Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Secuil Dharma dalam Ojek Online

$
0
0

Bagi sampeyan yang berada di kota-kota besar, tidak asing dengan transportasi online, khususnya ojek online. Enak yo? Semuanya bisa dilakukan dari handphone kita? Pesan makanan bisa online, butuh transportasi tinggal klik klik klik. Kelamaan dikit, tinggal cancel.

Beberapa waktu yang lalu, berhubung sedang malas naik motor sendiri, karena lokasinya jauh dan tidak tahu daerahnya gimana-gimana. Daripada motoran sendiri clingak-clinguk di rimba Jakarta, hal itu belum diperparah kalau sudah naik motor sendirian, beradu klakson dengan truk, bajaj, maupun kopaja yang aduhai byayakannya, zig-zag sana-sini.

Kalau tinggal mbonceng kan enak. Bisa ngobrol dengan tukang ojek. Emang apa sih enaknya ngobrol dengan tukang ojek? Wha! ini yang perlu saya ceritakan pada sampeyan

Generasi guru pertama!

Sebut saja nama tukang ojeknya Pak Daryono, profesinya apa? Ya ilah masih nanya, kan sudah dijelasin, tukang ojek online. Usia kurang lebih 47 tahun, produk asli Semarang, Jawa Tengah. Merantau di Jakarta sudah lebih dari dua puluh tahun!

Anaknya ada dua, satu lelaki dan anak kedua perempuan. Anak pertama sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah kampus bergengsi di Jakarta, jurusan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan) Jurusan Matematika.

 
Anaknya yang kedua bercita-cita mengikuti jejak kakaknya menjadi guru. Sekilas memang biasa saja sih. Setelah saya telisik lebih jauh, ternyata anak-anak Pak Daryono ini merupakan generasi pertama dalam keluarga besarnya, profesi guru merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi keluarga Pak Dar!

Pak Dar mencari uang dengan cara yang baik-baik, tidak mencuri, tidak menipu, supaya apa? Ya jelas, biar anak-anaknya hidup lebih baik daripada orangtuanya. Melihat perjuangannya yang gigih, baik saya maupun sampeyan pasti ya ikut senang juga to?

Ibu Margaretha

Nah ini dia! Namanya akan saya ingat selalu, betapa tidak, seumur-umur dalam hidup saya, baru dua kali saya diboncengkan sepeda motor. Pertama adalah ibu saya, cara naik motornya ibu-ibu ini kan khas, cirinya, lampu tanda belok kanan dinyalakan, tapi jalannya di sisian sebelah kiri. Namanya juga ibu-ibu. Benar dan benar adalah miliknya ketika di jalan.

Waktu itu usai sakit dan akan ke sebuah toko obat di Solo, karena kepala masih klemun-klemun, alias pusing-pusing. “Wes kene le cah bagus! Mbokmu yo iso numpak montor!” (Sudah sini anak ganteng! Ibumu juga bisa mengendarai motor).

FYI (For Your Information), ibu saya itu kalau sedang dongkol manggil saya dengan sebutan anak ganteng, saya sih tau, itu merupakan fitnah kejam.

Lain ladang, sama belalangnya! Ingat pepatah itu. Lho kok belalangnya sama mas?! Lha iya, dulu di Solo, pernah diboncengkan oleh ibu saya. Eh… sekarang di Jakarta peristiwa itu terulang kembhallli… Diboncengkan oleh ibu-ibu.

 
Mau cancel, kok ya ndak enak mbatalin pesanan ojek. Ketika di bangjo (lampu merah). Setiap kepala menoleh ke arah saya, rasanya malu lho… masa laki-laki diboncengin sama ibu-ibu. Lha gimana ya pas mau naik, Ibu Margaretha juga ndak mau ketika saya tawarkan, saya yang depan aja bu?

Jawabnya, “Ntar masnya yang dapat duit dong!”

Singkat cerita, Ibu Margaretha ini orang istimewa. Ia orang Batak! Suaminya sama-sama orang Batak, sama-sama keras bray! Intinya, dalam biduk keluarga ada cek-cok gitu. Kemudian, Ibu Margaretha ini tidak diberi nafkah oleh suaminya.

Lalu bagaimana dengan anak-anak? Anak-anak setiap hari butuh makan, butuh biaya sekolah, biaya-biaya lainnya. Ya sudah narik ojek online saja. Toh halal kok! Ketika saya tanya, ndak malu bu? Perempuan kok ngojek? Ah ndak ah! Demi anak, ngapain malu?!

Yah… jawaban itu langsung menggerus kerinduan saya pada sosok ibu. Hikz… Ibu… anakmu yang tak tahu diri tetapi ganteng ini kangen padamu… hikz.

Dharmanya mana?

Gimana dengan cerita di atas? Banyak pelajarannya to? Itu baru dua tukang ojek. Lha kalau saya tulis semua? Bisa sampai berlembar-lembar nulisnya, keriting tanganku je!

Soal Dharmanya mana? Lha ya sampeyan sendiri yang menyimpulkan, apakah dalam keseharian hidup sampeyan ada Dharmanya atau tidak, kalau menurut saya, Dharma itu ya, yang sehari-hari, di jalan salah satunya.

Persoalannya itu kan pada kemampuan kita dalam menafsir peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan kita ini. Seberapa jernih hati kita dalam menafsir?

Bagaimana kalau telinga, kita kembalikan pada fungsinya? Telinga kita itu bukan pajangan lho yah?! Mendengarkan cerita orang-orang di sekitar kita, kehidupan mereka, perjuangan mereka. Tanpa perlu menghakimi.

Ada banyak kok, pelajaran-pelajaran kehidupan yang berharga yang bisa kita pelajari, memetik sari kehidupan, dan usai mendengar, ketika kita tiba di rumah, kita pulang dengan keutuhan syukur.

Andre Sam

Penggemar dangdut, seorang Vianisty tapi bukan pembenci Nella Lovers.

Mengurusi band yang sama sekali tidak ndangdut. Motto hidup, “Opo kowe kuat dadi aku?” Dapat dijumpai di IG Andre Sam.

The post Secuil Dharma dalam Ojek Online appeared first on .


Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati

$
0
0

Ungkapan bahasa Jawa, “Mati sajroning urip, urip sajroning pati” artinya mati dalam hidup, hidup dalam mati.

Penggambaran indah tentang falsafah kematian ini ada dalam sosok Puntadewa. Puntadewa merupakan nama lain dari Yudhistira. Ia merupakan putra tertua pasangan Pandu dan Kunti, pewaris takhta Dinasti Kuru.

Asal-usul Yudhistira berawal dari Pandu yang berburu dan membunuh dua pasang rusa yang sedang bersenggama. Pandu tidak tahu bahwa rusa itu adalah jelmaan Rsi Kindamatanpa dan istrinya.

Menjelang ajalnya, Rsi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika bersetubuh dengan istrinya.

Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan takhta Hastinapura dan memulai hidup sebagai petapa di hutan untuk mengurangi hawa nafsu.

Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya. Setelah lama tidak dikaruniai keturunan, Pandu mengutarakan niatnya untuk memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredayassegera mewujudkan keinginan suaminya.

 
Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil Dewa untuk mendapatkan putra. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putra darinya tanpa melalui persetubuhan.

Putra pertama itu diberi nama Yudhistira. Dengan demikian, Yudhistira menjadi putra sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu Dewa Keadilan dan Kebijaksanaan.

Versi lain dalam pewayangan Jawa, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di Istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan Dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti.

Kedua versi menggambarkan sosok Puntadewa sebagai seorang berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran. Dewa Dharma adalah simbol Kedewataan yang mewakili kebenaran dan keadilan.

Kelahiran Puntadewa melalui ubun-ubun berhubungan dengan cakra paling atas yaitu cakra sahasrara atau mahkota. Segala hal yang berkaitan dengan kesucian diri berada di cakra tersebut.

Mati sajroning urip, urip sajroning pati

Bagian cerita yang paling tidak disukai banyak orang adalah ketika Puntadewa berjudi dengan Sengkuni yang mewakili pihak Kurawa. Yudhistira kalah berjudi dan telah mempertaruhkan segalanya, mulai dari kerajaan, adik-adiknya, bahkan istri tercintanya.

Cerita ini adalah simbol tentang pengorbanan ego. Untuk menyelami kebenaran sejati, maka kesenangan, kepentingan diri, segala kepemilikan, bahkan nama baik, itu semua mesti dikorbankan.

 
Dalam bahasa Jawa, hal itu diungkapkan dalam “mati sajroning urip, urip sajroning pati”. Kematian di sini adalah matinya ego. Secara praktis adalah seperti berkeinginan untuk hidup bahagia dan tenteram. Semakin seseorang menginginkan kebahagiaan dan ketenteraman, maka semakin seseorang itu jauh dari kebahagiaan dan ketenteraman.

Mengapa bisa demikian?

Hal itu karena kualitas sejati mesti bebas dari ego. Selama berkutat pada pola kepentingan ego yang sama, maka seseorang tidak akan beranjak ke mana-mana juga. Merasa “nyaman” dengan tidak beranjak ke mana-mana, inilah kebodohan batin.

Swami Vivekananda pernah berujar, “Kebodohan disebabkan oleh egoisme, keterpikatan, kebencian, dan ketamakan.” Ego adalah asal mula dari ketidakbahagiaan dalam hidup.

Orang yang selalu mati dalam hidup adalah orang yang senantiasa menjaga diri dengan membuang egonya. Hidupnya akan selalu tenteram dalam setiap perjalanan hidupnya.

Victor Alexander Liem 

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

The post Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati appeared first on .

Peringatan Hari Ibu di Vihara Sad Saddha

$
0
0

Hari Ibu merupakan hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.

Peringatan atau perayaan Hari Ibu biasanya dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan membebastugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Terkadang juga ada perayaan kecil seperti sebuah kejutan maupun hadiah untuk ibu. Di Indonesia, Hari Ibu biasanya diperingati setiap tanggal 22 Desember. Hari Ibu bisa dikatakan juga sebagai hari ungkapan terima kasih, khususnya anak kepada ibu.

Dalam agama Buddha juga diajarkan tentang bagaimana seorang anak berbakti kepada ibunya. Diceritakan bahwa Buddha Gotama mengunjungi Surga Tavatimsa untuk mengajarkan Abhidhamma kepada ibu-Nya (Ratu Mahamaya) yang terlahir kembali di alam dewa.

 
Ini merupakan salah satu bentuk bakti anak kepada ibunya. Hal serupa juga dilakukan oleh siswa utama Buddha, yaitu Bhikkhu Sariputta. Sebelum ia parinibbana, ia pulang ke Desa Nalaka yang merupakan tempat kelahirannya dan menemui ibunya untuk memohon maaf serta mengucapkan terima kasih. Tak lupa ia juga membabarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Tiratana.

Di dalam Sutta Sigalovada, dijelaskan mengenai cara anak berbakti kepada orangtuanya:

1. Merawat dan menunjang kehidupan orangtuanya terutama, di hari tua mereka.

2. Membantu menyelesaikan urusan-urusan orangtuanya.

3. Menjaga nama baik dan kehormatan keluarganya.

4. Mempertahankan kekayaan keluarga, tidak menghambur-hamburkan harta orangtua dengan sia-sia.

5. Memberikan  jasa-jasa kebahagiaan kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia.

Melihat momen tersebut, pengurus SMB Rahula Vihara Sad Saddha, Tangerang mengadakan kegiatan dalam rangka menyambut Hari Ibu.

Kegiatan yang diadakan pada tanggal 17 Desember 2017 ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari bakti anak kepada orangtua. Diawali dengan menonton video-video tentang ibu dan anak, acara dilanjutkan dengan menulis kartu ucapan yang berisi doa serta harapan untuk ibu.

Mencuci kaki ibu merupakan salah satu rangkaian acara dari peringatan Hari Ibu tersebut. Tak hanya itu, ada juga permainan khusus antara ibu dan anak.

“Peringatan Hari Ibu ini rutin kami lakukan setiap tahun. Dengan kegiatan ini kami berharap anak-anak SMB di sini dapat mengerti perjuangan seorang ibu dan tentunya selalu bersyukur serta berbakti kepada orangtuanya,” ucap Tenny, Ketua SMB Rahula Vihara Sad Saddha.

The post Peringatan Hari Ibu di Vihara Sad Saddha appeared first on .

Perempuan

$
0
0

Usia bumi yang semakin tua, hingar-bingar kehidupan penuh reaksi, menciptakan kondisi, dan masing-masing menyumbangkan imbasnya tersendiri.

Manusia yang terbagi menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap kehidupan di bumi ini, akan tetapi dengan berbagai aspek, situasi, dan kondisi telah menempatkan perempuan sebagai makhluk di belakang laki-laki.

Meskipun dewasa ini telah digaungkan tentang keadilan gender maupun persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, namun hal tersebut baru menyentuh pada permukaan dan sebagian kecil masyarakat. Terutama di masyarakat pedesaan, generasi tua masih kental sekali dengan budaya patriarki.

