Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Thich Nhat Hanh Mendapat Anugerah Gandhi Mandela Award 2019

$
0
0

“Inisiatif Damai Gandhi Mandela” adalah sebuah peristiwa tahunan yang dilaksanakan bersama oleh Dr Annurag Batra dari Yayasan Believe (India) dan Tarina Patel dari Yayasan Dr. Ramanbhai Patel (Afrika Selatan) untuk merayakan kemenangan dari Cinta terhadap Kebencian serta merayakan 150 tahun kehidupan Gandhi dan 100 tahun kehidupan Mandela yang mengilhami.

Pada tahun pertama tiga peristiwa akan mengambil tempat di New Delhi, (11 Juli), Mumbai, (12 Juli), dan Ahmedabad (13 Juli).  Peristiwa ini akan menggelar sebuah panel diskusi dengan topik-topik tentang Perdamaian Global bagi kaum muda, wanita, lingkungan, kesehatan, gender, sensitivitas, seni, dan sinema dengan catatan kunci yang dibawakan oleh pemimpin berpikiran besar pada masa kini.

Peristiwa ini juga menganugerahkan Penghargaan Inisiatif Perdamaian Gandhi Mandela pada para pemimpin dunia.  Pada awalnya juri Penghargaan Inisiatif Perdamaian Gandhi Mandela 2019 dipimpin oleh Arif Mohammed Khan (pemikir umum) dengan peserta Savita Hiremath (pembuat film), Tarina Patel (aktor), Dr Annurag Batra (publisher), Bhuvan Lall (pengarang) dan Manoharan Moses (jurnalis) memutuskan untuk memberikan penghargaan pada orang-orang berikut atas sumbangsih mereka yang patut dicatat terhadap kemanusiaan.

Medali Perdamaian Gandhi Mandela tahunan pada tahun 2019 telah diberikan pada Thich Nhat Hanh – yang merupakan pemimpin spiritual dunia, penyair dan aktivis perdamaian, dijunjung tinggi di seluruh dunia karena ajarannya yang penuh daya serta tulisan yang paling laris tentang perdamaian dan kesadaran penuh.  Beliau adalah orang yang disebut Martin Luther King “Seorang Nabi perdamaian dan tanpa kekerasan.”

Tiga penghargaan khusus telah diumumkan bagi orang-orang yang luar biasa berpengaruh karena sumbangsih dalam bidang lingkungan dan sosial:

Penghargaan Gandhi Mandela 2019 untuk Pengaruh Sosial: Dr Achyuta Samanta – pendiri Institut Teknologi Industri Kalinga (KIIT) dan Institut Ilmu-Ilmu Sosial Kalinga (KISS).

Penghargaan Gandhi Mandela 2019 untuk bidang Lingkungan: Mahendra Modi, DGP, IPS, Uttar Pradesh, India.

Penghargaan Gandhi Mandela 2019 untuk Perubahan Sosial Generasi Muda: Shabana Khan, Sneha dan Suman,  Action India, distrik Hapur, Uttar Pradesh, India. (Buddhistdoor.net)

The post Thich Nhat Hanh Mendapat Anugerah Gandhi Mandela Award 2019 appeared first on BuddhaZine.


Mengapa Gua Memegang Peranan Penting dalam Agama Buddha?

$
0
0

Pernahkah terlintas pertanyaan di atas? Mengapa para bhikkhu terutama bhikkhu-bhikkhu thudong sering kali mendiami gua-gua sebagai tempat tinggal dan bermeditasi. Padahal kalau dirunut dari sejarahnya, sejak dahulu kala manusia sudah memanfaatkan gua sebagai tempat bernaung.

Memang, seiring dengan perkembangan teknologi, manusia mulai membangun tempat tinggal, berkembang menjadi pusat perdagangan, hingga pada akhirnya menjadi sebuah kota. Tetapi dalam konteks perkembangan agama Buddha, gua memegang peranan penting.

Gua-gua yang dihuni oleh para bhikkhu ini bahkan dapat dianggap sebagai salah satu arsitektur peninggalan Buddhis yang penting yang menunjukkan teknik galian batu. Di tanah kelahiran Buddha sendiri, India memiliki tidak kurang dari 1500 gua dengan struktur galian batu yang menawan.

Contoh yang terkenal adalah Ajanta Caves, Bhaja Caves, dan Ellora Caves. Bahkan sudah sejak zaman kehidupan Buddha Gautama, para bhikkhu telah menempati gua-gua alami seperti Gua Saptaparni di barat daya Rajgir, Bihar. Banyak yang percaya bahwa gua ini merupakan tempat Buddha menghabiskan beberapa saat sebelum kematianNya dan tempat konsili pertama diselenggarakan setelah Buddha parinibbana. Buddha juga mendiami Gua Indrasala untuk meditasi, yang memulai tradisi memanfaatkan gua baik alami maupun buatan sebagai tempat retreat keagamaan.

Tradisi ini dibawa pula oleh para bhikkhu yang sedang dalam misionaris di Tiongkok, Korea dan tempat-tempat lainnya. Contohnya adalah Mogao Caves dan Bezeklik Caves di Tiongkok. Mogao Caves dikenal sebagai Gua Seribu Buddha terletak di persimpangan jalur Sutra, di Propinsi Gansu. Sedangkan Bezeklik Caves merupakan warisan dari Kerajaan Uyghur Barat yang terletak diantara kota Turpan dan Shanshan. Di Korea terdapat Seokguram Grotto yang merupakan bagian dari kompleks Kuil Bulguksa. Di Indonesia sendiri terdapat Gua Gajah yang dibangun pada abad 9 M di Bali.

Semua ini menunjukkan bahwa gua memang disukai sebagai tempat praktik meditasi bagi para bhikkhu di zaman dahulu kala. Hal ini karena beberapa sebab. Pertama, gua-gua ini mendukung praktik meditasi karena lokasinya yang jauh dari keramaian sehingga memiliki suasana yang tenang. Gua-gua juga memiliki suhu yang stabil sehingga memberikan keteduhan (sejuk di siang hari dan hangat di malam hari).

Tetapi tidak semua gua cocok untuk dihuni dan dijadikan tempat meditasi. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan. Pertama, menghindari gua-gua yang dikeramatkan. Berhubung banyak orang yang salah kaprah bahwa gua sebagai tempat keramat, melakukan praktek spiritualitas dan lain sebagainya, hal ini tentu mengusik ketenangan dalam berlatih meditasi. Kemudian juga gua-gua yang memiliki banyak hewan seperti kelelawar misalnya. Suara dan kotoran hewan dapat mengusik latihan meditasi dan bahkan dapat membawa wabah penyakit. Gua-gua dengan bukaan yang besar di sisi selatan atau barat dipercaya kurang cocok karena suhu yang tidak stabil. Juga gua-gua yang mudah runtuh sehingga membahayakan sebaiknya dihindari.

Terakhir, jarak lokasi gua dengan permukiman terdekat juga perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan para bhikkhu tetap perlu sewaktu-waktu mengunjungi permukiman warga untuk berpindapatta, atau sebaliknya mungkin ada warga yang ingin datang dan mendanakan makanan. Semua ini adalah hal-hal yang sebaiknya dipertimbangkan manakala seorang bhikkhu ingin mencari ketenangan dan berlatih meditasi di gua-gua.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Mengapa Gua Memegang Peranan Penting dalam Agama Buddha? appeared first on BuddhaZine.

Sampai Seribu Tahun Lamanya

$
0
0

Hidup yang utuh dan penuh. Hidup yang bermakna dan berbahagia. Ah, semua orang menginginkannya. Semua cara ditempuh untuk mencapainya.

Kata orang, uang akan membawa kebahagiaan. Punya uang berarti mendapat kehormatan. Orang bisa membeli apa pun, termasuk pengabdian dan kesetiaan orang lain. Namun, setelah diperoleh, hidup yang utuh dan penuh tak kunjung tiba. Yang berkunjung justru kecemasan dan kerakusan.

Namun, bukankah uang bisa membeli kenikmatan? Pada jumlah yang masuk akal, kenikmatan itu menyehatkan, seperti makan, belanja, seks dan sebagainya. Namun, jika ia dilihat sebagai sumber kebahagiaan, maka orang akan memeras kenikmatan. Derita pun akan berkunjung.

Setelah semua jalan ditempuh, kita pun akan sampai pada perasaan hampa. Dunia memang menyediakan kenikmatan. Namun, ia tak akan pernah memberi kebahagiaan. Kesadaran inilah yang mendorong kita untuk mencari ke dalam diri kita sendiri.

Jalan Zen

Dengan menengok ke dalam, kita sedang menempuh jalan Zen, yakni jalan meditasi. Derita dan kecewa tetap berkunjung. Namun, semua itu dijalani dengan kesadaran. Kesadaran, sebagai dasar dari semua pengalaman dan pikiran, inilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di titik ini, kita pun sadar. Penderitaan datang dari ingatan. Kita mengulang-ulang peristiwa yang telah lalu, dan hidup di masa lalu. Inilah trauma. Ingatan lalu menjadi sumber penderitaan besar bagi orang yang tak mampu melepas masa lalunya.

Sumber derita lainnya adalah bayangan. Kita berpikir berlebihan tentang sesuatu. Kita lalu menciptakan bayangan-bayangan yang tak nyata di dalam pikiran. Kita pun jadi takut terhadap masa depan yang belum tiba.

Mungkin, ini bukan hal baru bagi kita. Kita sudah pernah mendengar pandangan ini. Namun, entah mengapa, kita tetap jatuh lagi pada derita dan kecewa. Kita jatuh lagi pada lubang yang sama.

Jika jatuh, maka kita harus bangun lagi. Kita harus mencoba lagi untuk sadar, untuk terus hidup dalam kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya. Jatuh lagi. Bangun lagi… Sampai seribu tahun lamanya.

Tubuh dan pikiran

Sumber derita lainnya adalah tubuh. Ia akan sakit, menua dan hancur. Ini tak bisa dihindari. Inilah jalan alam semesta, yakni jalan Dharma. Namun, kita bukanlah tubuh kita. Tubuh hanyalah sisa dari semua makan yang pernah kita makan. Pendek kata, tubuh adalah tempat sampah. Walaupun ia penting, tubuh bukanlah diri sejati kita.

Begitu pula dengan pikiran. Ia bukanlah milik kita. Pikiran adalah ide-ide yang kita kumpulkan dalam hubungan dengan dunia sosial, sejak kita kecil. Pikiran penting untuk menjalani kehidupan. Namun, ia tetaplah tempat sampah dari lingkungan sosial kita.

