Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Dirgahayu 47 Tahun HIKMAHBUDHI

$
0
0

Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia atau yang biasa disingkat HIKMAHBUDHI merupakan salah satu organisasi pergerakan yang diisi oleh mahasiswa Buddhis dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Nilai-nilai Dharma menjadi pedoman dalam setiap napas pergerakan HIKMAHBUDHI untuk kemajuan komunitas, bangsa, dan negara. Aktif bersama dengan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan lintas agama lain, menjadikan HIKMAHBUDHI sebagai salah satu garda terdepan komunitas Buddhis dalam menyikapi isu-isu krusial bagi komunitas, bangsa, dan negara.

Pada Rabu (16/5), HIKMAHBUDHI genap berusia 47 tahun, usia yang tak lagi muda, namun belum tua untuk berhenti berkarya. Pada tanggal tersebut pula, Presidium Pusat HIKMAHBUDHI mengadakan kegiatan HARLAH 47 Tahun HIKMAHBUDHI bertempat di Restoran Eka Ria, Jakarta.

Perayaan ini dihadiri oleh bhikkhu Sangha, majelis, organisasi kepemudaan Buddhis, dan kader HIKMAHBUDHI dari berbagai daerah. Dengan mengangkat tema “Tingkatkan Kalyanamitta, Tebarkan Metta Demi Bangsa yang Beradab”, perayaan ini dihadiri juga oleh mantan ketua umum HIKMAHBUDHI periode sebelumnya, seperti Eddy Setiawan, Eko Nugroho, Adi Kurniawan, dan Suparjo yang di antaranya memaparkan berbagai pandangan bagi komunitas Buddhis untuk menjadi lebih baik dan turut andil dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemotongan tumpeng menjadi acara puncak dalam perayaan ini, yang secara simbolis dipotong oleh Ketua Umum PP HIKMAHBUDHI Sugiartana dan diserahkan kepada Romo Piandi mewakili komunitas Buddhis yang hadir.

Persatuan membawa kebahagiaan

Tingkatkan Kalyanamitta, Tebarkan Metta Demi Bangsa yang Beradab sesuai dengan kondisi bangsa saat ini yang diserang berbagai isu terorisme dan radikalisme. Sugiartana pun menyampaikan dalam sambutannya bahwa komunitas Buddhis harus bersatu, bahu-membahu, dan saling melengkapi karena persatuan membawa kebahagiaan.

“Acara ini juga menjadi salah satu acara konsolidasi nasional, kita tingkatkan kalyanamitta. Kita bersatu bahu-membahu ikut serta dalam pembangunan bangsa ini. Kita tebarkan cinta kasih tanpa permusuhan demi bangsa Indonesia yang beradab,” papar Sugiartana.

Sebarkan konten positif

Di era digital ini, media sosial bagaikan pisau bermata dua. Perang tak lagi nampak di dunia nyata, semuanya bersentuhan langsung dengan pikiran dan psikis pembaca. Apakah itu berita hoaks atau bukan? Positif atau negatif? Pembaca yang tidak cerdas kadang membagikan konten tersebut tanpa melihat isi yang terkandung di dalamnya.

Like, share, dan comment menjadi senjata ampuh tentara media sosial membombardir pikiran dan psikis pembaca sehingga muncul kebencian yang berdampak besar dalam kehidupan nyata. Adi kurniawan dalam diskusi pun mengajak para generasi muda untuk memerangi konten-konten negatif ini.

“Saya bersama tim UKP PIP setiap hari menyebarkan konten-konten positif, baik berupa artikel, gambar, maupun video singkat. Ayo kita bantu juga sebarkan konten-konten positif tersebut. Kita harus cerdas dan kalahkan konten-konten negatif yang muncul,” ucap Adi.

Biksu Girivirya yang hadir dalam acara ini turut menyampaikan bahwa komunitas Buddhis harus masuk dalam sendi-sendi kebangsaan. Salah satu alumni Lemhanas ini memaparkan bahwa lenyapnya ajaran Buddha tidak hanya disebabkan oleh para bhikkhu/biksu tidak menjalankan Dhamma-Vinaya dengan benar. Ia mengambil salah satu contoh hancurnya agama Buddha di India yang disebabkan oleh pergantian kekuasaan.

Di akhir acara, bhikkhu Sangha memimpin doa bersama untuk keselamatan bangsa atas segala kejadian terorisme yang memakan korban jiwa dan meresahkan masyarakat Indonesia. Para bhikkhu/biksu mengajak untuk mendoakan para korban dapat terlahir di alam yang baik dan bertemu Dharma serta para teroris tersebut diberikan kesadaran untuk berubah ke jalan yang benar tanpa ada kebencian dan permusuhan.

The post Dirgahayu 47 Tahun HIKMAHBUDHI appeared first on .


Mengapa Atisha Berguru pada Serlingpa di Nusantara?

$
0
0

“Di dalam Buddha, Dharma, dan Sangha

Aku pergi berlindung hingga tercapai pencerahan.

Melalui buah mempraktikkan kedermawaan dan kesempurnaan lainnya,

Semoga aku mencapai Kebuddhaaan demi kebahagiaan semua semua makhluk.”

Sudah banyak diceritakan dalam sejarah bahwa Atisha (982-1054) pernah berguru pada Serlingpa Dharmakirti atau Dharmakirti Suvarnadvipa di Nusantara, tepatnya di Sumatera pada era Sriwijaya. Atisha tinggal bersama Serlingpa pada tahun 1011 hingga 1023 M. Ajaran “Tujuh Poin Instruksi untuk Membangkitkan Bodhicitta”, dan juga “Menukar Diri Sendiri dengan Makhluk Lain (Exchanging Self and Others)”, merupakan dua di antaranya yang terkenal dan sangat memengaruhi perkembangan agama Buddha di Tibet.

Pada umur 45 tahun, Atisha Dipamkara Shri Jnana kembali ke India. Atisha belajar pada 157 guru-guru ternama di India sebelumnya. Ketika beliau mendengar nama Dharmakirti Suvarnadvipa, Atisha meneteskan air mata. Suatu ketika muridnya bertanya apakah Serlingpa adalah guru terdekatnya. Atisha menjawab, “Aku tidak membedakan guru-guruku. Namun demikian, karena kebaikan Guru Dharmakirti Suvarnadvipa aku mencapai kedamaian dan memahami inti dari ajaran bodhicitta.”

Kembali ke India, Atisha menjabat sebagai guru besar di Vikramashila, dan kemudian ajaran bodhicitta menyebar luas di pelosok India. Pada tahun 1042, pada waktu itu Atisha tepat berusia 60 tahun diundang oleh Raja Yeshe Od ke Tibet.

Atisha melakukan pembaharuan agama Buddha Vajrayana di Tibet dengan mendirikan Kadampa, yang belakangan direformasi menjadi Gelukpa oleh Lama Tsongkapa. Ajaran bodhicitta hingga sekarang menjadi bagian penting dalam praktik Vajrayana yang bukan hanya pada Gelukpa, tapi juga pada sekte Vajrayana lainnya seperti Nyingmapa, Kagyupa, dan juga Sakyapa.

Mengapa Atisha merasa perlu belajar di Nusantara?

Ada beberapa versi, seperti Atisha belajar ke Nusantara untuk mencari Serlingpa atas petunjuk dari Tara. Ada juga kisah, ketika Atisha yang sedang ziarah di stupa Bodhgaya. Ada percakapan antara wanita muda dan tua yang menarik perhatian Atisha. “Jalan apa yang mesti dipraktikkan untuk mencapai pencerahan?” wanita muda bertanya. Lalu wanita tua menjawab, “Latihlah pikiran dalam cinta kasih dan welas asih, dalam bodhicitta.” Dari berbagai versi, yang jelas semuanya menunjukkan bahwa Atisha secara khusus belajar tentang ajaran bodhicitta pada Serlingpa.

Ajaran bodhicitta merupakan ajaran yang umum di Mahayana, dan tentu saja guru-guru India lainnya juga mengajarkan ajaran ini. Lalu, mengapa Atisha mesti berguru pada Serlingpa?

Sebagian peneliti menyebutkan bahwa pada zaman itu ajaran Bodhicitta sudah langka di India, sehingga mesti belajar pada silsilah yang tepat, dan silsilah yang masih ada adalah dari Serlingpa. Atisha berguru pada Serlingpa di Sumatera agar suatu saat dapat membawanya kembali ajaran bodhicitta itu ke India.

Namun ada juga yang berpandangan bahwa ajaran bodhicitta itu sudah ada di India sebelumnya, hanya saja Serlingpa punya pendekatan yang lebih “baru” pada zaman itu. Dagpo Rinpoche pernah menyebutkan bahwa Atisha mencari silsilah kunci ajaran bodhicitta. Di mana pun Atisha mencari di pelosok India, Atisha tidak menemukan sosok yang dimaksud hingga akhirnya menemukannya di Sumatera pada diri Serlingpa.

Istilah “baru” dalam tanda petik membawa arti bahwa ajaran bodhicitta itu sendiri sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelumnya Shantideva yang hidup sekitar abad ke-8 telah mengajarkan hal itu, dan hal itu nampak pada karyanya Bodhicaryavatara, sebuah risalah penuntun jalan Bodhisatva, yang menekankan pentingnya cinta kasih (maitri) dan welas asih (karuna).

Yang menarik dari ajaran Serlingpa adalah penggunaan bodhicitta sebagai metode untuk jalan pencerahan. Beberapa menyakini bahwa Serlingpa menemukan kembali esensi dari ajaran bodhicitta.


Lama Zopa Yeshe. Ist

Apa itu Bodhicitta?

Bodhicitta secara harafiah berarti pikiran yang tercerahkan. Dalam penjabarannya, bodhicitta merujuk pada keadaan mental yang penuh cinta kasih (maitri) dan welas asih (karuna) pada penderitaan semua mahkluk. Bodhicitta bukan sekadar cinta kasih dan welas asih tapi melibatkan tindakan dan komitmen agar dapat membebaskan semua makhluk dari penderitaan samsara.

Dalam Mahayana klasik, mahkluk yang memiliki aspirasi seperti ini disebut sebagai bodhisattva. Bodhisattva menunda mencapai Nirvana sebelum semua mahkluk terbebas dari samsara terlebih dahulu.

Ajaran Serlingpa yang memengaruhi agama Buddha Vajrayana di Tibet memiliki pendekatan yang agak berbeda. Ajaran ini justru meletakkan pentingnya metode bodhicitta, bukan sekadar aspirasi. Dengan berlatih bodhicitta, maka jalan pencerahan justru lebih cepat tercapai. Artinya bodhisattva yang hidup dalam dunia ini adalah juga mahkluk yang tercerahkan. Bodhisattva sudah sudah bukan menunda mencapai pencerahan, tapi untuk mencapai pencerahan lebih cepat.

Sampai sekarang kita bisa menjumpai doa perlindungan dan pengembangan bodhicitta seperti dalam syair berikut:

“Di dalam Buddha, Dharma dan Sangha

Aku pergi berlindung hingga tercapai pencerahan.

Melalui buah mempraktikkan kedermawaan dan kesempurnaan lainnya,

Semoga aku mencapai Kebuddhaaan demi kebahagiaan semua semua makhluk.”

Lama Yeshe dalam suatu kesempatan pernah menjelaskan metode bodhicitta dengan mengatakan, “Tanpa bodhicitta, tidak akan berhasil, dan yang paling penting dipahami, meditasimu tidak berhasil dan realisasi tidak akan datang.” Jika seseorang bermeditasi tanpa bodhicitta, maka mudah sekali terjebak pada kemelekatan akan ego.

Mempelajari Dharma, berbuat baik, melakukan hal-hal lain, apabila masih saja dalam pola kemelekatan ego seperti ini, maka hal itu tidak akan membuat damai dan bahagia. Sesuatu yang nampak baik jika diiringi reaksi, “Aku, aku ingin, aku ingin lebih, lebih, dan lebih lagi,” maka pikiran akan selalu terganggu dan kacau. Keadaan tanpa bodhicitta seperti itu analoginya seperti membersihkan kotoran di suatu ruangan lalu mengotorinya lagi. Tanpa bodhicitta maka sangat sulit mengakumulasi kebajikan.


