Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Keindahan Toleransi dan Kesejukan dari Dusun Buddhis

$
0
0

“Pertama saya datang ke sini itu seperti shock culture gitu, seperti menemukan Indonesia yang diceritakan di buku-buku. Gotong royongnya dapet, kerukunannya dapet, orang-orangnya ramah, menerima siapa pun tamu yang ada,” kata Elvan Dhaneswara, salah satu peserta peserta Live in Nyadran Perdamaian; Menggali Nilai-Nilai Perdamaian dari Budaya Lokal.

Acara yang dimotori oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN), Peace Leaders Indonesia dan BuddhaZine ini dilaksanakan di Dusun Krecek, Temanggung. Acara berlangsung selama 4 hari Rabu – Sabtu (27 – 30/3) dan diikuti oleh sekitar 15 pemuda dari pelbagai daerah di Indonesia seperti; Temanggung, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, Jember, Kediri, Bodowoso, dan Kalimantan. Mereka tinggal di rumah-rumah warga dan mengikuti segala aktivitas keluarga yang ditinggali layaknya masyarakat desa.

Hidup dan tinggal di rumah masyarakat desa dengan latar belakang berbeda agama dan budaya memberi kesan tersendiri bagi Elvan. “Yang lebih penting apa yang selama ini saya pikir dan saya rasa ini hanya sebagai budaya Islam, ternyata itu bukan hanya budaya Islam, tetapi itu juga budaya Nusantara. Contohnya adalah sarung sama songkok, saya kira itu adalah budaya muslim ternyata itu adalah budaya Nusantara. Sebagai contoh umat Buddha di sini juga memakai songkok atau sarung.

“Nyadran juga seperti itu, ternyata Nyadran itu bukan hanya tentang budaya agama tetapi betul-betul wujud dari identitas sebuah bangsa. Dari situ juga terlihat bagaimana budaya itu menghargai sesama, baik itu manusia maupun mahkluk lain. Dapat saya simpulkan mengapa akhir-akhir ini Indonesia mengalami degradasi moral atau intoleransi, saya rasa itu karena degradasi budaya. Karena menurut saya, budaya itu merupakan simpul perdamaian di negeri ini,” pungkasnya.

Tak jauh berbeda dengan Elvan, Ana Intaning peserta lain dari Kabupaten Kediri Jawa Timur mengikuti acara ini karena penasaran dengan Upacara Nyadran. “Saya datang ke sini karena penasaran dengan Nyadran. Saya dengar dan baca-baca di internet Nyadran itu semacam kendurian bersama dan uniknya diikuti oleh semua agama, ada Buddha dan Muslim makan bareng, menjadi satu, dengan doa dari masing-masing agama,” katanya kepada BuddhaZine.

Setelah mengikuti acara ini, perempuan yang akrab disapa Intan ini merasa ada kebhinnekaan di Dusun Krecek. “Saya merasa kebhinnekaan di Dusun Krecek ini hidup, karena di tengah-tengah perbedaan ternyata persatuan itu masih bisa diwujudkan. Jadi menurut saya, PR kita kedepan bagaimana melestarikan yang seperti ini. Kita tidak mungkin kalau hanya menggandrungi style-style modern sementara kita melupakan kebudayaan kita sendiri itu menurut saya akan membuat Indonesia semakin melemah, jangan sampai itu terjadi,” katanya.

Nyadran perdamaian; upaya menggali nilai perdamaian dari budaya setempat

Nyadran merupakan salah satu budaya Nusantara yang masih lestari dan dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Di perdesaan Temanggung, upacara Nyadran dilaksanakan masyarakat dengan totalitas setiap tahunnya, ini juga yang terlihat dalam upacara Nyadran makam masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk Desa Getas.

Selain dimaknai sebagai bentuk rasa bakti terhadap leluhur, bagi masyarakar Krecek dan Gletuk upacara Nyadran juga dijadikan sebagai sarana silaturahmi, srawung, dan kumpul keluarga. Karena tak hanya saat hari raya Lebaran atau Waisak, saat Nyadran sanak saudara yang sedang merantau biasanya juga pulang kampung untuk berziarah ke makam dan berkumpul dengan keluarga.

“Nyadran adalah sarana untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahuluinya. Selain itu banyak nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Nyadran tersebut salah satunya adalah menjaga kerukunan di antara masyarakat setempat. Nyadran dilaksanakan secara turun temurun, namun apakah narasi nyadran juga masih diserap oleh anak-anak muda?” kata Maskur Hasan, Koordinator Jogja dan Jawa Tengah AMAN Indonesia, penggagas acara ini.

“Secara umum, tujuan kegiatan Live In dan Nyadran Perdamaian ini adalah untuk mendorong anak-anak muda mengambil peran sebagai agen perdamaian dalam upaya promosi perdamaian; Memberikan pemahaman tentang kepemimpinan pemuda dalam pembangunan perdamaian dan menggali nilai-nilai perdamaian, kerukunan, dan saling menghargai dalam tradisi Nyadran,” pungkas Maskur.

Baca juga: Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis

Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan aneka budaya yang masih dijalankan masyarakat Dusun Krecek. Seperti saat pembukaan, panitia, peserta, tokoh agama, perangkat desa dan semua warga melakukan gendurian bersama di rumah kepala dusun. Seakan tak ada jarak, mereka melebur menjadi satu dalam obrolan ringan dan makan bersama dengan alas daun pisang.

Kesan mendalam hidup dengan keluarga baru

Hidup dan tinggal dengan keluarga baru, mungkin bagi sebagain orang akan merasa tidak nyaman. Tetapi tidak bagi para peserta Live in Nyadran Perdamaian. Meskipun pada awalnya mereka merasa canggung, tetapi setelah menjalani selama empat hari mereka mendapat kesan tersendiri.

Seperti yang dialami oleh Ferry Fitrianto, salah satu peserta dari Yogyakarta. Pada awalnya, Ferry merasa canggung, tetapi setelah merasakan keramahan tuan rumah yang ditinggali dia merasa nyaman. “Ini adalah pengalaman pertama saya, melihat perbedaan yang sangat luar biasa. Pertama saya merasa asing ya, melihat patung Buddha di taman-taman, depan rumah. Tapi ternyata lama kelamaan, saya terbiasa dan merasa nyaman dengan keramahan yang punya rumah dan keluarga,” katanya.

Mohammad Afifi menuturkan pengalamannya, “Dari sekian pengalaman saya ada sebagian kelompok orang yang ingin membenturkan budaya dan agama. Agama dan budaya itu harus bersentuhan dan saling melengkapi.  Mengapa begitu? Karena datangnya agama bagi saya itu tidak lepas dari budaya. Sejatinya budaya itu di atas agama itu sendiri. Karena agama itu nilai sementara budaya itu adalah cara berpikir dan hasil dari gerak bepikir maka dua hal ini harus berjalan beriringan.

“Pengalaman saya di desa ini, sampai dua tiga hari tinggal di rumah orang yang berbeda agama saya merasakan ini sebenarnya pernah saya alami ketika saya kecil dulu. Kebersatuan, penguatan nilai budaya dan Indonesia akan maju bila kita bersatu.”

The post Keindahan Toleransi dan Kesejukan dari Dusun Buddhis appeared first on BuddhaZine.


Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Buddhis di Era Revolusi 4.0

$
0
0

Kaderisasi sangat penting dan wajib dilakukan oleh suatu organsiasi mahasiswa yaitu HIKMAHBUDHI khususnya HIKMAHBUDHI cabang Malang. Kaderisasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemimpin terutama pada mahasiswa Buddhis di Malang, Jawa Timur. Adanya kaderisasi agar mahasiswa Buddhis nantinya maupun sekarang menjadi pemimpin yang sesuai dengan perkembangan era sekarang.

Pada tanggal 22-24 Maret 2019, PC HIKMAHBUDHI Malang melaksanakan kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan I (LDK) bertempat di Vihara Dharma dengan tema “Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Buddhis di Era Revolusi 4.0” yang merupakan kegiatan wajib dilaksanakan HIKMAHBUDHI tingkat cabang. Peserta yang mengikuti kegiatan LDK I PC HIKMAHBUDHI Malang berasal dari berbagai universitas di antaranya Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Muhammadiyan Malang (UMM), STAB Kertarajasa, dan Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Kegiatan ini juga dihadari Sekjend PP HIKMAHBUDHI Bebin Adi Darma selain itu juga dihadiri oleh beberapa pemateri di antaranya Oktaviani Dhammayani, Billy Setiadi, dan Munarim.

Kegiatan LDK I yang dilakukan membahas beberapa materi diantaranya teknik memimpin sidang yang disampaikan oleh Sdr Munarim, pada sesi materi pertama ini peserta diberikan pengetahuan tentang peraturan dan tata cara dalam memimpin sidang seperti apa saja yang harus dilakukan pada saat sidang dan sebagainya.

Materi kedua yaitu teknik lobby disampaikan oleh Billy Setiadi, teknik lobby sangat penting dilakukan untuk mencapai kesepakatan pada suatu tujuan dan terdapat beberapa macam teknik lobby yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pada saat itu.

Selanjutnya pada materi ketiga yaitu surat menyurat, pembuatan proposal, laporan pertanggung jawaban yang disampaikan oleh Oktaviani Dhammayani pada sesi ini pemateri menyampaikan teknik dalam membuat surat, susunan dalam membuat prosposal kegiatan, pentingnya laporan pertanggung jawaban dalam suatu kegiatan yang dilakukan. Materi terakhir yaitu manajamen organisasi dan kepemimpinan disampaikan oleh Sekjen PP, Bebin Adi Darma

Dengan penyampaian materi-materi tersebut bertujuan agar peserta mengetahui apa saja yang harus diketahui dan dikuasai disebuah organisasi terutama dalam menjadi pemimpin. Selain dari materi-materi yang disampaikan memang penting namun pada perkembangan zaman yang semakin canggih dan budaya pada masyarakat sekarang ini juga mengalami perubahan yang signifikan, sehingga dibutuhkannya pengetahuan dan kemampuan seorang pemimpin yang sesuai dengan zamannya.

Mahasiswa Buddhis dalam menjadi seorang pemimpin di era revolusi 4.0 tidak cukup hanya memiliki kemampuan dasar saja dalam organisasi namun seorang pemimpin di era revolusi 4.0 harus berpedoman pada Dhamma, yang mana berdasarkan pada moral, kesadaran dan kebijaksanaan. Dengan berpedoman pada hal tersebut dalam memimpin dapat mengarahkan bawahannya ke arah yang lebih baik guna perkembangan organisasi yang maju. Dengan begitu, diharapkan mahasiswa Buddhis di Indonesia terutama di kota Malang dapat menjadi pemimpin yang dapat berdampak baik pada bawahannya dan lingkungan sekitarnya.

The post Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Buddhis di Era Revolusi 4.0 appeared first on BuddhaZine.

Ada di Zaman Nyinyir?

$
0
0

Apa pun yang kita lakukan, baik atau tidak, tetap dinyinyir orang lain.

Kebiasaan nyinyir, mengkritik, dan nyindir sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan orang. Kadang, kita semua menganggap tiga kata tersebut adalah sama. Nyatanya, ketiga kata tersebut memiliki maksud yang berbeda.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, nyinyir artinya mengulang-ulang perintah atau permintaan, dan juga nyenyeh, cerewet. Jadi, orang yang suka nyinyir adalah orang yang banyak bicara tanpa tujuan dan sering mengulang kata sebagai orang yang cerewet.

Kritik dalam KBBI adalah kecaman atau tanggapan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya maupun pendapat. Biasanya, kritik diuraikan berdasar data dan fakta yang diakhiri dengan saran atau solusi.

Sedangkan nyindir dalam KBBI adalah celaan, ejekan, mencela seseorang. Nyindir hampir mirip dengan mengkritik, tetapi perkataan yang digunakan untuk menyindir lebih pedas dan tanpa solusi serta bersifat subjektif.

Sabtu (30/3), Pemuda Buddhis Theravada Indonesia cabang Kabupaten Semarang mengadakan acara diskusi Ngopi: Ngobrol Penuh Inspirasi dengan tema “Nyiyir atau mikir, mau ngapain nih? Ngopi bareng yuk!” bersama Denny Alfian Arta, BPO DPP Patria. Wihara Buddha Bhumika, Thekelan, Getasan, Semarang menjadi tempat acara tersebut berlangsung. Pesertanya terdiri dari wilayah Semarang dan Temanggung.