Diri kita yang sejati bukanlah tubuh ataupun pikiran. Diri kita yang sejati tak punya tempat dan waktu. Ia berada sebelum tubuh dan pikiran. Pandangan ini juga bukan hal baru. Namun, walaupun memahaminya, kita tetap jatuh dalam derita dan kecewa. Cukup disadari, lalu bangun lagi dengan penuh kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya.

Ketidakpastian hidup

Hubungan antar manusia adalah sumber kebahagiaan besar. Ia memberikan rasa aman, sekaligus dukungan sosial dalam kehidupan. Namun, seringkali hubungan justru menjadi sumber penderitaan besar. Patah hati kerap membawa duka yang begitu mencekam, bahkan sampai mendorong orang melakukan bunuh diri.

Semua dilakukan dengan penuh kesadaran. Kebahagiaan datang. Kebahagiaan pergi. Sadar. Sadar. Sadar. Jatuh lagi. Bangun lagi. Hidup dengan kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya. Ini semua memang bagian dari perubahan. Perubahan menciptakan ketidakpastian. Semua teori dan ramalan runtuh, ketika kenyataan bersuara.

Tak selamanya pula kita akan beruntung. Terkadang, bisnis gagal. Rencana juga berantakan. Ini semua bagian dari perubahan yang tak akan pernah berhenti. Zen mengajarkan kita untuk tetap sadar di tengah perubahan yang ada. Kesadaran ini terwujud dalam “pikiran tidak tahu“. Kita tidak membuat penilaian. Kita juga tak membuat kesimpulan. Kita tetap menjadi “seorang pemula“.

Sekali lagi, ilmu ini bukan hal baru. Tetap saja, derita dan kecewa, akibat perubahan, tetap tiba. Jatuh lagi. Bangun lagi dengan penuh kesadaran. Sampai kapan?… Sampai seribu tahun lamanya.

Sampai seribu tahun lamanya

“Sampai seribu tahun lamanya“ berarti kita terus mencoba. Dalam jatuh bangun kehidupan, kita terus sadar dari saat ke saat. Kita tidak mengecek pikiran ataupun emosi yang muncul. Mereka datang, lalu mereka pergi. Kita jalan terus.

Kita terus mencoba kembali ke keadaan sebelum pikiran. Terkadang, emosi begitu kuat, dan kita larut. Terkadang, kita membuat kesalahan, dan melukai orang lain, maupun diri kita sendiri. Terkadang pula, kita lemah tak berdaya di hadapan ketidakpastian hidup.

Terkadang, kita putus asa. Terkadang, kita begitu marah pada keadaan yang tak kita inginkan. Ini semua adalah Dharma, yakni jalan alam semesta. Sejatinya, semua adalah jalan menuju pencerahan batin.

Apa pun yang terjadi, tetap sadar. Kembali ke saat ini. Seringkali, lelah dan penat berkunjung. Bangun lagi. Sadar lagi. Sampai kapan?

Anda sudah tahu jawabannya…..

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Sampai Seribu Tahun Lamanya appeared first on BuddhaZine.

Dusun Krecek dan Atmosfernya yang Mendukung Praktik Meditasi

$
0
0

“Meditasi adalah ajaran mendasar Buddha Gautama yang harus dipraktikkan semua orang. Tak hanya para samana dan kaum laki-laki saja, meditasi juga bisa dilakukan oleh kaum perempuan,” kata Bhante Santacitto saat pembukaan 48 Hours Mindfullnes Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Sabtu (10/8).

Pelatihan meditasi berlangsung selama 3 hari, mulai tanggal 10 – 13 Agustus 2019. Bhante Santacitto menjadi guru pembimbing tunggal dalam pelatihan yang diikuti oleh sekitar 25 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Selama mengikuti retret peserta diajarkan praktik meditasi dengan berbagai metode meditasi yaitu duduk, berdiri, berjalan serta meditasi di setiap saat. Tidak hanya menjalankan praktik meditasi namun para peserta juga melaksanakan atthasila selama mengikuti retret.

“Meditasi Buddhis adalah untuk mengembangkan batin, untuk menumbuhkan nilai-nilai batin yang luhur yaitu kebijaksanaan, kedisiplinan, kesabaran, ketenangan, keseimbangan batin, perhatian, konsentrasi. Lebih dari itu meditasi juga untuk melenyapkan kotoran batin yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang merupakan induk dari kotoran-kotoran batin lainnya.”

“Kotoran batin lain yang merupakan anak-anak dari induknya berwujud seperti kesombongan, iri hati, dendam, kesedihan, rendah diri, ketakutan, kekhawatiran dan kotoran lainnya. Kotoran batin ini muncul melalui setiap pintu indra yang kita punya sesuai dengan objeknya. Contoh mata menjadi pintu kotoran dari apa yang kita lihat, begitu juga dengan indra yang lainnya. Dan kotoran batin ini bisa muncul setiap saat, maka dari itu Buddha menganjurkan kita untuk meditasi setiap saat demi melenyapkan kotoran batin kita,” kata terang bhante.

Lebih dalam bhante menjelaskan bahwa apa pun yang kita lakukan setiap saat bisa menjadi sarana untuk meditasi. Kuncinya adalah dengan menyadari apa yang sedang kita lakukan, karena pikiran kita sangat liar seperti monyet yang tak pernah bisa diam.

Dengan meditasi kita belajar mengendalikan pikiran kita agar tidak liar dan menyadari apa yang sedang berlangsung saat ini juga. Cara untuk mengendalikan pikiran kita, kita harus tahu dulu bahwa pikiran kita liar dan senang sekali mengembara.

Menurut bhante, sati atau kewaspadaan adalah alat yang bisa kita gunakan untuk menjinakkan pikiran liar kita. Dalam masyarakat Jawa istilah sati biasa disebut dengan ungkapan eling lan waspada. Sebagai perumpamaan eling adalah seperti tali (dadung) yang digunakan untuk mengikat seekor sapi supaya tidak menjadi liar. Namun tali saja tidak cukup, supaya sapi tidak menjadi liar butuh tiang untuk mengikatkan tali tersebut. Tiang merupakan perumpamaan bagi objek meditasi.

“Seumpama pikiran ini sapi, tali dan tiang adalah menjadi sati dan objek meditasi. Dalam latihan ini kita akan menggunakan obyek napas pada saat meditasi duduk dan berdiri. Namun ketika meditasi berjalan yang juga di dalamnya ada meditasi berdiri kita akan menggunakan objek sentuhan telapak kaki pada media berjalan kita.

“Untuk meditasi setiap saat kita menggunakan kesadaran akan apa yang kita sedang lakukan sebagai objek, jadi kita harus menyadari betul apa yang sedang kita lakukan baik itu saat makan, minum, berjalan, mandi, apa pun yang sedang kita lakukan kita sadari. Ini sati,” lanjut Bhante.

Lokasi meditasi selama retret tidak hanya terpusat dalam satu tempat, namun peserta akan diajak untuk melakukan meditasi di lokasi yang berbeda-beda. Satu waktu di dalam Dhammasala, satu waktu di luar ruangan, satu waktu di Pendopo Dusun Krecek dan sementara di waktu lain peserta akan diajak untuk bermeditasi di saung meditasi dusun Krecek.

Saung Dusun Krecek menjadi lokasi yang paling menarik para peserta retret mengingat lokasi saung yang berada di atas bukit dan terpisah dari pemukiman warga, suasana yang sunyi, semilir angin yang sejuk dan dingin mengkondisikan konsentrasi yang lebih baik.

Bagi warga Dusun Krecek, retret ini menjadi satu kesempatan yang sangat baik karena para umat umat Buddha Dusun Krecek bisa turut serta mengikuti latihan ini setelah selesai dengan pekerjaan rumah mereka masing-masing.

The post Dusun Krecek dan Atmosfernya yang Mendukung Praktik Meditasi appeared first on BuddhaZine.

Menyimak Sisa Keagungan Majapahit di Museum Trowulan

$
0
0

Berkunjung ke kawasan Trowulan, tak lengkap tanpa mengunjungi Museum Trowulan, di bekas kawasan berdirinya Kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur. Museum ini dibangun untuk menyimpan berbagai artefak dan temuan arkeologi yang ditemukan di sekitar Trowulan.

Museum yang juga disebut Pusat Informasi Majapahit ini didominasi oleh benda cagar budaya yang tentunya peninggalan Majapahit. Melalui peninggalan-peninggalan tersebut beberapa aspek budaya Majapahit seperti bidang pertanian, irigasi, arsitektur, perdagangan, perindustrian, agama, dan kesenian, dapat dikaji lebih lanjut. Keseluruhan koleksi tersebut ditata di gedung, pendapa maupun halaman museum.

Berdasarkan bahannya, koleksi Museum Trowulan yang dipamerkan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yakni:

1. Koleksi Tanah Liat (Terakota)
Mencakup Koleksi Terakota Manusia, Alat-alat Produksi, Alat-alat Rumah Tangga, Arsitektur.

2. Koleksi Keramik
Koleksi keramik yang ada berasal dari beberapa negara asing seperti Tiongkok, Thailand, dan Vietnam. Keramik-keramik tersebut pun memiliki berbagai bentuk dan fungsi, seperti guci, teko, piring, mangkuk, sendok, dan vas bunga.

3. Koleksi Logam
Meliputi koleksi mata uang kuno, koleksi alat-alat uparaca seperti bokor, pedupaan, lampu, cermin, guci dan genta, dan koleksi alat musik.

4. Koleksi Batu
Dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut: Koleksi Miniatur dan Komponen Candi, Koleksi Arca, Koleksi Relief, Koleksi Prasasti.

Sementara itu, koleksi benda cagar budaya yang berbahan batu yang dimiliki juga berupa alat-alat dan fosil binatang dari masa prasejarah. Beberapa rupang yang terkait dengan tradisi Buddhis seperti Buddha atau Bodhisattwa juga bisa ditemukan di sini.

Museum yang didirikan tahun 1926 ini terletak di Jalan Raya Pendopo Agung Trowulan, Jawa Timur, dan bisa dimasuki dengan membeli tiket seharga Rp. 5000 untuk WNI umum.

Jam kunjungannya:
Selasa – Minggu 07.30-15.30
Jumat 11.30-12.30 tutup
Senin dan hari libur nasional tutup

The post Menyimak Sisa Keagungan Majapahit di Museum Trowulan appeared first on BuddhaZine.

Master Hsing Yun dan Komunitas Buddhis Tiongkok Global

$
0
0

Master Hsing Yun lahir pada tahun 1927 di Provinsi Jiangxu, Tiongkok. Beliau ditahbiskan pada tahun 1941, menjadi patriakh ke-48 dari aliran Linchi Chan, dan mengungsi ke Taiwan pada tahun 1949 setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok/RRT. Beliau tersenyum setiap kali orang Taiwan menyebut bahwa beliau datang dari Tiongkok daratan, dan sebaliknya pula, saat para sahabat dari RRT menyebutnya berasal dari Taiwan. Beliau menanggapi, “Kita mendunia. Kita semua adalah sama.”