Dagpo Rinpoche. Ist

Dua prinsip utama

Dalam Vajrayana ada dua prinsip utama yaitu metode (upaya) dan kebijaksanaan (prajna). Metode disimbolkan sebagai vajra. Sedangkan kebijaksanaan disimbolkan sebagai genta (ghanta) atau bel. Metode secara umum disebut upaya kausalya, dan dalam Vajrayana sangat banyak variasi metode seperti ini.

Dari banyaknya metode, metode yang paling penting adalah bodhicitta, yang dirahkan pada welas asih yang aktif. Disebut aktif karena mengarahkan diri demi kebahagiaan semua mahkluk, dan yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah realisasi akan kekosongan (sunyata) yang menjadi sifat alami dari segala sesuatu. Metode dan Kebijaksanaan, atau Welas Asih dan Kebijaksanaan, keduanya saling berkaitan. Secara alami, jika dua prinsip utama itu dikembangkan, maka akan membawa pada pencerahan.

Atisha secara khusus berguru pada Serlingpa untuk mempelajari ajaran bodhicitta yang menjadi hal esensi dalam praktik Vajrayana. Atisha dikenal sebagai figur penting dalam tradisi Buddha Tibet. Atisha juga menyempurnakan, mensistematisasi, dan menyusun pendekatan yang inovatif dan menyeluruh untuk bodhicitta yang dikenal sebagai “latihan pikiran” (Tib. Lojong). Sangat jelas dalam teks-teks seperti A Lamp for the Path to Enlightenment, Atisha menetapkan keunggulan bodhicitta pada tradisi Mahayana. Pendekatan Atisha akan metode bodhicitta seperti ini pernah tumbuh subur di Nusantara.

Kejayaan agama Buddha di Nusantara di masa lalu tidak mungkin jika tidak turut membentuk budaya dan cara berpikir masyarakat pada zaman itu. Dagpo Rincpoche yang sudah beberapa kali mengajar dan membimbing retret Lamrim di Indonesia menyebutkan bahwa budaya Nusantara yang terbuka dan penuh keramahan adalah peninggalan ajaran bodhicitta ini.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

The post Mengapa Atisha Berguru pada Serlingpa di Nusantara? appeared first on .

Jualan Agama Buddha?

$
0
0

Seiring perjalanannya selama ribuan tahun, perkembangan Buddhadharma mengalami pergolakan. Di era globalisasi serta pasar bebas ini, Buddhadharma juga tak luput menjadi sasaran kapitalisasi agama.

Agama sering disalahfungsikan atau dijadikan objek untuk memproduksi komoditi dan melahirkan profit yang bersifat akumulatif. Bahkan telah menjadi candu bagi sebagian besar manusia modern saat ini.

Jika umat buta karena hegemoni yang luar biasa di masa neolib ini, sama halnya juga yang terjadi di lingkungan keagamaan yang ‘buta’ pada realitas ketimpangan. Apakah hubungan antara Buddhadharma dan kapitalisme? Sepertinya jelas, tidak ada hubungan di antara keduanya. Buddhadharma adalah “jalan menuju nibbana”, sedangkan kapitalisme adalah “jalan duniawi”.

Santer terdengar di akhir bulan Mei akan berlangsungnya sebuah acara “ritual yang meriah” di sebuah ballroom mal, dengan mendatangkan bhikkhu dari luar negeri. Tentu ini menjadi komoditas yang sangat “empuk”. Konstruksi sosial yang muncul di masyarakat Indonesia tentang agama, lebih pada penggunaan atribut, simbol, atau ritual individual tertentu agar dipandang sebagai orang yang religius.

Selain itu, sebagian masyarakat Indonesia selalu memandang “yang serba luar negeri itu lebih keren”, yang dalam istilah sosiologi disebut Xenosentrisme (Xenocentrism). Kapitalisasi agama berjalan memanfaatkan pemaknaan agama yang tidak dilakukan secara substantif. Tentu penyelenggara acara ini sangat tahu betul karakteristik masyarakat Indonesia, atau lebih spesifik umat Buddha Indonesia.

Jika berefleksi dari perjalanan Sidharta menuju penerangan sempurna, ibadah sosial menjadi hal yang lebih penting dari ibadah individual. Ini terlihat dari cerita, pada saat Buddha melakukan perjalanan menuju Alavi untuk menemui orang miskin. Orang miskin tersebut juga berniat menemui Buddha untuk mendengarkan Dharma meski dalam keadaan menahan lapar yang amat sangat. Setelah si miskin itu bersujud, Buddha yang mengetahui kemudian memberikan bubur dan makanan lainnya kepada orang miskin tersebut.

Setelah selesai makan, ia mencuci mulutnya lalu duduk dengan tenang. Kemudian Buddha membabarkan Dharma, menjelaskan Empat Kesunyataan Mulia. Pada akhir khotbah, orang itu mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Setelah selesai membabarkan Dharma, Buddha lalu membacakan Paritta pemberkahan dan segera meninggalkan desa itu. Cerita ini terdapat dalam Dhammapada, Sukha Vagga.

Masih banyak umat Buddha khususnya di desa-desa yang masih susah. Jangankan untuk melakukan ritual ibadah, memikirkan esok harus makan apa pun kadang tak bisa terjawab. Sangat jarang umat di kota yang mau memerhatikan kondisi komunitas Buddhis secara utuh. Menjadi umat Buddha harusnya bisa lebih bijak dan dewasa dalam melakukan kebajikan.

Billy Setiadi

Ketua HIKMAHBUDHI PC Malang 2016-2018

The post Jualan Agama Buddha? appeared first on .

Kelopak Teratai Meditasi

$
0
0

Ada dua musuh kedamaian yaitu masa lalu dan masa depan. Bagaimana cara melepas masa lalu dan berhenti mengejar masa depan? Bersikaplah ramah terhadap masa lalu dan masa depan.

Ketika Anda berbaik hati, maka Anda akan melepas dengan mudah. Jika Anda marah, maka akan membuat masa lalu menjadi buruk. Ketika Anda baik terhadap masa lalu, masa lalu menjadi lembut. Orangtua Anda pun begitu, walau tidak sempurna, berbuat baiklah kepada mereka, dan semua orang yang berada di lingkungan kita, berbaik hatilah, sehingga kita mudah melepas.

Kemudian apa yang dicemaskan dari masa depan? Kita pun bersikap baik terhadap masa depan, melihat sisi yang terbaik dari masa depan. Di Perth, banyak sekali yang mencemaskan saya jika saya naik pesawat. Resiko yang sangat tinggi, tapi saya tidak takut. Jadi pada saat Anda tidak takut akan masa depan, mudah sekali untuk melepas.

Jadi Anda menembus masa lalu, masa depan, dan berada pada momen kini. Nikmati momen kini, begitu sampai di kelopak paling dalam, itu sangat bahagia. Di kelopak paling dalam, Anda menemukan jeda di antara kata-kata, keheningan berada tepat di momen kini. Ini menakjubkan.

Anda cukup mengamati keheningan dengan penyadaran. Yang biasa Anda sadari adalah napas Anda, napas masuk dan napas keluar. Mengapa napas itu terjadi secara alami meskipun Anda tidak memilikinya? Karena Anda begitu santai, tidak mengkhawatikan masa lalu dan masa depan.

Bagaimana kita mengamati napas? Jadi untuk orang yang belum pernah meditasi, caranya mudah yaitu pejamkan mata, lalu tarik napas keluar masuk 3 kali, kemudian buka mata. Semua orang pasti bisa ini. Bagaimana kamu tau itu napas masuk dan napas keluar 3 kali? Mereka tidak konsentrasi pada ujung hidung atau perut, mereka hanya memperhatikan napas masuk dan keluar. Ini sangat penting karena untuk tidak memilih-milih di mana kalian memperhatikan napas. Karena Anda tidak melakukan banyak aktivitas, maka batin tidak kehilangan energi. Ini malah membangun energi.

Batin

Ada dua bagian batin, yaitu yang pertama yang aktif (si pelaku). Jadi batin Anda yang telah melakukan meditasi adalah cettana/kehendak. Bagian kedua yaitu si pengetahu (cukup mengetahui) secara pasif hanya mengamati. Jadi pada saat itu muncul wawasan bahwa kita mengeluarkan banyak energi untuk mengkhawatirkan dan mencemaskan yang aktif. Sehingga bagian yang mengetahui saja tidak mendapatkan energi sama sekali.

Di meditasi kita membatasi energi yang mengalir ke bagian aktif, sehingga bisa mengalir juga ke si pengetahu. Makin sedikit yang kita lakukan, makin bangun/sadar kita. Dan ini adalah salah satu alasan mengapa manusia di dunia ini mengalami depresi.

Saat kita masuk ke momen kini untuk bersantai dan melepas. Awalnya memang sangat mengantuk, tapi nanti akan muncul suatu energi jika terbiasa. Tanpa upaya, Anda menjadi hening. Lima indra akan berhenti, dan Anda masuk dalam batin (indra keenam).

Dalam batin, Anda akan bahagia dan terasa indah. Yang terjadi adalah Anda bernapas tapi sangat lembut. Seperti kelopak teratai membuka dan sangat indah, yaitu Anda melihat wawasan dalam batin Anda seperti apa. Inilah tahap – tahap meditasi yang sangat kuat.

Bukan hanya lonjakan energi yang kuat, tapi juga inilah suatu penyembuhan. Bukan hanya penyembuhan tapi Anda juga punya batin yang kuat. Dari suatu keheningan barulah Anda bisa melihat hal – hal sebagaimana adanya.

Kutipan kitab suci Buddhis, ketika seorang raja pergi mengunjungi Buddha, jadi dia masuk ke gubuk Buddha lalu berterima kasih karena tinggal dekat kerajaan. Mengapa baginda Raja senang sekali? Tiap kali saya mengunjungi Anda, para siswa Buddha selalu tersenyum dan terlihat bahagia. Buddha menjawab, “Itulah yang terjadi jika Anda bermeditasi dengan benar dan mendapat wawasan batin.”

Octaviani Chen

Dalam pendalaman Dharma

 

The post Kelopak Teratai Meditasi appeared first on .

Menggaungkan Syair Dhammapada yang Menginspirasi

$
0
0

Mengawali bulan Mei 2018, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Sriwijaya Tangerang mengadakan kegiatan One Day Reading Dhammapada atau sehari membaca Dhammapada. Kegiatan yang diinisiasi oleh mahasiswa semester 6 ini dilakukan di lobi kampus STABN Sriwijaya Tangerang dan diikuti oleh 25 mahasiswa.

Kegiatan One Day Reading Dhammapada ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas mahasiswa dalam hal membaca Dhammapada. Dengan membaca ini pula, diharapkan mahasiswa dapat memahami intisari dari Dhammapada tersebut dan dapat menerapkannya dalam berbagai sendi kehidupan.

Dhammapada itu sendiri merupakan salah satu bagian dari kitab suci Agama Buddha yang terdapat dalam Khuddaka Nikāya, Sutta Pitaka. Berisikan syair-syair indah kehidupan, Dhammapada terdiri dari 26 vagga (bab) yang dikemas dalam sebuah buku. Bab-bab tersebut di antaranya: Yamaka Vagga (Syair Berpasangan), Appamada Vagga (Kewaspadaan), Citta Vagga (Pikiran), Puppha Vagga (Bunga-bunga), Bala Vagga (Orang Bodoh), Pandita Vagga (Orang Bijaksana), Arahanta Vagga (Arahat), Sahassa Vagga (Ribuan), Papa Vagga (Kejahatan), Danda Vagga (Hukuman), Jara Vagga (Usia Tua), Atta Vagga (Diri Sendiri), Loka Vagga (Dunia), Buddha Vagga (Buddha), Sukha Vagga (Kebahagiaan), Piya Vagga (Kecintaan), Kodha Vagga (Kemarahan), Mala Vagga (Noda-Noda), Dhammattha Vagga (Orang Adil), Magga Vagga (Jalan), Pakinnaka Vagga (Bunga Rampai), Niraya Vagga (Neraka), Naga Vagga (Gajah), Tanha Vagga (Nafsu Keinginan),  Bhikkhu Vagga (Bhikkhu), Brahmana Vagga (Brahmana).