Alasan seseorang senang nyinyir

Media yang sering digunakan orang saat ini untuk nyinyir adalah media sosial, karena melaluinya maka komentar, disukai, dan jempol akan mudah diperoleh. Dan tidak dipungkiri juga dapat memicu perdebatan tidak sehat.

Menurut BPO DPP Patria, nyinyir dalam sisi psikologis merupakan bentuk ketidaksukaan terhadap orang lain, persaingan, ungkapan tidak setuju, bertujuan mempermalukan, dan wujud penghinaan.

Dari sisi psikologis tersebut, dua hal yang mendasari seseorang untuk nyinyir adalah karena tidak berhadapan langsung dengan obyek nyinyir serta iri yang tidak terkontrol. Karena iri melihat kelebihan orang lain, maka seseorang akan mudah nyinyir. Terlihat baik saat di depan, dan membicarakan keburukan saat di belakang.

Dampak dari senang nyinyir

Bisa jadi tidak sedikit orang yang menganggap nyinyir tidak berdampak pada kehidupan sosial orang lain. Tetapi, ada kemungkinan seseorang yang hobby nyinyir juga mengerti dampak bagi subjek nyinyirannya. Nyatanya, ada dampak yang cukup mengganggu kehidupan sosial orang.

Pertama, suka nyinyir dapat merusak nama baik orang. Mulanya seseorang dikenal pandai dan santun tiba-tiba memperoleh nyinyiran dari orang yang tidak menyukainya, jadilah rusak nama baiknya. Karena dianggap tidak santun akibat dari ulah orang yang tidak suka padanya. Biasanya, dalam kasus seperti ini dilakukan oleh orang terdekat dari subyek nyinyiran.

Kedua, nyinyir dapat merusak hubungan orang lain. Akibat membicarakan keburukan orang lain yang belum jelas faktanya, membuat kerabat dari subyek nyinyiran menghindar darinya.

Baca juga: Belum Ada Judul

Ketiga, nyinyir dapat menyinggung perasaan orang lain. Secara umum, tipe manusia berbeda-beda, sehingga, ada manusia yang berperasaan lembut dan keras. Bagi orang-orang yang berperasaan lembut, nyinyiran adalah hal yang menyakitkan. Namun sebaliknya, bagi orang yang berperasaan keras, nyinyiran adalah hal yang seharusnya tidak ditanggapi.

Keempat, nyinyir menyebabkan perasaan dendam. Biasanya, seseorang yang tidak suka direndahkan akan memunculkan dendam kepada orang yang merendahkannya. Meskipun orang yang nyinyir itu adalah keluarga sendiri.

Kelima, nyinyir dapat membuat pelakunya dijauhi orang terdekat. Karena kebiasaan seseorang nyinyir, orang lain tentu bosan mendengarkan. Karena setiap berjumpa selalu nyinyir tidak ada hal lain yang pantas dibicarakan.

Cara menghadapi nyinyiran

Pertama, bungkam dengan karya. Orang yang iri dengan kita, sebaiknya dibalas dengan karya terbaik kita, bukan dibalas dengan nyinyiran juga.

Kedua, jadikan itu sebagai bahan tertawaan. Jangan menganggap nyinyiran seseorang adalah sesuatu yang serius, anggap saja itu sebagai bahan tertawaan. Karena tidak mungkin orang lain mau mengurusi pekerjaan kita. So, don’t worry.

Ketiga, buatlah ucapan iri dari seseorang sebagai pemicu semangat. Orang yang iri adalah orang yang tidak dapat melebihi kita. Jadi, berkarya lebih baik adalah solusinya.

Keempat, abaikan saja, tidak pantas untuk dibalas. Orang yang suka nyinyir apabila dibahas pasti nyinyiran akan semakin menjadi-jadi. Ada kalanya kita diam saja melihat apa yang dia katakan.

Kelima, bersikap baik. Orang yang suka nyinyir, apabila dibalas dengan perbuatan dan sikap baik, pasti nyinyirannya akan luntur pula.

Kalau tidak hati-hati dengan mulut kita, nyinyiran akan berujung pada sel tahanan maupun denda. Karena sudah ada UU yang mengatur, yakni UU ITE No. 11 tahun 2008 Pasal 20. Untuk pidana maksimal enam tahun dan atau denda maksimal satu milyar.

Apa kata mereka yang ikut acara ngopi?

“Acaranya enjoy, tapi bermakna dan bermanfaat. Manfaat buat aku sendiri bisa mengerti tentang cara menghadapi nyinyiran dari orang lain. Dan kita diajarkan untuk berfikir sebelum berbicara.” Tutur Aat Lisnawati, salah satu peserta pada BuddhaZine. Bukan hanya Aat yang memperoleh manfaat demikian, peserta lain juga mengungkapkan pernyataan yang sama.

The post Ada di Zaman Nyinyir? appeared first on BuddhaZine.

40 Hari Mendiang Sutar Soemitro, Sekilas Kenangan

$
0
0

Tulisan ini dimuat khusus untuk peringatan 40 hari meninggalnya Sutar Soemitro.

“Sesuk BZ numpang ngantor sik neng nggone Bhante Wongsin entuk kan? Karo nunggu kita siapke tempat (besok BuddhaZine numpang kantor dulu di tempat Bhante Wongsin boleh nggak, sambil menunggu kita siapkan tempat),” tanya Kang Sutar melalui aplikasi pesan whatsapp Kamis (31/1/2019) pukul 06:12 pagi.

“Pondok Meditasi Bhante Win?” tanya saya. “Iya, tempat kita pernah menginap dulu,” jawabnya. “Harusnya bisa, saya dengar Bhante Wongsin menginginkan tempat itu digunakan untuk kegiatan, supaya lebih bermanfaat. Tapi coba nanti saya tanya dulu,” balasku.

Setelah itu, kami chat whatsapp sekitar empat jam hingga pukul 11 siang membahas banyak hal. Mulai dari penataan dan aktivitas kantor, hingga rencana pengembangan-pengembangan BuddhaZine ke depan di kantor dekat Candi Borobudur. “Nanti pagi hari kita ngantor, sore kuliah S2 di UGM. Kamu sekalian ikut kuliah S2 ya, ambil manajemen media, kamu masih lemah soal ini, kalau saya sudah lumayan paham. Saya sendiri tertarik ambil kajian media dan budaya. Kang Ana Surahman sekalian ajak ngantor dan kuliah lagi, beasiswa tinggal pilih,” katanya.

Tanpa berpikir panjang, saya langsung kontak Bhante Wongsin melalui Ko Dedy dan Ce Ling Ling, pengurus Pondok Meditasi Bhante Win, Dusun Barepan, Wanurejo, Borobudur, Magelang. Satu hari kemudian Jumat, (1/2/2019), Bhante Wongsin memberi angin segar, beliau mengizinkan untuk memakai salah satu ruangan di lantai 3, bangunan baru Pondok Meditasi.

Tak sabar, kabar baik ini langsung saya teruskan ke Kang Sutar, ia hanya menjawab “Mantap surantap!” Dan Ini menjadi komunikasi terakhir saya dengan Kang Sutar. Beberapa kali saya coba hubungi melalui whatsapp tidak terkirim, hanya contreng satu, hp-nya rusak. Selanjutnya saya mendapat kabar memalui Laras (adik sepupu) dan Andre Sam (Redaktur BuddhaZine).

“Sutar di RS Mitra Keluarga, Karawaci Ruang Alium Lt. 4 No. 409. Jam besuk 18.00 – 20.00, orang yang diizinkan besuk maksimal 2. Plus, doi tidak suka rame-rame,” pesan dari Andre Sam Sabtu, (2/3) pukul 18.38. Ada perasaan lega menerima kabar ini, akhirnya Kang Sutar mendapatkan perawatan yang lebih maksimal, pikir saya. Sampai kabar itu datang, Minggu (3/3) Kang Sutar wafat.

“Pak muleh, Kang Sutar meninggal,” kata istri saya. Pada hari itu, seharian saya ikut kerja bakti dengan pemuda dusun membuat gazebo pondok meditasi. Hampir tak percaya, sosok yang begitu optimis menghadapi segala derita penyakit telah pergi. Sampai rumah, hp sudah penuh dengan kabar meninggalnya kakak, sahabat, guru yang juga teladan dalam hidup saya.

Membangun karir jurnalistik

Sutaryono (nama kecil Sutar Soemitro) lahir di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen pada 8 Mei 1980. Sutar adalah anak kedua dari pasangan Ibu Tarmi dan Bapak Sumitro. Dia mempunyai kakak laki-laki bernama Sabar Sukarno dan adik perempuan Tri Widiati. Sejak usia muda, Sutar sudah belajar hidup mandiri, ibunya meninggal saat ia masih duduk di bangku SMP, usia 13 tahun. Sedangkan bapaknya meninggal saat Sutar berusia 27 tahun.

Sebagai anak desa, Sutar mempunyai kebiasaan langka, sejak kecil ia gemar membaca berita-berita di koran. Kebiasaan membaca berita-berita membuatnya tertarik menekuni dunia jurnalistik hingga akhirnya mendirikan media berita Buddhis online, BuddhaZine.

Kang Sutar mulai menulis dan menjadi penyunting sejak masa kuliah di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda, Jakarta. Bersama muda-mudi Vihara Dhammasagara, sekitar tahun 2000’an dia mendirikan DSP Magz sekaligus menjadi pemimpin redaksi dan penyunting tulisan.

Baca juga: BuddhaZine Tak Akan Pernah Berhenti di Sini

Tak seperti orang-orang kebanyakan yang mengejar karir menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), mekipun kesempatan terbuka lebar, Sutar lebih memilih bergabung dengan Yayasan Buddha Tzu Chi setelah lulus kuliah pada 2003. Di Yayasan Buddha Tzu Chi, Kang Sutar dipercaya mengelola tabloid dwi bulanan.

“Waktu saya masuk, yang full time mengurus tabloid dwi bulanan Tzu Chi ya cuma Sutar sendirian. Boleh dibilang Sutar juga salah satu inisiator yang mengembangkan dari tabloid dwi bulanan, jadi bentuk Majalah Tzu Chi,” kata Ivana, teman seperjuangan Kang Sutar di Majalan Dunia Tzu Chi.

Selama enam tahun Kang Sutar meniti karir sebagai jurnalis di Majalah Dunia Tzu Chi, mulai tahun 2003 – 2009. Selama itu dia ditempa dan dikirim ke pelbagai daerah untuk tugas liputan. Tulisan-tulisannya selalu bagus, ini juga yang menempatkan salah satu karya liputannya tentang tsunami Aceh masuk nominator 10 liputan terbaik di Taiwan.

“Iya, dari dulu kan memang tulisannya bagus. Waktu tsunami Aceh, Sutar ditugaskan berangkat ke Meulaboh kisaran 2 minggu setelah kejadian. Termasuk tim advance dari Tzu Chi yang pertama masuk ke Meulaboh (karena tahap awal kita lebih banyak di Banda Aceh). Hasil tulisan dia dan satu lagi jurnalis kita (Ari Trismana), masuk nominasi tulisan terbaik (aku ngga gitu ingat persis kategorinya dan pencapaiannya), tapi ada sertifikatnya, kemungkinan disimpan sama alm Sutar sendiri,” kenang Ivana.

Tahun 2009 Kang Sutar keluar dari Yayasan Buddha Tzu Chi dan menjadi pekerja lepas di Sekretariat Sangha Mahayana Indonesia (SMI), juga banyak membantu lay out buku dan majalah. “Sebetulnya selain nulis, Sutar juga punya taste yang sangat bagus soal lay out. Dulu bantu lay out buku peringatan HUT SMI atau konferensi sanghanya tahun 2010 klo ga salah. Terus pernah bikin bukunya Bhiksuni Guna Sasana juga,” imbuh Ivana.

Berbekal semua pengalamannya itu, akhirnya pada tanggal 11 Desember 2011 Kang Sutar mendirikan BuddhaZine. “Bagi kami, BuddhaZine adalah langkah kecil pertama. Kami bercita-cita ingin membangun sebuah grup media Buddhis semisal Kompas Gramedia. Jadi nantinya tidak hanya ada BuddhaZine, namun juga menerbitkan majalah, buku, merchandise, label musik, mendirikan toko buku, pusat budaya, EO, hingga radio, dan mungkin televisi. Mimpi yang terlalu tinggi memang, tapi bukan mustahil. Setidaknya kami telah memulainya dengan BuddhaZine, dan kami terus menjaga mimpi tersebut,” begitu tulis Kang Sutar dalam artikel Perjalanan 5 Tahun BuddhaZine, yang terbit tanggal 1 Desember 2016.

