Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Indonesia Tipitaka Chanting Kembali di Gelar di Candi Borobudur

$
0
0

Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) resmi dibuka pagi ini, Jumat (8/7). Kegiatan ini digelar di Taman Lumbini, kompleks Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Acara akan berlangsung selama tiga hari; Jumat – Minggu dengan puncak acara puja bakti Agung Asadha. 

Indonesia Tipitaka Chanting adalah kegiatan pembacaan teks-teks kitab suci agama Buddha (Tipitaka) bahasa Pali. Kegiatan ini diikuti oleh bhikkhu, samanera, athasilani, dan umat Buddha dari pelbagai daerah di Indonesia yang berjumlah 1.200 orang. Selama tiga hari, peserta akan membaca ulang kitab Majjhima Nikāya. 

Ketua panitia Bhikkhu Guttadhammo berharap kegiatan ini tidak hanya sebatas seremonial. 

“Dengan membaca Tipitaka, kemudian mempelajari isi, dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari akan memberi manfaat bagi kita semua,” kata Bhante. 

Acara ini diselenggarakan oleh Sangha Theravada Indonesia (STI) bersama keluarga Buddhis Theravada Indonesia (ASTINDA), MAGABUDHI, WANDANI, dan PATRIA). [MM]

The post Indonesia Tipitaka Chanting Kembali di Gelar di Candi Borobudur appeared first on BuddhaZine.


Indonesia Tipitaka Canting: Berusaha Tidak Melakukan Kejahatan Sekecil Apapun

$
0
0

Pukul 4.30 dini hari. Suasana Pelataran Candi Borobudur masih gelap. Namun, ribuan orang telah berkumpul, mengenakan seragam putih, memasuki altar utama di Taman Lumbini. Orang-orang yang berdatangan dari beragam daerah di Indonesia ini, melaksanakan ritual pengambilan delapan sila (atthasila), bagian dari Indonesia Tripitaka Chanting (ITC). Kegiatan tahunan ini akan berlangsung Jumat – Minggu (8-19/7). 

Diawali dengan pembacaan Namaksara serta persembahan amisa puja, para upasaka dan upasika mengucapkan tekad menjalankan delapan sila di bawah tuntutan dua bhikkhu Sangha; Bhikkhu Subhapanno dan Bhikkhu Guttadhammo. Peserta akan menjalankan praktik delapan sila selama 3 hari; Jumat – Minggu. ITC merupakan rangkaian dari acara peringatan Asalha Puja yang akan dilaksanakan pada Minggu (10/7) di Taman Lumbini, Borobudur.

Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, Bhante Subhapanno menjelaskan bahwa dalam kegiatan ini para peserta akan menjalankan uposatha atau puasa yang dijalankan oleh para Arya Sangha. Oleh karenanya, praktik ini juga disebut sebagai Arya Uposatha, praktik para Arahanta. 

“Karena ini praktik yang dijalankan oleh para Arahanta dan juga kita praktikkan sekarang ini, yaitu delapan sila (atthasila), perlu kita munculkan pemahaman dari dalam bahwa praktik yang saya jalankan adalah praktik para arya. Dimana para arya tidak melakukan kejahatan sekecil apapun. Maka dalam latihan ini kita juga berusaha menumbuhkan keyakinan dan nilai-nilai luhur di dalam diri kita,” ucap bhante. 

Tidak hanya sekedar menjalankan sila, dalam kesempatan ini bhante juga mengajak para umat untuk  mengembangkan nilai-nilai luhur lain seperti cinta kasih, kasih sayang, dan pikiran yang terbebas dari berbagai kotoran. Menurut Bhante, dengan mempraktikkan delapan sila juga mampu mengurangi kotoran-kotoran pikiran berupa keserakahan, benci, dengki, iri, dan dendam. Disamping itu, bhante juga menghimbau para peserta untuk merenungkan kualitas Buddha, Dhamma, dan Sangha selama pelatihan. 

“Di samping telah merawat dan menjalankan sila dengan sempurna, saya anjurkan untuk mengembangkan nilau luhur, pertama merenungkan kualitas para Buddha. Sang Guru Yang Maha Suci yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna tindak-tanduknya, sempurna kebijaksanaannya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, guru bagi para dewa dan manusia. Renungkan kualitas Guru Agung sehingga batin kita menjadi bening, menjadi murni, tenang dan bahagia.”

“Demikian juga kita renungkan sifat-sifat luhur atau kualitas Dhamma ajaran Guru Agung sebagai jalan menuju kebebasan dari penderitaan. Dengan merenungkan Dhamma yang sangat dekat , tidak lekang oleh waktu, menuntun untuk kita melakukan penyelaman dan membuktikan sebagai seorang bijak dan menyelami Dhamma dalam batin masing-masing. Dengan merenungkan Dhamma sehingga batin kita menjadi bening, mejadi murni, tenang dan bahagia serta terbebas dari kotoran batin.”

“Juga kita merenungkan kualitas Sangha para arya. Sangha yang patut, yang benar dan lurus, delapan jenis makhluk suci, siswa-siswa yang telah mengikuti jejak keteladanan Guru Agung sehingga mencapai apa yang semestinya dicapai. Sanga para arya adalah teladan, mereka yang telah membuktikan dengan mengikuti sang jalan yang ditunjukkan oleh Guru Agung Buddha. Setidaknya, sekalipun yang dicapai baru tingkat awal kesucian, tetapi tidak akan terlahir lagi di alam menderita atau alam rendah.”

Bhante melanjutkan bahwa dengan merenungkan kualitas Budhha, Dhamma, dan Sangha akan mampu menumbuhkan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang. Para peserta latihan juga dianjurkan untuk merenungkan latihan moral yang akan dijalani. Hal ini menurut bhante akan menjadi evaluasi dalam diri umat, demi kesempurnaan praktik sila dari hari ke hari.

“Sila yang dijalankan dengan baik termasuk atthasila ini, maka ketika seseorang tersebut harus meninggalkan dunia ini akan meninggal dengan tenang dan bahagia. Ketika meninggal dengan tenang dan bahagia sudah tentu akan terlahir di alam bahagia. Dengan merawat dan menjalankan sila banyak mafaat yang akan diperoleh , seperti kelahiran kembali di alam bahagia, alam surga hingga alam brahma, dan kebebasan dari kotoran batin,” imbuh bhante.

Mengenai manfaat sila yang dirawat dan dijalankan dengan baik, bhante menjelaskan bahwa uraian ini ditegaskan oleh Guru Agung Buddha dalam Uposatha Sila maupun Sikhapada Sila. Sang Buddha menyatakan bahwa jika seseorang mempraktikan sila dengan baik, tidak akan pernah ada penyesalan di kemudian hari. Oleh karenanya, bhante sangat menghimbau para peserta untuk merawat dan  mempraktikkan sila dengan sebaik-baiknya. 

“Latihan ini sangat singkat, maka marilah kita jalankan dengan baik, merawat sila dengan sungguh-sungguh bahkan sempurna. Maka akan membawa manfaat yang besar, yang membahagiakan dan berkurangnya kotoran-kotoran batin dan kebahagiaan pun bertambah. Semoga anda semua menemukan jalan kedamaian, semoga cita-cita luhur tercapai, semoga anda semua berbahagia,” pungkas bhante. [MM]

The post Indonesia Tipitaka Canting: Berusaha Tidak Melakukan Kejahatan Sekecil Apapun appeared first on BuddhaZine.

Fo Guang Shan Bersama WALUBI Ajak Guru Sekolah Minggu Jawa Tengah Perdalam Agama Buddha

$
0
0

Fo Guang Shan Education Center bekerja sama dengan WALUBI dan Institut Dong Zen Indonesia (IDZI) kembali menyelenggarakan program pelatihan guru Sekolah Minggu Buddhis (SMB) Indonesia di Vihara Griya Vipasana Avalokitesvara (GVA) Mungkid, Magelang pada Jumat (8/7).

Pelatihan diikuti oleh setidaknya 61 guru SMB dari pelbagai kabupaten di Jawa Tengah. Kegiatan ini dihadiri dan dipandu oleh para biksuni serta guru dari Institut Dong Zen Malaysia maupun Indonesia. 

Acara pembukaan dilaksanakan pada Jumat malam pukul 20.00 WIB di aula GVA. Pimpinan Fo Guang Shan Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, India sekaligus Pimpinan Fo Guang Shan Institut Dong Zen Malaysia, Biksuni Jue Cheng berharap melalui pelatihan ini guru-guru Sekolah Minggu Buddhis banyak belajar bagaimana memberikan pendidikan nilai-nilai buddhis kepada murid-muridnya.

Ia menjelaskan bahwa Fo Guang Shan juga ada pelatihan khusus bagi guru-guru ke luar negeri seperti Taiwan untuk menambah wawasan perkembangan agama Buddha di luar negeri. 

“Kami bahkan sudah ada universitas di Taiwan, USA, Filipina, dan di Australia. Kami berharap guru-guru dari luar negeri bisa datang ke sini untuk bertukar ilmu dan pengalaman.

“Saya lihat semua guru-guru yang hadir di sini masih sangat muda-muda. Ini adalah harapan karena kami pun ada camping untuk semua pemuda-pemudi buddhis, ada juga untuk para remaja, dan juga bagi para guru. Bahkan untuk lansia kami juga ada camping,” katanya.

Biksuni menghimbau agar seluruh peserta mengikuti pelatihan dengan sungguh-sungguh serta aktif bertanya sehingga bisa menyerap lebih banyak ilmu. Meskipun di antara para peserta dan pamandu program tidak saling mengenal sebelumnya, biksuni berharap dalam dua hari pelatihan bisa menjadi satu keluarga. 

“Saya berharap untuk ke depan semua guru-guru di sini tetap menjalin komunikasi meskipun sudah selesai mengikuti pelatihan. Supaya bisa terus berbagi pengetahuan dan belajar bersama,” imbuhnya.

Dukungan

Kegiatan ini pun mendapatkan apresiasi serta dukungan dari Tanto Harsono, Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) WALUBI Jawa Tengah. Tanto menyampaikan dengan adanya pelatihan ini diharapkan mampu menumbuhkan antusias anak-anak SMB untuk berkegiatan Sekolah Minggu.

“Pelatihan ini tujuannya untuk membina bagaimana kita menumbuhkan kepercayaan, pendidikan, supaya anak-anak buddhis rajin mengikuti Sekolah Minggu.

“Karena anak-anak Sekolah Minggu adalah masa depan daripada agama Buddha, terutama di Jawa Tengah ini. Ini sebabnya kita sangat antusias untuk mengadakan pelatihan guru Sekolah Minggu,” jelasnya.

“Kali ini teman-teman dari Fo Guang Shan juga akan belajar dari kehidupan umat Buddha di desa-desa. Tanggal 11 sampai 13 Juli, teman-teman Fo Guang Shan akan mengadakan kunjungan ke daerah Kaloran. Mungkin ke depan bisa bergantian ke daerah lainnya,” Tanto menambahkan.

Pelatihan

Dalam pelatihan yang akan dilaksanakan selama dua hari hingga tanggal 10 Juli ini, peserta akan diberikan berbagai pelajaran baik teori maupun praktik keterampilan. Biksuni Ru Yin memaparkan setidaknya ada tujuh rangkaian kegiatan yang akan dijalani para guru SMB selama pelatihan.