Dalam pembacaan Dhammapada ini, mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok yang diatur bergantian untuk membaca setiap syair Pali dengan arti Bahasa Indonesia-nya.

Bhikkhu Ratanajayo dan Bhikkhu Pabhajayo turut hadir dan membimbing para mahasiswa selama kegiatan berlangsung. Tak sedikit komentar dan masukan yang beliau sampaikan, khususnya dalam hal tanda baca, tinggi rendah suara, kekompakan dan alunan Magadha yang sesuai. Mahasiswa pun diminta untuk mengulang setiap ada pembacaan syair Dhammapada yang kurang tepat.

Pembacaan Dhammapada ini juga merupakan bagian dari Pariyatti Dhamma (mempelajari Dhamma), yang hakikatnya harus dilakukan oleh seorang mahasiswa, apalagi sebagai mahasiswa jurusan Dharma Acariya dan Dharma Duta.

Terlepas dari itu, syair Dhammapada ini perlu dibacakan dan menyatu dalam kegiatan rohani umat Buddha, karena berisikan berbagai macam nasihat yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti syair Dhammapada berikut:

Bab VI Pandita Vagga (Orang Bijaksana):

(84) Seseorang yang arif, tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri atau pun orang lain, demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat, atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

Kegiatan ini disambut positif oleh bhikkhu Sangha dan para dosen STABN Sriwijaya Tangerang, ini merupakan salah satu bentuk pelestarian Dhamma, terlebih syair-syair Dhammapada belakangan ini hanya terdengar pada saat event-event tertentu, seperti hari raya agama Buddha dan perlombaan. Diharapkan syair-syair Dhammapada ini dapat kembali terdengar di vihara-cetiya seluruh Indonesia dengan menjadi bagian dari kegiatan rohani rutin umat Buddha.

The post Menggaungkan Syair Dhammapada yang Menginspirasi appeared first on .

Memangnya Apa sih Bully itu?

$
0
0

Jawaban rubrik konsultasi psikologi BuddhaZine.com

Bu Maharani Yth.

Salam,

Perkenalkan nama saya Chaca, saya kelas 8 SMP. Bu Maharani, apa sih bully itu? Kok saat Chaca bercanda dengan teman laki-laki di kelas, kemudian teman Chaca itu mendorong saya, terus pas Chaca jatuh, teman-teman aku bilang, eh kamu kena bully.

Perasaan saya sama teman itu ‘kan cuma bercanda aja Bu, terus ‘kan, teman-teman menyarankan agar aku lapor guru, bahwa aku kena bully.

Kok bisa sih Bu, bercandaan dibilang kena bully?

Terima kasih atas jawabannya Bu…

 

Dear Chaca…

Terimakasih untuk pertanyaannya…

Bully

Zaman sekarang itu kata-kata ’bully’, ’ bullying’, di’ bully’, dan mem’ bully’ tampaknya cukup trend di kalangan remaja ya… Sebelum membahasnya lebih lanjut, yuk kita pahami dulu apa sih arti sesungguhnya dari ‘bully’ itu sendiri. Bully atau bullying itu sendiri adalah sebuah sikap, tindakan ,ucapan, atau kata-kata yang bertujuan merendahkan orang lain.

Kemudian dari pihak korban bully itu sendiri, biasanya ia akan mengalami tekanan psikologis mulai dari yang paling ringan sampai berat, misalnya sudah ketakutan duluan ketika akan berangkat ke sekolah karena ketika sampai di sekolah biasanya pasti akan di-bully atau ketakutan setiap kali bertemu dengan si pelaku bullying karena setiap kali berpapasan pasti akan di-bully, dan sebagainya.

Namun ternyata bullying bukan hanya ditunjukkan dengan sikap yang kelihatan saja, bisa juga dengan beberapa hal yaitu:

1. Serangan verbal/kata-kata yang kasar/merendahkan seseorang.

2. Mengucilkan seseorang/menjauhi seseorang/tidak menganggap seseorang itu ada.

3. Mengejek atau merendahkan melalui sosial media dengan media kata-kata, foto atau video.

Serangan-serangan secara mental yang terus-menerus inilah yang justru bisa mengakibatkan tekanan psikologis yang lebih berat pada diri si korban, misalnya stres, depresi, frustrasi, atau ketakutan berlebihan hingga gangguan mimpi buruk.

Tindakan bullying seringkali dilakukan di tempat umum karena ketika melakukannya di depan teman-temannya, si pelaku bullying ini akan mendapatkan rasa puas dengan pujian dan dukungan, sehingga dapat menaikkan harga dirinya di lingkungannya. Serta rasa takut yang ditimbulkan dari si korban, memunculkan rasa bangga tersendiri dalam diri si pelaku. Apalagi jika teman-teman lainnya ikut tertawa dan senang melihat aksi bullying tersebut.

Ada beberapa penyebab seseorang suka melakukan tindakan bullying:

1. Mereka pernah menjadi korban bullying dan ingin membalas dendam kepada orang lainnya.

2. Contoh dari lingkungan atau orang-orang terdekat yang kurang baik, misalnya suka berkata-kata kasar atau merendahkan.

3. Sebetulnya mereka adalah orang-orang yang tidak percaya diri, namun dengan tindakan membully, mereka akan tampak hebat, dikagumi dan disegani oleh teman-temannya.

Nah untuk menjawab pertanyaan Chaca, apakah sikap teman kamu tersebut termasuk bullying atau tidak, sebetulnya titik penilaiannya ada dalam diri Chaca, apakah Chaca sendiri merasa direndahkan atau tidak dengan sikap teman laki-laki Chaca tersebut.

Kemudian Chaca juga bisa melihat apakah sikap tersebut dilakukan secara terus-menerus atau tidak, dan bertujuan untuk melecehkan Chaca. Selama Chaca sendiri tidak merasa itu bermasalah, dan sikap teman Chaca itu juga biasa-biasa saja, berarti tidak termasuk kategori bullying. Karena tindakan bullying itu sendiri, biasanya akan mengakibatkan tekanan mental dan psikologis dalam diri si korban, tentunya dengan merasa direndahkan dan dilecehkan itu tadi.

Korban

Biasanya yang menjadi target korban bullying ini adalah orang-orang yang pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan di masa lalunya atau dalam kehidupan pribadinya, misalnya mereka juga sudah sering direndahkan oleh keluarganya, dianggap bodoh, aneh, dan sebagainya.

Perasaan-perasaan tidak menyenangkan ini biasanya membuat si korban tumbuh menjadi sosok yang penyendiri, sulit bergaul atau sulit memiliki teman baru, tidak percaya diri, dan minder.

Pola dari masa lalu ini biasanya akan terus tersimpan dan terulang meskipun si korban sudah berganti lingkungan baru, atau ganti sekolah. Oleh karena itu penting untuk kita sering-sering melakukan refleksi diri dan memahami pola pemikiran kita sendiri, agar pola yang sama tidak terus terulang.

Selain penyebab di atas, tindakan bullying juga sering dilakukan pada orang-orang yang dianggap ‘berbeda’ atau ‘aneh’ di lingkungannya. Padahal menjadi berbeda atau aneh itu tidak selalu negatif lho…misalnya jika Chaca tinggal di lingkungan orang malas, tapi Chaca adalah orang yang selalu rajin. Maka Chaca akan mendapatkan cap ‘berbeda’ dari lingkungan. Hal tersebut bisa menimbulkan tindakan bullying karena Chaca dinilai berbeda dari rata-rata orang kebanyakan. Padahal itu adalah hal yang positif ‘kan?

Nah jadi janganlah mudah untuk mengategorikan sebuah tindakan sebagai sikap bullying, karena kita harus mengamati dengan cermat apa tujuan si pelaku melakukan tindakannya tersebut, dan bagaimana tekanan perasaan yang dialami oleh si korban.

Jika Chaca sudah mengetahui dengan pasti bahwa sikap seseorang itu termasuk dalam kategori bullying, maka kita wajib melaporkan tindakan tersebut, entah kepada orangtua si korban, atau kepada guru sekolah, kepala sekolah, atau guru BK agar dapat ditindaklanjuti segera dan tidak berlanjut ke ha-hal yang lebih parah. Karena akibat dari bullying ini jika dibiarkan terus menerus akan berdampak pada hal-hal yang tidak diinginkan seperti keinginan bunuh diri, ketagihan obat-obatan terlarang, dan sebagainya.

Semoga penjelasan dari saya cukup bermanfaat dan mengena ya Chaca…

*Bagi yang hendak mengajukan konsultasi psikologi, silakan kirim ke Redaksi@buddhazine.com Ilustrasi: Agung Wijaya

Maharani K.,M.Psi

Psikolog keluarga, Hipnoterapis, dan Trainer

The post Memangnya Apa sih Bully itu? appeared first on .

Sulap, Setan, dan Sila

$
0
0

“Kok kamu mau belajar sulap?” tanya seorang teman sekantor saat penulis baru saja selesai tampil bermain sulap mengisi acara 17 Agustusan di kantor.

“Lho… emangnya kenapa?” penulis balik tanya.

“Sulap itu bersekutu dengan setan. Untuk bisa sulap, kita harus bersekutu dengan setan, jin, menggunakan kekuatan dari dunia kegelapan, bla… bla… bla…” katanya.

Penulis hanya tertawa. Itu terjadi belasan tahun lalu. Apakah sekarang masih ada yang berpandangan seperti itu? Tampaknya masih ada. Saat baca berita tentang sulap atau menonton video sulap di YouTube, ada saja yang masih menuliskan komentar seperti itu. Sulap dapat terjadi karena bantuan jin!

Untuk mengubah pandangan rekan penulis tersebut, penulis mainkan sebuah trik sulap sederhana dengan 2 batang korek api. Lalu penulis bertanya, “Bagaimana dengan trik sulap ini?”

“Pasti dibantu jin. Mustahil korek api itu bisa berpindah hanya dengan ditiup atau ucapan sim salabim,” jawabnya.

Dengan terpaksa penulis bongkar trik sulap itu. Penulis mainkan dengan gerakan lambat dan menjelaskan bagaimana cara kerja trik sulap itu. Akhirnya dengan sedikit penjelasan, dia punya pemikiran yang berbeda dari sebelumnya. Trik itu murni trik, bukan bantuan jin dan sejenisnya.

Sulap itu Berbohong?

Ada yang menganggap sulap itu bohong, dan berbohong itu melanggar sila ke-4 Pancasila Buddhis. Jika penulis bermain sulap, itu artinya melanggar sila ke-4? Entahlah…

Para magician mengatakan sulap itu seni. Seni untuk menghibur. Seni sulap adalah campuran dari berbagai seni. Ada seni akting, musik, tari, seni manipulasi, dan lain-lain.

Iya, tujuan sulap adalah untuk menghibur. Sama halnya dengan artis yang bermain sinetron atau film. Mereka berakting (mereka beraksi seolah hal itu benar-benar terjadi), dan terkadang kita lupa itu hanya film. Adakalanya penonton hanyut terbawa cerita film (ikut sedih, menangis, geram, marah, dan benci pada aktor pemeran antagonis). Padahal jelas-jelas itu hanya “sandiwara” bukan kejadian sebenarnya.

Begitu bencinya penonton pada pemeran antagonis atau penonton yang mengira pesulap memang benar-benar punya kemampuan luar biasa (padahal hanya trik sulap) adalah indikasi keberhasilan artis dan pesulap.

Padanan kata “magic” dalam bahasa Indonesia adalah SULAP, secara tidak langsung menjelaskan apa itu sulap. Kata SULAP jika urutan hurufnya diubah dapat membentuk kata PALSU. Dalam atraksi sulap, apa  yang Anda lihat itu “palsu” (itu hanyalah sebuah ilusi yang terlihat seolah membalikkan segala hal normal). Apa yang mustahil dilakukan orang awam, bisa dilakukan pesulap. Memang begitulah tugas pesulap, melakukan hal yang mustahil untuk menghibur.