Sutar Soemitro di mata saudaranya

Menggambarkan sosok orang besar yang mendidikasikan seluruh hidupnya untuk perkembangan Buddhadharma bukan perkara mudah. Perjalanan hidup, karya, pemikiran serta ide-idenya yang begitu luas tak cukup hanya dituliskan dalam beberapa halaman artikel.

Artikel ini hanya potret dari sebagain kecil perjalanan hidup Kang Sutar. Untuk melengkapi artikel yang hanya secuil dari dedikasi Kang Sutar, ada baiknya kita melihat sosok Sutaryono dari kedua saudaranya tercinta; Sabar Sukarno dan Tri Widiati.

“Sutar bisa dikenali dalam berbagai sisi. Keras hati, terkadang keras sikap dan ucapan, tapi dengan sifat keras itu juga dia mampu menempuh berat dan lelahnya memperjuangkan idealisme. Tidak tertarik pada pekerjaan menjadi PNS seperti pada umumnya orang desa termasuk keluarganya, tetapi memilih totalitas dalam pengabdian kepada agama walaupun tidak menghasilkan materi yang cukup,” tutur Mas Sabar.

Menurut Mas Sabar, Kang Sutar adalah sosok yang mempunyai kepedulian tinggi, terutama kepada keluarganya. “Dia mau berkorban, meskipun hidupnya sendiri belum berkecukupan. Bukan orang yang serba bisa atau serba tahu, tapi mau belajar keras untuk sesuatu yang disukainya. Julukan work hard play hard cocok untuk diberikan kepadanya.

Travelling, nonton bola, musik, film adalah sebagian dari sumber kegembiraan yang tidak ternilai baginya. Bandel dan tidak mudah mengeluh, juga pantang menyerah. Periang, orang lain kadang terheran-heran melihat dia dalam lemahnya fisik dan sakit bisa terbaring sambil mendengarkan musik, menonton bola di TV atau demo masak di Youtube. Di akhir hayat, sudah ditempuhnya jalan setapak idealisme yang berat, menyisakan jalan panjang yang belum tertempuh. Idealisme yang tertunda itu bukanlah beban, melainkan bekal untuk pengabdian berikutnya,” pungkas Mas Sabar.

Hal ini juga yang dikatakan oleh Tri Widiati, adik perempuan Kang Sutar. Terlahir di keluarga PNS, Kang Sutar memilih jalan yang berbeda dari keluarga besarnya. “Kamu rela hidup ibaratnya ga bisa makan demi mewujudkan keidealisanmu yaitu bercita-cita mendirikan sebuah media yang bisa dinikmati orang seantero jagat raya lewat tulisan-tulisan indahmu.

“Semua kerja keras dan perihmu kini telah membuahkan hasil yaitu berdirinya BuddhaZine 7 tahun lalu. Saat Buddhazine sedang layaknya anak mulai belajar mengembangkan diri, kamu harus tinggalkan semua itu karena ketidakberdayaan fisik yang mengharuskan kamu melanjutkan hidupmu ke kehidupan selanjutnya. Selamat jalan Masku tercinta, namamu akan selalu ada di hati kami. Semoga bahagia selalu menyertaimu di mana pun sekarang kamu terlahir, semoga karma baik akan mempertemukan kita di kehidupan selanjutnya hingga mencapai Nibbhana, sadhu sadhu sadhu,” kenang Tri.

The post 40 Hari Mendiang Sutar Soemitro, Sekilas Kenangan appeared first on BuddhaZine.

Musik, Bahasa Universal Spiritual

$
0
0

Menurut ajaran Buddha, mendengar merupakan satu dari persepsi manusia yang paling peka. Melalui suara, kita dapat menghargai, bukan saja arti tetapi juga perasaan, bukan hanya tujuan, tetapi juga aspirasi. Sebuah pidato yang inspiratif dapat memindahkan gunung dan memotivasi jutaan orang, sedangkan ujaran kebencian dapat menyebabkan konflik bahkan peperangan.

Mendengar dengan welas asih berarti, “Mendengarkan secara mendalam tanpa bereaksi atau menghakimi,” sedangkan berbicara dengan kata-kata penuh cinta berarti menahan diri dari, “Mengutarakan kata-kata yang dapat menciptakan perselisihan atau menyebabkan perpecahan.”

Komunikasi dimaksudkan untuk memberikan kontribusi bagi ruang yang mendamaikan. Dalam latihan “Tutur Kata Cinta,” disarankan agar, “Menyadari bahwa kata-kata dapat menciptakan kebahagiaan atau penderitaan, kita berkomitmen untuk belajar untuk berbicara penuh kebenaran, penuh kasih, dan bersifat membangun.”

Kita hanya akan menggunakan kata-kata yang mengilhami suka cita, kepercayaan diri, dan harapan, serta meningkatkan persatuan dan perdamaian dalam diri kita sendiri dan di antara orang-orang. Kita akan berbicara dan mendengar dengan cara sedemikian rupa, yang dapat membantu diri kita sendiri dan orang lain untuk mentransformasikan penderitaan dan melihat jalan keluar dari situasi-situasi sulit.

Kita bertekad untuk tidak mengatakan hal-hal yang tidak benar, baik demi kepentingan pribadi maupun untuk membuat orang lain terkesan, juga tidak mengutarakan kata-kata yang bisa menyebabkan perpecahan atau kebencian.

Frekuensi

Jika suara yang bisa didengar tidak dapat menempuh jarak yang jauh, sebaliknya, frekuensi elektromagnetik dapat melintasi banyak galaksi, bertahun-tahun cahaya jauhnya dari bumi. Dewasa ini, gelombang radio yang kuat yang berulang-ulang dan misterius terdeteksi dari galaksi lain yang jauhnya sekitar 3 milyar tahun cahaya.

Dengan demikian, bukan tidak mungkin untuk membayangkan bagaimana Avalokiteshvara dapat mencerap suara dari jauh. Hal yang sulit untuk dipahami yaitu kapasitas luar biasa dari sang bodhisattwa untuk mendengarkan segenap makhluk hidup, mengatasi ragam perbedaan dalam hal bentuk dan penampilan fisik, konsep, serta ideologi.

Suatu cara untuk mengatasi halangan dalam hal bahasa dan kebudayaan, adalah melalui bahasa universal, musik. Dalam latihan Buddhis, chanting merupakan cara yang unik untuk terlibat dalam latihan bersama, baik dalam bahasa Mandarin, Inggris, Pali, Sanskrit, maupun Tibetan.

Seringkali kita tidak tahu arti naskahnya, tetapi kita dapat mengikuti pelafalannya. Kita dapat mengumpulkan arti naskah seiring berjalannya waktu, melatihnya secara runut, dan secara bertahap mengintegrasikan suara dengan arti serta tindakan.

Melalui chanting, suara dan irama dapat, “Melembutkan jiwa, memulihkan hati, menyatukan kehidupan-kehidupan yang telah tercerai-berai.” (Gilpin 2019 ) Suara dan musik dapat menyatukan kita semua, menghubungkan suara luar dengan suara dalam batin kita karena, “Musik membangun sebuah jembatan, ia dapat meruntuhkan dinding (pemisah) Musik merupakan sebuah bahasa, yang dapat berbicara pada seseorang dan semuanya. Ia adalah suara dari harapan, sebuah suara (yang menyuarakan) perdamaian.”

Tantangan untuk menerapkan teknik-teknik komunikasi yang baru pada tradisi kuno, bukan saja dalam hal pemilihan pengantar dan isinya. Komunitas dan generasi yang berbeda mungkin membutuhkan media yang berbeda untuk mengekspresikan arti, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa pengantar merupakan sebuah cara terampil yang pada akhirnya memiliki tujuan tertentu.

Bagi latihan Buddhis, cara terampil (upaya-kausalya) ditujukan bagi penyebarluasan ajaran dapat mencakup mulai dari chanting, meditasi, ceramah, musik, video, media sosial, media cetak tradisional, dan sebagainya.

Tantangan sesungguhnya juga terletak pada tujuan akhir, yaitu pemurnian pikiran kita dan penghentian penderitaan. Saat kita berusaha menerapkan beragam metodologi baru atau pendekatan baru dalam praktik Buddhis, kita harus secara mendalam merenungkan, mengapa kita berubah. (Resources.encoretours.com)

The post Musik, Bahasa Universal Spiritual appeared first on BuddhaZine.

LGBT, Sebuah Sudut Pandang Psikologi (Bagian Kedua)

$
0
0

Apakah aku ini aneh karena mencintai seorang laki-laki?”

“Apakah sebegitu hinanya saya jika tidak dapat menjalin hubungan normal dengan wanita?”

“Lebih baik aku mati saja daripada dikucilkan orang-orang di sekitarku, dianggap rendah, dan tidak bisa membahagiakan orang tuaku dengan memberinya cucu dari seorang wanita?”

“Apakah menikah dengan wanita adalah jalan satu-satunya untuk menjadi bahagia dalam hidup ini?”

Pertanyaan-pertanyaan dan konflik batin dari seorang homoseksual ini akan sering muncul disertai dengan emosi kemarahan, protes, rasa tidak terima, merasa berbeda dan terintimidasi oleh masyarakat. Seorang individu yang mempertanyakan orientasi seksualnya mungkin mengalami kecemasan, ketidakpastian, kebingungan, dan rendah diri di antara banyak emosi lainnya. Ketika emosi ini tidak ditangani dengan benar, hal itu dapat menyebabkan depresi.

Homoseksual bukan hanya melulu soal hasrat seksual yang muncul terhadap sesama jenis, namun juga bagaimana seorang laki-laki memandang hubungan yang sehat antara pria dan wanita, identitas dirinya secara keseluruhan dan apa saja harapannya terhadap suatu hubungan kelak. Hal-hal tersebut dikombinasikan dan menjadi suatu pola pikir dalam diri seorang anak laki-laki, kemudian mempengaruhi rasa ketertarikannya terhadap lawan jenis/sesama jenis.

Konflik

Konflik internal dalam batin mereka yang terus bergumul, perlawanan akan norma-norma yang ada, belum lagi konflik di dalam keluarganya yang mungkin terus mempertanyakan dan mencurigai arah orientasi seksualnya, serta tuntutan untuk segera menikah dari orang-orang sekitar, semakin menjadi kompleks ketika kaum homoseksual ini dewasa.

Misalnya tertarik dengan saudara atau kakak laki-lakinya, lebih senang melihat tokoh laki-laki di film maupun majalah daripada tokoh perempuan. Lebih tertarik bermain mainan-mainan yang feminin seperti anak perempuan, dan merasa lebih gampang bergaul dengan perempuan daripada dengan laki-laki.

Ketertarikan mereka terhadap laki-laki dirasa berbeda dibandingkan ketertarikannya dengan perempuan, yang mana mereka merasa perempuan dianggap hanya cocok sebagai teman biasa saja, namun ketika ditanya tentang keinginannya untuk menjalin sebuah hubungan yang lebih serius, seperti pacaran, mereka akan menjawab ingin menjalin hubungan dengan laki-laki.

Kebanyakan wanita merasa tertipu setelah memasuki dunia pernikahan dengan seorang homoseksual, yang ketika masa pacaran tidak terlihat sama sekali identitas yang sesungguhnya.

Terapi

Berbagai macam terapi psikologis masih dapat dilakukan, selama pria tersebut masih memiliki keinginan untuk menjalin hubungan normal kembali dengan seorang wanita. Motivasi untuk berubah adalah hal terpenting yang harus dimiliki untuk dapat ‘sembuh’ kembali.

Terkadang tekanan yang berat di masa remaja mereka untuk tetap bertahan melawan bullying terhadap orientasi seksual mereka, kecemasan-kecemasan dan konflik internal dalam diri karena kelainan tersebut, kemudian stres yang dialami sekarang ketika norma masyarakat menuntut mereka untuk menikah di usia tertentu, justru memperparah situasi yang mereka alami, dan membuat mereka semakin putus asa dan tidak dapat menolong dirinya sendiri untuk dapat ‘sembuh’. 