“Pertama kita akan belajar tema apakah Itu agama Buddha? Kita akan belajar konsep agama Buddha yang lebih luas. Kedua adalah belajar berbagai seni kerajinan tangan. Ketiga kita akan belajar permainan untuk membangun kerja sama. Selanjutnya kita akan mengadakan sesi bedah buku dan diskusi bersama pada Minggu tanggal 10 Juli. Kita juga akan mengadakan makan bersama. Kemudian ada pembacaan Tisarana dan kebaktian malam.”

“Harapannya dengan kegiatan ini, selain kita mempelajari Dharma tetapi kita juga punya keterampilan untuk menyampaikan Dharma,” paparnya.

Kehangatan para pemandu pelatihan pun menjadi pemantik antusias para guru yang hadir. Seperti yang diutarakan salah satu guru dari SMB Vihara Dharma Sambara, Meta Lestari (20). 

“Saya merasa senang bisa ikut latihan ini,  dapat menambah teman dari berbagai daerah.

“Selain itu, dengan mengikuti pelatihan ini saya berharap mendapat banyak pengalaman, pengetahuan dan mempererat tali persaudaraan umat Buddha dari berbagai wilayah,” kata guru asal Desa Gandon, Kecamatan Kaloran, Temanggung.

Demikian pula dengan yang dirasakan oleh Aditya Galih Saputro (18), guru SMB Dharma Kartika Dusun Gembleb, Kaloran, Temanggung. “Saya bersama lima teman datang ke sini ingin mengikuti pelatihan guru Sekolah Minggu. Harapannya, saya sendiri serta para guru lainnya bisa menambah ilmu dan menjadi lebih inovatif dalam mengajar anak-anak SMB di vihara masing-masing,” pungkasnya. [MM]

The post Fo Guang Shan Bersama WALUBI Ajak Guru Sekolah Minggu Jawa Tengah Perdalam Agama Buddha appeared first on BuddhaZine.

Kumandang Lantunan Sakral Tipitaka di Candi Borobudur

$
0
0

Ribuan orang yang terdiri dari bhikkhu, samanera, atthasilani, dan umat Buddha dari pelbagai daerah di Indonesia mulai berbaris menata diri menghadap Candi Borobudur.

Sore itu, mereka akan melakukan pradaksina mengelilingi Candi Borobudur. Pradaksina menjadi salah satu rangkaian kegiatan Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) 2022 yang sudah dua hari berlangsung di Taman Lumbini, kompleks Candi Borobudur.

Sabtu (9/7) pukul 16.00 WIB mentari sudah tidak nampak di langit Candi Borobudur karena tertutup awan tipis. Pradaksina dimulai pukul 16.45 WIB.

Panji-panji buddhis berada pada barisan terdepan, ratusan bhikkhu dan samanera yang membawa karangan bungan berada di barisan kedua, diikuti oleh atthasilani, dan umat Buddha.

Pradaksina dimulai dengan membaca paritta vandana yang dipimpin oleh Bhante Dhammasubho. Setelah pembacaan paritta vandana sebanyak tiga kali hingga selesai, dua puluh orang bhikkhu naik ke Candi Borobudur untuk melakukan pradaksina di stupa induk.

Sementara itu, umat Buddha yang lain melakukan pradaksina mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali sembari merapal paritta. Inilah suasananya…

The post Kumandang Lantunan Sakral Tipitaka di Candi Borobudur appeared first on BuddhaZine.

10 Makna Simbolik Kereta Kencana MAHĀDHĀTU ITC Borobudur 2022

$
0
0

Keberadaan Kereta Kencana Mahādhātu pada Indonesia Tipitaka Chanting, 8-10 Juli 2022, menarik perhatian banyak orang. Kereta itu diletakkan di luar tenda acara dengan background Candi Borobudur. Letaknya yang strategis membuat kereta kencana ini selalu ramai orang swafoto. 

Kereta yang terbuat dari bahan logam ini merupakan karya Sanggar Nakula Sadewa, Muntilan di bawah supervisi I Nyoman Alim Mustapha. Kereta yang berbobot berbobot 2,5 ton ini Jumat – Minggu 

Pada perhelatan Indonesia Tipitaka Chanting dan Āsālhapūjā, kereta kencana digunakan untuk membawa Mahādhātu (Relik Agung) Buddha Gotama dari Vihara Mendut menuju Candi Borobudur. 

Kereta Kencana Mahādhātu didesain khusus Bhante Sri Pannyavaro dengan ragam hias ornamen dan relief Jātaka, kehidupan lampau Bodhisatta Siddhattha, dari Candi Borobudur, yaitu; Mora Jātaka, Vaṭṭaka Jātaka, Sasa Jātaka, Vessantara Jātaka. 

10 Makna Simbolik Kereta Kencana MAHĀDHĀTU ITC Borobudur 2022

Makna Simbolik Kereta Kencana Mahādhātu

Dharmachakra (Roda Dhamma) pada empat roda kereta melambangkan Dhamma yang dipraktikkan laksana roda yang berputar. Dengan praktik Dhamma, maka tujuan akhir, bebas dari dukkha, akan tercapai.

Kinnara berkepala manusia berbadan burung pada ujung penarik kereta melambangkan kesetiaan pasangan dalam kehidupan seperti pada kisah Kinnara Jātaka. Kesetiaan itu akan membawa kereta kehidupan maju dalam kebahagiaan.

Makara, naga berbelalai gajah membawa untaian bunga adalah penjaga kereta kencana. Makara menjaga kereta agar terhindar dari segala bencana. Semoga perjalanan kereta memberikan keberkahan bagi masyarakat agar terhindar dari segala bencana.

Mora Jātaka, kisah kehidupan lampau Bodhisatta Siddhattha sebagai burung merak. Burung merak selamat dari penangkapan karena melakukan pāramī (kesempurnaan) tekad pada tiap-tiap pagi dan petang. Mora Jātaka di kereta kencana ini mengingatkan kita perlunya tekad kebajikan (Adiṭṭhāna) dan semoga perjalanan kereta memberikan keberkahan bagi masyarakat agar terbebas dari bencana sosial.

Vaṭṭaka Jātaka, kisah kehidupan lampau Bodhisatta Siddhattha sebagai burung puyuh. Burung puyuh selamat dari bahaya kebakaran karena melakukan pāramī perilaku baik, tidak membunuh. Vaṭṭaka Jātaka di kereta kencana ini mengingatkan kita perlunya berperilaku baik (Sīla) dan semoga perjalanan kereta memberikan keberkahan bagi masyarakat agar terbebas dari bencana alam.

Sasa Jātaka, kisah kehidupan lampau Bodhisatta Siddhattha sebagai kelinci. Kelinci melakukan pāramī mengorbankan diri sendiri untuk menolong pertapa yang sedang memerlukan makanan sebagai konsistensi anjurannya kepada teman-temannya agar selalu siap menolong kepada semua yang sedang menderita. Sasa Jātaka di Kereta Kencana ini mengingatkan kita perlunya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan serta peduli kepada semua yang memerlukan bantuan. Semoga perjalanan kereta memberikan insiprasi bagi masyarakat untuk konsisten terhadap kepedulian sosial. 

Vessantara Jātaka, kisah kehidupan lampau Bodhisatta Siddhattha sebagai Pangeran Vessantara yang memberikan segala-galanya untuk menolong semua yang memerlukan pertolongan. Vessantara Jātaka adalah kisah pāramī terakhir Bodhisatta sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddhattha. Semoga perjalanan kereta memberikan inspirasi kepada masyarakat untuk melakukan kebaikan sempurna dalam mencapai kesempurnaan.

Relief Dewa Brahma dan Dewa Indra, di sela-sela relief Jātaka di tempatkan juga relief Dewa Brahma dan Dewa Indra yang menyertai Buddha Gotama pada banyak peristiwa di kehidupan Beliau.

Pāramī, yang telah disempurnakan oleh Bodhisatta dalam kehidupan lampau membuahkan Pencerahan Sempurna bagi Bodhisatta Siddhattha dengan tercapainya Sammāsambuddha. Simbol Kebuddhaan di Kereta Kencana diwakili Relik Buddha Gotama yang ditempatkan di dalam stupa di bawah kanopi.

Chatra, Kereta Kencana Mahādhātu dimahkotai chatra (payung) bertingkat tiga sebagai persembahan agung kepada Tiratana (Tiga Permata: Buddha, Dhamma, Saṅgha). [MM] 

The post <strong>10 Makna Simbolik Kereta Kencana MAHĀDHĀTU ITC Borobudur 2022</strong> appeared first on BuddhaZine.

Konser Dharma Kolaborasi Imee Ooi dan Kanho Yakushiji Akan Digelar di Jakarta

$
0
0

Komposer sekaligus musisi ternama Malaysia, Imee Ooi bersama Biksu Jepang, Kanho Yakushiji dijadwalkan akan menggelar konser di Jakarta. Konser bertajuk “A Collaborative Dharma Live Concert – Sound of Peace” ini akan digelar pada Sabtu, 23 Juli 2022 di JIEXPO Theatre. Konser ini rangkaian terakhir dari tur konser mereka di Asia Tenggara. Sebelumnya, konser telah diadakan di Malaysia pada tanggal 7-10 Juli 2022,  dan Singapura tanggal 11 dan 12 Juli 2022. 

Imee Ooi dan Biksu Kanho Yakushiji telah dikenal di kalangan buddhis dunia lewat nyanyian sutra dan mantra. Kesamaan yang dimiliki Imee Ooi dan Kanho Yakushiji menyatukan mereka untuk memulai tur konser langsung di Asia Tenggara, guna menyebarkan musik untuk perdamaian dunia. Dalam tur konser ini, selain berkolaborasi Imee Ooi dan Kanho Yakushiji juga akan dimeriahkan oleh JSJG, grup vokal dharma pria yang dibentuk oleh Imee pada tahun 2016. Sebuah grup vokal yang didedikasikan untuk melayani Dharma melalui musik.

“A Collaborative Dharma Live Concert – Sound of Peace” Imee Ooi dan Kanho Yakushiji ini merupakan konser pertama yang diselenggarakan di JIEXPO Theatre setelah pandemi Covid-19. Konser terakhir yang digelar di JIEXPO Theatre merupakan konser Yo-yo Ma pada tahun 2019 silam.

Tentang Imee Ooi

Imee Ooi adalah seorang produser, komposer, pencipta dan penyanyi musik Dhamma asal Malaysia. Ia mulai berkarya pada tahun 1997 dengan mendirikan IMM Musicworks dan hingga kini telah menelurkan lebih dari 50 album. Karyanya yang paling terkenal adalah Chant of Metta yang berisi tentang ujaran-ujaran cinta kasih untuk seluruh makhluk hidup. Imee Ooi merayakan 23 tahun karir musiknya sejak debutnya pada tahun 1999 menyanyikan Sutra Hati (Prajna Paramita) dalam bahasa Sansekerta.