Terdapat dua istilah yaitu perempuan dan wanita yang masing-masing menjelaskan makna yang berbeda meskipun keduanya memiliki arti yang sama.

Kata wanita adalah hasil dari proses panjang perubahan bunyi yang sering disebut gejala bahasa metatesis (gejala perubahan atau pertukaran letak huruf, bunyi, suku kata dalam suatu kata) dan proses perubahan kontoid (proses perubahan bunyi konsonan) dari kata betina.

 
Proses perubahan kata betina menjadi banita, banita mengalami proses perubahan konsonan dari b menjadi w sehingga menjadi wanita sedangkan kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir atau berkuasa atau kepala, hulu, dan yang paling besar.

Kata empu berhubungan dengan kata ampu yaitu sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali, serta terdapat kata mengampu yang berarti memerintah.

Kata perempuan berasal dari akar kata empuan yang mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya sapaan hormat pada perempuan, sebagai pasangan kata tuan yaitu sapaan hormat pada laki-laki.

Penggunaan istilah untuk menyebutkan wanita atau perempuan memberikan makna dan pengaruh bahkan kekuatan tersendiri bagi perempuan.

Kata wanita menjadi bermakna rendah, sebagai contoh dalam kultur Jawa, wanita diartikan sebagai wani ditata (berani diatur) bahkan muncul istilah pejah gesang kulo dherek (hidup mati saya ikut suami) dan swargo nunut, neraka katut (masuk surga menumpang suami dan ketika suami masuk neraka istri akan terbawa). Berbeda jauh dengan arti dari kata perempuan.

Masyarakat secara umum mengenal istilah kodrat bagi perempuan dan laki-laki, dengan adanya kodrat ini memberikan sumbangan besar yang memberikan jurang perbedaan status antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani rutinitas kehidupan di bumi.

Anggapan tentang kodrat bagi laki-laki dan perempuan telah melekat pada masyarakat dikarenakan suatu kontruksi kultur, bahkan oleh ajaran agama dan disosialisasikan dari generasi ke generasi melalui kekuasaan sehingga ketentuannya dipengaruhi oleh kekuatan yang sedang berkuasa.

Peranan

Kodrat membagi peranan laki-laki di ranah publik dan perempuan di ranah domestik. Meskipun pada kenyataannya banyak perempuan tampil di wilayah publik, namun tidak sedikit yang harus merangkap untuk tetap bertanggung jawab pada ranah domestik. Keadaan tersebut membuat perempuan harus melakukan tanggung jawab ganda, menggunakan tenaga dan pikiran lebih banyak.

Bukan hanya beban tanggung jawab ganda, namun juga beban psikologis yang lebih berat, ranah domestik tidak terlepas dari pengasuhan anak, anak merupakan aset keluarga yang harus menjadi produk paling berkualitas (tidak sedikit orangtua beranggapan demikian terhadap anaknya).

Atau setidaknya dapat diartikan berbagai hal yang terjadi terhadap anak tidak boleh luput dari pengawasan sang ibu (perempuan). Atau lebih tepatnya apa pun yang terjadi pada anak adalah tanggung jawab ibu.

Seorang ayah modern tidak membatasi istri untuk berkarier bahkan mereka menggunakan jasa babysitter atau asisten rumah tangga. Namun pada kenyataannya apabila terjadi sesuatu terhadap sang anak atau kekacauan dalam ranah domestik, suami akan mudah menuntut dan menyalahkan istri atas ketidakmampuannya dalam mengurus tanggung jawabnya.

 
Entah kesalahan memilih babysitter, membagi waktu, atau mengatur jadwal, dan berbagai alasan lainnya. Masalah tersebut memberikan tekanan psikologis pada sang ibu sehingga menghambat ruang gerak, bahkan kreativitas mereka karena rasa bersalah menjadi beban mental yang tidak mudah terhapuskan.

Mengapa demikian? Karena kodrat yang meletakkan laki-laki di atas perempuan telah mendarah daging sehingga seorang laki-laki tidak mampu melihat sikap dan keputusannya itu memberikan beban berat bagai perempuan.

Kebijakan ataupun keputusan yang dibuat kaum laki-laki terasa wajar, seakan tidak ada rasa bersalah ataupun memberikan beban mental bagi mereka. Hal ini bertolak belakang dengan yang dirasakan oleh perempuan. Sikap demikian ini bahkan membuat perempuan sendiri tidak menyadari beban ganda mereka, dan sering menyalahkan diri atas apa yang seharusnya menjadi tangung jawab bersama.

Di pedesaan, terutama yang berprofesi sebagi petani, rutinitas perempuan adalah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya dan juga membantu suami mengerjakan sawah, ladang, kebun, atau memelihara hewan (sapi, kambing). Sering kali, meski sudah memasuki jam istirahat, istri masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya.

Bagaimanakah agama Buddha memandang dan memosisikan perempuan? Tanggal 22 Desember 2017 telah tiba, “Selamat Hari Ibu, untuk ibu-ibuku yang hebat.”

The post Perempuan appeared first on .

Ibu, Spiritualitas dan Kebijaksanaan Buddhadharma Nusantara

$
0
0

Dalam tradisi spiritual dunia, sosok ibu secara metafora diambil untuk melukiskan sifat-sifat luhur Ketuhanan. Sifat-sifat luhur keibuan yang menghidupi segenap dumadi, yang mengundang rasa kerinduan dalam perjalanan pencarian spiritual menuju pada Tuhan.

Kehangatan dan kasih sayang yang dibutuhkan bayi yang menginginkan dekapan seorang ibu, membuat sebagus atau semenarik mainan duniawi apa pun tiada yang sanggup menggantikan kasih sayangnya.

Mainan kesenangan duniawi hanyalah dapat meredakan tangis penderitaan sesaat, selanjutnya si jabang bayi akan menangis lagi, menginginkan kehadiran kasih sang ibu. Dalam berbagai kebudayaan dunia pun, figur ibu memiliki peranan penting bagi ekspresi keselarasan dan keharmonisan dengan alam semesta.

Kualitas mentalitas kemakmuran dan keberlimpahan, sangat erat hubungannya dengan sifat kesuburan yang dekat dengan sosok feminin.

 
Diawali dari kasih seorang ibu, seorang anak mengenali kasih dari stergein (kasih sayang orang tua kepada anaknya dan bakti anak kepada orang tua), eros (kasih asmara antara pria dan wanita yang mengandung nafsu birahi), philein berarti (kasih sayang persahabatan sejati), hingga agape (kasih tanpa syarat kepada segenap ciptaan). Kasih mengajarkan penyadaran akan mengasihi diri hingga kedewasaan mengasihi semua makhluk tanpa syarat secara altruistik.

Budaya

Dalam kebudayaan adiluhung Nusantara, tanah sebagai tempat berpijak dan tempat bertumbuh untuk menempuh kedewasaan fisik, sosial maupun mental spiritual manusia, diistilahkan dengan pertiwi. Istilah yang diambil dari dewi penguasa bumi.

Kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup seperti hutan, gunung, danau, rawa, sungai, hingga samudera berikut dengan segala rangkaian ekosistem di dalamnya dalam konsep “Memayu Hayuning Bawana” juga akan berkaitan erat dengan ibu pertiwi.

Sosok ibu dijadikan sebagai personifikasi bumi atau alam semesta karena memiliki kualitas luhur yang sama yaitu sebagai gerbang lahirnya semua makhluk (dumadi), pemberi dan pemelihara kehidupan.

Selanjutnya akar dari semangat cinta tanah air, rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara didapati dari kerinduan akan ibu pertiwi sebagai asal hingga tumpah darah mereka yang merupakan rasa bakti kepada ibu sebagai kampung halaman (motherland).

Nusantara begitu sangat dekat dengan spiritualitas feminin, meletakkan figur ibu bumi (mother earth) sebagai fondasi dasar (sakti) dari kesadaran bapa angkasa (langit). Dalam Buddhadharma Nusantara kita mengenal sosok Bhagawati Tara, Mamaki, Pandara, Locana, dan Prajnaparamita.

Baca juga : Ibu

 
Pada tradisi kabajrayanan, kelima sosok ini ibu primordial ibu pertiwi ini dikenali sebagai Tathagatadewi yang memiliki kesemestaan masing-masing dalam konsep mandala mewakili kualitas luhur maitri, karuna, mudita, upeksa.

Pada perkembangannya, dalam tradisi Buddha Jawa dikenal sosok Ratu Kidul sebagai penguasa segara atau laut, Ratu Kulon sebagai penguasa danau maupun sungai, Ratu Wetan Penguasa Wanua ataupun hutan dan Ratu Lor Penguasa Gunung.

Kemudian pada era Mataram Islam di masa Panembahan Senapati kedua, unsur Ratu Utara dan selatan dipurifikasi menjadi penyatuan segara gunung. Walaupun sesungguhnya kesemua ratu di keempat penjuru dan pancer ini kedudukannya telah distanakan di Keraton Mataram dengan istilah Ratu Sekaring Jagat. (Jro Indra Prabhujati)

Di hari yang istimewa buat semua kualitas keluhuran kasih bunda, teriring puisi:

Kepada Ibu yang Melahirkan Tathagata

Dalam hangat kasih rahimmu, Ibu

dalam damai senandung timangmu,

lelap aku, hentikan setiap tangisku,

tawaku, bahagiaku, tenteramkan segala gundah dan risaumu, Ibu

 

Lembut buaian kasihmu,

basuh jiwaku yang selalu mencari,

menggapai makna cinta, mencari arti hidup,

yang mengisi di setiap mimpi dan sadarku,

 

Dalam hamparan rahim ibu semesta tiada batas,

napas hidupku yang kaujaga,

bagaikan keterjagaanmu atas nyala kuncup api yang tak boleh padam,

dari waktu ke waktu, kaurawat aku, asuh aku

 

Butiran demi butiran kristal darahmu,

kuminum dari setiap sari air susumu ibu,

yang membuatku bertumbuh,

memenuhi janji dewasaku,

 

Di setiap putaran untaian 108 butiran tasbihmu,

di setiap uncaran mantra pengharapanmu kepadaku,

dalam setiap doa dan paritta perlindungan yang kau gemakan bagi para Buddha

tiada pancaran kasih metta-mu yang terlewatkan untukku, Ibu

 

Tetapi engkau Ibu, kau abdikan sepanjang hidupmu demi rasa cinta itu,

tiada pernah menilai seberapa baik atau jahat aku terhadapmu,

tiada pernah pula engkau menakar ukuran kasih sayangmu kepadaku,

tiada balas budi yang pernah kau harapkan dariku,

 

Dari pancaran pesona kualitas semua sifat ibu,

Ibu bukanlah sekedar mereka yang membuat aku ada,

akan tetapi mereka semua yang membuatku memahami arti keberadaanku:

 

Kesuburan adalah berkah, panen berlimpah yang tiada pernah berakhir…

Lapis demi lapis rahim dimensi ruang dan waktu yang tiada batas…

Tetesan air mata yang mengaliri Maha Samudera Samsara, siapa yang dapat mengeringkannya,

hanyalah Engkau Yang Telah Terjaga…

Ibu dari para Buddha: adalah Ia yang tangkas dalam segenap pertolongan,

sang pembebas dari segala derita fisik dan ilusi…

 

Leluhurku adalah Ibu yang menanamkan nilai di setiap kode genetikku

Papa dan Mama adalah Ibu yang mengukir jiwa dan ragaku

Guru, sahabat dan musuh adalah ibu yang menempa pengetahuanku

Bumi dan langit adalah Ibu yang selalu menjaga keharmonisanku

Sepuluh penjuru mata angin adalah Ibu yang selalu memberi arah dan petunjukku

 

Para Dewa dan Brahma yang bertahta di seribu kelopak teratai Mahkotaku adalah Ibu kebajikan luhurku

Buddha, Dharma, dan Sangha adalah Ibu perlindungan spiritualku

Semua makhluk adalah Ibu yang ‘melahirkan’ para Buddha

 

Siky Hendro Wibowo

Pemerhati pendidikan dan buddhaya, tinggal di Tangerang.

The post Ibu, Spiritualitas dan Kebijaksanaan Buddhadharma Nusantara appeared first on .

Pengukuhan Atthasilani Theravada Indonesia

$
0
0

Hari bersejarah pagi para atthasilani, 10 orang jumlah mereka yang hadir mewakili yang lainnya. Hari ini adalah hari pengukuhan dan pendeklarasian kelembagaan mereka, yaitu “Atthasilani Theravada Indonesia” (ASTINDA), pada Jumat (22/12), 09.00 WIB.

Pengukuhan dan pendeklarasian ini dilakukan di Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi, BSD City, Tangerang Selatan.

