Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Perayaan Waisak di Candi Borobudur, Candi Sewu dan Candi Sojiwan Dibayangi Erupsi Merapi

$
0
0

Gunung Merapi yang beberapa hari ini sedang mengalami erupsi freatik membayangi perayaan Waisak yang akan digelar di beberapa candi yang letaknya dekat dari gunung paling aktif di dunia tersebut.

Bahkan dalam erupsi freatik pada hari Kamis (24/5), paparan debu vulkanik merata mengenai permukaan Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Seperti dikutip dari Tempo, anggota staf Unit Borobudur Balai Konservasi Borobudur, Hari Setyawan menyebut, “Terpaan abu pada candi tipis di bagian atas atau stupa. Hampir merata di seluruh permukaan candi.”

Tim Balai Konservasi Borobudur kini terus mengamati situasi untuk mengantisipasi letusan susulan Gunung Merapi. Mereka saat ini pada tahapan mengkaji abu vulkanis yang mengenai candi. Sampel abu Merapi telah diteliti di laboratorium Balai Konservasi Borobudur.

Selain menguji sampel abu, Balai Konservasi sudah menyiapkan mantel atau penutup untuk bagian stupa dan lantai. “Kami mengikuti prosedur tanggap bencana dan terus memantau perkembangan kondisi Merapi,” ucap Hari.

Baca juga: Jangkauan Hujan Abu Gunung Merapi Mencapai Candi Borobudur

Gunung Merapi kembali meletus pukul 02.56 berdurasi empat menit pada Kamis, 24 Mei 2018. Letusan Merapi terjadi dengan tinggi kolom 6.000 meter ke arah barat dan terdengar dari pos pengamatan Gunung Merapi Ngepos, Kecamatan Srumbung, Magelang, Jawa Tengah. Sebagian wilayah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diselimuti abu akibat letusan itu.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Magelang menyebutkan beberapa wilayah yang terdampak hujan abu Gunung Merapi akibat letusan itu. Wilayah tersebut adalah Desa Tegalrandu, Sumber, Dukun, Ngadipuro, Banyubiru, Muntilan, Menayu, Kalibening, Salaman, Tempuran, Sedayu, Sawangan, dan Mungkid.

Sedangkan letusan Merapi pukul 02.56 dengan tinggi kolom 6.000 meter ke arah barat selama empat menit dan terdengar dari semua pos pengamatan. Status Merapi saat ini masih waspada.

Pada pukul 02.56, terdengar suara gemuruh dari Selo, Kabupaten Boyolali. Tampak kepulan asap dan pijar visual berwarna sinar merah di belakang awan mendung.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Kabupaten Magelang Edy Susanto meminta masyarakat tidak panik, tetap tenang, dan selalu waspada dalam beraktivitas. “Gunakan masker dan kaca mata untuk antisipasi jika beraktivitas di luar ruangan,” tuturnya.

Sehari sebelumnya, sebagian wilayah Magelang juga terdampak abu akibat letusan Gunung Merapi.

Walubi sebagai penyelenggara perayaan Waisak di Candi Borobudur dan Mendut masih yakin perayaan akan berjalan lancar. Keyakinan serupa juga ditunjukkan oleh Bhikkhu Ditthi Sampanno, ketua panitia perayaan Waisak di Candi Sewu, Klaten yang digelar oleh Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI).

“Kami tetap berjalan sebagaimana mestinya sampai saat ini. Saat ini kami berpikir bahwa arah erupsi Merapi masih mengarah ke barat utara, jadi kemungkinan sampai ke Candi Sewu sangat kecil,” ujarnya.

Meskipun begitu, panitia tetap mempersiapkan antisipasi. “Saat ini kami juga sedang koordinasi untuk antisipasi, baik Merapi maupun teroris,” tambahnya.

Sedangkan Vihara Dharmasagara Jakarta yang juga akan menggelar perayaan Waisak di Candi Sojiwan, Klaten mempersiapkan masker untuk dibagikan kepada umat sebagai antisipasi. (tempo)

The post Perayaan Waisak di Candi Borobudur, Candi Sewu dan Candi Sojiwan Dibayangi Erupsi Merapi appeared first on .


Pengalaman Roberto Rizzo, Seorang Peneliti Italia Mendalami Buddhadharma

$
0
0

“Awalnya saya tertarik pada Buddhadharma sama dengan tipikal orang Eropa. Pertama melalui pengetahuan intelektual, khususnya filosofi Buddha, yang kedua meditasi sebagai metode relaksasi,” tutur Roberto Rizzo, pria kewarganegaraan Italia, pada sebuah obrolan pagi bersama pemuda Buddhis di Temanggung.

Roberto Rizzo adalah mahasiswa pascasarjana antropologi budaya sebuah universitas di Polandia. Ketertarikannya terhadap musik, terutama gamelan Jawa mendorongnya untuk menyelesaikan kuliah selama satu tahun di Indonesia dan Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta menjadi pilihannya. Memanfaatkan libur kuliah beberapa waktu lalu, Roberto Rizzo berkunjung dan menghabiskan waktu selama lima hari di Temanggung.

Kedatangannya kali ini karena tertarik untuk mengikuti kegiatan umat Buddha Temanggung. Kepada kami, peneliti antropologi budaya ini banyak bercerita awal ketertarikannya belajar Buddhadharma hingga menjadi praktisi Buddhis, mengamati perkembangan agama Buddha Italia, Polandia, dan negara-negara di Eropa.

“Latar belakang keluarga saya Katolik, agama mayoritas di Italia, sekitar 70% dari penduduk Italia, dari awal saya merasa ajaran agama-agama yang ada kurang memuaskan dan kurang cocok dengan sanubari saya. Seperti kebanyakan pemuda seumur saya, saya juga tumbuh sebagai agnostik. Jadi, saya tidak menolak semua agama, tetapi juga tidak memilih satu agama. Saya tertarik pada filosofi dan sastra, saya melanjutkan membaca dan mengeksplorasikan agama dan filosofi,” tuturnya, Selasa (10/4).

Roberto sendiri baru mengenal Buddhadharma ketika bekerja di sebuah perusahaan. Berawal dari stres dan frustrasi bekerja di tempat yang tidak menyenangkan, pencarian spiritual pun dimulai. “Mirip kisah banyak orang, saya juga mencari cara yang bisa mengatasi stres dan kecemasan. Salah satu caranya yaitu meditasi.

“Saya mulai dengan metode yang ‘trendi’ di Eropa, meditasi mindfulness. Metode ini berasal dari meditasi Buddhis. Tetapi banyak orang Eropa dan Italia yang bermeditasi seperti ini tidak memperdalam lagi aspek-aspek samadhi. Mungkin beberapa orang mendefiniskan diri seperti ‘Buddhis’, tapi tidak mendalami ajaran Buddha selain meditasi untuk metode mengurangi stres.

“Saya sendiri melanjutkan dengan belajar ajaran Buddha. Saat itu sudah banyak buku-buku Buddhis di internet, jadi lebih mudah untuk mengakses ajaran Buddha. Dari situ saya mulai masuk vihara di kota saya, vihara kecil yang kelihatan dari luar seperti rumah biasa, saya kaget karena orang yang datang dan bermeditasi bersama reguler di sana lebih banyak daripada yang saya perkirakan.

“Sayang saat ini saya tidak bisa lagi mengikuti pujabhakti di sana karena pindah ke kota yang lain, tetapi kesan bahwa ada umat Buddha di Italia, apalagi di kota kecil seperti kota saya, pasti memotivasi untuk cari vihara di kota yang lain dan terus memperdalam ajaran Buddha.

“Pelan-pelan saya memahami konsep-konsep yang lebih sulit untuk seorang yang telah terbiasa dengan filosofi dan retorika barat, seperti coba memahami karma, anatta, dan kelahiran kembali. Meditasi tidak begitu lagi menjadi metode antistres saja, tetapi jadi seperti ruang untuk menyelami dan mengecek ajaran Buddhis, hukum sebab-akibat, tiadanya diri yang terpisah,” jelas Roberto lebih lanjut.

Vipassana

Dari situ, Roberto Rizzo semakin mendalami Buddhadharma. Pengalamannya mengikuti meditasi vipassana selama sepuluh hari membuatnya tidak canggung lagi untuk ikut chanting dan bersujud di hadapan rupang Buddha.

“Sesudah saya ikut retret pertama saya, sepuluh hari meditasi vipassana, saya  jadi terbiasa sujud dan chanting di depan patung Buddha, sesuatu yang sebelum itu kurang saya pahami, mungkin karena terasa kurang “logis” dari perspektif ilmu barat. Melalui bakti itu, tidak hanya puja kepada Buddha, tetapi melatih kita untuk rendah hati. Sekarang ini, saya menjadi Buddhis.

“Pengalaman saya tidak terlalu unik. Mungkin, seperti, alasan Buddhadharma berkembang di Eropa karena cocok untuk segala zaman, untuk yang lalu maupun yang kontemporer, termasuk ilmu modern.

“Yang paling penting, sejalan dengan ilmu pengetahuan, bahkan kita tidak harus percaya saja, ajaran bisa diuji (ehipassiko), bukan hanya dipercaya saja. Buddhadharma juga bukan hanya soal filosofi saja: ontologi dan etika sehari-hari saling berhubungan. Dengan kosep-konsep antropologi, agama itu relasi antara manusia dan gaib. Proses seperti karma dan keberadaan bodhisattva, yang nggak bisa dilihat sendiri atau dicek secara metode ilmiah, dapat diselami dalam Buddhadharma.

“Karena manusia masih perlu jawaban yang penting (hal-hal saat meninggal, apa atau siapa yang hidup, di mana batas antara saya dan kamu), dapat ditemukan dalam agama Buddha dan kita juga bisa mencari jawaban itu dengan pengetahuan,” pungkasnya.

The post Pengalaman Roberto Rizzo, Seorang Peneliti Italia Mendalami Buddhadharma appeared first on .

Batik dan Sarung Buddhis? Apa Ada?

$
0
0

Berbicara tentang pemakaian batik dan sarung, belum lengkap rasanya kalau tidak belajar sejarahnya hingga ke era Hindu-Buddha. Pada era itu, masyarakat Nusantara umumnya hanya memakai pakaian penutup bawah.

Kakawin dan naskah kuno juga sumber yang kaya untuk mencari referensi tentang pakaian kuno di Nusantara. Berbagai istilah digunakan misalnya calana, lancinan, cavet, atau katok. Sebelum abad ke-13 M, calana yang berasal dari Sanskerta carna ini bukan berarti celana jahit yang digunakan kita sekarang. Pada era itu, calana atau lancinan lebih dekat ke bentuk sarung. Ini bisa kita lihat lewat relief-relief di candi Hindu-Buddha yang bertebaran pada masa itu. Para petapa juga menggunakan pakaian bawah ini. Naskah-naskah yang bisa kita sadur adalah misal Bhomantaka, Sumanasantaka, kakawin Ramayana.

Setelah abad ke-13 M, karena adanya kebutuhan fungsi dalam berkuda bagi para prajurit, mulai dibedakan antara cavet yang lebih ke arah sarung dan lancinan yang lebih ke arah celana yang kita kenal sekarang ini. Siwaratrikalpa menyebut celana ini dengan nama gadag atau katok sebagaimana bahasa Jawa yang kita kenal sekarang ini. Namun nampaknya bagi masyarakat biasa, gaya sarung yang masih tetap digunakan.

Kitab Sutasoma juga menyebutkan perempuan memakai tapih. Tapih ada sejenis sarung yang dipakai oleh kaum perempuan. Tapih ini dikenal juga dengan sarung bermotif bernama tapi-sarassa. Sarassa adalah pinjaman kata dari bahasa India yang berarti kain motif warna-warni. Orang Ryukyu di Jepang tampaknya juga sudah berdagang batik dengan Nusantara sejak abad ke-14 M dan sampai saat ini, Jepang juga menyebut batik sebagai sarasa atau Jawa sarasa.