Biksu Kanho Yakushiji

Biksu Kanho Yakushiji merupakan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Ritsumeikan Kyoto dan lahir di Imabari Prefektur Ehime. Saat ini Kanho Yakushiji sebagai wakil kepala Kuil Nisshouzan Kaizenji di Kyoto. Kanho Yakushiji telah mempopulerkan Sutra Hati (Hannya Shingyo) dalam bahasa Jepang, dan menginspirasi banyak orang di sekitarnya. Biksu asal Jepang ini tengah menjadi sorotan dunia setelah membacakan mantera (jumon) sambil bernyanyi. Video musiknya di situs youtube telah diakses hingga lebih dari 75 juta kali. 

JIEXPO Theatre

JIEXPO Theatre adalah tempat pertunjukan kelas dunia di Indonesia, dan salah satu teater termegah di kawasan Asia-Pasifik. Desain mewah dan tim profesional bergabung untuk menawarkan fasilitas hiburan utama di Jakarta. JIEXPO Theatre menyediakan kapasitas kursi mencapai 2500 kursi (world class theatre seat) dan diyakini dapat menjadi perhelatan event berskala internasional seperti konser musik artis kelas dunia, pertunjukkan teater, broadway style dan berbagai acara lainnya.

JIEXPO Theatre menampilkan salah satu sistem peningkatan audio Meyer Constellation terbesar di dunia, dengan akustik berkualitas studio dan susunan speaker Meyer yang dirancang untuk menghilangkan suara gema dan memberikan pengalaman audio yang jernih dan tajam. Seluruh pengalaman dikendalikan dengan meja kontrol Solid State Logic 550, untuk kualitas profesional terbaik.

Bagi anda yang ingin menyaksikan “A Collaborative Dharma Live Concert – Sound of Peace” Imee Ooi bersama Kanho Yakushiji ini dapat langsung membeli tiketnya secara online di situs www.jiexpo.com. [MM]

The post Konser Dharma Kolaborasi Imee Ooi dan Kanho Yakushiji Akan Digelar di Jakarta appeared first on BuddhaZine.

Benarkah Buddha Memiliki 32 Tanda Istimewa?

$
0
0

Beberapa bagian di Tipiṭaka menegaskan bahwa tubuh Buddha memperlihatkan tiga puluh dua tanda baik(mahāpurisa lakkhaa), inovasi paling menarikdan membingungkan dalam teks awal agama Buddha—menarik karena tanda-tandanya sungguh aneh, membingungkan karena bertentangan dengan teks lainnya.

Ketika Raja Ajātasattu pergi menemui Buddha, dia tidak dapat membedakan Beliau dari para bhikkhu di sekeliling-Nya, yang akan bisa langsung dia lakukan jika Buddha memiliki tanda-tanda ini. Lelaki muda Pukkasāti duduk berbicara dengan Buddha selama beberapa jam sebelum menyadari siapa Beliau. Jika Buddha memiliki tanda-tanda apa pun, Pukkasāti pasti akan segera menyadarinya dan mengetahui bahwa dia berada dalam keberadaan seseorang yang sangat tidak biasa.

Dan seperti yang disebutkan di atas, ketika Upaka bertemu Buddha berjalan di sepanjang jalan dari Uruvelā ke Gayā, yang menangkap perhatiannya bukan tubuh Buddha yang tidak biasa, tetapi ketenangan dan warna kulit-Nya yang bercahaya. Yang lebih penting, Buddha menolak gagasan ciri-ciri tubuh membuat seseorang menjadi istimewa. Lebih tepatnya Beliaumengatakan bahwa dengan memiliki pikiran yang terbebaskan (vimutticitta), seseorang memenuhi syarat untuk disebut“orang hebat”.

Tulisan di atas adalah petikan yang berasal dari buku “Jejak Langkah di Hamparan Debu – Kehidupan Buddha dari Sumber-sumber Paling Kuno” karya terbaru dari Bhante S. Dhammika. Buku yang akan diluncurkan pada hari Sabtu, 16 Juli 2022. Link.

Namun menurut Bhante S. Dhammika, pembubuhan belakangan hal-hal istimewa yang dimiliki Buddha ke dalam Tipiṭaka tidak kemudian berarti transmisi materi inti Tipiṭaka tidak dapat diandalkan.

Sebagai hasil penelitian, banyak hal dalam buku ini yang mungkin akan mengejutkan bagi mereka yang belum pernah mengetahui hal-hal tersebut. Antara lain bahwa Suddhodana sesungguhnya bukan raja dalam pengertian masa kini. Lalu versi tradisional kisah Siddharta yang meninggalkan rumah diam-diam juga berbeda dengan kisah orangtua-Nya keberatan dengan air mata berlinang di wajah. Ada pun dramatisasi berlebihan yang lebih suka untuk menjelek-jelekkan Devadatta juga telah diimbangi dengan kisah yang lebih utuh.

Pada Bab 13, “Hari-hari Akhir”, dibahas mengenai kemangkatan Buddha:Tampaknya kemungkinan besar kemangkatan Beliau terjadi karena kelanjutan dari sakit sebelumnya apa pun itu, dan gastroenteritis diperburuk dengan kelelahan dan lanjut usia, bukannya sepenuhnya karena hal terakhir yang Beliau makan.Lalu pada Lampiran II, “Buddha dan Upaniṣad”, setelah pemaparan sejumlah bukti dituliskan demikian: Seseorang tergoda untuk berpikir bahwa bukan Buddha yang mengadopsi kamma dan kelahiran berulang dari Upaniṣad, melainkan Upaniṣad dipengaruhi oleh agama Buddha dan mungkin juga Jainisme.

Tentu saja masih banyak hal penting dari buku;ini, buku yang menyajikan kehidupan Buddha secara langsung: menceritakan kisah dari peristiwa-peristiwa penting sebagaimana dijelaskan dan digambarkan di dalam Sutta dan Vinaya. Para pembaca yang siap dengan pendekatan “tanpa embel-embel”, pasti akan mendapatkan banyak manfaat dari buku ini.

Acara Live Stream Hari Ini (Sabtu, 16/7. 12.45 WIB)

The post Benarkah Buddha Memiliki 32 Tanda Istimewa? appeared first on BuddhaZine.

Incantation, Film Horor Taiwan Laris Bernuansa Buddhis yang Terinspirasi dari Kisah Nyata

$
0
0

Disebut-sebut sebagai film horor Taiwan yang paling menyeramkan, Incantation sudah tayang di platform Netflix sejak tanggal 8 Juli 2022.

Film yang disutradarai oleh Kevin Ko dan naskahnya ditulis Chang Che-wei ini berhasil mendapatkan keuntungan besar sehingga dinobatkan sebagai film horor Taiwan dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa, lebih dari 5,7 juta dollar sampai saat ini.

Menurut laman Storm.mg, Kevin Ko, sang sutradara menyebutkan bahwa ia mendapat inspirasi film dari kisah nyata keluarga pemuja sekte sesat pada tahun 2005 silam.

Keluarga tersebut akhirnya saling melukai satu sama lain dan bertindak aneh. Hingga akhirnya mereka mati satu per satu.

Film ini menampilkan aktor dan aktris papan atas seperti Tsai Hsuan Ye, Huang Sin Ting, Kao Ying Suan, Sean Ling, dan RQ.

Sebenarnya bagaimana sih cerita film Incantation yang ramai dibahas di dunia maya ini? Film ini memiliki alur maju mundur dengan gaya Found Footage, yang membuat hasilnya terlihat menyerupai film dokumenter. Tokoh utamanya bernama Li Ruonan (Tsai Hsuan Ye) adalah seorang ibu dari bocah perempuan bernama Dodo.

Dulunya Li Ruonan pernah bertandang ke sekte sesat bernuansa Buddhis dan melanggar tabu dari sekte tersebut. Ia merekam ibadah yang dilakukan sekte pemuja “Bunda Buddha” tersebut untuk konten YouTube.

Nahas, Li Ruonan lalu dikutuk. Satu per satu orang terdekatnya mati sehingga ia terpaksa harus menitipkan anak terkasihnya, Dodo kepada orang lain.

Tak berhenti sampai di situ, Li Ruonan yang adalah pembuat konten video, terus mengabadikan kisah hidup kesehariannya. Berbagai keanehan yang dialaminya direkam, dan itulah yang kita tonton dalam film Incantation ini.

Enam tahun setelah berpisah dengan putrinya Dodo, Li Ruonan mendapatkan kabar Dodo bertingkah aneh, ia suka berbicara sendiri, dan melakukan hal aneh di sekolahnya. Sering juga ada aktivitas spiritual di sekitar Dodo seperti benda bergerak sendiri.

Ruonan sadar, yang terjadi pada Dodo saat ini adalah imbas kutukan dari Bunda Buddha yang ia terima di masa lalu.

Tak akan dibuat penasaran, dalam alur maju mundur yang tersaji kita juga disajikan dengan kisah masa lalu Ruonan. Saat ia bersama kekasih dan rekan sejurusannya berupaya mengungkap mitos sekte rahasia dengan mengikuti kegiatan sekte tersebut.

Mereka nekat mendokumentasikan ritual sekte tersebut yang hanya dilakukan setiap dua puluh tahun sekali.

Film berdurasi 110 menit ini menyajikan kisah yang cukup menegangkan, dan seolah-olah menggandeng penonton ikut ambil bagian dalam perjalanan seram Li Ruonan.

Penasaran dengan kisah Li Ruonan dalam menyelamatkan anaknya dari kutukan masa lalu? Saksikan selengkapnya film Incantation di Netflix.

Tapi kalau kamu penderita trypophobia, atau fobia terhadap pola lubang, sebaiknya tidak menonton film ini, atau waspada dan berpaling/tutup mata waktu melihat adegan seram yang menampilkan pola lubang atau gundukan yang tidak beraturan.

Selamat menonton!

The post Incantation, Film Horor Taiwan Laris Bernuansa Buddhis yang Terinspirasi dari Kisah Nyata appeared first on BuddhaZine.


Umat Buddha Lasem Menyusuri Dusun Sejauh 4 Kilometer Rayakan Asalha Puja 

$
0
0

Ratusan umat Buddha Lasem berjalan menyusuri dusun dan area pertanian sejauh empat kilometer memperingati Asalha Puja 2556 BE/2022, Minggu (17/7). Meskipun medan naik turun bukit, namun semangat mereka tidak surut. Lantunan paritta-paritta suci dari pengeras suara yang dibawa dalam mobil bak terbuka seperti memberi energi mereka untuk terus berjalan menuju Vihara Ratanavana Arama, Dusun Tluweng, Desa Sendangcoyo, Kec. Lasem, Kab. Rembang. 

Rombongan arak-arakan umat Buddha ini adalah prosesi peringatan Asalha Puja 2566 BE/2022 yang diselenggarakan oleh Vihara Ratanavana Arama, Lasem. Acara ini diikuti oleh umat Buddha dari pelbagai daerah di Indonesia, antara lain; Lasem, Pandangan, Jepara, Solo, Jogja, dan Semarang. Dalam acara ini juga dihadiri oleh 3 anggota sangha; Bhante, Bhante Piyadhiro, Bhante Jayamedho, Bhante Saccapiyo, serta, satu samanera. 

Sekitar pukul 16.00 WIB barisan umat mulai berjalan dari Cetiya Dusun Kebon menuju Vihara Ratanavana Arama. Barisan mobil pembawa rupang, relik, serta beragam gunungan hasil bumi turut meramaikan prosesi. Kurang lebih satu jam perjalanan melewati tiga dusun yang dilakukan umat. Selama prosesi, tak henti-hentinya sound system yang dibawa oleh salah satu mobil memperdengarkan lantunan paritta dan lagu-lagu Buddhis. 