Kegiatan ini dihadiri oleh 12 Bhikkhu Sangha Theravada Indonesia, 10 Atthasilani Theravada Indonesia, Pengurus Pusat MAGABUDHI, WANDANI, PATRIA, dan dihadiri oleh Direktur Urusan Pendidikan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia.

 
Kegiatan dimulai dengan Amisa Puja, permohonan Atthangasila, Paritta. Kemudian Dhammadesana yang disampaikan oleh Bhante Jotidhammo.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pengukuhan dan deklarasi ASTINDA oleh Atthasilani Gunanandi selaku Ketua Umum ASTINDA, dan sekaligus memperkenalkan seluruh jajarannya.

Acara berlangsung dengan penuh kesakralan dan antusias menyambut hadirnya keluarga baru dari KBTI. Terbentuknya Perkumpulan Atthasilani Theravada Indonesia diharapkan dapat menjadi teladan, motivasi, dan semangat bagi mereka untuk berlatih dan bagi para perempuan yang ingin menjalani kehidupan suci.

Usai pendeklarasian, acara dilanjutkan dengan kata sambutan oleh PP PATRIA, PP WANDANI, PP MAGABUDHi, Ketua Umum/Sanghanayaka STI Bhikkhu Subhapanno, dan Direktur Urusan Pendidikan Kementerian Agama Buddha RI, Supriadi.

 
Sebagai wujud dukungan dan partisipasi atas terbentuknya ASTINDA, para umat juga diberi kesempatan untuk berdana jubah kepada Atthasilani.

Kemudian acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng dan kue oleh Atthasilani Gunanandi dan Atthasilani Hemayanti sebagai wujud syukur dan berbagi kebahagiaan atas terbentuknya ASTINDA.

Sukses selalu untuk ASTINDA, maju dalam Dhamma mengabdi untuk Dhamma, dan bersama dalam KBTI.

The post Pengukuhan Atthasilani Theravada Indonesia appeared first on .

Natal + Buddhis = Happy

$
0
0

Well, I love holiday! Dan seperti biasanya, akhir tahun selalu menjadi saksi salah satu hari keagamaan yang paling banyak dirayakan di penjuru dunia: Natal.

Hari Natal dirayakan oleh seluruh umat Kristen dengan penuh suka cita. Pohon Natal, kotak hadiah, dan Santa Klaus menjadi ikon dari perayaan ini. Kita bahkan bisa melihat banyak kota-kota besar mempercantik dirinya dengan dekorasi bertemakan Natal.

Apalagi di negara-negara mayoritas Kristen, nuansa Natal telah dirasakan jauh sebelum awal Desember dilalui. Menjelang Natal, kita mungkin sering menerima ucapan selamat Natal – meskipun kita bukan umat Kristen. Lantas bagaimana kita selaku umat Buddha merespon hal ini? Bolehkah umat Buddha ikut merayakan atau mengucapkan selamat natal?

‘Selamat Natal’ – Kenapa Tidak?

Seiring dengan semakin dekatnya perayaan Natal, kita sering menerima ucapan selamat Natal dari teman-teman atau kerabat jauh, yang mungkin tidak (belum) mengetahui bahwa kita sebenarnya umat Buddha.

Terkadang hal ini bisa menyebabkan kecanggungan bagi kita karena toh kita tidak merayakan Natal. Kita mungkin akan merespon ucapan selamat tersebut dengan tidak tepat. Atau kita akan berusaha menjelaskan kepada teman/kerabat kita bahwa kita tidak merayakan Natal.

 
Bisa saja respon kita diikuti dengan kerutan dahi di kening mereka. Menurut saya pribadi, tidak ada salahnya memberikan atau menerima ucapan selamat Natal. Toh semua hari adalah hari yang baik apabila kita menjalaninya dengan happy-happy saja.

Menerima ucapan selamat Natal adalah hal yang baik, demikian pula memberikan ucapan tersebut kepada teman dan kerabat kita yang merayakan Natal, itu pun adalah hal yang baik karena dapat menjaga tali persaudaraan. Bahkan yang terpenting dari semua itu adalah spirit Natal itu sendiri: kebersamaan dan kekeluargaan. Tidak ada yang salah dari hal itu.

Memahami Natal secara Buddhis

Sebagai seorang buddhis, kita perlu memahami makna perayaan natal dari kacamata buddhis. Natal, sebagaimana yang telah kita pelajari, dianggap sebagai hari lahirnya Yesus Kristus.

Yesus adalah panutan yang mengedepankan sikap welas asih dan pengorbanan. Beliau hadir untuk membawakan kabar gembira bagi umatnya dan dengan rela mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan mereka. Bukankah ini adalah ciri-ciri Bodhisattva dalam agama Buddha?

Menurut tradisi Mahayana, Bodhisattva adalah mereka yang mampu mencapai Nirvana tetapi memilih menundanya dan pergi untuk menyelamatkan semua makhluk. Dimotivasi oleh cinta kasih, para Bodhisattva ini berjuang dan bahkan mengorbankan dirinya untuk mengakhiri penderitaan makhluk lain.

Sutra Ugrapariprccha menggambarkannya sebagai sebuah jalan monastik yang sulit dan hanya dapat dilakukan oleh sedikit orang.

Salah satu Bodhisattva yaitu Ksitigarbha terkenal akan sumpah sucinya:

“Jika aku tidak pergi ke neraka untuk menyelamatkan makhluk-makhluk menderita di sana, siapa lagi yang akan pergi?

Jika neraka-neraka belum kosong maka aku tidak akan menjadi seorang Buddha. Hanya ketika semua makhluk hidup terselamatkan, baru aku akan mencapai Bodhi.”

Di sini penulis tidak bermaksud menyamakan Yesus Kristus dengan Bodhisattva. Tentu saja terdapat perbedaan antara keduanya. Tetapi yang penulis berusaha sampaikan bahwa terdapat kualitas yang sama antara Yesus dan para Bodhisattva – sikap welas asih dan pengorbanan.

Dengan demikian, seperti halnya kita bergembira atas kehadiran para Bodhisattva, kita boleh saja bergembira dengan kehadiran Yesus Kristus yang juga merupakan sebuah berkah bagi dunia. Menghargai hari ketika seseorang dengan (salah satu) kualitas Bodhisattva dilahirkan pun menjadi sah-sah saja.

Merasa tidak nyaman? Jangan dipaksakan!

Tetapi tidak dapat dipungkiri kalau terkadang ada beberapa orang yang merasa risih dan tidak nyaman dengan menerima/memberikan ataupun ikut merayakan hari Natal.

Alasannya bermacam-macam. Apabila kita merasa tidak nyaman, tentu tidak perlu dipaksakan. Cukup saling menghargai teman atau kerabat kita yang merayakannya. Apabila kita merasa tidak nyaman menerima ucapan selamat Natal, silakan kita respon dengan baik dan santun.

 
Sampaikan pada teman atau kerabat kita itu bahwa kita berterima kasih tetapi tidak merayakan Natal. Sebaliknya, kita bisa saja membalas dengan mengucapkan selamat Natal kepada teman atau kerabat kita yang merayakan. Tetapi di sini pun kita harus waspada.

Memberikan ucapan selamat Natal kepada orang yang tidak tepat perlu dihindari. Pastikan bahwa kita mengetahui bahwa teman atau kerabat kita memang merayakannya.

Terakhir, pilihan untuk ikut merayakan Natal atau tidak tentu bergantung pada pilihan pribadi masing-masing. Yang paling penting adalah kita menghargai perayaan tersebut dan bergembira melihat teman atau kerabat kita yang sedang berbahagia merayakannya.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Natal + Buddhis = Happy appeared first on .

Berbagi Kebahagiaan ke Panti Asuhan Guna Nanda

$
0
0

Sabtu (23/12), merupakan hari bahagia bagi kami keluarga Hikmahbudhi cabang Jakarta Utara, karena kami bisa berbagi kebahagiaan dengan adik-adik kita yang ada di Panti Asuhan Guna Nanda, Cakung, Jakarta Timur.

Acara ini (Bakti Sosial) diselenggarakan oleh BFI (Buddhist Fellowship Indonesia), pada kesempatan ini kami turut sebagai relawan guna menyukseskan kegiatan ini.

Presiden BFI, Ibu Lenie Choe dalam sambutannya menyampaikan kegiatan ini merupakan salah satu agenda rutin BFI yaitu melakukan Bakti Sosial, “Agenda ini merupakan agenda rutin kami dan akan terus berlanjut ke panti-panti yang lain,” paparnya.

“Tidak lupa, kami membagikan tas yang bertuliskan pintu belajar. Dengan tujuan, agar adik-adik lebih bersemangat dalam belajar, pintu belajar merupakan salah satu charity program BFI,” tambahnya.

 
Acara ini terasa lebih lengkap dengan hadirnya Bhante Kovida yang tentunya memberikan ulasan tentang Dhamma, selain itu beliau juga mengajarkan meditasi yang dikombinasikan gerakan-gerakan ringan dengan tetap mengutamkan napas keluar dan napas masuk.

Setelah mendengarkan Dhamma dan berlatih meditasi yang dibimbing langsung oleh Bhante Kovida tibalah ke acara hiburan dan pembagian bingkisan oleh pihak BFI berupa tas pintu belajar, boneka, dan beberpa makan kecil. Terlihat wajah-wajah bahagia dari mereka yang dengan gembira menerima bingkisan tersebut.

The post Berbagi Kebahagiaan ke Panti Asuhan Guna Nanda appeared first on .


Sangha Dana Tak Harus di Bulan Kathina

$
0
0

Bulan Kathina sudah lewat beberapa bulan, tetapi bukan berarti kesempatan berdana kepada bhikkhu Sangha sudah berakhir.

Umat Buddha di pedesaan Temanggung dan Semarang ini contohnya, sebagai bentuk bakti terhadap bhikkhu Sangha, umat Buddha yang tergabung dalam Lembaga Bina Manggala Sejahtera dengan antusias menggelar Sangha Dana.

Lembaga Bina Manggala Sejahtera merupakan gabungan dari empat belas vihara pedesaan yang terdiri dari pinggiran Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung. Acara yang digelar di Pendopo Paud Saddhapala, Sabtu, (24/12) menjadi menarik karena terselenggara berkat kerja sama umat dari berbagai vihara.

Tidak hanya itu, sebagai salah satu rangkaian dari acara persembahan dana kepada bhikkhu Sangha ini pun digelar bakti sosial pembagian alat tulis kepada para siswa Buddhis dari tingkatan TK hingga SMP yang jumlah keseluruhan lebih dari 400 siswa.

 
“Ini adalah bentuk kerja sama yang baik dalam pengembangan Buddhadharma. Kehadiran umat Buddha dari kota, khususnya dari Grup Metta Karuna, menjadi motivasi tersendiri bagi kami umat Buddha di desa untuk terus mempelajari agama Buddha,” Ujar Parnu, ketua Lembaga Bina Manggala Sejahtera, dalam sambutannya.

Hadir sekitar lima ratusan umat Buddha dari Temanggung maupun Semarang, acara ini juga dihadiri oleh umat Buddha dari Jakarta dan Mahasiswa Binus yang sedang melakukan Live In di Desa Gletuk, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung.

Acara Sangha dana ini pun terasa meriah dengan berbagai sajian pentas seni anak-anak sekolah minggu dan PAUD Saddhapala Jaya.

Menurut Bhante Dhammakaro, kehadiran mahasiswa ke desa-desa Buddhis memberi pengaruh penting bagi perkembangan umat Buddha di desa.

“Perkembangan umat Buddha di desa tidak bisa dilepaskan dari peran umat Buddha di kota, terutama para mahasiswa. Saya sendiri mengalami, pada tahun 1990’an umat Buddha hampir tidak ada aktivitas. Kunjungan mahasiswa dari Jakarta saat itu KMBJ ke sini membuka mata kita untuk mulai melakukan kegiatan di vihara,” ujar bhante.

 
“Saya tadi melihat ibu-ibu jalan kaki dari desa-desa sebelah untuk sampai di sini. Meskipun berada di desa, saat ini umat Buddha selalu antusias dalam mengikuti kegiatan Dharma,” imbuhnya.

Karena itulah menurut bhante, setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh umat Buddha dan dihadiri oleh orang kota akan menjadi kejutan tersendiri bagi umat Buddha pedesaan.

The post Sangha Dana Tak Harus di Bulan Kathina appeared first on .

Pendidikan dan Perempuan

$
0
0

Perang memberikan banyak pengaruh terhadap keadaan masyarakat, terutama pada negara yang dijajah. Masyarakat di negara terjajah cenderung menderita dan kurang maju.

Sebenarnya, dari penjajah, masyarakat dapat mengadopsi hal-hal baru yang terkadang lebih maju dari kebudayaan setempat, akan tetapi dampak yang terbesar dari penjajahan adalah kemiskinan dan kebodohan.

Penjelasan dalam sejarah memperlihatkan munculnya para tokoh yang berusaha melawan penjajahan atau membebaskan masyarakat dari penjajahan.