Para profesional seperti psikolog dapat menggunakan berbagai pendekatan untuk melakukan psikoterapi terhadap seorang homoseksual. Pendekatan yang dilakukan dapat melalui berbagai metode, seperti terapi kognitif, yaitu mengangkat kesadaran si klien mengenai kondisi mereka, dan mengapa perubahan itu penting bagi diri mereka dan masa depannya, dengan mengajak si klien berbincang dan berpikir, diharapkan akan muncul sebuah insight atau kesadaran mengenai arti penting menjalin hubungan secara normal dengan lawan jenis.

Setelah tahapan terapi kognitif, berikutnya dapat dilakukan pendampingan untuk perilaku/behavior therapy pada klien. Karena kesadaran dan pola pikir untuk berubah sudah ada, sekarang saatnya untuk melakukan tindakan-tindakan nyata dalam keseharian klien agar perubahan tersebut segera terwujud. Misalnya mulai menjalin relasi dan melakukan pendekatan dengan seorang wanita.

Terapi emosi dapat melalui beberapa pendekatan seperti hipnoterapi, empty chair therapy, forgiveness therapy, resources therapy, dan lain sebagainya. Intinya adalah mengeluarkan ganjalan-ganjalan dan luka hati yang ada di dalam, menyembuhkannya, dan kemudian mencari sumber-sumber daya yang dapat menguatkan klien untuk berubah menjadi lebih baik.

Tidak ada jaminan pasti bahwa setelah melakukan serangkaian terapi ini, seorang homoseksual pasti akan dapat langsung berubah dan kemudian jatuh hati dengan seorang wanita.

Terkadang diperlukan masa rehat, penyadaran diri dan introspeksi yang lebih mendalam mengenai harapan dan cita-cita hidupnya, sebelum melakukan perubahan dalam hubungan cintanya dengan lawan jenis. Namun tidak ada yang tidak mungkin selama manusia mau berusaha dan memiliki keinginan untuk ‘sembuh’ meskipun dengan motivasi yang berbeda-beda.

*Bagi yang hendak mengajukan konsultasi psikologi, silakan kirim ke Redaksi@buddhazine.com

 

Maharani K.,M.Psi

Psikolog keluarga, Hipnoterapis, dan Trainer

The post LGBT, Sebuah Sudut Pandang Psikologi (Bagian Kedua) appeared first on BuddhaZine.

Menunggu itu Zen

$
0
0

Hidup ini menunggu. Sewaktu janin, kita menunggu untuk dilahirkan ke dunia. Sewaktu kita kecil, kita menunggu untuk dewasa. Begitu seterusnya, sampai ajal tiba.

Di kehidupan sehari-hari, menunggu pun merupakan bagian penting dari hidup. Kita menunggu transportasi untuk mengantarkan kita ke tempat kerja. Di tempat kerja, kita pun menunggu untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita, dan, jika mungkin, bisa naik pangkat. Mulai dari antre di pelbagai tempat, sampai menunggu jodoh, menunggu menjadi bagian besar dari hidup kita.

Namun, menunggu tentu butuh kesabaran. Ini yang kiranya tidak dimiliki banyak orang. Menunggu adalah hal yang melelahkan dan membosankan. Jika terus dilakukan, menunggu bisa menciptakan kemarahan yang berbuah penderitaan dan konflik.

Tentu saja, menunggu bisa menjadi hal yang menyenangkan, asalkan kita memiliki pola pikir yang tepat. Menunggu bisa menjadi sebuah meditasi, yakni Zen. Zen adalah bagian dari Buddhis dan Tao yang kemudian menyebar ke Tiongkok dan Asia Timur. Intinya adalah meditasi yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.

Menunggu itu Zen

Tentang ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menunggu bukan hanya soal waktu. Menunggu adalah sebuah sikap batin. Sebagai sebuah sikap batin, menunggu adalah sikap penuh harapan terhadap masa depan. Menunggu dalam harapan akan secara alami membawa kita pada meditasi.

Dua, menunggu hanya mungkin, jika batin kita sederhana. Artinya, kita bisa menjaga jarak dari pikiran dan emosi yang datang dan pergi. Kita bisa menjaga jarak dari bayangan dan ingatan yang menghantui. Batin yang sederhana ini adalah kunci kedamaian dan kejernihan.

Tiga, batin yang sederhana berarti, orang memiliki pandangan yang tepat tentang dirinya sendiri. Orang yang sombong, biasanya adalah orang-orang terdidik dan kaya, akan sulit memiliki batin yang sederhana. Kesombongannya menciptakan banyak bayangan yang membuat ia merasa lebih penting dari mahluk hidup lainnya. Orang semacam ini tak dapat menunggu. Baginya, menunggu, dan berarti juga hidup, adalah penderitaan besar.

Empat, di hadapan semesta, kita adalah mahluk yang teramat kecil. Dengan kesadaran ini, semua tindakan kita pun hampir tak berarti di hadapan semesta yang maha luas. Kesadaran ini pun akan mendorong kita secara alami untuk menunggu. Menunggu dalam harapan, inilah salah satu unsur penting Zen.

Sudah sampai

Sebagai sikap batin, menunggu tak berarti diam saja, ketika dibodohi. Ada waktunya, orang perlu bertindak. Dasar tindakan ini bukanlah dorongan emosi sesaat, melainkan kejernihan yang lahir dari menunggu. Tindakan pun lalu sesuai dengan kebutuhan, tidak kurang dan tidak lebih.

Menunggu itu Zen. Menunggu adalah sikap batin yang melepaskan semua bayangan dan ingatan yang kerap kali menjadi sumber penderitaan. Menunggu berarti disini dan saat ini. Menunggu berarti orang menyadari tempatnya di semesta yang maha luas ini.

Dengan menunggu, sebenarnya, kita sudah sampai.

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Menunggu itu Zen appeared first on BuddhaZine.

Rakernas XI HIKMAHBUDHI Gagal Kuorum

$
0
0

Rakernas (Rapat Kerja Nasional) XI HIKMAHBUDHI kali ini terselenggara di Pangkal Pinang dengan tuan rumah HIKMAHBUDHI cabang Bangka. Berlangsung tanggal 29-31 Maret 2019. Bertempat di Gedung Setia Bakti, Studium Generale dan pembukaan dihadiri Staf Khusus Menteri ESDM, Direktur Direktorat Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI Supriyadi, Sekda Provinsi Bangka Belitung mewakili Gubernur, dan Bhikkhu Dhammasubho.

Sebelumnya juga tertera Yudi Latief, mantan kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dan Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna selaku perwakilan DPD-RI pada undangan acara, namun tak dapat hadir dalam pembukaan acara. Stadium Generale cukup dipenuhi oleh para kader HIKMAHBUDHI, tamu undangan, dan umat Buddha provinsi Bangka Belitung. Bahkan muncul juga di headline koran lokal dengan judul “1000 Millenial Hadiri Pembukaan Rakernas XI HIKMAHBUDHI di Pulau Bangka”.

Kesuksesan pembukaan ternyata tak sejalan dengan substansi acara yaitu Rapat Kerja Nasional untuk merumuskan program kerja dua tahun ke depan sesuai kepengurusan 2018-2020. Forum Rakernas tak dihadiri 2/3 cabang yang ada. Sehingga forum menjadi tidak kuorum dan tak bisa menghasilkan apa-apa. Sebab aturannya forum akan sah setidaknya dihadiri 2/3 cabang yang ada di seluruh Indonesia.

Jika rakernas tidak menghasilkan apa-apa maka akan menghambat roda organisasi atau bahkan mengalami stagnansi. Sebab program kerja sampai akhir kepengurusan tidak akan berjalan karena tidak dirumuskan apa-apa. Sampai tulisan ini dimuat belum ada satu pun pernyataan resmi dari Presidium Pusat HIKMAHBUDHI terkait kegagalan forum rakernas ini. Kegagalan forum yang melibatkan keorganisasian secara nasional pasti akan menjadi momok untuk perkembangan organisasi ke depan.

Ditambah lagi HIKMAHBUDHI sebagai satu-satunya organisasi kemahasiswaan Buddhis yang terwadahkan secara nasional menjadi ujung tombak dalam meregenerasi kader-kader Buddhis. Juga HIKMAHBUDHI menjadi representasi intelektual Buddhis sebagai gerakan mahasiswa yang aktif ikut serta membahas atau menyikapi isu-isu kebangsaan. Jika HIKMAHBUDHI “mandek” dalam gerakan maupun aktivitasnya maka harapan untuk mencetak kader-kader Buddhis yang mempunyai intelektualitas dan integritas akan jadi isapan jempol belaka, sedangkan jumlah umat setiap tahun kian makin merosot.

The post Rakernas XI HIKMAHBUDHI Gagal Kuorum appeared first on BuddhaZine.


Salim Lee Membabar Ajaran Borobudur pada Masyarakat Desa

$
0
0

“Selama hidup, saya belum pernah mendengar ajaran tentang Borobudur yang selengkap ini. Apa yang disampaikan Om Salim kemarin benar-benar baru dan menarik, hanya secuil ukiran saja ternyata banyak cerita dan kaya makna,” kata Sulis (57) setelah mengikuti Belajar Bersama (Belabar) Borobudur Kawedar kepada BuddhaZine, Selasa (2/4).

Menurut Sulis, pengetahuan tentang Borobudur ini sangat bermanfaat bagi dirinya, sebagai umat Buddha. Bahkan, Ketua RW 9, Desa Getas ini berharap suatu saat akan digelar lagi acara serupa. “Nek ono meneh kok matuk, seneng ngrungokno (kalau ada lagi bagus, senang sekali mendengarkannya),” paparnya.

Tak berbeda dengan Sulis, Ardian Permana (28), asal Wonosobo, juga merasa terkesan dengan materi yang disampaikan oleh Salim Lee. “Saat mendengarkan materi yang disampaikan Pak Salim, bagi saya ini kesempatan langka,” terang Ardian.

Meskipun begitu, Ardian merasa menyesal karena tidak bisa mengikuti acara sampai selesai. “Menyesal tidak bisa ikut full gara-gara ada undangan lain yang ternyata itu tidak terlalu penting. Pokoknya kalau ada acara belajar Borobudur (bersama Om Salim) lagi, saya harus ikut. Kalau bukunya sudah terbit, saya juga sangat berminat,” imbuhnya.

Belabar; Borobudur Kawedar digelar di Pendopo Paud Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Temanggung. Acara yang diikuti sekitar 70’an orang dari pelbagai daerah seperti; Yogyakarta, Jakarta, Wonosobo, Semarang, Jepara berlangsung selama tiga hari, Jumat–Minggu (29–31/3).

Memahami ajaran Borobudur

Candi Borobudur seakan tidak ada habisnya. Monumen kebanggaan Nusantara ini selalu mengundang kekaguman akan kejeniusan nenek moyang bangsa Nusantara. Ratusan pakar arkeologi dari seluruh dunia telah melahirkan ribuan buku dan makalah tentang Candi Borobudur, tetapi seolah masih mentok, belum bisa menerangkan secara utuh nilai ajaran dari bagian bawah sampai atas.

“Para pakar ini melihat Borobudur dari sudut macam-macam, tetapi sampai sekarang belum pernah ada makalah yang menerangkan secara keseluruhan, dari bawah sampai paling atas. Mengapa Borobudur dibuat, sebenarnya apa  fungsinya Borobudur itu, ceritanya bagaimana sih?” terang Om Salim.

Upasaka Salim Lee, telah belajar ajaran Buddha dengan guru-guru besar seperti; Yang Mulia Dalai Lama ke-14, Lama Zopa Rinpoche, Kirti Tsenshab Rinpoche. Pada tahun 1999, Om Salim diminta oleh Lama Trubten Zopa Rinpoche untuk mengajar dan memberikan bimbingan Dharma di Indonesia. Sejak itu, beliau menjadi pengajar tetap di Potowa Center, Jakarta hingga kini.

Om Salim berdomisili di Perth, Australia Barat. Ia memiliki pelbagai bidang usaha, di antaraya sebagai arsitek, konsultan, kontraktor, pengembangan dan pengelolaan panti jompo. Karena kecintaanya terhadap ajaran Borobudur, dalam kesibukannya mengelola berbagai usaha, Om Salim rela meluangkan waktu untuk membagikan pengetahuan Borobudur ke berbagai komunitas di Indonesia meskipun harus bolak-balik Australia – Indonesia. Termasuk kepada umat Buddha perdesaan Temanggung yang digelar di Dusun Krecek.