Setibanya di area vihara, umat langsung menuju Candi Bhante Sudhammo yang terletak di bagian puncak kompleks vihara. Setelah peletakan rupang dan segala uborampe di altar utama candi, umat melakukan pradaksina mengelilingi candi sebanyak tiga kali. Cuaca sore yang nampak mendung tanpa hujan menjadikan suasana area candi terasa teduh dan nyaman. Mengkondisikan umat lebih khidmat dalam melakukan ber pradaksina. Acara dilanjutkan dengan puja bakti Asadha dan Dhammadesana. 

Pesan Dhamma Bhante Jayamedho

Membuka pesan Dhammanya, Bhante Jayamedho menjelaskan bahwa adanya Candi Bhante Sudhammo yang terbangun indah dan megah tidak lain merupakan bentuk penghormatan kepada Guru Agung Buddha Gautama. Buddha hadir di dunia membawa ajaran-ajaran yang berlandaskan cinta kasih dan kasih sayang, sebuah ajaran yang akan mendukung terwujudnya kebahagiaan hidup. Sehubungan dengan faktor kebahagiaan di dunia, Bhante Jayamedho mengulas kembali sabda Sang Buddha tentang hal yang memunculkan kebahagiaan.

“Kelahiran seorang Buddha sungguh membahagiakan dunia ini, baik manusia maupun dewa. Dengan landasan kasih sayang, seorang Buddha tidak akan melakukan dan tidak menyetujui tindak kekerasan dalam menjalani kehidupan.Bahkan murid-murid Buddha tidak diijinkan melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun dan kepada siapapun. Oleh karena itu ketika menjadi umat perumah tangga hendaknya bisa membina rumah tangga tanpa adanya KDRT,” pesan bhante mengawali ceramah.

Bukan hanya sebatas tidak melakukan kekerasan, namun pengejawantahan cinta kasih dan kasih sayang ajaran Buddha juga meliputi penghindaran terhadap perilaku yang membuat orang lain bahkan makhluk lain menderita baik secara fisik maupun batin. Buddha berpesan kepada para siswanya untuk jangan menyakiti orang lain, jangan menghina orang lain, jangan merendahkan orang lain. Bhante menambahkan, jangan pula mudah mengatakan sesat kepada orang lain, karena sebagai umat awam masih dalam perjalanan menuju kesempurnaan hidup. 

Demi menemukan ajaran yang mengarah kepada kedamaian dan kebahagiaan hidup, Buddha bahkan sampai harus bertapa menyiksa diri selama enam tahun di hutan. Maka dari itu sebagai umat Buddha sudah sepatutnya memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Guru Agung Buddha Gautama.

“Kedua, kita berbahagia adanya pembabaran ajaran yang benar. Titik pangkal ajaran Beliau adalah Dhammacakka Pavattana Sutta. Kita diingatkan bahwa segala sesuatu tidak ada yang kekal, semua itu owah gingsir. Hidup kita selalu berputar, sehat, sakit, senang, susah, gembira, sedih, mencintai, membenci. Kita hidup dalam dualisme, dan inilah yang membuat kita menderita. Keinginan kita untuk tetap mempertahankan kesenangan, dan menolak yang tidak menyenangkan, inilah sumber penderitaan kita. Bahagia bisa dicari kalau kita bisa mengatasi ombak ketidakkekalan ini,” lanjut Bhante.

Untuk menghadapi ketidakkekalan hidup, umat Buddha hendaknya berpegang teguh kepada Dhamma ajaran kebenaran. Mengutip pesan Buddha yang termuat dalam Mahaparinibbana Sutta, Bhante memaparkan bahwa umat Buddha hendaknya menjalin kehidupan bermasyarakat dengan melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain. Kedua, melakukan segala sesuatu untuk kesejahteraan orang lain, tidak melakukan hal yang merugikan orang lain. Ketiga, melakukan segala sesuatu untuk membahagiakan orang lain. 

“Ini kunci orang hidup agar memperoleh kebahagiaan,” tegas bhante.

Selain itu, kesadaran untuk menerima dan menghargai perbedaan yang tak mungkin dihindari adalah hal penting untuk ditumbuhkan dalam setiap individu. Adanya sikap toleransi yang terbentuk dalam masyarakat akan mendukung terwujudnya kerukunan. Kerukunan menjadi awal terciptanya hidup damai dan bahagia.

“Ketiga, Sukho Sanghassa Samaggi. Samaggi artinya kerukunan. Dalam suatu komunitas pasti penuh dengan perbedaan. Tapi perbedaan ini hendaknya bukan menjadi permasalahan, namun hendaknya kita atur agar bisa selaras, harmonis, dan seimbang. Hingga akhirnya menciptakan kehidupan yang rukun di dalam komunitas ataupun masyarakat. Perbedaan yang ada secara bijaksana kita selaraskan, apa pun yang laras akan membuat keindahan. Inilah cara hidup yang diajarkan Sang Buddha yaitu yang selaras dan damai.”

Hal terakhir yang disampaikan bhante adalah bersatunya orang yang bisa mengendalikan diri. Jika semua orang bisa mengendalikan diri, tidak ada kerusuhan antar kelompok, apalagi kerusuhan atas nama agama. Tidak ada. Karena agama adalah untuk mewujudkan kerukunan dalam hidup bermasyarakat.

“Di samping itu, kita juga harus menjaga pikiran. Mengarahkan pikiran ke hal-hal yang positif dengan pengembangan cinta kasih. Dengan pikiran yang positif kita akan selalu bisa merasa bersyukur dengan segala yang kita miliki, termasuk bersyukur masih hidup hingga saat ini,” tutup bhante.[MM]

The post Umat Buddha Lasem Menyusuri Dusun Sejauh 4 Kilometer Rayakan Asalha Puja  appeared first on BuddhaZine.

Nusa Dharma, Pura Ajaib di Nusa Dua yang Dibangun oleh Umat Buddha Tahun 1948

$
0
0

Pura Nusa Dharma secara administratif terletak di lingkungan Banjar Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Letaknya di sebuah pulau kecil yang terhubung dengan kawasan hotel-hotel mewah di Nusa Dua, Bali.

Sekilas pura yang memiliki luas lahan 2000 m² dan Luas Bangunan 6 m² ini mirip dengan pura-pura Hindu pada umumnya. Namun ada keunikan dan kisah menarik tersendiri terkait pura yang berdiri di sebuah pulau kecil ini.

Laman Kemendikbud.go.id menyebutkan, sejarah keberadaan pura ini diawali oleh Babah Tan Sie Yong, seorang Buddhis keturunan Tionghoa yang memancing di sebuah pulau kecil yang terpisah dari daratan Nusa Dua yang disebut Pulau Nusa Dharma.

Karena asiknya memancing, air pasang sangat besar membuat Babah Tan Sie Yong dan rekannya tidak dapat kembali ke Nusa Dua. Oleh karena itu ia dan rekan-rekannya terpaksa menginap di pulau Nusa Dharma untuk beberapa hari, sambil melakukan persembahyangan serta meditasi setiap malam, memohon agar air segera surut dan mereka bisa kembali ke Nusa Dua.

Pada saat itu ia dan rekannya juga berjanji jika selamat keluar dari Pulau Nusa Dharma akan berjanji membangun tempat suci di tempat tersebut.

Babah Tan Sie Yong dan rekannya bermalam sampai 10 hari lamanya di pulau Nusa Dharma, dan sesudah itu barulah air laut surut menjadi sangat kecil seperti air laut tersebut ada yang mengesernya hingga jauh ke tengah laut.

Oleh karena permohonan Babah Tan Sie Yong terpenuhi maka beliau kembali ke Nusa Dua dan pada tahun 1948 dibangunlah Pura Nusa Dharma oleh dia untuk memenuhi kaulnya jika berhasil selamat dari pulau Nusa Dharma.

Pura ini dibangun tepatnya pada tanggal 10 Juni 1948, yang tertulis di Prasasti Pura Nusa Dharma. Pura diupacarai secara agama Hindu, walaupun Babah Tan Sie Yong adalah keturunan Tionghoa yang beragama Buddha.

Upacara persembahyangan khusus atau yang lebih dikenal dengan Piodalan di pura ini jatuh pada hari raya Purnama Kasa. Khusus untuk pengempon pura ini adalah keluarga Jero Mangku Sandi dari Desa Bualu serta keluarga Babah Ketut Jaya (Tan Sie Yong), dan sebagai pengincen adalah Puri Jero Kuta.

Sejak berdirinya Pura Nusa Dharma, dikatakan banyak keanehan-keanehan yang terjadi di sana.

Salah satunya muncul beberapa sumber air tawar di areal pura tersebut yang sekarang dimanfaatkan sebagai air suci (tirta) untuk kepentingan upacara dan umat yang datang bersembahyang ke Pura Nusa Dharma.

Keanehan yang lain adalah munculnya sumber air yang membelah batu karang menjadi dua dan di dalamnya terdapat sebuah benda purbakala berupa Ketu Pandita yang sekarang diangkat dan ditempatkan pada sebuah pelinggih.

Kepercayaan-kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat menyebut bahwa Pura Nusa Dharma banyak dimanfaatkan untuk melakukan permohonan seperti, memohon penyucian diri, memohon anak (nunas sentana), memohon obat bagi yang sakit, serta memohon keselamatan ( penglukatan).

The post Nusa Dharma, Pura Ajaib di Nusa Dua yang Dibangun oleh Umat Buddha Tahun 1948 appeared first on BuddhaZine.

Roy Suryo Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Meme Stupa Candi Borobudur

$
0
0

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo resmi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus unggahan meme Rupang Buddha Candi Borobudur mirip Presiden Joko Widodo. Penetapan Roy Suryo sebagai tersangka ini dilakukan setelah dirinya diperiksa Kabid Humas Polda Metro Jaya, Jumat (22/7). 

Seperti dilansir dari news.detik.com (23/7), dari hasil penyidikan Roy Suryo dikenai pasal penistaan agama dan ujaran kebencian bernuansa SARA. Sementara dari unggahan tirto.id (22/7) Roy Suryo dianggap melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 156A KUHP.

“Hari ini betul Polda Metro Jaya dalam hal ini Subdit Siber Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya saat ini sedang melakukan pemeriksaan terhadap Saudara Roy Suryo dengan status pemeriksaan sebagai tersangka,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan dikutip detikcom, Sabtu (23/7/2022).

Setelah dilakukan pemeriksaan kurang lebih 12 jam, dilaporkan kondisi Roy Suryo keluar dari kantor polisi dalam keadaan lemas. Dalam unggahan TribunJateng.com, dikatakan hingga Jumat malam Roy Suryo belum juga ditahan oleh pihak kepolisian. Hal ini dikarenakan tersangka dalam kondisi sakit.

“Ya sakit. Tidak ditahan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan, Jumat (22/7).

Sebelumnya Roy tampak begitu lemas dan harus dipapah menuruni tangga Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Setelah menuruni tangga. Roy dipapah erat oleh dua tim kuasa hukumnya untuk menaiki mobil.