Motif Batik Hindu-Buddhis

Zaman dahulu pada zaman kerajaan Hindu-Buddha, sarung yang dipakai bermotif. Ini bisa kita lihat di candi-candi atau juga di lontar naskah. Menurut naskah Desavarnana, sarung digunakan dengan motif batik kain gringsing yang motif-motifnya diambil dari kisah-kisah Ramayana dan Krsnayana – menurut Kidung Sunda dan Harsawijaya. Kitab Pararaton dan Rangga Lawe juga menyebut kain gringsing ini. Sampai sekarang beragam motif gringsing masih dapat dilihat di Bali.

Di antara sekian banyak motif batik di era modern ini, sepertinya motif impor dari Tiongkok, beberapa sarat dengan makna Buddhis.

Motif swastika dalam bahasa Jawa disebut sebagai motif batik banji. Banji adalah serapan dari bahasa Tionghoa wanzi (卍字) yang berarti swastika. Di dalam kebudayaan Tionghoa, sangat lumrah sekali bagi para umat Buddhis menggunakan motif ini dalam keseniannya.

Selain itu ada motif awan batik megamendung yang didasarkan atas motif awan Tionghoa. Motif awan Tionghoa ini berasal dari ruyi (如意) yaitu salah satu benda kelengkapan anggota Sangha Tiongkok yang disebutkan dalam Vinaya berbahasa Tionghoa. Awalnya digunakan sebagai alat garuk, namun berubah fungsinya. Ketika mengajar, para biksu memegang tongkat ruyi ini. Ruyi adalah simbol kekuatan pun juga simbol terkabulnya harapan-harapan.

Motif-motif Tionghoa di dunia perbatikan Lasem juga konon dilukis oleh Na Li Ni, anak buah dari Laksamana Zheng He. Darinya ditemukan motif flora dan fauna khas Tionghoa.

Sarat dengan warisan kerajaan Hindu-Buddha, sampai sekarang sarung batik masih jarang digunakan oleh komunitas Buddhis. Beberapa komunitas semisal komunitas Plum Village Indonesia, Kadam Choeling Indonesia, Chan Indonesia dan beberapa komunitas Buddhis di pedesaan juga dalam beberapa momen tertentu sudah menggunakan batik sarung ini.

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project

The post Batik dan Sarung Buddhis? Apa Ada? appeared first on .

Mengapa Aku Berbeda?

$
0
0

Bumi akan mengalami pergantian napas yang mendiami. Tinggal bagaimana kita; menjadi temaram surut atau teladan di kemudian hari~Wira Nagara

Betapa indahnya cuaca hari ini. Langit biru, awan putih yang bergerak di langit, matahari cerah. Tepat hari Minggu, jam tujuh pagi. Tepat untuk bergembira ria, tepat untuk bersenang-senang, menonton televisi, mendengarkan musik, baca buku, tepat untuk segala-galanya.

Aku bangun pukul setengah enam. Walau weker sudah diatur jam lima pagi. Aku mengenakan piyama warna oranye berharap masih bisa menikmati waktu tidur setengah jam lagi. Terlalu dingin untuk menyentuh air di pagi hari.

Hari libur.

Libur telah tiba. Setelah rutinitas kerja dilalui setiap harinya. Waktunya untuk ‘me-time’. Ternyata keadaannya berbeda, aku harus melakukan kegiatan rutin lainnya yaitu pergi ke vihara, ke sekolah Minggu. Hah! Masih sekolah Minggu? Iya, masih ngajar sekolah Minggu.

Aku menghela napas dalam-dalam, bergumam dalam hati mengapa aku berbeda dengan yang lainnya? Yang bisa menikmati waktu dengan bebas. Satu jam berlalu dengan cepat, aku mengembangkan senyumku, mengenakan celana jeans dan kemeja kotak-kotak warna pink.

“Selamat pagi, Namo Buddhaya,”  ucapku begitu kaki melangkah memasuki vihara.

Namo Buddhaya, Kak,” adik-adik menjawab sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. Pemandangan yang menakjubkan. Senyum dari anak-anak mungil dan celotehan-celotehan lucu lainnya. Aku namaskara di depan altar dan menata buku Paritta. Detik jam berjalan stabil. Lantunan Paritta suci mulai dikumandangkan, kadang dengan lantang, suara melemah, lantang kembali, dan seketika hening lalu dengan nada tinggi. Intonasi suara yang tidak stabil, segera aku mengontrol supaya bisa senada pengucapannya.

Setelah selesai meditasi, tanpa sengaja aku menoleh pada anak kecil yang duduk paling belakang. Murid baru. Tangannya memegang erat wanita yang di sampingnya, sesekali berbisik, entah apakah saling mendengar. Mereka berdua terlihat seperti manusia yang bingung. Lagi asyik-asyiknya dengan pemandangan yang kunikmati sendiri, seseorang menepuk-nepuk tanganku.

“Kak, kita mau ngapain?” kata bocah laki-laki yang berlesung pipit, umurnya baru tiga tahun dan namanya Leon.

“Ah, iya. Hari ini kita akan mendengarkan cerita,” balasku sambil tersenyum.

Sebelum cerita dimulai, aku memanggil anak yang duduk paling belakang untuk maju dan memperkenalkan diri. Kebiasaan kalau ada anak baru harus dikenalkan supaya lebih akrab dengan anak-anak lain. Anak itu masih celingak-celinguk, kaku dan menarik tangan wanita di sebelahnya.

“Tidak apa-apa Ci, ikut saja,” pintaku.

Wanita itu berkaca-kaca dan meminta maaf sambil memeluk bocah lelaki yang terlihat banyak luka di sekujur tubuhnya. Bukan luka siksaan tapi seperti luka akibat garukan tangan, seperti rasa gatal yang tak berkesudahan. Semua mata terbelalak ke arah mereka berdua, dan suasana menjadi mencekam karena rasa sedih. Terharu dan tanpa kata-kata namun sudah menusuk dasar hati terdalam.

“Oke, namaku Kak Helen. Adik ini siapa namanya?” ucapku mencairkan suasana.

“Nama aku Aldi, dan ini Mamaku,” jawab bocah itu sambil tersenyum, suaranya lantang dan matanya seketika berbinar.

“Umur aku 6 tahun, hobi aku membaca tapi aku tidak boleh sekolah. Aku ingin belajar dan bermain bersama teman-teman,” lanjut Aldi.

“Tapi aku nurut sama Mama aja,” Aldi nyengir. Senyuman Aldi membuat mamanya tidak bisa menahan air mata dan sesenggukan. Ada kisah yang pilu yang masih belum terungkap.

“Wah keren Aldi. Adik-adik bilang halo dan selamat datang dong,” pintaku. Tidak butuh waktu lama untuk mereka saling akrab, meski ada beberapa anak yang tidak mau dekat-dekat karena takut penampilan Aldi, tapi mamanya sudah berbisik kepadaku bahwa itu bukanlah penyakit yang menular. Aku berjuang keras agar mataku tidak dipenuhi dengan air. Aku mulai bercerita kisah jataka, kehidupan lampau Buddha ketika menjadi seekor kelinci yang diuji oleh Dewa Saka. Semua mendengarkan dengan saksama, kadang kala ada yang rela menjadi seekor kelinci melompat-lompat. Semua tertawa dan tertawa itu melegakan.

Selesai kebaktian, Mama Aldi menghampiriku dan mengucapkan terima kasih.

“Maaf Ci, Aldi sakit apa ya?” tanyaku.

“Saya juga tidak tahu, sudah dibawa berobat ke mana-mana tapi penyakitnya tidak diketahui, saya juga merasa kasihan sama Aldi,” jawab Mama Aldi.

“Yang sabar ya Ci, semoga segala penyakit yang diderita Aldi segera hilang,” imbuhku.

“Iya Helen, terima kasih. Mungkin ini karma yang harus diterima, dan terima kasih juga sudah diterima dengan baik di sini, sebenarnya saya cuma mampir tapi Aldi sangat senang. Setelah ini kami akan kembali ke Jakarta,” Mama Aldi menghembuskan napasnya dalam.

“Sama-sama Cici, jangan sungkan ya, kalau ada waktu datang lagi kemari,” jawabku. Setelah itu Aldi beserta keluarganya pamit pulang.

Karma? Aku tersentak. Ya, setiap orang memiliki akibat dari perbuatannya sendiri, tapi sungguh pilu rasanya melihat anak sekecil itu menanggung beban yang berat seperti itu, dan setiap orang memang berbeda. Kenapa? Aku memejamkan mata, tanyakan padaku apa yang aku inginkan. Karena hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan.

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

The post Mengapa Aku Berbeda? appeared first on .

Masa Depan Generasi Muda Kita

$
0
0

Gerakan kaum muda menentang kekerasan bersenjata di seluruh Amerika Serikat berbarengan dengan suatu kecenderungan yang menarik sehubungan dengan agama Buddha di Amerika.

Agama Buddha merupakan satu-satunya agama yang berhasil menarik umat baru yang lebih muda — pada tahun 2007, 23% umat Buddha berada pada kisaran usia antara 18 hingga 29, tetapi 10 tahun kemudian, angka tersebut dengan antusias berkembang menjadi 34% (Pew Research Center).

Seorang akademisi di UC Berkeley, Layne R. Little, menyatakan bahwa agama Buddha dapat mencapai ranah baru ini, berkat persepsi publik tentang Dharma sebagai sebuah ajaran yang pragmatis, yang berfokus pada pemahaman tentang hakikat pikiran, kondisi manusia, serta mengatasi penderitaan.

Dunia berada dalam kondisi yang makin tidak stabil dan tidak pasti, maka makin bertambah jumlah organisasi Buddhis yang nampaknya merasa bahwa suatu pendekatan melalui keterlibatan atau pendekatan secara manusiawi (humanis) terhadap keyakinan dan praktik, yang dikombinasikan dengan kepedulian terhadap masyarakat, sangatlah dibutuhkan.

Para pendukung agama Buddha yang melibatkan diri/humanistik telah membawa obor pembuka jalan selama puluhan tahun. Mereka berasal dari beragam tradisi dan agama dari berbagai belahan dunia, mulai dari Bhikkhu Bodhi, Thich Nhat Hanh, hingga Master Hsing Yun.

Kaum muda

Berbagai institusi dan kaum muda perlu bekerja bersama untuk saling memahami serta saling terbuka satu sama lain. Hubungan yang saling menguntungkan kedua pihak ini akan dapat menjadi kunci untuk menyembuhkan penderitaan dan kegalauan yang dirasakan kebanyakan kaum muda dewasa ini, dan bisa menyuntikkan kehidupan serta cara pandang yang baru pada struktur konvensional kita.

Saat kita mendorong kaum muda untuk mengeksplorasi tradisi Buddhis, kita percaya bahwa hal ini tidak perlu (juga tidak seharusnya) memiliki penekanan doktrinal yang sama yang berasal dari generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan, terlepas dari pokoknya yang tak berubah tentang Dharma, agama Buddha secara konstan terus-menerus merespon kebutuhan-kebutuhan yang berevolusi dan berkembang dari beragam masyarakat di seluruh dunia.