Ini merupakan sebuah jawaban yang asli dan bijaksana dalam bahasa modern, yang mengajarkan nilai Buddhis yang penting tentang kesetaraan (upeksha), salah satu dari Empat Kediaman Mulia dari Pikiran. Hal tersebut juga mengajarkan bahwa kita semua berbagi hakikat Buddha, dengan potensi bawaan yang sama untuk menyadari kebenaran tertinggi serta untuk mencapai jalan pencerahan.

Master Hsing Yun merupakan pimpinan agama, pendiri, serta penasihat spiritual dari Sangha Buddhis Tiongkok dunia di Vihara Fo Guang Shan, serta Asosiasi Internasional Pelita Buddhis (Buddhist Light International Association – BLIA). Beliau mengawasi berbagai vihara dan organisasi di lebih dari 173 negara di enam benua, 3,500 Sangharama, serta jutaan pengikut awam.

Master Hsing Yun telah bersumpah untuk mempersembahkan “Agama Buddha yang Manusiawi” – yang ditemukan relevan dengan dunia modern, dengan cara menghubungkan agama Buddha dengan kehidupan manusia sehari-hari – Master Hsing Yun menyisipkan gagasan-gagasan Buddhis dalam setiap pesan yang beliau sampaikan dan membuka pintu-pintu pada agama Buddha bagi orang Tiongkok dan non-Tiongkok di seluruh dunia dengan strategi yang dipikirkan secara matang. Strategi-strategi ini merupakan cara terampil berupa promosi, pembinaan hubungan, dan pendidikan – semuanya dilaksanakan dengan pertimbangan secara global maupun lokal.

Saat beliau membuka Sangharama Fo Guang Shan yang pertama di Kota Kaohsiung Taiwan pada tahun 1967, Master Hsing Yun menjadikannya yang terbesar di Taiwan. Hal tersebut menjadi sebuah strategi bagi setiap vihara yang beliau bangun pada tahun-tahun berikutnya, baik di dalam maupun di luar Taiwan. Tujuan beliau adalah untuk menyediakan alasan bagi masyarakat lokal untuk datang, menyaksikan, serta belajar tentang Buddhadharma yang luhur dan agung.

Fo Guang Shan

Sangharama Fo Guang Shan juga merupakan tempat bagi perayaan keagamaan serta peristiwa sosial bagi masyarakat setempat, Buddhis maupun non-Buddhis, berkebangsaan Tiongkok ataupun bukan. Saat orang datang, Master Hsing Yun menyajikan bagi mereka kesempatan untuk mengalami agama Buddha. Orang didorong untuk menanam benih Dharma, sekalipun mereka mungkin belum memiliki komitmen untuk mengejar jalan menuju pencerahan.

Fo Guang Shan dan BLIA, mengacu pada setiap tindakan kedermawanan yang akan membangun hubungan pribadi dengan Dharma dan karenanya mengumpulkan pahala. Hal ini mendukung nilai penting Buddhis tentang kedermawanan dan pemberian (dana) dan kesempurnaan (parami).

Master Hsing Yun dengan terampil mengelola hubungan beliau dengan para politisi setempat dan nasional yang berpengaruh serta kelompok-kelompok hartawan, untuk melibatkan mereka dalam agama Buddha yang Manusiawi.

Hal tersebut dilakukan dengan cara membantu mereka menyebarkan agama Buddha di kalangan pendukung terkait mereka dengan dukungan dana mereka terhadap pelajaran-pelajaran agama Buddha, yang pada gilirannya akan mendatangkan pembelanjaan para wisatawan pada kota-kota setempat. Cara-cara terampil ini telah terbukti menguntungkan secara timbal balik, dan Master Hsing Yun telah berhasil dalam menemui banyak pimpinan politik dari berbagai negara, termasuk presiden Amerika yang terdahulu serta presiden Tiongkok Xi Jinping.

Bagaimanapun, beliau juga telah mengalami kemunduran ketika awak media merancukan kegiatan pengumpulan dana beliau, yang secara tak berdasar dinyatakan sebagai alat bagi pesaing politik dan bermuatan kepentingan-kepentingan bisnis. Dalam tahun-tahun belakangan, Master Hsing Yun telah mempertahankan profil publik yang lebih rendah sembari mempertahankan hubungan tingkat tinggi di berbagai negara.

Sejak awal keberadaan mereka, Fo Guan Shan dan BLIA telah memposisikan diri sebagai pendukung agama Buddha Mahayana dan budaya Tiongkok yang sejati. Penempatan seperti ini beserta kegiatan-kegiatan yang mengikutinya dapat dipandang sebagai cara terampil untuk menarik sekaligus melindungi populasi besar imigran Tiongkok di luar Taiwan dan Tiongkok daratan.

Penekanan pada jati diri budaya – alih-alih sebuah identitas keagamaan murni – juga melindungi perkembangan mereka di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina, yang mana agama Buddha merupakan minoritas. Hal ini mungkin merupakan satu dari sebab kunci mengapa “adalah aman untuk menyatakan bahwa lebih dari 99% anggota BLIA adalah etnis Tiongkok.”

Bagaimanapun, hal ini tidak menghentikan Master Hsing Yun untuk terus melanjutkan untuk merangkul komunitas non-Tiongkok. Sebagai contohnya, beliau akan menawarkan untuk menyediakan pendanaan perjalanan serta akomodasi bagi pelatihan viharawan di Taiwan untuk mendorong keikutsertaan para siswa non-Tiongkok. (Buddhistdoor.net)

The post Master Hsing Yun dan Komunitas Buddhis Tiongkok Global appeared first on BuddhaZine.

Peletakan Batu Pertama Dhammasala di Vihara Dhamma Sasana, Semarang

$
0
0

Raut wajah bahagia terpancar di wajah umat Buddha di Dusun Krajan, Desa Kenteng, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Rasa syukur dan bahagia yang ada menandai bahwa harapan dan upaya umat Buddha untuk memiliki rumah ibadah yang lebih representatif hampir terpenuhi dengan dilaksanakannya peletakan batu pertama pembangunan Dhammasala Vihara Dhamma Sasana pada Minggu (4/8).

Berdasarkan dokumen proposal dan design development Vihara Dhamma Sasna, rumah ibadah yang memiliki sarana prasarana lebih lengkap dan dapat menampung umat beribadah adalah harapan seluruh umat Buddha Dusun Krajan. Harapan muncul ketika vihara yang berdiri di tanah seluas + 105 m2 tidak mampu menampung umat ketika pujabhakti, selain karena bangunan vīhara lama yang telah berusia 23 tahun tersebut mengalami kerusakan, dan karena sarana pendukung ketika bhikhhu atau samanera menginap kurang layak.

Dengan dukungan penghibah tanah seluas 536 m2, motivasi, serta dukungan Samanera Medhacitto dan Biksu Duta Nagara yang secara tidak langsung ketika masa kanak-kanak dibentuk secara agama dan spiritual di Vihara Dhamma Sasana, maka pengurus vihara membentuk panitia pembangunan dhammasala. Rencana pembangunan dhammasala yang juga mendapat dukungan besar dari Sangha Theravada Indonesia melalui Padesanayaka Provinsi Jawa Tengah yaitu Bhikkhu Sujano, semakin membulatkan tekad panitia untuk membuat desain dhammasala dan proposal penggalangan dana pembangunan.

Satu tahun setelah penggalangan dana, akhirnya dapat dilakukan peletakan batu pertama dhammasala Vihara Dhamma Sasana dengan desain bangunan dibuat oleh arsitek dan desainer interior, Agus Setiyawan. Konsep bangunan dhammasala dibuat dua lantai yaitu lantai semi basemen dan lantai dasar. Atap bangunan memadukan arsitektur lokal Jawa Tengah yaitu atap Joglo dengan unsur kebudhaan berbentuk stupa.

Acara peletakan batu pertama dhammasala dihadiri oleh Padesanayaka Saṅgha Theravāda Indonesia Provinsi Jawa Tengah yaitu Bhikkhu Sujano dengan didampingi Bhikkhu Cittavaro Thera. Tamu undangan yang hadir berasal dari pengurus Keluarga Besar Theravada Indonesia (KBTI) Kabupaten Semarang; perangkat Desa Kenteng; donatur; umat Vihara Dhamma Sasana, Vihara Setti Dhamma, Vihara Karuna Phala Desa Kenteng Kecamatan Susukan; serta umat Vihara Rahulavada Kecamatan Tengaran dan umat Vihara Khanti Dhamma Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang.

Sebelum menuju lokasi acara, tamu undangan mendapat santap siang yang disediakan di rumah penduduk untuk kemudian mengikuti rangkaian acara peletakan batu pertama. Acara diawali dengan pembukaan, penyalaan lilin, pujabhakti, amisa dana dan pelimpahan jasa, sambutan, acara inti yaitu peletakan batu pertama, penutup, dan ramah tamah.

Secara kuantitas umat Buddha hanya 596 jiwa (12%) dari populasi Desa Kenteng yang berjumlah 4521 jiwa, sedangkan di Dusun Krajan sendiri hanya terdapat + 178 jiwa. Dengan peletakan batu pertama dhammasala di Dusun Krajan yang memiliki peninggalan purbakala berupa “lumpang kenteng” ini, diharapkan menjadi penyemangat bagi umat Buddha Vihara Dhamma Sasana dalam menggalang dana sehingga dhammasala yang diinginkan dapat terwujud dan dapat dimanfaatkan oleh umat Buddha untuk terus meningkatkan kualitas batin dan demi manfaat untuk semua makhluk.

The post Peletakan Batu Pertama Dhammasala di Vihara Dhamma Sasana, Semarang appeared first on BuddhaZine.

Belajar Menata Harmoni Keluarga dari Mely Kiong

$
0
0

Menyambut kemerdekaan RI ke-74 Vihara Buddhayana Dharmavira Center (BDC) Surabaya kembali menggelar The Biggest Talk Show. Acara ini berlangsung setiap malam selama 8 hari tanggal 4 – 11 Agustus 2019.

The Biggest Talk Show merupakan acara rutin 3 tahun sekali yang diselenggarakan Vihara BDC Surabaya. Apabila tahun 2016 lalu The Biggest Talk Show mengupas tuntas Delapan Jalan Utama, pada tahun ini akan mengupas kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dalam tema besar Kemerdekaan Bathin, Kemerdekaan Kita, Kemerdekaan Indonesia.

