Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Tulang Rahang Berusia Ribuan Tahun Ditemukan oleh Seorang Biksu

$
0
0

Seorang biksu memberikan fosil tersebut pada Lama di vihara yang berdekatan dengan lokasi ditemukannya tulang rahang ribuan tahun, kemudian menyerahkannya pada para peneliti.

Tiga puluh sembilan tahun yang lalu, seorang biksu memasuki sebuah gua terpencil untuk berdoa dan bermeditasi. Di dalam gua, ia menemukan separuh tulang rahang manusia.

Tulang rahang tersebut mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan. Sebuah analisa terhadap mandibula (bagian tulang rahang bawah), yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, mengungkapkan bahwa tulang tersebut milik seorang Denisovan – sekelompok manusia pra-sejarah, yang ada hubungannya dengan kaum Neanderthal – hidup 160.000 tahun yang lalu.

Mandibula tersebut adalah fosil Denisovan terbesar yang pernah ditemukan sekaligus merupakan satu-satunya yang ditemukan di luar gua tertentu di Siberia, 1.000 mil jauhnya dari tempat ditemukannya tulang rahang tersebut.

Gua tempat fosil tersebut ditemukan, gua sungai bawah tanah (Karst) Baishiya, merupakan sebuah tempat suci, yang populer di kalangan peziarah dan turis. Ketika biksu tersebut menemukan tulang, ia mengenali bahwa tulang tersebut bukan tulang rahang manusia pada umumnya, dan berpikir bahwa itu terlihat seperti “setengah tulang, setengah batu.”

Karena penemuan itu terasa istimewa, maka beliau menyerahkannya pada Lama Gungtang keenam, seorang guru penting di Wihara Labrang yang terletak di dekat lokasi, yang merupakan satu dari enam vihara agung aliran Gelugpa dalam Buddha Tibet.

Lama Gungtang merupakan ketua terdahulu dari Vihara Labrang, dan baru saja dibebaskan setelah 21 tahun dipenjarakan pihak Tiongkok. Lama Gungtang menyerahkan tulang tersebut pada para ilmuwan di Universitas Lanzhou.


Pintu masuk Gua Karst Baishiya. Sumber foto: Dongju Zhang/Universitas Lanzhou.

Para ilmuwan sangat sedikit yang mengetahui tentang kaum Denisovan. Manusia purba ini dianggap telah punah sekitar 50.000 tahun yang lalu, dan keberadaan mereka baru diketahui pada tahun 2010. Mereka merupakan sub-species manusia pertama dan diidentifikasi semata-mata berdasarkan genetikanya, alih-alih menggunakan peninggalan jasad. Hingga hari ini, hanya segenggam fosil Denisovan yang bisa ditemukan, secara harafiah – begitu sedikitnya hingga muat tertampung dalam mangkuk bubur sereal. Itu termasuk gigi, sekeping kecil tengkorak, serpihan tulang, dan secuil bagian jari.

Para ilmuwan mengembangkan (teori) bahwa kaum Danisovan melakukan kawin silang dengan Homo Sapiens. Beberapa orang dewasa ini memiliki sampai sekitar 5% DNA kaun Denisovan. Riset menemukan bahwa bangsa Tibet sepertinya mewarisi gen kaum Denisovan yang membantu mereka bertahan hidup di ketinggian. Setelah menemukan tulang rahang – di ketinggian 10.000 kaki di dataran tinggi Tibet – para ilmuwan kini memiliki gagasan yang lebih baik tentang mengapa kaum Denisovan memiliki gen tersebut. (Lionsroar.com)

The post Tulang Rahang Berusia Ribuan Tahun Ditemukan oleh Seorang Biksu appeared first on BuddhaZine.


Pesan Waisak di Wihara Ekayana Arama Teduhkan Tensi Politik

$
0
0

Rekapitulasi nasional Pemilu 2019 telah dituntaskan oleh KPU pada Selasa (21/5) dini hari. Tensi politik yang tinggi, berpotensi membuat disharmoni sosial di masyarakat.

Wihara Ekayana Arama, Duri Kepa, Jakarta Barat, Minggu (19/5) dipadati oleh ribuan umat Buddha. Acara diawali dengan pindapatta. Kemudian dilanjutkan dengan pujabhakti.

Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy yang menghadiri peringatan Waisak di Jakarta Barat, turut mengucapkan Waisak dan berpesan, “Pencoblosan sudah selesai, perbedaan yang ada dulu ayo kita satukan kembali, apalagi di Hari Raya Waisak ini kita jadikan momentum bersama-sama,” pesan Gatot.

Selain itu, hadir juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafruddin,  ia menyampaikan, “Ajaran agama merupakan pondasi perdamaian. Intisari agama adalah menyejukkan. Kebaikan menuntun kita untuk mencintai tanah air, Indonesia.”

Umat Buddha sadar bahwa merayakan Waisak bukan sekadar merenungkan kembali tiga peristiwa dalam kehidupan Buddha, yaitu kelahiran, penerangan sempurna, dan kemangkatan Buddha. Umat Buddha menjadikan Buddha sebagai teladan, mengikuti jejak-Nya dan mengamalkan ajaran-Nya.

Dalam pesan Waisaknya, Bhante Dharmavimala selaku Wakil Pimpinan Wihara Ekayana Arama menyampaikan, “Kita, apa pun sukunya, apa pun agamanya. Perlu mencintai tanah air kita. Kita dapat melakukan cinta itu dengan menerapkan agama Buddha dengan sebaik-baiknya.

“Menjaga persaudaraan, saling mengasihi. Kasih Buddha atau metta bersifat universal. Marilah kita semua mengembangkan persaudaraan yang sejati,” pesannya.

Bhante Dharmavimala menambahkan, “Tujuan dari semua itu, adalah mengharapkan semua makhluk hidup bahagia. Kita tidak boleh kehilangan cinta kasih. Karena kasih Buddha tidak membeda-bedakan,” pungkasnya.

The post Pesan Waisak di Wihara Ekayana Arama Teduhkan Tensi Politik appeared first on BuddhaZine.

Menjadi Buddhis di Era Millenial

$
0
0

Sore hari itu, di pelataran Vihara Dwipaloka, Parakan, Temanggung, sore hari, suasana begitu syahdu dan tenang. Puluhan orang berkumpul, di antaranya adalah umat vihara, sebagian lagi adalah umat dari vihara-vihara yang tersebar di sekitar Kota Parakan dan Temanggung.

Pujabhakti dimulai dengan membacakan paritta suci seperti biasa, kemudian dilanjutkan dengan meditasi dan berdana. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berusia diatas 45 tahun hingga berusia lanjut, baik laki-laki maupun perempuan.

Sebagian kecil di antaranya adalah remaja putra dan putri, dan duduk di antara umat-umat yang lainnya membentuk formasi huruf U. Setelah meditasi dan berdana selesai, saya diminta masuk ke dalam Dhammasala untuk memulai ceramah Dhamma Class di sore hari itu.

Saya menyampaikan kepada audiens, bahwa setelah mempelajari agama Buddha, kehidupan saya terasa lebih berwarna. Saya sangat senang dengan ajaran Buddha karena logikanya masuk di akal saya, dan jujur saya sangat termotivasi untuk terus belajar dan berlatih menjalankan ajaran-ajaran Dhamma yang sudah diberikan. Hal-hal tersebut mendorong saya menjadi manusia yang lebih bersemangat menjalani hari-hari dan lebih menghargai kehidupan saya sebagai manusia di muka bumi ini.

Kemudian saya membuka ceramah saya sore itu dengan memberikan sedikit penjelasan mengenai apa itu generasi millenial? Meskipun sebagian besar audiens berusia 45 tahun ke atas, yang berarti mereka adalah generasi baby boomer (generasi yang lahir sekitar tahun 1946-1965), namun saya tetap berminat untuk menjelaskan apa itu generasi millenial yang belakangan sering digembar-gemborkan di layar televisi, radio maupun media cetak. Paling tidak, itu akan membantu mereka untuk berkomunikasi secara lebih efektif dengan anak-anak generasi millenial.

Generasi millenial adalah generasi yang lahir pada sekitar tahun 1980 hingga 2000. Generasi ini memiliki ciri-ciri menyukai segala sesuatu yang instan, tidak ‘ribet’, serba cepat, praktis, mampu multitasking (mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan), mudah bosan, namun merupakan generasi yang kreatif, inovatif, dan selalu muncul dengan ide-ide baru yang segar dan tidak monoton.

Ternyata sebagian besar audiens pun mengakui hal tersebut, bahwa generasi millenial, seperti usia rata-rata putra putri mereka saat ini, merupakan generasi yang cepat bosan akan segala sesuatu, cenderung mudah berganti pekerjaan, dan terkesan kurang tekun di mata mereka.