Om Salim tertarik mempelajari Candi Borobudur sejak menjadi mahasiswa S1 Universitas Diponegoro (Undip), Semarang 50 tahun lalu. Selain intensif mempelajari dan meneliti teks-teks Candi Borobudur dan Muarajambi, ia juga serius mempelajari filosofi agama Buddha dan perkembangan sejarah Buddhadharma di Nusantara dan Dunia.

“Saya rasa Borobudur ini kok luar biasa sekali ya, semakin kita pelajari, semakin dimengerti akan semakin jatuh cinta. Borobudur ini dibuat ada maksudnya, bukan untuk pamer atau gagah-gagahan raja pembuatnya,” jelasnya.

“Jadi, di Dusun Krecek ini pertama kali kita akan mempelajari secara lengkap ajaran Borobudur. Mulai dari panel-panel relief paling bawah sampai atas. Kita akan melihat Borobudur ini pentingnya apa sih keberadaannya, apakah ada bukti-buktinya? Apakah sampai sekarang masih ada efek-efeknya dan kegunaan buat kita-kita ini. Artinya, apakah warisan nenek moyang kita ini masih tetap kita nikmati, kalau ada seperti apa?” jelasnya.

Karena itu, Om Salim mengajak kepada umat Buddha terutama anak muda untuk lebih serius mempelajari Borobudur. Mempelajari dan mamahami pengetahuan Borobudur menurutnya merupakan salah satu upaya untuk melestarikan Candi Borobudur. “Candi Borobudur adalah bangunan fisik, sekeras apa pun kita menjaga dan melestarikan, batu-batu candi itu suatu saat pasti akan aus dan lama-lama akan hilang. Jadi saya sendiri punya pamrih di sini, pamrihnya supaya ajaran Borobudur ini bisa kita mengerti, kita lestarikan kemudian diteruskan kepada anak cucuk kita,” paparnya.

The post Salim Lee Membabar Ajaran Borobudur pada Masyarakat Desa appeared first on BuddhaZine.

Mempersiapkan Kelahiran yang Lebih Baik

$
0
0

Sudahkah anda mempersiapkan kelahiran yang lebih baik? Bisakah dari sekarang mempersiapkan kelahiran yang lebih baik? Bagaimana cara mempersiapkan kelahiran yang lebih baik?

Hadirilah Hokkian Dhamma Talk X
How to get a good rebirth?

Minggu, 26 Mei 2019
Pukul 13.00 – 17.00
Di Tiara Convention CenterNarasumber: Bhikkhu Dhammavuddho
Moderator: Rudi Hardjon Dhammaraja
MC: Junarita Sihois

Informasi Undangan:
Nickxon: 0852 6209 2887
Rety: 0822 7400 0900

Undangan dapat diperoleh di:
Vihara Mahasampatti: (061) 736 9410
Namaskara Galery: 0878.6813.0002

Atau secara online melalui Eventbrite http://bit.ly/Goodrebirth

Salam Metta,
DPD Patria Sumut

The post Mempersiapkan Kelahiran yang Lebih Baik appeared first on BuddhaZine.

5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Pertama)

$
0
0

Banyak artefak peninggalan sejarah di Indonesia yang mampu menjadi inspirasi bagi umat manusia. Salah satu contohnya adalah bangunan Candi Sojiwan di wilayah Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.

Candi Sojiwan bercorak Buddhis. Hal ini dibuktikan dengan bentuk candi yang memiliki beberapa stupa. Candi ini dibangun kira-kira pada pertengahan abad ke-9 Masehi. Menurut beberapa prasasti yang sekarang disimpan di Museum Nasional, Sojiwan kurang lebih dibangun antara tahun 842 dan 850 Masehi. Candi ini dibangun pada saat yang sama dengan Candi Plaosan dibangun.

Candi Sojiwan memiliki daya tarik tersendiri karena relief-relief di candi ini kebanyakan menggambarkan ajaran moral dalam bentuk cerita binatang (fabel) atau yang berhubungan dengan cerita-cerita Jataka atau Pancatantra yang berasal dari India. Cerita-cerita tersebut dapat menjadi renungan sehari-hari agar kehidupan manusia menjadi bijaksana.

Dari 20 relief ini, tinggal 19 relief yang sekarang masih ada. Sebanyak 15 relief di antaranya menceritakan ajaran moral, yang kesemuanya memiliki makna kebijaksanaan dan dapat dijadikan teladan bagi kehidupan kita. Dari belasan cerita itu, inilah cerita pilihan yang sangat inspiratif:

1. Relief Seorang Prajurit dan Pedagang

Relief ini merupakan cerita Dhawalamukha yang terdapat pada Kathasaritsagara, kitab dongeng abad ke-11 yang dikarang oleh Somadeva. Isinya tentang seorang punggawa kerajaan yang memiliki dua orang sahabat yaitu seorang prajurit dan seorang pedagang atau saudagar. Si prajurit siap melindungi bila punggawa mengalami gangguan. Demikian juga saudagar yang siap menolong dengan hartanya sewaktu-waktu bila punggawa itu memerlukan bantuannya.

Punggawa itu ingin menguji mereka. Ia berpura-pura sedang mengalami kesulitan yang tak terampuni oleh raja dan hal itu disampaikan kepada dua sahabatnya. Mendengar hal tersebut, sang saudagar berkata tak dapat berbuat apa-apa, tetapi si prajurit menyatakan siap dengan pedang dan tamengnya untuk membela si punggawa. Hal ini menunjukkan betapa sang prajurit memiliki rasa kesetiakawanan dan persaudaraan yang besar terhadap punggawa.

2. Relief Buaya dan Kera

Relief ini menggambarkan cerita Jataka mengenai seekor kera yang merupakan Bodhisattwa yang duduk di tepi sungai Gangga. Seekor buaya betina melihatnya dan berkeinginan memakan hati si kera, maka ia menceritakan maksud tersebut kepada buaya jantan dan menyuruhnya untuk menangkap si kera.

Buaya jantan menemui si kera dan menceritakan bahwa di seberang sungai terdapat pohon buah-buahan yang sedang berbuah dan memiliki rasa yang lezat. Buaya bersedia menyeberangkan si kera ke tempat tersebut bila ia ingin mengambil buah-buahan tersebut.

Si kera menyetujuinya dan naiklah si kera di atas punggung buaya. Sesampainya di tengah sungai buaya jantan berterus-terang mengatakan kepada si kera bahwa ia akan menangkapnya dan akan mengambil hatinya untuk makanan buaya betina. Maka si kera mengatakan kepada si buaya bahwa ia rela hatinya dimakan. Tapi sayangnya hatinya tertinggal di atas pohon di seberang sungai.

Maka diajaklah si buaya untuk mengambil hatinya tersebut dan buaya menyetujuinya dan mengantar si kera mengambil hatinya yang tertinggal di pohon seberang sungai. Sesampainya di pinggir sungai si kera langsung meloncat ke daratan dan melarikan diri dengan selamat. Buaya tidak dapat memakan hati si kera karena kecerdikan si kera untuk meloloskan diri dari maut.

3. Relief Perkelahian Banteng dan Singa

Relief ini menggambarkan sebuah cerita yang terdapat pada Pancatantra dengan judul usaha memisahkan persaudaraan. Banteng bernama Syatrabah semula bersahabat dengan singa tetapi karena fitnah seekor serigala bernama Dimnah.

Keduanya saling mencurigai dan terjadilah perkelahian antara keduanya. Akhirnya sang banteng dan singa, kedua-duanya tewas akibat hasutan dan fitnah dari serigala.

4. Relief Seorang Wanita dan Seekor Serigala

Relief ini menggambarkan kisah seorang wanita muda yang cantik. Dia merupakan istri dari seorang petani tua kaya. Ia merasa tidak bahagia dalam hidupnya. Lalu ia berjalan-jalan dan bertemu dengan seorang penyamun yang dengan licik memuji-muji kecantikannya.

Berbanggalah wanita itu dengan pujian dari sang penyamun dan menyetujui untuk membawa seluruh harta suaminya dan mengikuti penyamun itu. Ketika tiba di sebuah sungai dan akan menyeberang, si penyamun menyarankan agar harta dan pakaian wanita tersebut diseberangkan terlebih supaya tidak basah. Sang wanita tersebut setuju serta menyerahkan harta dan pakaiannya untuk diseberangkan oleh sang penyamun.

Setelah ditunggu-tunggu sang penyamun tidak datang kembali malah pergi dengan harta serta baju milik sang wanita tersebut. Ia merasa tertipu dan duduk termenung. Lantas muncul seekor serigala betina membawa daging di moncongnya. Karena melihat ikan yang amat banyak di sungai maka ia melepaskan daging dari mulutnya dan berharap mendaptkan banyak ikan.

Tetapi kesialan menimpa sang serigala betina tersebut. Ikan yang diharapkan tidak dapat tertangkap dan daging yang dilepaskannya pun hilang diambil oleh burung gagak. Baik sang wanita dan serigala betina mendapatkan pelajaran bahwa hidup harus disyukuri dengan apa adanya dan tidak mudah terlena oleh pujian.

5. Relief Pemburu dan Serigala

Relief ini menggambarkan sebuah kisah bagaimana ambisi yang berlebihan akan menyengsarakan. Di sebuah negeri bernama Kalyanakataka tinggallah seorang pemburu yang bernama Bhairawa. Suatu ketika ia pergi berburu di pegunungan Windhya dan mendapatkan seekor rusa.

Dipikullah hasil buruannya pulang. Sesampainya di tengah jalan bertemulah ia dengan babi hutan yang amat menakutkan. Segera ia menurunkan pikulannya dan mengambil anak panah beserta busur dan membidik babi hutan sampai terkena. Tetapi babi hutan itu belum mati. Kemudian terjadi perkelahian yang sengit antara pemburu dan babi hutan hingga kedua-duanya tewas dengan pemburu bersandar di sebuah pohon.

Selang beberapa saat datang serigala yang kelaparan ke tempat tersebut dan mendapatkan makanan yang berlimpah yaitu daging rusa, babi hutan, dan manusia. Tetapi ia tidak ingin tergesa-gesa dengan makanan tersebut. Ia memilih usus yang dipakai sebagai tali busur untuk dimakan.

Sial menimpa serigala tersebut. Ketika memakan tali busur tersebut maka meluncurlah panah yang telah dipasang oleh pemburu tepat mengenai rahang sang serigala dan tewas pula serigala tersebut.

The post 5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Pertama) appeared first on BuddhaZine.

Sutra Yesus

$
0
0

Teknik penyebaran ajaran agama di tempat yang baru dapat dilakukan melalui beragam cara. Salah satunya adalah dengan membaur dan meminjam istilah, cerita, konsep, dan ajaran dari agama yang sudah ada sebelumnya di tempat tersebut.

Contohnya dapat dilihat dari penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan cerita pewayangan di Jawa. Contoh lain juga dilakukan oleh para misionaris Kristen di Tiongkok pada abad ke-7 Masehi. Mereka meminjam istilah dan terminologi Buddhis dan Tao untuk berinteraksi dengan masyarakat Tiongkok pada zaman itu.

Koleksi dokumen yang dibuat serupa dengan Sutra-sutra Buddhis ini disebut dokumen Jingjiao atau dokumen Nestorian. Namun sekarang lebih sering dikenal dengan sebutan Sutra-Sutra Yesus. Menurut para ahli, sutra-sutra ini berasal dari 635 M, bersamaan dengan datangnya Alopen – seorang misionaris dari Gereja Timur/Nestorian, ke Tiongkok. Kedatangannya diterima oleh Kaisar Taizong dari Dinasti Tang di ibukota Chang’an. Hal ini terekam dalam artefak plakat Nestorian yang menandai pula kedatangan agama Kristen pertama di negeri Tiongkok.

Hal yang menarik dari teknik misionarisnya adalah penggunaan terminologi Buddhis di dalam banyak kitabnya. Bahkan Martin Palmer (2001 dalam The Jesus Sutras: Rediscovering the Lost Religion of Taoist Christianity) terus berupaya menyebut koleksi kitab ini sebagai sutra untuk mengkaitkannya dengan kitab-kitab Buddhis mengingat besarnya kecenderungan penggunaan terminologi Buddhis di dalamnya.