“Mohon maaf ya. Biarin Pak Roy istirahat dulu, mohon doanya,” kata kuasa hukum Roy Suryo, Pitra Romadoni, (Jumat, 22/7).

Terkait ditetapkannya Roy Suryo sebagai tersangka, beragam tanggapan Umat Buddha pun muncul. Kevin Wu, ketua DPP Dharmapala Nusantara sebagai salah satu pelapor menyampaikan apresiasinya terhadap kinerja kepolisian dalam menangani kasus penistaan agama ini.

“Kami tentu mengapresiasi langkah dan tindakan pihak kepolisian yang telah bekerja profesional. Hal ini tentu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata Kevin Wu.

Kevin pun berharap ini menjadi pelajaran bagi para pelaku dan calon-calon pelaku berikutnya agar tidak mudah dan tidak sembarangan menyebarkan hal-hal yang menyinggung umat beragama di Indonesia.

“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada para penyidik Polda Metro Jaya. Ini juga berarti menunjukkan bahwa hukum tetap tegak,” pungkasnya. [MM] 

The post Roy Suryo Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Meme Stupa Candi Borobudur appeared first on BuddhaZine.

Asoka dan Epistemologi Gerakan Politik Agama Buddha

$
0
0

Di awali dari perjalanan saya ber-dhammayatra di salah satu Vihara daerah Blitar yang bernama Vihara Bodhigiri disana saya berkeliling ke semua area vihara dan satu yang menarik perhatian yaitu Prasasti Maharaja Asoka yang memiliki pucuk 4 kepala singa meskipun itu bukan asli (Buatan) tapi tetap menjadi monumen yang memiliki daya tarik yang mengandung nilai kemasyuran ,kekuasaan dan persatuan kepemimpinan Raja Asoka. Daripada itu nilai historis dari campur tangan kekuasan yang dimiliki Asoka dari kekaisaran dinasti Maurya membuahkan catatan penting bagi perkembangan umat Buddha di dunia yang pada tahun sekitar 250 SM mensponsori Konsili 3 yang merupakan pengejewantahan pengulangan Dharma dan membentuk sebuah satuan politik agama Buddha dengan mengirimkan misionaris Bhikkhu Sangha untuk menyebarkan agama Buddha ke seluruh penjuru Dunia. Dalam hal ini perkembangan agama buddha secara tidak langsung di pengaruhi kebijakan-kebijakan politik yang sudah dimulai dari Pataliputta India pada masa kejayaan Raja Asoka.

Dalam konteks politik sering kali menganggap bahwasannya politik itu sebuah hal yang negatif ,yang kotor, bermuka dua, ketidakadilan dan kemunafikan hal ini berangkat dari pandangan penilaian kita terhadap oknum politisi yang melakukan tindakan praktis ,korupsi, tidak amanah, mempentingkan golongan dsb. Pada dasarnya politik menurut Aristoteles dan Plato merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan bersama yang lebih baik. Proses politik merupakan bagian dari peneluran kebijakan dan meraih kekuasaan dengan landasan etika moralitas. Politik yang tidak mempunyai landasan etika, moral maupun spiritulitas menghasilkan proses politik yang di warnai dengan suatu kekerasan untuk sebuah pencapaian kekuasaan yang ambisius. Hal itu yang dilakukan Raja Asoka sebelum mengenal Buddha Dharma mempunyai sebutan Candasoka yang berati orang yang sangat kejam yang mempunyai ketegaan membunuh anak-anak Bindusara yang berati saudara-saudaranya sendiri. Tidak hanya itu awal perjalanan kepemimpinanya 8 tahun menjabat sudah menaklukan kerajaan Kalingga atas perjuangan perluasan wilayah kekuasan Maurya yang didalam perang itu menewaskan ratusan ribu manusia dan puluhan ribu orang menderita yang pada akhirnya membuahkan penyesalan terjadi pada Asoka saat melihat mayat-mayat berserakan yang bersimbah darah dan dalam penyesalan tersebut akhirnya Asoka sadar serta mengenal Buddha Dharma sebagai falsafah hidup dan landasan kebijakan politik yang penerapannya melaui kasih sayang, kejujuran dan anti kekerasan, hal itu dilihat dari Implementasi kekuasaannya melakukan pendirian rumah sakit ,tempat perlindungan binatang, menghapuskan sistem hukuman yang kejam dan mengutamakan kemanusiaan.

Dharma Sebagai Landasan Politik

Asoka  mengenal Dharma saat berdiri di depan Istana mendapati seorang Samanera berjalan dalam keadaan tenang, sejuk, damai seketika itu Asoka tertarik untuk mengenal Samanera tersebut memanggilah ia pembantunya untuk memanggil Samanera tersebut yang bernama Nigroda dan Mengucapkan kalimat “Kesadaran adalah jalan menuju kebebasan (Nibbana) dan Kelengahan adalah jalan menuju Kematian. Yang berati orang tanpa sadar merupakan kehidupan yang dipenuhi kegelapan (Batin kotor)”. Kalimat tersebut merupakan sebuah penyadaran bahwasannya siapa yang melakukan tindakan dengan penuh kesadaran serta berpijak pada Dharma merupakan sebuah keniscayaan untuk membawa perubahan, kesejahteraan,dan keadilan bagi semua mahluk hidup.

Dharma yang bersifat inklusif secara elastis dapat menjawab persoalan kebangsaan dan membukakan jalan dalam pembebasan persoalan-persoalan kemanusiaan. Dharma sebagai landasan politik merupakan manifes moderasi agama Buddha yang artinya anti kekerasan, kasih sayang, keadilan dan terciptanya kondisi kesejahteraan dan jalan keluar atas persoalan politik kekuasaan yang diraih dengan kejahatan, kekerasan serta keserakahan.

Politik sebagai jalan Dharma

Sering kali sebagai umat Buddha mempunyai kesan tabu dan antipati terhadap politik hal ini semakin melegitimasi degradasi pendidikan politik umat buddha yang penanaman intektualitas lebih banyak dibenamkan dimensi ritual hingga akhirnya salah pengartian makna spiritualitas hanya untuk pembebasan pribadi semata. Hal ini tidak lepas dari bayang-bayang sejarah Agama Buddha di Indonesia rezim orde baru menyisahkan luka mendalam bagi umat Buddha kejahatan struktural penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elit-elit birokrasi yang menyebabkan pergeseran perpindahan agama. Kecemasan dan rasa trauma menjadikan politik harus di hindari agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

Pada dasarnya politik itu netral dalam posisinya tergantung pada yang menggunakannya dan dari sisi mana kita melihatnya. Penanaman pendidikan politik harus di seiramakan dengan pendidikan sepiritualitas hal itu nantinya yang akan berdampak pada cara pandang terhadap politik itu sendiri Harold Adams Innis seorang ilmuan Kanada dalam bukunya “The Bias of Communication (1951) “mengatakan bahwa memonopoli suatu informasi lambat laun akan mempengaruhi suatu sistem. Pendidikan politik harus segera di tanamkan dilandaskan nilai Budddha Dharma dan menjadi instrumen penting dalam pengaruh sistem pembangunan dan persatuan.

Politik sebagai jalan Dharma merupakan salah satu jalan yang dapat dipilih dalam berkontribusi pada perkembangan Buddha Dharma di Dunia. Negara heterogen yang berkependuduk ratusan juta jiwa secara individu kita tidak dapat membantu satu persatu seseorang akan tetapi dengan politik dapat membantu hajat banyak orang dan memberikan pengharapan kehidupan yang lebih baik. Sebagai seorang individu yang tinggal di suatu Negara pasti tidak lepas dari Politik itu sendiri, contoh kecil di kehidupan sehari hari dari bangun tidur hingga tidur kembali di pengaruhi politik itu sendiri, makanan yang kita makan seperti nasi itu ada karena kebijakan politik seperti halnya agama yang ada di Indonesia itu sangat dipengaruhi politik dari hal peribadatan sampai tatacara sosial kemasyarakatan.

Pemerataan kesejahteraan, keadilan, penghidupan lebih baik hanya sebagai utopia tanpa adanya politik yang dapat mengakomodir kebutuhan kebutuhan Umat Bangsa dan Negara. Sifat sifat eklusif, apatis, dan ketakutan terhadap politik harus segera dihilangkan dan merevitalisasi kesadaran politik yang berlandaskan Dharma dan terlibat langsung dalam proses-proses politik untuk merestorasi tatanan sosial kemasyarakatan dan sebagai upaya pengenalan Dhamma sebagai penuntun hidup yang mulia.

Sebagai umat Buddha yang mengenal Dharma sudah seyogyanya kita mengimplementasikan ajaran Dharma, menebarkan kasih-kebajikan. Buddha Dharma yang begitu agung kenalkanlah sebagai penuntun umat manusia, tebarkanlah kasih ke mereka yang membutuhkan. Seperti halnya Raja Asoka yang menyebarluaskan Dharma sebagai penuntun Hidup manusia di Dunia melalui kebijakannya yang berdampak pada hajat manusia dan misionaris Sangha yang dikirim Raja bentuk penyebaran agama Buddha di dunia.

Sumber :

Dhammika, Ven.S. 2006. Maklumat Raja Asoka. Yogyakarta : Vidyasena Production

Innis, H.A. 1951. The Bias Of Communication. Toronto: University of Toronto Press.

Medhacitto, S.Trisaputra. 2019. Konsili Buddhis Menurut Tradisi Theravada. Yogyakarta: Vidyasena Production

Priastana, Jo. 2004. Buddhadharma dan Politik.Jakarta:Yasodara Puteri

The post Asoka dan Epistemologi Gerakan Politik Agama Buddha appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha Kabupaten Kulon Progo Gelar Kenduri Asadha 2022

$
0
0

Hari raya Asadha 2566 telah dirayakan segenap umat Buddha di berbagai tempat di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu Puja Asadha telah dirayakan oleh umat Buddha di Candi Borobudur dengan dirangkai pembacaan Tipitaka selama tiga hari dan diakhiri dengan puja hari Asadha dengan ditampilkannya paduan suara lintas iman yang membuat ribuan orang menitikkan air mata haru.

Gema Asadha 2566/2022 ternyata terus bergulir di berbagai tempat. Minggu 31 Juli 2022 umat Buddha Kulon Progo tidak ketinggalan menyambut dan memperingati hari raya Asadha. Uniknya, acara ini digelar di tempat wisata Ekowisata Taman Sungai Mudal dan dirangkai dengan acara Kenduri Asadha serta pementasan sendratari.

Umat Buddha di Kulon Progo yang notabene merupakan masyarakat Jawa menggelar upacara hari Asadha dengan konsep budaya Jawa. Busana, bahasa dan pisungsung puja disesuaikan dengan adat Jawa.

Upacara diawali dengan ‘Mendhet Tirta’ di Tuk Mudal oleh Bhikkhu Abhijato, Samanera Attharatano, Samanera Hemaratano, sesepuh tuk Mudal, sesepuh umat Buddha dan anggota Magabudhi Kulon Progo. Iringan lagu Ketawang Ibu Pertiwi yang dinyanyikan umat Buddha sayup-sayup terdengar mengingatkan kita betapa ibu bumi Pertiwi telah memberikan begitu banyak berkah untuk umat manusia. Lantunan Ketawang ibu Pertiwi cakepan Hyang Maha Suci terus mengiringi hingga puja lilin dupa dilaksanakan.