Banyak tokoh perempuan muncul dalam berbagai bidang, misalnya Kartini yang sangat dibanggakan oleh kaumnya. Perjuangan Kartini berbeda dari para pahlawan perempuan yang lainnya.

Kartini memperjuangkan kesejahteraan perempuan dari keadaan kaum perempuan yang memiliki derajat sangat rendah dan sebagai pihak yang lemah.

 
Meskipun gerakan awal yang dilakukannya terlihat sederhana, akan tetapi gagasannya yang pertama menjadi sumber inspirasi dan dasar bagi perkembangan lebih besar selanjutnya, seperti halnya pemantik korek api yang mampu membakar hutan.

Kartini memiliki pandangan bahwa perempuan seharusnya mencapai pendidikan tinggi agar masa depan mereka cerah. Meskipun dipaksa untuk menikah dalam usia yang masih sangat muda, namun hal itu tidak menggoyahkan semangatnya untuk mengangkat derajat perempuan.

Usahanya mendapat banyak dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan peningkatan kualitas manusia. Kartini mengembangkan pengetahuannya melalui berkirim surat kepada teman-temannya yang memiliki pendidikan tinggi dan dengan membaca banyak buku (Gunai, 2004:28).

Tekad

Perjuangan Kartini sekarang dapat dirasakan, dari perempuan yang tidak diperkenankan untuk menimba ilmu pada sekolah formal, hingga akhirnya perempuan mampu berprestasi setara dengan laki-laki.

Sedikit demi sedikit perempuan mulai mengenyam pendidikan dan terus berkembang setelah masa kemerdekaan. Pemerintah mulai memerhatikan masalah pendidikan, hal ini tertuang dalam UUD pasal 31 ayat satu, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” (UUD 45 dan UU RI No. 10/2004, 2005:21).

Sesuai dengan UU tersebut di atas yang menjelaskan bahwa kesempatan mengenyam pendidikan terbuka untuk laki-laki dan perempuan, namun bagi anak perempuan belum merata. Ada pun faktor yang memengaruhi hal tersebut di antaranya: tradisi, ekonomi, dan pendiidkan itu sendiri.

Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1208) adalah “Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.”

Anggapan- anggapan yang berkembang di masyarakat, banyak yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Seperti halnya tradisi Jawa yang mendidik perempuan agar memiliki watak dan perilaku yang halus, sehingga perempuan cenderung dipersiapkan sebagai ibu rumah tangga.

Seperti yang dikemukakan dalam majalah Basis yaitu, untuk menjalankan tugas di rumah, anak perempuan diajari memasak, mencuci, menyetrika baju, membersihkan rumah, dan tempat tidur, seta mengasuh adik (Astutik, 200:72).

Perubahan

Pendidikan terhadap perempuan untuk mengerjakan wilayah domestik sejak dini telah menjadi karakter dan kebiasaan kaum perempuan, hingga mereka menganggap kebiasaan tersebut harus diajarkan terus turun-temurun.

Tradisi Jawa merupakan contoh kecil tentang tersisihnya anak perempuan di bidang pendidikan, dan masih banyak tradisi lain yang memiliki pandangan sama.

Kisah Sanem, anak seorang petani di daerah Cirebon, “Saya harus mengalah agar saudara laki-laki saya bisa bersekolah… Katanya anak laki-laki nantinya harus bertanggung jawab terhadap keluarganya, bekal dia harus lebih banyak. Kalau anak perempuan ‘kan nantinya ikut suami.” Dari kasus tersebut memberikan gambaran, selain faktor ekonomi, faktor tradisi berperan sangat kuat.

Dalam dunia pendidikan sendiri, belum banyak terjadi perubahan untuk memberikan pendidikan yang setara dan berkeadilan gender.

Meskipun sudah digaungkan dan disosialisasikan oleh pemerintah, namun kenyataan di lapangan masih sangat minim. Pendidik belum terbiasa untuk memiliki pemahaman tentang keadilan gender sehingga dalam mendidik masih memilah antara untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Ada profesi yang dibedakan, ada yang hanya cocok untuk anak laki-laki dan yang khusus untuk perempuan. Anak perempuan berkaitan dengan hal-hal yang halus, kegiatan domestik sedangkan anak laki-laki dengan kegiatannya yang memiliki tantangan dan kekuatan fisik.

Baca juga : Perempuan

 
Dalam mengatasi anak yang lebih aktif, apabila itu anak perempuan, dengan tanpa sadar pendidik akan berkomentar, “Anak perempuan kok seperti itu, permainan atau kegiatan itu hanya cocok untuk anak laki-laki, ayo kalau anak perempuan bermain apa, dan seterusnya,” yang intinya masih membedakan berdasarkan tradisi tanpa melihat sejatinya anak tersebut mampu dan memang menyukai kegiatan tersebut.

Seperti disebutkan oleh Astuti (2006:74) bahwa untuk tingkat SD, sebagai pemimpin upacara ditunjuk anak laki-laki, demikian juga untuk menjadi ketua kelas didominasi oleh anak laki-laki. Di sini pendidik berperan penting dalam proses tersebut, dan cukup memberikan gambaran pendidik yang masih bias gender.

Kurang pemahaman, masih kuatnya tradisi dan konsep kodrat, bahkan kurangnya kepedulian terhadap pentingnya mendidik, memberikan dampak cukup besar dalam tercapainya masyarakat yang menjunjung martabat perempuan tanpa meninggalkan beban sebagai penanggung jawab mutlak atas ranah domestik.

Faktor tersebut menghambat kreativitas dan perkembangan alami kaum perempuan. Meskipun demikian, masih terdapat orangtua yang sadar akan hak pendidikan yang setera bagi putra-putrinya, dan ada anak perempuan yang istimewa dan menyadari potensi dirinya dan memperjuangkannya.

Majalah GATRA menuliskan kisah tentang Miriam Budiardjo sebagai perintis ilmu politik modern di Indonesia (Seriawan, 2004:50). Merupakan keahlian luar bisa bahwa perempuan mampu menguasai ilmu politik yang dikatakan sebagi dunia laki-laki.

Contoh lain adalah Nafsiah Mboi yang telah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1964. Keberhasilan Nafsiah adalah atas dukungan ibunya yang memiliki pandangan bahwa, “Anak laki-laki dan perempuan harus mendapatkan kesempatan pendidikan sesuai dengan kemampuan otaknya.” (Suarjana dan Riyadi, 2004:52).

Dan tentunya masih banyak keberhasilan perempuan yang berkarier di ranah laki-laki, namun masih lebih banyak anak perempuan yang belum mendapatkan kesempatan tersebut.

Alangkah beruntungnya masyarakat yang memiliki ibu seperti halnya ibunda Nafsiah Mboi dan semoga lebih banyak ibu memiliki keyakinan dan kesadaran yang sama.

Bagaimana agama Buddha memandang pendidikan terhadap perempuan?

The post Pendidikan dan Perempuan appeared first on .

Bhikkhu Kamsai: Merasa Puas

$
0
0

 

Hidup serakah, sudah punya ini ingin punya itu, sudah punya itu ingin punya yang lain. Mungkinkah berjumpa kebahagiaan sejati?

Bagaimana cara hidup sesuai Dhamma? Berikut nasihat Bhikkhu Kamsai.

Subscribe, like, & share video-video BuddhaZine TV ya: BuddhaZineTV

The post Bhikkhu Kamsai: Merasa Puas appeared first on .

Mahapratisara, Bodhisattwa Agung Salah Satu Objek Puja Leluhur Nusantara

$
0
0

Mungkin sudah menjadi rahasia umum kalau Bodhisattwa-Mahasatwa seperti Avalokiteshvara, Manjushri, atau Arya Tara banyak disembah oleh leluhur Buddhis di Nusantara. Namun sepertinya banyak yang belum tahu bahwa ada satu lagi sosok agung yang disembah oleh masyarakat Jawa kuno.

Mahapratisara namanya, adalah Bodhisattwa yang mengenakan mahkota ratna manikam, dengan postur Mahaabhaya, dan berlengan delapan. Tangan kiri paling atas memegang padma yang di atasnya terdapat cakra emas menyala-nyala, kemudian secara berurutan adalah: sutra, panji ratna, dan pasa.

Sementara tangan kanan paling atas memegang Vajra Pancasula, dan secara berurutan masing-masing tangan kanan membawa trisula, ratnakhadga, dan vajraparasuankusa. Ia duduk di atas padmasana.

 
Mahapratisara Vidyarajni, yang dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Da-sui-qiu Pusa, dipercaya sebagai manifestasi dari Bodhisattwa Avalokiteshvara. Mahapratisara berarti Yang Maha Memenuhi Harapan. Nama Tantra-nya adalah Varada Vajra atau Vajra Memenuhi Harapan.

Bodhisattwa yang dipuja di aliran Mahayana dan Tantrayana ini dipercaya menganugerahkan apa yang menjadi dambaan setiap insan. Gelar lainnya adalah Mahavidyarajni karena Mahapratisara dapat memancarkan sinar yang sangat agung, sangat gemerlap, dan sangat terang.

Baik itu dalam Buddhis eksoterik maupun esoterik, Bodhisattwa Mahapratisara adalah Bodhisattwa yang sangat istimewa dan bahkan sangat unggul, meski sekarang mungkin hanya sedikit yang mengetahui sosoknya.

Kepastian mengenai dipujanya Mahapratisara oleh masyarakat Jawa kuno pernah dijelaskan oleh Dr. Peter Sharrock, pengajar pada School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, dalam kuliah umumnya di pascasarjana UGM tahun 2015, yang pernah penulis ikuti.

Ia menerangkan bahwa relief sosok Mahapratisara dapat ditemukan di Candi Mendut. Sayang kebanyakan orang salah mengira relief yang rusak itu sebagai Boddhisatwa Cundi, padahal sebenarnya adalah Mahapratisara.

Sharrock menjelaskan, keberadaan Mahapatisara di Candi Mendut berkaitan dengan persebaran agama Buddha versi esoterik atau tantra, dari India menuju Tiongkok.

Dari tempat tersebut, aliran ini lantas menyebar ke Jepang dan juga ke Jawa, tepat sebelum Mandala Agung Borobudur dibangun. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai arca Mahapatisara di wilayah-wilayah tersebut, dari era yang sama, meskipun dengan gaya ikonografi yang berbeda.


Relief Mahapratisara di Candi Mendut. Foto: Journal of Bengal Art Volume 4, 1999

Keutamaan kualitas Mahapratisara Bodhisattwa ada pada Mahapratisara Dharani. Menurut kepercayaan, barang siapa mendengar, menjapa, menyalin, dan menyebarluaskan Mahapratisara Dharani, tidak akan dicelakai oleh bencana api dan racun, mampu menaklukkan musuh, menghancurkan neraka anantarya, menyingkirkan petaka dari naga dan ikan, memperoleh ketenteraman, serta terhindarkan dari kesukaran yang dibuat oleh Raja dan lain sebagainya.

Menurut kisah legenda versi kitab Bhadrakalpavadana, dikatakan bahwa Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan istananya sebelum kelahiran anaknya Rahula.

Sebelum berangkat, Ia menyentuh pusar istrinya Yasodhara dengan jari telunjuk kaki kanannya dan bersumpah bahwa janin buah hatinya akan dilindungi dari bahaya besar yang akan menemuinya di masa depan.

 
Dikisahkan, sebelum melahirkan anak Rahula, Yasodhara menjalani banyak cobaan dan kesengsaraan berbahaya dari sepupunya, Devadatta. Tapi dalam semua kasus, Yashodhara berhasil selamat tanpa terluka karena kekuatan perlindungan Mahapratisara yang ajaib.

Sementara menurut yang tercatat dalam Samanta-jvala-mala-visudhe-sph urita-cintamani-mudra-hrdaya- aparajita-mahavidyarajni- mahapratisara-dharani-sutra, dikisahkan di Kapilamahanagara, saat Rahula berada dalam kandungan, Yasodhara, sang ibunda pernah masuk ke dalam kobaran api. Saat itu Mahapratisara Dharani dijapa, dan kobaran api berubah menjadi kolam teratai.

Kisah lain menyebut, Raja Varadahasta dari Magadha tidak bisa mempunyai keturunan. Ia akhirnya menyalin Mahapratisara Dharani dan harapannya beserta sang istri untuk memperoleh keturunan pun terkabulkan.

Sampai sekarang, umat Buddha asli Nepal (Newari) banyak yang memakai semacam jimat untuk melindungi mereka dari berbagai macam bahaya yang tak terlihat. Jimat ini berisi Dharani Mahapratisara Devi.

Mantranya adalah Om Bhara Bhara Sambhara Sambhara Indriya Visudhani Hum Hum Rulu Care Svaha.

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja. Dapat dijumpai di facebook, @deniclassic

 

The post Mahapratisara, Bodhisattwa Agung Salah Satu Objek Puja Leluhur Nusantara appeared first on .