Dalam koleksi kitab ini, terdapat beberapa Sutra yang salah satunya adalah Sutra Mendengarkan Juru Selamat. Sutra dalam bahasa Mandarin ini menceritakan ajaran Kristen dan ditemukan dalam Gua-gua Mogao di Dunhuang yang terkenal sebagai Gua Seribu Buddha. Terdiri dari 206 syair, sutra ini menjabarkan ajaran fundamental Kristen. Sutra ini diawali dengan 20 syair pertama tentang konsep Tuhan dan para roh kudus yang melayaninya, dilanjutkan dengan penjelasan tentang manusia, dosa, dan moralitas. Selanjutnya sutra ini berbicara pula mengenai kelahiran dan kematian Yesus. Sekarang, kitab berisi sutra ini menjadi koleksi perpustakaan Kyou Shooku di Osaka, Jepang.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Sutra Yesus appeared first on BuddhaZine.

Agama dan Empati

$
0
0

Pakaiannya berlebihan. Ia seperti orang dari masa lalu dan dari dunia lain yang berkunjung ke bumi. Jalannya sangat percaya diri. Tak sadar, ia menjadi pusat perhatian sekitarnya.

Imannya tebal, namun dangkal. Ia percaya buta pada ajaran agama warisannya. Semua kata ditelan mentah-mentah. Jika disuruh membakar diri pun ia rela melakukannya.

Ia juga senang bergerombol. Jika sendirian, ia takut, dan tak percaya diri. Dengan bergerombol, ia bisa bersikap sombong dan seenaknya. Dengan bersembunyi di balik jubah agama, dan gemar bergerombol dengan teman-temannya, ia suka menindas orang-orang yang lebih lemah.

Ironinya, orang-orang semacam ini hanya “pasukan rendahan”. Mereka dipergunakan oleh kekuasaan yang sempit dan korup. Mereka menjadi alat penguasa yang busuk. Tak heran, mereka kerap kali mendapat banyak sponsor, baik dalam bentuk uang maupun nasi bungkus, hanya ketika peristiwa politik besar tiba.

Mereka juga menjadi mesin pendulang uang bagi penguasa busuk. Mereka rela memberikan uang mereka, kerap kali tanpa kejelasan, bagaimana uang itu dipergunakan. Akibatnya, segelintir elit politik, termasuk pemuka agama, hidup kaya raya. Sementara, pengikutnya hidup dalam kemiskinan yang mencekik.

Agama tanpa empati

Ini semua terjadi, karena agama kehilangan empati. Agama menjadi sistem yang mandiri, terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Agama juga hanya menjadi pelarian, karena sistem politik dan ekonomi yang bobrok. Agama tanpa empati berarti agama itu sudah kehilangan inti utamanya.

Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati berarti, orang menunda sudut pandangnya sendiri, dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Empati adalah inti dari dialog yang sehat. Di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia, empati adalah dasar dari kehidupan bersama yang sehat.

Mengapa di Indonesia, agama bisa kehilangan empati? Padahal, inti dari semua agama adalah sikap welas asih. Sikap ini lahir dari kesadaran mendalam, bahwa segala sesuatu adalah satu, yakni bagian dari alam semesta yang nyaris tak berhingga ini. Bentuk nyata dari ini adalah empati.

Ada empat sebab dari krisis empati. Pertama, pemahaman agama di Indonesia masih amat dangkal. Ajaran asing diambil begitu saja, tanpa pengolahan lebih jauh. Kedalaman dimiliki beberapa pihak, namun ia kurang tersebar di masyarakat luas, karena memang butuh usaha lebih besar untuk dipahami. Budaya berpikir instan zaman ini juga turut menyumbang dari kedangkalan pemahaman agama yang terjadi.

Dua, kedangkalan beragama juga lahir dari matinya sikap kritis. Sikap kritis adalah sikap tidak gampang percaya. Orang lalu mencari lebih dalam dari apa yang didengar atau dibacanya. Sikap kritis merupakan bagian penting dari pendidikan bermutu tinggi. Tanpa sikap kritis, empati juga akan tergilas oleh prasangka buta.

Tiga, krisis empati juga berakar pada krisis berpikir. Dunia pendidikan Indonesia memang tidak mendidik untuk berpikir, melainkan sekadar berhitung dan menghafal. Pola ini hanya menghasilkan kedangkalan, tidak hanya di dalam hidup beragama, tetapi juga di bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti politik maupun ekonomi. Ini bisa dilihat dengan mudah dari bagaimana kita di Indonesia mengelola kota-kota besar yang kita punya.

Empat, agama kehilangan empati, ketika ia hanya menjadi kendaraan politik dan ekonomi kelompok-kelompok busuk semata. Ajaran agama tidak diperhatikan. Moral tak diperhatikan. Empati lenyap ditelan udara. Yang tampak hanya kerumunan tak berpikir dan tanpa arah saja, siap untuk diperas oleh penguasa politik dan ekonomi busuk.

Lima, empati juga lenyap, ketika ketakutan berkuasa. Ketakutan membuat orang, atau kelompok, menjadi agresif. Ini terjadi, karena identitas dan ilmu pengetahuan mereka amat lemah serta dangkal. Kedalaman dan kokohnya identitas akan membawa pada sikap hening dan bersahaja.

Mengembalikan empati

Empati tidak akan pernah hilang. Ia adalah kemampuan alamiah manusia. Namun, ia harus dilatih. Ada empat hal yang kiranya bisa ditawarkan.

Pertama, kita harus mendalami agama sampai ke akarnya. Jangan hanya berhenti soal aturan, cara berpakaian atau penampilan luar semata. Inti dari semua agama adalah meleburnya jati diri kita dengan semesta, sehingga semua perbedaan hilang. Di titik ini, empati akan muncul secara alami.

Dua, Indonesia harus melakukan revolusi secara mendasar. Mutu pendidikan kita amat sangat rendah. Mendidik nurani, empati, dan akal budi harus dilakukan. Pola hafalan dan patuh buta harus disingkirkan.

Tiga, di ranah hukum, kita perlu untuk membuat aturan tegas pelarangan penggunaan agama untuk politik kekuasaan. Ajaran-ajaran agama bisa menjadi terang moralitas bagi arah politik. Tapi, ia tidak boleh digunakan di ruang publik untuk kepentingan politik sempit dan busuk. Aturan ini harus dibuat dasar hukumnya, dan diterapkan dengan tegas.

Empat, langkah terpenting adalah dengan mengembalikan spiritualitas ke dalam kehidupan. Agama adalah organisasi ciptaan manusia yang tak lepas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan kepentingan-kepentingan sempit lainnya. Sementara, spiritualitas adalah soal jalan hidup, supaya orang bisa menemukan dirinya yang sejati, dan menjadi tercerahkan. Di titik ini, empati akan muncul secara alami, karena empati adalah bagian penting dari spiritualitas.

Jalan Zen bisa menjadi satu kemungkinan, dari banyak kemungkinan lainnya. Zen adalah jalan hidup untuk menyentuh inti terdalam dari diri manusia. Inti ini bersifat abadi, jernih dan penuh kebijaksanaan. Hanya dengan ini, empati bisa muncul secara alami, dan mewarnai langsung kehidupan manusia. Agama, yang dipeluk dalam spiritualitas, akan membawa kedamaian, tidak hanya di dalam hubungan antar manusia, tetapi juga di dalam diri pribadi.

Bukankah itu yang kita semua inginkan?

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Agama dan Empati appeared first on BuddhaZine.

5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Kedua)

$
0
0

Candi Sojiwan bercorak Buddhis. Hal ini dibuktikan dengan bentuk candi yang memiliki beberapa stupa. Candi ini dibangun kira-kira pada pertengahan abad ke-9. Menurut beberapa prasasti yang sekarang disimpan di Museum Nasional, Sojiwan kurang lebih dibangun antara tahun 842 dan 850 Masehi.

Dari 20 relief, tinggal 19 relief yang sekarang masih ada. Sebanyak 15 relief di antaranya menceritakan ajaran moral, yang kesemuanya memiliki makna kebijaksanaan dan dapat dijadikan teladan bagi kehidupan kita. Dari belasan cerita itu, inilah cerita pilihan yang sangat inspiratif:

1. Relief Ketam Membalas Budi

Relief ini merupakan sebuah kisah bagaimana perbuatan baik akan mendapatkan kebaikan berupa keselamatan dan hidup harus dipenuhi perbuatan saling tolong menolong antarsesama. Tersebutlah seorang brahmana penyayang binatang bernama Dwijaiswara dari negeri Patala.

Pada suatu saat ia berada di gunung dan melihat seekor ketam bernama Astapada yang sekarat hendak mati karena kekeringan. Dipungutlah ketam itu lalu dibawa ke sungai untuk dilepaskan di sana. Karena kelelahan, berhentilah brahmana di dekat sungai dan tertidurlah sang brahmana bersandar pada sebuah pohon.

Sementara itu, seekor ular bersahabat dengan seekor gagak dan tengah berbincang untuk mencari mangsa manusia dan mengetahui sang brahmana yang sedang tertidur. Sang ketam dengan tidak sengaja mengetahui rencana tersebut dan mengkhawatirkan sang brahmana yang telah menolongnya.

Akhirnya ia memiliki siasat untuk bersahabat dengan kedua makhluk jahat tersebut dan mengutarakan ide bagaimana cara membunuh sang brahmana. Ular dan gagak setuju dengan rencana si ketam yaitu bila ingin memangsa sang brahmana harus dengan menjulurkan leher mereka sepanjang-panjangnya. Tetapi ular dan gagak tidak tahu caranya. Maka ketam menyuruh mereka untuk berusaha menjulurkan leher mereka tepat pada capitannya.

Ketika leher mereka berdua tepat berada di capitan si ketam, dengan cepat si ketam mencapit leher ular dan gagak sekuat tenaga hingga keduanya tewas. Dengan tewasnya ular dan gagak maka nyawa sang brahmana terselamatkan. Dan ketam telah membalas budi baik sang brahmana.

2. Relief Seekor Burung Berkepala Dua

Relief yang agak rusak ini mengisahkan sebuah cerita mengenai seekor burung berkepala dua yang bernama Bharanda. Pada suatu ketika salah satu kepala mendapatkan makanan yang lezat dan enggan berbagi dengan kepalanya yang satunya.

Ketika ia ditanya oleh kepalanya yang sebelah selalu menjawab nanti akan masuk ke dalam perut yang sama pula. Karena jengkel maka mulut yang satunya memutuskan memakan makanan beracun walaupun sudah diingatkan bahwa tindakannya berbahaya tetapi ia tidak peduli. Karena memakan makanan beracun maka Bharanda akhirnya tewas.

3. Relief Kambing dan Gajah

Relief ini menggambarkan usaha kambing untuk kembali menemukan kelompoknya karena ia telah terpisah. Ia bertemu dengan seekor gajah dan dengan segala daya upaya meminta sang gajah untuk mengantarkannya menemukan kelompoknya. Akhirnya gajah bersedia mengantarkan sang kambing dengan menggendongnya di punggung sang gajah.

4. Relief Lelaki dan Seekor Singa

Relief yang satu ini menceritakan tentang mimpi seorang menteri bernama Bhimaparakrama yang akan diserang singa. Namun melihat Bhimaparakrama bersiap melawan dengan pedang dan perisai, singa itu pun lari dan terus dikejar oleh Bhimaparakrama yang pemberani.

5. Relief Lembu Jantan dan Serigala

Dikisahkan seekor serigala jantan memiliki istri yang ingin sekali memakan buah zakar lembu. Meski di hutan banyak makanan tetapi sang istri bersikukuh ingin memakan makanan tersebut maka serigala jantan menyanggupinya. Dan ia bertemu dengan lembu jantan dan selalu mengikuti kemana pun lembu tersebut pergi dengan harapan bahwa kantung zakar si lembu akan terjatuh dan ia akan membawanya untuk sang istri.

Tetapi apa yang diharapkan tak kunjung terjadi, dengan hati resah ia pulang dan mengabarkan bahwa ia tak bisa memenuhi keinginan istrinya. Relief ini menggambarkan sebuah cerita mengenai bagaimana segala sesuatu harus berusaha diwujudkan dengan kemampuan tidak hanya berharap tanpa bertindak.