Sembilan narasumber bertaraf nasional dihadirkan untuk mengupas tuntas tema tersebut. Mulai dari Andrie Wongso (Motivator Indonesia), Melly Kiong (Pakar, praktisi, konsultan keluarga), Soedomo Mergonoto (Owner Kapal Api Group), Arief Harsono (Owner Samator Group), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraq (Ketua PBNU), Suhadi Senjaja (Ketum PBD NSI), Sudhamek, AWS (Owner Garuda Group), YM. Nyanabandhu (Bhikkhu Sagin) dan YA. Viriyanadi (Ketua pembina Yayasan BDC).

Berdasarkan pantauan BuddhaZine di lapangan pada hari kedua, Senin (5/8) tak kurang dari 300 orang peserta hadir dalam acara ini. “Hari pertama kemarin, narasumbernya Bapak Andrie Wongso yang hadir lebih banyak, sekitar 500 orang. Aula ini hampir penuh,” kata Pak Tosin, Ketua MBI Jawa Timur.

Hari kedua, Melly Kiong hadir sebagai narasumber dengan topik bahasan Kemerdekaan di dalam Keluarga Harmoni. Melly Kiong adalah seorang penulis buku Siapa Bilang Ibu bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak Dengan Baik, Cara Kreatif Mendidik Anak dan Guru-guru kecil Melly Kiong. Buku ini mendapat penghargaan dari MURI Indonesia.

Melly Kiong menulis buku berdasarkan pengalaman pribadinya. Dengan cara pembahasan, pemaparan dan bertukar cerita yang menarik, Melly menjelaskan apa itu pola asuh, bagaimana egoisnya orang tua terhadap anak, bagaimana cara pandang anak terhadap orang tua, bagaimana cara membuat kesepakatan dengan anak di rumah, komunikasi yang baik dengan anak.

Lahir dari keluarga sederhana di Kota Singkawang, Kalimantan, Melly mengalami dan melihat pahit getirnya kehidupan. Pola asuh anak dengan kekerasan karena jeratan masalah kemiskinan kerap ia jumpai di Singkawang pada masa kecilnya.

Berkat pengalaman itu, sebagai perempuan yang terinspirasi sosok Kartini, Melly mempunyai tekad untuk merubah hidupnya. “Bagaikan seorang perempuan ini menjadi perempuan yang mampu mengambil keputusan. Untuk mengambil keputusan harus belajar, harus sekolah. Ini yang dikerjakan oleh Kartini, karena itu saya sangat berhutang budi kepada Kartini. Saya hari ini bisa berdiri di sini karena Kartini,” kata Melly disambut riuh tepuk tangan hadirin.

Berbekal dari pengalamannya mengasuh anak, membangun keluarga membuat Melly Kiong mendirikan gerakan eMKa (Mindful Parenting). Terdapat lima ajaran mendasar dalam mendidik anak dalam metode eMKa yaitu; (1). Mendengarkan dengan perhatian, berbicara dengan empati, (2). Tidak menghakimi dan mengeluarkan kata-kata negatif, (3). Pengendalian emosi, (4). Adil dan bijaksana, tidak membandingkan dengan anak lain, (5). Membangun welas asih.

The post Belajar Menata Harmoni Keluarga dari Mely Kiong appeared first on BuddhaZine.


Dusun Krecek, Oase Dusun Buddhis

$
0
0

“Suasana alam perdesaan yang mendukung dan keramahan masyarakatnya membuat Dusun Krecek, cocok sebagai tempat latihan meditasi. Saya pernah ikut latihan meditasi di tempat lain, tetapi di sini istimewa, suatu saat pasti saya akan datang lagi,” kata Ibu Cutysari, peserta asal Kabupaten Tegal berkesan.

Sedangkan Ibu Kwan Kiem Lian peserta lain dari Semarang juga merasa kagum dengan Umat Buddha Dusun Krecek yang berkembang pesat. Menurutnya, sebagai tempat latihan meditasi Dusun Krecek mempunyai aura positif yang tak kalah dengan Bali.

“Saya kali ini datang di Dusun Krecek bangga dan terkagum-kagum. Umat Buddha berkembang begitu pesat, auranya sangat terasa. Orangnya sangat ramah, kami diajak meditasi di beberapa tempat, naik ke gunung dan memang sangat indah. Ini adalah tempat yang membanggakan, saya merasakan cinta kasih yang luar biasa yang belum pernah saya dapatkan dari tempat lain,” ungkapnya saat memberi kesan di Ruang Dhammasala, Vihara Dhammasarana, Senin (12/8).

Perasaan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Farlina, peserta dari Bekasi, Jawa Barat. Wanita yang akrab disapa Lina ini mengaku sempat merinding saat memasuki Ruang Dhammasala. “Saya benar-benar merasakan aura positif di sini, itu membuat saya teringat salah satu bait Manggala Sutta, bertempat tinggal di tempat yang sesuai adalah berkah utama.

Ibu Cutyasih, Kwan Kiem Lian dan adalah tiga dari 25 peserta 48 Hours Minfulness di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung. Latihan meditasi di bawah bimbingan Bhante Santacitto ini diselenggarakan oleh Pengurus Pusat (PP) dan Pengurus Daerah (PD) Wanita Theravada Indonesia (Wandani). Acara ini berlangsung dari tanggal 10 – 13 Agustus 2019 di beberapa tempat area dusun Krecek seperti; Vihara Dhammasarana, Pendopo Paud Saddhapala Jaya, Pondok Meditasi dan Pohon Growong Curug Pertapan, Krecek.

Tak sekadar berlatih meditasi, para peserta yang hampir semua didominasi oleh kaum perempuan ini juga diajak keliling ke rumah-rumah warga dusun. Bersama warga dusun Krecek mereka berdialog dan bercengkerama dengan hangat layaknya saudara sendiri.









The post Dusun Krecek, Oase Dusun Buddhis appeared first on BuddhaZine.

Asadha Vihara Buddha Prabha Jogja, Begini Permintaan Bhante Badrapalo

$
0
0

Umat Buddha diimbau untuk semakin meningkatkan spiritualitas dalam diri, dengan meningkatkan keyakinan pada Tiratana. Sebab di era modern ini, saddha di kalangan umat terkesan semakin luntur.

Hal tersebut disampaikan Bhikkhu Badrapalo dari Sangha Agung Indonesia dalam acara peringatan Asadha Puja 2563 BE yang digelar di Vihara Buddha Prabha Yogyakarta, Minggu (11/8) pagi. Acara diikuti oleh puluhan umat yang mayoritas adalah anak muda.

Bhante mengingatkan bahwa berlindung pada Buddha Dhamma Sangha dilakukan tidak supaya seseorang dipuji atau dihormati, tetapi untuk meningkatkan spiritualitas dalam diri. Spiritualitas menurutnya adalah proses latihan mengolah diri sendiri.

“Latihan diri untuk lebih teliti, lebih semangat, lebih ulet, supaya hasilnya dirasakan diri kita. Jangan memiliki tujuan yang instan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, umat Buddha seharusnya penuh kasih dan mendoakan makhluk lain supaya bahagia. Berbagai ritual, seperti puja bunga, puja dupa, puja pelita, atau puja lampion menurutnya tidak akan berefek kalau seseorang tidak meningkatkan spiritualitas diri.

“Itu semua hanya pemikat,” ujar Bhante.

Seseorang yang mahir dan terlatih dalam spiritualitas menurutnya akan mahir mengkondisikan keadaan. Ia menjadi tidak mudah terpengaruh timbul tenggelamnya perasaan dan emosi.

“Ini buah dari latihan, bukan buah dari kita mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke dukun-dukun, ke pohon-pohon, atau ke goa-goa,” ujarnya.

Bhante mengaku prihatin, karena saat ini banyak umat yang mengorbankan Tiratana hanya untuk mendapatkan materi atau dana. Ia mencontohkan kasus pengumpulan dana untuk fangshen (pelepasan satwa), namun sebagian dana lalu dipakai untuk kas muda mudi atau kas vihara. Seharusnya menurutnya dana dibelikan semua untuk membeli satwa yang lalu dilepas.

“Jangan beragama Buddha malah menambah kilesa, menambah kotoran batin dalam diri kita,” ujarnya.

Momen Asadha ini menurutnya harus dimanfaatkan umat Buddha untuk menumbuhkan Bodhicitta. Caranya, dengan menumbuhkan cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk. Dengan demikian, umat Buddha tidak akan menjadi orang yang gampang galau, bingung, dan stress ketika menghadapi masalah.

“Dengan bangkitnya bodhicitta, kita akan mudah menapaki hari demi hari,” pesan bhante.

The post Asadha Vihara Buddha Prabha Jogja, Begini Permintaan Bhante Badrapalo appeared first on BuddhaZine.

Adi Putra, Sosok Pemuda Peraih 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila Tahun 2019

$
0
0

Adi Putra merupakan salah satu pemuda Buddhis yang berprestasi. Namanya memang belum banyak dikenal di Indonesia, namun siapa sangka ia pernah berjalan di karpet merah Festival Film Internasional Cannes ke-65 pada tahun 2012 di Palais des Festival, Cannes, Perancis.

Di usia 22 tahun kala itu Adi Putra sebagai fotografer, videografer, sekaligus sutradara mampu memukau masyarakat dunia. Dengan hasil karyanya berupa dua film Indonesia, “Lewat Djam Malam” karya klasik dari Ismail Marzuki, dan “Adam” karya Adi diputar di Festival itu.

Pria lulusan University of Southern California jurusan Cinematic arts-Film Production ini terus mengeluarkan karya-karya yang selalu mendapat apresiasi serta ulasan-ulasan positif dari media-media. Tak jarang musisi dunia menggunakan jasanya untuk penggarapan video musik mereka. Mobby misalnya, musisi kenamaan asal AS ini pernah merekrut Adi untuk menggarap video musik lagu “A Case For Shame” yang diambil dari album Innocent. Selain itu proyeknya bersama vokalis band Maroon 5 Adam Levine untuk video komersil yang tayang di NYLON TV juga mendapat apresiasi yang sangat baik.

Karya Adi juga mendapatkan apresiasi luar biasa dari masyarakat Jepang. Adi didaulat untuk menjadi sutradara video klip untuk lagu berjudul “Perfect” dari sebuah band yang sedang naik daun di Jepang, Luby Sparks pada mini album (I’m) Lost in Sadness.

Hasil karya tersebut dipajang di beberapa videtron di Jepang. Salah satunya di persimpangan tersibuk di dunia, yaitu Shibuya Cross, Tokyo, Jepang. Karya anak bangsa tersebut, dipajang di beberapa big screen di jalanan sepanjang Shibuya.