Urip Iku Urup

$
0
0

Sekitar tahun 2012, koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta menampilkan iklan unik yang mengambil ungkapan “Migunani tumpraping liyan”. Artinya, sekecil apa pun kebaikan yang kita perbuat bisa bermakna besar bagi orang lain.

Memberi manfaat dalam falsafah Jawa merupakan hal yang sudah sepantasnya, lumrah, dan hal yang alami. Dalam bahasa lain, “migunani” itu adalah sifat mulia yang sudah menjadi kodrat manusia.

Kita bisa memahami bahwa cara kerja alam selalu memiliki fungsi dan tujuan. Seperti matahari selalu memberi terang, walaupun terang itu bukan untuk menerangi dirinya.

 
Seperti pohon yang terus tumbuh dan berkembang. Memberi keteduhan dengan dedaunan yang lebat. Juga memberi buah berlimpah yang ranum. Namun keteduhan dan buah yang dihasilkannya itu bukan untuk dirinya.

Demikian juga sumber air di pegunungan selalu meluap dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, tidak berusaha menyimpan air itu untuk dirinya.

Ungkapan “Urip iku urup” artinya, dalam menjalani hidup mesti memberi terang bagi sesama. Minimal dimulai dari lingkungan terdekat kita.

Falsafah ini merupakan penggambaran leluhur agar melakukan segala sesuatu menyesuaikan fungsi dalam tatanan hidup bermasyarakat. Segala sesuatu tidak harus selalu untuk kepentingan dirinya saja.

 
Bayangkan dunia ini jika semua orang bertindak hanya untuk dirinya sendiri. Tanpa menyisakan ruang untuk berkontribusi atau berbagi pada orang lain, maka tidak ada kebaikan, keramahtamahan, dan persahabatan. Hidup tidak memberi terang, melainkan hanya kegelapan.

Tatanan sosial mesti dibangun seperti tatanan alam. Apabila masing-masing menjalankan fungsinya, maka terjadilah harmoni dan damailah dunia ini.

Victor Alexander Liem 

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

The post Urip Iku Urup appeared first on .

Mindfulness Bantu Mahasiswa Lebih Tenang Saat Ujian

$
0
0

Tumpukan tugas dan ujian merupakan tantangan terberat bagi mahasiswa. Hal ini bisa membuat stres, sehingga kemampuan menurun, dan akhirnya malah membuat gagal dalam ujian.

Nah, menurut studi di University of Cambridge, latihan mindfulness atau penuh kesadaran dapat membantu ketahanan serta meningkatkan kesehatan mental mahasiswa.

Studi yang melibatkan lebih dari 600 mahasiwa Cambridge, menyimpulkan bahwa pelatihan mindfulness selama delapan minggu di universitas dapat membantu mencegah penyakit mental dan meningkatkan kepedulian mahasiswa tentang kesehatan mental.

Dikutip dari The Guardian, layanan kesehatan mental universitas mengalami peningkatan pasien yang pesat—dengan jumlah mahasiswa yang mengakses konseling meningkat sebesar 50 persen antara tahun 2010 dan 2015—melebihi pertumbuhan jumlah mahasiswa selama periode yang sama.

 
“Dengan meningkatnya permintaan pada layanan kesehatan mental mahasiswa, kami ingin melihat apakah mindfulness dapat membantu mahasiswa mengembangkan strategi penanganan pencegahan,” kata Géraldine Dufour, salah satu penulis laporan dan kepala layanan konseling Cambridge.

Mindfulness, metode pelatihan pemusatan perhatian yang kian populer pada saat ini, terbukti memperbaiki gejala kecemasan dan depresi. Namun hanya ada sedikit bukti kuat mengenai efektivitasnya dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa.

Untuk menguatkan pembuktian, penelitian ini membagi mahasiswa Cambridge secara acak dalam dua kelompok. Keduanya ditawarkan akses ke layanan pendukung dan konseling yang biasa di universitas, serta layanan NHS.

Salah satu dari dua kelompok tersebut juga ditawarkan pelatihan mindfulness, yang terdiri dari delapan sesi mingguan secara berkelompok, ditambah latihan di rumah termasuk meditasi, “mindful walking” dan “mindful eating”.

Peneliti menemukan bahwa peserta mindfulness mencatat skor kurang dari sepertiga di atas rata-rata ambang batas yang umumnya dianggap laik untuk mendapat dukungan kesehatan mental.

Bahkan selama periode ujian, nilai kesulitan untuk kelompok mindfulness turun di bawah tingkat dasar mereka—yang diukur pada awal penelitian.

 
Sementara itu, para mahasiswa yang tak mengikuti pelatihan mindfulness akan menjadi kian stres saat tahun ajaran berjalan. Peneliti juga mempertimbangkan apakah mindfulness memiliki efek pada hasil ujian, namun temuan mereka tidak begitu meyakinkan.

“Hasil ini, sepengetahuan kami, studi yang paling kuat sampai saat ini untuk menilai pelatihan mindfulness bagi mahasiswa, dan mendukung penelitian sebelumnya yang menyarankan bahwa hal itu dapat memperbaiki kesehatan mental dan kesejahteraan selama masa-masa ujian” kata Dr Julieta Galante, dari Cambridge departemen psikiatri, yang memimpin penelitian tersebut.

“Mahasiswa yang telah mempraktikkan mindfulness memiliki nilai kesulitan lebih rendah dari tingkat dasar mereka bahkan selama masa ujian, yang menunjukkan bahwa perhatian membantu membangun ketahanan menghadapi stres.”

Profesor Peter Jones, juga dari departemen psikiatri Cambridge, menambahkan ini kian membuktikan bahwa pelatihan mindfulness dapat membantu orang mengatasi stres akumulatif.

“Meskipun manfaat ini mungkin serupa dengan beberapa metode pencegahan lainnya, mindfulness bisa menjadi tambahan yang berguna sebagai intervensi yang disampaikan oleh layanan konseling universitas. Tampaknya populer, layak, dapat diterima dan tanpa stigma.” (Kahfi Dirga Cahya/Kompas.com)

The post Mindfulness Bantu Mahasiswa Lebih Tenang Saat Ujian appeared first on .

Jempolmu Harimaumu

$
0
0

Sekarang ini banyak pengguna telepon pintar (smartphone) tidak sepintar ponselnya.

Teknologi informasi yang berkembang begitu cepat, mengubah dunia ke arah yang tidak pernah kita duga. Semua serba cepat. Dulu, kirim pesan lewat surat, perlu waktu berhari-hari baru sampai ke tujuan. Sekarang kirim pesan, detik ini juga dibaca dan dijawab kawan bicara.

Jauh−dekat

Sebuah berita tidak perlu menunggu lama untuk diketahui penduduk sedunia. Dalam hitungan detik, penduduk dunia di belahan mana pun bisa mengetahui berita yang tengah heboh di belahan dunia lain. Jarak bukanlah kendala.

Dan benar kata orang, “Ponsel mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.” Hubungan kita dengan orang di tempat yang sangat jauh, bisa jadi begitu dekat berkat teknologi informasi sekarang ini.

Pun juga sebaliknya, hubungan antaranggota keluarga dalam satu rumah bisa terasa sangat jauh karena ada yang lebih suka menyampaikan pesan lewat medsos bukan bicara langsung.

 
Kasus lain, sekelompok orang bertemu (entah saling kenal atau bertemu orang yang tak dikenal di ruang publik), kebanyakan asyik sendiri dengan ponselnya, tidak saling menyapa. Jika mendekatkan yang jauh cocok dengan ungkapan “Jauh di mata, dekat di hati”, maka menjauhkan yang dekat bisa diungkapkan dengan “Dekat di mata, jauh di hati”?

Jempolmu harimau

Asyik berponsel ria di segala suasana hingga melupakan segalanya. Contoh, ada ibu yang kehilangan anak gara-gara asyik dengan ponselnya, ada yang tercebur ke kolam, ada yang tewas tertabrak kereta api, dan masih banyak lagi. Tidak mau tahu ia sedang di rumah ibadah, ruang rapat, bahkan sedang mengendarai motor, tetap asyik dengan ponselnya.

Ada yang terima BC (BroadCast), langsung disebar, tanpa cek dan ricek terlebih dahulu sehingga hoaks bertebaran di mana-mana. Ada yang kecepatan jempolnya yang luar biasa dalam mengetik. Mereka cepat sekali mengetik (bahkan tanpa perlu melihat keyboard-nya) dan langsung enter alias dikirim atau dipublikasikan di medsos.

Beberapa detik atau menit kemudian, setelah tulisannya menjadi viral dan sudah di-capture, barulah terpikir, ternyata hal yang dilakukannya salah. Apa akibatnya? Dari sekedar jadi korban bully oleh warganet, dipecat dari tempat kerja, sampai berakhir di pengadilan.

 
Kasus terbaru adalah cuitan Zulfikar Akbar, salah seorang wartawan senior sebuah media olahraga, yang melahirkan tagar boikot dan menjadi trending topic.

Penulis tidak akan membahas hal itu (silakan cek beritanya di dunia maya). Dulu kita kenal ungkapan, “Mulutmu, harimaumu” yang sekarang berubah jadi, “Jempolmu, harimaumu.”

Kesalahan “bicara” lewat ketikan jari jempol di keyboard ponsel yang langsung dipublikasikan ke medsos (tanpa berpikir jernih dulu), membuat kita diterkam masalah.

Gunakan filter
Bagi Buddhis, kejadian seperti ini, mengingatkan penulis pada sila ke-4 Pancasila Buddhis. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami (aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan yang tidak benar). Ucapan yang tidak benar sering diidentikkan dengan berbohong.

Padahal, ucapan tidak benar bukan hanya berbohong. Selain berbohong, yang dimaksud dalam ucapan tidak benar itu: fitnah, berkata kasar, bergunjing/bergosip atau pembicaraan yang tidak berguna.

Atau pada Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga) pada poin ke-3 yakni ucapan benar (sammã vãca). Maksud dari ucapan tidak benar adalah kita seharusnya berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berkata kasar/caci maki (pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat/bergosip (samphappalãpã).

Dikatakan ucapan benar jika memenuhi empat syarat yakni: ucapan itu benar, ucapan itu beralasan, ucapan itu bermanfaat, dan ucapan itu tepat pada waktunya.

Jadi, sebelum mengucapkan sesuatu (termasuk menuliskan dan mempublikasikannya di medsos), seharusnya kita menyaringnya terlebih dulu. Apakah ucapan itu benar, apakah beralasan, apakah bermanfaat, apakah tepat pada waktunya?

Hendry Filcozwei Jan

Suami dari Linda Muditavati, ayah dari 2 putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan), pengelola blog www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com, pembuat aplikasi Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

The post Jempolmu Harimaumu appeared first on .


Jejak Bhikkhu Narada Menyapa Suku Samin

$
0
0

Ibu Bumi wis nyawisi
Ibu Bumi wis mepaki
Ibu Bumi wis nyukupi
Ibu Bumi aja dilarani

Frasa Ibu Bumi atau ibu pertiwi berasal dari nama “Prithvi Boddhisattva”. Salah satu ciri dari perwujudan Ibu Pertiwi, adalah salah satu tangannya memegang Pakwa, yang merupakan tradisi kepercayaan masyarakat China.

Ibu Pertiwi adalah penguasa seluruh dunia atau disebut “Bhumi Prithvi”. Demikian asal mula kalimat “Bumi Pertiwi”, yang biasa disebut masyarakat di Indonesia.

Berdasarkan Sutra Prithvi Boddhisattva, Ibu Pertiwi atau Bhumi Prithvi, menguasai gunung-gunung di seluruh dunia, yang disebut sebagai “Sumeru” (menjadi asal usul nama Gunung Semeru di Jawa Timur).

Ibu Pertiwi juga menguasai 7 samudera di seluruh dunia, yang disebut sebagai “Banyuwangi” (menjadi asal usul nama Banyuwangi di Jawa Timur). Selain itu, Ibu Bumi dikenal juga dengan nama Dewi Shri, Sanghyang Pohaci, Dewi Sarasvati, dll.

Keselarasan budi daya padi dan Buddhadhamma di Jawa

Buddhadhamma, sebagai pandangan hidup dan sistem sosial masyarakat di Jawa Tengah, mencapai puncaknya sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10. Pada masa itu Buddhadhamma berdampingan dan hidup selaras dengan Siwa, Wisnu, dan keyakinan lainnya.

Setelah kebudayaan Jawa berpindah ke tepian sungai Brantas di Jawa Timur pada sekitar abad ke-10, Buddhadhamma masih menjadi tuntunan hidup dan menjadi pilar sistem kemasyarakatan.

Saat itu raja memberi otonomi masyarakat petani agar dapat hidup makmur dengan mempraktikkan Buddhadhamma dalam wujud seni budaya puja. Hingga pada abad ke-14 dan ke-15, pertanian sawah padi mencapai puncak kejayaannya. Beras adalah salah satu produk unggulan perdagangan internasional imperium Majapahit.