Pada tahun 2016, Zen Master Thich Nhat Hanh menulis sebuah surat yang cukup rinci pada kaum muda, tentang bentuk-bentuk praktik keagamaan yang tidak bermanfaat bagi mereka, dan menurut pendapat beliau, perlu dihindari, “Agama, bagi kebanyakan orang, tidak lebih dari serangkaian kebiasaan dan ritual yang diwariskan secara turun temurun dari keluarga dan masyarakat. Karena kemalasan atau karena kurangnya minat, kebanyakan orang telah merasa puas dengan pemahaman secara kulit luar saja tentang agama mereka. Mereka tidak menguji kebenaran ajaran dalam cahaya penerangan pengalaman mereka sendiri, membiarkan pelaksanaannya untuk memperbaiki dan menyempurnakan penerapan ajaran itu sendiri. Orang-orang semacam ini lebih suka menyatakan dogmatisme dan intoleransi.”

Di sisi lain, Thich Nhat Hanh menyarankan pada kaum muda, bahwa ketika agama itu adalah tentang sesuatu yang lebih besar dibanding diri mereka sendiri, maka itu juga berarti suatu lawatan pribadi yang mendalam, yang perlu terus-menerus dijadikan topik bahasan yang cakupan pengertiannya jauh melampaui batasan yang lumrah.

“Jika engkau mengikuti suatu agama, janganlah menjadi seperti/menyerupai mereka. Pelajarilah agamamu dengan sangat cermat, dalam semua aspek kedalaman dan keindahannya, sehingga ia dapat mengenyangkan dan mngembangkan kehidupan spiritualmu.

“Agama yang sehat adalah agama yang hidup. Ia seharusnya mampu untuk berevolusi serta belajar untuk merespon berbagai kesulitan pada zaman kita. Agama harus melayani kemanusiaan, bukannya agama yang manusiawi (agama yang welas asih pada manusia). Jangan biarkan siapa pun menderita atau kehilangan nyawa mereka dalam nama agama.”

Dinamis

Dengan semua pertimbangan ini dalam benak, apakah yang seharusnya diharapkan kaum muda Buddhis? Mereka harusnya bisa mengharapkan agama Buddha yang sadar diri, yang tidak berbicara merendahkan kaum muda dan bersedia secara terbuka mengeksplorasi bagaimana seharusnya konsep-konsep tradisional itu dipahami.

Sebagai contohnya, apakah arti penting meditasi pada zaman media sosial dan era penghakiman serta reaksi instan? Bagaimana seseorang akan dapat merangkum keseluruhan cakupan pengalaman emosional yang dialaminya pada masa remaja sembari mempraktikkan renungan meditatif? Kita tidak dapat memberikan jawabannya di sini.

Bagaimanapun, adalah sekolah-sekolah dan para guru yang melibatkan kaum muda serta yang bersedia mengeksplorasi masalah-masalah yang selalu muncul pada masanya ini, merekalah yang akan sungguh-sungguh menyatakan bahwa agama Buddha tak lekang oleh waktu.

Dunia nampak kian tak dapat diperkirakan. Perubahan iklim mengancam masa depan umat manusia. Saat ini adalah era dominasi teknologi data dan perusahaan-perusahaan raksasa. Tantangan yang harus dihadapi para guru, pemimpin, serta penyembuh kita di masa depan akan sangat berat.

Institusi-institusi spiritual serta para pemimpin spiritual harus mendukung di belakang kaum muda kita dan demikian pula sebaliknya, karena jika tidak demikian halnya, maka tak akan ada yang dapat mereka capai bersama. (Buddhistdoor.net)

The post Masa Depan Generasi Muda Kita appeared first on .

Melihat Lebih Dekat Aktivitas Sekolah Calon Bhikkhu

$
0
0

Menyambut Waisak, Sangha Theravada Indonesia (STI), Jawa Tengah menggelar Pabbaja Samanera. Sebanyak 19 peserta ikut berlatih menjalani kehidupan samana selama dua minggu. Mereka adalah umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia.

Upacara penahbisan dilaksanakan di Vihara Tanah Putih, Semarang Rabu, (16/5) oleh Bhikkhu Jotidhammo, sebagai upajaya. Usai ditahbiskan menjadi samanera, mereka belajar dan praktik hidup sebagai pabbajita di Vihara Tanah Putih selama tiga minggu.

Pabbajja Samanera Sangha Theravada Indonesia

“Para samanera yang berjumlah 19 peserta dari Jawa Tengah kemudian mendapat pelajaran selama tiga hari. Pelajaran samanerasikkha atau tata cara kehidupan samana oleh Upajjhaya dan juga dibimbing meditasi oleh Bhikkhu Hemadhammo,” tutur Bhante Khemadiro, ketua panitia pabbaja.

Tak hanya berlatih di Semarang, para samanera juga berlatih di beberapa tempat. Salah satunya adalah di Jepara. Di Jepara, mereka menerima dana makanan, pujabhakti dan meditasi di Kuti Goa, sebuah tempat pertapaan di Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kecamatan Donorojo. “Ini adalah tempat yang cocok untuk melatih diri. Selain tempatnya tidak ada sinyal, sepi, dekat makam, udaranya juga sejuk. Jadi di tempat ini, mereka fokus berlatih meditasi vipassana yang dibimbing langsung oleh Bhikkhu Hemadhammo,” imbuh Bhante Khema.

Bhante Khemadiro menilai para peserta pabbaja kali ini mempuyai semangat yang tinggi dalam berlatih. “Para peserta sangat bersemangat dalam latihan meditasi. Baik ketika meditasi duduk menggunakan kelambu, meditasi jalan, maupun berdiri.

“Mereka bangun pagi-pagi pukul 04.00, setelah itu langsung meditasi jalan. Kemudian duduk, lanjut chanting pagi, sarapan pagi, kemudian meditasi lagi. Makan siang, langsung lanjut meditasi lagi sampai sore, dan chanting malam bersama umat Buddha Vihara Giri Santi Loka.”

Melihat ini, Bhante Khemadiro berharap dari kesembilan belas peserta tersebut ada yang melanjutkan menjadi samanera tetap hingga menjadi bhikkhu. “Semoga ada yang berlanjut hingga menjadi bhikkhu,” pungkas bhante.

The post Melihat Lebih Dekat Aktivitas Sekolah Calon Bhikkhu appeared first on .

Waisakan di Gunung Yuk!

$
0
0

Tempat perayaan Waisak yang favorit biasanya adalah di vihara, candi-candi, atau mungkin belakangan ini sedang tren Waisak in the Mall. Padahal masyarakat Indonesia dari zaman dahulu (hingga sekarang sekalipun) sudah (dan masih) memiliki tradisi sembahyang di gunung.

Agak tidak biasa, bahwasanya ada umat Buddha Indonesia merayakan Waisak di gunung, kecuali mungkin bagi umat-umat yang memang bertempat tinggal di sana, misalnya kita ketahui ada komunitas umat Buddhis Tengger, dan sebagainya.

Masyarakat Indonesia memang dikenal memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan gunung, mungkin karena memang topografi wilayah Indonesia yang mayoritas adalah terdiri dari pegunungan. Ambil contoh, masyarakat Bali yang menganggap Gunung Agung sebagai gunung suci dan mereka memiliki ritual khusus yang dilakukan di Gunung Agung. Demikian pula, masyarakat Lombok dengan Gunung Rinjani. Di Jawa sendiri ada banyak gunung yang dianggap sakral/suci, seperti Gunung Semeru, Gunung Kawi, Gunung Salak, dan sebagainya.

Di dalam tradisi Buddhis Himalaya (Tibet dan sekitarnya) pun memiliki budaya dan ritual yang berkaitan dengan gunung, antara lain kita ambil contoh yang dinamakan sebagai hari Zamling Chisang.

Apa itu Zamling Chisang?

Sejarahnya, Zamling Chisang ini dimulai dari peristiwa di abad ke-8 Masehi. Dalam rangka selamatan keberhasilan pembangunan biara Buddhis yang pertama di Tibet pada masa itu, yaitu Biara Samye oleh Guru Padmasambhawa, Raja Trisong Detsen, dan rakyat Tibet pada masa itu melakukan doa dan puja persembahan asap kepada para dewa yang dianggap telah ikut berjasa dalam melancarkan pembangunan biara tersebut.

Biara ini memegang tonggak sejarah penting preservasi dan penyebaran Buddhadharma, khususnya silsilah Biara Nalanda, yang seolah-olah dicangkok dari India ke Tibet sehingga silsilah ini terselamatkan dan tidak ikut musnah ketika Buddhadharma di India merosot seiring dengan invasi Turki pada abad ke-13 Masehi. Dikatakan bahwa pada hari tersebut, di puncak Gunung Hepo-Ri, bubuk wewangian menumpuk tinggi dan asap wangi semerbak menyelimuti langit.

Momen puja tersebutlah yang hingga sekarang pun masih dirayakan dengan nama Zamling Chisang atau diterjemahkan sebagai Hari Puja Persembahan Asap Dunia (“Zamling” merujuk ke “Dzambuling” yaitu benua dunia kita berada sekarang, “Chi” artinya universal/global dan “Sang” artinya persembahan asap). Umat Buddha di sekitar pegunungan Himalaya, sampai sekarang pun masih melakukan puja di puncak-puncak gunung, sambil berpiknik dengan keluarga pada hari tersebut.

Waisak 2018 di gunung-gunung Nusantara

Dalam rangka peringatan Waisak 2018 dan juga sekaligus menuju rampungnya bhaktisala utama, Aula Mahakarunika Awalokiteswara, di Pusdiklat Jina Putra Tushitawijaya, Kadam Choeling Indonesia juga melakukan puja di dua puncak gunung sakral di Indonesia.

Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut. Nama gunung ini diambil dari nama Gunung Meru, yang di dalam kosmologi Hindu-Buddhis, merupakan pusatnya mandala dunia dan menjadi tempat tinggal para dewa.

Berdasarkan legenda yang dipercaya secara turun-temurun di kalangan orang-orang Jawa, juga dipercaya bahwa gunung ini memang berasal dari sana. Diceritakan bahwa pada zaman dahulu, para dewa memotong puncak Gunung Meru dari India dan menempatkannya ke pulau Jawa untuk memaku pulau tersebut agar tidak terombang-ambing oleh laut. Gunung Meru ini bahkan dianggap oleh orang Bali sebagai bapaknya Gunung Agung yang sangat suci di Bali.


Gunung Rinjani. Lars E

Gunung Rinjani adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut dan berlokasi di pulau Lombok. Ada banyak legenda yang terkait dengan Gunung Rinjani. Ada yang percaya bahwa Gunung Rinjani adalah tempat tinggal para jin yang dipimpin oleh Ratu Anjani (yang dipercaya menjadi asal muasal nama gunung ini).

Berdasarkan legenda mitologis yang lain, ketika Pulau Jawa sudah selesai dipaku, giliran pulau Bali dan Lombok yang menjadi tidak stabil, sehingga para dewa kembali ke India dan memotong puncak Gunung Meru lagi untuk ditempatkan di pulau Bali yang kemudian menjadi Gunung Agung dan di pulau Lombok yang kemudian menjadi Gunung Rinjani.


Gunung Agung. Max M

Bagi penjelajah spiritual, ada tiga gunung yang dianggap sakral dan harus ditaklukkan. Ketiga gunung tersebut adalah Gunung Semeru yang menyimbolkan Dewa Siwa, Gunung Rinjani yang menyimbolkan Dewa Wisnu, dan Gunung Agung yang menyimbolkan Dewa Brahma.

Kadam Choeling Indonesia, sebagai keluarga praktisi Buddhadharma yang menjunjung tinggi khazanah kebesaran Nusantara, di Waisak 2018 ini mengadakan puja waisak di beberapa lokasi sakral di Indonesia, baik sakral secara Buddhis maupun sakral dalam budaya Indonesia.