Di satu sisi, capaiannya sebagai fotografer surrealisme juga tak kalah mentereng. Situs web dan majalah fotografi di Eropa, AS, hingga Asia ramai memberitakannya. 2018 lalu, menyabet langsung 4 penghargaan di Unknown Asia Art Exchange 2018 Osaka Jepang. Beberapa penghargaan yang diraih Adi Putra ini antara lain, Judges Prize, 2 Reviewer Prize dan Sponsor Prize. Untuk Sponsor Prize, Adi Putra harus menyisihkan 200 seniman berbakat lainnya dari 10 negara.

Adi kerap membawa alam dan manusia pada objek karyanya. Karena menurutnya ia tertarik dengan energi spiritual yang dimiliki alam dan manusia serta hubungan di antara mereka. Seperti ajaran-ajaran dharma dan filsafat Buddha yang tak jauh membahas soal hubungan alam dan manusia. Karya fotonya sempat menjadi foto utama dalam majalah fotografi Aperture untuk sampul edisi Desember 2017 lalu. Majalah Aperture merupakan majalah fotografi terkemuka di Malaysia.

Sebab prestasi yang mentereng itu membuat BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Republik Indonesia menetapkan Adi Putra sebagai salah satu orang dari 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila Tahun 2019. Penetapan ikon Prestasi juga bertepatan untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74 tahun, sebelumnya pernah diadakan di tahun 2017 dengan memilih 72 ikon.

Dengan terpilihnya Adi Putra tentunya menjadi inspirasi bagi anak-anak muda di Indonesia untuk terus berkarya. Meskipun nama Adi tak terkenal di tanah air dan lebih terkenal di luar negeri, tak mengubah kecintaannya pada Republik Indonesia. Ia tetap memilih tinggal di Indonesia dan tak mengubah status kewarganegaraannya.

The post Adi Putra, Sosok Pemuda Peraih 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila Tahun 2019 appeared first on BuddhaZine.

Masih Banyak Temuan Situs Majapahit Terbengkalai?

$
0
0

Tanggal 4 – 7 Agustus 2019 BuddhaZine melakukan liputan ke Mojokerto dan Surabaya. Pada kesempatan itu, tim BuddhaZine yang terdiri dari 7 orang; Ngasiran, Ana Surahman, Deny Hermawan, Budi Ariyanto, Febriyanto, Hendri Ang didampingi Goenawan A. Sambodo (arkeolog) dan Agung Budi Prasetyo blusukan mengunjungi situs-situs candi peninggalan kerajaan Majapahit.

Berikut foto-fotonya:











The post Masih Banyak Temuan Situs Majapahit Terbengkalai? appeared first on BuddhaZine.

Menari dan Merayakan Purnama bersama Masyarakat Dusun Krecek

$
0
0

 

Festival musik merupakan sebuah garis yang mewakili anak-anak muda, khususnya millenial. Mereka berkarakter unik. Suka jalan-jalan yang tidak biasa, mereka lebih menghargai sebuah pengalaman.

Di Dusun Krecek, BuddhaZine bersama masyarakat setempat berupaya untuk menggelar acara festival musik bukit untuk tahun-tahun mendatang. Ini merupakan karya awal. Kami memulainya dalam skala kecil.

Padang Bulan, merupakan lagu yang sederhana dalam kata maupun tafsir. Merayakan purnama intinya. Nah. monggo, dinikmati sekadarnya. “Java Connections” pada Sabtu (14/7/2019) di Dusun Krecek.

Terima kasih untuk Bang Boy, Mas Bastian, dan Kang Petruk pengendang tercakep dari pemuda Dusun Krecek.

Untuk masyarakat Dusun Krecek matur nuwun, mulai dari adek-adek, ibu-ibu, muda-mudinya yang kompak, bapak-bapaknya juga, dan tentunya alam di Dusun Krecek.

The post Menari dan Merayakan Purnama bersama Masyarakat Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Berkunjung ke Vihara Mojopahit, Jawa Timur

$
0
0

Trowulan adalah kawasan kepurbakalaan dari periode klasik sejarah Indonesia yang berada di Jawa Timur. Berdasarkan kronik, prasasti, simbol, dan catatan yang ditemukan di sekitar kawasan tersebut, kawasan situs ini berhubungan dengan Majapahit, kerajaan nasional kedua di Nusantara setelah Sriwijaya.

Di Trowulan terdapat Maha Vihara Mojopahit yang terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Vihara ini mulai dibangun di atas lahan seluas 20.000 meter persegi dengan bangunan utama yang bergaya arsitektur Jawa dan beratap joglo.

Vihara ini mulai dibangun pada tahun 1987 atas prakarsa dari Bhante Viryanadi dari Sangha Agung Indonesia dan diresmikan pada tanggal 31 Desember 1989 oleh Bhante Ashin Jinarakkhita dan Gubernur Jawa Timur.

Yang khas, di Maha Vihara Mojopahit ini terdapat Patung Buddha Tidur yang kini menjadi salah satu ikon wisata Mojokerto. Patung Mahaparinibanna Buddha ini memiliki panjang 22 meter, lebar 6 meter, serta tinggi 4,5 meter. Patung ini menjadi patung Buddha terbesar di Indonesia dan terbesar ketiga di Asia Tenggara.

Kawasan ini terbuka untuk dikunjungi wisatawan umum. Namun mereka harus membayar tiket Rp.4000 untuk dewasa, dan Rp.2000 untuk anak-anak.

Selain bisa melihat berbagai patung dan bangunan religius, wisatawan juga bisa memberi makan satwa yang ada di area ini, seperti ikan dan burung merpati. Terdapat makanan ikan dan biji-bijian yang bisa dibeli di sini untuk membuat kenyang dan senang para binatang tersebut.

The post Berkunjung ke Vihara Mojopahit, Jawa Timur appeared first on BuddhaZine.

Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang Gelar Acara Peringati Kemerdekaan Indonesia ke-74

$
0
0

Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 tahun Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang merayakan dengan dialog dan doa bersama untuk keselamatan bangsa. Mengangkat tema “SDM Unggul, Indonesia Maju” acara dilangsungkan di Gereja Katolik Santo Agustinus Paroki Karawaci, Kota Tangerang. Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang merupakan wadah yang bersifat kultural yang menaungi organisasi-organisasi lintas iman.

Adapun beberapa organisasi yang bergabung diantaranya GP (Gerakan Pemuda) Ansor PAC Cibodas, OMK (Orang Muda Katolik) Komcab Kota Tangerang, HIKMAHBUDHI (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia) PC Kota Tangerang, Pemuda Konghucu Bio Tangerang, MUSPIJA (Musyawarah Pimpinan Gereja) Prov.Banten dan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Kota Tangerang. Acara ini sekaligus memperingati HUT Gereja Santo Agustinus.

Acara dibuka dengan tarian dan lagu nusantara dari berbagai daerah yang dipadukan dalam drama kebangsaan. Ini untuk mengingatkan kembali bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk, kemajemukan dan kebhinekaan merupakan aset yang dimiliki bangsa Indonesia. Perbedaan menjadi manifestasi pembangunan bangsa, dan bukan untuk diperdebatkan.

Orasi Kebangsaan dimulai dari Romo Clemens Tribawa Saksana (Pastor gereja St. Agustinus) selaku tuan rumah. Romo Clemens menyampaikan bahwa kelahiran manusia bersifat Given artinya tak bisa memilih untuk lahir di mana. Keterbatasan dan keterikatan akan waktu dan tempat kita lahir sebagai manusia menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang menjadi dasar toleransi.

Hadir pula KH. Amin Munawar selaku ketua FKUB Kota Tangerang. Dalam sambutannya ia mengatakan bahwa toleransi harus dibarengi oleh 4 pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pondasi.  Ia menambahkan bahwa refleksi soal konsensus kebangsaan tercermin dalam acara ini. Ditambah lagi dari pernyataan I Nyoman Subiksa selaku Wakil Ketua PHDI kota Tangerang, ia mengajak semua yang hadir untuk melihat dan mengangkat nilai-nilai universal yang ada dari setiap agama untuk membangun toleransi. Jadi agama tidak bersifat ekslusif, tetapi inklusif kepada semua orang.

Dari Buddhis orasi diwakili oleh Hendra, salah satu penasehat HIKMAHBUDHI PC Kota Tangerang. Hendra lebih familar dikenal dengan Hendra Achonk. Menjadi aktivis Buddhis sejak muda dan sempat menjadi Ketua Patria (Pemuda Theravada Indonesia) Prov. Banten. Achonk yang merupakan salah satu dosen Universitas Budhi Dharma Tangerang ini melihat permasalahan toleransi lebih dalam.

Menurutnya toleransi bisa dimulai dari internal agama masing-masing, dikarenakan intoleransi di internal agama juga terjadi dengan tingkat yang berbeda dimana kaum intoleran masih eksis. Sebagai salah satu perintis komunitas ini, Achonk memikirkan bagaimana nilai-nilai bangsa Indonesia yang begitu indah jangan sampai terkoyak. Salah satu strategi perlawanan terhadap orang intoleran menurutnya yakni dengan cara bergandengan tangan dan mempertunjukkan kepada mereka yang intoleran melalui media sosial yang masing-masing.

Di era modern ini media sosial menjadi sarana yang ampuh untuk mengkampanyekan nilai-nilai kebaikan. Dari sisi komunikasi, media sosial dapat mempersuasi khalayak dengan cara praktis serta mudah, juga jangkauan persebarannya luas.

Sebagai penutup Jajat Sudrajat (Ketua GP Ansor PAC tangerang) yang memoderatori dialog ini mengutip perkataan K.H Hasyim Ashari pendiri dari organisasi Islam terbesar di Indonesia NU (Nahdlatul Ulama) yakni “Hubbul Waton Minal Iman” yang berarti cinta tanah air adalah sebagian dari iman, siapapun yang masih beriman haruslah cinta tanah air.

Komunitas yang bersifat kultural berbasis masyarakat ini memang sangat penting kehadirannya. Yang diinisiasi dari masyarakat untuk masyarakat. Meski dari unsur pemerintahan, sudah ada FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di setiap kota, nyatanya belum mampu menjawab kasus-kasus intoleransi yang ada. Tetap dibutuhkan peran masyarakat sipil untuk menjaga keutuhan negara.

Ditambah lagi beberapa tahun belakangan ini masifnya kelompok-kelompok yang berusaha mengoyak nilai-nilai kebangsaan bahkan sampai ingin merubah dasar negara. Kegiatan ini menjadi sangat penting untuk kembali berefleksi di usia kemerdekaan yang ke-74 tahun. Di usia setua ini kasus intoleransi masih sering terjadi. Perlu ada semacam perlawanan yang diiniasi oleh masyarakat. Keterlibatan organisasi lintas agama menjadi harmoni sekaligus kekuatan.

The post Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang Gelar Acara Peringati Kemerdekaan Indonesia ke-74 appeared first on BuddhaZine.