Mari berpikir logis

Bagi Anda yang masih berpikir bahwa sulap itu adalah sebuah kejadian nyata (bukan trik), Anda harus lebih banyak membaca atau mencari tahu tentang sulap.

Andai pesulap bisa mengubah kertas yang dilipat menjadi uang, kok pesulap mau tampil di TV atau ada pesulap yang tampil di kaki lima demi uang yang tidak seberapa? Mengapa ia tidak ambil kertas dari tempat sampah, lalu di rumah, dilipat-lipat sambil menyebut sim salabim, kertas itu berubah jadi uang.

Buat apa harus kerja (tampil) ke sana kemari? Bukankah tujuan pesulap tampil di acara launching produk, acara reuni, pesta pernikahan, ulang tahun, dan sebagainya untuk mencari uang? Bukankah lebih enak duduk di rumah lalu mengubah kertas menjadi uang (jika pesulap memang benar-benar bisa melakukan itu). Bener nggak?

Sulap untuk Dhamma

Penulis pernah membuat group WA dengan nama Buddhist Magician. Sayangnya group ini akhirnya vakum. Anggotanya hanya 3 orang. Maksud hati group ini sebagai ajang berkumpulnya pesulap Buddhis (dari yang hanya sekadar hobi sampai yang profesional) untuk berdiskusi.

Ada rencana menggunakan sulap ini sebagai selingan atau jadi sarana dalam membabarkan Dhamma untuk anak Sekolah Minggu Buddhis (SMB).

Menurut penulis, untuk menyampaikan Dhamma kepada anak SMB, pembina SMB harus kreatif agar anak-anak tertarik dan tidak mudah bosan. Banyak cara yang dapat dilakukan agar materi Dhamma tidak membosankan. Bisa dengan story telling, menonton film berunsur Dhamma, menyanyi lagu Buddhis, aneka jenis permainan, termasuk menggunakan sulap.

Mungkin suatu saat Buddhis yang bisa sulap dapat menyumbangkan kemampuannya untuk menyampaikan Dhamma buat anak SMB. Tapi sebelum itu terjadi, yang terlintas dalam benak penulis: “Banyakkah yang kontra jika trik sulap (terkadang menggunakan kartu remi) sebagai media penyampaian Dhamma?

Apakah Anda setuju jika sulap digunakan sebagai media pembabaran Dhamma? Tulisan pendapat Anda di kolom komentar.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

The post Sulap, Setan, dan Sila appeared first on .

Meningkatkan Kreativitas Pengajar SMB, Melalui Pelatihan

$
0
0

Kampus STABN Sriwijaya Tangerang, melalui UKM kerohanian dan SMB menggelar kegiatan yang bertajuk ”Pelatihan untuk Pengajar Sekolah Minggu Buddhis”. Pelatihan ini berlangsung dari tanggal 5/6 Mei 2018 di aula lt kampus STABN Sriwijaya Tangerang-Banten.

Pelatihan Sekolah Minggu Buddha yang diselenggarakan oleh UKM Kerokhanian dan SMB STABN Sriwijaya dengan tema “Mengembangkan Kreativitas dan Membangkitkan Semangat Pengabdian untuk Sekolah Minggu Buddhis ini mengundang narasumber Ibu Mutia Dewi Ali, S.E. dan tim. Beliau merupakan praktisi yang sangat fokus mengembangkan pengajaran SMB yang kreatif dan menyenangkan, sehingga diharapkan siswa-siswi SMB akan sangat senang untuk mengikuti kegiatan SMB.

Dengan adanya pelatihan seperti ini para mahasiswa dan pembimbing SMB mendapatkan bekal yang cukup untuk mengajar SMB sehingga dapat menjadi para pejuang Dharma muda yang memiliki semangat dan jiwa sosial yang tinggi. Beruntung di era kekinian ini, masih banyak generasi muda yang peduli dengan kelestarian Buddha Dharma. Terbukti peserta yang hadir berjumlah 92 yang terdiri dari Mahasiswa STABN Sriwijaya, Vihara Vajra Bumi Nusantara, Cetya Dharma Dwipa, Cetya Veluvana Arama, Pusdiklat Sikhadhamma Santi Bhumi, Boddhisatva Buddhis Centre, Vihara Sasana Subhasita, Vihara Sobhita, dan Vihara Dhamma Metta.

Para peserta pelatihan terlihat antusias dalam mengikuti pelatihan ini, karena kegiatan ini dirasa sangat bermanfaat. Dalam pelatihan ini peserta dibekali dengan cara pengajaran SMB yang menyenangkan, kreativitas, gerak dan lagu, serta metode ice breaking. Dengan bekal materi yang lengkap ini, dapat dipastikan para abdi Dharma ini akan dapat mengemas pengajaran SMB yang variatif dan menyenangkan.

“Semoga para generasi muda Buddhis dapat menjadi pelestari Dharma dengan ketulusan dan berbekal berbagai keterampilan yang diberikan dalam pelatihan ini. Semoga semua makhluk hidup berbahagia,” ungkap Iin Suwarni M.Pd.B Pembina UKM Kerohanian dan SMB STABN Sriwijaya.

Dalam meningkatkan kualitas pengajar SMB, kegiatan pelatihan semacam ini sangat penting, terlebih lagi kegiatan pelatihan ini gratis sehingga animo mahasiswa, pemuda vihara yang mengikuti kegiatan ini sangat bersemangat. Semoga dengan terlaksananya kegiatan ini akan menciptakan tenaga pengajar yang kreatif, inovatif, dan dapat mengembangkan Buddha Dharma dalam dunia pendidikan dan kehidupan sehari-hari.

 

Catatan:

“…di aula lt kampus STABN…” (“aula lt” entah apa maksudnya lt = lantai)?

The post Meningkatkan Kreativitas Pengajar SMB, Melalui Pelatihan appeared first on .


Menyambut Waisak, Pemuda Buddhis Gelar Turnamen Futsal

$
0
0

Pada umumnya umat Buddha memperingati Waisak dengan melakukan ritual, pujabhakti dan ceramah Dhamma di wihara-wihara. Tidak untuk Pemuda Buddhis Temanggung–Semarang–Kendal, mereka lebih memilih untuk menyelenggarakan Turnamen Futsal Lintas Agama. Kegiatan ini diselenggarakan di Lapangan Futsal Erik, Desa Pikatan, Temanggung Sabtu (19/5).

Turnamen ini diikuti oleh tim futsal dari berbagai komunitas lintas agama Temanggung, Semarang, Yogyakarta, Magelang dan Boyolali. “Saya rasa, Waisak adalah saat yang membahagiakan, terutama bagi umat Buddha. Jadi bolehlah kita merayakan dengan kegiatan yang menyenangkan, dan turnamen futsal ini salah satunya,” tutur Weny, ketua panitia acara ini.

Menurut Weny, futsal bukan sebatas olahraga yang menyenangkan dan sedang digemari anak muda, tetapi juga banyak pesan ajaran yang terkandung dalam sebuah permainan. “Di situ ada nilai sportivitas, kerjasama, dan kepedulian, baik kepada sesama kawan maupun lawan.” Dengan mengangkat tema “Jangan Menunggu Kehilangan Baru Mengerti Arti Kebersamaan”, pemuda Buddhis berharap dapat menjalin kerjasama dalam keberagaman.

“Di tahun politik seperti saat ini, tindakan-tindakan intoleransi semakin terlihat nyata, seperti beberapa waktu lalu teroris meledakkan bom di mana-mana. Kami, sebagai orang desa mau menunjukkan bahwa di sini kami bisa berkumpul bersama, lebih dari itu, kami bisa bermain,” pungkas Weny.

Kegiatan ini juga mendapat apresiasi dari Asosiasi Wasit Fusal, Kabupaten Temanggung yang memimpin jalanya pertandingan. Menurutnya, ini adalah karakter masyarakat Temanggung. “Pertandiangan ini berjalan sangat baik meskipun tim yang bertanding dari latar belakang berbeda. Saya berharap panitia dapat mengunggah foto-foto kegiatan ini di media sosial, supaya semua orang tau, ini lho Temanggung.”

Turnamen futsal pemuda Buddhis ini diikuti oleh sepuluh tim futsal, yaitu; Tim Pemuda Buddhis, Pemuda Katolik, Patria Temanggung, Semarang dan Yogyakarta, STIAB Smaratungga, Bina Taruna FC, Phantom FC, Tanggo FC, dan Pemuda Vihara Ananda, Jumo.

Phantom FC keluar sebagai juara dalam turnamen ini setelah mengalahkan mengalah Bina Taruna FC dengan skor telak 8 – 3. Sedangkan pada perebutan juara ketiga antara Orang Muda Katolik dengan Pemuda Buddhis Vihara Ananda, Jumo dimenangkan oleh pemuda Buddhis dengan 14 – 6. Pemuda Buddhis akhirnya keluar sebagai juara tiga.

The post Menyambut Waisak, Pemuda Buddhis Gelar Turnamen Futsal appeared first on .

Buddhis Berpolitik?

$
0
0

Kata Buddha dan politik agak jarang ditemui berpautan. Apabila kata Buddha membuat kita merasa damai, kata politik terkadang cukup membuat kita menjadi tegang. Ya, apalagi bagi kaum minoritas seperti umat Buddha yang tidak sampai 1% jumlahnya di negeri tercinta ini. Hal ini kemudian lebih dipersempit lagi dengan klasifikasi berdasarkan ras atau suku.

Terjun ke politik menjadi sebuah batu karang besar yang kelihatannya tidak mungkin ditaklukkan. Jangankan ikut jadi anggota partai, membayangkannya saja sudah bikin cenat-cenut. Ada banyak sekali tantangan untuk terjun berpolitik.

Keluarga mungkin berkata, “Sudahlah. Jadi pengusaha saja. Jangan macam-macam,” atau kalimat sejenis lainnya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang berani menghadapi tantangan seperti itu.

Tapi tentu saja hal di atas tidaklah tepat. Pada hakikatnya, berpolitik adalah hak asasi semua warga negara. Politik dapat menjadi cara untuk mengeluarkan aspirasi. Hal yang disayangkan adalah apabila politik dilakukan dengan tidak tepat atau dimotivasi oleh hal yang tidak bijak.

Dengan demikian, politik menjadi tindakan yang bersifat menghancurkan. Ketimbang berkompetisi dengan jujur melalui adu visi-misi-program, politikus akan memainkan peran jahat dengan berusaha menjatuhkan reputasi dan mematikan karir lawannya.

Media massa digunakan untuk memberitakan hal-hal yang tidak pasti. Pemilih menjadi bimbang. Politik hanya dijadikan alat untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pihak tertentu saja, bukan bagi kebaikan orang banyak. Politik semacam ini menyebabkan penderitaan.

Padahal, pengertian politik sendiri adalah (1) segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan atau (2) cara bertindak; kebijaksanaan (KBBI). Di sini, artinya politik berkaitan dengan kepentingan umum suatu negara. Mereka yang berpolitik akan memiliki kewajiban untuk membuat keputusan terbaik bagi masyarakat umum dengan memerhatikan hak-hak bagi kaum marjinal dan minoritas. Pada akhirnya, politik menjadi penting dalam kehidupan sehari-hari (pengertian 2) dan bernegara (pengertian 1). Lantas bagaimana kita menyikapi politik dari sudut pandang agama Buddha?

Ternyata agama Buddha memandang politik sebagai suatu cara bertindak yang sudah ada sejak dulu. Pandangan ini bersifat netral, tetapi sebaiknya politik dilakukan dengan tujuan memberikan kebaikan bagi masyarakat dan memajukan peradaban.

Dengan kata lain, politik haruslah progresif. Bahkan, agama Buddha sendiri adalah sebuah pergerakan spiritual-politis yang dilakukan oleh Buddha Gotama ketika melihat suatu sistem yang dianggap perlu untuk diperbaiki. Dengan kebijaksanaannya, Beliau kemudian memberikan pengajaran-pengajaran penting yang membuka wawasan dan pandangan bagi banyak orang pada saat itu.

Pengajaran-pengajaran ini kemudian berkembang dan diterima sebagai sebuah agama baru yang memberikan solusi tidak hanya bagi anggota Sangha dan umat awam, tetapi juga peradaban. Ajaran-ajaran Beliau pun mulai menjadi landasan moralitas bagi umat Buddha.