Jejak kejayaan pertanian padi (yang pada abad ke-9, Jawa sudah mengenal sistem moneter), dapat ditelusuri pada sistem pemberian hak tanah perdikan. Anugerah itu berupa sima (lihat Lombard, 2008, Jilid 3: 28-35), yaitu sebuah wilayah desa (karaman) yang dipimpin seorang rama (lihat Supratikno Rahardjo, 2011: 96,97,100-101).

 
Salah satu tugas para rama dan penduduk desanya adalah merawat pasraman-mandala Siwa atau Buddha. Suatu kompleks sekolah-asrama, yang dihuni para wiku atau rsi, beserta muridnya. Dapat pula berupa sebuah candi pemujaan (penyimpanan sisa abu jasmani raja-keluarga).

Agaknya, sistem keteladanan para rama ini, diadopsi sebagai kata sapaan pemimpin agama hari ini. Di Katolik terdapat istilah romo dan pandita Buddha disebut sebagai rama pandita bagi pria, dan ramani bagi wanita, meski sampai kini, saya belum menemukan rujukan teks tentang kata ramani.

Rama, menentang kebijakan pemerintah kolonial

Hingga era kolonial, jejak tradisi pertanian yang mewarisi sistem sima masih dapat ditemui. Diyakini, salah satunya adalah masyarakat Sikep yang menghuni di daerah karst pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah. Mengenai hal ini, Lombard (2008, Jilid 3: 48) berpendapat, “Golongan itu (Sikep) tidak diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa.

Tidak diketahui apakah mereka keturunan langsung para rama yang disebut di prasasti kuno, tetapi mereka sering mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa – cikal bakal”.


Ibu-ibu Kendeng, memohon dukungan Rektor Unnes

Masyarakat Sikep yang juga dikenal dengan sebutan suku Samin (lebih suka disebut Sikep, yang berarti jujur), selalu tampil di depan, saat terjadi kesewenang-wenangan pemerintah (khususnya di era kolonial).

Misalnya atas penarikan pajak yang besar, seperti terjadi pada tahun 1802, warga Sikep membangkang dari pembayaran pajak dan merangkul pengikut Pangeran Diponegoro.

 
Pada awal abad ke-20, mereka membangkang dari kebijaksanaan Dinas Kehutanan Belanda atas hutan jati di Blora. Sebaran warga Sikep selain terkonsentrasi di wilayah Blora, juga terdapat di Kudus, Pati, Jepara, Grobogan, Cepu, dan sekitarnya (lihat peta sebaran masyarakat Sikep dalam Lombard 2008, Jilid 3: 160).

Dalam keseharian, mereka menjaga jarak dari agama formal, namun meyakini nilai-nilai kegeniusan lokal sendiri. Terutama sikap dalam mempertahankan tanah pertanian yang dianggap sebagai “Ibu Bumi” (lihat Lombard 2008, Jilid 3: 159).

Konsisten merawat Ibu Bumi

Di era modern-milenial, kegigihan masyarakat Sikep dalam mempertahankan wilayah Ibu Bumi, masih belum luntur. Hal ini dapat dijumpai dalam aksi penolakan pabrik semen di wilayah Pati (juga solidaritasnya pada saudara mereka, petani di Rembang).

Mereka bergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) untuk mempertahankan kelestarian Ibu Bumi-nya.

Pada awalnya, perjuangan yang dipimpin Gunretno dan Gunarti, mengatasnamakan masyarakat Sikep (Samin). Namun Budi Santoso, salah satu tokoh Sikep lainnya, menghendaki agar tidak membawa-bawa nama Sikep (Samin) dalam aksi-aksi pelestarian lahan pertanian. Kemudian pergerakan tersebut menggunakan nama JM-PPK.

Aksi mereka mendapat pendampingan dari berbagai elemen masyarakat, baik lembaga bantuan hukum, media-pers, akademisi maupun tokoh lintas agama.


Dukungan dari Rektor Unika Soegijapranata, untuk masyarakat pelestari Ibu Bumi

Hingga kini, mereka masih terus melakukan aksi untuk mempertahankan wilayah Ibu Bumi di kompleks kantor gubernur Jawa Tengah, sejak hari Rabu, 6 Desember 2017.

Selain itu, dukungan mengalir dari sejumlah akademisi seperti Rektor Unika Soegijapranata, Rektor Universitas Negeri Semarang dan Rektor Universitas Diponegoro Semarang.

Deretan tokoh agama yang mendukung aksi mereka adalah Kyai Budi Harjono, Gus Ubaidillah Achmad, komunitas Gusdurian, PMII, dan lain-lain, dari agama Islam. Dari Katolik, tampil Rama Aloysius Budi Purnomo.

 
Lalu dari perwakilan Kristiani, tampak Pendeta Aryanto Nugroho dan Pendeta Surya Samudra Giamsjah. Dan dari umat Buddha, ada seorang perwakilan dari Magabudhi Kota Semarang. Selain hadir mendukung aksi di depan pintu gubernuran, dukungan logistik berupa makanan dan pakaian, disalurkan spontan oleh masyarakat yang peduli.

Tahun 1958, sesepuh Sikep mengaku memeluk Buddha

Masyarakat Sikep (Samin) terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu njero (dalam), njobo (luar) dan amping-amping (hanya mengaku Sikep saja). Meski menjaga jarak dengan agama kemudian, Lombard (2008: 161) menulis, “… menekankan pentingnya … yang diilhami oleh Siwa kuno, atau lebih-lebih merupakan penganut kultus Bima yang sudah terbukti keberadaannya pada abad ke-15”.

Sementara itu, kedekatan masyarakat Sikep dengan Buddhis, dapat kita telusuri dari dokumentasi Majalah “Buddhis” (1958, Nomor 3-4: 55) yang mewartakan, “Dalam perantauan penjiaran Dhamma ke daerah Pati (Rembang, Lasem, Djuana, dan Blora) rombongan Ven. Narada dan Sang Pengasuh pada setibanya di tempat-tempat itu selalu memberi penerangan-penerangan dan menasbihkan Upasaka/Upasika baru sesuai dengan hasrat mereka jang bakti akan kesujataan itu.

“Misalnya di Lasem telah dilantik 7 orang Upasaka, dan di Rembang seorang Upasaka. Jang paling mengesankan selama kundjungan kita di daerah Pati itu adalah waktu rombongan kita itu menindjau daerah apa jang dikatakan penduduk “Samin” di dekat Blora.

“Suku Samin itu mengaku beragama Buddha, jakni sedjak nenek-mojang mereka. Mereka pun sangat terkenal akan kelakuannja jang sangat djudjur itu. Rombongan kita telah disambut dengan suasana persaudaraan jang sangat ramah.

“Kedua thera kita itu memberikan doa restu kepada keluarga kepala Samin tadi, dan dengan chidmat mereka mengikuti upatjara-upatjara jang kita lakukan itu dengan saksama. Tanpa kerilahan hati dan kedjudjuran budi, djanganlah berharap akan dapat mendekati mereka, si Samin itu.”

Selain sumber dokumentasi di atas, dapat kita jumpai pula, baik di dalam ceramah maupun di dalam karya tulis yang dipublikasikan, Bhikkhu Dhammasubho sering menyampaikan kisah kedekatan warga Sikep dengan Buddhadhamma di masa lalu. Juga komunitas adat yang masih melestarikan penghormatan Ibu Bumi di daerah lain di tanah air.

Harapan kelestarian budi daya pertanian

Polemik pro-kontra pendirian pabrik semen di kawasan karst Kendeng Utara memang menarik. Di satu sisi, industri semen diperlukan dengan dalih memenuhi kebutuhan ekonomi (baik ekspor atau dalam negeri).

Selain itu, berdirinya pabrik semen, dianggap dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, terutama menyerap banyak tenaga kerja. Di sisi lain, ada masyarakat yang secara turun-temurun menggantungkan diri dari pertanian, ingin tetap mempertahankan wilayah karst.

Hal ini merupakan dua kutub cara pandang yang memerlukan titik temu. Apakah lahan karst Kendeng diizinkan untuk ditambang (semen), atau tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian.

Mengenai polemik lahan pertanian yang sedang diperjuangkan masyarakat Sikep, Budi Widianarko, dalam Pertanian Adalah Hidup (SM 15 Desember 2017:4), menulis, “…Pertanian bukanlah sekedar sektor dalam pembangunan.

Pertanian adalah bagian dari budaya, buah perkembangan peradaban manusia. Itu sebabnya kata pertanian sering dipadu dengan budi daya menjadi budi daya pertanian yang jauh lebih kaya makna dari sekedar bertani atau bercocok tanam”.

Menggarisbawahi pendapat Rektor Unika Sugijapranata periode lalu di atas, sebagai warga Buddha yang pernah maju peradabannya dari budi daya padi, kita dapat bersikap dengan berdiri di tengah.

Artinya, entah polemik pabrik semen di pegunungan Kendeng Utara itu bermuara pada persoalan politik, atau memang sebuah perjuangan murni akan kelestarian ekologis, adalah tantangan keberpihakan dan kepedulian masyarakat Buddhis pada budi daya pertanian.

Isu ekologis seperti diperjuangkan masyarakat Sikep, adalah tantangan bagi para abdi Dhamma (gharavasa), khususnya di Jawa Tengah. Pertimbangannya, sebagian besar pemeluk Buddhadhamma, tinggal di pelosok daerah. Sudah tentu, sebagian dari mereka mengandalkan hidupnya dari komoditas pertanian.

Seperti di Temanggung, Kabupaten Semarang, Salatiga, Jepara, Kudus, Pati, Grobogan, dan Blora, serta di berbagai daerah lainnya. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai sumber catatan sejarah, bahwa ketika Buddhadhamma sempat surut, kearifan nilai-nilai budaya Buddhis, tersimpan lestari di puncak-puncak gunung dan pelosok desa, yang mengandalkan hidup dari budi daya pertanian. Satu di antara komunitas masyarakat tersebut, diduga adalah Sedulur Sikep (Samin).

Membabarkan Dhamma dengan cara berpikir pelestarian Ibu Bumi

Membabarkan Buddhadhamma melalui budi daya pertanian, termasuk peningkatan perekonomian dan memajukan pendidikan masyarakat petani, adalah keniscayaan. Tegasnya, cara pembabaran Buddhadhamma kepada masyarakat pendesaan, hendaknya dilakukan dengan cara pandang lokal.

Namun tetap menjangkau tantangan ekonomi global. Artinya, terbentang kesempatan besar bagi organisasi Buddhis (gharavasa) yang ada, untuk membabarkan Buddhadhamma secara kontekstual, sesuai kondisi masyarakat petani di desa.

Sudah waktunya pembabaran Buddhadhamma dilandasi studi sosiologi antropologi, sesuai cara berpikir masyarakat desa yang menggantungkan hidup dari pertanian. Cara pembinaan model top down atau dari kota ke desa, barangkali perlu dikaji dan diprogram ulang.

Selama ini, organisasi gharavasa yang pusatnya ada di kota (misalnya Jakarta), seringkali membombardir program ala masyarakat industri (atau ala instruksi pegawai negeri) ke masyarakat desa, yang mempunyai cara pandang agraris.

Semoga di tahun-tahun mendatang, muncul keberpihakan organisasi Buddhis dari perkotaan, untuk menyentuh saudaranya di perdesaan, dengan cara berpikir masyarakat Buddhis yang melestarikan Ibu Bumi atau budi daya pertanian (bottom up).

Seperti syair indah yang dikumandangkan masyarakat Sikep untuk mempertahankan Ibu Bumi – lahan pertanian: Ibu Bumi sudah menyediakan, Ibu Bumi sudah melengkapi, Ibu Bumi sudah mencukupi, (hendaknya) Ibu Bumi jangan disakiti.

Dhammateja Wahyudi Agus R

Pernah menjadi Ketua DPC Patria Kota Semarang dan Wakil Ketua DPD Patria Jawa Tengah.

Memperoleh Penghargaan sebagai upacarika padana dari PP Magabudhi pada tahun 2014. Dapat dijumpai di facebook: Gusti Ayu Lasem

The post Jejak Bhikkhu Narada Menyapa Suku Samin appeared first on .

Surat Terbuka untuk Aung San Suu Kyi

$
0
0

Yang Terhormat Presiden U Htin Kyaw dan Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi, nama saya Sister True Emptiness Chan Khong, putri spiritual sulung dari Master Zen Thich Nhat Hanh.

Dengan kerendahan hati dan kepekaan, terkait isu-isu yang berkaitan dengan orang-orang dan otoritas Myanmar. Saya tidaklah menyalahkan, atau meminta ini atau itu, atau menasihati siapa pun untuk melakukan sesuatu.

Harapan saya adalah menawarkan ajaran yang sederhana namun mendalam yang diberikan oleh Shakyamuni Buddha, yang kebijaksanaannya telah dihormati selama lebih dari 2600 tahun.