Berbeda halnya dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi ‘baby boomer’ seperti generasi orangtua saya, cenderung lebih tekun dalam mengerjakan sesuatu, tidak mudah bosan, tidak bermasalah dengan suatu rutinitas selama bertahun-tahun, sehingga banyak generasi teman-teman orangtua kami yang bekerja pada suatu perusahaan dari usianya muda hingga pensiun.

Lalu di zaman yang serba instan dan cepat ini, masih mampukah para generasi millenial meneruskan ajaran-ajaran tradisional dan filosofi Buddhis dalam kehidupan sehari-hari mereka? Bangun pagi, rasanya ada yang kurang jika belum memegang HP dan membuka social media. Ketika mau makan, makanannya harus difoto dan di-posting terlebih dahulu. Ketika kumpul sama teman, sibuk selfie kemudian pegang gadget masing-masing, dan bukannya mengobrol satu sama lain.

Nah inilah yang dinamakan tantangan zaman, zaman yang serba canggih ini kita harus tetap dapat mengamalkan ajaran-ajaran Buddhis secara kreatif, inovatif, dan jauh lebih menarik dari zaman-zaman sebelumnya. Mungkinkah hal tersebut terjadi? Mungkinkah kami generasi millenial ini tetap bertahan dan menjadi semakin eksis di jalan Dhamma?

Tantangan zaman

Generasi millenial ini sering hanya mementingkan ‘container’ (bungkus luar), dibandingkan ‘content’ (kualitas, atau isi) dari sebuah ajaran. Content yang dimaksud di sini adalah ajaran murni Buddhadharma itu sendiri. Jika ditanya tentang isi ajaran Buddha yang sesungguhnya, mungkin kami akan kalah pengetahuannya jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelum kami. Tapi untuk membuat sebuah ‘bungkus’ menarik mengenai ajaran Buddha, kami dapat melakukannya secara lebih unggul.

Memang selalu akan ada plus dan minus dari setiap generasi. Namun hal ini tidak perlu diperdebatkan. Ambil saya sisi positif dari setiap generasi, untuk menutupi kelemahan generasi-generasi lainnya. Saya juga mengajak audiens untuk tetap mengamalkan semangat Boddhisattwa dalam menebarkan ajaran Dhamma, yang tanpa lelah dan pantang menyerah untuk mengajak semua makhluk menuju ‘pembebasan’ sejati.

Para Boddhisattwa ini menunda merealisasi Nibbana untuk meneruskan perjuangan tersebut hingga semua makhluk dapat terlepas dari lingkaran samsara. ‘Boddisattwa’ sendiri juga dapt diartikan sebagai manusia yang sedang menyempurnakan parami, dengan melakukan segala perbuatan baik demi semua makluk hidup.

Maksudnya di sini adalah, kita sebagai generasi millenial dapat meniru semangat perjuangan tanpa lelah ini, melalui organisasi, karya dan pekerjaan kita semua untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi, melalui semangat, pengorbanan, pikiran, tenaga dan pelayanan yang dapat kita lakukan untuk sesama, demi tercapainya kehidupan yang lebih baik untuk semua makluk. Baik dalam kehidupan pribadi, organisasi, maupun masyarakat.

The post Menjadi Buddhis di Era Millenial appeared first on BuddhaZine.

Ketika Zen Bertemu Ajaran Yesus

$
0
0

Dalam Injil disebutkan, manusia memiliki mata namun tak menggunakannya, mempunyai telinga tetapi tidak memakainya…

Acara dimoderatori oleh Hendra Lim, seorang pembicara dan juga merupakan pengajar di sebuah perguruan tinggi. Sedangkan Reza A.A. Wattimena, pengajar, penulis buku, dan penekun meditasi Zen.

Acara bedah buku berlangsung di Emporium Mall, Pluit, Jakarta Barat, pada Rabu (15/5) pukul 19.30 WIB. Bedah buku merupakan salah satu rangkaian acara Waisak Goes to Mall yang diselenggarakan oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBTI) mulai 14 hingga 19 Mei 2019.

Acara diskusi membedah proses kreatif dua bukunya yang diterbitkan oleh Penerbit Karaniya, dua buku tersebut berjudul, “Dengarkanlah” dan “Mencari ke Dalam”.

Dialog terjadi dengan cair, jauh dari kesan formal dan kaku. Reza berkisah bagaimana awal mulanya ia berjumpa dengan meditasi Zen sewaktu kuliah doktoral di Jerman, proses hidupnya dan penderitaannya membawa pada ajaran meditasi.

Dari pengalaman yang dipupuk dengan olah meditasi, Reza yang memang sering menulis buku-buku tentang filsafat membagikan pengalamannya. Buku, “Dengarkanlah” berisi tentang tema pengetahuan tentang Zen. Sedangkan buku, “Mencari ke Dalam” merupakan buku yang berisi pengalaman praktis ketika meditasi.

Dalam salah satu sesi tanya jawab, ada seorang pengajar di sebuah sekolah bernama Jear menanyakan, “Bagaimana caranya agar saya yang berkeyakinan Kristiani ketika belajar meditasi Zen, tidak berbenturan dengan iman saya?”

Reza menjawab, “Ada tiga kutipan di dalam injil yang mendekati tentang keadaan penuh kesadaran, kau punya mata dan telinga, namun tak melihat dan tak mendengar, itu kurang mindful, mikirin masa lalu, mikirin masa depan, kamu tidak di sini.

“Ketika matamu dipakai untuk melihat, dan telingamu untuk mendengar, melihat hanya untuk melihat, mendengar hanyauntuk mendengar. Kamu akan jernih, dan di sana kita akan menemukan Kerajaan Allah.

“Kerajaan Allah, ada di dalam hati kita. Ada di dalam diri kita, bukan di luar. Karena apa pun itu, pencerahan itu letaknya ada di dalam, bukan di luar, dengan begitu, kita akan kembali menjadi anak-anak.”

Reza menambahkan, “Silakan kalau tidak percaya, Anda boleh pergi ziarah ke berbagai tempat suci di penjuru dunia, kalau punya duit. Ya memang, Anda akan bahagia, tetapi apakah itu bahagia yang sesungguhnya? Memang akan terasa bahagia, bahagia atau sensasi bahagia?

“Tetapi setelah pulang ke rumah, kembali ke jalan, kena macet, kena deadline kerjaan. Itu bukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang bertahan lama, ada di dalam diri, karena itu mengembangkan kesadaran kita,” pungkasnya.

Reza A.A Wattimena mengasuh rumahfilsafat.com, aktif menulis di BuddhaZine.com, dan sering diundang sebagai pembicara. Doktor Filsafat lulusan Munich School of Philosophy, Jerman.

The post Ketika Zen Bertemu Ajaran Yesus appeared first on BuddhaZine.

Menyesap Keheningan Waisak di Dusun Buddhis, Krecek

$
0
0

Sabtu (18/5) sejak pagi hari, masyarakat Dusun Krecek, Temanggung sudah terlihat sibuk. Sebagian orang tengah bersiap di vihara. Membersihkan altar, ruang Dhammasala, membersihkan rupang juga merangkai bunga penghias altar.

Tak hanya di vihara, persiapan juga terlihat di lingkungan dusun. Rombongan yang terdiri dari anak-anak muda membersihkan jalan menuju sumber mata air. Sebagian mengambil kayu bakar, sebagian lagi membuat oncor (obor) untuk penerangan jalan.

Ibu-ibu pun tak kalah sibuk. Mereka bekerja sejak pagi buta di dapur, membuat makanan untuk makan bersama juga ada yang meracik sesaji.

Semua pekerjaan ini harus selesai sebelum jam tiga sore. Sebab, di waktu itu rangkaian upacara peringatan Waisak 2019 harus sudah dimulai dengan nyekar (tabur bunga) di makam leluhur yang berada di Dusun Gletuk.

Tepat pukul tiga sore, seluruh umat Buddha sudah berkumpul di Dhammasala. Pujabhakti Avamanggala (pelimpahan jasa) mengawali perjalanan mereka ke makam. Pemandangan menarik terlihat saat anak-anak, remaja, orang dewasa hingga para sesepuh dusun iring-iringan jalan kaki menuju makam yang berjarak sekitar 1 km.

Usai melakukan nyekar, acara dilanjutkan dengan prosesi pengambilan Tirta Waisak di tiga sumber mata air dusun.

Mengenakan pakaian Jawa, membawa sarana puja, sesaji, rupang dengan penerang obor, seluruh warga dusun berjalan penuh khidmat menuju sumber mata air. Purnama yang sudah terlihat menambah keelokan dan suasana sakral pada prosesi.

Tanpa istirahat, setelah prosesi diakhiri dengan pradaksina mengelilingi vihara sebanyak tiga kali yang berakhir sekitar pukul sepuluh malam, acara dilanjutkan dengan membaca paritta hingga purnama sempurna pukul 04.11 WIB.