Selain di puncak Gunung Semeru dan Rinjani, puja juga akan dilakukan di Candi Muaro Jambi yang berlokasi di Jambi dan dibangun sekitar abad ke-11 Masehi, serta merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya yang dahulu juga dikenal dengan nama Suwarnadwipa dan menjadi pusat Buddhisme terbesar di Asia Tenggara pada masa itu.

Kemudian puja akan dilanjutkan ke Candi Bahal yang berlokasi Sumatera Utara dan dibangun sekitar abad ke-11 Masehi, dengan corak Buddha Vajrayana dan dipercaya memiliki kaitan khusus dengan Istadewata Heruka. Setelah itu, puja juga akan dilakukan di Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya di Malang yang merupakan biara pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang memiliki institusi pendidikan monastik (kebiksuan) yang lengkap berdasarkan silsilah dari Biara Nalanda India, Guru Suwarnadwipa dari Sriwijaya, Guru Atisha, dan Biara Lamrim Dagpo. Selain puja, berbagai aktivitas bajik juga dilakukan seperti fangshen (pelepasan hewan), pemasangan pelita, dan pemasangan bendera doa (prayer flag).

Adapun bagi yang hendak ikut berpartisipasi ataupun untuk mendapatkan informasi lebih lanjut terkait Rangkaian Puja Waisak 2018 Kadam Choeling Indonesia, ataupun ikut berkontribusi dana, bisa menghubungi Call Center Berita Bajik Biara di 0811-2195-678.

Praviravara Jayawardhana

Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan

The post Waisakan di Gunung Yuk! appeared first on .

Selalu Jadi Korban, Kok Mau?

$
0
0

Aku tuh sedih, marah, dan kecewa banget, mamaku nggak perhatian ama aku, kakak aku pergi-pergi terus tiap malem, papaku lebih sayang ama kakakku daripada sama aku, pacarku juga sering nyuekin aku dan sibuk sendiri, terus temen-temenku juga selalu ngebully aku karena barang-barangku nggak branded. Oh my God, sial banget sih hidup aku…”

Pernah nggak Anda menemui orang-orang seperti ini dalam kehidupan sehari-hari?

‘Drama Queen’

Contoh pembicaraan seperti di atas bisa jadi masuk ke dalam golongan ‘Drama Queen’. Istilah Drama Queen biasanya digunakan untuk orang-orang yang suka dan sering sekali mendramatisir dirinya, kehidupannya, permasalahan hidupnya, emosinya secara meledak-ledak, dan ciri yang paling kentara adalah selalu memosisikan dirinya sebagai ‘korban’ dan orang sial di dunia ini.

Semua cerita-ceritanya selalu dramatis, sensasional, dan berlebihan, seperti saat kita menonton sinetron atau telenovela. Bahkan jika dituliskan mungkin bisa menjadi sebuah karya novel laris…hihihi. Orang zaman sekarang sering menyebutnya dengan istilah ’lebay’. Karena cerita sedikit saja bisa didramatisir bak sinetron ratusan episode panjangnya.

Sebetulnya gejala ‘Drama Queen’ ini termausk dalam jenis gangguan kepribadian dalam psikologi yang disebut histrionic personal disorder (HPD). Ciri utamanya adalah emosi yang seringkali meledak-ledak, sensitif, mudah tersinggung, mencari perhatian dengan berbagai cara yang dramatis, selalu ingin diperhatikan dan menjadi centre dengan segala keluh kesah serta permasalahan hidupnya.

Karena kebutuhan yang terakhir inilah, maka para drama queen sering menampilkan cerita-cerita kehidupannya yang begitu dramatis, bahkan menguras emosi pendengar, dan selalu memosisikan dirinya sebagai korban dari segala keadaan agar cerita tampak lebih menarik dan indah.

Korban

Terkadang sifat manusia memang begitu, ketika merasa kecewa atau tidak terima dengan keadaan, pasti langsung menyalahkan orang lain, atau menjelekkan pihak lain, kemudian ingin menunjukkan pada dunia betapa diri ini dirugikan atau disakiti. Betapa ini tidak adil? Betapa melas dan menderitanya hidup saya? Saya adalah korban.

Bercerita kesana kemari tentang betapa menyedihkannya kehidupannya, kemudian merasa bangga dan senang sesaat ketika ada orang yang memerhatikan atau mendengarkan ceritanya, atau malah ikut terhanyut dan sedih dengan cerita yang dibuatnya. Kemudian berganti lagi ke orang yang baru, dan akan selalu begitu seterusnya, dan selamanya.

Mengapa bisa begitu ya?

Karena pada dasarnya sifat dan karakter manusia selalu ingin didukung, diperhatikan dan ingin didengar oleh lingkungan sekitarnya. Nah dengan cara-cara yang normal dan wajar, terkadang dukungan kurang didapatkan. Entah itu dari pihak keluarga, teman, sahabat, pasangan, ataupun anak.

Biasanya cerita ‘diri sebagai korban’ ini lebih senang diutarakan pada orang-orang baru yang belum terlalu mengenalnya, karena biasanya orang-orang ini akan lebih bersimpati pada cerita si ’korban’ daripada orang-orang yang sudah mengenalnya lebih lama. Nah perhatian dan simpati ini akan digunakan sebagai senjata oleh si korban untuk mendapatkan dukungan dan pembelaan atas semua sikap, emosi, dan pemikirannya.

Ternyata banyak keuntungan yang bisa didapatkan ketika kita memosisikan diri sebagai korban, daripada sebagai ‘aktor’ atau ‘pelaku’. Ketika kita menjadi si korban, kita cenderung bisa mengeksploitasi orang lain, bahkan mencuci otak orang lain sesuai dengan drama atau cerita yang kita buat. Lama-kelamaan orang lain akan memercayai apa yang kita ceritakan secara terus-menerus, jika tidak jeli melihat situasi sebenarnya dan berusaha melihat dari berbagai sudut pandang.

Ada baiknya untuk melakukan kroscek pada beberapa pihak sebelum kita memercayai satu saja cerita dari si korban. Nah karena sudah terlatih bercerita sebagai korban, biasanya ceritanya pun akan lebih menarik dan lebih mudah untuk dipercaya ketimbang cerita-cerita orang biasa lainnya. Bahkan kadang kita rela menipu, melebih-lebihkan fakta yang ada, dan mempresentasikannya secara berlebihan agar cerita yang lebih indah.

‘Aktor atau pelaku’

Bagaimana jika posisinya dibalik?

Daripada menjadi korban keadaan terus-menerus dan bersikap seolah-olah tidak berdaya untuk mengubah situasi yang ada, marilah kita memosisikan diri sebagai ‘aktor’ atau ‘pelaku’.

Bukankah lebih asyik jadinya?

Menjadi seorang aktor atau pelaku utama itu berarti memiliki kontrol atas keadaan yang dialami, dan memiliki beberapa pilihan untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Meskipun keadaan di ‘luar’ diri kita sulit untuk diubah, paling tidak kita bisa mengubah kondisi mental dan emosi kita dalam menyikapi kondisi yang kurang menguntungkan tersebut.

Manusia memiliki banyak sekali mekanisme pertahanan diri yang bisa dipilih, misalnya memilih untuk lari dari keadaan yang mengecewakan, atau berdiri tegap menghadapi kondisi tersebut dan menuntaskannya hingga akhir, atau hanya berdiam diri menunggu hingga kondisi reda dengan sendirinya? Tentunya pilihan akan sangat banyak dan tidak ada pilihan yang benar atau salah, semua kembali ke diri Anda masing-masing.

Paling tidak ketika kita sudah berani mengambil sebuah sikap tertentu, orang lain tidak akan menjadi korban manipulasi Anda dengan semua cerita-cerita tentang menjadi korban, dan fakta yang ada pun tidak perlu dinilai atau dilabel secara berlebihan. Biarkan persepsi masing-masing individu menilai situasi dan kondisi yang ada sesuai pemahaman mereka masing-masing.

Kewaspadaan penuh

Nah satu kunci jitu dalam menghadapi situasi-situasi yang kurang menguntungkan adalah dengan selalu mewaspadai gejolak emosi di dalam diri kita sendiri. Ketika gelombang kekecewaan mulai melanda, tingkatkanlah kewaspadaan diri Anda dengan selalu menyadari datangnya emosi-emosi tersebut. Bukannya mengusirnya pergi, atau juga mengabaikannya, namun cukup Anda sadari bahwa perasaan itu ada di sana, dan merupakan bagian dari diri Anda.

Dengan kewaspadaan dan penyadaran semacam ini, akan mengurangi sikap mudah menilai dan mudah mengasumsikan sesuatu secara berlebihan. Ketika kesadaran dan kewaspadaan muncul, ini akan membantu Anda dalam mengontrol ucapan, tindakan, dan pikiran yang tidak baik, serta merugikan. Selanjutnya Anda tinggal menentukan sikap dan langkah, mau mengambil jalan yang mana untuk menghadapi situasi tidak menyenangkan ini.

Semua pilihan kembali ke diri Anda masing-masing bukan? Jadi segera ambil keputusan dalam hidup Anda, mau selalu menjadi korban ataukah aktor yang menentukan respon yang diambil atas segala situasi?

Maharani K.,M.Psi

Psikolog keluarga, Hipnoterapis, dan Trainer

The post Selalu Jadi Korban, Kok Mau? appeared first on .


Simfoni Waisak

$
0
0

Tasya mengeluarkan semua yang ada di saku celananya. Semua benda yang ada di saku depan dan saku belakang celana jeans-nya sudah dikeluarkan dan diletakkannya di atas meja. Namun benda yang dicarinya tidak juga ditemukan. Semua isi tas tangannya juga sudah dikeluarkan, namun lagi-lagi, benda yang dicarinya tak juga ditemukan.

Tasya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia mencoba mengingat kembali perjalanan dari tempat kost hingga sampai ke Vihara Vimala Dharma. Kok flashdisk-nya tidak ada? Apakah tertinggal di tempat kost atau justru terjatuh dalam perjalanan ke vihara? Bagaimana kalau hilang?

“Tasya, ada apa?” sebuah suara lembut menyapanya. Tasya melepaskan telapak tangan yang menutupi wajahnya. “Eh… Ci Renny,” jawab Tasya. “Ada apa Tasya, kok uang, tisu, kertas catatan, dan semua ini berantakan di atas meja?” tanya Ci Renny.

“Itu Ci, saya sedang mencari flashdisk saya. Hari ini ada latihan nyanyi anak-anak Taman Putra untuk Waisak Bersama se Jawa Barat nanti, tapi flashdisk yang berisi musiknya tidak ada. Tadi seingat saya, dari kost saya sudah bawa flashdisk-nya, tapi sampai vihara, saya cari, tidak ada,” terang Tasya dengan wajah seolah ingin menangis.

“Oh.. cuma hilang flashdisk. Nggak usah sampai panik gitu. Kita masih punya copy musiknya ‘kan?” tanya Ci Renny.

“Ada Ci, di laptop perpustakaan ada copy-nya,” jawab Tasya.

“Nah… beres ‘kan? Tinggal cari anak perpus, pinjam laptop-nya. Persoalannya selesai “kan?” kata Ci Renny sambil tersenyum.

“Bukan itu masalahnya Ci. Flashdisk itu juga berisi data saya yang penting, tugas kuliah saya. Sebenarnya, saya ada back up-nya d laptop. Tapi yang jadi masalah, laptop saya rusak terkena virus. Laptop sudah dibawa ke tempat service, tapi datanya tidak bisa diselamatkan. File tugas itu belum saya back up ke laptop,” kata Tasya sambil terisak.

Kali ini wajah Ci Renny ikut tegang. Entah harus bagaimana? Suasana di ruangan pemuda Buddhis itu jadi hening. Tasya dan Ci Renny diam. Keduanya sedang berusaha mencari jalan keluar.