Dan Setelahnya…

$
0
0

Jakarta, 4 Agustus 2019, rumah kami mengalami mati lampu selama kurang lebih 11 jam. Tidak hanya lampu, jaringan telepon selular pun mati. Alhasil, selama 11 jam, saya memiliki waktu hening, dan berada bersama keluarga maupun tetangga sekitar. Mungkin itu salah satu titik terangnya.

Ketika tercabut dari semua teknologi, saya teringat percakapan dengan seorang sahabat. “Coba donk menulis soal move on,” begitu katanya. Itu ide yang menarik untuk saya. Bagaimana kita bisa tetap hidup dalam kejernihan, setelah mengalami peristiwa traumatis, seperti kematian anggota keluarga, putus hubungan ataupun kegagalan-kegagalan lainnya dalam hidup?

Move on… saya tak punya terjemahan yang tepat untuk kata itu. Maju terus? Ah, itu terasa sama sekali tak pas. Lalu, saya menggunakan terjemahan yang tidak harafiah, yakni “dan setelahnya”. Apa yang ada, setelah peristiwa menyedihkan dan mengecewakan menimpa hidup kita?

“Dan setelahnya”

Biasanya, kata itu digunakan untuk menggambarkan orang yang masih merindukan kekasih hatinya, walaupun mereka sudah berpisah. Memang, di abad 21 ini, hubungan antarmanusia amat rapuh. Kebohongan dan perselingkuhan terjadi begitu banyak dan mudah. Tak heran, banyak orang mengalami penderitaan besar justru dari hubungan-hubungan romantis semacam ini.

Namun ,“dan setelahnya” kiranya berlaku tidak hanya untuk berakhirnya hubungan romantis. Dalam politik, hal itu pun kiranya diperlukan. Setelah pemilihan umum, pihak-pihak yang “bertempur” untuk menjadi pemimpin politik kiranya perlu juga untuk move on. Jika tidak, perpecahan akan menimbulkan banyak masalah bagi keutuhan bangsa.

Ini dilakukan dengan satu kesadaran, bahwa politik mafia adalah permainan belaka. Kawan bisa menjadi musuh tak lama di masa depan. Lawan bisa menjadi sekutu tak lama kemudian. Hal ini dengan mudah dilihat di politik Indonesia pasca pemilihan umum 2019 lalu.

Kata “dan setelahnya” juga bisa diterapkan oleh orang-orang yang merasa gagal dalam pekerjaannya. Setelah bisnis gagal, apa yang ada setelahnya? Setelah dipecat dari perusahaan lama, apa yang ada setelahnya? Kemampuan untuk bertanya seperti ini sebenarnya merupakan tanda, bahwa orang sudah siap untuk memasuki tahap hidup berikutnya. Pertanyaannya, apakah ia mampu?

Dendam dan trauma

Kemampuan untuk berpikir “dan setelahnya”, atau move on, juga penting untuk melampaui dendam. Ketika orang menyakiti kita, rasa marah dan kecewa akan muncul. Sakit yang dalam, dibalut dengan marah dan kecewa, akan melahirkan dendam. Kita lalu berencana untuk menyakiti orang tersebut, sebagaimana ia telah menyakiti kita.

Hal yang sama terjadi terkait trauma. Trauma adalah peristiwa menyakitkan yang terjadi di masa lalu, namun ia mengulang dirinya sendiri di dalam ingatan kita. Pengulangan ini membuat luka yang dahulu ada lestari hingga saat ini. Orang pun tak mampu hidup secara jernih dan damai di sini dan saat ini.

Trauma dan dendam membuat pola pikir “dan setelahnya” menjadi sulit. Orang terjebak di masa lalu. Ini sebenarnya yang disebut sebagai neraka. Orang kehilangan hidupnya yang sebenarnya selalu terjadi di sini dan saat ini.

Orang yang mampu berpikir “dan setelahnya” (move on) berarti siap untuk hidup disini dan saat ini. Masa lalu telah berlalu, dan tersisa sebagai ingatan. Rasa sakit, akibat peristiwa menyakitkan di masa lalu, mungkin tetap ada. Namun, ia terasa jauh dari apa yang terjadi di sini dan saat ini.

Arti penting “dan setelahnya”

Mengapa ini semua penting? Ada empat hal yang kiranya penting diperhatikan. Pertama, hidup yang terjebak pada dendam dan trauma adalah hidup yang penuh beban. Orang menjalani hari-harinya tidak dengan gembira dan ringan, tetapi dengan beban berat ingatan yang bahkan sampai terasa sakitnya di dada dan punggung. Hidup semacam ini amat tidak sehat.

Dua, dalam jangka panjang, hidup di masa lalu akan bermuara pada depresi. Ada banyak arti dari depresi. Yang paling sering muncul adalah kesedihan mendalam yang terjadi tanpa alasan yang jelas untuk jangka waktu lebih dari tiga bulan. Jika tak diolah dengan baik, depresi akan mendorong orang untuk menyakiti dirinya sendiri.

Tiga, hidup di masa lalu, sehingga tak mampu mengambil langkah “dan setelahnya”, akan membuat orang tak mampu melihat keadaan secara jernih. Pikirannya kacau. Emosinya gundah. Banyak peluang di saat ini pun akan terabaikan.

Empat, hidup di masa lalu berarti hidup di dalam mimpi. Walaupun indah, mimpi tetaplah mimpi. Ia membuat kita terlena, dan ketika bangun tiba-tiba, rasa kaget dan kecewa pun muncul. Walaupun menyakitkan, namun kenyataan akan membuatmu bebas.

Maka, move on, atau berpikir “dan setelahnya” amatlah penting. Hidup yang indah akan berlalu, jika kita terjebak di masa lalu. Ah, berkata memang mudah. Namun, bagaimana caranya, supaya kita bisa melakukannya?

Beberapa langkah

Ada lima hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, kita harus menjaga jarak dari ingatan kita. Ingatan adalah hasil ciptaan dari pikiran, dan pikiran kerap menipu kita. Seringkali, yang sebenarnya terjadi benar-benar berbeda dari pikiran maupun ingatan yang kita miliki. Maka, berhati-hatilah dengan pikiran.

Dua, untuk bisa menjaga jarak dari ingatan, kita perlu untuk kembali ke saat ini. Sejatinya, kita selalu hidup disini dan saat ini. Namun, ketika kita terjebak pada ingatan dan pikiran, kita melepaskan saat ini, dan hidup dalam mimpi. Ada banyak cara untuk kembali ke saat ini, misalnya dengan mengamati nafas, merasakan sensasi-sensasi pada kulit, mendengar suara sekitar dan sebagainya. Meditasi dan yoga amat membantu dalam hal ini.

Tiga, hubungan dengan orang lain juga penting untuk diperhatikan. Jika kita memang berbuat salah, kita perlu meminta maaf terhadap orang yang kita lukai. Jika kita disakiti, kita perlu mengampuni orang yang telah menyakiti kita. Kesadaran untuk hidup di saat ini amat penting di dalam melakukan proses ini. Ini tidak mudah, namun amat penting untuk dilakukan.

Empat, ini mungkin yang terpenting, yakni kita perlu memahami jati diri kita yang sebenarnya. Jati diri kita yang asli terletak sebelum pikiran dan emosi. Ia jernih dan cerah. Ia mampu menggendong semua emosi dan pikiran, tanpa tercampur olehnya.

Inilah yang disebut sebagai “pikiran cermin”. Ia memantulkan, tanpa terkotori oleh benda apa pun. Ia kerap kali disebut juga sebagai kesadaran murni. Dengan mengenali kesadaran di dalam diri kita, kita akan lebih mudah untuk berpikir “dan setelahnya” (move on).

Semua ini adalah proses. Ia tidak langsung jadi. Kita perlu berlatih. Jika gagal, kita perlu untuk terus mencoba. Kita bisa memilih metode yang paling tepat untuk kita. Atau kita bisa merumuskan metode kita sendiri.

Jangan padam

Sampai 5 Agustus 2019 ini, masih banyak berita, bahwa pemadaman listrik akan terus berlangsung. Keluarga kami sempat mengalami “trauma”, karena kekurangan air tadi malam. Muncul juga perasaan marah di dalam diri saya terhadap para pimpinan dan pekerja PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ayolah, Anda perlu bekerja lebih profesional.

Saya teringat tadi malam. Di tengah gelap gulita ibu kota, saya terdiam. Sekeliling saya tetap ramai. Beberapa tetangga berkumpul untuk berbincang-bincang.

Saya sendiri perlu untuk menjalani “dan setelahnya” (move on) dari berbagai peristiwa yang menghantam hidup saya beberapa tahun ini. Saya memahami metodenya. Saya juga pernah menerapkannya. Tapi, kali ini, apakah saya mampu? Kita lihat saja, apa yang terjadi setelahnya…

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Dan Setelahnya… appeared first on BuddhaZine.

Potret Pabajja di Kampus STIAB Smaratungga, Jawa Tengah

$
0
0

Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan menanamkan nilai-nilai spiritual Buddhis kepada para mahasiswanya, kampus STIAB Smaratungga bekerja sama dengan Sangha Agung Indonesia (SAGIN) wilayah provinsi Jawa Tengah menyelenggarakan pelatihan diri Pabbajja Samanera Samaneri Upasikha Atthangasila.

Program latih diri ini menjadi persyaratan wajib bagi para calon mahasiswa untuk masuk ke STIAB Smaratungga sehingga program latih diri sudah menjadi agenda tahunan STIAB menjelang penerimaan mahasiswa baru yang biasanya diadakan setelah masa ospek. Pelatihan biasa diadakan selama 13 hari dengan efektif latihan 10 hari.

Pada tahun ini program latih diri STIAB Smaratungga diadakan pada 11-23 Agustus yang diikuti oleh 35 peserta para calon mahasiswa meskipun ada beberapa yang umum. Dalam pelatihan ini para peserta dibimbing oleh tiga pembimbing utama yaitu Bhante Dithi Sampanno, Bhikkhuni Titacarini, dan Biksuni Xian Xing. Program latih diri ini juga difasilitasi oleh pemerintah.

Program pelatihan lebih fokus kepada dasar-dasar spiritualitas sehingga dalam proses mengikuti latihan para peserta lebih sedikit diberikan teori dan lebih banyak pada pelaksanaan praktik spiritual seperti meditasi dan menjalankan atthasila. Hal menarik dan menjadi khas dari latihan di STIAB Smaratungga adalah para peserta pabajja juga diberikan materi dasar dari berbagai tradisi.

