Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Dilema Persahabatan di Era Media Sosial

$
0
0

Social media sudah merubah interaksi dan kebiasaan manusia sepuluh tahun belakangan ini, sudah melewati dari tatanan ideal akan saling berbagi dan membantu keterbukaan dan keterhubungan. Perdebatan yang banyak di angkat adalah pengaruhnya ke kesehatan mental, hubungan antar manusia, komunikasi publik, politik dan seterusnya.

Walau social media turut berkontribusi untuk membangun komunitas dan mendekatkan manusia satu sama lain, masih ada kontroversi akan keamanan data pribadi dan manipulasi, privasi, dan informasi yang salah.

Dari perspektif Buddhis, ada beberapa pertanyaan yang menarik mengenai social media. Contohnya, apa yang akan Buddha lakukan dengan social media? Bagaimana kita menggunakan social media dengan sadar penuh? Apa tuntunan spiritualnya untuk membangun wadah social media yang bermanfaat untuk kebaikan manusia?

Dari sudut pandang Buddha 

Dasarnya, artikel ini membahas social media dari sudut pandang Buddha akan persahabatan. Mungkin saja kebijaksanaan Buddha yang berusia 2,500 tahun masih mencerahkan untuk era social media ini.

Pencerahan pertama dari ajaran Buddha adalah kekuatan dari perkembangan topik, yang memberitahukan kita kalau hidup kita bergantung dengan formasi mental dan label. Di mana social media membuat kita menambahkan atau menghapus “teman” kita seperti sebuah persahabatan mendalam terbentuk atau hancur, kita itu ternyata hanya mengucapkan “hai” dan “dadah” kepada kenalan baru.

Di social media, kita bisa mengetahui banyak mengenai seseorang yang tidak begitu kita kenal. Kita tidak pernah menguji kenalan baru kita dalam konteks yang berbeda – kita tidak tahu hubungan mereka dengan keluarga, rekan kerja, atau bahkan hewan peliharaannya! Pengetahuan kita akan seseorang melalui sosial media sangatlah rapuh dan palsu, namun kelihatannya “pertemanan” nya sangat akrab dan dekat.

Banyak dari kita dengan sukarela memberikan informasi dengan mereka yang kita tidak bagikan kepada keluarga kita. Kita bisa mengikuti dan mempelajari setiap detail mengenai seseorang yang jarang berbicara dengan kita. Dulu, gambaran kita akan seseorang akan bertahan lama dan persahabatan butuh tahunan untuk dibangun. Kebanyakan teman baik kita adalah teman sekolah kita, kemungkinan karena kita menghabiskan banyak waktu dengan mereka dan keluarganya.

Dalam diskusi filsuf dan ahli sejarah Yuval Noah Harari di podcast-nya baru-baru ini, menyebut manusia adalah hewan sosial, namun kita hanya bisa memiliki 150 kenalan – dari angka yang dipopulerkan Dunbar. Itu juga merupakan angka kira-kira untuk setiap orang memiliki teman atau kenalan yang akan dengan mudah diingat tanpa bantuan apapun.

Mungkin saja itu diambil dari rata-rata angka normal dalam kelas di sekolah. Rata-rata di sekolah SD dan SMP memiliki jumlah murid sekitar 30 orang dan memiliki 4-5 kelas di setiap angkatannya, maka tidak lebih dari 150 anak murid di angkatan yang sama. Cukup kenali ada berapa teman baik kita di SMA. Bahkan saat kuliah pun, sebuah kelas besar menampung 150-200 mahasiswa. Kelas yang sangat besar bisa menampung sampai ke 1,000 mahasiswa, tapi itu juga kapasitas rata-rata di auditorium kampus.

Ini menunjukkan berapa banyaknya jumlah orang yang kita bisa atur secara personal. Angka yang lebih dari 150 adalah kenalan kita yang kita kenal namun tidak dekat. Sedangkan untuk Key Opinion Leaders (Selebgram) dengan jangkauan puluhan ribu, juga bahkan jutaan orang yang mereka sebut “teman” adalah “fans” atau “followers”. Orang akan menilaimu berdasarkan apa yang kamu post tapi mereka tidak benar-benar mengenalmu.

Sayangnya, konsep pertemanan online ini sulit dibedakan dengan pertemanan sungguhan. Ketika anak remaja mulai menggunakan social media, mereka rentan dengan penghakiman membabi buta, manipulasi, dan perudungan dari orang-orang yang mengaku sebagai temannya.

Sungguh penting untuk anak muda dan remaja bisa melindungi diri dari informasi yang tidak benar dan orang palsu atau akun hoaks (penipu). Kemudian beban yang paling besar dari social media adalah penyebarannya luas dan cepat serta tercatat secara permanen. Contohnya, karyawan yang baru direkrut di dunia finansial akan dilatih agar tidak melakukan hal bodoh yang akan menjadi berita utama di Wall Street Journal.

Kekuatan jempol kita

Sungguh menakutkan mengetahui kalau jempol kita punya kekuatan setara dengan Wall Street Journal. Postingan kita bisa viral dan meraih jutaan orang dalam sekejap. Beban untuk memilih teman yang benar dan menggugah konten yang benar melelahkan untuk orang dewasa, apalagi untuk remaja.