The post Menyesap Keheningan Waisak di Dusun Buddhis, Krecek appeared first on BuddhaZine.

Vesak Festival 2019 Surabaya, Ajak Masyarakat Refleksi Diri

$
0
0

Vesak Festival 2019 resmi dibuka oleh Bhikku Sukhito, Pembina Umat Buddha Jawa Timur pada Rabu (15/5) di atrium Tunjungan Plaza 6, Surabaya. Festival yang dimotori oleh Young Buddhist Association (YBA) bekerja sama dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) beberapa universitas di Jawa Timur ini berlangsung selama lima hari, yaitu 15 – 19 Mei 2019. 

Ini adalah perhelatan Vesak Festival keempat yang digelar di Surabaya. Sebelumnya, pameran Waisak terbesar se-Jawa Timur ini telah dilaksanakan pada 2013, 2016 dan 2017. Meskipun sempat absen selama satu tahun, panitia merasa optimis penyelenggaraan kali ini akan berhasil mendatangkan pengunjung lebih dari 12 ribu orang, seperti yang dicapai pada tahun 2017.

 “Yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini kita didukung oleh tenaga-tenaga baru dari UKM – UKM, jadi kami yakin rasanya bisa mendatangkan 15 ribu pengunjung,” kata Limanyono Tanto, ketua panitia acara ini.

Menurut Liman, menyelenggarakan acara Waisak di mall sangat efektif untuk mengenalkan makna Waisak dan ajaran Buddha yang universal. Selain itu, juga menghindarkan dari vihara yang terkesan eksklusif. “Perayaan Waisak kalau di wihara terkesan eksklusif. Jadi, kita menggunakan mall untuk menyampaikan ajaran Buddha yang universal kepada masyarakat. Semua orang boleh hadir dan berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan kita. Cukup efektif untuk mengenalkan ajaran Buddha pada masyarakat,” katanya.

Untuk mengawali Vesak Festival, diadakan acara pembukaan pada Rabu, 15 Mei 2019 resmi dibuka dengan pemukulan gong oleh Bhikkhu Sukkhito yang juga dihadiri oleh Bhikkhu Jayamedho, Bhikkhu Dhammavicayo, Bhikkhu Tejapunyo, Bhikkhu Khemadharo, rektor berbagai universitas di Surabaya, Direktur Marketing Tunjungan Plaza, Wandani, dan berbagai umat Buddha dari Surabaya dan Sekitarnya.

Dalam pameran ini juga menampilkan diorama utama unik yang terbuat dari anyaman bambu yang dikerjakan oleh seniman asal Bali bernama Made. Diorama utama itu antara lain: Kelahiran Pangeran Siddharta Gotama, Pencerahan Sempurna oleh Pangeran Siddharta Gotama dengan tinggi 5 meter, dan Parinibbana Buddha sepanjang 4,5 meter. Bambu dipilih sebagai bahan yang dianggap dapat mengangkat serta mengenalkan kembali kesenian masyarakat kepada publik.

Tema yang diusung untuk Festival Waisak kali ini adalah Pandangan Benar (samma ditthi). “Pandangan benar adalah salah satu unsur dari delapan unsur yang diajarkan oleh Buddha. Untuk melakukan sesuatu itu harus berdasarkan pandangan benar dulu. Dalam praktiknya dengan cara intropeksi dan refleksi diri dalam mengenali tiga akar penderitaan: keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha),” tutur Limanyono Yanto.

Ada tampilan unik lainnya dari pameran ini, yakni berupa Ecobrik berbentuk stupa dan diorama gapura serta pohon pengharapan dari botol plastik yang merupakan hasil kerja sama antara panitia dengan Bank Sampah Induk (BSI) Surabaya.

Pembuatan Ecobrik bertujuan untuk mengurangi sampah dan botol plastik menjadi bata yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan berbagai sampah dan botol plastik ini juga disesuaikan dengan tema sosial yang diangkat oleh panitia berkaitan dengan lingkungan. Di dunia, permasalahan lingkungan pun menjadi bahasan yang penting.

Dalam pembuatan Ecobrik dan diorama gapura serta pohon pengharapan, panitia tidak membeli botol plastik dari BSI Surabaya. “Kita menggunakan botol plastik bukan beli, tapi kita datang ke BSI untuk memilah botol, terus dibersihkan, dicuci, dan diolah menjadi diorama-diorama. Waktu pengerjaan hampir dua bulan untuk 3.700 sampah botol plastik,” terang Limanyono Yanto.

Selain itu, pameran ini juga menampilkan Eco Vending Machine yang bertujuan untuk mengajak pengunjung agar berpartisipasi dalam menjaga lingkungan dengan cara menukar botol plastik bekas minuman mereka dengan souvenir menarik khas Vesak Festival 2019.

The post Vesak Festival 2019 Surabaya, Ajak Masyarakat Refleksi Diri appeared first on BuddhaZine.

Waisak di Candi Sojiwan, Tiga Langkah Satu Namaskara

$
0
0

Ratusan umat Buddha binaan Sangha Mahayana Indonesia (SMI) menjalankan prosesi San Bu Yi Bai, atau Tiga Langkah Satu Namaskara di Candi Sojiwan, Klaten, Jawa Tengah pada Minggu (19/5) pagi. Ini merupakan salah satu tradisi dalam Buddhis Mahayana yang dilakukan guna memperingati Trisuci Waisak 2563 BE/2019.

Prosesi diikuti oleh sekitar 300 umat yang berasal dari Jakarta dan Bandung, dipandu oleh Biksu Kusalasasana, Kepala Vihara Dharmasagara Jakarta dan Bandung, yang juga Ketua Umum SMI. Prosesi dimulai dari kawasan lapangan yang berjarak beberapa ratus meter dari Candi Plaosan.


Para biksu/biksuni dan umat berjalan pelan tanpa alas kaki sambil melafalkan nama Buddha Sakyamuni. Setiap berjalan tiga langkah, mereka kemudian bernamaskara. San Bu Yi Bai berlangsung cukup lama, yaitu sekitar 2,5 jam, dari sejak langit masih gelap, hingga mentari bersinar terang.

Banyak dari peserta yang terlihat berkeringat bercampur remahan pasir atau tanah yang menempel di dahi mereka usai bernamaskara. Para peserta yang sebagian adalah lansia dan anak-anak memiliki tekad dan semangat yang tinggi untuk menyelesaikan prosesi.

 

Prosesi tersebut menarik perhatian banyak warga masyarakat setempat, termasuk anak-anak. Mereka betah duduk di rute yang dilewati oleh prosesi umat Buddha, tanpa mengganggu kekhusyukan.

Barisan prosesi di paling depan adalah pembawa rupang Buddha, di belakangnya para biksu dan biksuni yang diikuti oleh umat. San Bu Yi Bai berakhir ketika barisan terdepan sudah mengelilingi candi. Barisan di belakangnya kemudian membentuk barisan mengelilingi candi. Ritual dipungkasi dengan pembacaan sutra yang dipimpin oleh para anggota Sangha.

The post Waisak di Candi Sojiwan, Tiga Langkah Satu Namaskara appeared first on BuddhaZine.

The Enchanted Lotus

$
0
0

Jakarta Buddhist Center mempersembahkan, Perayaan Hari Waisak Puja 2563 BE/2019 “The Enchanted Lotus”

Hari Waisak Puja merupakan salah satu hari raya Agama Buddha untuk memperingati 3 peristiwa penting dalam perjalanan hidup Sidharta Gautama, mulai dari kelahiran, mencapaian penerangan sempurna, hingga Parinibanna (wafat) Buddha Gautama.

Marilah kita bersama-sama memperingati Hari Waisak Puja melalui Puja Bakti bersama pada:

Hari/Tanggal: Kamis, 30 Mei 2019
dimulai tepat pukul 14.00 WIB
Lokasi: Hotel Santika, Kelapa Gading
yang akan dihadiri oleh Y.M.B Dhammakaro Mahathera, Y.M.B Atthadhiro Thera & YMB Sangha

Pada kesempatan ini, kami juga mengadakan Child Blessing bagi para orang tua yang ingin melakukan pemberkatan untuk putra-putrinya. Untuk registrasi dan informasi acara Child Blessing dapat menghubungi :
Floretta

Line : floretta.felling
WA : 087878104256

Acara Waisak Puja tidak dipungut biaya wajib. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Waisak Puja, dapat menghubungi:

Ellyana
Line: edsantika
WA: 082112657562

Valencia
Line: valencia2001
WA: 085695536855

Untuk registrasi online, dapat melalui
bit.ly/RegisWaisak2019

The post The Enchanted Lotus appeared first on BuddhaZine.