Lalu suara Ci Renny memecah keheningan. “Tasya, nanti coba cari lagi di tempat kost. Mudah-mudahan flashdisk-nya bukan terjatuh di jalan, tapi masih tertinggal di tempat kost. Kalau memang terjatuh di jalan, kita berharap flashdisk itu ditemukan orang yang baik hati dan ia mengembalikannya,” hibur Ci Renny.

Tasya hanya diam dan menutup wajahnya. Air mata mengalir di pipinya.

* * * * *

Semua sudut kamar kost, sampai tempat sampah di kamarnya sudah diobrak-abrik, flashdisk yang dicari tidak juga ditemukan. Tasya mencoba menelusuri jalan yang tadi dilaluinya, flashdisk yang dicari tetap tidak ditemukan. Beberapa teman kost yang mengetahui masalah Tasya, segera ikut bantu mencari.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30, Tasya masih belum juga tidur. Tubuh Tasya sudah lelah luar biasa, pikirannya juga. Tasya sudah berbaring di tempat tidurnya, tapi tetap saja ia tak dapat tidur. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, bagaimana caranya menyelesaikan tugas yang demikian banyak dalam waktu singkat. Jika tidak selesai, bagaimana dengan nilainya? Apa kata dosen killer itu?

Cara keluar dari masalah ini hanya satu, flashdisk itu kembali. Apakah mungkin di zaman sekarang ini, sebuah flashdisk ditemukan dan penemunya mau bersusah payah mencari identitas pemiliknya dan berusaha mengembalikannya? Ah… rasanya mustahil.

Parahnya lagi, di flashdisk tidak ada tulisan nama pemiliknya. Isi flashdisk? Tasya mengingat-ingat isinya. Ada file tugas dari dosen yang hampir selesai dikerjakan, seingat Tasya, tidak ada namanya di sana. Cover depan tugas belum dikerjakan, jadi tidak ada nama pembuat, tidak ada nama universitas.

Ada file musik, lagu “Hadirkan Cinta” yang berisi petikan gitar Ko Nicksen. Itu musik pengiring anak-anak Taman Putra yang akan tampil di Waisak Bersama se-Jawa Barat. Ada beberapa lagu Buddhis yang tersimpan dalam folder Lagu Buddhis.

Tiba-tiba smartphone Tasya bergetar. Sebuah pesan WA masuk dari nomor tak dikenal. “Namo Buddhaya… saya Tommy. Maaf jika terganggu karena saya kirim pesan tengah malam. Saya menemukan flashdisk di angkot. Mungkinkah ini milik Anda? Lalu di bawahnya ada foto flashdisk.

Duh… betapa senangnya Tasya. Jika ini kamarnya, bukan tempat kost, pasti Tasya sudah berteriak sekencang-kencangnya. Berkali-kali Tasya mengucapkan terima kasih kepada Tommy, orang yang baru dikenalnya. Malam hingga dini hari keduanya asyik ngobrol via WA.

* * * * *

“Lakukan kebajikan sebanyak mungkin, percayalah… karma baik akan melindungimu,” begitu nasihat Mama Tasya.

Itu yang sekarang sedang Tasya alami. Flashdisk hilang dan rasanya mustahil akan kembali, tapi nyatanya flashdisk-nya kembali.

Penasaran gimana ceritanya flashdisk itu bisa balik? Begini ringkasan ceritanya…

“Saya menemukan flashdisk itu di angkot. Mungkin terjatuh saat kamu ambil uang dari saku celana. Di kamar kost, saya coba buka isinya untuk cari tau pemiliknya. Ada file tugas kuliah, tapi tak ada nama.  Lalu ada folder Lagu Buddhis yang berisi beberapa lagu Buddhis. Saya menebak, kemungkinan besar pemiliknya Buddhis. Sebagai penggemar cerita detektif, saya tertantang menemukan pemiliknya. Saya bagikan cerita dan foto flashdisk-nya ke beberapa group WA Buddhis. Inilah pengaruh teknologi zaman now, sebentar saja saya langsung dapat titik terang. Ada anggota group bernama Renny yang bilang temannya kehilangan flashdisk. Singkat cerita, saya minta nomor WA yang kehilangan flashdisk. Saking semangatnya untuk menuntaskan kasus ini, saya langsung WA, meski sudah malam,” begitu cerita Tommy.

Karma baik Tasya berbuah, semesta pun mendukung. Tasya semakin percaya ucapan Mama-nya. “Lakukan kebajikan sebanyak mungkin, percayalah… karma baik akan melindungimu.”

Rentetan peristiwa berikutnya seperti skenario yang sengaja ditulis untuk Tasya. Ko Nicksen dapat tugas ke luar kota dari kantornya sehingga tidak bisa tampil secara live untuk mengiringi anak-anak Taman Putra di Waisak Bersama nanti. Tommy, yang ternyata umat Vihara Karuna Mukti dan kebetulan mahir bermain gitar, tidak menolak saat diminta Tasya untuk main gitar menggantikan Ko Nicksen. Klop!

Flashdisk yang hilang menjadi awal kedekatan dua insan ini. Mereka semakin sering bertemu, jalan bersama tanpa ada yang cemburu karena status keduanya sama, jomblo. Kalau tak punya waktu bertemu langsung, mereka ngobrol via WA.

Sudah 2 minggu ini, setiap Minggu sore, Tommy hadir dan mengiringi anak-anak Taman Putra latihan menyanyikan lagu “Hadirkan Cinta” dengan petikan gitarnya. Tasya sekarang  lebih bersemangat melatih anak-anak Taman Putra sejak ada  Tommy.

Suara anak-anak menyanyikan lagu “Hadirkan Cinta” terdengar bagaikan simfoni cinta bagi dua insan yang tengah dekat ini.

“… Hadirkan cinta, satukan rasa di dada, pancarkan kasih pada sesama, bahagialah semesta…”

Bagaimana akhir kisah Tommy dan Tasya? Biarlah waktu yang akan menjawabnya…

Catatan:

Selamat menyambut Hari Trisuci Waisak 2562 BE – 2018

Ssst… buat yang jomblo, tidak usah dengan sengaja menjatuhkan flashdisk di angkot, tabungan karma baik Anda belum tentu sama dengan tabungan karma baik Tasya dan Tommy.

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

The post Simfoni Waisak appeared first on .

Kemeriahan Festival Vegetarian di Wihara Ekayana Arama

$
0
0

Jakarta, Minggu (27/5) Wihara Ekayana Arama dipadati oleh ribuan masyarakat yang hadir untuk mecicipi berbagai ragam menu vegetarian. Bagi masyarakat yang sedang berpuasa, mereka membeli beberapa paket kebutuhan pokok untuk dibawa pulang.

Dalam sambutannya Bhante Dharmavimala menyampaikan apresiasinya pada semua pihak yang telah berkontribusi. Wakil Kepala Wihara Ekayana Arama tersebut kemudian melanjutkan, “Bahwa menjadi vegetarian adalah latihan tentang cinta kasih pada diri semua makhluk. Cinta kasih pada diri, karena dengan vegetarian kita akan lebih sehat. Cinta kasih pada hewan. Tentunya cinta kasih pada semua makhluk.”

Acara dibuka pada pukul 08.40 WIB. Bhante memberi perumpaan, “Jika kita memiliki kelinci, lalu tiba-tiba di meja makan kita lalu tersedia sate kelinci, dan kita tahu bahwa itu adalah kelinci kita apakah kita sanggup memakannya? Itu karena kita mencintai kelinci kita.

“Perlahan tapi pasti kita akan lebih banyak, bukan hanya kelinci kita. Kita akan mencintai makhluk-makhluk yang lain, bahwa mereka juga ingin hidup, dan yang terakhir menurut penelitian, peternakan menyumbangkan gas emisi yang besar, yang membuat pemanasan global, yang membuat dunia ini bisa menjadi dalam kondisi yang buruk, yang bisa mengakibatkan semua makhluk terkena dampaknya.

“Oleh karena itu, dengan vegetarian kita mengembangkan cinta kasih kepada diri kita sendiri, kita mengembangkan cinta kasih tanpa diskriminasi bukan hanya pada hewan yang kita miliki namun kita mengembangkannya pada semua makhluk yang ada di bumi ini.”

Tak hanya festival makanan vegetarian, pameran buku, pameran pendidikan, acara musik, barongsai, dan tari, tetapi umat Buddha yang hadir berkesempatan untuk memandikan rupang Buddha.

The post Kemeriahan Festival Vegetarian di Wihara Ekayana Arama appeared first on .

Mengapa Kita Perlu Merawat Tradisi dan Budaya?

$
0
0

“Budaya Jawa minangka warisan leluhur kang adiluhung iku ngandhut macem-macem pelajaran moral, yaiku nyakup andhap asor, budi pekerti lan tata krama uga unggah-ungguh krama minangka dadi obor ing urip iki.”

Terjemahan bebasnya:

“Budaya Jawa sebagai warisan leluhur yang adiluhung, di dalamnya terkandung berbagai macam pelajaran berkenaan dengan moral, meliputi sopan santun, budi pekerti, dan tata krama serta unggah-ungguh (etika), demikian sangat diunggulkan sebagai obor pedoman hidup sehari-hari.”

Tulisan ini mengupas mengenai pentingnya menjaga tradisi dan budaya dari sudut pandang Buddhadharma terutama Vajrayana yang dahulu tumbuh subur di Nusantara.

Apa itu adiluhung?

Kata “adiluhung” dimaknai sebagai sesuatu yang luhur, atau sesuatu yang sangat bernilai tinggi. Maksudnya, berbagai macam ekspresi budaya berujung atau mengarah pada nilai keluhuran budi pekerti.

Harus dibedakan antara budaya yang adiluhung dengan budaya yang biasa. Ini pembagian istilah saja. Budaya yang biasa itu umumnya hanya hiburan, atau menekankan aspek fungsi saja. Seperti budaya modern berupa penemuan teknologi, ini jelas aspek fungsi.

Budaya pop, itu hanya hiburan, estetika dan gaya hidup yang dominan bagi anak-anak muda. Berbeda budaya yang adiluhung. Apabila kita perhatikan, yang adiluhung itu sarat dengan simbol. Penggunaan simbol yang memiliki makna tertentu. Mengandung ajaran tertentu yang jika ditelusuri maka akan membawa pada sesuatu yang adiluhung.

Upaya kausalya

Salah satu ciri khas Vajrayana adalah penggunaan simbol-simbol sebagai sarana melatih diri. Walaupun simbol digunakan dalam tradisi lain, namun penggunaan simbol dalam Vajrayana sangat menonjol. Karena itu perkembangan Vajrayana sangat beragam dan dapat menyesuaikan dengan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Bukan hanya dalam wujud kemasan luar, variasi yang lain nampak pada banyaknya metode praktik yang menyesuaikan karakteristik individu yang mempraktikkannya.

Hal seperti ini bisa dilihat dalam perkembangan agama Buddha di Tibet. Agama Buddha di sana dapat menyatu dengan budaya dan karakteristik orang Tibet. Demikian juga halnya di Nusantara di masa lalu. Yang paling nampak seperti corak arsitektur bangunan candi dan ikonografi yang menunjukkan keunikannya masing-masing, berbeda dengan bangunan di negara Buddhis lain, yang juga memiliki sarat makna “Adiluhung”.

Dalam Mahayana ada istilah “upaya kausalya“, atau sering disebut sebagai “upaya”, adalah kata Sanskerta yang berarti “sarana yang terampil” (skillful means). Hal ini dapat dijelaskan sebagai menerapkan teknik yang benar atau membuat pilihan bijak dalam suatu situasi untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

Menggunakan upaya kausalya dianggap sebagai atribut dari bodhisattva, atau makhluk tercerahkan yang membantu orang lain dalam mencapai pencerahan juga.

