Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Latar “Buddhis” dari Film The Conjuring Universe

$
0
0

26 Maret 2001, Ed Warren terkena serangan jantung setelah membantu eksorsisme Buddhis di Jepang.

Ya, Ed dan Lorrain Warren adalah tokoh paranormal yang benar-benar ada di dunia nyata yang kemudian menjadi karakter inti dalam film The Conjuring besutan James Wan. Setelah Patrick Wilson dan Vera Farmiga memerankan pasangan Ed dan Lorraine, dunia Conjuring atau The Conjuring Universe mulai berputar mulai dari Annabelle hingga The Nun yang rilis 2018 ini.

James Wan, sutradara horor kondang yang sudah terkenal dengan film Saw, Insidious, dan Lights Out ini mendapat inspirasi untuk membuat film horor supernatural dari latar belakang keluarganya:

“Saya tumbuh di keluarga yang setengahnya sangat Kristen dan setengahnya lagi adalah keluarga Buddhis, jadi dari pihak Buddhis, saya akrab dengan hal-hal seperti proyeksi astral ataupun pengalaman ‘keluar dari tubuh’ hal-hal seperti itu,” ujar Wan pada Coming Soon.net ketika film Insidious muncul.

Kesuksesannya di Insidious membuatnya berkarya lewat film The Conjuring yang sukses besar karena seramnya dan kisah nyatanya. Jika kita menonton dunia Conjuring maka kita akan akrab dengan eksorsisme Kristiani, pastor-pastor, suster, Tuhan Kristiani dan iblis-iblis di dunia Kristiani. Akan tetapi, dalam kisah nyata, Ed dan Lorraine juga pernah bekerjasama dengan beberapa biksu.

“Kami bekerjasama dengan ahli eksorsisme Buddhis di Jepang. Bekerjasama dengan seorang yang amat suci dan relijius, sangat sukses pula dalam menjalankan eksorsisme!” ujar Lorraine Warren dalam sebuah wawancara radio Coast to Coast AM pada tahun 1999.

Mereka menceritakan bagaimana bekerjasama dengan biksu bernama Jun mengusir roh binatang yang mengganggu. Tampak dari jubah yang dipakai adalah seorang biksu yang menggunakan metode Tantra tradisi Jepang.

Bagi Ed dan Lorraine Warren, pembaptisan di agama apa pun sangat penting terhadap perlindungan dari si jahat.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness.

The post Latar “Buddhis” dari Film The Conjuring Universe appeared first on .


Pemuda Buddhis Temanggung Juarai Turnamen Futsal Kamadhis UGM

$
0
0

Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada (Kamadhis UGM) kembali menggelar turnamen futsal. Turnamen futsal ini digelar sebagai salah satu rangkaian acara Dies Natalies Kamadhis UGM ke-28.

Sebanyak 12 tim futsal dari berbagai kampus dan komunitas Buddhis turut berlaga dalam acara ini. Di antaranya; Kamadhis UGM, Vidyasena, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Institut Pertanian Stiper, Vihara Vimala Kirti, Vihara Karangdjati, Vihara Maityeya Boddhicita, Kamadhis Sanatha Dharma, Khamadis Universitas Kristen Duta Wacana, dan Pemuda Buddhis Temanggung.

Tim Pemuda Buddhis Temanggung keluar sebagai juara pada turnamen yang digelar selama dua hari, Sabtu – Minggu (8–9/9) di Jakal Futsal, Kaliurang, Yogyakarta. Mereka mampu memenangkan semua pertandingan dari babak penyisihan hingga partai final.

Di babak penyisihan, Pemuda Buddhis Temanggung bertemu dengan Universitas Pembangunan Nasional Veteran dan Kamadhis Universitas Kristen Duta Wacana. Kedua laga dimenangkan Pemuda Buddhis dengan skor masing-masing 3–1 dan 10–0. Kemenganan ini menghantarkan Pemuda Buddhis melaju ke babak delapan besar.

Pada babak delapan besar, Tim Pemuda Buddhis Temanggung bertemu tim tuan rumah, Kamadhis UGM. Pertandingan berjalan ketat, hingga peluit tanda berakhirnya pertandiangan dibunyikan skor sama 2–2, dan dilanjutkan dengan adu pinalti.