Dhamma for Life, Live for Dhamma

$
0
0

Namo Buddhaya teman-teman se-Dhamma. Keluarga Mahasiswa Buddhis Thiradhamma Universitas Gunadarna Proudly Present

“Perayaan Tri Suci Waisak 2563 B.E / 2019” Dengan tema “Dhamma For Life, Live For Dhamma”

Ayo Bergabung bersama kami dalam memeriahkan acara perayaan waisak yang akan diselenggarakan pada:

Hari/tanggal: Kamis, 30 Mei 2019
Waktu: Pukul 13.00 WIB s.d. Selesai
Tempat: Vihara Buddha Metta Arama (Jl. Terusan Lembang Blok D No.59 Rt 11/07, Jakarta)

Rangkaian acara:
1. Yifo
2. Puja bakti
3. Fangsen
4. Dhammadesana oleh:

Y.M Bhikkhu Kamsai Sumano Mahathera

Kami membuka kesempatan untuk teman-teman yang ingin berdana dalam bentuk kupon dana waisak + fangshen dengan nominal yang tidak ditentukan ,- atau bagi yang ingin berdana tanpa kupon dapat disalurkan melalui nomor rekening:

Bank BTPN Jenius
90012238575
a/n Meryse Bunnawan

NB: Harap memberikan angka 2 di digit terakhir angka yang ditransfer. Contoh Rp 100.002,-

COME AND JOIN US

Di tunggu kehadiran di acara waisak kami

Contact person:
Meiyanto (081807753566 / WA)
Noviyanti (085694552094 / WA)

Ig: @kmb_thiradhamma

The post Dhamma for Life, Live for Dhamma appeared first on BuddhaZine.

Waisakan di Candi Muaro Jambi

$
0
0

Pada Hari Trisuci Waisak 2563 BE/2019, Sangha Kadam Choeling Indonesia menghadiri acara Waisak bersama umat Buddha Jambi yang diadakan di Candi Muaro Jambi. Sebanyak 12 anggota Sangha bertolak ke Jambi untuk mengikuti serangkaian kegiatan yang diadakan di sana.

Biksu Lobsang Gyatso, salah satu anggota Sangha Kadam Choeling Indonesia yang juga bertindak sebagai Nayaka Sangha Vajrayana SAGIN, berkesempatan memberikan Ceramah Dharma. Berikut adalah kutipannya:

Tonglen sebagai Salah Satu Warisan Budaya Adiluhur dari Guru Suwarnadwipa

“Lama Serlingpa adalah seorang Guru dari Pulau Emas (Sumatera, Indonesia masa kini) yang berhati agung dan mulia. Beliau juga dikenal sebagai Mahaguru Dharmakirti. Selama banyak kehidupannya yang lampau Beliau telah dengan tekun bertekad dan mempraktikkan Batin Pencerahan Bodhicitta, suatu tekad batin yang agung untuk mencapai Kebuddhaan  yang sempurna dan lengkap demi menolong semua makhluk.”

Tonglen adalah nama ajaran yang dahulu dipraktikkan dengan penuh jiwa kepahlawanan namun tanpa kesombongan maupun arogansi apalagi radikal. Secara harafiah, kata “TONG” dalam bahasa Tibet dalam Bahasa Indonesia berarti ‘Memberi atau Mengasih.’ Sedangkan “LEN” artinya ‘Mengambil atau Menerima’. Bila dalam bait doa maka berbunyi sebagai berikut:

yatkiṃcijjagato duḥkhaṃ tatsarvaṃ mayi pacyatām
bodhisattvaśub haiḥ sarvair jagatsukhitamastu ca||56||

[56] DrOWEI DUGNGEL GANG CIANG RUNG, DE KUN DAG LA MIN GYUR CIG. JANGCHUB SEMPEI GEDUN GYIY, DrOWEI DE LA COYPAR SYOG.

Rasa sakit dan sengsara semua makhluk pengembara, semoga mereka seluruhnya berbuah pada diriku. Dan semoga kebajikan yang menemani para Bodhisattwa membawa kebahagiaan para makhluk. [Kidung Manggala Bakti, 2014: hal. 223].

Jadi, dari kutipan doa tersebut seorang praktisi memiliki aspirasi untuk MENGAMBIL atau MENERIMA: rasa sakit, sengsara, dan semua karma buruk, penghalang serta dosa-dosa atau kesalahan semua makhluk agar semua makhluk benar-benar bebas dari itu semua dan merasakan kebebasan selamanya. Yang DIKASIH atau DIBERIKAN: kebahagiaan, karma baik, akar kebajikan, pengalaman, sikap baik, dan perilaku baik para praktisi dan para Bodhisatwa beserta yang kita akumulasi.  Dengan kekuatan keyakinan, kita berdoa semoga semua makhluk memperoleh kebahagiaan dan berbagai sumber kebahagiaannya secara terus menerus. Begitu luhur, bukan?

Jejak-jejak ajaran antik di masa sekarang ini sesungguhnya terlihat dari budaya yang bisa dilihat dari bahasa Melayu, “basonyo wong Jambi” yang kemudian diserap ke dalam kata-kata wajib dalam pergaulan sosial yang bahagia, yaitu mengucap syukur TERIMA KASIH. Kata ini begitu menentramkan, mendamaikan dan membahagiakan baik bagi yang mengucapkan maupun yang mendengarnya bila dilakukan pada saat yang tepat dan dengan nada serta sikap yang tulus dan ikhlas.

Untuk memiliki kualitas yang begitu luhur selaras dengan ajaran warisan Guru Suwarnadwipa ini, butuh sebab-sebab yang mendukung sebagaimana pepatah Suku Kerinci yang berbunyi:

S’bab antin jatoh ‘nggang tirebang, s’bab gurun gajah nempuh artinya ranting yang jatuh dikarenakan burung enggang yang terbang, padang rumput layu karena dilalui gajah. Maknanya dikatakan bahwa segala peristiwa terjadi pasti karena ada sebab di baliknya. Tidak ada suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan.

Kita bukan secara kebetulan bisa hadir dan berkumpul di sini di Hari Waisak nan suci ini dan mendengarkan keagungan mengenai Guru dan Ajaran-Nya dari tempat yang suci ini, Candi Muaro Jambi. Semoga buah atau akibat ini menjadi sebab bagi kita sebagai umat Buddha, sebagai manusia yang berbudaya, sebagai Bangsa Indonesia, agar semakin mencintai nilai-nilai, falsafah, dan tradisi luhur nenek moyang kita yang telah diakui dunia.

Saatnya kita lebih mempererat persatuan kita untuk lebih memajukan agama, bangsa, dan negara yang kita cintai dengan melestarikan kearifan budaya adiluhur ini dalam kehidupan sehari-hari, dalam pergaulan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga tercapainya cita-cita para pendiri bangsa ini.

Semoga segala harapan semua makhluk untuk melatih batin pada Jalan Pencerahan sebagaimana diajarkan oleh Mahaguru Suwarnadwipa dapat dengan mudah diraih melalui semua instruksi Dharma beserta komentar yang telah diajarkan.

Semoga Bodhicitta yang belum tumbuh segera bangkit.

The post Waisakan di Candi Muaro Jambi appeared first on BuddhaZine.

Waisak KMBUI ke-31

$
0
0

Namo Buddhaya

Main Event Waisak KMBUI ke-31 yang sudah ditunggu tunggu selama ini akhirnya tinggal beberapa hari lagi loh…

Hari/tanggal: Sabtu, 1 Juni 2019
Pukul: 08.00 – 17.30
Tempat: Auditorium Pusgiwa Baru Universitas Indonesia

Segera daftarkan diri di www.waisakkmbui.com

For futher information
IG : @waisakkmbui
LINE : @xfu0144z

The 31st Annual Waisak KMBUI
-Revival of Virtuous Vigor In Life-
#31WaisakKMBUI
#KusalaViriya

The post Waisak KMBUI ke-31 appeared first on BuddhaZine.

Kenali 8 Jenis Karakter Anak

$
0
0

Pakar pendidikan Fidelis Waruwu di acara How Big is Your Love: Understanding Your Children’s Character di STAB Sriwijaya, Tangerang (4/05), sebuah acara yang diinisiasi oleh Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI), Penerbit Karaniya, dan Sekolah Tinggi Negeri Agama Buddha Negeri Sriwijaya (STABN Sriwijaya).

Fidelis menjelaskan banyak orangtua tidak mengenali karakter anak dan memberikan stimulan yang sesuai karakter. “Karakter berarti menetap dari lahir hingga dewasa… Karakter ini tidak mengenal agama atau budaya,” jelasnya.

Masalah timbul saat orangtua tidak mengenal karakter unik anaknya dan berasumsi bahwa anak itu sama seperti dirinya atau sama seperti anak yang lain. Orangtua tidak mampu merespon dan mendukung anak sehingga anak menjadi frustasi dan mengalami masalah perilaku.