The post 5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Kedua) appeared first on BuddhaZine.

Mitoni, Upacara Tujuh Bulanan Kehamilan Buddhis

$
0
0

Api pawon (tungku tradisonal Jawa) tak pernah berhenti menganga, memanasi penanak nasi yang berukuran besar. Dapur berukuran 3 x 6 meter milik yang punya rumah tak mampu menampung banyaknya ibu-ibu memasak.

Pemandangan tak jauh berbeda terlihat di rumah sebelah, tungku-tungku berjajar dengan api menyala, melahap tumpukan kayu kering. Sementara kaum perempuan membuat aneka makanan di dapur, para lelaki sibuk membuat ancak (anyaman bambu), ketupat, memotong dan membelah kayu bakar hingga membersihkan jalan menuju sendang.

Rabu (12/4) mungkin menjadi salah satu hari terpenting dalam hidup Waltiyah dan Pujiyanto, warga Dusun Krecek, Temanggung. Hari itu, usia kandungan Waltiya telah mencapai tujuh bulan. Sebagai masyarakat Jawa pelbagai upacara slametan digelar saat hari-hari penting, termasuk upacara peringatan tujuh bulan kandungan, oleh warga Dusun Krecek disebut sebagai upacara mitoni atau tingkeban.

Mitoni

Bagi masyarakat Dusun Krecek, upacara mitoni tak jauh berbeda dengan orang punya gawe. Semua dilakukan dengan totalitas, melibatkan sanak saudara dan tetangga. Prosesnya juga dilakukan dengan sakral, hal-hal tersebut dimulai dari beberapa rangkaian prosesi.

Pertama; Nyajeni (memberi sesaji). Pada umumnya, masyarakat perdesaan hidup menyatu dan selaras dengan alam. Sumber mata air, tanaman, perempatan jalan, pawon, atap rumah, sendang merupakan bagian dari pemberi kehidupan. Saat punya gawe seperti pernikahan, khitan, gombak, sedekah dusun dan lain-lain, tempat-tempat seperti ini akan beri sesaji.

“Sebelum saya memangku Dusun (Krecek) ini, para pendahulu juga melakukan ini. Memberi sesaji sebagai bentuk rasa syukur atas kehidupan ini, juga pelimpahan jasa kepada mahkluk-mahkluk yang ada di situ,” kata Sukoyo, sesepuh Dusun Krecek.

Kedua; Memandikan orangtua calon jabang bayi. Dengan memakai jarik (ibu), sarung (ayah) kedua orangtua calon jabang bayi diarak dari rumahnya menuju sendang. Dengan membawa sapu dan batok berisi bunga, uang koin dan air dukun bayi berada di barisan terdepan diikuti oleh pasangan suami istri dan pengiring. Upacara mandi pasangan ini adalah inti dari upacara mitoni. Setelah upacara mandi pasangan selesai, para pengiring melakukan kendurian dengan rebutan makanan yang dibawa dari rumah.

Ketiga; Pujabhakti. Sebagai umat Buddha apalagi tinggal di dusun dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, pujabhakti membacakan parita-parita suci selalu dilakukan setiap acara. Pujabhakti diikuti oleh semua warga dusun (laki-laki). Selesai pujabhakti, yang punya rumah memberi suguhan makanan. Saat itu juga terlihat guyub rukunnya warga dusun Krecek.

Keempat, Kendurian. Bagi masyarakat Dusun Krecek, gendurian adalah proses yang tidak bisa ditinggalkan dalam setiap gawe, termasuk saat acara mitoni. Daun pisang dijajar memanjang, seluruh warga dusun (laki-laki) duduk berhadapan mengelilingi tumpeng dan aneka makanan. Manggalia (pemimpin ritual Buddha), membacakan doa bahasa Jawa dan parita-parita suci. Makan bersama dengan alas daun pisang menjadi penutup acara pada malam hari.

Tetapi acara tak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, mulai dini hari, para perempuan sudah sibuk kembali masak di dapur. Masakan ini digunakan untuk ater-ater (memberi makanan) kepada sanak saudara dan seluruh warga dusun.

The post Mitoni, Upacara Tujuh Bulanan Kehamilan Buddhis appeared first on BuddhaZine.


Tanam 1000 Bibit Pohon di Hutan Adat Orong Empak Panasan, Nusa Tenggara Barat

$
0
0

Manusia sebagai individu juga sebagai makhluk sosial (homosocius) artinya manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa individu lainnya, dan karenanya manusia secara hakiki bersifat sosial.

Sebagai individu tentu manusia tergantung dan terlibat dengan sesamanya dalam hidup bermasyarakat. Selain itu manusia sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial menjadikan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Terlihat secara sepontan manusia dapat merasakan bahwa ia memerlukan alam didalam memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu kita sebagai manusia hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk menjaga dan melestarikan alam.

Semangat kalyanamitta (kebersamaan) menjadi sangat relevan ketika berbicara kondisi alam (lingkungan) hari ini. Ketika kita dihadapkan pada persoalan dan berbagai dinamika lingkungan, harus dihadapi dan diselesaikan dengan semangat musyawarah kebersamaan.

Nilai dan semangat gotong royong harus diimplementasikan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi kalyanamitta (kebersamaan) dalam bermasyarakat. Mengingat bencana gempa bumi yang terjadi pada 5 Agustus 2018 lalu menyebabkan banyak pohon-pohon besar menjadi tumbang dan mati. Oleh karena itu ratusan generasi muda yang tergabung dalam Pemuda Buddhis Peduli Tegal Maja menggelar aksi “Penanaman 1000 Bibit Pohon” di hutan adat Orong Empak Panasan, Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kegiatan yang dilakukan kurang lebih 200’an orang pemuda Buddhis ini didukung oleh tiga organisasi kepemudaan yaitu: DPD SEKBER PMVBI NTB, PC HIKMAHBUDHI MATARAM dan DPC PATRIA KLU.

Kegiatan bertujuan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan antarpemuda Buddhis di Desa Tegal Maja dalam mewujudkan rasa kepedulian terhadap kelestarian alam (hutan adat). Selain itu kegiatan ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan adat sebagai penyeimbang alam setelah bencana gempa bumi 5 Agustus lalu yang banyak menyebabkan pohon-pohon menjadi tumbang dan mati serta banyaknya bangunan-bangunan suci yang menjadi tempat leluhur umat Buddha tidak terselamatkan.

Kegiatan penghijauan seperti sangat penting dilakukan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan memberikan harmoni bagi kehidupan antara manusia dan alam yang nantinya memberikan manfaat bagi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

The post Tanam 1000 Bibit Pohon di Hutan Adat Orong Empak Panasan, Nusa Tenggara Barat appeared first on BuddhaZine.

Belajar Kasunyatan dari Oblok-Oblok Singkong dan Mbayung

$
0
0

Oblok-oblok adalah makanan tradisional khas Jawa Tengah. Sayuran ini biasanya berbahan dasar daun singkong, dan diberi kuah parutan kelapa, yang menjadikannya gurih. Namun bisa saja berbahan dasar lain.

Salim Lee, seorang pakar Buddhis yang menjadi pengajar di Potowa Center menggunakan contoh sayuran itu, untuk menjelaskan Keshunyataan, atau yang dikenal dalam bahasa Jawa sebagai Kasunyatan, kebenaran yang tak terjelaskan.

Om Salim, begitu biasa ia disapa, menerangkannya pada puluhan warga desa di hari terakhir rangkaian acara Belajar; Borobudur Kawedar, yang digelar di Dusun Krecek, Desa Getas, Kaloran, Temanggung, Minggu (31/3).

Ia berdialog dengan Pak Koyo? [aku dengere koyo, bener gak?] salah seorang warga desa, bertanya tentang oblok-oblok apa yang paling enak. Menurut Pak Koyo, yang paling enak adalah oblok-oblok daun singkong. Sementara, menurut Om Salim, yang paling enak adalah oblok-oblok daun mbayung (lembayung).

Salim menjelaskan, bahwa semua orang bisa mengklaim kebenarannya masing-masing, termasuk mengklaim bahwa oblok-oblok singkong atau mbayung-lah yang paling enak. Namun pandangan seperti itu menurutnya sebenarnya keliru. Disebut paling enak karena ada si “aku’ di situ yang merasa bahwa oblok-oblok tertentu yang paling enak.

“Selama masih ada sosok ‘saya’ di latar belakang, masih ada subjeknya, akan selalu timbul saya senang itu, ndak senang ini,” terang Salim.

Ia menerangkan, konsep yang lebih pas adalah misalnya, “Oblok-oblok singkong adalah yang paling enak, menurut saya.” Jadi meskipun secara teori, kedua pihak bisa saling menghargai pendapat masing-masing, toh di hati kecil tiap-tiap orang masih ada pendapat oblok-oblok tertentulah yang paling enak. “Masih tetap ada aku-nya,” sambung Salim.

Salim lalu melanjutkan penjelasan, berpijak pada relief Gandawyuha di Borobudur. Relief ini hingga ke atas menuju stupa puncak menurutnya menjelaskan tentang realitas tertinggi.

Ia kembali mengajukan pertanyaan pada Pak Koyo. Kali ini dua pertanyaan. Yang pertama, dua tambah dua hasilnya berapa. Pertanyaan kedua, di Desa Getas, ada berapa dusun. Setelah kedua pertanyaan dijawab dengan benar, Om Salim kembali mengajukan pertanyaan, “Kebisaan untuk ngerti dua tambah dua sama dengan empat, dan di Desa Getas ada sembilan dusun, kebisaannya lho, ini sama atau tidak?”

Warga pun terdiam sesaat memikirkan pertanyaan ini. Beberapa mencoba menjawab dengan jawaban yang berbeda dan alasan yang berbeda pula.

Sampai akhirnya Salim memberikan petunjuk bahwa sebenarnya, menurut ajaran Buddha, kemampuan untuk bisa berpikir, kebisaan untuk mengetahui dan mengingat, adalah sama antara seorang manusia dengan manusia lain. Begitu pula misalnya kebisaan untuk masak oblok-oblok atau masakan lain, tetap sama, meski hasil masakannya bisa berbeda-beda rasanya antara seorang dengan yang lain.

“Tapi kita selalu menganggap ini beda, karena ini kebisaan saya, itu kebisaan kamu. Ternyata lho kebisaannya, kebisaannya ini sama,” tegas Salim.

Salim lantas meminta Pak Koyo membayangkan hadirnya gajah merah jambu yang berkaki enam, dengan kebisaan mental yang sudah dibahas itu. “Bisa,” kata Pak Koyo. Salim meminta semua warga membayangkan ada hujan durian yang buahnya tanpa duri. “Bisa,” kata Pak Koyo lagi. “Ini yang diajarkan di Gandawyuha Sutra,” ungkap Salim.

Ia memaparkan, kebisaan untuk tahu itu tidak terbatas. Apa saja bisa dibayangkan melalui pikiran. Pertanyaan selanjutnya dari Salim adalah, apakah kebisaan berpikir ini muncul terus? Bisakah kita melihat dan mendengar tanpa ada kebisaan itu?

Warga pun terdiam dengan pertanyaan yang mendalam ini. Salim pun mengubah pertanyaannya, “Pernah nggak kita merasakan sesuatu, mikir sesuatu, merasa iri hati, mau masak segala macam, tanpa kebisaan ini?”

“Iya bisa,” jawab Pak Koyo. “Bisanya di mana? Kalau nggak ada kebisaannya, bisa apa?” tanya balik Salim. “Ya menurut pola pikiran hati,” timpal Pak Koyo. “Ya tapi dari pola pikiran hati pun harus punya kebisaan tadi,” sanggah Salim.

Kebisaan yang tidak bisa disebut satu atau banyak inilah yang lalu disebut Salim sebagai Dharmakaya. Kebisaan ini tidak memiliki jenis kelamin, tidak terikat konsep saya dan kamu, tidak terbatas ruang dan waktu, selalu ajeg, tak berubah dan terus ada.

“Coba dipikir, kita semua dilandasi dengan kebisaan seperti ini sebenarnya, yang memungkinkan kita hidup. Di luar itu, mulai pakai kerangka, saya, kamu, perempuan, laki, dan sebagainya,” urai Salim.