“Sebagai ciri khas di sini kita juga memberikan suatu dasar-dasar dari berbagai tradisi, ada tradisi Mahayana, Vajrayana, dan juga Theravada. Seperti beberapa hari lalu kita mengundang Biksuni Xian Xing dari Mahayana untuk memberikan dasar-dasar Mahayana baik secara filosofi, teori, dan juga praktik secara ritual maupun meditasinya. Kemudian secara Theravada kita berikan juga seperti baca paritta, sembahyangnya, dan juga meditasinya. Kemudian dari Vajrayana kita ajarkan dasar-dasarnya termasuk sejarahnya, praktik membaca mantram-mantram Vajrayana dan mudra-mudranya serta gestur-gestur meditasinya juga kita ajarkan,” jelas Bhante Dithi.

Selain materi-materi keagamaan dan materi pokok pabbajja seperti samanera Sikkha dan Sekiya, dalam program latih diri STIAB Smaratungga juga diberikan materi-materi kebangsaan dan nasionalisme. Materi moderasi beragama juga diberikan pada program ini sesuai dengan anjuran kementerian agama dan sebagai pengisi materi moderasi beragama pihak STIAB mengundang Pebimas Buddha Jawa Tengah.

Selain melaksanakan Vipassana dan Atthasilapara peserta juga menjalankan praktik pindapatta ke beberapa dusun. Berkat kerjasama dari pihak kampus dengan umat sekitar para peserta mendapatkan dukungan untuk melaksanakan pindapatta di beberapa dusun sekitar STIAB. Menurut keterangan Bhante Dithi ada lima dusun di sekitar STIAB yang menjadi tempat pelaksanaan pindapatta. Lima dusun tersebut secara bergiliran satu dusun sehari mendapat kunjugan para peserta pabbajja untuk berpindapatta.

Dengan diwajibkannya mengikuti program latih diri ini, diharapkan para mahasiswa bisa merasakan kehidupan seorang pabbajjita. “Dari program ini harapannya bisa memberikan satu pengalaman spiritual walaupun hanya sifatnya pengenalan, tapi bagi mahasiswa bisa merasakan bagaimana menjalani kehidupan sebagai pabajjita,” terang Bhante.

Menjelang akhir sesi latih diri setelah vipassana selesai pada Senin (19/08) para peserta akan diajak untuk Dhammayatra ke Candi Borobudur dan candi-candi sekitar Borobudur pada Selasa (20/08).

The post Potret Pabajja di Kampus STIAB Smaratungga, Jawa Tengah appeared first on BuddhaZine.

Mengapa Buddha Mau Menjalani Gaya Hidup Minimalis?

$
0
0

Sebelum menjadi Buddha, boleh dibilang, Pangeran Siddhartha hidup di dalam “impian” banyak orang. Ia bisa menjalani kehidupan dengan nyaman tanpa kesulitan yang berarti. Jika orang lain mesti bekerja keras siang-malam untuk mencari “sesuap nasi”, ia cukup duduk tenang di kediamannya. Semua jenis makanan yang enak-enak bisa langsung tersedia di meja, dan ia bisa menyantapnya kapan pun ingin.

Sewaktu orang-orang sibuk mencari perlindungan dari panas dan dingin, sudah ada tiga istana megah yang siap menaungi pangeran. Di istana itu, ia bisa tinggal lama, dilayani oleh berbagai macam hiburan, tarian, dan nyanyian. Pakaian? Semua lengkap dan kualitasnya bagus-bagus.

Singkat kata, semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik, dan Pangeran Siddhartha menjalani hidup yang relatif mudah selama bertahun-tahun. Dengan ditemani istrinya, ia bisa menikmati kesenangan duniawi yang jarang sekali bisa didapat oleh orang-orang pada umumnya.

Namun, anehnya, semua kemewahan tadi kemudian ditinggalkannya. Setelah melihat empat peristiwa, yakni orang sakit, orang tua, orang mati, dan petapa, pandangannya terhadap dunia berubah. Matanya terbuka bahwa semua kemewahan yang dinikmatinya ternyata “semu”, dan suatu saat akan berlalu.

Pangeran sadar bahwa seperti orang lain, ia juga akan mengalami usia tua, sakit, dan mati. Ia tidak bisa mengelak dari “takdir” tersebut. Makanya, ia kemudian menjadi seorang petapa untuk mencari “obat” yang bisa mengatasi usia tua, sakit, dan mati.

Setelah berjuang merealisasi Kebuddhaan, Beliau akhirnya menemukan “obat” yang dicari-Nya. Namun, anehnya, meski tujuan-Nya sudah terwujud, Ia enggan kembali menjalani kehidupan perumahtangga. Kursi raja Kapilavasthu ditampik-Nya. Semua jenis kemewahan yang dulu diperoleh-Nya diabaikan-Nya. Beliau memilih menikmati hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang samana.

Meskipun kemudian ada banyak raja, seperti Pasenadi dan Bimbisara, yang mendonasikan beragam jenis barang bagus, Buddha hanya menggunakannya secukupnya. Hidup-Nya tetap seimbang. Pakaian-Nya pun sangat sederhana, hanya terdiri atas beberapa potong jubah. Saking sederhananya, pernah Buddha mengenakan jubah dari potongan kain pembungkus mayat.

Setiap hari, Buddha menerima derma makan dari umat. Ada beragam jenis makanan yang diterima Buddha di dalam patta-Nya. Ada makanan yang rasanya manis, asin, dan asam. Namun, Buddha tidak pilih-pilih makanan. Makanan apa pun yang didermakan diterima-Nya dengan baik, dan Beliau tidak membedakan si penderma apakah ia orang berada ataukah orang susah.

Buddha juga cukup puas beristirahat di bawah pohon yang teduh, atau di dalam kuti yang sederhana. Jika dulu, sewaktu Beliau menjadi perumah tangga, ada istana yang bagus dan megah, yang siap melindunginya dari pengaruh cuaca, Buddha lebih memilih tinggal di tempat yang sangat sederhana dan jauh dari keramaian.

Pernah suatu ketika, Pangeran Hattaka dari Alavi datang mengunjungi Buddha. Pada saat itu, sedang berlangsung musim dingin, dan Pangeran Hattaka bertanya, apakah Buddha dapat tidur dengan nyenyak dalam suhu yang sedemikian dingin. Dengan mantap Buddha menjawab bahwa ia bisa tidur dengan nyenyak.

Di sisa hidup-Nya Buddha terus menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Saat orang-orang sibuk mengumpulkan harta, Beliau puas hidup dengan sedikit materi. Meski begitu, dalam kondisi yang terbatas sekalipun, Buddha berkata bahwa Beliau adalah orang yang paling bahagia di dunia!

Gaya hidup minimalis

Gaya hidup yang dijalani Buddha 2600 tahun yang lalu sebetulnya mirip dengan gaya hidup minimalis yang sedang menjadi tren saat ini. Dari berbagai artikel yang bertebaran di internet, kita akan menemukan bahwa masyarakat sekarang tertarik menjalani hidup serba minimal. Ketertarikan itu bisa dilihat dari bermunculannya program gaya hidup minimalis, yang ditayangkan secara streaming di sejumlah situs.

Gaya hidup minimalis dilirik sebagai alternatif karena hal itu bisa “menyingkirkan” sebagian keruwetan hidup. Gaya hidup ini dinilai bisa “menetralisir” tekanan hidup yang umumnya menimpa masyarakat perkotaan. Hal itu tentu bukan sekadar “pepesan kosong”. Sudah ada orang yang menjalankan gaya hidup ini, dan menurutnya, hal itu menjadikan hidup jauh lebih tenang.

Satu di antaranya ialah aktor Chow Yun Fat. Chow Yun Fat adalah bintang film yang bersinar pada tahun 1980-1990-an. Ada begitu banyak judul film yang dibintanginya. Tak hanya film-film dalam negeri, ia juga sampai membintangi beberapa film mancanegara.

Dengan sederet ketenaran tadi, tentu mudah bagi Chow Yun Fat untuk menjalani gaya hidup yang serba wah. Ia bisa memiliki rumah yang lebih besar, memakai barang-barang “branded”, dan menikmati hidup ala sosialita yang sarat foya-foya. Namun, ia memutuskan tidak melakukan hal itu.

Chow Yun Fat lebih tertarik menjalani hidup sederhana. Meskipun punya uang berjibun di rekeningnya, ia hidup sangat hemat. Dalam sebuah wawancara, ia mengaku hanya menghabiskan uang sekitar 2 juta rupiah per bulan.

Chow Yun Fat juga tidak gengsi membeli dan memakai pakaian yang didapat secara diskonan. Model handphone-nya pun sangat “jadul”, hanya bisa dipakai untuk mengirim sms dan menelepon, dan handphone tadi tidak pernah digantinya selama bertahun-tahun.

Kalau pergi ke mana-mana, Chow Yun Fat sering menggunakan transportasi publik, seperti krl atau bis. Untuk soal makanan, ia juga tidak pilih-pilih. Meskipun aktor terkenal, ia tidak sungkan makan di kaki lima. Saat artis lain sibuk mengenakan beragam jenis perhiasan, hampir tidak ada perhiasan yang menempel di tubuhnya. Ia menghabiskan masa tuanya bersama istrinya dengan tenang di sebuah rumah sederhana.

Chow Yun Fat menjalani semua itu tentu bukan tanpa alasan. Semua itu dilakukan karena ia ingin mempersiapkan kematian dengan tenang. Ia berpikir, kelak, jika Sang Dewa Kematian datang, ia bisa menyambutnya dengan santai, dan meninggalkan dunia tanpa beban. Makanya, penting baginya menjalani hidup setenang mungkin dalam kesederhanaan.

Menerapkan gaya hidup minimalis, seperti yang diterapkan Chow Yun Fat, tentu berbeda dengan menjalani hidup susah. Gaya hidup ini boleh diartikan menjalani hidup secukupnya. Seseorang mungkin memiliki harta benda yang berlimpah, tetapi kalau ia memilih menjalani gaya hidup minimalis, semua harta tadi hanya akan dipakai sesuai dengan porsinya.

Kecuali para bhikkhu dan bhikkhuni, Buddha memang tidak mewajibkan umatnya untuk menjalani hidup minimalis. Semua berpulang pada masing-masing pihak. Meski begitu, Buddha sering menekankan pentingnya memanfaatkan kekayaan secara tepat.

Dalam sebuah Sutta, Buddha mewanti-wanti umatnya untuk menjauhi prostitusi, perjudian, konsumsi minuman keras, dan pergaulan buruk karena semua itu bisa “melubangi” kekayaan yang dimiliki seseorang. Jadi, biarpun punya harta berlimpah, untuk melestarikan kekayaannya, umat Buddha diharapkan menggunakannya secukupnya dan sewajarnya.

Salam.

Adica Wirawan

Seorang yang suka menulis

The post Mengapa Buddha Mau Menjalani Gaya Hidup Minimalis? appeared first on BuddhaZine.