Karakter bisa dibagi menjadi 8 kategori:

1. Ekstrovert vs Introvert

Anak-anak yang introvert suka melihat tamu tetapi dia selalu sembunyi di belakang orangtuanya. Sedangkan anak-anak ekstrovert, begitu ada tamu, dia langsung menunjukkan diri karena energinya datang dari komunikasi dengan orang-orang.

Alhasil, orangtua sering membandingkan anak yang ekstrovert dan introvert, sehingga direkam oleh anak introvert di pikirannya bahwa “saya tidak bisa” dan menjadi kurang percaya diri. Solusinya adalah orangtua sebaiknya membantu anak itu pemanasan. Begitu sudah nyaman, orang berkarakter introvert akan mampu tampil.

Anak introvert bagus untuk diberikan pelatihan public speaking dan komunikasi untuk menyeimbangi kecenderungannya. Sedangkan anak ekstrovert harus belajar untuk diam dan tenang, sehingga cocok untuk diberikan latihan meditasi.

2. Duluan Perasaan (Feeler) vs Duluan Pikiran (Thinker)

Setiap orang pasti menggunakan keduanya, baik perasaan maupun pikiran. Tetapi ada orang-orang yang cenderung menggunakan perasaannya terlebih dahulu, baru nanti mikir sehingga kadang dianggap suka baper (terbawa perasaan). Anak-anak seperti ini perlu diajak untuk berlatih critical thinking dan berasional.

Terkadang orangtua bertemu dengan anak yang suka berdebat dan menganggap anaknya suka melawan, anak-anak seperti itu kemungkinan adalah anak tipe pemikir, ada juga orang yang mikir dulu, baru menggunakan perasaan sehingga terkadang dibilang kurang empati. Anak-anak ini bisa dilatih dengan kunjungan ke panti asuhan, sering diajak untuk berempati.

3. Terorganisir (Judging) vs Fleksibel (Perceiving)

Anak terorganisir biasanya taat prosedur dan mengerjakan PR sebelum waktunya, mereka adalah perencana ulung namun agak kaku. Sedangkan anak perceiving lebih fleksibel mengikuti situasi saat itu dan bisa menjadi pionir hal-hal baru tapi kurang terorganisir.

4. Imajinatif vs Faktual

Ada anak-anak yang suka berimajinasi dan mengarang cerita, dan ada pula anak-anak yang suka fakta dan sains. Terkadang anak yang suka berimajinasi dicap sebagai pembohong, tanpa mendapat panduan bagaimana mengarahkan kemampuan imajinatifnya dengan sehat.

Semua orang, baik anak-anak maupun orang dewasa, punya kedelapan karakter ini. Hanya saja kadar masing-masing berbeda-beda sehingga ada karakter yang lebih menonjol daripada yang lainnya. “Tugas orangtua setelah memahami ini adalah memupuk bakat-bakat alami anak dan di sisi lain melatih meningkatkan yang masih kurang,” jelas Fidelis.

Selain karakter bawaan sejak lahir, ada juga karakter yang dibentuk oleh lingkungan seperti nilai kejujuran, loyalitas, dan disiplin. Di sini, peran orangtua semakin penting. “Ketika anak bermasalah, orangtua membawa anak ke psikolog dan bilang ‘Saya tidak tahu ini anak siapa, keturunan siapa?’ padahal siapa yang mengajari anak itu berbohong? Orangtuanya kan?” ungkap Fidelis.

Pada anak usia 0-12 tahun, kepribadian anak masih dominan dibentuk oleh keluarga dan sekolah. Ketika menginjak usia remaja, orangtua makin sulit membentuk anak karena tergantikan oleh teman-teman sebayanya sehingga perlu dibentuk karakter secara kelompok.

Tetapi yang paling sulit adalah membentuk karakter orang dewasa. Orang dewasa hanya bisa berubah jika dia mau sehingga krusial diperlukan self-awareness bahwa saya sadar saya perlu berubah dan saya mau berubah.

Maukah kita belajar berubah menjadi orangtua yang lebih baik?

Mariani Dewi

Bekerja sebagai dosen, penerjemah, dan copywriter. Pengurus di gurubuddhis.org. Mencoba belajar dan menerapkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari.

The post Kenali 8 Jenis Karakter Anak appeared first on BuddhaZine.

Hadiah Waisak 2019, Kebajikan yang Tak Pernah Lupa Kembali

$
0
0

PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang melalui pembinaan mental dan karakter bagi para WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang dilakukan setiap Sabtu di Vihara Kusala Cetana membuahkan kabar baik berupa penyerahan Remisi Khusus (RK) untuk Waisak tahun 2019. Pembinaan yang mulai dilakukan pada tahun 2011 oleh Dewan Penasihat PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang yaitu Hendra yang kemudian temurun mulai dari ketua cabang pertama hingga ketua cabang ke-4 saat ini yaitu Hardi.

Ada yang berbeda di Hari Tri Suci Waisak 2563BE/2019 kali ini, Para WBP yang setiap minggu selalu mengikuti kegiatan pembinaan mulai merasakan manfaatnya berupa Remisi (Masa Pengurangan Tahanan). Penyerahan SK Remisi Acara ini dihadiri oleh Kepala Sub Seksi Registrasi Syamsul Hidayat A.R (mewakili Kepala Lapas Pemuda Tangerang) beserta jajarannya, Dewan Penasihat PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang saudara Hendra (Acong) dan Ketua PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang saudara Hardi. Acara ini  berlangsung hikmat di ruang Dhammasala Vihara Kusala Cetana Lapas Pemuda Tangerang, Minggu (19/5).

Sebanyak 33 WBP yang beragama Buddha mendapat remisi khusus Waisak. Remisi Khusus I yaitu berupa masa pengurangan tahanan mulai dari 1 bulan hingga 1 bulan 15 hari, bahkan salah seorang WBP mendapatkan Remisi Khusus II yang mana WBP bisa langsung bebas.

Dalam sambutannya, Syamsul mengatakan bahwa remisi merupakan hak para WBP yang memenuhi syarat substantif dan administratif, para WBP pasti akan mendapatkannya tanpa pungli atau embel-embel lainnya. Dirinya juga mewakili Kepala Lapas untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak 2563BE/2019 kepada  seluruh para WBP yang beragama Buddha. “Semoga perayaan Waisak bisa menjadi momentum untuk menjadi lebih baik lagi, serta dapat terus meningkatkan kerukunan antar umat beragama,” paparnya.

Dalam kesempatan yang sama, Hendra (Acong) memberikan apresiasi atas acara penyerahan SK Remisi Khusus Waisak kepada para WBP. Menurutnya, hal ini merupakan wujud dari toleransi antar umat beragama yang telah berjalan di Lapas Pemuda Tangerang. “Selama 8 tahun ikut membantu pengurus Vihara Kusala Cetana Lapas Pemuda Tangerang, baru kali ini diselenggarakan acara penyerahan Remisi. Ini merupakan wujud penghargaan bagi kami, dan para WBP khususnya yang notabene minoritas,” tandas Hendra (Acong) selaku Dewan Penasihat PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang.

“Saya bersyukur kebajikan yang kita lakukan selama ini mulai terlihat, tidaklah ada sesuatu yang percuma saat kita berbuat baik, selama kita tetap merawat dan menjalankan kebaikan disetiap harinya, perubahan didalam diri dan lingkungan sekitar akan selalu terjadi,” Tambah Hardi ketua PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang. Kemudian acara ditutup dengan doa bersama secara agama Buddha.

The post Hadiah Waisak 2019, Kebajikan yang Tak Pernah Lupa Kembali appeared first on BuddhaZine.

Fudoshin: Pikiran Tak Tergoyahkan

$
0
0

Perlu ditekankan bahwa dengan konsep Fudoshin bukan berarti seseorang menjadi keras kepala, atau menolak dan marah ketika diberi masukan.

Dengan Fudoshin pikiran seseorang menjadi tetap tenang dan tak tergoyahkan untuk menyelesaikan permasalahan, tidak tergoda untuk lompat ke sana kemari.

Setelah sebelumnya kita sempat membahas tentang Shoshin – pikiran pemula, sekarang mari kita bahas konsep Fudoshin – pikiran yang tenang-seimbang. Fudoshin, secara harafiah berarti pikiran tak tergoyahkan, adalah sebuah keadaan mental yang mana kita merasa tenang-seimbang dan memiliki ketetapan hati meskipun berada di dalam keadaan penuh tekanan.

Apabila konsep Shoshin berguna saat kita sedang memulai sesuatu yang baru, bersinggungan dengan sesuatu yang baru; maka konsep Fudoshin sangat berguna ketika kita sedang stres. Praktik ini sangat bermanfaat bagi kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari yang serba tak menentu dan penuh tekanan. Contohnya, bagi seorang murid, bisa saja dia merasa takut dan khawatir ketika akan menghadapi ujian.