Iringan lagu Jawa kembali dilantunkan menjelang meditasi, kali ini umat Buddha melantunkan terjemahan bahasa Jawa ayat-ayat Dhammapada syair 1, 2, 17 dan 19 dengan iringan gamelan yang syahdu dan menjadi pengantar meditasi welas asih yang begitu menenangkan.

Ekowisata Sungai Mudal memang menjadi salah satu tempat umat Buddha Kulon Progo dalam menggelar acara keagamaan. Biasanya setiap tahun tempat ini digunakan untuk  acara Tribuana Mangala Bhakti menjelang perayaan Trisuci Waisak, namun karena pandemi covid pada tahun ini tidak digelar. Namun seiring longgarnya kebijakan pemerintah memperbolehkan kegiatan massal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan maka umat Buddha kembali menggelar acara keagamaan kali ini dengan perayaan Asadha.

Bhikkhu Abhijato dalam ceramahnya mengajak segenap umat Buddha untuk memahami Dhamma yang dibabarkan oleh Buddha Gautama pada saat bulan purnama Asadha. Setidaknya umat Buddha perlu memiliki pengertian atau pandangan yang benar yakni mengerti baik dan buruk, mengerti Kamma Vipaka dan mengerti empat kesunyataan mulia. Beliau mengajak untuk mewaspadai munculnya keinginan rendah (tanah) sebagai penyebab penderitaan. Tujuan akhir umat Buddha adalah mencapai Nibbana yakni lenyapnya kebencian, keserakahan dan ego.

Upacara peringatan hari Asadha di Kulon Progo semakin unik karena juga diadakan Kenduri Asadha. Kenduri ini merupakan wujud rasa syukur dan bahagia atas telah terbabarkannya Dhamma yang begitu dalam oleh Sang Buddha. Dengan diputarnya (dibabarkannya) Dhamma pada saat itu banyak umat manusia yang merasakan manfaat dari Dhamma sang Buddha. Oleh karena itu tema Asadha yang diambil oleh panitia adalah “Dharma Kababar, Rahayu Kasebar” bermakna Dharma ajaran Sang Buddha telah dibabarkan dan akan menyabarkan kebahagiaan bagi siapapun. Dalam Kenduri ini doa dari berbagai lintas agama juga dipanjatkan sebagai wujud kerukunan dan perdamaian.

Upacara puja Asadha 2566 ditutup dengan persembahan Sendratari Tribuana Manggala Bhakti binaan Dinas Kebudayaan Kulon Progo. Sendratari ini mestinya memang ditampilkan pada saat acara Tribuana Manggala Bhakti menjelang Trisuci Waisak 2566 mei lalu namun baru dapat ditampilkan pada moment asadha karena pandemi covid 19. Anak anak Buddhis yang tergabung dalam Sekolah Minggu Buddhis Kulon Progo juga turut menjadi bagian dari sendratari ini.

Kenduri Asadha 2566 yang baru pertama kali diadakan ini menjadi contoh sinergi, kerjasama dan kolaborasi berbagai pihak dalam mengangkat budaya Nusantara. Baik masyarakat beragama, pengurus tempat wisata, pemerintah dan stakeholder saling bahu membahu membangun peradaban Nusantara yang adiluhung, guyup, rukun serta kontributif terhadap pembangunan bangsa. [MM]

The post <strong>Umat Buddha Kabupaten Kulon Progo Gelar Kenduri Asadha 2022</strong> appeared first on BuddhaZine.

Permohonan Maaf Untuk Roy Suryo

$
0
0

Jaya Suprana, komposer ternama Indonesia memohonkan maaf dan ampunan untuk Roy Suryo kepada pelapor, Kurniawan Santoso dan Kevin Wu atas kasus unggahan meme ruppang  Candi Borobudur. Seniman asal Semarang yang mengenyam pendidikan seni di Jerman tersebut menyampaikan permohonannya kepada Kevin melalui unggahan artikel pada 27 Juli 2022. Berkut permohonan dari Jaya Suprana.

“Sebagai seorang rakyat jelata awam hukum, sudah barang tentu saya cukup wajib tahu diri sehingga mustahil berani melibatkan diri ke dalam kasus unggahan meme stupa yang diedit mirip Jokowi di akun Twitter Roy Suryo,” ujarnya.

Melalui artikelnya, Jaya Suprana juga menyampaikan rasa prihatinnya akan masih maraknya kasus hukum berdasar laporan masyarakat atas dugaan penistaan agama. Menurutnya reaksi terhadap penistaan agama melalui jalur hukum lebih beradab daripada tindakan kekerasan secara main hakim sendiri.

“Sebenarnya di Indonesia ada Kementerian Agama yang siap berperan sebagai mediator antara pihak yang merasa agamanya dinista dengan pihak yang diduga melakukan penistaan agama untuk berdamai melalui jalur musyawarah mufakat secara kekeluargaan.Menkumham Yasonna Laoly sudah sangat kewalahan akibat realita kondisi penjara di Indonesia yang sudah terlalu overcrowded.

Berlandaskan kegagumannya akan ajaran welas asih Buddhisme, ia memohon kemurahan hati Kevin untuk memaafkan dan mengampuni tindakan Roy Suryo.

“Sebagai umat Nasrani, saya mengagumi ajaran welas-asih Buddhisme yang menurut tafsir saya adalah sepaham dengan ajaran kasih-sayang Jesus Kristus.

Mengingat ajaran utama Sang Buddha adalah welas asih dan kedua pelapor adalah umat Buddha, maka dengan penuh kerendahan hati saya sebagai umat Nasrani memberanikan diri atas nama sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memohon kemurahan hati saudara Kurniawan Santoso dan saudara Kevin Wu berkenan memaafkan dan mengampuni tindakan saudara Roy Suryo yang telah tanpa sengaja melukai perasaan umat Buddha.

Bahkab permohonannya sempat diulang pada di akhir artikelnya, setelah meminta maaf atas keberaniannya melayangkan permohonan ampunan bagi Roy Suryo.

Apabila permohonan saya ini ternyata kurang berkenan bagi umat Buddha, maka mohon dimaafkan kegegabahan saya telah lancang memohon sesuatu yang sama sekali bukan merupakan wewenang apalagi hak asasi saya untuk memohonkannya.

Sebagai seorang insan warga bangsa Indonesia yang sudah termashur ke seantero dunia sebagai bangsa beradab yang ramah tamah serta cinta damai, saya memberanikan diri untuk mengetuk nurani kemanusiaan saudara Kurniawan Santoso dan saudara Kevin Wu demi berkenan memaafkan saudara Roy Suryo yang diduga telah melakukan penistaan agama Buddha dan kini telah menjadi tersangka dalam kasus meme wajah arca Borobudur yang diedit sehingga mirip Presiden Jokowi.

Menanggapi permohonan Jaya Suprana, Kevin Wu pun melayangkan surat balasan seperti dilansir publika.rmol.id edisi 28 Juli 2022.

Usai menyampaikan rasa terima kasih kepada Jaya Suprana yang telah mengingatkannya akan ajaran welas asih Buddha, Kevin menambahkan bahwa sebelum adanya permohonan maaf ia sudah memaafkan Roy Suryo. Sehingga dalam tindakan pelaporan ini, Kevin menjelaskan bukan bertujuan untuk menyakiti Roy Suryo tetapi demi kesamaan hukum bagi semua warga tanpa terkecuali. Berikut surat balasan Kevin.

“Untuk kasus Meme Borobudur ini, tujuan pelaporan kami bukan untuk “menyakiti” Saudara RS, namun ada 3 hal.

Pertama, menuntut kesamaan hukum yang berlaku bagi semua, tanpa terkecuali.

Kedua, efek “pembelajaran” dan efek “jera” bagi tersangka dan calon-calon pelaku di masa depan.

Ketiga, semoga kasus penggunakan simbol-simbol agama apa pun dengan tujuan dilecehkan/diolok-olok semacam ini tidak terjadi kembali di bumi Nusantara ini,” jelas Kevin.

Namun demikian, Kevin merasa keberatan jika harus mencabut laporan atas kasus Roy Suryo. Menurutnya hal ini sama saja menghianati tujuan pelaporannya sendiri.

“Namun jika permintaan Mpu untuk memaafkan dan mengampuni pelaku dengan cara mencabut laporan kepolisian yang saat ini sedang bergulir, hal ini yang tidak dapat dilakukan karena sama saja kami diminta untuk mengkhianati tujuan pelaporan yang telah kami sebutkan di atas,” imbuhnya.

“Akhir kata, perlu kami sampaikan bahwa yang dapat melindungi dan menghukum seseorang adalah perbuatannya (karmanya) sendiri, bukan orang lain atau pun pihak-pihak yang berusaha menegakkan hukum yang berlaku.

Terima kasih.

*Ketua Umum DPP Dharmapala Nusantara”

The post Permohonan Maaf Untuk Roy Suryo appeared first on BuddhaZine.

Grebeg Suro, Menjaga Mata Air Umbul Jumprit

$
0
0

Ratusan umat Buddha Kecamatan Jumo mengikuti ritual Grebeg Suro di sumber mata air Umbul Jumprit Dusun Jumprit, Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung pada Sabtu (30/7).  Ritual ini diselenggarakan oleh komunitas Open Punden Dusun Jumprit. Kurang lebih 500 orang lintas agama mengikuti ritual ini, terdiri dari umat Buddha dan warga desa sekitar Jumprit.

Rusdian Dwi Utomo, panita penyelenggara menyampaikan bahwa ritual ini sebagai wujud syukur serta untuk merawat sumber mata air Umbul Jumprit. Oleh karenanya, panitia mengundang perwakilan warga dari sembilan desa pengguna air Jumprit serta para tokoh lintas agama. Sementara sebagai perwakilan umat Buddha, panitia mengundang beberapa umat dari wilayah kecamatan Jumo beserta dua bhikkhu, yaitu Bhikkhu Sujjano dan Bhikkhu Khemadhiro.

“Grebeg Suro ini sebagai wujud syukur kami, di samping itu juga untuk mengingatkan kami agar bisa merawat sumber mata air di Jumprit ini. Kami juga meminta perwakilan setiap 9 desa untuk membawa tumpeng dan segenap uborampe ritual. Harapan kami ritual ini bisa menjadi agenda tahunan, tentunya dengan konsep yang lebih baik,” kata Dian.

Mengutip unggahan Medkom Sangha Theravadha Indonesia edisi 30 Juli 2022, kegiatan dilakukan dengan pembacaan paritta pemberkatan oleh umat Buddha yang hadir. Selain prosesi upacara Grebeg Suro, kegiatan ini juga dirangkai dengan pembersihan punden dan sadranan sendang Kali Progo.

Bhante Sujanno, Padesanayaka Jawa Tengah mengapresiasi atas pengadaan ritual ruwat sumber mata air ini. Bhante menjelaskan bahwa ritual ini menjadi wujud pelestarian budaya sekaligus untuk merawat sumber mata air sebagai sumber kehidupan yang memberikan banyak manfaat bagi semua maklhuk.