Buddha mengajarkan bahwa kapan pun kita melihat sesuatu, dan kapan pun kita mendengar sesuatu, kita membentuk suatu anggapan bahwa kita dapat melihat objek dari persepsi kita ini dengan sebenar-benarnya dan secara akurat; kita yakin bahwa persepsi kita 100% tepat.

Namun, menurut Buddhadharma, persepsi manusia, nyatanya, hanyalah tepat sebagian. Persepsi mungkin tepat dalam beberapa hal, tapi tidak lengkap atau tidak tepat di hal-hal lain.

Persepsi yang mungkin dipegang oleh polisi, atau pemerintah Myanmar mengenai dua orang jurnalis, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, hanyalah persepsi. Bukanlah realita utuh.

Mengapa saya, seorang biksuni Buddhis tua, berani mengatakan ini?

Karena saya dan teman-teman telah mendapatkan kesempatan untuk mengetahui, dari berbagai sumber, tentang latar belakang kedua pria ini, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang berasal dari keluarga petani yang sederhana, namun cemerlang, cerdas, dan penuh welas asih.

Kami telah mendengar cara hidup Wa Lone, meskipun memanggul banyak tanggung jawab, dia tetap meluangkan waktu untuk menulis buku untuk anak-anak miskin di daerah pinggiran dan bermain bersama mereka dan membacakan untuk mereka.

Kami juga mendengar betapa pujangga Kyaw Soe Oo menikmati menulis puisi sebelum ia memutuskan untuk menjalani karir sebagai jurnalis, yang membuktikan bahwa ia lebih tertarik pada keindahan puisi daripada mengutuk atau menghakimi orang lain sebagai seorang jurnalis.

Selama 2600 tahun terakhir, banyak murid-murid Shakyamuni Buddha telah menyatakan fakta bahwa persepsi kita selalu parsial. Satu analogi yang diberikan adalah tentang orang-orang buta yang memegang seekor gajah.

Orang yang menyentuh gadingnya mengira gajah adalah sesuatu yang tajam dan keras yang sangat berbahaya. Orang yang menyentuh ekornya mengira gajah itu seperti sapu. Orang yang menyentuh kaki gajah mengira gajah itu seperti tiang-tiang bangunan. Tak seorang pun yang dapat mempersepsi gajah secara keseluruhan.

Hal ini juga terjadi pada kita dan persepsi kita—persepsi kita atas suatu situasi itu parsial dan tidak lengkap.

Analogi lain yang Buddha berikan adalah analogi seonggok tali di tanah. Kita melihat tali itu dan segera bereaksi, yakin bahwa itu adalah ular berbisa. Niat kita adalah membunuh ular itu secepat mungkin. Lalu kita baru sadar bahwa itu hanyalah seonggok tali.

Perang Vietnam

Sewaktu perang Vietnam pada bulan Mei 1966, dua orang sahabat saya di School of Youth for Social Service tewas akibat lontaran granat-granat oleh pria-pria bertopeng.

Di pemakaman kedua teman ini, saya membaca pidato singkat yang mengatakan bahwa kami tidak bertentangan denganmu, para pembunuh dua sahabat saya ini; harapan kami adalah menyingkirkan persepsi salahmu terhadap kami.

Kami ingin memberitahu mereka bahwa sebenarnya kami adalah anak-anak muda yang baik hati, yang menjadi relawan untuk dilatih oleh Master Zen Thich Nhat Hanh untuk pergi ke pelosok-pelosok, ke kampung-kampung tanpa sekolah untuk anak-anak, yang tidak punya layanan kesehatan bagi yang sakit.

Kami ingin mereka tahu bahwa kami tidak membenci mereka, tapi kami hanya ingin menghapus persepsi salah mereka terhadap kami.

Kami tahu apa yang mereka lakukan sepertinya kejam, tapi kami tahu mereka lakukan itu karena mereka mengira kami adalah ular berbisa dan mereka ingin membunuh ular-ular itu, untuk membebaskan dunia dari orang-orang berbahaya seperti kami.

Padahal, nyatanya, kami hanyalah saudara dan saudari muda mereka yang sederhana, yang benar-benar menyayangi anak-anak di pelosok-pelosok yang tidak mendapat pendidikan dan perhatian medis dan yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Bodhisattva Daw Aung San Suu Kyi, yang Terhormat Presiden Myanmar U Htin Kyaw, saya memohon Anda untuk mempertimbangkan ulang persepsi Anda terhadap Wa Lone dan Kyaw Soe Oo.

Saya tidaklah menghakimi atau menyalahkanmu. Sebagai biksuni tua, putri spiritual dari Thich Nhat Hanh, saya mengundangmu untuk kembali ke napasmu, menyentuh kedamaian yang ada di sana saat Anda menarik napas, dan kejernihan yang hadir di sana saat Anda mengembuskan napas.

Sewaktu Anda berfokus hanya pada napas Anda, ada kedamaian saat Anda menarik napas, ada welas asih saat Anda menghembuskan napas. Mohon hadiahkan diri Anda satu hari tanpa kegelisahan dan kemarahan.

Mohon jangan salah sangka pada saya; saya tidak menyalahkan Anda atau keputusan-keputusan Anda. Mungkin dalam satu dua hari, Anda akan senang bahwa Anda tidak salah mempersepsikan putra-putra Myanmar yang indah seperti Wa Lone dan Kyaw Soe Oo.

Kami tahu Anda sangat mencintai rakyat Myanmar, tapi situasi yang kompleks mencegah Anda bertindak seperti yang diinginkan oleh Buddha dalam diri Anda.

Saya menulis surat ini bukan untuk menghakimi Anda, tapi untuk menyentuh Buddha Damai, Boddhisattva Penuh Welas Asih yang ada dalam diri Anda, sehingga cinta kasih dapat bermekaran dalam diri Anda dan Anda dapat mengatasi rintangan-rintangan yang menghambat Anda.

Namo Shakya Muni Buddhaya. Namo all Buddhayas of Myanmar. Kami tahu bahwa welas asih, cinta kasih bersemayam dalam hati Anda. Dengan rasa terima kasih mendalam,

Biksuni True Emptiness Chan Khong. Senior di Plum Village Zen Buddhist Community France, Usa, Vietnam And Thailand. (plumvillage.org)

The post Surat Terbuka untuk Aung San Suu Kyi appeared first on .

Sekber PMVBI Gelar Munas XV di Yogyakarta

$
0
0

Sekretariat Bersama Muda-mudi Vihara-Vihara Buddhayana Indonesia (PMVBI) gelar munas Nasional di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Musyawarah Nasional sebagai forum tertinggi pergantian kepengurusan ini digelar selama lima hari.

Acara sendiri telah dimulai dengan outbond kebhinnekaan bersama Lemhamnas pada Kamis, (28/12), namun acara baru dibuka secara resmi pada Jumat, (29/12) di Bangsal Sewokoprojo, Kabupaten Gunung Kidul. Selanjutnya acara Munas akan dipusatkan di Vihara Jinadharma Srada, Wonosari Gunung Kidul.

Selain pengurus dari 21 provinsi dengan 221 orang peserta, pembukaan acara ini juga dihadiri oleh Bhikkhu Sangha, Jajaran Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia, Direktur pendidikan agama Buddha, Dirjen Bimas Buddha, dan pemerintah setempat.

Ivana Miharja Kusumah, Sekjen Sekber PMVBI sebagai pimpinan tertinggi Sekber mengajak seluruh peserta untuk melakukan musyawarah dengan semangat Buddhayana.

 
“Marilah kita menjiwai tema Munas kali ini. Bangunlah jiwanya, semangat Buddhayana, semangat keterbukaan, toleransi, menghargai perbedaan untuk mengembangkan Buddhadharma di Nusantara. Jiwa kepedulian, ini tantangan kids zaman now. Inilah yang perlu dibangun jiwa yang penuh kepedulian.

“Tetapi tidak sampai pada membangun jiwa saja, menurutnya toleransi, keterbukaan dan kepedulian juga harus dipraktikkan melalui tindakan nyata.

“Bangunlah badannya, harus dilakukan, dipraktikkan. Setelah dibangun jiwanya, badanya juga harus dibangun. Artinya jiwa kepedulian, jiwa toleransi dan kebangsaan ini harus dipraktikkan supaya memberi manfaat untuk diri kita, orang sekitar, dan Indonesia,” tambahnya.

Sementara itu, Piandi, Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) mengajak para pemuda Buddhis yang tergabung dalam Sekber PMVBI untuk aktif dalam mengawal pancasila dan NKRI.

 
“Pengawal pancasila yang saat ini digiatkan kembali. Generasi muda penerus bangsa. Pemuda yang kuat untuk memperteguh nasional, membangun spiritual. Pemuda Buddhayana harus memiliki jiwa dan raga yang tangguh dan kuat.”

“Bapak Sudhamek, mantan Ketua Umum Buddhayana mungkin bisa kita jadikan teladan, saat ini beliau dipercaya menjadi oleh pemerintah.”

Begitu juga dengan Bhante Khemacaro, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia, juga berpesan agar generasi muda Buddhayana turut andil membangun NKRI.

“Perjuangan para pendiri bangsa sangat luar biasa kita cukup menikmati jadi kita harus ikut menjaga nilai-nilai luhur budaya kita. Kita selalu menyalahkan budaya luar negeri yang masuk budaya luar negeri tidak semua buruk, kita yang harus pandai memilah.

“Oleh karena itu kaum muda Indonesia mengambil peran strategi menghadapi perubahan dan dinamika indonesia. Berkarakter, memiliki etos kerja tinggi, moral dan spiritual yang baik.”

Acara munas akan berlangsung hingga Senin, 1 Januari 2018.

The post Sekber PMVBI Gelar Munas XV di Yogyakarta appeared first on .

Melodi Anna (Perasaan Yang Aneh)

$
0
0

Konon katanya setiap pertemuan yang terjadi karena sebuah alasan. Namun apa jadinya kalau sebuah alasan itu adalah beberapa momen yang menjadikan kenangan tak terlupakan? Namaku Anna, yang berarti air, selalu mencari celah untuk bermuara ke lautan. Begitu juga aku yang mencari makna dari setiap kisah langkah hidupku hingga kutemui satu makna sejati dari kehidupan ini.

Desember 2017, kisah ini dimulai.

Pagi di bulan Desember, ketika sang mentari malas beranjak dari peraduannya, hingga rintik kecil yang bersemangat menari-nari dan berjingkat mengawali pagi ini.

Aku menerobos kerumunan orang yang sedang asyik pada dunianya masing-masing. Sekejap, mata ini menangkap sesosok pria mengenakan kemeja kuning muda. Pria itu terlihat bingung, sempat aku menatapnya meski tidak terlalu jelas namun dalam hati berkata “pria yang ganteng”.

Aku masih merasa penasaran dan bertanya pada peserta workshop yang lain siapakah gerangan pria itu. Aku menatap kembali pria itu yang ternyata adalah salah satu nara sumber dalam acara workshop tersebut.

Aku menangkap sinyal bahwa pria itu sedang tidak baik-baik saja, memang agak aneh tapi salah satu kelebihanku adalah bisa merasakan yang tidak terlihat oleh mata.

Boleh saja tidak percaya, tapi aku sangat yakin. Dan tema workshop-nya adalah Saat yang Tepat untuk Bahagia. Maka dari itu aku merasa sangsi. Apakah ini akan menjadi hal menarik kalau pembicaranya sendiri mempunyai tanda-tanda tidak bahagia?

Peserta workshop sangat antusias saat si pria ganteng itu maju ke depan dan memberikan poin-poin materinya. Pikiranku hanya fokus sama pria itu, mimik mukanya, gaya bicaranya, potongan rambutnya, postur tubuhnya dan aah! Dia mengingatkanku pada seseorang, sama persis.

Insinyur Riko begitu tadi dia memperkenalkan diri. Yah, aku baru mengingatnya bahwa dia mirip dengan mantanku. Haiz! Aku terkekeh bahwa aku mendapati diri ini merasa luar biasa, saat seseorang sibuk menyampaikan isi materi justru aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Aku tersenyum sendiri merasa geli dengan hari ini. Pak Riko memberikan kesempatan untuk bertanya. Aku berulang-ulang mengajukan pertanyaan bahwa kenapa seseorang yang sudah terlihat sempurna memiliki wajah cantik atau ganteng, karir bagus, pinter, banyak temen, kaya, punya pasangan hidup yang sempurna justru merasa tidak bahagia?

Pak Riko mendekat ke arahku, tersenyum sangat manis, entah kenapa aku merasa gugup. Sosoknya membuatku melayang bukan karena dia mirip mantan tapi terjadi begitu saja.

Pembawaan yang dewasa itu membuat keberadaannya terasa nyaman walau tidak dipungkiri kadang-kadang monoton. Tetapi seperti ada sebuah aliran listrik yang terhubung begitu saja hanya dengan sebuah kontak indra.

“Hmm…” desah Pak Riko. Aku memandang jauh ke dalam matanya.