Menurut Bhante K. Sri Dhammananda (What Buddhists Believe), apabila landasan agama adalah moralitas, kesucian, dan keyakinan; landasan politik adalah kekuatan atau kekuasaan.

Sepanjang sejarah, agama justru sering sekali digunakan oleh mereka yang berkuasa sebagai alat politik untuk melegitimasi tindakan politik mereka. Agama dijadikan alasan untuk berperang, mengadu domba, memberontak, persekusi, maupun penolakan dan penghancuran.

Di sisi lain, agama juga sering kali menggunakan politik sebagai tunggangan untuk memastikan posisinya dalam masyarakat, entah itu dalam mempertahankan dominasinya atau dalam rangka menunjukkan tajinya. Padahal ketika agama bersedia dijadikan sebagai alat politik, maka agama telah kehilangan idealisme moral dan peranannya dalam membimbing masyarakat. Jadi yang benar seharusnya adalah politik dilakukan berlandaskan prinsip-prinsip moral agama.

Bagaimana politik Buddhis seharusnya?

Agama Buddha tidak hanya menekankan pada teori atau Dhamma saja, tetapi juga praktik. Keduanya haruslah seimbang dan saling melengkapi. Ajaran dan praktik Buddhis sendiri merupakan perpaduan unik antara cinta kasih, kebijaksanaan, kesabaran, idealisme, pragmatisme, dan keterbukaan.

Demikian pula ketika kita bersinggungan dengan politik, maka politik harus dilakukan dengan dilandasi prinsip-prinsip di atas. Menurut Buddhadhamma, tidak ada kebenaran atau kebijaksanaan tanpa cinta kasih terhadap semua makhluk. Menurut Dhammapada syair 258:

Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana

Hanya karena ia banyak bicara.

Tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci, dan rasa takut

Dapat disebut orang bijaksana.

Demikian pula dalam Dhammapada syair 84:

Seseorang yang bijaksana tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,

Demikian pula ia tidak menginginkan keturunan, kekayaan, pangkat, atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.

Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

Dengan demikian, dalam berpolitik haruslah dilandasi dengan cinta kasih. Cinta kasih ini harus dikembangkan oleh masing-masing individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Hal ini penting karena sebaik apa pun suatu sistem politik, semua bergantung pada moralitas individu yang membentuk komunitas. Ini menjadi semacam hubungan saling bergantungan antara individu dan komunitas dalam sebuah sistem politik.

Karena bergantung pada individu, maka penting pula untuk memahami tiga akar kejahatan yang sering disebut dalam ajaran Buddha: kebencian (dosa), keserakahan (lobha), dan kegelapan batin (moha). Tiga akar kejahatan ini harus dikikis dengan praktik cinta kasih, kemurahan hati, dan kebijaksanaan.

Apabila politik masyarakat didominasi oleh tiga akar kejahatan, maka bencana tidak dapat dihindari. Sebaliknya, apabila politik yang ada dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh cinta kasih, kemurahan hati, dan kebijaksanaan, maka kedamaian dan kemajuan dapat diharapkan terjadi.

Apabila seorang Buddhis ingin terlibat aktif dalam politik, dia tidak boleh menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuasaan politik, maupun menganjurkan mereka yang telah meninggalkan kehidupan duniawi demi menjalankan hidup suci untuk terlibat aktif dalam politik (Bhante Sri Dhammananda).

Sebagai orang yang turut terlibat aktif dalam politik, tentu akan dihadapkan pada kondisi-kondisi saat keputusan harus diambil. Menyikapi hal ini, maka penting dipahami syair Dhammapada 256 sebagai berikut:

Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa,

tidak dapat dikatakan sebagai orang adil.

Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti,

mana yang benar dan mana yang salah.

Selain itu di dalam cerita Jataka, Buddha juga telah memberikan sepuluh aturan menjalankan pemerintahan dengan benar yang disebut Dasa Raja Dharma. Sepuluh aturan ini menjadi ciri bagi seorang pemimpin atau raja yang mengharapkan kedamaian dan perkembangan bagi negaranya. Kesepuluh aturan/syarat ini sebagai berikut:

Dana, memiliki kemurahan hati.

Sila, memiliki moralitas.

Paricagga, memiliki sikap rela berkorban.

Ajjava, memiliki ketulusan hati dan kejujuran.

Maddava, memiliki keramahan dan kelembutan/sopan santun.

Tapa, memiliki kesederhanaan.

Akkodha, bebas dari niat jahat, kebencian.

Avihimsa, mempraktikkan jalan tanpa kekerasan.

Khanti, mempraktikkan kesabaran dan kerendahan hati.

Avirodhana, menghargai pendapat orang lain, tidak mencari pertentangan.

Demikianlah agama Buddha telah memenuhi peranannya dalam memberikan panduan, tidak saja bagi anggota Sangha, tetapi juga bagi umat awam baik itu pemimpin maupun masyarakat umum.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Buddhis Berpolitik? appeared first on .

Sambut Waisak dengan Blusukan ke Rumah Umat Buddha

$
0
0

Yathapi puppharasimha, Kayira malaguṇe bahu

Evaṁ jatena maccena, Kattabbam kusalam bahum

Seperti kumpulan bunga-bunga dapat dirangkai menjadi banyak karangan bunga, demikian pula banyak perbuatan baik dapat dilakukan oleh seseorang yang masih mengalami kelahiran dan kematian.

(Dhammapada syair 53)

Tak terasa beberapa minggu lagi umat Buddha di seluruh dunia akan merayakan hari Waisak. Hari raya yang memperingati tiga peristiwa penting ini merupakan salah satu perayaan yang paling sakral bagi umat Buddha. Pangeran Siddhartha lahir, mencapai ke-Buddha-an, dan parinibbana adalah rangkaian peristiwa yang terjadi pada saat Waisak.

Momen ini pula dijadikan pelecut bagi umat Buddha untuk membenahi diri menyambut Waisak yang suci. Berbagai kegiatan dari vihara pun mewarnai perjalanan spiritual umat Buddha menuju hari Waisak. Contohnya saja seperti Sebulan Penghayatan Dhamma (SPD), retret meditasi, pelatihan samanera, berpuasa, bakti sosial, dan lain sebagainya.

Salah satu vihara di Tangerang ikut memfasilitasi umatnya untuk membenahi diri menuju hari Waisak. Pengurus Dayaka Sabha Vihara Sad Saddha mengadakan kegiatan Sebulan Penghayatan Dhamma (SPD) dengan cara yang berbeda, yaitu melakukan puja bakti keliling dari rumah umat ke rumah umat setiap malamnya secara bergantian.

Kegiatan yang dilakukan kurang lebih satu bulan ini mendapat sambutan antusias dari umat di vihara tersebut. Kegiatan SPD ini diisi oleh bhikkhu Sangha, romo pandita, dan dharmaduta. Mereka pun menyambut baik kegiatan ini.

Selain menambah kebajikan, kegiatan ini juga dapat menambah ikatan kekeluargaan bagi umat Buddha di Vihara Sad Saddha. Tentunya hal ini dapat mendorong umat menjadi aktif dan peduli dengan perkembangan vihara ini, yang juga akan berhubungan pada perkembangan agama Buddha secara luas.

The post Sambut Waisak dengan Blusukan ke Rumah Umat Buddha appeared first on .

Yuk Rayakan Waisak dengan Memandikan Rupang Buddha

$
0
0

“Hari ini kita memandikan Tathagata. Banyak sukacita muncul dari kebijaksanaan. Kita sudah lama terombang-ambing di ketiga alam. Sekarang kita melihat bahwa dunia yang beraneka ini adalah Dharmakaya.” (Thich Nhat Hanh)

Hari ini, umat Buddha khususnya tradisi Mahayana merayakan pemandian rupang Buddha (Yu Fo). Yu Fo biasanya diperingati seminggu sebelum Waisak. Dalam peringatan ini, umat membacakan sutra dan kemudian memandikan rupang bayi Buddha secara bergantian. Karena Yu Fo kali ini jatuh bukan pada hari libur, biasanya ada vihara yang memperingatinya pada hari libur (Sabtu atau Minggu) sebelum atau sesudahnya.

Semua tradisi Buddhis sebenarnya mengenal pemandian rupang Buddha. Dalam ritual harian, umat Buddha Tibet seringkali melaksanakannya lewat visualisasi. Umat Buddha Theravada di berbagai negara Asia Tenggara khususnya Thailand merayakan Songkran dengan memandikan rupang Buddha. Akan tetapi umat Buddha di Indonesia nampaknya hanya familiar dengan pemandian rupang bayi Buddha secara Mahayana yang disebut sebagai Yu Fo.

Dalam Tathagata-pratibimba-pratisthanusamsa Sutra atau Sutra Pemandian Rupang Buddha, disebutkan bahwa semua Buddha lahir, mencapai pencerahan sempurna dan parinirwana di tanggal yang sama yaitu tanggal 8 bulan 4 Lunar, atau seminggu sebelum Hari Waisak.

“Dengan memandikan rupang Buddha selayaknya ketika Beliau hidup, maka seseorang akan mendapatkan keberuntungan yang tidak terbatas,” jelas sutra tersebut.

Dalam sutra tersebut juga disebutkan bahwa mereka yang memandikan rupang Buddha dengan air bunga yang wangi akan memperoleh apa yang mereka harapkan, umur panjang, bebas dari penyakit, anak dan keturunan yang lestari dan berkelanjutan, dan terhindar dari alam sengsara menuju alam bahagia. Dalam sutra juga disebutkan, ketika melaksanakan ini, seseorang semestinya berdana dan berikrar untuk melepaskan kemelekatan dan menyelamatkan semua makhluk. Dana yang didapat dari pemandian ini dikatakan dapat dipergunakan untuk memperbaiki rupang atau caitya/stupa, selebihnya bisa didanakan untuk anggota Sangha. Manfaat dan tata Yu Fo juga disebutkan dalam Sutra Kebajikan Memandikan Buddha atau Yufo Gongde Jing, yang mengatakan bahwa kebajikan memandikan rupang Buddha bahkan dapat membawa pada penerangan sempurna.

Bhiksu Yijing yang berkelana di India pada abad ke-7 juga menyatakan bahwa pada masa itu vihara-vihara di India juga melaksanakan ritual pemandian rupang Buddha setiap harinya (Nanhai Jigui Neifa Zhuan). Air berkah pemandian ini dapat dipercikkan di dahi ketika seseorang berdoa agar harapannya terkabul.

Di Candi Borobudur terdapat juga relief di mana Buddha sendiri dimandikan dua kali. Yang pertama adalah ketika Beliau lahir, para dewa naga bersama Sakra dan Brahma memandikan Beliau. Yang kedua adalah Beliau dimandikan oleh lima murid pertamanya.

Menurut catatan Dinasti Han (Hou Hanshu) dan catatan Tiga Kerajaan Sam Kok (San Guozhi), umat Buddha di Tiongkok sudah lumrah merayakan kelahiran Buddha ini secara besar-besaran dengan memandikan rupang. Tradisi ini terus berlanjut hingga di mana kelahiran Buddha dirayakan dengan parade besar. Pada masa 16 kerajaan yaitu sekitar abad ke-4, tercatat Kaisar Tiongkok juga membuat altar kereta yang mana ukiran para dewa naganya dapat menyemburkan air seraya memandikan bayi Buddha. Warisan tradisi dari 2000 tahun lalu ini masih terjaga hingga sekarang.

Memandikan rupang Buddha berarti juga memandikan hakekat ke-Buddha-an dalam diri kita dari segenap kotoran batin. Thich Nhat Hanh bahkan menyamakannya dengan mencuci piring dengan penuh kesadaran. Bukan hanya tiap hari sebagaimana yang dicatat Bhiksu Yijing, bahkan tiap momen kita harus memandikan Buddha dalam diri kita. Momen sekali setahun saat Waisak hanya sebagai pengingat saja.

The post Yuk Rayakan Waisak dengan Memandikan Rupang Buddha appeared first on .