Dua tendangan pinalti dari Kamadhis UGM dapat digagalkan oleh penjaga gawang Pemuda Buddhis sedangkan kedua tendangan pemuda Buddhis mampu membobol gawang Kamadhis UGM. Tim Pemuda Buddhis pun melaju ke babak semi final dan bertemu dengan Kamadhis Institut Pertanian Stiper.

Di babak semi final, pemuda Buddhis menang dengan skor 6-3. Tak hanya memenangkan pertandingan, pemuda Buddhis juga mencetak gol indah dengan tendangan salto lewat kaki Nanda. Gol ini sekaligus dinobatkan sebagai gol terbaik pada turnamen kali ini.

Pada laga final Tim Pemuda Buddhis semakin tampil menggila. Kamadhis Universitas Atmajaya yang menang melawan Vihara Karangdjati pada babak semi-final dilibas dengan skor telak 11–0. Kemenangan ini membuat pemuda Buddhis keluar sebagai juara dalam turnamen yang telah diikuti sebanyak dua kali ini.

“Ini adalah kemenangan yang sempurna. Tahun lalu kita hanya mendapat juara dua, dan kali ini mampu mendapatkan gelar juara, ini berkat kerja keras semua tim dan dukungan dari teman-teman Pemuda Buddhis Temanggung, Semarang dan Kendal”, tutur Fery Yulianto, salah satu pemain pemuda Buddhis.

The post Pemuda Buddhis Temanggung Juarai Turnamen Futsal Kamadhis UGM appeared first on .

Pembahasan Kalachakra Tantra

$
0
0

Kalachakra, yang akan diuraikan di bawah, termasuk dalam kelas Anuttara Yoga Tantra.

Keseluruhan arti dari subjek yang terkait Kalachakra Tantra tercakup dalam tiga Kalachakra atau Roda Waktu: Roda Waktu bagian luar, Roda Waktu bagian dalam, serta Roda Waktu yang lain. Roda Waktu bagian luar merupakan dunia di luar lingkungan sekitar, dan juga disebut “pergerakan maju dari hari-hari (kalender) Masehi dan chandrasengkala eksternal.”

Roda Waktu bagian dalam adalah tubuh manusiawi, yaitu suatu Jambudvipa internal, atau permukaan bumi. Dengan demikian, saluran-saluran internal, unsur-unsur, serta pergerakan dari angin digolongkan sebagai Roda Waktu bagian dalam. Roda Waktu yang lain adalah inisiasi dan jalan dari Shri Kalachakra, bersama dengan hasil-hasil mereka. Ini merupakan”yang lain” selain kedua Roda Waktu yang terdahulu.

Dengan inisiasi, Guru menuai keseluruhan yang berkesinambungan dari lahir batin siswa, dan sang siswa bermeditasi terhadap Jalan, yang terdiri atas proses menghasilkan dan proses penyempurnaan. Dalam cara ini sang yogi mengaktualisasikan Tubuh Buddha yang merupakan gambaran ilahiah dari kesunyataan. Inilah Roda Waktu yang lain.

Ajaran Buddha tentang Kalachakra Tantra dibabarkan dalam Paramadibuddha, Kalachakra, Tantra Dasar.

”Saat Guru memperagakan Dharma di Puncak Burung Nazar (Bukit Gijjhakuta/Grdhrakuta) berdasarkan sistem Penyempurnaan Kebijaksanaan (Prajna Paramita), Beliau juga mengajarkan sistem Mantra di Shri Dhanyakataka. Apa yang diajarkan Guru, tantra apa, kapan dan di manakah Beliau berdiam? Apakah nama tempatnya, siapakah pengikut duniawinya, serta apakah tujuannya?”

“Beliau mengajarkan Mahayana yang tertinggi, sistem Penyempurnaan Kebijaksanaan (Prajna Paramita), pada para Bodhisattva di Gunung Grdhrakuta. Kemudian pada saat yang bersamaan Tathagata berdiam bersama para Bodhisattva dan yang lain-lainnya dalam stupa agung, dalam mandala pada ranah fenomena. Beliau berdiam dalam kediaman Vajra universal, dalam ruang, immaterial dan sangat jernih, tidak terbagi-bagi dan gemilang. Beliau mengajarkan tantra dalam tataran fenomena yang indah, demi kemaslahatan pahala kebajikan serta wawasan kebijaksanaan bagi umat manusia.”