Umat Buddha mempraktikkan upaya kausalya dan guru mengajarkannya sebagai cara untuk membantu para murid mencapai pencerahan. Buddha sendiri juga menggunakan upaya kausalya ini dengan memvariasikan ajarannya agar sesuai dengan para pendengarnya. Sudah tentu, presentasi ajaran akan berubah sesuai dengan tingkat pemahaman para murid, yang membuat Dharma bisa dipahami oleh orang-orang dari semua tingkat spiritual.

Dua prinsip utama

Dalam Vajrayana ada dua prinsip utama yaitu metode (upaya) dan kebijaksanaan (prajna). Metode disimbolkan sebagai vajra. Sedangkan kebijaksanaan disimbolkan sebagai genta (ghanta) atau bel. Metode secara umum disebut upaya kausalya, dan dalam Vajrayana (seperti yang sudah disinggung sebelumnya) sangat banyak variasi metode seperti ini.

Mengenai penjelasan praktis dua prinsip utama bisa dipahami melalui uraian berikut.

Suatu ketika HH Dalai Lama XIV ditanya oleh seseorang, “Bagaimana cara Anda mengatasi emosi negatif? Apakah ada cara sederhana yang bisa dilakukan?”

Dalai Lama menjelaskan bahwa emosi negatif muncul atau berhubungan pada dua hal. Pertama, perilaku yang berpusat pada diri (self-centered attitude). Sedikit-sedikit merasa Aku, Aku, Aku, milikku, milikku, seperti itu.

Kedua, emosi negatif muncul pada saat kita menerima hal yang nampak atau kelihatan sebagai realita. Dalam Buddhis itu merujuk pada ajaran Anatman dan ajaran Sunyata. Tidak ada hal yang nampak itu sebagai realita. Dengan kata lain, hal yang nampak itu tidak ada (exist) .

Emosi negatif umumnya muncul karena reaksi atas penampakan. Jika penampakan itu dipahami tidak ada, maka tidak ada reaksi berupa emosi negatif. Ini adalah sisi kebijaksanaan (prajna). Di sisi lain adalah upaya, yakni altruisme. Altruisme ini adalah daya penawar dari perilaku yang berpusat pada diri.

Perilaku yang berpusat pada diri adalah satu faktor. Faktor lainnya adalah kemelekatan akan sesuatu yang nampak. Jika dua faktor ini diatasi atau dilemahkan, maka akan melemahkan dan melenyapkan emosi negatif. Dalam Vajrayana, pengembangan dari metode dan kebijaksanaan ini, maka akan mengarah pada pencerahan.

Tradisi dan budaya sebagai praktik

Tradisi dan budaya akan menjadi praktik apabila menyertai dua prinsip utama, yaitu metode (upaya kausalya) dan kebijaksanaan (prajna).

Tradisi dan budaya yang sarat akan makna dan menjadi cara mengingatkan diri dan kontemplasi, maka jelas sekali memiliki fungsi sebagai upaya kausalya. Ketika tradisi tersebut menjadi sarana untuk mengelola dan mengendalikan diri lebih baik, maka akan membawa pada pengertian tentang hidup dan kehidupan. Inilah bagian dari yang “adiluhung”, tidak lain, adalah kebijaksanaan (prajna).

Harus diakui, kita semua membutuhkan tradisi dan budaya sebagai sarana menuju pencerahan. Karena seperti itulah tujuan kita semua, menuju yang “Adiluhung”. Hanya demikian yang membuat diri dan dunia sekitar penuh kedamaian dan kebahagiaan.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

The post Mengapa Kita Perlu Merawat Tradisi dan Budaya? appeared first on .

Penyebab Peradaban Mataram Kuno Hancur

$
0
0

Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada abad ke telah meluluhlantakkan peradaban Mataram Kuno, yang dikenal juga sebagai Kerajaan Medang. Letusan tersebut, ditambah bencana lain, sangat berpengaruh pada situasi geopolitik saat itu, menyebabkan pusat peradaban Jawa Kuno yang melahirkan Dinasti Sanjaya dan Syailendra itu akhirnya dipindah ke Jawa Timur.

Hal itu diungkapkan oleh Dr. Didit Hadi Barianto, pakar geologi dari UGM, dalam diskusi “Proses Geologi yang Menutup Jejak Peninggalan Kraton Medang Abad VIII-X Masehi”. Diskusi digelar oleh Medang Heritage Society, Kamis (25/5) di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

Ia menerangkan, Indonesia adalah wilayah yang ditabrak oleh empat lempeng besar sejak puluhan juta tahun lalu, sehingga wajar kalau menjadi kawasan rawan bencana, baik gunung api maupun gempa bumi, maupun longsor. Menurutnya, banyak bangunan hasil budaya Medang tertimbun oleh bencana itu.

“Banyak peninggalan peradaban Medang terletak di zona patahan aktif, termasuk Candi Prambanan. Setting-setting pembangunan candi biasanya berhubungan dengan tinggian gunung api,” terang Didit.

Ia meneruskan, tiap candi memiliki kisah berbeda hingga akhirnya menyebabkan kerusakan. Didit menerangkan, untuk kasus Candi Kedulan, sesuai penelitiannya, yang paling merusak adalah efek lahar, mirip di Candi Sambisari. Namun di Candi Kedulan ditemukan ada lapisan tanah di bawah lapisan lahar. Ia menduga, candi sudah ditinggalkan sebelum terkena letusan.

“Ada temuan karbon dan akar pohon terbakar di level yang sama di candi itu, sehingga ada kemungkinan candi itu dahulu dibakar. Rusaknya candi juga ambruk ke bawah, tidak yang kalau karena lahar ambruk ke samping. Jadi kalau tidak dihancurkan, itu karena gempa,” terangnya.

Ia menduga, pembakaran candi tidak hanya terjadi di Candi Kedulan. Sebab ia melihat peninggalan karbon di beberapa candi lain.

“Mungkin itu karena terjadi konflik Hindu-Buddha saat itu,” katanya.

Untuk Candi Borobudur, Didit menerangkan, kerusakannya lebih disebabkan karena gempa, oleh deformasi bumi, pengaruh tektonik, atau pergerakan lempeng, bukan karena tektonik. Meskipun demikian, ada juga pengaruh abu vulkanik terhadap candi Buddhis terbesar di dunia itu.

“Itu terlihat dari foto temuan awal candi, candi ‘mblenduk’ (melengkung) ke atas,” paparnya.

Didit meneruskan, sejak 3000 hingga 250 tahun lalu telah terjadi 7 kali letusan besar Merapi. Ini menurutnya berpengaruh menimbun candi-candi di kebudayaan Medang.

“Ini belum dihitung karena debu vulkanik dari gunung lain, misal Gunung Kelud,” terangnya.

Namun, ia menambahkan, untuk area Jawa Tengah utara, menurutnya candi-candi di kawasan tersebut tidak tertimbun material Merapi, namun tertimbun lumpur hitam dari gunung lumpur, yang jenisnya seperti lumpur Bledug Kuwu di Grobogan. Ciri lumpurnya sama dengan lumpur Lapindo yang terletak di Jawa Timur.

“Timbunan dari gunung lumpur itu menyebar dari pesisir utara Jawa sampai ke Madura,” terangnya.

The post Penyebab Peradaban Mataram Kuno Hancur appeared first on .

Membaca Relief Ular dan Katak di Candi Jago

$
0
0

Pada batur pertama Candi Jago, dipahatkan beberapa cerita binatang. Di bagian depan batur pertama terdapat bagian yang menjorok ke depan dan di kiri kanan bagian ini terdapat dua buah tangga untuk naik ke atas batur.

Cerita binatang pada batur pertama ini di mulai dari sudut barat laut hingga pertengahan sisi selatan. Terdiri dari empat belas cerita atau tepatnya tiga belas cerita karena ada sebuah cerita yang digambarkan dua kali.

Relief cerita tersebut dapat diikuti jalan ceritanya dengan prasawya atau berjalan dengan berjalan berlawanan arah jarum jam.

Beberapa cerita tersusun tidak berurutan dengan jalan ceritanya (relief ke-5 dan ke-6). Beberapa yang lain terbalik urutan ceritanya (relief ke-9). Krom dalam Inleiding to de Hindoe-Javaansche Kunst II hal. 114 menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena kekeliruan atau kurang telitinya sang pemahat.

Cerita ini terdapat dalam kitab Panchatantra Panchakhyanaka, Panchatantra Tantrakhyayika, Katha Sarit Sagara dan Hikayat Kalila, dan Damina, meskipun dengan beberapa perbedaan peran.

Pada suatu masa, terdapat seekor ular hitam bernama Mandawisa yang ingin sekali mendapatkan makanan dengan cara yang mudah. Kemudian pergilah ia menuju ke sebuah kolam yang banyak kataknya. Di sana ia bertemu dengan seekor katak yang bertanya kepadanya, mengapa ia sekarang mengabaikan saja kehadiran katak, padahal ia adalah hewan yang suka memakan katak.

Mandawisa menjawab bahwa ia telah bertemu dengan ayah seseorang yang telah dibunuh dengan bisanya dan orang tua itu mengutuknya bahwa ular itu akan menjadi kendaraan katak dan ia harus hidup dari nafkah yang didapat dari pemberian. Oleh karena itu maka pergilah Mandawisa ke kolam tersebut.

Katak itu bersenang hati mendengar perkataan sang ular dan segera memberitahukan berita itu kepada raja katak yang bernama Jalapada. Sang Jalapada pun bergirang hati mendengar berita itu, dengan diiringi para menterinya, Sang Raja pun mulai menaiki ular dan berkeliling di wilayahnya.

Beberapa minggu kemudian, Mandawisa sang ular, berpura-pura merayap perlahan, hal ini membuat Jalapada bertanya mengapa sang ular sekarang menjadi tidak enak untuk dinaiki.

Berkatalah Sang Raja, makanlah katak-katak yang kecil itu sebagai makananmu, jawab sang ular, karena ini adalah juga bagian dari kutukan untuk mendapatkan nafkah dari pemberian maka kuikuti perintahmu untuk memakan katak-katak kecil itu. Demikianlah maka sang ular pun selalu memakan katak katak kecil itu sehingga tidak bersisa dan Sang Raja pun akhirnya menjadi santapannya pula.

Inti dari cerita ini adalah, “Janganlah merasa sombong atas segala yang dimiliki karena suatu saat akan terjatuh dan celaka karena kesombongan itu.”

Goenawan A. Sambodo

Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.

The post Membaca Relief Ular dan Katak di Candi Jago appeared first on .

Benarkah Orang Buddha Jawa Kehilangan Jawa-nya?

$
0
0

Kula rumaos kepanggih tiyang sepuh kula (Saya merasa seperti bertemu orangtua saya).”

Penggalan kalimat tersebut diungkapkan Mbah Darmin, salah satu peserta Pelatihan Nembang Sabda Badra Santi di Vihara Vanna Bhumi, Dusun Temetes, Desa Wonoharjo, Kecamatan Rowokele, Kebumen, Jawa Tengah pada Kamis (10/5) lalu. Ia bersama sekitar 250 warga Buddha dari beberapa vihara di Kabupaten Kebumen antusias mengikuti sarasehan Dharma berjudul “Kanyatan Agung Papat (Empat Kebenaran Mulia)” yang dibawakan oleh Bhikkhu Indaguno, seorang bhikkhu putra Kebumen. Hadir pula Dr. Widodo Brotosejati, seniman gamelan Mpu Santi Badra didampingi sesepuh warga Buddha Kebumen Pandita Parjo Dharmo Suwito dari Vihara Bodhi Kirti, Desa Purwodadi.

