dan arahat inilah Sangha, permata yang ketiga. Membuktikkan bahwa ajaran Buddha itu bisa dipraktikan dan ada hasilnya, hasilnya adalah mereka yang mencapai kesucian, arya pugala.

“Camkan benar-benar, ingat benar-benar inilah sumbernya para samanera belajar agama Buddha. Tidak sekadar senang pada ajaran Buddha, tidak sekadar senang belajar Dhamma, tetapi ada keyakinan yang kuat dan keyakinan itu harus digunakan sebagai awal untuk praktik ke dalam,” tutup bhante.

Lucy Salim, Menyebarkan Kebaikan untuk Semua Manusia

$
0
0

Dengan usia yang tak lagi muda, Lucy Salim ingin menghabiskan sisa hidupnya menyebarkan kebaikan. Diberikan untuk semua manusia. Lahir di Kota Medan pada 1951. Ia merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Waktu kecil ia cukup bahagia karena kasih sayang orangtuanya.

Ketika sekolah, Lucy Salim tergolong anak yang pintar, tak heran bila sering mendapatkan beasiswa. Ibu empat anak ini selalu diajarkan tentang kejujuran, bekerja keras, harus pandai bergaul, tidak boleh menyombongkan diri, rendah hati, dan displin oleh orangtuanya.

Saat kecil, dia mengaku sempat protes kepada orangtuanya, karena merasa diperlakukan berbeda dengan keempat saudara laki-laki. Ketika dewasa, ia ke Jakarta untuk belajar bahasa Inggris, disamping itu ikut kursus menjahit dan desain. Pada suatu ketika, ia bertemu dengan Biksu Arya Maitri di Wihara Ekayana Arama.

Dirinya kerap diberi nasihat dan bimbingan oleh beliau, seperti selalu berbuat baik, serta bisa bermanfaat bagi orang lain. Lucy memutuskan untuk terjun dalam organisasi Buddha. Setelah tiga tahun di Ibukota, ia sempat kembali ke kampung halaman. Tak lama, ia kembali lagi ke Jakarta.

Setelah itu, ia semakin aktif di Wihara Ekayana Arama, dengan menjadi salah satu pencetus klinik Jivaka, balai pengobatan khusus untuk orang tak mampu. Jiwa sosial semakin besar. “Perubahan itu saya syukuri, karena menjadi awal kebajikan untuk selalu dilakukan hingga sekarang. Suka duka saya rasakan, mulai dari bergaul, membantu (mencari) dana,” tuturnya.

Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PP WBI. Dalam diri Lucy: ingin selalu membantu bagi yang membutuhkan, memberikan pelayanan, menjalankan apa yang dijalankan oleh Buddha. “Dengan atas nama kemanusiaan, semua agama dan kepercayaan mengajarkan kebaikan bagi semua orang,” pungkasnya. (Indochinatown.com)

Kondisi Nusantara Setelah Kekuasaan Majapahit Runtuh

$
0
0

Runtuhnya kerajaan yang pernah menjadi kekuataan terbesar di Asia Tenggara ini menjadi suatu “titik balik” bagi sejarah Nusantara. Kekuasaannya membentang begitu luas, namanya disegani berbagai kerajaan di Asia, namun kerajaan terbesar di Asia Tenggara itu pun akhirnya runtuh.

Setelah ditinggal pemimpin yang membawanya kepada kejayaan, Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit perlahan tapi pasti berakhir menuju keruntuhan. Usai Hayam Wuruk wafat, kekuasaan Majapahit berkali-kali berganti, konflik internal dalam kerajaan menyebabkan berbagai perang, mempercepat kehancuran kerajaan yang berhasil hampir menguasai seluruh daerah di Nusantara dan beberapa daerah di Asia Tenggara ini.


Poster “Tanah Leluhur Raja-raja Jawa”, sisipan National Geographic Indonesia edisi September 2012. Lembaran ini menampilkan peta geografi Majapahit yang berkait dengan Gunung Penanggungan, dan gambaran kehidupan di tepian kanal metropolitan Majapahit berdasar temuan arkeolog dan catatan semasa. (National Geographic Indonesia)

Belum jelas memang peristiwa apa yang menandai berakhirnya kerajaan ini, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Majapahit runtuh akibat serangan dari kerajaan Islam Demak, ada juga yang mengatakan konflik internal antara Bhre Kertabumi sebagai raja terakhir Majapahit diserang oleh Bhatara Wijaya yang juga merupakan anggota kerajaan, konflik internal ini kemudian dianggap mengakhiri eksistensi Majapahit.

Namun yang pasti, runtuhnya Majapahit mengakhiri kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di tanah Nusantara. Sebab setelah Majapahit runtuh, kerajaan-kerajaan Islam mulai bermunculan dan berjaya.

2
Patung Buddha tidur sepanjang 22 meter ini menjadi patung Buddha terbesar di Indonesia. Berlokasi di Mahavihara Majapahit, Bejijong, Trowulan. Wihara diresmikan pada 1989, sedangkan patung tersebut dibangun pada 1993. Pada masa Majapahit, Bejijong merupakan kompleks percandian Hindu-Buddha. Dari prasasti Alasantan, tampaknya desa ini telah menjadi permukiman yang berlanjut sejak abad ke-10. (Dwi Oblo)

Di pulau Jawa sendiri yang notabene dulunya merupakan pusat pemerintahan Majapahit, mulai tergantikan oleh Kesultanan Demak yang berada di pantai Utara pulau Jawa dan merupakan bekas daerah kekuasaan Majapahit.

Demak memang bukan kesultanan pertama yang eksis di tanah Nusantara, sebab sebelumnya sudah ada beberapa kerajaan Islam di Nusantara, seperti Samudra Pasai yang sudah ada semenjak abad ke-13. Namun dapat dikatakan bahwa Demak memiliki pengaruh yang lebih kuat dibanding kesultanan-kesultanan yang sudah ada lebih dulu. Agama Hindu dan Buddha yang pengaruhnya kuat pada masa-masa sebelumnya mulai tergantikan dengan agama Islam.

1
Permukiman Majapahit beratap genting dan berhias ukel. Dindingnya gedek, berlantai batu bata. Ada dua anak tangga kecil yang mengantarkan penghuninya melewati pintu. Halamannya pun dihiasi dengan gentong dan jambangan. (Seni: Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

Selain Demak di Pulau Jawa, beberapa kesultanan juga semakin kuat pengaruhnya di berbagai daerah di Nusantara. Seperti Kesultanan Aceh di Aceh, lalu Gowa–Tallo di Sulawesi, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan lain sebagainya.

Runtuhnya Majapahit memang dapat dikatakan sebagai sebuah turning point bagi sejarah Nusantara, sebab setelah runtuhnya Majapahit juga sekaligus mengakhiri eksistensi pengaruh kuat kerajaan Hindu dan Buddha yang cukup lama berkuasa di Nusantara.

Munculnya berbagai kesultanan Islam setelah runtuhnya Majapahit juga kemudian sangat berpengaruh bagi Nusantara, sebab Islam kemudian menjadi agama yang paling berpengaruh di Nusantara dan itu masih bertahan lama hingga di masa sekarang. Selain itu, tak lama setelah Majapahit runtuh berbagai bangsa penjajah mulai berdatangan dan membuat koloni di berbagai wilayah di Nusantara.
(Haydr Suhardy/Nationalgeographic.co.id)

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live