Mengapa Saya disebut Buddhis?

$
0
0

Mengapa disebut Buddhis? Mengapa disebut beragama Buddha? Tanya salah satu dosen pada mahasiswanya.

Dimulai dari pertanyaan inilah saya merasa bingung. Apakah karena warisan dari orangtua, saya disebut Buddhis? Ataukah karena saya bergaul dengan orang Buddhis dan mengikuti perilaku mereka kemudian saya disebut Buddhis? Atau karena saya rajin ke wihara, sehingga disebut Buddhis?

Apa itu Buddhis?

Banyak orang memaknai agama Buddha, Buddhis, dan Buddhisme adalah satu makna. Sebenarnya, ketiga kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Agama Buddha mulanya bukanlah sebuah agama pada periode ancient Buddhism (Buddhisme awal). Istilah agama Buddha ada saat periode later Buddhism (Buddhisme akhir).

Buddhis adalah orang yang menganut Buddhisme. Seperti dengan menjalankan lima sila, meditasi, mempercayai adanya hukum alam, dan mempercayai kelahiran kembali.

Buddhisme sendiri adalah paham Buddhis yang dikembangkan oleh Siddharta Gautama. Di mana ajaran tersebut berisi tentang pembebasan diri dari penderitaan dan peningkatan moral pribadi. Seiring berjalannya waktu, ajaran Siddharta disebut sebagai agama Buddha.

Adakah syarat suatu ajaran disebut sebagai agama?

Terdapat lima syarat suatu ajaran disebut sebagai agama.

Pertama, adanya masyarakat. Mulanya agama terbentuk karena kesamaan cara berpikir masyarakat pada suatu daerah. Kesamaan berpikir ini biasanya berasal dari tingkah laku yang sama antar masyarakat. Misal ketika suatu kelompok masyarakat melalukan ritual untuk berterima kasih kepada alam karena telah memberi kehidupan bagi mereka.

Kedua, adanya aturan. Karena telah terbentuk persamaan pikiran, maka dibentuk pula aturan-aturan agar dianut dan tidak dilanggar oleh masyarakat tersebut. Aturan dibentuk dengan tujuan adanya batasan-batasan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Apabila ada seseorang yang melanggar, biasanya diberi timbal balik sesuai kesepakatan awal sejak dibentuknya aturan.

Ketiga, terdapat kepercayaan dalam diri masyarakat terhadap ajaran yang dianut. Kepercayaan ini dapat muncul karena rasa percaya diri dari masyarakat terhadap apa yang dilakukan. misal, alam memberi kehidupan bagi manusia, dan manusianya memberi puja kepada alam. Secara tidak langsung, adanya situasi yang disebut “kebetulan”, di mana manusia memberi sesembahan dan alam memberi timbal balik seperti hujan dan panen melimpah.

Keempat, tradisi untuk menghormati leluhur maupun pemimpin. Biasanya dengan sembahyang maupun ritual lainnya. Ritual untuk menghormati dilakukan dengan memberi sesajian sesuai kesepakatan masyarakat.

Kelima, kosmologi, sebagai akibat atau hasil yang diperoleh apabila melakukan atau tidak melakukan ajaran yang dianut. Ada kepercayaan dari masyarakat apabila berbuat baik akan mendapat hasil yang baik

Dengan lima syarat tersebut, suatu ajaran dapat disebut “agama”. Namun, apabila suatu ajaran tidak memenuhi lima syarat itu, dapat dikatakan sebagai kepercayaan saja.

Jadi, apa itu agama?

Banyak orang mempertanyakan apa itu agama. Apakah pemberian Sang Pencipta? Apakah dibuat-buat? Ataukah karena memang itulah agama tanpa diciptakan?

Apabila kita mempelajari tujuh teori agama dari para filsuf dan sarjana. Kita akan memahami asal-usul agama itu ada. Dimulai dari teori animisme yang dikemukakan oleh Edward Burnet Tylor dan James George Frazer. Dahulunya masyarakat primitif dianggap mampu menalar hal sederhana tentang kehidupan dan kematian. Kemudian berlanjut dengan anggapan bahwa ‘roh’ adalah sesuatu yang halus dan mendiami alam sekitar.

Lalu, teori Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud, teori Kesakralan dan Masyarakat oleh Emile Durkheim, teori Agama sebagai Bentuk Alienasi oleh Karl Marx, teori Hakikat dari yang Sakral oleh Mircea Eliade, teori Konstruksi Hati Masyarakat oleh E. Evans Pritchard, dan teori Agama sebagai Sistem Kebudayaan oleh Clifford Geertz.

Pada akhirnya, suatu agama ada karena konstruksi dari pikiran masyarakat. Masyarakat yang memiliki kesamaan berpikir dalam suatu daerah, kesamaan melakukan suatu ritual sehingga muncul pengakuan yang disebut “agama”. Setelah adanya “agama”, kemudian masyarakat berpikir agar “agama” tersebut dapat lestari. Maka, sesuai kesepakatan dari masyarakat yang memiliki agama tersebut untuk menyebarkannya.

Lalu, mengapa Saya disebut Buddhis?

Apakah saya menjadi Buddhis karena bawaan lahir? Kalau boleh jujur, saya tidak Buddhis sejak lahir, sekitar kelas IV Sekolah Dasar baru masuk Buddhis dan ketika masuk kuliah baru mengenal Buddhis lebih mendalam. Lalu, bagaimana dengan Anda?

Banyak orang menjadi Buddhis karena bawaan lahir alias turun-temurun dari orangtua. Ada juga karena pilihan hidup kemudian memilih menjadi Buddhis. Adapula yang memilih agama Buddha karena kebetulan saat hujan berteduh di wihara.

Lantas, mengapa kita disebut beragama Buddha? Apa karena berbuat baik? Suka berdana? Tidak membunuh? Kalau kita beragama Buddha karena hal tersebut, jadi apa bedanya kita dengan agama lain? Padahal itu semua juga diajarkan dalam kepercayaan lainnya.

Yang perlu digaris bawahi, kita disebut Buddhis karena mempraktikkan ajaran Buddha. Bukan sekadar berdana maupun pergi ke wihara. Namun, kita benar-benar memahami ajaran Buddha yakni Dhamma. Dhamma, ajaran universal dari Buddha, diperuntukkan kepada semua makhluk. Berbuat baik yang pantas dilakukan disertai tujuan yang jelas adalah ajaran Buddha. Berbuat baik dengan tidak pamrih, selalu waspada, penuh perhatian dengan segala hal yang dipikirkan maupun diucapkan, dan menemukan kebenaran melalui diri sendiri, bukan dari orang lain.

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

The post Mengapa Saya disebut Buddhis? appeared first on BuddhaZine.

Master Thich Nhat Hanh dan Agama Buddha yang Membumi

$
0
0

Pada tahun 1995, Bruder David Steindl-Rast, OSB, menulis kata pengantar untuk buku Buddha yang Hidup, Kristus yang Hidup karya Thich Nhat Hanh, menyatakan, “Thich Nhat Hanh memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap konsep-konsep, tetapi sebagai sebuah cara, bukan (sebagai) sebuah akhir.”

Bruder David memperjelas bahwa Thich Nhat Hanh merupakan seorang bhikkhu yang terampil. Pada tahun 1963, selama perang Vietnam, saat beliau menyaksikan penderitaan masyarakat di tanah airnya, Thich Nhat Hanh menciptakan istilah penting “agama Buddha yang membumi,” yang secara konseptual serupa dengan “agama Buddha yang manusiawi,” yang dianjurkan Master Hsing Yun.

Beliau melihat kebutuhan negaranya pada saat itu dan meneruskan dengan, “Mendesak para bhikkhu dan bhikkhuni untuk menangguhkan latihan penyepian pribadi demi meningkatkan perlawanan kekerasan tanpa kekerasan.”

Thich Nhat Hanh, memimpin protes anti perang, membangun kembali perdesaan, merelokasikan pengungsi, secara internasional melakukan lobi untuk pembicaraan-pembicaraan damai, serta mempublikasikan buku-buku dan artikel-artikel tentang krisis yang menghadang negaranya beserta tradisi Buddhis.

Agama Buddha yang membumi merupakan sebuah pendekatan terhadap masalah-masalah kontroversial modern, sementara agama Buddha yang manusiawi lebih merupakan cara-cara melalui pendidikan, promosi, dan pengabdian bagi agama Buddha dengan dasar keseharian. Keduanya merupakan cara-cara terampil yang berakar pada tradisi welas asih Mahayana, mencari serta berupaya untuk memperbaiki dunia dan membantu manusia membebaskan semua makhluk dari penderitaan.

Thich Nhat Hanh menciptakan istilah modern lain yang terkait, “Makhluk yang saling terhubung, Interbeing.” Pada tahun 1964, beliau mendirikan Ordo Interbeing, sebuah komunitas dari praktisi – aktivis, dan merancang 14 sila tambahan sebagai tambahan bagi lima yang tradisional. Beliau menyerukan sebuah sikap Buddhis tentang pemahaman terhadap saling keterhubungan.

Thich Nhat Hanh menekankan bahwa segala hal, manusia dan alam sama-sama penting, tak terpisahkan, dan saling tergantung. Kesadaran seperti ini melahirkan konsentrasi mendalam tentang perilaku kita sehari-hari – apakah itu berjalan, makan, mencuci piring – dan tentang setiap aspek dari lingkungan kita.

Ajaran Thich Nhat Hanh menawarkan panduan untuk memperbaiki dunia.

Thich Nhat Hanh menumbuhkan tradisi Mahayana tentang mengembangkan welas asih dan sikap Buddhis yang modern tentang keterlibatan sosial, beliau telah membawa pemikirannya melampaui tanah kelahirannya ke tingkat dunia.

Persaudaraan Damai Buddhis yang bermarkas di California, didirikan pada tahun 1977 oleh guru Zen Robert Aitken, dan Lingkaran Pencipta Perdamaian Internasional yang berpusat di Massachusetts, yang didirikan pada tahun 1996 oleh Bernie Glassman merupakan dua instansi dari organisasi-organisasi yang mengikuti teladan Thich Nhat Hanh di Amerika Serikat.

Di Asia, pendekatan damai Thich Nhat Hanh juga telah mengilhami banyak pemikir besar, seperti Sulak Sivaraksa dari Thailand, yang mendirikan Jaringan Internasional Buddhis yang Terlibat (INEB) pada tahun 1989. Sivaraksa telah mendirikan banyak organisasi non pemerintah di kalangan akar rumput bagi perdamaian, hak asasi manusia, pengembangan komunitas, serta dialog oikumene. (Buddhistdoor.net)

The post Master Thich Nhat Hanh dan Agama Buddha yang Membumi appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live