Katannyukatavedi
Pada kesempatan pertama, Pandita Parjo mengawali sarasehan dengan kilas balik bangkitnya Buddha Dharma di Kebumen. Ia menuturkan bahwa kebangkitan Buddha Dharma di Kebumen dimulai dari Vihara Tanah Putih, Semarang. Salah satunya berkat jasa besar Bhikkhu Khemasarano, Pandita Raden Cakkavidya Sabar Alym Kresna Adhi, Pandita KB Sutrisno, Pandita Sungkono Kusumadi, dan Pandita D. Henry Basuki. Semuanya sudah wafat. Mereka telah menyemai bibit Buddha Dharma di Kebumen pada tahun 1970-an. Selain pembinaan organisasi, Bhante Khemasarano dan Rama Sabar Alym seringkali mengisi ceramah dengan bahasa Jawa. Salah satunya dengan tembang Badra Santi.

Untuk itu, Pandita Parjo mengajak warga Buddha di Kebumen untuk melestarikan Buddha Dharma dengan seni budaya Jawa, sebagai salah satu untuk mengingat dan meluhurkan para pendahulu tersebut sebagai Pahlawan Dharma. Acara anjangsana buddhaya yang digagas oleh Turyanto, tokoh muda Buddhis Temetes ini dibuka oleh Pandita Muda Surat Dharmanadi mewakili PC Magabudhi Kebumen.

Pembicara kedua adalah Bhikkhu Indaguno, putra Kebumen yang saat ini berdomisili di Medan, Sumatera Utara. “Perkembangan agama tidak bisa lari dari budaya. Agama tanpa budaya itu nanti akan kaku, tidak menarik. Budaya itu memperindah dan keduanya bisa berjalan dengan baik. Salah satunya melalui budaya Badra Santi. Budaya ini, juga budaya Jawa lainnya, dapat dipelajari dan dipraktikkan karena mengandung nilai-nilai yang luhur. Salah satu hal yang menarik, ketika kita mendengarkan gending Jawa, hati kita akan tenteram, tidak kemrungsung. Memang bagi yang tidak suka, akan membuat ngantuk,” urai Bhikkhu Indaguno sebelum memulai uraian Dharma “Kanyatan Agung Papat (Empat Kebenaran Mulia)”.

Lebih lanjut Bhante Indaguno menguraikan tentang kenyataan hidup, bahwa semua orang pasti mengalami sakit, tua, dan mati. Tidak semua hal yang kita peroleh itu membahagiakan. Contohnya, suatu ketika, semua orang bahkan semua makhluk akan berpisah dengan hal-hal yang disenanginya. Sebaliknya, kadang berkumpul dengan hal-hal yang tidak disenangi. Beberapa contoh itulah kemudian yang menggugah Pangeran Siddharta untuk melihat kenyataan hidup. Bahwa semua makhluk akan sakit, tua, dan mati. Lalu kemudian Ia tergugah untuk mencaritahu, mengapa makhluk hidup mengalami usia tua, sakit, dan mati? Mengapa makhluk hidup mengalami penderitaan, baik lahir maupun batin? Kemudian Pangeran Siddharta memutuskan meninggalkan istana untuk mencari obat agar semua makhluk tidak mengalami sakit, tua, dan mati.

Singkatnya dengan usaha dan pelatihan yang keras dan berat selama kurang lebih enam tahun hingga hampir wafat, Pangeran Siddharta mencapai kesadaran hidup dan menemukan Jalan Tengah/Majjima Pattipada, yaitu untuk tidak hidup menyiksa diri maupun memuaskan kesenangan inderawi. Salah satu penyebab penderitaan yang dialami makhluk hidup itu adalah nafsu keinginan duniawi.

Kegiatan Produktif
Dr. Widodo Brotosejati yang merupakan seorang dosen di Universitas Negeri Semarang (Unnes) menguraikan bahwa kegiatan seni budaya dapat menjadi warna dalam kehidupan beragama. Ia mengawali sarasehan dengan melantunkan kidung mantra dalam bahasa Jawa tentang harapan lenyapnya gangguan dan pemancaran harapan baik semoga semua makhluk yang hadir memperoleh manfaat. Dalam uraiannya, Widodo menyampaikan bahwa budaya Jawa itu momor, momot, kamot, hamemangkat. Penjelasan singkatnya, intisari budaya Jawa itu adalah laku hormat dan rendah hati kepada sesama. Suatu nilai yang selaras dengan Buddha Dharma.

Widodo berharap, dari kegiatan ini warga Buddha yang hadir dapat memetik Buddha Dharma sebagai inspirasi kegiatan seni budaya dalam kehidupan sehari-hari. Ia mencontohkan seperti di Bali, seni budaya menjadi ritus yang dirayakan setiap masyarakatnya. Mulai dari upacara kelahiran, perkawinan, pekerjaan di sawah, hingga kematian. Semuanya dikemas dalam wujud seni budaya yang mengandung nilai-nilai budi pekerti.

Sementara itu, Sutar Soemitro, pendiri BuddhaZine yang juga hadir, menambahkan uraian tentang pentingnya melestarikan budaya Jawa di vihara-vihara. Ia menuturkan bahwa selama ini budaya Jawa hanya dilestarikan di keraton, sanggar seni budaya, atau kampus. Sutar berharap ada satu lagi institusi yang ikut melestarikan budaya Jawa, yaitu komunitas vihara. Karena budaya Jawa sangat selaras dengan Buddha Dharma sehingga tidak salah jika komunitas vihara ikut melestarikan.

Ia berharap agar di vihara-vihara dapat diusahakan latihan gamelan dan seni budaya Jawa lainnya sebagai cara untuk melestarikan seni budaya Jawa. Seperti pada acara hati itu, warga Buddha yang hadir banyak yang mengenakan busana adat Jawa. Kaum perempuan mengenakan kain dan kebaya, kaum laki-laki hadir mengenakan batik dan aksesoris kepala berupa blangkon dan iket.

Pada kesempatan tersebut, semua warga Buddha yang hadir mendapatkan naskah Kidung Sabda Badra Santi bab Kanyatan Agung Papat dalam bahasa Jawa. Setelah pelatihan yang terus-menerus sejak pagi hingga selesai makan siang, warga Buddha pun bersama-sama melantunkan tembang berbahasa Jawa tersebut dengan iringan gending gamelan kemanak yang ditampilkan perwakilan warga Buddha setempat, hasil latihan singkat bersama Badra Santi Institute. Dengan anggun dan syahdu, semua yang hadir larut dalam suasana haru karena setelah sekian lama menunggu, dapat melantunkan kembali ajaran Sang Buddha dalam seni budaya Jawa.

Seperti yang diungkapkan Mbah Darmin di depan, ia seolah bertemu kembali dengan orangtuanya yang dahulu suka sekali nembang uro-uro yang menenteramkan hati. Kesimpulan dari Anjangsana Buddhaya Gamelan Mpu Santi Badra kali ini adalah, Wong Buddha ora ilang Jawane! Orang Jawa tidak hilang Jawa-nya. Namun justru warga Buddha semakin dekat dengan kebudayaannya sendiri, budaya Jawa yang adiluhung.

The post Benarkah Orang Buddha Jawa Kehilangan Jawa-nya? appeared first on .

Pindapatta di Area Klenteng Liong Hok Bio Magelang

$
0
0

Pindapatta sebagai salah satu rangkaian acara Hari Raya Waisak 2562/2018 dilaksanakan pada Senin, (28/5) di area Klenteng Liong Hok Bio Magelang. Acara pindapatta merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh umat Buddha sehari sebelum Hari Waisak.

Acara ini diikuti oleh banyak bhikkhu yang sebagian berasal dari luar Indonesia, “Para bhikkhu yang hadir kurang lebih seratus bhikkhu, sebagian bhikkhu dari Indonesia dan sebagian lagi dari Thailand,” tutur Gunawan Wibisono, ketua panitia Pindapatta.

Menurut Gunawan selain para bhikkhu, turut hadir juga para pengurus majelis agama Buddha di sekitar Magelang, para pengurus WALUBI pusat dan Dirjen Bimas Buddha dalam acara ini.

Pindapatta dimulai dengan pujabhakti di klenteng sekitar pukul 07.15 WIB kemudian dilanjutkan dengan pindapatta di luar klenteng. Dimulai dari klenteng, para bhikkhhu berjalan kaki di area pertokoan sepanjang Jl. Pemuda Magelang.

Jalur pindapatta dibagi dua, yaitu jalur kanan dan jalur kiri. Sehingga para Bhikkhu pun terbagi menjadi dua barisan. Satu barisan melalui jalur kanan dan satu barisan lagi melalui jalur kiri, yang berakhir di ujung Jl. Pemuda. Kemudian menyeberang jalan, melalui jalur seberang para bhikkhu berjalan kembali ke klenteng. Proses pindapatta di luar klenteng berlangsung kurang lebih setengah jam.

Pindapatta berakhir sekitar pukul 09.15 WIB. “Selesainya acara ini, para bhikkhu sebagian kembali ke tenda majelis masing-masing di Mendut dan Borobudur. Sebagian bhikkhu menuju Jumprit untuk mengikuti acara pengambilan tirta suci di Umbul Jumprit, Temanggung,” imbuh Gunawan menutup pembicaraan.

The post Pindapatta di Area Klenteng Liong Hok Bio Magelang appeared first on .


Rumitnya Karma

$
0
0

Selamat pagi semua. Hmm.. Saya mencium aroma-aroma belum mandi nih. Lol.

Tahu ‘kan apa yang mau sedikit saya bahas sekarang? Ya! Mengenai karma atau kamma dalam Bahasa Pali. Tapi bukan tentang tayangan supranatural ‘Karma’ di salah satu saluran TV swasta yang lagi fenomenal itu ya.

Jujur saya cuma beberapa kali nonton acara ini di Youtube. Juga saya tidak mengenal saudara Roy Kiyoshi maupun Robby Purba. Tapi cukup banyak pro-kontranya acara ini. Ada yang sangat tertarik dan antusias. Ada pula yang mengecam acara semacam ini ditampilkan, menganggapnya sesat dan tidak sesuai dengan pandangan agama. Apalagi kalau dikaitkan dengan agama Bro Roy yaitu agama Buddha.

Hmm… saya jadi bertanya-tanya, kalau Bro Roy tidak beragama Buddha apakah orang-orang ini akan lebih menerima acara ini? Toh nyatanya banyak juga acara-acara sejenis yang memakai atribut agama-agama tertentu. Tapi sudahlah. Yang mau saya bahas bukan Si Roy atau acara Karma, melainkan Karma itu sendiri dalam agama Buddha.

Cukup sering lho umat Buddha sendiri yang tidak paham karma secara Buddhis. Bahkan terkadang terlalu menggampangkannya. Bilang kalau seseorang kena nasib sial, ah.. itu kan karma buruknya sedang berbuah! Kalau seseorang dapat nasib mujur, oh… itu mah lagi karma baiknya aja! Bahkan tak sedikit penceramah-penceramah Buddhis yang menjelaskan karma dengan menggampangkan, dengan menceritakan kejadian perbuatan A berbuah A1, perbuatan B berbuah B1, demikian seterusnya. Gampang boleh, salah jangan.

Buddhadharma

Sebab menurut ajaran Buddha, karma itu adalah proses yang kompleks dan sulit dipahami melalui pikiran manusia biasa yang belum tercerahkan. Ajaran karmanya Buddha agak berbeda dengan ajaran karma pada beberapa agama India lainnya seperti Hindu maupun Jain.