“Usia Anda berapa?” tanya Pak Riko. Aku mengernyitkan dahi.

“Masih dua puluhan ya?” lanjut Pak Riko. Aku hanya mengganggukan kepala berharap pertanyaanku segera dijawab. Bukankah ini tidak berhubungan dengan pertanyaannya?!

“Kehidupan ini sangat rumit dijelaskan, nanti pada waktunya ketika Anda menginjak umur tiga puluhan, empat puluhan akan mengerti dengan sendirinya. Nama Anda siapa tadi?”

“Anna” jawabku.

Arghh!! Masa seperti ini jawabannya. Sungguh tidak memuaskan, aku tidak suka dengan sesuatu yang tidak jelas. Meski begitu dia tetap menawan.

Ya sudahlah, terserah saja. Tiba pada kesimpulan, Pak Riko menambahkan bahwa seperti kata Ajahn Brahm saat yang tepat untuk bahagia adalah sekarang dan saat ini, jangan terlalu memikirkan masa depan dan masa lalu.

Dalam hati merasa girang, iya aku merasa sangat bahagia saat ini meski dengan sebuah tanda tanya tapi itu sudah cukup. Pak Riko menatapku dan tersenyum lalu aku menjadi salah tingkah. Seketika itu datanglah sesosok wanita yang tinggi, putih, semampai dengan rambut lurus panjang sebahu yang di cat warna ungu.

“Sssttt… itu pacar Pak Riko loh!” Seru yang lain. Pacar? Aneh, aku tidak merasa kesal justru aku merasa makin bahagia melihat keharmonisan yang tercipta. Bahwa masih ada figur  yang sempurna untuk dijadikan panutan.

Semoga kelak seperti itulah kehidupan semua peserta workshop hari ini mendapatkan kehidupan yang harmonis dan bahagia. Dan sesi terakhir adalah penutupan dibarengi dengan pembagian kartu nama Pak Riko.

Aku hanya iseng untuk menyimpannya karena mungkin aku salah menilai Pak Riko yang ternyata kehidupannya bahagia-bahagia saja tanpa masalah dan beban. Semuanya perfect. Sekarang hanya aku yang masih dalam masalah, mencari makna apa itu bahagia sesungguhnya.

Beberapa minggu setelah acara workshop itu berlalu, kudapati kartu nama Pak Riko terselip di sebuah buku bacaanku. Mataku berkedip-kedip, aku masih penasaran dengan Pak Riko. Karena untuk pertama kalinya penilaianku salah terhadap seseorang.

Maka tanpa pikir panjang aku iseng mengirimkan pesan. Tak lama kemudian pesanku pun terbalas. Rasa aneh pun muncul, ringan, dan ingin meledak-ledak apa pun itu yang ada di dalam hati.

Aku memuji hubungan harmonis yang terjalin dengan pacarnya bahwa sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Aku merasa melayang, kenapa aku bisa sebahagia ini merasakan kebahagiaan orang lain? Kali ini aku makin tidak mengerti.

Selang seminggu

Pak Riko mulai terbuka dan menganggapku sebagai temannya. Dia menceritakan bahwa hubungan dengan pacarnya ternyata tidak baik-baik saja. Sekarang pak Riko sedang dalam masalah yang sangat rumit.

Bagaimana tidak, menjelang pernikahannya sang kekasih meminta memutuskan hubungan dikarenakan tidak mendapat restu orangtua. Perbedaan agama menjadi penyebab utama. Begitu juga dengan teman-teman dekatnya yang meninggalkan begitu saja saat dia lagi dalam masalah.

I don’t care who you are, where you from, i don’t care! As long as you love me. Setidaknya sosok teman sejati adalah yang mau menerima dalam keadaan suka dan duka.

Tetapi apakah benar ada persahabatan sejati antara pria dan wanita? Bolehkah aku memiliki perasaan yang tidak biasa pada Pak Rico? Dan bolehkah memiliki rasa pada seseorang yang telah dimiliki oleh orang lain? Semua ini membingungkan.

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul tatkala aku mengagumi Pak Rico sebagai sosok yang menjadi idaman para wanita. Namun aku tidak akan menjadi alasan untuk hancurnya sebuah hubungan seseorang.

Menjelang malam, saat raga ini mulai lelah dan membutuhkan peraduan untuk meregangkan otot-otot yang kaku setelah beraktifitas seharian ponselku berdering tanda pesan masuk.

“Anna, maukah kamu menjadi pacarku?”

From : Rico

Mataku terbelalak. Aku tidak seriusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terbersit dalam benakku. Aku hanya… aarrgghh! Jantungku berdegup namun sesak. Senang? Bukan! Kadang aku benci untuk menjadi orang yang terlalu sensitif.

Come on Anna! Jawaban apa yang seharusnya kuberikan? Kupejamkan mata ini, berharap besok ketika bangun ini hanyalah sebuah mimpi.

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan. Dapat dijumpai di facebook, @Lani Lan

The post Melodi Anna (Perasaan Yang Aneh) appeared first on .

Renungan Akhir Tahun

$
0
0

Saya punya beberapa pertanyaan untuk Anda. Mohon dijawab dengan spontan, tak perlu bepikir.

1. Apakah tahun 2017 itu benar-benar ada? Jika ada di mana dia? Kalender? Angka? Bulan? Hari?

2. Apakah awal tahun itu benar-benar ada?

3. Apakah pertengahan tahun benar-benar ada?

4. Apakah akhir tahun itu benar-benar ada? Jika ada batasnya sampai bulan berapa?

5. Apakah tahun lama, tahun sekarang, dan tahun baru itu benar-benar ada?

6. Apakah Anda yakin dengan cara perhitungan usia Anda? Ada yang menghitung dari saat manusia dilahirkan, lalu ada yang menghitung dari sejak di kandungan.

7. Apakah memori manusia itu benar-benar nyata?

8. Apa saja yang telah Anda lakukan sepanjang tahun 2017 ini?

Pertanyaan ini masih bisa kita lanjutkan lagi, barangkali bisa menjadi sangat panjang. Beberapa pertanyaan di atas hanya sekadar untuk menggoyang logikamu dan sekaligus menyentuh hatimu agar mencoba untuk menjawab dengan jujur dan spontan.

Tahun nol itu apakah benar ada? Lalu tahun 2017 itu benar ada? Dalam Buddhis menyatakan bahwa tahun 2017 tidak bisa berdiri sendiri.

Kita sepakat bahwa tahun 2017 berdiri di atas tahun sebelumnya, tahun 2017 tergantung pada tahun sebelumnya, lalu bulan, tanggal, jam, menit dan detik juga demikian. Semua ini serba berkelanjutan, tak ada yang bisa berdiri sendiri, tidak ada yang bisa eksis tanpa dukungan dari elemen lain.

Buddhadharma

Buddha bersabda, semua yang bertemu akan berpisah, semua yang telah dimulai juga akan berakhir, demikian juga tahun, bulan, tanggal, jam, menit, dan detik. Lalu apakah benar tahun nol adalah permulaan? Anda boleh saja sebut demikian sesuai kesepakatan.

Tahun nol ditetapkan berdasarkan kesepakatan lahirnya Yesus Kristus. Namun Buddhis terpaksa harus mereduksinya menjadi SM (Sebelum Masehi) karena Siddharta lahir ratusan tahun sebelum Yesus Kristus.

Merenungkan tahun saja sudah berkaitan dengan esensi utama ajaran Buddha, yaitu tidak ada yang bisa berdiri sendiri, dan segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi.

Lalu apa yang hendak kita pegang? Ketika tahun baru datang mengapa harus bergembira? Ketika tahun lama sudah pergi mengapa harus bersedih? Ini bisa menjadi renungan mendalam buat Anda.

Apakah awal tahun, pertengahan tahun, dan akhir tahun itu benar-benar ada? Jika memang ada bagian mana yang disebut sebagai awal tahun? Januari? Februari? Maret? Lalu bagaimana pertengahan tahun? Lantas apakah Desember itu adalah akhir tahun?

Kalau demikian nanti November dan Oktober bisa protes, karena mereka juga ingin dimasukkan ke dalam akhir tahun. Bulan Januari hingga Desember adalah satu kesatuan sehingga membentuk tahun. Masing-masing bulan terbentuk dari minggu dan tanggal.

Kesepakatan sosial

Tak ada yang bisa menyebut dengan persis, namun kita sangat tergantung pada konsensus atau lumrah disebut sebagai kesepakatan. Jika tidak sepakat maka ada orang yang bilang itu salah, apakah benar demikian? Kesepakatan tampaknya tidak selalu benar, jadi jangalah terlalu percaya dengan kesepakatan.

Namun kita membutuhkan kesepakatan, karena kita makhluk sosial yang perlu bertatap muka untuk menyatakan kesepakatan, bukan ribut di media sosial.

Hari ini masih tahun 2017, kita menyebutkan tahun sekarang. Sebentar lagi tahun 2017 akan berubah status menjadi tahun lama. Sedangkan tahun 2018 adalah tahun baru, lalu tahun baru ini bertahan berapa lama?

Ketika tanggal 1 Januari 2018 kita sebut tahun baru, lalu apakah tanggal 2 Januari 2018 juga masih tahun baru? Lalu, 3, 4, 5 januari? Lalu apakah Februari masih tahun baru? Jika tidak, maka orang Tionghoa justru menyebutkan tahun baru Imlek (16 Februari 2018).

Dunia ini penuh dengan kebenaran yang disepakati. Kita sepakat baru tahun 2017 adalah tahun sekarang, kita anggap itu adalah suatu kebenaran, apakah ini kebenaran hakiki? Maaf, dari kaca mata Buddhis tidak demikian. Namun kita tetap boleh menyebutkanya kebenaran kesepakatan. Menarik bukan untuk direnungkan?

Jika seseorang lahir pada tahun 2000, maka usianya sekarang adalah 17 tahun. Apakah benar usiamu 17 tahun? Orang Tionghoa akan menyatakan bahwa dia berusia 18 tahun. Jika dari zaman dahulu perhitungan tahun adalah 24 bulan, maka usia Anda menjadi setengah dari saat ini.

Jadi usia 17 tahun itu tidak ril. Bahkan ada orang mencoba menebak usianya dari uban, dari keriput di wajah, dari gaya bicara, dan dari seberapa banyak gigi yang sudah habis. Apakah benar demikian?

Memori Anda sejak dimulainya 2017, sejak 2016, sejak 2015, apakah benar-benar eksis semua? Buddha akan bilang eksis dan non eksis.

Apakah mimpi Anda itu benar-benar eksis? Saya yakin sepanjang tahun kita telah mengumpulkan banyak memori, lalu lebih banyak memori tentang kebaikan, kebahagiaan atau memori tentang kesedihan?

Ketika Anda mengunjungi memori tentang kebahagiaan barangkali Anda bisa ikut berbahagia. Jika Anda berkunjung ke memori yang kurang menyenangkan maka Adan juga membuat diri sendiri sedih di saat ini.

Hati-hatilah ketika Anda berkunjung ke memori Anda. Buddha menasihatkan, negatifitas manusia sangatlah besar dorongannya, sehingga lebih cenderung pikiran mengunjungi memori yang sedih. Daripada mengunjungi memori sedih, Buddha bilang kembalilah ke present moment! Kembali ke masa kekinian, di sini, dan saat ini.

Perjalanan 12 bulan tentu saja ada yang merasa cepat dan ada yang merasa lambat. Apakah tahun 2017 terasa lebih panjang daripada tahun 2016? Apakah bulan ini terasa lebih panjang daripada bulan lalu? Tampaknya beda tipis, ketidak-sabaran Andalah yang membuatnya menjadi terasa lebih lama.

Indonesia mengalami banyak hempasan berbagai isu, tampaknya lebih banyak yang kurang menyenangkan, namun juga ada yang menyenangkan. Lalu pertanyaan terkahir adalah, berita yang menyedihkan lebih membekas di hati? Atau berita yang menyenangkan?

Inti ajaran Buddha adalah menjadikan pikiran lebih jernih lewat berbagi pelatihan. Jangan biarkan media sosial atau media lainnya mengambil alih pikiranmu, sehingga menyirami benih-benih negatif terus menerus. Anda berhak untuk memilih untuk menjadi lebih jernih atau lebih keruh, semua itu ada di tangan Anda.

Selamat tahun lama, selamat tahun sekarang, dan selamat tahun baru!

Bhante Nyanabhadra

Dharmacharya dari silsilah Zen Master Thich Nhat Hanh, Plum Village, dikenal sebagai 真法子「Chân Pháp Tử」. Menerima Penahbisan samanera dari tradisi Theravada dengan nama 釋學賢 「Nyanabhadra」dari Y.M. Dharmavimala.

Menerima penahbisan ulang sramanera dari silsilah Mulasarvastivada dari Y.M. Dalai Lama ke-14 di Dharamsala dengan nama Tenzin Donpal.

The post Renungan Akhir Tahun appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live