Wonderful Life in Buddhism

$
0
0

KMB Dhammavaddhana BINUS University Proudly Present:

WAISAK PUJA 2562 B.E / 2018
“Wonderful Life in Buddhism”

Kami mengundang Saudara/i untuk menghadiri acara WAISAK PUJA 2562 B.E/2018 yang akan dilaksanakan pada:

Hari / Tanggal: Minggu, 27 Mei 2018
Waktu: 12.30 s.d selesai
Tempat: Auditorium Lt. 4, Kampus Anggrek, BINUS University

Akan ada Waisak Puja dan Dhammatalk yang akan di hadiri oleh :
Y.M. Nyanasuryanadi Mahathera
Y.M. Girivirya Sthavira
Y.M. Dharma Sumanggalo Sthavira

Dan dimoderatori oleh :
Hendra Lim M.Pd

Kami memberikan kesempatan Saudara/i yang ingin berbuat karma baik dalam bentuk dana yang dapat diberikan dengan cara transfer ke Rekening BCA 8070517257 a/n Verica Cornelia
dengan menambahkan “4” di digit terakhir
Contoh: Rp.100.004

Untuk info lebih lanjut, dapat menghubungi kami:
082169205698 / Helen Fang
081267761488 / Ivan Deswono

The post Wonderful Life in Buddhism appeared first on .

Kemampuan Bahasa Penting atau Tidak?

$
0
0

Ludwig Wittgenstein, salah seorang filsuf dari Inggris, pernah mengatakan, “The limits of my language are the limits of my world.” Kemampuan berbahasa merupakan pintu menuju pengetahuan, dan tanpa bahasa peradaban di dunia tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Kontras dengan banyak orang yang meremehkan kemampuan berbahasa terutama di sekolah.

Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah seringkali diremehkan dan dipandang sebelah mata. Dari pengalaman saya selama menjadi mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra, juga masih seperti itu. Banyak mahasiswa yang meremehkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik. Banyak yang beranggapan bahwa mempelajari bahasa Indonesia itu tidak penting. Alasannya karena bahasa Indonesia adalah bahasa yang sering diucapkan sehari-hari.

Bisa dikatakan bahwa jarang mahasiswa yang memahami fungsi bahasa, apalagi hakikat berbahasa. Kemampuan berbahasa bukan sekadar penulisan teknis. Bagi mahasiswa, sering pelajaran bahasa Indonesia sekadar untuk kepentingan penulisan ilmiah, terutama dalam membuat makalah ilmiah dan skripsi.

Mahasiswa memang membutuhkan untuk melakukan penulisan yang baik, pembuatan atau penyusunan paragraf yang mudah dipahami, dan lain sebagainya. Namun hal-hal seperti ini hanya masalah teknis penulisan.

Hakikat berbahasa adalah cara berkomunikasi, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Kiryono, salah satu dosen bahasa Indonesia di STAB Syailendra, “Memakai bahasa yang baik berarti maknanya bisa dipahami oleh lawan bicara atau sesuiai dengan situasinya serta sesuai dengan konteks bahasa itu digunakan. Bagaimana kita bisa mempertimbangkan situasi sebelum memilih kata yang akan digunakan. Semakin baik bahasa yang digunakan semakin baik pula cara berpikir seseorang.”

Cara berpikir seseorang sangat berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Karena kemampuan berpikir seseorang tergantung dengan banyaknya perbendaharaan kata. Semakin banyak perbendaharaan kata, maka semakin luas pengetahuannya.

Meremehkan kemampuan berbahasa, jelas sekali akan menutup pintu pengetahuan.  Seorang ahli riset dari Amerika, Prof. Howard Gardner, mengembangkan model kecerdasan  majemuk (multiple intelligence).

Salah satu kecerdasan yang diungkap Gardner adalah kecerdasan liguistik (linguistic intelligence). Orang dengan kecerdasan liguistik selain mampu belajar banyak hal, juga memiliki kemampuan memengaruhi orang lain bahkan khayalak luas.

Mempertimbangkan bahwa jurusan di STAB pada umumnya adalah Dhammacariya (Pendidikan Guru Agama buddha) dan Dhammaduta (Pengkhotbah), maka sudah jelas bahwa mahasiswa STAB nantinya adalah orang-orang yang terjun ke masyarakat, dan banyak berhadapan dengan khayalak dengan beragam latar belakang.

Apabila masih saja kemampuan berbahasa diremehkan dan dipandang sebelah mata, maka mereka kelak akan menghadapi kesulitan ketika terjun ke masyarakat.

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

The post Kemampuan Bahasa Penting atau Tidak? appeared first on .

Pendidikan Agama di Kadewaguruan

$
0
0

Fungsinya sebagai tempat pendidikan agama tak berubah, dari dulu hingga kini.

Di masa lampau, tempat pendidikan berada jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Letaknya di lereng gunung dan di tengah hutan, terpisah dari pusat pemerintahan. “Selain sebagai tempat pendidikan agama, ia juga digunakan sebagai tempat bersemedi,” kata Agus Aris Munanadar, arkeolog Universitas Indonesia.

Area itu disebut kadewaguruan, dipimpin seorang Maharsi atau Dewaguru. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewaguru dibantu murid-murid senior (ubwan dan manguyu).

Kadewaguruan merupakan kompleks pertapa yang dirancang khusus. Tempat tinggal Dewaguru berada di tengah, sedangkan para murid mengelilinginya, disusun berjenjang berdasarkan tingkat pengetahuan mereka. Karena tataletak seperti ini, kompleks perumahan pertapa itu disebut mandala (konfigurasi lingkaran).

Dalam Java in the Fourteenth Century, A Study on Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit. Vol. 5, TH Pigeaud, ahli sastra Jawa Kuno, menyebut kadewaguruan telah dibicarakan dalam kitab Rajapatigundala di masa Singasari. Raja yang disebut adalah raja Bhatati, yang diperkirakan sebutan bagi Krtanagara.

Di Majapahit, jumlah kadewaguruan meningkat sejak pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Dalam Nagarakrtagama, Hayam Wuruk tercatat pernah mendatangi sebuah mandala yang terletak di dalam hutan bernama wanasrama Sagara.

Di kadewaguruan, para murid dapat belajar secara perorangan atau berkelompok. Mereka belajar bertahap dari tata upacara, filsafat, hingga ajaran inti tentang kesunyataan yang terdapat dalam kitab Tutur, buku keagamaan yang bersifat Siwa.

“Melihat isi ajarannya, kemungkinan kitab Tutur ini adalah bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar pengetahuan agama dan bukan untuk pemula,” tulis Haryati Subadio, guru besar FIB UI bidang Sanskerta dan Jawa Kuno, dalam Jnanasiddhanta.

Fungsi lain kadewaguruan dapat ditelisik berdasarkan penemuan sejumlah naskah di wilayah Merapi-Merbabu, yang dikenal sebagai naskah Merapi-Merbabu. Wilayah tersebut, menurut Agus Aris Munanadar, tak hanya menjadi pusat keagamaan tapi juga skriptorium, tempat bagi para Brahmin menuliskan ajaran-ajarannya pada daun lontar.

“Kadewaguruan sebagai tempat pendidikan agama pada masa Jawa Kuno masih digunakan setelah masuknya Islam di tanah Jawa,” kata Agus. “Tempat itu kemudian dikenal sebagai pondok pesantren, wadah pendidikan yang khas Nusantara dan masih terselenggara hingga kini.” (Historia.id)

The post Pendidikan Agama di Kadewaguruan appeared first on .


Zen itu “Telanjang”

$
0
0

Zen itu memang “telanjang”. Sebagai salah satu aliran dari ajaran Buddha, Zen memang sangat unik. Ia “telanjang” (bebas) dari berbagai kata, konsep, ritual, dan aturan, yang banyak sekali ditemukan, tidak hanya di aliran lain dalam ajaran Buddha, tetapi juga di dalam agama dan tradisi yang lain. Zen adalah pengalaman langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya, sebelum segala konsep, kata, aturan, dan ritual tercipta.

Pengalaman Zen menunjuk langsung ke inti pikiran kita sebagai manusia. Inti pikiran ini sejatinya kosong. Ia seperti ruang hampa luas yang bisa menampung segalanya, tanpa kecuali. Penderitaan pun bisa ditampung, tanpa halangan.

Ini juga sejalan dengan temuan terbaru di bidang astrofisika. Sembilan puluh lima persen dari seluruh tata alam semesta yang ada, termasuk di dalamnya jutaan bintang, ribuan galaksi, dan jutaan planet, adalah ruang kosong (empty space). Dari ruang kosong inilah lahir segala yang ada. Pada satu ketika, semuanya pun akan kembali ke ruang kosong tersebut.

Dengan menunjuk ke inti pikiran kita sebagai manusia, Zen juga mengajak kita semua untuk memahami jati diri kita yang asli (true self). Jati diri asli ini terletak sebelum segala identitas sosial yang diberikan oleh keluarga ataupun masyarakat kita. Ia adalah kesadaran murni (pure awareness) yang terletak di balik segala pikiran dan emosi yang muncul. Jika kita paham dan mengalami langsung jati diri asli ini, maka kita akan bebas dari kelekatan terhadap pikiran dan emosi yang muncul. Pendek kata, kita terbebas dari penderitaan hidup.

Sebagai pengalaman, hubungan antara guru dan murid Zen ditandai dengan transmisi antar pikiran. Ini seperti dua sahabat yang sudah saling mengerti satu sama lain, walaupun tidak ada kata dan konsep yang disampaikan. Komunikasi tertinggi memang dilakukan dalam hening. Justru, kata dan konsep yang terlalu banyak akan menciptakan salah paham.

Zen itu telanjang, karena ia telanjang dari segala kelekatan. Kelekatan terhadap barang materi, pikiran, dan emosi adalah sumber dari penderitaan. Ketika itu semua dilepas, orang akan langsung merasakan kebebasan. Bahkan, Zen itu sendiri harus dilepas, supaya orang sungguh bisa mengalami jati diri sejatinya yang berada sebelum segala bentuk konsep dan pikiran.

Setelah itu, pertanyaan yang mesti kita ajukan adalah, “Apa yang bisa saya lakukan, guna membuat lingkunganku menjadi lebih baik?” Dengan pertanyaan ini, kelekatan terhadap kekosongan pun dilepas. Orang kembali ke masyarakat untuk berkarya demi kebaikan bersama. Ia membawa kejernihan sekaligus bebas dari semua kelekatan di dalam karyanya.

Ia pun bisa menggunakan konsep, kata, pikiran, emosi, dan barang-barang materi di dalam karyanya dengan jernih dan bebas. Ritual dan aturan pun digunakan seperlunya untuk menolong semua makhluk. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Jadi, apalagi yang kita tunggu?

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

 

 

The post Zen itu “Telanjang” appeared first on .

Candi Jago, Candi Buddha

$
0
0

Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Kurang lebih 22 km sebelah timur Kota Malang. Penduduk setempat menyebut candi ini dengan sebutan tradisi ialah “cungkup” yang maksudnya adalah suatu bentuk bangunan yang dikeramatkan, lebih umum disebut Candi Jago.

Akan tetapi nama atau sebutan candi ini adalah “jajaghu” seperti tertulis di dalam dua kitab kuno, yaitu kitab Pararaton dan kitab sastra kuna Nagarakertagama. Arti dari jajaghu ialah penyebutan dari suatu nama tempat suci, atau dapat juga diartikan dengan istilah “Keagungan”. Candi ini dibangun oleh Raja Kertanegara untuk ayahnya, Raja Jaya Wisnuwardhana dari Singhasari (1275-1300).

Pendirian Candi Jago

Di dalam kitab sastra kuno Nagarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yaitu Raja Singasari ke-4 meninggal dunia pada tahun 1268 Masehi, kemudian beliau dicandikan (didarmakan) di dua tempat yaitu;

1. Dicandikan Waleri sebagai Hindu atau Siwa

2. Di Candi Jajaghu sebagai Buddha.

Dari keterangan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Raja Wisnuwardhana menganut suatu agama dari percampuran dua unsur agama tersebut (Sinkretisme), yaitu agama Hindu Buddha atau Siwa Budha dalam aliran Tantrayana. Agama ini berkembang dan dianut pada masa kerajaan Singhasari terakhir.