Tantra Dasar juga menyatakan, “Kemudian perwujudan Vajrapani, Raja Suchandra dari Shambhala yang termasyhur, secara ajaib masuk ke dalam ruang lingkup fenomena yang gemilang kemilau. Mula-mula sang raja mengitar ke kanan searah jarum jam (berpradaksina), selanjutnya ia memuliakan kaki teratai Guru dengan bunga-bungaan yang terbuat dari beragam permata. Merangkapkan kedua tangannya (beranjali), Suchandra duduk di hadapan Buddha sempurna (Samma Sambuddha). Suchandra memohon tantra pada Buddha, agar Buddha menyusun kalimat-kalimatnya, dan mengajarkannya juga. (Suchandra memohon agar Buddha membabarkan tantra, mengajarkan serta menjabarkannya juga)”

Kalachakra diajarkan oleh Guru kita, Buddha Sakyamuni. Beliau menunjukkan jalan untuk mengaktualisasikan Pencerahan Sempurna Tertinggi di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya di India, pada awal terbitnya bulan purnama pada bulan April/Mei. Selama setahun lamanya Beliau membabarkan Paramitayana yang umum. Secara khusus, di Puncak Grdhrakuta Beliau memutar Roda Dharma tentang Penyempurnaan Kebijaksanaan (Prajna Paramita), Roda Dharma yang tertinggi dan terutama, dari sistem Paramita dalam Mahayana.

Pada saat purnama penuh di bulan Maret/April, dua belas bulan telah berlalu sejak saat Beliau mencapai Kebuddhaan, Buddha membabarkan Paramitayana di Puncak Grdhrakuta. Pada saat yang bersamaan, Beliau memanifestasikan perwujudan yang lain dalam stupa agung Shri Dhanyakataka, yang berada di dekat Shri Parvata di India Selatan, ketika Beliau mengajarkan Mantrayana.

Stupa agung tersebut tingginya lebih dari enam liga (enam yojana) dari puncak hingga ke dasarnya, dan di dalamnya Buddha membentuk dua mandala: yang di bawah adalah mandala Dharmadhatu Vagishvara, yang di atas adalah mandala konstelasi bintang-bintang yang gemilang kemilau. Buddha berada di tengah di atas tahta singa vajra pada mandala agung dari globe vajra, kediaman suka cita agung. Beliau terserap dalam Samadhi Kalachakra, dan berdiri dalam wujud Penguasa mandala.

Pesamuhan yang luar biasa dalam mandala terdiri atas tuan rumah para Buddha, Bodhisattva, para dakini, dewa, naga, serta para dewi. Di luar mandala, sang pemohon merupakan tubuh perwujudan (emanasi) dari Vajrapani, Raja Suchandra dari Shambala.

Beliau secara ajaib datang ke Shri Danyakataka dari Shambala, serta memohon Kalachakra demi pesamuhan pendengar: sembilan puluh enam penguasa wilayah dari sembilan puluh enam teritori agung dalam Shambhala, bersama-sama dengan golongan tuan rumah dari kalangan Bodhisattva, dewa, asura, serta yang lain-lain, yang penuh berkah kemujuran, yang tak terbatas jumlahnya.

Pada pesamuhan, Buddha membabarkan Dhamma yang agung, inisiasi-inisiasi yang duniawi maupun yang transenden, serta meramalkan bahwa mereka akan mencapai Kebuddhaan, kemudian Beliau mengajarkan pada mereka Paramadibuddha, dua belas ribu gatha Tantra Dasar Kalacakra. Raja Suchandra menuliskannya dalam satu kumpulan dan secara menakjubkan kembali ke Shambhala.

Di Shambhala, Suchandra menyusun enam puluh ribu baris ulasan tentang Tantra Dasar. Beliau juga mendirikan sebuah mandala Kalachakra yang terbuat dari bahan-bahan berharga. Setelah menunjuk putranya Sureshvara sebagai raja sekaligus guru Tantra, Beliau mangkat. Banyak raja agung muncul dalam dinasti Shambhala. Kalki Yashas, Kalki Pundarika, dan lain-lain. Mereka menyebabkan Dharma Kalachakra yang luhur bersinar laksana matahari dan rembulan.

Kalachakra berlanjut secara berkesinambungan untuk diwariskan turun-temurun melalui pergantian para kalki (pewaris takhta) Shambhala, bahkan diperkenalkan ulang ke India. Terdapat dua kisah utama tentang bagaimana hal ini terjadi, yaitu cerita yang dikisahkan dalam tradisi Ra dan yang dikisahkan berdasarkan tradisi Dro. (Tradisi Ra dan tradisi Dro akan dibahas di bawah).