Bagi seorang yang sedang memilih kampus/jurusan, bisa saja dia merasa ragu-ragu dengan keputusan kampus/jurusan mana yang akan dia ambil. Demikian pula bagi para karyawan, bisa saja mereka merasa tidak aman dengan posisi pekerjaan yang telah mereka dapatkan selama ini.

Elemen-elemen ini dalam tradisi Zen Jepang disebut sebagai Shikai – 4 penyakit mental yang harus dikendalikan dan dihindari. Empat shikai ini adalah Kyo (kejutan/ketidakpastian), Ku (ketakutan), Gi (keraguan), dan Waku (kebingungan).

Secara sekilas 4 shikai ini mirip dengan beberapa elemen dari 5 rintangan batin atau nivarana dalam tradisi Theravada. Lima rintangan batin ini adalah Kamachanda (nafsu keinginan yang melekat), Byapada (niat buruk), Thinamidha (kemalasan dan kelelahan), Viccikiccha (keragu-raguan), dan Uddacha Kukkuccha (Kegelisahan dan kecemasan).

Penyakit-penyakit mental ini menyebabkan kita tidak mampu berkonsentrasi dengan benar. Akibatnya, kita menjadi tidak dapat memaksimalkan potensi kita untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Nah, di sinilah letak manfaat dari praktik Fudoshin.

Dengan melatih Fudoshin, kita menjadi yakin dan siap untuk menghadapi masalah dengan pikiran yang jernih. Tidak terdapat ruang keragu-raguan dalam pikiran kita. Tidak terdapat kepanikan atau kekhawatiran yang tidak perlu yang muncul di dalam pikiran kita.

Hal tersebut akan sangat berguna terutama di masa modern saat ini yang penuh dengan ketidakpastian dan godaan yang membuat kita kehilangan kendali (misalnya berita-berita hoaks yang sering membuat kita marah-marah sendiri). Tetapi karena berkaitan dengan konsentrasi, melatih Fudoshin tidaklah gampang. Hanya dengan pengalaman dan praktik konsentrasilah yang mampu membuat kita mengembangkan Fudoshin.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Fudoshin: Pikiran Tak Tergoyahkan appeared first on BuddhaZine.

Indah, Tenang, dan Khidmat Waisak di Candi Plaosan

$
0
0

Ratusan umat Buddha dari Jakarta dan beberapa wilayah di Jawa Tengah mengikuti acara Waisak 2563 BE/2019 yang digelar di Candi Plaosan, Klaten, Jawa Tengah. Ini adalah acara Waisak yang digelar oleh Caitya Maha Gridjakuta, Jakarta Barat.

Rangkaian Waisak di Plaosan dimulai dengan pengambilan air suci di Umbul Jumprit Temanggung pada (17/5). Selanjutnya, pengambilan api abadi dari Mrapen, Grobogan dilakukan pada (18/5). Pada malam Waisak, digelar arak-arakan menuju area candi. Selanjutnya, digelar sesi pelantunan sutra dan mantra menurut tradisi Mahayana yang dipimpin oleh Suhu Longshan.

Peringatan detik-detik Waisak di Candi Plaosan berlangsung khidmat. Rangkaian acara diakhiri dengan Yifo atau Upacara Pencurahan Air Bunga pada Pratima Bodhisattwa Siddhartha.


The post Indah, Tenang, dan Khidmat Waisak di Candi Plaosan appeared first on BuddhaZine.


Potret Perayaan Waisak di Australia

$
0
0

Australia adalah negara dengan beragam budaya. Negara ini telah menjadi tujuan bagi banyak orang di seluruh dunia.

Sensus 2011 mencatat 26% dari total populasi Australia lahir di negara lain, sedangkan 20% lainnya memiliki setidaknya salah satu orangtua yang lahir di negara lain. Komunitas migran ini membawa serta budaya, makanan, dan gaya hidup mereka ke Australia. Maka itu pantas bila Australia mendapat predikat sebagai negara multikultural.

Dalam rangka mempromosikan semangat inklusif, pemahaman budaya, pemberdayaan komunitas dan harmoni masyarakat, setiap tahun Australia mengadakan Multicultural Festival yang berbarengan dengan perayaan Waisak. Festival ini gratis dan biasa diadakan di Federation Square, Melbourne selama 2 hari.

Tahun ini, festival diselenggarakan pada Sabtu dan Minggu, 18-19 Mei 2019. Diperkirakan total pengunjung mencapai lebih dari 80.000 orang yang menikmati lebih dari 40 acara.

Selain acara-acara multikultural, tentu perayaan Waisak menjadi atraksi utama. Masyarakat Buddhis dari pelbagai negara bahu membahu mempersiapkan serangkaian acara peringatan Waisak di Melbourne, juga terdapat bazar makanan vegetarian yang menyediakan lebih dari 15 food stalls.

Acara-acara lainnya meliputi: meditasi, upacara minum teh, perahu naga, dan upacara lintas keyakinan. Berikut adalah beberapa foto yang berhasil dirangkai…

The post Potret Perayaan Waisak di Australia appeared first on BuddhaZine.

Dalai Lama: Pelecehan Seksual, Sudut Pandang Agama Buddha

$
0
0

Ursula Richard: Yang Mulia, saya ingin meminta Yang Mulia menyampaikan beberapa patah kata tentang tindakan pelecehan dalam agama Buddha maupun dalam institusi agama pada umumnya, dan bagaimana kita, selaku sebuah masyarakat, serta sebagai komunitas Buddhis, dapat menyikapinya serta mendukung para korban.

Yang Mulia Dalai Lama: Saat ini di Amerika, beberapa organisasi keagamaan, pimpinannya, dalam kenyataannya adalah orang Tibet, saya mengenalnya, ia bertindak … ia membuat aib bagi dirinya sendiri. Banyak dari siswa seniornya yang sekarang secara terang-terangan, sepertinya bertindak menentangnya. Ini benar!

Anda lihat, Buddha menyatakan, menyarankan kita, bahwa para pengikut Buddha seharusnya tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Buddha berdasarkan keyakinan semata, melainkan (melalui) penelitian menyeluruh dan percobaan. Jika beberapa dari ajaran Buddha bertentangan dengan akal sehat atau kenyataan, maka kita bebas untuk menolaknya. Karenanya, beberapa guru Nalanda juga menolak kata-kata Buddha sendiri.

Selanjutnya juga Anda lihat dalam tradisi Tibet, beberapa Lama besar menyatakan dengan sangat jelas bahwa pengabdian terhadap guru seseorang, atau Lama seseorang, itu penting. Tetapi pada saat yang sama, Anda seharusnya tidak mengikuti perilaku tertentu yang nampaknya salah dari guru Anda. Anda seharusnya mengkritisi guru Anda. Seperti itu. Demikianlah. Beberapa orang yang secara membuta, dengan keyakinan membuta menerapkan cara itu, itu tidak benar.

Kita mengikuti guru kita berlandaskan ajaran dasar Buddha. Jika guru pribadi kita mengemban ajaran Buddha dengan benar, maka kita mengikutinya. Jika seorang lama bertindak secara kurang senonoh, maka kita seharusnya menentangnya.

Jadi, ada sebuah kutipan dari sebuah naskah Tsongkhapa dari Lamrim yang berasal dari abad ke-14 di Tibet, yang dengan jelas memberitahu Anda tentang seperti apa hubungan antara guru dan murid ini, ketika Anda, selaku siswa, menghayati tindakan bermanfaat yang dilakukan oleh guru Anda, yang terkait dengan ajaran Buddhis, maka ikutilah dia, dan jika Anda melihat perilaku yang tidak berhubungan dengan prinsip-prinsip etika ini, maka jangan ikuti dia dan tolaklah hal itu.

Jadi, selaraslah dengan peraturan etika (sila), atau pertimbangkan guru Anda, atau ikuti guru Anda dalam kaitannya dengan peraturan etika, juga merupakan pusat utama dalam agama Buddha. Ini adalah pernyataan yang sangat jelas, bahwa hal ini bukan tentang membabi buta mengikuti guru.

“Jika seseorang menyarankan yang tidak konsisten dengan Dharma, hindarilah itu,” – Vinaya.

Beberapa siswa dari guru-guru seperti itu, yang bertindak dalam cara yang tidak pantas atau berperilaku dengan cara yang merusak, telah menyatakan pada saya, bahwa mereka memiliki kesulitan, mereka melihat kesalahan-kesalahan ini, pelanggaran, tetapi merasa, bagaimanapun juga, terhalang oleh kesetiaan mereka terhadap guru mereka, untuk secara terbuka mengecam sang guru.