“Ini tujuannya kan untuk nguri-uri budaya, termasuk budaya perawatan lingkungan supaya sumber mata airnya tidak mati. Ini sangat baik sekali untuk dikembangkan. Makanya kami hadir bersama umat Buddha dari beberapa dusun seperti Sungapan, Bondalem, Ngemplak, Giyono, dan Rowo,” ungkap Bhante.  

Terkait keterlibatan umat Buddha dalam menggunakan air dari Umbul Jumprit sebagai air berkah di dalam perayaan hari besar Agama, Bhante memberikan himbauan kepada segenap umat Buddha.

“Sebagaimana kita tau sebagai umat Buddha juga turut menggunakan air dari Umbul Jumprit ini untuk perayaan hari besar Agama Buddha, Waisak khususnya. Jadi, seandainya dari umat Buddha ada ide untuk mengedakan ritual khusus umat Buddha di Jumprit ini bagus. Kita bisa mengadakan semacam ritual yang intinya untuk pelimpahan jasa, karena kita yakin kalau tempat-tempat seperti itu ada yang menghuni. Kita melipahkan jasa kepada para penghuni ini sebagai wujud turut andilnya umat Buddha untuk tempat tersebut. Apalagi mungkin dari umat Buddha di bawah umbul Jumprit ini ada yang ikut memakai airnya.”

Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir ini terdengar kabar kurang baik tentang kondisi sumber air Umbul Jumprit. Menurut Moch. Badrul Munif, perangkat Desa Ngadirejo, debit air dari sumber Umbul Jumprit megalami penurunan.

“Dari data PDAM, debit air dari Umbul Jumprit ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Tentu ini menjadi keprihatinan kita sebagai warga yang turut menggunakan air dari Jumprit,” kata Munif.

Mendengar hal ini, Bhante menyarankan umat Buddha juga bisa mengadakan kegiatan untuk menjaga debit air. “Kalau diijinkan dari umat Buddha bisa melakukan kagiatan penanaman pohon di area sumber air untuk menjaga kelimpahan air. Ini penting,” jelas Bhante.[MM]

The post Grebeg Suro, Menjaga Mata Air Umbul Jumprit appeared first on BuddhaZine.


Ngawurnya Buku Terbitan Kemendikbudristek 2021?

$
0
0

Bertanggung jawab terhadap pendidikan serta pembentukan karakter, moral, dan pola pikir seluruh generasi muda sebuah bangsa memang bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi, bagi bangsa Indonesia yang kemajemukannya luar biasa sekali ini.

Oleh karena itu, tugas yang diemban oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bukanlah sebuah mandat yang bisa dianggap remeh. Sebab, nasib penerus bangsa berada di tangannya. Tugas berat namun berpahala besar jika dijalankan dengan benar. Oleh karena itu pula, tugas penyusunan kurikulum pendidikan yang diemban oleh Kemendikbudristek, baik dalam hal pedagogi, silabus, hingga ke kontennya haruslah dilakukan secara serius.

Kasus buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk tingkat SMP kelas VII yang ditulis oleh Zaim Uchrowi dan Ruslinawati dan diterbitkan oleh Kemendikbudristek pada 2021, yang diprotes salah satu bagian dari isinya oleh umat Kristen dan Katolik baru-baru ini, adalah sebuah contoh kasus yang sangat disesalkan. Apalagi, kesalahan di dalam buku tersebut ternyata tidak berhenti di situ saja.

Ketika membahas tentang sejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia, tercantum bahwa agama Buddha baru mulai berkembang di abad ke-8 di masa Kerajaan Sriwijaya.

Padahal sumber-sumber data yang ada dan sangat mudah diakses tidaklah mengatakan demikian. Itu antara lain bisa diketahui baik dari penemuan-penemuan arkeologis maupun catatan-catatan dari negara lain yang sudah menjadi bagian dari konsensus global dalam menentukan perjalanan sejarah berbagai hal di dunia.

Catatan kedatangan agama Buddha untuk pertama kalinya di Nusantara antara lain dapat ditemukan pada buku “Memoirs of Eminent Monks” karya biksu Hui Jiao dari vihara Jiaxiang di China pada abad ke-5.

Di sana tercantum bahwa seorang biksu terkenal dari Kashmir bernama Gunawarman pernah datang ke Pulau Jawa. Seorang raja yang sedang berkuasa ketika itu, bersama dengan ibundanya, mengambil Tisarana dan Pancasila kepada Gunawarman. Tisarana dan Pancasila adalah penanda mendasar seorang Buddhis.

Kashmir adalah sebuah nama daerah di bagian utara India yang berbatasan dengan pegunungan Himalaya. Oleh karena itu, adalah keliru jika mengatakan bahwa agama Buddha di Indonesia adalah dikembangkan dari Tiongkok/China.

Gunawarman sendiri lahir sebagai seorang keturunan raja di Kashmir pada 367 Masehi yang kemudian memilih untuk meninggalkan kehidupan istana untuk menjadi seorang biksu Buddha.

Beliau juga meninggalkan jejak historikal yang sangat penting bagi ajaran Buddha di Srilanka, tempat persinggahan pertama beliau, sebelum melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa.

Menurut buku “Saints and Sages of Kashmir” karya Triloki Nath Dhar, dikatakan bahwa Kaisar China ketika itu (Dinasti Liu-Song) bahkan sempat mengirimkan kurir ke pulau Jawa dan berupaya mengundang Gunawarman ke China. Namun, mereka tidak berhasil menemuinya karena ketika itu Gunawarman sudah meninggalkan pulau Jawa.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut, raja yang berkuasa di pulau Jawa ketika itu dipanggil dengan nama Po tuo jia atau Raja Vadhaka (Badhaka). Berdasarkan tafsiran para ahli, Raja Badhaka itu merujuk ke ayahanda dari Raja Purnawarman atau bahkan Raja Purnawarman itu sendiri dari Kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Tarumanegara sendiri adalah kerajaan yang bercorak Hindu dan sekaligus Buddha, yang merupakan kerajaan tertua di pulau Jawa dan berkembang pada periode abad ke-5 hingga abad ke-7.

Peninggalan dari periode kerajaan ini antara lain adalah kompleks percandian Batujaya yang memiliki banyak sekali artefak-artefak bercorak Buddha.

Sebut saja, antara lain adalah amulet (sejenis lempengan berukir) yang bergambarkan Buddha. Amulet ini berdasarkan analisis Casparis, seorang filolog terkenal dari Belanda, adalah berasal dari periode abad 5-6 Masehi.

Ada pula ditemukan prasasti-prasasti berisikan ayat-ayat suci Buddha yang juga diidentifikasi berasal setidaknya dari tahun 600-an. Tidak lupa pula catatan dari China, kitab “Fo Kuo Chi”, yang berisikan catatan perjalanan biksu Fa Hsien pada tahun 414 Masehi yang telah mengindikasikan adanya penganut Buddha di wilayah Tarumanegara.

Ketika buku pelajaran tersebut membahas mengenai kerajaan Sriwijaya, data yang disajikan juga kurang tepat.

Berdasarkan catatan perjalanan biksu Yijing (I Tsing) dari China yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 Masehi dan bukti lainnya berupa prasasti Kedukan Bukit yang bertarik tahun 682 Masehi, diketahui bahwa agama Buddha sudah berkembang pesat di abad ke-7.

Jadi jelas bahwa pernyataan “agama Buddha masuk ke Indonesia pada periode kerajaan Sriwijaya di abad ke-8” sekali lagi keliru.

Lalu apa yang bisa dilakukan sekarang?

Buku tersebut perlu segera ditarik dan direvisi, itu sudah jelas. Selain itu, saya juga mengimbau agar Kemendikbudristek benar-benar menjalankan mandatnya secara serius dan teliti, tidak bias, dan benar-benar memahami bahwa bangsa Indonesia sangatlah kompleks dan sudah jelas sangat heterogen.

Bahkan dalam buku yang penuh polemik ini, telah didedikasikan satu bab khusus untuk berbicara tentang kebhinekaan Indonesia. Hanya saja sungguh disayangkan justru di dalam bab tersebut lah banyak terkandung materi-materi yang kurang akurat dan malah memicu polemik.

Saya sepakat dengan saran yang juga disampaikan oleh sahabat-sahabat Kristen dan Katolik bahwasanya adalah lebih baik jika otoritas-otoritas yang berkualifikasi terkait materi keagamaan dilibatkan dalam menggodok topik-topik terkait dalam kurikulum pendidikan.

Adalah tidak bijak jika sampai materi-materi pendidikan yang akan dilahap oleh seluruh generasi penerus bangsa kita malah tidak melalui proses kurasi yang baik.

Bhadra Ruci, biksu
Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia (SAGIN)
Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI)
Kepala Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya

The post Ngawurnya Buku Terbitan Kemendikbudristek 2021? appeared first on BuddhaZine.

Begini Wujud Rupang Buddha Milik Bung Karno

$
0
0

Bung Karno punya rupang Buddha? Jawabannya adalah iya. Rupang Buddha itu kini disimpan di Museum Agung Bung Karno, Denpasar, Bali.

Rupang itu terbuat dari kayu, dan di lehernya dipasang mala/tasbih dari biji jenitri. Selain itu, dikalungkan juga beberapa amulet/jimat buddhis khas Thailand.

Rupang tersebut ditampilkan di dekat pintu masuk museum di lantai atas, di ruang koleksi barang milik Soekarno. Di sekitar rupang juga diletakkan wayang kulit dan lukisan wayang.

“Arca ini diberikan oleh salah satu anak Bung Karno [ke museum], kalau tidak salah Guntur atau Sukmawati,” ujar Murni, penjaga museum tersebut, Juni 2022.

Sayangnya, tidak jelas kisah kedekatan Sukarno dengan rupang tersebut. Mulai kapan Sang Proklamator memilikinya? Apakah oleh Sukarno ditempatkan sebagai objek religius yang sakral, ataukah sekadar sebagai objek seni saja? Begitu pula terkait kapan atau dari mana rupang ini berasal. Paling tidak, itu yang ada di benak Murni.

Murni pun mengaku tidak tahu-menahu mengenai detail dan sejarah rupang itu. Namun ia bisa mengatakan bahwa selain rupang tersebut, museum yang berada di Jalan Raya Puputan 80, Dangin Puri Klod, Denpasar itu menyimpan banyak sekali koleksi lain terkait Sang Proklamator dari berbagai daerah di Indonesia.

Koleksi museum ini memang bisa dibilang luar biasa. Di lantai pertama yang merupakan perpustakaan, ada dokumen berbentuk tulisan, naskah pidato, naskah kuliah umum hingga buku yang dibuat maupun yang menceritakan sosok Bung Karno. Jumlahnya menyentuh angka 1,450 juta eksemplar. Ada pula lukisan dan foto terkait Bung Karno.

Sementara di lantai dua terdapat koleksi seperti sepeda, meja, tempat tidur, telepon, berbagai perabotan, hingga pakaian Bung Karno. Sementara lantai 3 difungsikan sebagai ruang pertemuan, dan lantai 4 adalah tempat menginap tamu khusus.

Museum ini dikelola oleh Yayasan Kepustakaan Bung Karno (YKBK) yang diketuai oleh Gus Marhaen. Putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri, meresmikan museum ini pada tahun 2015 lalu.