Salim menjelaskan pula, semua Dharma (pengalaman) terkait kebisaan berpikir dan merasakan itu terjadi di Dharmadhatu. Menurutnya, Dharmadhatu tidak bisa ditunjuk, karena memang tidak ada tempatnya. Tapi tidak bisa juga dikatakan tidak ada, karena pengalaman batin itu ada.

“Ini yang disimbolkan dengan stupa-stupa [berjumlah] 32, 24, dan 16 di teras-teras Borobudur. Ini Dharmadhatu, di mana Dharmadhatu ini semuanya kemungkinan kejadian ada di situ bisa. Dua tambah dua sama dengan empat, gajah merah jambu, semua kejadiannya di Dharmadhatu,” paparnya.

Ia lantas mengajak hadirin untuk berlatih mengembangkan kualitas batin sehari-hari sesering mungkin di level Dharmakaya, dimana tidak ada aku-kamu, tidak ada kemarin-besok, hanya sekedar tahu.

“Tentunya di sini lho, berakhirnya dukkha.” Intinya Gandawyuha.

The post Belajar Kasunyatan dari Oblok-Oblok Singkong dan Mbayung appeared first on BuddhaZine.

Shoshin: Pikiran Para Pemula

$
0
0

Tahun 2005, dalam pidatonya di Universitas Stanford, mendiang Steve Jobs mengatakan ‘Stay Hungry, Stay Foolish.’ Ucapan ini lantas menjadi inspirasi bagi jutaan orang dan mungkin pula termasuk kita. Apa artinya dari ungkapan ini?

Menurut saya ini ada kaitannya dengan konsep Shoshin dalam tradisi Zen. Secara sederhana, shoshin berarti pikiran pemula. Jadi shoshin merujuk pada gagasan untuk melepas semua konsepsi-konsepsi yang sudah ada di dalam diri kita, dan memiliki sikap keterbukaan untuk mempelajari sesuatu selayaknya seorang murid atau pemula.

Hal ini sering dianggap bertolak belakang dengan pikiran para ahli. Para ahli adalah mereka yang sudah banyak mempelajari sesuatu dan memiliki keahlian serta penguasaan terhadap subjek itu. Karena mereka telah menguasai suatu subjek, terdapat kecenderungan pikiran tertutup, tidak menerima informasi baru dan beranggapan, ‘Saya sudah tahu tentang ini/Saya lebih tahu daripada kamu’. Akibatnya jelas, perkembangan informasi menjadi terhambat, bahkan cenderung menolaknya karena informasi baru itu tidak sesuai dengan apa yang sudah kita pelajari sebelumnya.

Sebaliknya, para pemula tentu adalah mereka yang pikirannya masih belum mengerti dan butuh belajar banyak hal. Kita dianggap selayaknya bayi atau murid yang baru belajar sesuatu. Coba ingat kembali, masa-masa paling berkembang kita justru adalah masa-masa yang mana kita masih belajar.

Pikiran kita kosong dan terbuka. Kita bersedia untuk belajar dan menerima semua informasi baru. Salah satu Zen Master Shunryu Suzuki mengatakan, “Dalam pikiran pemula terdapat banyak kemungkinan, tetapi dalam pikiran ahli hanya sedikit.” Ini juga yang menjelaskan mengapa dengan pikiran pemula kita dapat melakukan invensi (penemuan) dan inovasi.

Di sinilah letak keunikan konsep shoshin. Shoshin mengajak kita untuk memiliki pikiran pemula, terlepas dari status kita bahwa mungkin saat ini kita dianggap ahli. Dengan memiliki pikiran pemula, kita menjadi lebih terbuka dan mau belajar lagi dan lagi, sehingga invensi dan inovasi dapat tercipta. Bahkan, CEO Amazon dan sekaligus orang terkaya di dunia (Jeff Bezos) mengatakan bahwa kunci untuk sukses adalah dengan pikiran pemula untuk memecahkan sebuah masalah.

Praktik

Sama seperti praktik Buddhis lainnya, shoshin dapat dilatih dan dikembangkan dengan beberapa cara. Pertama, tetaplah bersikap rendah hati. Semua harus dimulai dari pikiran, bahwa kita tidak tahu banyak dan perlu belajar. Apabila kita tinggi hati, tentu sulit bagi kita untuk belajar dari banyak orang. Dengan kerendahan hati, kita akan bersedia untuk menyapa, berbincang, berdiskusi, dan belajar dari semua orang.

Kedua, mintalah nasihat. Meskipun kita mungkin sudah banyak mengetahui, sudah berumur dan mencicipi pahit manisnya dunia, tetap saja ada orang lain yang mungkin lebih mengetahui sesuatu yang tidak kita tahu. Dengan berdiskusi, meminta nasihat, kita akan belajar banyak dari orang lain. Ketiga, bacalah buku. Buku adalah jendela pengetahuan.

Mungkin tak terhitung sudah berapa banyak buku yang kita baca sedari mulai sekolah. Carilah buku-buku menarik dan bagus/bermanfaat. Bacalah mulai dari 1 atau 2 buku. Miliki target harian untuk membacanya. Kalau bisa, diskusikan isi buku itu dengan keluarga, teman atau orang lain yang hobinya sama. Keempat, diamlah sejenak. Biarkan diri dan pikiran kita punya waktu untuk beristirahat sejenak.

Bukan tidur, tapi memang istirahat. Kelima, diamlah sejenak part 2. Nah, saat berbincang dengan orang, cobalah untuk menjadi pendengar yang baik. Terkadang kita punya kecenderungan untuk menarik perhatian. Caranya adalah dengan berbicara dan terus berbicara. Bila kita terus berbicara, kapan kita akan mendengar dan menyerap pelajaran? Ingat, murid belajar dengan mendengarkan guru. Jadi, ketahuilah kapan waktu untuk berbicara dan kapan waktu untuk mendengar.

Keenam, lepaskanlah keinginan untuk selalu benar. Meskipun kita tidak setuju dengan pendapat seseorang ketika berdiskusi, kita tidak perlu mengoreksinya. Toh, mungkin saja pendapat dia yang benar meskipun terdengar konyol. Mungkin saja idenya akan menciptakan hal yang menakjubkan. Jadi jangan terburu-buru mengoreksi orang lain. Terakhir, seperti yang dikatakan Steve Jobs – stay foolish. Tetaplah bodoh tapi sadari bahwa oleh karena itu kita harus belajar!

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Shoshin: Pikiran Para Pemula appeared first on BuddhaZine.

Vesak Festival: Look Inside

$
0
0

Let’s Join Us for celebrate Vesak Festival 2019, the biggest Vesak Festival in Surabaya! #lookinside

Save the date guys! 15-19 May 2019 @Atrium Tunjungan Plaza 6 Surabaya

• Buddha Relics
• Art & Education
• Bathing Bodhisattva
• Enlightenment of Siddharta
• Parinibbana of Buddha
• Calligraphy Workshop
• Walking Meditation

For more information and updates, stay tune on our media social accounts:
Instagram: vesakfestival
Facebook: Vesak Festival
Website: www.vesak-festival.com/

Held by Mitra Uttama, UCBC, UKKB UBAYA, UKKB UNAIR, and TPKB ITS
Supported by Young Buddhist Association

The post Vesak Festival: Look Inside appeared first on BuddhaZine.

Borobudur yang Hidup, Kehidupan Umat Buddha

$
0
0

Candi Borobudur seolah tidak ada habisnya kita kupas. Nilai ajaran, kemegahan arsitektur serta pahatan bangunan candi yang sarat nilai filosofis mengundang tafsir banyak kalangan tentang kecanggihan dan kehebatan nenek moyang Nusantara pada masa lalu. Wajar apabila monumen Buddhis terbesar dan terlengkap di dunia ini masih menjadi andalan pariwisata Indonesia.

Menurut data Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (disparpora) Kabupaten Magelang, pada tahun 2018 saja, Candi Borobudur dikunjungi oleh 3.663.054 wisatawan dalam dan luar negeri. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya, apalagi saat ini pemerintah Indonesia sedang gencar melakukan promosi, memperbaiki akses, penyediaan jalur khusus untuk wisatawan mancanegara, termasuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Meningkatnya wisatawan ke Candi Borobudur tentu menjadi kabar baik, terutama bagi warga sekitar, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi, hanya mengandalkan Candi Borobudur tanpa memperhatikan kapasitas dan kelestariannya juga dinilai kurang bijak. Karena itu, menurut Salim Lee.

“Coba dihitung, jam bukanya Borobudur dibagi jumlah orang pengunjung, enggak akan cukup. Mas Yudi (salah satu pejabat Borobudur) bilang hari kedua Idul Fitri Borobudur itu paling ramai. Tahun lalu hampir 40 ribu, enggak bisa gerak, enggak bisa naik, nggak bisa turun. Menakutkan malah. Semua teras Borobudur penuh manusia, dari atas sampai bawah, bayangin,” katanya kepada BuddhaZine, disela acara Borobudur Kawedar, Sabtu (30/3).

“Saya kira kok mbok diatur, pakai karcis, karcismu dari jam 8-10 hanya mengeluarkan berapa karcis. ‘tapi kan Om Salim, semua turis kan datangnya pagi’. Biarkan kalau perlu pagi hari karcisnya dijual 3 kali lipat dari harga biasa. Kalau sekolah mungkin ada konsesi, dan saya kepinginnya grup-grup semacam itu ada pemandu. Pemandunya di atas tidak hanya menjelaskan, tetapi juga ikut njagani candi,” imbuhnya.

Ajaran Borobudur 

Candi Borobudur adalah salah satu bukti nyata kebesaran peradaban agama Buddha Nusantara. Peradaban agama Buddha memang sudah lama runtuh, tetapi nilai ajaran Buddhadharma masih lestari, terukir dalam relief-relief Candi Borobudur, menyatu dengan tradisi, budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar. Salah satunya yang terlihat di Dusun Krecek.

“Yang Anda sebut sebagai Nyadran, ini juga berasal dari kebudayaan Buddhis yang telah menyatu dengan kearifan lokal. Ini kan indah sekali, karena sudah menjadi kebudayaan lokal yang masih dilakukan bahkan tidak hanya umat Buddha. Tetapi Nyadran yang berasal dari kata Sraddha memang benar-benar dari ajaran Buddha,” jelas Om Salim menunjukkan foto-foto Nyadran warga Dusun Krecek.

“Juga gendurian limolasan (gendurian purnama atau uposatta) yang kemarin baru anda laksanakan. Ternyata uposatta ini juga dijalankan pada abad ke-7 dan hampir sama dengan yang Anda lakukan di sini, seperti yang tertulis dalam catatan I-Tsing. Ini luar biasa sekali kan, ternyata apa yang kalian anda disini sudah dilakukan pada abad ke tujuh. Jadi budaya-budaya seperti ini kalau kita jaga dan teruskan dari generasi ke generasi ini berharga sekali. Dusun atau desa yang punya budaya, pasti langgeng, orang-orangnya lebih teteg, karena ada pegangan, karena ada landasan,” imbuhnya.

Sedangkan Elizabeth D. Inandiak, seorang penyair, wartawan, dan penulis buku asal Perancis merasa terkesan setelah tinggal di Dusun Krecek selama empat hari. Ia berpendapat suasana perdesaan, tumbuh-tumbuhan, keramahan warga dengan segala aktivitasnya seperti yang ia jumpai dalam ukiran relief-relief di Borobudur. “Melihat tanaman, sawah, sayur, dan pohon-pohon ini saya merasa seperti melihat relief di Borobudur.”

Dusun Buddhis

Krecek, merupakan salah satu dari sembilan dusun di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Dusun Krecek berada di daerah pegunungan Temanggung Timur, berjarak sekitar 4 km. dari kantor kecamatan atau 8 km dari kantor kabupaten. Berdasarkan data kependudukan, dusun Krecek dihuni sekitar 70 kepala keluarga. Mereka rata-rata berpenghidupan sebagai petani dengan komoditas utama kopi.

Hingga saat ini, 99% masyarakat Dusun Krecek memeluk agama Buddha sebagai pedoman hidup sehari-hari. Karena itu, Dusun Krecek kerap menjadi pusat kegiatan umat Buddha Kabupaten Temanggung Timur dan Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Selain itu, keramahan masyarakat, kentalnya tradisi, adat, dan budaya memberi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa, anak-anak SMA, berbagai komunitas dan orang-orang kota datang dan menghabiskan waktu di dusun ini.

The post Borobudur yang Hidup, Kehidupan Umat Buddha appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live