Menurut Tradisi Ra, Kalachakra dan ulasan-ulasan terkait yang terkenal sebagai Kumpulan (Tulisan) Bodhisattva, muncul di India selama masa pemerintahan yang berkesinambungan dari tiga raja. Dengan mengambil Bodh Gaya sebagai pusat, ketiga raja tersebut adalah: Dehopala, Sang Penguasa Gajah, di Timur; Jauganga, Sang Penguasa Manusia, di Selatan; serta Kanauj, Sang Penguasa Kuda, di Barat. Pada masa tersebut, Pendeta agung Cilu, yang menguasai semua aspek Buddhadharma, terlahir di Orissa, salah satu dari kelima negeri di Timur India. Cilu mempelajari semua naskah Buddhis di Vihara Ratnagiri, Vikramashila, dan Nalanda. Secara khusus, Beliau belajar di Vihara Ratnagiri yang tidak dihancurkan oleh bangsa Turki.

Cilu menyadari, bahwa, secara umum, dalam rangka mencapai Kebuddhaan dalam satu masa kehidupan, ia akan membutuhkan Mantrayana, dan secara khusus, ia akan membutuhkan klarifikasi tentang doktrin-doktrin ini, yang termaktub dalam Kumpulan Ulasan Bodhisattva.

Mengetahui bahwa ajaran-ajaran ini masih lestari di Shambhala, serta dengan mengandalkan petunjuk dari dewa pelindungnya, ia bergabung dengan para pedagang yang mencari permata di lautan. Setelah bersepakat dengan para pedagang, yang dilaksanakan di seberang lautan, untuk kembali bertemu setelah enam bulan, mereka menempuh jalan yang terpisah.

Cilu maju secara bertahap, dan akhirnya, pada saat mendaki sebuah gunung, ia berjumpa dengan seseorang. Orang itu bertanya padanya, “Ke mana engkau hendak pergi ?” Cilu menjawab, “Aku hendak pergi ke Shambhala untuk mencari Kumpulan Tulisan Bodhisattva.” Orang itu berkata, “Sungguh sulit untuk pergi ke sana, tetapi jika engkau bisa memahaminya, kau akan bisa mendengarkannya, bahkan di sini.”

Cilu menyadari bahwa laki-laki itu merupakan penjelmaan Manjushri. Maka ia bernamaskara, mempersembahkan sebuah mandala, serta memohon petunjuk. Laki-laki itu memberikan semua inisiasi, ulasan-ulasan tantra, serta petunjuk-petunjuk lisan pada Cilu.

Ia memeluk Cilu, meletakkan sekuntum bunga di kepalanya, serta memberkatinya, berkata, “Pahamilah keseluruhan Kumpulan Bodhisattva.” Demikianlah, bagaikan air yang dituangkan dari sebuah bejana ke dalam bejana lainnya, Cilu memahami keseluruhan Kumpulan Bodhisattva. Ia kembali ke jalan dari mana ia berasal, dan berjumpa dengan para pedagang, lalu kembali ke India Timur.

Menurut Tradisi Dro, Kalachakra diperkenalkan kembali ke India oleh Guru Kalachakrapada. Terdapat satu pasangan yang melatih Yoga Yamantaka, mereka melaksanakan ritual untuk mendapatkan seorang putra sebagaimana diajarkan dalam Yamantaka Tantra, dan memiliki seorang anak laki-laki.

Saat ia tumbuh dewasa, ia mempelajari bahwa di utara, para Bodhisattva sendiri mengajarkan Dharma, maka ia pergi untuk mendengarkan ajaran mereka. Dengan kekuatan kesaktiannya Sang Kalki dari Shambhala mengetahui kemurnian motivasi serta antusiasme sang pemuda terhadap Dharma yang luhur.

Beliau juga mengetahui bahwa seandainya sang pemuda berusaha untuk pergi ke Shambhala, hal ini akan membahayakan kehidupan sang pemuda, karena dibutuhkan empat bulan untuk melewati tanah buangan tandus yang kering kerontang tak berair. Maka Sang Kalki menggunakan sebuah tubuh perwujudan untuk menemui sang pemuda di perbatasan gurun tandus.