Buddha mengajarkan pentingnya sahabat dalam perjalanan spiritual. Beliau mengkoreksi pemahaman YM Ananda dan menyampaikan

“Sahabat baik adalah, sahabat yang menemani dan saling berbagi rasa”, bukan setengahnya, namun seluruh hidup di jalan spiritual. Sahabat di jalan spiritual membantu kita menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan pembebasan seutuhnya. Buddha membedakan sahabat yang baik dan jahat bukan berdasarkan usia ataupun tempat tinggal. Maka, sahabat baik adalah “Pemikirannya matang, teguh dalam berkeyakinan, disiplin moralnya, murah hati, dan bijaksana”.

Siapapun yang memiliki sahabat baik bisa dengan bebas dalam bertukar ide dan pikiran, maka dengan itu bisa mencontoh dari pencapaian moral pribadinya.

Argumen dari Biksu Bodhi (2005) adalah praktik Dharma memiliki dimensi manusia dan sosial dengan bantuan dari sahabat spiritual, melindungi, sekaligus saling membantu dalam jalan spiritual yang dilalui. Dalam Sigalaka Sutta, Buddha menganjurkan kalau kita merawat sahabat dengan terampil “Melalui hadiah, kata-kata baik, melalui menjaga kesejahteraan mereka, dengan memperlakukan mereka seperti memperlakukan diri sendiri, dan melalui menepati kata-katanya.”

Maka seterusnya sahabat ini sebaiknya membalas “dengan menjagamu ketika lengah, menjaga hak milikmu ketika lengah, menjadi tempat berlindung ketika kamu takut, dengan tidak meninggalkanmu ketika ada masalah, dan dengan memperhatikan anak-anakmu.”

Keinginan dan kebencian

Topik yang ramai diperbincangkan dalam Ajaran Buddha adalah keinginan dan kebencian. Perubahan tajam terjadi di social media adalah dimana saat dimulainya tombol “like” di 2009 dan “marah” di 2016. Tombol ekspresi ini mengajak netizen untuk menggambarkan perasaannya, seperti anjing mengejar ekornya, menyebabkan perburuan akan likes dan reaksi ekstrem.

Perlombaan untuk meraih klik, tanggapan dan pertukaran ide mengaduk emosi dari pengguna yang sebenarnya tidak punya opini kuat atau hanya ikut-ikutan saja. Social media menjembatani perkembangan dari opini, perasaan, dan tanggapan – tidak ada reaksi yang sebegitu buruknya di social media.

Jadi, seringnya kita itu berpikir kalau netizen yang like, support atau share akan kesukaan kita adalah teman kita, sedangkan yang keberatan dan menolak kesukaan atau pandangan kita sebagai musuh. Buddha membabarkan empat tipe orang yang bisa kita sebut sebagai sahabat setia :

1. Orang yang suka membantu
2. Orang yang sama di kala kita susah atau senang
3. Orang yang menunjukkan apa yang bagus buatmu
4. Orang yang simpatik

Arti teman

Teman yang suka membantu akan selalu berada di samping kita, menjaga kita dan barang milik kita, bahkan di saat kita lengah, dan saat kita kekurangan akan memberikan dua kali lipat dari yang kita minta bahkan di saat berbisnis.

Orang yang sama di kala kita susah atau senang akan bercerita mengenai rahasianya, melindungi rahasiamu, memberikan harapan di kala susah, dan bahkan bisa memberikan nyawanya untukmu. Orang yang menujukkan apa yang bagus buatmu akan menjadi kompas moralmu, menjagamu dari berbuat salah, membantumu dalam berbuat baik, memberikan petunjuk di kala kamu tersesat, dan menunjukkan jalan ke surga untukmu.

Yang terakhir adalah orang yang simpatik akan menyayangkan kesialanmu, senang di saat kamu beruntung, membelamu dikala ada yang menjelekkanmu di belakangmu, dan memuji orang yang bicara baik di belakangmu.

Buddha juga memperingatkan akan orang yang terlihat sebagai “Musuh berwajah sahabat” (frenemies):

1. Orang yang suka mengambil
2. Orang yang pandai berbicara
3. Orang yang suka memuji
4. Orang yang kikir

Orang yang suka mengambil akan mengambil semuanya, mau barang mahal dengan harga murah, melakukan sesuatu atas dasar rasa takut, dan selalu mau untung sendiri. Orang yang pandai berbicara suka membahas kebaikkan lamanya dan yang akan dilakukannya di depan, dengan janji-janji manis akan niat baik, dan selalu ada saja alasan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Orang yang suka memuji tidak menyukai perbuatan buruk dan juga mengkritik perbuatan baik. Mereka juga berlidah ular, memujimu di depanmu, namun membicarakan keburukkanmu di belakangmu. Orang yang kikir akan berteman denganmu di saat kamu nongkrong saja, nongkrong di jalanan di saat yang salah, di tempat keramaian yang tidak bajik dan pesta, dan ketika kamu kecanduan judi.

Ajaran Buddha menaikkan level kita akan nilai untuk sahabat spiritual. Beliau mengajak kita untuk merenungi apakah kita sudah memperhatikan dan mengolah sahabat kita, yang akan bermanfaat untuk hidup dan perjalanan spiritual kita, atau kita terlalu lama memelototi layar dengan musuh berwajah teman kita?

Diterjemahkan dari: Ernest Chi-Hin Ng ; Buddhistdoor global

The post Dilema Persahabatan di Era Media Sosial appeared first on BuddhaZine.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2781

Trending Articles