Proses percampuran dan penyatuan dua agama tersebut yaitu Siwa dan Budha yang berkembang karena pemahaman yang mendalam serta kristalisasi perkembangan agama di kerajaan Singhasari saat Raja Wisnuwardhana menyadari bahwa dua agama tersebut memiliki tujuan mulia yang sama.

Di lain pihak Raja Wisnuwardhana berusaha mewujudkan suasana “tata tentrem kerta raharja” tanpa adanya suatu persaingan yang signifikan di antara kedua agama tersebut serta di antara para pemeluknya/pengikutnya.

Dapat diperkirakan peresmian Candi Jago ini pada tahun 1280 M, yang bersamaaan dengan diadakannya upacara Sradha (pelepasan atman dari dunia berselang 12 tahun setelah meninggalnya mendiang). Adanya pahatan padma (bunga teratai) yang keluar dari bongkolnya serta menjulur ke atas pada stela arcanya, hal ini merupakan ciri khas seni pada masa Kerajaan Singhasari.

Perlu diingat bahwa dari kebiasaan raja-raja zaman dahulu dalam masa pemerintahannya sering melakukan perubahan terhadap candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya atau leluhurnya. Dengan kenyataan seperti ini kita sering dihadapkan pada masalah yang berhubungan dengan pendirian bangunan suci atau candi. Hal ini berlaku juga dengan bangunan candi jago (jajaghu).

Pada Candi Jago terdapat banyak relief cerita “keagamaan”, relief itu terukir di sekeliling tubuh candi dari bawah hingga ke atas. Relief itu adalah :

1. Cerita binatang

2. Kunjarakarna

3. Parthayajna

4. Arjunawiwaha

5. Krsnayana

Pada tulisan selanjutnya akan kita bahas relief-reliefnya.

Goenawan A. Sambodo

Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.

The post Candi Jago, Candi Buddha appeared first on .

Dua Milenium Buddhadharma: Dari Sakyamuni ke Nalanda

$
0
0

Meskipun tidak pernah memiliki pergerakan misionaris secara khusus, Buddhadharma telah menyebar ke mana-mana. Dimulai di India, Buddhadharma pertama-tama menyebar ke Asia Tenggara, kemudian ke Asia Tengah dan Asia Timur, termasuk China dan terakhir masuk ke Tibet.

Biasanya perkembangan Buddhadharma terjadi secara organik melalui pertukaran buah pikir antara penduduk lokal yang merasa tertarik dengan filosofi hidup para pedagang-pedagang asing yang menganut Buddhadharma.

Terkadang, penguasa daerah tertentu juga menerapkan peraturan-peraturan yang diadopsi dari Buddhadharma demi menegakkan disiplin etika di masyarakatnya. Namun orang-orang tidak pernah dipaksa untuk memeluk Buddhadharma. Ketika bertemu dengan sebuah kebudayaan baru, Buddhadharma biasanya akan menyesuaikan diri sedemikian rupa dan beradaptasi dengan kearifan lokal, namun tetap menjaga dua pilar utama ajarannya, yaitu welas asih dan kebijaksanaan.

Secara garis besar, ada dua pembagian besar di dalam filosofis Buddhadharma, yaitu Kendaraan Sederhana dan Kendaraan Besar. Kendaraan Sederhana menitikberatkan pada pencapaian pembebasan pribadi, sedangkan Kendaraan Besar menitikberatkan pada pencapaian Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna demi menolong semua makhluk. Yang perlu ditekankan di sini adalah perbedaan ini terjadi di dalam perkembangan filosofis cara pandang sedangkan ajaran di dalamnya pada dasarnya tidak memiliki pertentangan sama sekali.

Baik Kendaraan Sederhana maupun Kendaraan Besar juga memiliki banyak sekali pembagian. Totalnya ada delapan belas cabang sekolah (sekte) di dalam Buddhadharma dan saat ini, hanya ada tiga silsilah yang masih tersisa, yaitu:

1. Theravada sebagai satu-satunya cabang sekolah dari Kendaraan Sederhana yang tersisa. Sekolah ini masuk dari India ke Asia Tenggara sejak abad ke-3 SM, khususnya ke Srilanka dan Burma. Kemudian, juga menyebar ke negara-negara lain di wilayah tersebut seperti Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam;

2. Dharmagupta, awalnya adalah sebuah cabang sekolah dari Kendaraan Sederhana yang dari India masuk ke Pakistan, Afghanistan, Iran, dan Asia Tengah serta kemudian masuk ke China di abad ke-2 Masehi. Sekolah ini kemudian berevolusi dan bergabung dengan aspek filosofis Kendaraan Besar yang juga masuk melalui jalur yang sama dari India. Hingga saat ini, tradisi ini dikenal sebagai Tradisi Buddhadharma China dan memiliki fondasi filosofis Kendaraan Besar yang sangat dominan;

3. Mulasarvastivada, yang awalnya juga berasal dari cabang sekolah Kendaraan Sederhana namun juga berevolusi sedemikian rupa sehingga dikenal sebagai sebuah tradisi Kendaraan Besar khas Tibet saat ini. Silsilah ini dikatakan mewarisi bentuk yang paling utuh/komplet dari tradisi Buddhadharma di India.

Sebagai tambahan, di sekitar abad ke-2 Masehi, sebuah bentuk sekolah Kendaraan Besar dari India juga masuk ke Vietnam, Kamboja, Malaysia, Sumatera, dan Jawa melalui jalur perdagangan laut dari India ke China Selatan.

Mari kita telusuri sejarah perkembangan Buddhadharma di India selama periode 2000 tahun semenjak Buddha lahir yaitu abad ke-6 SM hingga ke abad ke-13 Masehi.

Buddha Sakyamuni

Pangeran Siddharta yang kemudian menjadi Buddha Sakyamuni hidup di bagian tengah dari India Utara sekitar abad ke-6 SM. Setelah mencapai Kebuddhaan di usianya yang ke-35 tahun, beliau mulai mengembara dan mengajar. Sebuah komunitas pencari spiritual yang hidup selibat pun mulai terbentuk mengelilingi beliau. Seiring berkembangnya kebutuhan, maka beliau pun membuat peraturan-peraturan disiplin untuk komunitas ini.

Sekitar dua puluh tahun semenjak beliau mencapai Kebuddhaan, Buddha juga memulai sebuah tradisi tahunan, komunitas para biksu diwajibkan untuk menetap di sebuah tempat selama tiga bulan musim hujan untuk menyunyikan diri. Pendirian wihara-wihara berkembang dari tradisi ini.

Sidang Sangha pertama

Di masa hidupnya, Buddha mengajar dalam dialek Prakrit dari Magadha. Akan tetapi, tidak ada catatan tertulis yang ditinggalkan dari zaman tersebut. Buddhadharma baru mulai ditulis sejak abad ke-1 Masehi, atau sekitar 500 tahun setelah beliau parinirvana.

Tradisi mengulang kembali Buddhadharma dari ingatan sudah dimulai beberapa bulan setelah Buddha parinivirvana, yaitu persisnya saat Sidang Sangha Pertama di Rajagrha, yang dihadiri oleh 500 arahat.

Menurut catatan dari Vaibhashika, salah satu dari 18 subsekte Buddhadharma yang sempat berkembang di masa itu, tiga arahat mengulang kembali semua ajaran Buddha, yaitu Ananda mengulang Sutra, Upali mengulang Vinaya, dan Mahakashyapa mengulang Abhidharma. Ketiga ajaran inilah yang kemudian disebut sebagai Kumpulan yang Menyerupai Tiga Keranjang, atau Tripitaka. Menurut Vaibhashika, tidak semua ajaran Abhidharma dari Buddha dilafalkan di sidang ini. Ada beberapa yang dilafalkan di luar sidang ini dan ditambahkan kemudian.

Akan tetapi, menurut Sautrantika, salah satu dari 18 subsekte ajaran Buddha juga, ajaran Abhidharma ini bahkan sama sekali bukanlah ajaran langsung dari Buddha. Ketujuh teks Abhidharma yang terdapat di dalam Abhidharma Pitaka ini adalah ditulis secara terpisah oleh tujuh orang arahat.

Sidang Sangha kedua

Sidang Sangha kedua diadakan oleh 700 orang biksu di Vaishali. Ada yang mencatat bahwa sidang ini terjadi pada 386 SM, namun ada juga yang mencatat 376 SM. Tujuan utama sidang ini adalah untuk membahas sepuluh topik yang menjadi perdebatan di kalangan biksu saat itu, khususnya terkait Vinaya.

Berdasarkan catatan dari pihak Theravada, perpecahan pertama di tubuh komunitas monastik ini adalah terjadi di sidang ini. Sekelompok biksu yang tidak setuju terhadap hasil keputusan sidang, meninggalkan sidang dan disebut sebagai Mahasangika (yang artinya kelompok mayoritas). Sedangkan sisanya, kemudian dikenal sebagai Theravada (yang artinya pengikut ajaran tetua).

Akan tetapi berdasarkan catatan lain, perpecahan di tubuh Sangha barulah terjadi di 349 SM dan permasalahannya bukanlah disebabkan oleh Vinaya, akan tetapi lebih karena perbedaan pandangan filosofis. Perbedaan pendapat tersebut adalah terkait kemampuan seorang arahat, apakah terbatas atau tidak. Kelompok Theravada berpendapat bahwa arahat sudahlah suci dan bebas dari semua klesha (kekotoran batin), namun kelompok Mahasangika berpendapat bahwa arahat masih memiliki sisa-sisa klesha yang sangat halus dan ini yang membedakan antara seorang arahat dengan seorang Samyak Sambuddha yang sudah benar-benar sempurna.

Selanjutnya, kelompok Theravada bergerak ke sisi barat dari India Utara, sedangkan kelompok Mahasangika bergerak ke sisi timur dari India Utara dan kemudian juga menyebar hingga ke sisi timur dari India Selatan, yang bernama Andhra. Paham Mahayana, dipercaya berkembang dimulai dari daerah Andhra ini. Para cendekiawan cenderung berpendapat bahwa Mahasangika adalah cikal bakal dari paham Mahayana.

Sidang Sangha ketiga

Di tahun 322 SM, Dinasti Maurya berdiri di bagian tengah dari India Utara, atau dulunya dikenal dengan nama Magadha, kampung halamannya Buddhadharma. Dinasti ini berkembang pesat dan mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Raja Ashoka (268-232 SM).

Semasa pemerintahan Raja Ashoka, tepatnya di tahun 237 SM, sebuah kelompok dengan nama Sarvastivada juga memecahkan diri dari Theravada, disebabkan oleh beberapa perbedaan pandangan filosofis.

Menurut catatan Theravada, sidang Sangha ketiga diadakan pada 257 SM dengan dukungan dari Dinasti Maurya. Sidang ini dikatakan bertujuan untuk mengkaji ajaran-ajaran Buddha dan memurnikan pandangan-pandangan yang dianggap keliru oleh para kelompok Theravada yang ortodoks. Moggaliputta Tissa, selaku ketua sidang, kemudian menulis sebuah buku dengan judul Dasar-Dasar Perselisihan (Pali: Kathavatthu) dan menjadi teks kelima dari ketujuh teks Abhidharma Pitaka-nya Theravada. Dan setahun setelah sidang ini selesai, Raja Ashoka mengirimkan misi-misi penyebaran Buddhadharma Theravada ke berbagai wilayah, termasuk sampai ke Pakistan, Afghanistan, Gujarat, Sri Lanka, dan Burma.

Di tahun 190 SM, Dharmagupta juga memisahkan diri dari Theravada, juga disebabkan oleh perbedaan pandangan filosofis. Yang menarik adalah, meskipun Sarvastivada dan Dharmagupta juga memiliki perbedaan pandangan dalam beberapa hal dengan Mahasangika, namun ketiga-tiganya sepemahaman bahwa tingkatan Buddha adalah lebih tinggi daripada seorang arahat. Meskipun Dharmagupta juga sepemahaman dengan Theravada bahwa arahat sudah tidak memiliki klesha, sedangkan Sarvastivada sepemahaman dengan Mahasangika bahwa arahat masih memiliki klesha-klesha halus. Selain itu, Dharmagupta juga menambahkan sebuah “keranjang” keempat yang disebut sebagai Dharani yang berisi nyanyian-nyanyian bakti yang dipercaya dapat membantu praktisi untuk lebih memahami Dharma, mengumpulkan kebajikan dan mengeliminir halangan-halangan.