Saya telah menjawab bahwa hal ini seharusnya bukan merupakan halangan, mereka seharusnya membebaskan diri mereka dari hal ini, dan mereka bisa mengandalkan pada naskah-naskah Buddhis dan prinsip-prinsip Buddhis (sila), yang, sebagai contohnya, secara gamblang dinyatakan dalam peraturan-peraturan vihara (vinaya), untuk mengikuti guru hanya jika sang guru sesuai dengan prinsip-prinsip etika, dan tidak mengikutinya jika guru tersebut tidak bertindak sesuai dengannya.

Hal itu merupakan hak mereka, serta sangat penting untuk bertindak seperti itu. Prinsip-prinsip etika tentang bagaimana berperilaku sebagai guru telah jelas dinyatakan dalam naskah Buddhis. Kasus-kasus pelecehan, yang dilaporkan, jelas-jelas bertentangan secara bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut. (Buddhism-controversy-blog.com)

The post Dalai Lama: Pelecehan Seksual, Sudut Pandang Agama Buddha appeared first on BuddhaZine.

Didi Nini Thowok Jadi Bintang Waisak 2019 di Candi Sewu

$
0
0

Waisak Nasional 2563 BE/2019 Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) di Candi Sewu, Klaten, Jawa Tengah pada Kamis (18-19/5) berlangsung semarak. Ribuan umat Buddha hadir, sebagian besar berasal dari DIY dan Jawa Tengah.

Perayaan malam Waisak dimulai sejak sore hari dengan prosesi dari Candi Plaosan menuju Candi Sewu. Arak-arakan budaya membawa api abadi dan air suci dari tujuh mata air.

Api abadi diambil dari Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan air suci diambil dari tujuh mata air, yaitu Umbul Jumprit (Temanggung), Umbul Pikatan (Temanggung), Candi Umbul (Temanggung), Umbul Senjoyo (Kabupaten Semarang), Umbul Jalatundo (Klaten), Umbul Pengging (Boyolali), dan Sendang Pitutur (Gunung Kidul).


Malam harinya, digelar perayaan di pelataran Candi Sewu, yang dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD. Setelah itu, pada tengah malam digelar pradaksina mengelilingi candi, sebelum dilakukan meditasi pada detik-detik Waisak pukul 04:11:00 WIB.

Salah satu momen yang mencuri perhatian hadirin adalah tampilnya maestro tari Indonesia, Didi Nini Thowok. Ia tampil membawakan Tari Topeng Walang Kekek, yang menggambarkan dua karakter yang berbeda, dari tradisi Jepang dan Indonesia. Tariannya yang khas ini lantas disambung dengan tari tradisi beberapa budaya di Nusantara. Gerak komedi yang menjadi ciri khasnya membuat gelak tawa hadir dari deretan penonton.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang datang usai menghadiri peringatan Waisak di Candi Borobudur berharap, berkah Trisuci Waisak mampu menjadikan kedamaian dan kebahagiaan bagi semua umat manusia. Ia mengajak semua umat beragama di Indonesia pesan penting,

“Jika setiap warga negara sadar memiliki bangsanya, maka negara akan kuat,” kata Lukman Hakim Saifuddin.

Ia mengajak umat beragama untuk beragama secara moderat. Artinya, umat beragama dapat memahami teks dalam konteks yang tepat. Jangan sampai fanatisme agama membentuk individu yang eksklusif yang berpotensi menimbulkan konflik antar umat beragama. Lukman juga mengutip Dhammapada Syair 197, yang menyatakan bahwa orang akan hidup berbahagia, jika bisa hidup tanpa membenci.

“Teladanilah perjalanan hidup Buddha Gotama yang merupakan figur perdamaian,” katanya.

Sementara Mahfud MD dalam sambutannya mengatakan, Indonesia bukan negara agama, artinya Indonesia tidak berdasar pada satu agama tertentu. Namun Indonesia juga bukan negara yang tidak peduli agama, atau negara sekuler.

“Indonesia adalah negara yang berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda warga negaranya dalam urusan beragama, tetapi bersatu untuk kehidupan bernegara,” tegasnya.

Karena itu, ia menegaskan, semua pemeluk agama di Indonesia harus diperlakukan secara sama, dan dilindungi dengan setara. Ia mengajak umat Buddha agar tidak takut pada agama mayoritas.

“Beragama itu adalah hak asasi yang paling dasar,” sambungnya.

Ketua Panitia Romo Suroso Sadewa Putra menyampaikan, tema “Mencintai Tanah Air Indonesia” dipilih berdasarkan fenomena bangsa saat ini. Tema tersebutlah yang menjadi spirit umat Buddha dalam menyikapi keadaan dan bangsa.

“Melalui perayaan diharapkan sebagai momentum untuk memperkuat tekad kita dalam mempraktekkan Buddha Dharma,” pungkasnya.

The post Didi Nini Thowok Jadi Bintang Waisak 2019 di Candi Sewu appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha Suku Tengger Waisakan di Kota Surabaya

$
0
0

Dengan pakaian adat khas Suku Tengger, mereka melakukan pujabhakti dalam tradisi Buddha Jawa Sunyata. Pujabhakti dimulai dengan sesembahan, yaitu mempersembahkan sarana puja; dupa, bunga, dan buah serta aneka sesaji pada Buddha.

Ada sajian menarik di Vesak Festival 2019, Tunjungan Plaza 6, Surabaya Kamis (16/5), yaitu hadirnya 63 umat Buddha Suku Tengger. Mereka hadir langsung dari Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.

“Tadi kita mulai dengan melakukan sesembahan, yaitu mempersembahkan dupa, bunga, buah dan sesajian itu adalah hormat kita kepada Buddha, Para Buddha dan Sanghyang. Ini juga yang kita lakukan kalau di Ngadas, kita mempunyai hasil bumi seperti kentang dan sebagainya kita persembahkan sebagai bentuk rasa syukur,” kata Supriyasih (41) salah satu umat Buddha Ngadas kepada BuddhaZine.

Setiap tahap pujabhakti dilakukan dengan penuh makna. Bagi umat Buddha Suku Tengger, sembahyang dimaknai sebagai wujud syukur atas segala berkah yang diterima. “Tadi diawal, kita manembah 7 kali, yang artinya kita bersyukur kepada tuhan atas berkah kesehatan. Selanjutnya, kita tadi juga melakukan penghormatan ke empat arah mata angin; utara, selatan, barat, dan timur,”  jelas Mistono, sesepuh umat Buddha Suku Tengger, Ngadas.

“Kita juga bersimpuh kepada bumi. Karena ibu bumi ini yang memberi segalanya, bumi tidak pernah mengeluh ketika kita kasih kotoran, kita injak dan kadang kita rusak. Tetapi lebih dari itu bumi ini yang memberi rezeki kepada kita, seperti yang kita rasakan di Ngadas sendiri.

“Kita menanam kentang, bawang, kubis, dan sebagainya. Kita tanam satu butir biji kentang mungkin bisa berlipat menjadi sepuluh biji kentang. Ini adalah berkah yang telah kita terima, kalau kita tidak merasa syukur dan sungkem kepada bumi ini seperti pepatah jawa ‘sasat kalah karo asu pangartine‘.”

Asu (anjing) kalau kita diberi makan, itu ekornya pasti kibot (bergerak), itu adalah wujud terima kasih asu kepada yang memberi. Lha kalau kita manusia sudah diberi berkah tetapi kalau tidak mau bersyukur, bersujud, sungkem kepada bumi ya seperti itu. ‘sasat kalah karo asu pangertine’,” lanjut Pak Mistono.

Pakaian adat khas Suku Tengger, pujabhakti memakai bahasa Jawa dengan segala gerakannya menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung Mall Tunjungan Plaza 6, terutama pengunjung Vesak Festival. Wajar saja, banyak pengunjung yang minta foto bersama mereka.

Trah Majapahit

Ngadas merupakan salah satu nama desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa ini berada di ketinggian 2200 mdpl dengan luas wilayah sekitar 395 hektar. Desa Ngadas terbagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Jarak Ijo dan Dusun Ngadas. Di Dusun Ngadas inilah tempat bermukim umat Buddha Suku Tengger.

Menurut cerita sesepuh umat Buddha Ngadas, agama Buddha telah ada sejak berdirinya Desa Ngadas tahun 1774. “Leluhur kami, pendiri Desa Ngadas berasal dari Majapahit yang mendirikan desa di hutan rimba pegunungan Tengger. Jadi bisa dikatakan umat Buddha Ngadas telah ada secara turun-temurun sejak tahun 1774,” cerita Pak Mistono.