Sang Kalki bertanya pada si pemuda, “Ke manakah engkau hendak pergi, dan apakah sebabnya ?” Saat si pemuda memberi tahu niatnya, Sang Kalki pun berkata, “Jalan tersebut sangatlah sukar. Tetapi jika engkau bisa memahami hal-hal ini, tak dapatkah engkau mendengarkannya, bahkan di sini ?”

Sang pemuda menyadari bahwa ini merupakan emanasi penjelmaan Sang Kalki, dan memohon petunjuk darinya. Tepat di tempat tersebut Sang Kalki menginisiasi si pemuda, dan selama empat bulan Beliau mengajarkan padanya Tantra tertinggi terutama tentang tiga ulasan dari Kumpulan Bodhisattva. Bagaikan sebuah bejana yang dipenuhi hingga bagian tutupnya, sang pemuda memahami serta mengingat semua tantra tersebut. Saat ia kembali ke India, ia menjadi terkenal sebagai salah satu perwujudan Manjushri, dan namanya adalah “Kalachakrapada.”

Baik tradisi Ra maupun tradisi Dro menyebutkan bahwa Kalachakra diperkenalkan ke India oleh Cilu dan Kalachakrapada. Kalachakra selanjutnya dipelajari dan dipraktikkan di India, bahkan diperkenalkan ke Tibet. Lagi-lagi, hal ini terjadi melalui tradisi Ra dan Dro yang merupakan dua silsilah utama.

Tradisi Dro berawal dari kunjungan Kashmiri Pandit Somanatha ke Tibet. Somanatha pada awalnya sampai di Tibet di Kharag, dan tinggal di antara klan Ryo. Demi upah seratus satuan setara emas, Somanatha menerjemahkan separuh dari komentar Kalachakra yang agung, Vimalaprabha, ke dalam bahasa Tibet, tetapi pada saat yang bersamaan ia menjadi tidak puas dan menghentikan pekerjaannya.

Ia mengambil emasnya dan catatan awal terjemahannya lalu pergi ke Phan Yul drub. Di sana Chang Wa dari klan Zhang mengangkat Somanatha menjadi gurunya, dan Shayrabdrak dari klan Dro bertindak selaku penerjemah. Somanatha dan Shayrabdrak kemudian menerjemahkan keseluruhan Vimalaprabha.

Tradisi Dro berlanjut pada Lama ChoKuOzer. Lama ini menguasai semua ajaran dari klan Dro, termasuk Kalachakra. Siswanya adalah Lama Galo, yang menguasai baik tradisi Dro maupun tradisi Ra, yang kemudian mewariskannya dalam sebuah silsilah tunggal yang merupakan perpaduan keduanya.

Tradisi Ra berawal dengan Chorab dari klan Ra, keponakan dari penerjemah terkenal Ra Dorjedrak, yang lahir di Nyen Ma Mang Yul. Ra Chorab menghafal dan memahami semua doktrin dari Klan Ra. Kemudian ia berharap bisa mempelajari Kalachakra, maka ia pergi ke pusat Nepal yang mana ia tak henti-hentinya melayani Pandit Samantashri selama lima tahun, sepuluh bulan, dan lima hari lamanya.

Pandit Samantashri menjelaskan semua naskah Kalachakra dan memberikan berbagai inisiasi serta petunjuk-petunjuk lisan pada Chorab. Kemudian Chorab mengundang Samantashri ke Tibet, di mana mereka dengan cermat dan hati-hati menerjemahkan Kalachakra Tantra beserta ulasannya, bersama dengan naskah-naskah pendukungnya.

Tradisi Ra berlanjut melalui putra dan cucu Ra Chorab, dan akhirnya bahkan sampai pada Lama Galo, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Lama Galo mewariskan baik tradisi Dro maupun Ra, dan silsilahnya terus berlanjut melalui guru-guru seperti Buton Rinchendrub dan Tsongkhapa. Studi dan praktik Kalachakra yang berdasarkan tradisi-tradisi Ra dan Dro masih tetap ada bahkan dewasa ini. (www.dalailama.com)

The post Pembahasan Kalachakra Tantra appeared first on .

Dalang dan Wayangnya

$
0
0

Apa hubungannya Sang Dalang dengan wayangnya? Biasanya kita memahami wayang hanyalah sarana Sang Dalang dalam memainkan dan mengekspresikan ide, gagasan, atau juga ajaran. Padahal dalang itu juga wayang itu sendiri. Apabila wayang adalah tubuh, maka dalang pun menggunakan tubuhnya. Lalu apa yang paling sejati? Apa yang menggerakkan Sang Dalang?