Sekolah Dharmagupta kemudian menyebar ke Pakistan, Afghanistan, Iran, Asia Tengah, dan kemudian menjadi sangat kuat di China. Biksu-biksuni China hingga sekarang adalah memegang vinaya dari silsilah Dharmagupta ini. Silsilah Dharmagupta saat ini pun telah menyebar hingga ke Korea, Jepang, dan Vietnam.

Sidang Sangha keempat

Sekolah Theravada dan Sarvastivada kemudian masing-masing menyelenggarakan sidang Sangha keempat.

Kelompok Theravada mengadakan sidang Sangha keempatnya di Sri Lanka pada tahun 83 SM. Ini adalah pertama kalinya, Buddhadharma dicatat ke dalam bentuk tulisan dan bahasa yang digunakan pada saat itu adalah bahasa Pali. Ini adalah Tipitaka Pali sebagaimana kita kenal saat ini, atau disebut juga sebagai The Pali Canon.

Di dalam kelompok Sarvastivada juga muncul banyak perbedaan pendapat terkait pandangan filosofis Abhidharma, sehingga cikal bakal kelompok Vaibhashika pun pertama kali memisahkan diri. Kemudian sekitar tahun 50 SM, kelompok Sautrantika juga berkembang.

Sidang Sangha keempat yang diadakan oleh Sarvastivada terjadi di sekitar abad ke-1 atau abad ke-2 Masehi. Sidang ini menolak Abhidharma yang diajukan oleh Sautrantika dan akhirnya menulis sendiri Abhidharma mereka di dalam sebuah teks yang diberi nama Komentar Besar (Sanskrit: Mahavibhasha). Di sidang ini pula dilakukan penerjemahan teks Tripitaka dari bahasa Prakrit ke Sanskrit. Ini adalah cikal bakal Tripitika Sanskrit sebagaimana kita kenal saat ini.

Sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi, sekolah Mulasarvastivada juga memisahkan diri dari Vaibhashika. Pada abad ke-8, orang-orang Tibet kemudian mengadopsi silsilah Vinaya Mulasarvastivada ini.

Mahasangika

Sementara itu, Mahasangika yang berkembang di bagian timur dari India Selatan, juga berkembang lebih jauh lagi menjadi lima kelompok sekolah. Semuanya menganut paham bahwa Buddha adalah superior (di atas arahat) dan masing-masing mengembangkan filosofi ini dengan pola pikirnya masing-masing dan menjadi cikal bakal pemahaman Kendaraan Besar (Mahayana). Dari kelima sekolah ini, tiga yang paling terkenal adalah: Lokottaravada, Bahushrutiya, dan Chaitika.

Perkembangan universitas Nalanda

Universitas monastik Buddhis (atau terkadang disebut juga sebagai biara Buddhis) yang pertama adalah Nalanda, yang dibangun di dekat Rajagrha pada awal abad ke-2 Masehi. Rajagrha adalah Ibukota Magadha, sebuah kerajaan pada masa kehidupan Buddha Sakyamuni dan sebagian besar aktivitas beliau banyak dilakukan di wilayah ini pada masa itu.

Nalanda ini kemudian berkembang pesat di zaman Dinasti Gupta pada awal abad ke-4 dan kemudian mencapai puncak masa kejayaannya di zaman Dinasti Pala (750 M – akhir abad ke-12) di India Utara. Beberapa guru besar Buddhis dari India, antara lain Nagarjuna, Shantideva, dan sebagainya adalah guru-guru yang pernah mengajar di Nalanda. Selain itu, banyak pula biara baru juga dibangun mengikuti jejak Nalanda. Di antaranya adalah Vikramashila yang dibangun melalui dukungan kerajaan yang berkuasa pada masa itu. Atisha, yang juga lulusan dari Nalanda, pernah menjadi salah satu kepala biara di Vikramashila.

Tradisi biara seperti ini dapat ditarik benang merahnya dari tradisi vassa di zaman Buddha Sakyamuni, kemudian semakin berkembang sehingga para biksu tidak hanya tinggal dan menetap menyunyikan diri saja di dalam biara namun mereka juga belajar, menghapal, memperdalam ilmu mereka, merenungkannya dan memeditasikannya sehingga mencapai realisasi sejati, sebagaimana yang mereka lakukan di Nalanda dan biara-biara besar lainnya.

Pada puncak kejayaannya, Nalanda bahkan menarik murid datang dari berbagai pelosok dunia. Bukti-bukti sejarah arkeologi menunjukkan bahwa pernah terjadi interaksi antara Nalanda dan Dinasti Syailendra dari Nusantara. Raja Syailendra pada masa itu pernah membangun sebuah biara di dalam kompleks Nalanda.

Akan tetapi, sayang sekali tradisi ini di India terputus sekitar awal abad ke-13 ketika terjadi invasi oleh pasukan Islam Turki. Kepala Biara Nalanda yang terakhir, Shakyashribhadra, melarikan diri ke Tibet pada tahun 1204 dan beliau memiliki jasa besar sebagai salah satu tokoh yang berperan penting dalam menjaga silsilah Mulasarvastivada di Tibet.

Beruntungnya, tradisi ini berhasil diselamatkan dan dilanjutkan dalam bentuk yang masih sangat utuh di Tibet. Dalai Lama sering sekali mengatakan bahwa Buddhadharma Tibet pada dasarnya adalah Buddhadharma tradisi Nalanda. Tradisi pendirian biara-biara Buddhis yang menjadi tempat tinggal, belajar dan praktik para komunitas biksu tetap berlanjut di Tibet. Biara pertama di Tibet yang mengikuti tradisi ini adalah Biara Samye yang didirikan oleh Padmasambhava dan Santarakshita pada abad ke-8 Masehi.

Beberapa biara besar lainnya juga antara lain adalah The Great Three, yaitu Biara Gaden, Biara Drepung, dan Biara Sera. Di Tibet sendiri, pernah terdapat 6.000 biara di masa kejayaannya. Namun hampir semuanya dihancurkan oleh pasukan China ketika terjadi Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an. Beberapa biara besar kemudian dibangun kembali di India, saat ini seolah-olah Tibet memang memiliki peran sebagai penyimpan silsilah dan tradisi Buddha ini untuk selanjutnya dikembalikan lagi ke India pada khususnya dan juga ke dunia secara umum.

Dalai Lama pernah berkata bahwa obat penawar yang paling ampuh untuk membendung sektarianisme adalah dengan pendidikan dan pengetahuan. Semakin banyak kita mempelajari berbagai tradisi, sekte, atau aliran maka kita pun akan semakin memahami pula bagaimana semua itu adalah saling terkait dan saling mengisi. Dan berbagai jenis paham tersebut, meskipun mereka bisa jadi menjelaskan sesuatu dengan cara yang berbeda, namun ketika semakin dipelajari maka akan muncul rasa hormat dan kagum pada pemahaman-pemahaman tersebut.

Semoga sedikit ulasan tentang sejarah perkembangan Buddhadharma ini bisa sedikit lebih membuka wawasan kita semua, umat Buddha Indonesia. Semoga Buddhadharma bisa terus dipelajari, direnungkan dan dimeditasikan untuk waktu yang tak terhingga lamanya, sehingga bisa memberi manfaat kepada kita semua.

Praviravara Jayawardhana

Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan

The post Dua Milenium Buddhadharma: Dari Sakyamuni ke Nalanda appeared first on .

Jangkauan Hujan Abu Gunung Merapi Mencapai Candi Borobudur

$
0
0

 

Intensitas letusan freatik gunung Merapi kian meningkat sejak 11 Mei 2018 lalu. Begitu pula dengan tinggi kolom asapnya. Berdasarkan data pos pantau Gunung Merapi, letusan freatik yang terjadi pada Kamis (24/5) dini hari merupakan yang terbesar hingga saat ini.

Menimbulkan kolom asap setinggi 6.000 meter, letusan freatik Merapi ini lebih tinggi dari letusan yang terjadi 11 Mei lalu yang mencapai 5.500 meter. Sejak kemarin (23/5), hujan abu bahkan sudah mencapai Candi Borobudur. (KompasTV)

The post Jangkauan Hujan Abu Gunung Merapi Mencapai Candi Borobudur appeared first on .

Sangha Mahayana Indonesia Gelar Waisak Bersama di Balai Samudera

$
0
0

Sangha Mahayana Indonesia (SMI) menggelar perayaan Waisak Bersama 2562 BE/2018 di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta pada Minggu, 20 Mei 2018. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, acara utama perayaan Waisak kali ini adalah pemandian rupang bayi Buddha (Yu Fo).

Waisak Bersama SMI tahun ini dihadiri sekitar 2500 umat Buddha dari Jabodetabek dan Bandung, dengan kepanitiaan Waisak berasal dari anggota sangha SMI didukung oleh umat Buddha dari vihara-vihara di bawah naungan SMI dan bantuan dari Keluarga Mahasiswa Buddhis dari berbagai universitas di Jabodetabek.

Waisak SMI kali ini mengusung tema “Waisak Bersama Sangha Mahayana Indonesia Mewujudkan Kasih dan Toleransi”. Tema ini diangkat untuk menekankan pentingnya cinta kasih dan toleransi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ketua panitia Bhiksu Bhadra Pala mengajak umat Buddha selalu mengajarkan untuk menyayangi dan menghargai semua makhluk tanpa kecuali. Sikap inilah yang perlu dipraktikkan sehingga dapat memberikan ketenteraman kepada siapa pun dan dapat menetralisir segala kecurigaan akibat adanya perbedaan. “Toleransi adalah sesuatu yang dianggap penting dan perlu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Sudah saatnya kita bergandengan tangan dan membuang semua ketakutan akibat berita-berita yang kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam kehidupan bernegara kita,” ujar Bhiksu Bhadra Pala.

Sementara Pesan Waisak yang disampaikan oleh Bhiksu Matra Maitri mewakili Ketua Umum SMI Bhiksu Kusalasasana menjelaskan bahwa Ajaran Buddha adalah ajaran yang memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi umat manusia. Ajaran yang menghindari kebencian, permusuhan, dan perbuatan yang merugikan satu dengan yang lainnya.

“Menjadi umat Buddha tidak melarikan diri dari kenyataan, melainkan dapat menerima kenyataan dan menyatakan semua makhluk sebagai saudara. Mewujudkan cinta kasih Buddha dalam melayani dan memberikan welas asih dan kasih sayangnya kepada semua makhluk dan menjaga memiliki sikap toleransi yang tinggi di dalam kerukunan umat beragama dan bermasyarakat serta berbangsa,” jelasnya.

Sekretaris Ditjen Bimas Buddha Kementerian Agama RI Nyoman Suriadarma menyebut Upacara Pemandian Buddha Rupang sebagai salah satu upaya meningkatkan keyakinan umat Buddha kepada Tri Ratna, sehingga tidak mudah terpengaruh terhadap paham-paham radikal keagamaan yang mengancam kehidupan keagamaan di Indonesia.

“Makna filosofi memandikan rupang Buddha, manusia harus bersahabat dengan alam. Manusia seharusnya pergi ke tempat yang baik agar jangan kotor oleh lingkungan. Pemandian Buddha Rupang yang memiliki makna menyatukan diri dalam kesucian Buddha dengan harapan semoga kekotoran batin lenyap dari diri seseorang,” jelasnya.

Dalam perayaan ini juga mendoakan agar bangsa Indonesia tenteram dan damai, para pimpinan berlaku bijaksana. Juga secara khusus mendoakan Ketua Dewan Sesepuh SMI Bhiksu Dharmasagaro dan Ketua Umum SMI Bhiksu Kusalasasana yang kondisi kesehatannya sedang kurang baik.

  

The post Sangha Mahayana Indonesia Gelar Waisak Bersama di Balai Samudera appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live