Saat ini, setidaknya terdapat 229 kepala keluarga dengan 700 jiwa umat Buddha desa Ngadas. Mereka menjalankan ajaran Buddha Jawa Sunyata dengan pedoman kitab Adam Makno. “Dalam kebaktian, sesembahan dan meditasi yang tadi kami lakukan semua ada di kitab ini (menunjukkan kuning). Ini kitab yang diturunkan oleh Sanghyang Ismaya yang dipercaya sebagai perwujudan Semar,” jelas Supriasih.

The post Umat Buddha Suku Tengger Waisakan di Kota Surabaya appeared first on BuddhaZine.

Pengalamanku Ikut Program Latih Diri Pabajja Samanera Sementara

$
0
0

Program pabbajja yang aku ikuti ini merupakan program baru STI (Sangha Theravada Indonesia) yaitu Uppayuga Dhura yang lebih banyak praktik meditasi dan sedikit pelajaran teori, juga tidak ada latihan ceramah seperti program pabbajja terdahulu.

Pabajja sendiri berasal dari bahasa Pali yang berarti meninggalkan keduniawian. Sementara samanera berarti, calon bhikkhu.

Selama sepuluh hari aku mengikuti program pabbajja samanera sementara yang diadakan oleh Sangha Theravadha Indonesia (STI) yang bertempat di Vihara Dharma Surya Janggleng Kaloran, Temanggung. Pelatihan dimulai tanggal 5 hingga 15 Mei 2019 yang diikuti oleh 32 peserta dari Temanggung dan beberapa kota lain.

Sebelum penahbisan, para calon samanera mengikuti pelatihan persiapan pabbajja selama empat hari dengan menghafal parita penahbisan dan prosedur penahbisan. Hal-hal lucu yang selalu mengocok perut selama pelatihan menjadi kenangan yang tak terlupakan, saat beberapa kelompok yang terdiri dari samanera-samanera sepuh harus berulang-ulang menghafal paritta dalam keadaan jengkeng bahkan sampai ada yang lecet lututnya.

Sempat terasa berat untuk melanjutkan ikut pabbajja Samanera sementara apalagi harus melepas rambut gondrongku dan juga mengikuti peraturan bangun pagi-pagi sepertinya susah. Tetapi terdorong rasa penasaranku untuk mencoba ikut, akhirnya aku harus merelakan rambut dan juga siap merubah kebiasaan selama sepuluh hari. Hal yang sangat terkesan ketika potong rambut gundul plontos rasa dingin-dingin gimana gitu, habis cukur langsung mandi pas kepala dihandukin malah handuknya serasa ada rem cakram mandek seketika di kepala.

Rasa haru menyelimuti perasaanku saat aku bernamaskara di hadapan ibu menjelang penahbisan, begitu juga saat ibuku bernamaskara di hadapanku perasaan campur aduk nggak karuan. Setelah sesi penyerahan jubah akhirnya aku dan teman-teman calon peserta menerima jubah samanera dan mulai belajar memakainya. Bagi aku dan teman-teman yang baru pertama kali memakai jubah sedikit kaku dan seringkali melorot dan harus membenarkan lagi dan lagi. “Setiap saat kok dandan mulu,” celoteh salah satu peserta sambil tertawa.

Belum juga lancar memakai jubah, pikiran kami sudah harus fokus dengan rutinitas sebagai samanera yang harus bangun jam 04.00 WIB dan lanjut meditasi hinggan pukul 05.30 WIB. Rasanya wow sekali merasakan kaki pada kesemutan dan badan kaku semua saat pertama kali meditasi pagi selama satu jam.

Masih sambil merasakan kesemutan kegiatan dilanjutkan dengan merapal Sutta pagi hingga pukul 06.30 WIB, namun setelahnya kami bisa tersenyum lebar karena setelah merapal waktunya untuk sarapan pagi yang disediakan oleh umat. Sambil menyantap makanan muncul perasaan yang tak biasa ketika menyadari bahwa apa yang aku makan adalah dana dari umat, terbayang bagaimana susah payahnya umat menyiapkan segalanya.

Saat istirahat sesudah sarapan sebagian mengisi waktu untuk mandi dan merapikan kamar, ada juga yang sambil berbagi pengalaman hari pertama menjadi samanera. Hingga waktu belajar teori tiba kami semua berkumpul di ruang Dhammaseka untuk mengikuti pelajaran dari bhante. Di ujung sesi teori kami praktik meditasi hingga pukul 10.30 WIB.

Menjelang siang kembali kami bisa merasa senang saat mengikuti kegiatan yang paling ditunggu-tunggu yaitu jadwal pindapatta ke vihara-vihara sekitar Kaloran. Pindapatta menjadi pengobat kejenuhan menjalani pelatihan. Dari kegiatan pindapatta banyak hal-hal yang berkesan, aku menjadi paham bagaimana rasanya menjadi orang yang dihormati banyak umat, selalu disambut dengan bahagia setiap kali berkunjung ke vihara, dilayani dengan penuh kegembiraan. Rasa haru yang mendalam saat aku melihat senyum bahagia para umat saat memberikan dana makanan kepada kami.

Setelah beberapa hari mengikuti latihan ada satu hal yang akan selalu teringat saat berpindapatta, yang mana salah satu peserta pabbajja ada yang menjatuhkan mangkuknya hingga menimbulkan suara yang keras, ingin rasanya tertawa tapi berhubung sudah berjubah dan di depan banyak umat aku pun harus menahan tawaku.

Selesai pindapatta dan makan siang kami beristirahat hingga pukul 14.00 WIB dan dilanjutkan dengan meditasi siang serta pelajaran teori hingga pukul 17.00 WIB. Waktu jeda untuk istirahat dua jam kami gunakan untuk bersih diri dan ngopi hingga mulai kegiatan malam pada pukul 19.00 WIB. Malam hari kami merapal Sutta dan meditasi malam hingga jam istirahat pukul 21.00 WIB.

Rutinitas itulah yang kami lakukan selama sepuluh hari mengikuti pelatihan pabbajja, yang menambah keasyikan tersendiri kegiatan tidak hanya di satu tempat, namun juga dilanjutkan di Salatiga pada hari ke tujuh hingga hari terakhir. Tentunya selain kami berlatih juga kami bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan merasakan suasana baru di tempat lain.

Selama sepuluh hari aku mendapatkan banyak pengalaman dari yang lucu, unik, mengharukan, dan menyenangkan namun ada juga yang menyedihkan saat salah satu teman aku ada yang sakit demam hingga tak merasakan bermeditasi menggunakan tenda,“Wah aku gak ngerasain meditasi di tenda”, kata temenku. Ada juga rasa kecewa saat gagal bermeditasi di hutan pinus Thekelan Salatiga karena hujan turun menjelang berangkat ke hutan Pinus, “Tapi ada hikmahnya juga hujan turun sebelum kita berangkat, coba turunnya ketika kita sudah bermeditasi bisa-bisa masuk angin semua kita,” ujar Bhante Abhayanando menghibur kami.

Hampir di setiap sesi menghadirkan kelucuan tersendiri, ketika bermeditasi pagi menjelang siang adalah saat-saat terberat untuk bermeditasi karena ngantuk yang tak tertahan. Saking ngantuknya sempat aku melek dan mencoba untuk meditasi jalan, namun perhatianku kadang-kadang malah terfokus pada pemandangan pada teman-temanku yang duduk.

Rasa ingin tertawa menggelitikkku ketika melihat teman-temanku bermeditasi dalam keadaan ngantuk hingga tubuh mereka berayun-ayun bak rumput kering bergoyang tertiup angin bahkan ada juga yang sampai mendengkur.

Pernah aku tak mampu menahan tawaku saat merapal Sutta malam, saat itu dipimpin oleh bhante dengan nada suara yang sangat rendah hingga kami bersuara layaknya nada suara Werkudara/Bima dalam pewayangan. Semakin lama semakin tidak nyaman hingga aku meminta bagian pengangkat suara untuk menaikkan nada sedikit, namun yang terjadi malah pengangkat suaranya bernada terlalu tinggi, seketika aku dan temen-temen sebaris langsung tertawa tak henti-hentinya hingga sakit perut.

Di sisi lain pelatihan pabbajja mengajarkan aku bagaimana merubah kebiasaan-kebiasaan buruk menjadi kebiasaan-kebiasaan baik, disiplin waktu, disiplin aturan, pengendalian diri dan banyak pelajaran lain dari pelatihan ini. Hingga hari terakhir saat pelepasan jubah sebagai tanda berhenti mengikuti pelatihan Pabbajja pada 15 Mei. Meskipun awalnya berat untuk mengikuti pabbajja namun di akhir menjelang pelepasan jubah sesaat muncul rasa yang amat berat untuk melepas dan berhenti menjadi samanera namun akhirnya aku memilih untuk melepaskan jubah dan kembali menjadi umat awam, hingga kelak… siapa yang tahu….

The post Pengalamanku Ikut Program Latih Diri Pabajja Samanera Sementara appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live