Tertarik berkunjung? Museum ini buka dari Senin-Sabtu pukul 09:00–17:00 WITA. Modal uang rupiah merah bergambar Soekarno-Hatta sudah cukup, bahkan mungkin lebih, bagi pengunjung yang berpasangan untuk membeli tiket masuk museum ini. Namun karena bangunan berada di pinggir jalan besar dan tanpa area parkir, pengunjung disarankan memarkirkan kendaraan di tempat lain di sekitar museum. Rutenya? Tinggal klik Google Map pasti ketemu.

Selamat berwisata sejarah!

The post Begini Wujud Rupang Buddha Milik Bung Karno appeared first on BuddhaZine.

Ruwatan Sukerta, Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik

$
0
0

Puluhan orang dari berbagai kota mendatangi Dusun Krecek, Temanggung untuk Ruwatan Sukerta, Jumat (11/8). Ruwatan sukerta adalah sebuah ritual masyarakat Jawa kuno untuk membersihkan diri. 

Terlihat beragam sesaji, rapi menghiasi Pendopo Agung Dusun Krecek. Bagian depan nampak altar Rupang Buddha dengan persembahan puja di sepanjang teras. Harum semerbak dupa berpadu aroma kemenyan memenuhi segala penjuru area pendopo, menambah kesan sakral acara Ruwatan Sukerta di Bulan Suro.

Ruwatan ini diselenggarakan oleh Inda Vineyyajana, pelaku spiritual asal Blitar dan Bhante Dhammakaro bekerjasama dengan warga Dusun Krecek. Sebanyak 44 orang dari berbagai kota seperti Semarang, Jakarta, Surabaya, Banten yang mengikuti ruwatan. Beberapa bahkan ada yang dari luar negeri yaitu Malaysia dan Prancis. Lima anggota Sangha juga nampak turut hadir dalam acara ini.

“Peserta yang bisa hadir langsung hanya enam belas, yang lainnya hanya mengirimkan potongan rambut serta pakaian yang nantinya akan digunakan sebagai sarana ruwatan,” kata Inda. 

Inda menyampaikan bahwa ruwatan bertujuan untuk pembersihan diri peserta ruwatan. “Ruwatan ini untuk menyingkirkan energi negatif dalam diri orang-orang yang diruwat. Selain itu juga untuk perbaikan kehidupan di masa mendatang yang meliputi kesehatan, mental, perekonomian dan lainnya,” imbuhnya.

Ruwatan Sukerta di Dusun Krecek, Temanggung. Foto: Ngasiran

Menurut Inda, suasana Dusun Krecek yang mempunyai aura positif cukup kuat serta menyimpan energi-energi yang mendukung spiritual menjadi alasan pemilihan tempat pelaksanaan acara ruwatan. Sementara Mbah Sukoyo, Kepala Dusun Krecek mendukung pelaksanaan acara dengan memberikan ijin serta membantu mempersiapkan acara.

“Sebelum pelaksanaan acara, malam Jumatnya kita juga menyediakan berbagai sesaji yang ditempatkan di beberapa lokasi di Dusun Krecek. Ini sebagai wujud permisi kita kepada alam dan segenap makhluk yang ada di sekitar Dusun Krecek,” jelas Mbah Sukoyo.  

Ruwatan Sukerta di Dusun Krecek, Temanggung. Foto: Ngasiran

Acara berjalan hampir satu hari satu malam penuh, dimulai pukul 10.00 WIB dan selesai pukul 04.00 WIB dengan beragam acara dari yang inti hingga acara hiburan. Uniknya, ruwatan ini juga seperti simbol toleransi umat beragama, etnis, serta kebudayaan. Meskipun peserta yang ikut hampir semuanya dari etnis Tionghoa tetapi diruwat dengan kebudayaan Jawa. Para pelaku ruwatan juga dari berbagai latar belakang agama.

Alunan gending-gending sakral yang dibawakan sekelompok pengrawit mengiringi berjalannya upacara. Pagelaran wayang dengan Lakon Ngeruwat Kala/Murwa Kala yang dibawakan oleh Ki Suratno, dalang asal Dusun Cendono, menjadi simbol pembersihan segala kenegatifan dalam diri peserta ruwatan. 

Upacara ruwatan juga sebagai wujud pelestarian kebudayaan bangsa yang telah diwariskan oleh para leluhur, yaitu budaya puja. Hal ini disampaikan oleh Bhante Dhammasubho dalam pesan Dhammanya. Bhante menjelaskan bahwa budaya puja sudah dilakukan oleh para leluhur Bangsa Indonesia sejak ratusan abad yang lalu. Menurut Bhante, terjaganya kebudayaan menjadi penunjang keutuhan suatu bangsa.

“Suatu bangsa akan utuh apabila rakyatnya tidak melupakan budaya bangsa sendiri. Di jaman Buddha masih hidup, budaya puja juga sudah dilakukan. Tetapi Sang Buddha tidak menyetujui penggunaan makhluk hidup dalam sebuah upacara, sebagai gantinya bisa menggunakan beragam tanaman” jelas Bhante.

“Sementara di Indonesia budaya puja juga sudah dilakukan oleh para leluhur bangsa sejak ratusan abad yang lalu. Maka dari itu sudah selayaknya kita sebagai pewaris kebudayaan bisa menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang kita. Negara yang kuat adalah negara yang merawat dan melestarikan budayanya sendiri, agar tidak terjadi kehancuran,” imbuhnya. 

Sementara beragam kesan dirasakan oleh para peserta setelah mengikuti ruwatan, baik terkesan dengan acaranya maupun dengan lokasi Dusun Krecek. Salah satunya disampaikan oleh Candrawati, peserta asal Semarang yang kini tinggal di Malaysia.

“Saya ikut ini juga sebagai wujud turut merawat tradisi leluhur untuk sebuah keutuhan budaya Bangsa Indonesia. Dan saya juga terkesan dengan Dusun Krecek ini, apalagi ada Bhante Dhammakaro yang berasal dari sini. Jadi Krecek ini harus terus berkembang dan jangan sampai terpolusi,” ucap Candrawati. 

Malam harinya, umat Buddha sekitar dusun turut mengikuti rangkaian upacara berupa prosesi mengelilingi Dusun Krecek. Acara ditutup dengan pagelaran wayang kulit hingga selesai. 

Ruwatan Sukerta di Dusun Krecek, Temanggung. Foto: Ngasiran

The post <strong>Ruwatan Sukerta, Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik</strong> appeared first on BuddhaZine.

Foto Kedamaian Meditasi di Dusun Krecek Temanggung

$
0
0

Puluhan Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia dan umat Buddha Kabupaten Bogor mendatangi Dusun Krecek, Temanggung. Mereka datang secara khusus untuk hidup bersama dengan warga krecek dan menikmati kedamaian bermeditasi di Gumuk Situnggul dan Curug Pertapaan.

Sebelum live in di Dusun Krecek, umat Buddha Kabupaten Bogor melakukan dharmayatra ke Candi Borobudur pada Minggu, (14/8). Selesai dari Candi Borobudur mereka berkunjung ke Dusun Krecek dan menginap hingga Selasa (16/8). Sementara Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia baru datang hari Senin (15/8). Mereka live in di Dusun Krecek hingga tanggal 21 Agustus mendatang. 

Seperti sudah menjadi tradisi, tiap komunitas yang melakukan live in di Dusun Krecek akan mengikuti sesi meditasi pagi di dua tempat meditasi Dusun Krecek. Hari pertama, meditasi dilakukan di Pondok Meditasi Gumuk Situnggul, sedangkan hari ke dua dilakukan di Curug Pertapan. 

Krecek merupakan salah satu nama dusun di Desa Getas, Kec. Kaloran, Kab. Temanggung, Jawa Tengah. Dusun ini yang dihuni oleh 70 kepala keluarga ini terletak di ketinggian antara 800 – 950 meter di atas permukaan laut. 

Yang menjadi menarik, hampir semua penduduk Dusun Krecek menganut Buddha Dharma sebagai jalan hidup. Hal ini memberi daya tarik bagi masyarakat luar untuk berkunjung dan mengalami hidup bersama masyarakat Dusun Krecek pada waktu-waktu tertentu.

Berikut potret kedamaian meditasi di alam Krecek. [MM]

The post Foto Kedamaian Meditasi di Dusun Krecek Temanggung appeared first on BuddhaZine.

Uji Coba Jalur Dharmayatra Mendut, Pawon, dan Borobudur

$
0
0

Asosiasi Dosen Agama Buddha Indonesia (ADABI) melakukan uji coba jalur Dharmayatra Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur. Kegiatan yang diikuti oleh 50 orang yang terdiri dari dosen beberapa kampus buddhis, pejabat Ditjen Bimas Buddha, serta perwakilan umat Buddha beberapa vihara ini dilakukan pada Sabtu, (20/8).

Bagi umat Buddha, istilah Dharmayatra dapat diartikan kunjungan napak tilas ke tempat-tempat suci agama Buddha. Dharmayatra berasal dari dua kata, yaitu dharma berarti ‘kebenaran’, dan yatra berarti ‘di tempat mana’. Sehingga Dharmayatra memiliki arti ‘tempat yang berhubungan dengan kebenaran (Dharma)’. 

Uji coba jalur Dharmayatra Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur ini merupakan Participatory Action Research (PAR) kerjasama antara Ditjen Bimas Buddha dan ADABI.  

Sayit, Kasubdit Pendidikan Tinggi Agama Buddha menjelaskan, hasil dari penelitian nantinya akan menjadi panduan dharmayatra ke Candi Mendut, Borobudur, dan Pawon. “Nantinya hasil dari penelitian ini akan kami bukukan, kami cetak dan dijadikan sebagai panduan umat Buddha untuk dharmayatra candi,” tutur Sayit. 

Dharmayatra dimulai dari Candi Mendut. Peserta laki-laki mengenakan kemeja putih, jarik batik motif buddhis, dan blangkon. Sementara itu, peserta perempuan mengenakan kebaya berwarna putih dengan bawahan jarik batik buddhis. 

Pada pukul 7.30 WIB para peserta berbaris rapi di kaki Candi Mendut. Dengan dipimpin oleh Bhante Dittisampano, mereka membacakan sutra dan gatha puja candi. Setelah melakukan puja, para peserta melakukan pradaksina mengelilingi Candi Mendut sebanyak tiga kali dengan khidmat. 

Selesai dari pradaksina di Candi Mendut peserta jalan kaki menuju Candi Pawon. Terik matahari yang sudah beranjak naik seperti tidak menyurutkan semangat peserta untuk menuju Candi Sojiwan. Perjalanan dari Candi Mendut melewati jalan raya dan jalanan kampung homestay Borobudur. 

Perjalanan dari Candi Mendut sampai Borobudur ditempuh dengan waktu sekitar 20 menit. Sampai di Candi Pawon, para peserta juga melakukan pradaksina sebanyak tiga kali mengelilingi candi. Selesai dari Candi Pawon, perjalanan dilanjutkan ke Candi Borobudur. Sayangnya, di Candi Borobudur mereka tidak bisa melakukan pradaksina karena sedang ada proyek perbaikan halaman candi. [MM]

The post Uji Coba Jalur Dharmayatra Mendut, Pawon, dan Borobudur appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live