Tidak seperti Jain, ajaran karma Buddhis tidaklah kaku/deterministic, tetapi mencakup pula beragam faktor lainnya (Kalupahana 1975, Gombrich 2009, Bhikkhu Thanissaro 2010). Dalam Angutara Nikaya, Nibbedhika Sutta, Buddha menjelaskan bahwa kehendak (cetana) adalah karma. Dengan kehendak, seseorang melakukan karma baik melalui badan jasmani, ucapan, maupun pikiran.

Karma bukanlah sebuah proses yang kaku, tetapi fleksibel dan mengalir secara dinamis. Hasil karma dari suatu perbuatan tidak hanya ditentukan oleh perbuatan itu sendiri, tetapi juga oleh sifat orang yang melakukan perbuatan itu dan lingkungan perbuatan itu dilakukan.

Menurut Gombrich, ajaran karma Buddhis ini merupakan suatu inovasi penting pada zaman Buddha yang menentang ajaran brahmana pada saat itu. Ajaran brahmana yang berdasarkan kasta ditolak oleh Buddha yang mengatakan bahwa semua orang (terlepas dari kastanya) memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesucian dan pembebasan, tidak hanya kaum brahmana saja. Sebagaimana terlihat dalam Dhammapada 393:

Bukan karena rambut dijalin, keturunan, ataupun kelahiran, seseorang menjadi brahmana. Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan, yang pantas menjadi seorang brahmana, orang yang suci.

Hal senada disampaikan pula dalam Sutta Nipata 136:

Seseorang tidaklah hina karena kelahirannya, tidaklah juga kelahiran menjadikan seseorang suci. Hanya perbuatan yang membuat orang menjadi rendah, hanya perbuatanlah yang membuat orang menjadi suci.

Penting juga untuk membedakan karma dengan karmaphala (buah dari karma). Keduanya penting untuk menjelaskan kelahiran kembali di alam samsara. Pembebasan dari alam samsara ini dapat dicapai dengan mengikuti jalan Buddhis. Jalan ini membawa pada vidya (pengetahuan) dan pannya (kebijaksanaan), melenyapkan tanha (nafsu kemelekatan), serta tiga akar kejahatan. Dengan demikian, proses kelahiran kembali pun akan terhenti.

Karma tidak sama dengan takdir

Karma tidaklah sama dengan nasib atau takdir. Karma juga bukanlah suatu penghukuman atau pengadilan yang ditetapkan oleh Adikodrati. Tetapi karma lebih pada proses alami yang timbul sebagai ‘konsekuensi’ atas perbuatan yang telah dilakukan.

Hasil karma ini sulit dipahami karena konsekuensi yang timbul dipengaruhi banyak faktor. Sutta Acintita (Acinteyya) bagian dari Anguttara Nikaya telah memperingati hal ini bahwa “hasil karma” merupakan salah satu dari empat hal yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa, melebihi semua konseptualisasi dan tidak dapat dimengerti hanya melalui sekedar pemikiran atau alasan logis.

Menurut Gombrich, sutta ini mungkin telah menjadi sebuah peringatan terhadap kecenderungan, bahkan dari zaman Buddha hingga sekarang ini, untuk memahami doktrin karma secara terbelakang, untuk menjelaskan kondisi-kondisi jelek dalam kehidupan saat ini ketika tidak ada penjelasan lain yang tersedia.

Tapi meskipun rumit memahami ‘hasil karma’, cukup jalani kehidupan dengan banyak berbuat baik. Karena perbuatan baik pasti akan berbuah kebaikan sebagaimana syair 122 Dhammapada:

“Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata:
Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat. Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.”

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Rumitnya Karma appeared first on .

Tradisi Unik Umat Buddha Blitar Jelang Waisak

$
0
0

Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD) dilakukan oleh hampir sebagian besar umat Buddha Indonesia menyambut Waisak. Tetapi ada yang berbeda bagi umat Buddha Vihara Buddhasasana Jaya, Dusun Buneng, Desa Boro, Kec. Selorejo, Blitar, Jawa Timur, yaitu pattidana atau pelimpahan jasa kepada leluhur yang telah meninggal.

Upacara pelimpahan jasa ini dilakukan selama satu minggu penuh pada minggu pertama dalam puja bakti SPD.

“Pattidana biasanya dilakukan pada bulan April. Misal hari ini pas Pattidananya, maka seminggu selanjutnya dilanjutkan puja bakti pelimpahan jasa dan disambung dengan puja bakti Sebulan Pendalaman Dhamma,” tutur Sunardi, sesepuh Vihara Buddhasasana Jaya kepada BuddhaZine, Senin (28/5).

Sebuah altar khusus disiapkan di vihara yang terletak di sebelah altar Buddha. Pada bagian belakang meja altar, terdapat sebuah papan tulis. Di papan tersebut, berbagai foto sosok mendiang para bhikkhu, pahlawan bangsa, hingga nama-nama leluhur umat Buddha Dusun Buneng terpampang di papan tulis ini.

Sedangkan meja persembahan yang berada di depan papan tulis, berisi berbagai makanan sesaji. Selain itu, terdapat pula sebuah tempat dupa dengan ukuran cukup besar. Pada upacara Pattidana, umat Buddha secara bergantian menyalakan dupa sebagai penghormatan kepada leluhur yang kemudian ditancapkan ke tempat dupa itu.

“Karena yang melakukan pelimpahan jasa itu tidak hanya umat Buddha dari sini, jadi kadang tempat dupa itu tidak muat,” terang Sunardi.

Bagi umat Buddha Blitar, Pattidana dimaknai sebagai penghormatan kepada leluhur. “Umat Buddha meyakini adanya kelahiran kembali. Mungkin, masih ada leluhur kita yang karena perbuatannya terlahir di alam yang kurang bahagia, jadi membutuhkan pertolongan. Dan melalui pelimpahan jasa ini kita menolong mereka.

“Dan bagi para leluhur yang terlahir di alam bahagia, tujuan Pattidana adalah untuk mengikat hubungan karma,” tutup pensiunan guru agama Buddha ini.

Selain melakukan pelimpahan jasa di vihara, umat Buddha Blitar juga melakukan bersih makam dan nyekar di makam para leluhur. Nyekar ini dilakukan beberapa hari sebelum perayaan Waisak.

The post Tradisi Unik Umat Buddha Blitar Jelang Waisak appeared first on .

Ritual Waisak Tiga Langkah Satu Namaskara di Candi Sojiwan

$
0
0

Hari masih benar-benar pagi, pukul 06.00 WIB, umat Buddha di bawah binaan Sangha Mahayana Indonesia (SMI) memulai ritual San Bu Yi Bai (Tiga Langkah Satu Namaskara) di Candi Sojiwan, Klaten, Jawa Tengah pada Selasa (29/5). Umat Buddha Mahayana biasanya memang melakukan tradisi San Bu Yi Bai saat memperingati Waisak.

Ritual diikuti oleh sekitar 300 umat yang berasal dari Jakarta dan Bandung, dipimpin oleh Bhiksu Kusalasasana, kepala Vihara Dharmasagara Jakarta dan Bandung yang juga Ketua Umum SMI. Ritual dimulai dari tempat parkir. Umat berjalan pelan tanpa alas kaki sambil melafalkan nama Buddha. Setiap tiga langkah, kemudian bernamaskara. Matahari yang beranjak naik tidak menyurutkan semangat peserta ritual. Keringat yang mulai menetes di wajah membuat pasir atau remahan tanah menempel di dahi setelah namaskara. San Bu Yi Bai berlangsung cukup lama, yaitu hampir 2,5 jam.

Barisan ritual di paling depan adalah pembawa rupang Buddha, di belakangnya para bhiksu dan bhiksuni yang diikuti oleh umat. San Bu Yi Bai berhenti ketika barisan terdepan sudah mengelilingi candi. Barisan di belakangnya kemudian membentuk barisan mengelilingi candi. Ritual diakhiri dengan pembacaan sutra yang dipimpin oleh para bhiksu dan bhiksuni.

The post Ritual Waisak Tiga Langkah Satu Namaskara di Candi Sojiwan appeared first on .

Agama Buddha, Satu Guru Beragam Tradisi

$
0
0

 

Book Uncover membahas mengenai buku, “Agama Buddha – Satu Guru, Beragam Tradisi” karya Dalai Lama dan Biksuni Thubten Chodron Mengapa buku ini perlu Anda baca? Simak referensi dari Terra Samiddha Agama Buddha – Satu Guru, Beragam.

Subscribe, like, & share video Seven Lotus: Seven Lotus

The post Agama Buddha, Satu Guru Beragam Tradisi appeared first on .

Di Desa Ini, Muslim dan Nasrani Datangi Vihara Ucapkan Waisak

$
0
0

Perayaan Waisak di lereng Merbabu, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, berlangsung khidmat. Umat lainnya menyampaikan ucapan selamat Waisak dengan menyalami dan memohon maaf layaknya saat lebaran.

Umat Buddha melakukan sembahyang dalam rangkaian Waisak di Vihara Buddha Bhumika di Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Untuk sembahyang dilangsungkan sejak pagi yang diikuti ratusan umat Buddha.

Selanjutnya, warga dusun setempat yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik, baik anak-anak, remaja maupun orang tua berbondong-bondong berdatangan menuju vihara tersebut. Usai umat Buddha saling bersalam-salaman dengan sesama umat di vihara selesai, kemudian keluar berjajar di jalan kampung depan vihara tersebut.

Umat Buddha yang memakai baju warna putih, kemudian berdiri berjajar di sepanjang jalan. Ini pun dibedakan antara yang laki-laki dengan yang perempuan berdirinya berbeda. Selanjutnya, umat muslim dan Nasrani yang perempuan menyalami umat Buddha yang perempuan. Demikian sebaliknya yang laki-laki berjajar terpisah.

Untuk ucapan ini, kali pertama dilakukan Kepala Desa Batur dengan diikuti Kepala Dusun Thekelan dan dilanjutkan warga lainnya.

“Selamat Hari Waisak. Maafkan kesalahan saya selama setahun,” tutur seorang ibu sambil merangkul umat Buddha, sambil menangis terharu.

Kepala Desa Batur, Radik Wahyu Dwi Yuniaryadi, mengatakan atas nama pemerintah desa menyampaikan ucapan selamat Waisak.

“Senantiasa tali persaudaraan, contoh teladan bagi kita semua agar hubungan toleransi, hormat-menghormati akan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan,” katanya saat menyampaikan sambutan perayaan Waisak di Dusun Thekelan, Selasa (29/5).

Sementara itu, Ketua Vihara Buddha Bhumika, Sukhadhamma Sukarmin, mengatakan khusus di Thekelan telah melaksanakan toleransi beragama.

“Pada hari ini yang umat Buddha merayakan Waisak, yang non-Buddha memberikan ucapan selamat Waisak. Ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Karena ini merasa suatu kebaikan, suatu hal yang baik maka harapan itu bisa dicontoh di tempat-tempat yang lain untuk menjaga toleransi beragama,” pesannya.

Dikatakan pula, sesuai pesan atau tema Waisak tahun 2562 BE Sangha Theravada Indonesia yaitu bertindak, berucap, berpikir baik akan memperkokoh keutuhan bangsa.

“Semoga tema Waisak ini dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari untuk menjaga keutuhan NKRI,” kata dia.

Kepala Dusun Thekelan, Supriyo, menambahkan bahwa Thekelan merupakan kampung tertinggi di lereng Merbabu di ketinggian 1650 Mdpl. Masyarakatnya majemuk, ada yang menganut Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik.

“Perayaan semacam ini tadi (Waisak), kami semua warga masyarakat ikut menyambut dan ikut mengucapkan selamat Waisak,” katanya seraya menyebutkan umat Buddha ada 50 persen, Islam ada 30 persen, serta Nasrani ada 20 persen. (detik.com)

The post Di Desa Ini, Muslim dan Nasrani Datangi Vihara Ucapkan Waisak appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live