Ada sebuah ungkapan. Dalang karubuhan panggung. Artinya: seorang dalang tertimpa panggung yang roboh.

Kebijaksanaan sejati tidak perlu meminta persetujuan, apalagi ditampilkan begitu elok agar memukau dan mendapat pengakuan akan seberapa luas kebijaksanaannya. Ketika kita berbangga diri akan ekspresi kebijaksanaan, maka itu sudah bukan lagi sejati.

Secara kasat mata, mungkin itu tinggi menjulang, namun itu sebenarnya bukan tinggi melainkan roboh. Kebijaksanaan tidak diukur dan dinilai pada panggung. Kebijaksanaan itu adalah cita rasa yang damai dan tenteram. Ketika yang tenteram dibawa ke panggung, maka itu menjadi kesenangan. Sang dalang pun kewalahan dan tergelincir jatuh olehnya, dan parahnya lagi tertimpa panggung.

Permainan di panggung itu mungkin kebenaran, namun kebenaran itu bisa menyilaukan mata. Kita tak lagi bisa melihat kesejatian dari cahaya yang menyilaukan itu. Kembali pada pertanyaan. Siapa yang menggerakkan Dalang?

Siapa lagi jika bukan pikirannya sendiri. Seperti berkaca, yaitu berhadapan dengan batinnya. Pada awalnya batin melihat raga. Namun raga itu hanya bayangan bathin. Itu sejatinya hanya batin. Dalang dan wayang, itu semuanya batin. Jika demikian, pagelaran wayang adalah pagelaran batin.

Konon Sang Dalang itu menjadikan tontonan sebagai tuntunan. Tapi menuntun siapa? Bukankah wewayangan itu adalah wewayanganing ngaurip? Ya. Wewayangan ngaurip alias bayangan kehidupan. Semua itu ya bayangan batin kita sendiri.

Victor Alexander Liem 

Desainer batik tulis. Tinggal di Kudus, Jawa Tengah.

The post Dalang dan Wayangnya appeared first on .

Mengapa Candi Mendut Sangat Penting?

$
0
0

Geshe Tenzin Zopa berkenan menjelaskan tentang Candi Mendut, berikut penjelasannya yang kami rangkum dalam tulisan pendek tentang pentingnya Candi Mendut.

“Lima Kesepakatan” Utama yang telah dipelajari, dipelihara, dan dipraktikkan oleh vihara-vihara besar berdasar pada Janchup Tenga. “Lima Kesepakatan” tersebut seperti Ornamen dari Realisasi yang Jelas adalah salah satu ajaran paling luas tentang Lima Jalan dan Sepuluh Dasar. Salah satu ulasan yang sangat mendalam tentang Sutra Hati seperti Ornamen tentang Realisasi yang Jelas – “Ngontok Gyen”, sebenarnya komentar ini sangat mendalam dan sangat luas mengenai Sutra Hati. Sutra Hati mempunyai dua aspek ajaran.

Salah satunya adalah aspek yang jelas pada ajaran yang ada pada penjelasan kekosongan dan “Belyum Ngondo” adalah penjelasan tersembunyi tentang Sutra Hati tentang pengajaran Lima Jalan dan Sepuluh Dasar. Jadi “Ngontok Gyen” – Ornamen tentang Realiasi yang Jelas, ini adalah salah satu komentar utama yang disusun oleh Maitreya kemudian diwariskan ke silsilah Asanga.

Bahkan sampai hari ini kita memiliki pengajaran itu, tidak hanya di komunitas wihara tapi juga di komunitas awam. Di cabang-cabang FPMT, salah satu mata pelajaran yang kita pelajari. Sudah tentu saja tema pengajaran itu kembali terfokus pada dua altruisme: bodhicitta dan kekosongan. Itu semua tentang keseluruhan inti ajaran Buddha; terutama ajaran Mahayana, dan ajaran Tantra, jadi oleh karena itu tempat ini sangat penting bagi kita.

Alasan kedua; pentingnya Candi Mendut, Ornamen tentang Realiasi yang Jelas ini sangat penting karena semua ajaran Lojong yang kita punyai aksesnya sampai hari ini. Ratusan, ratusan naskah asli dan buku-buku yang mengulas Lojong oleh para pendahulu guru besar Kadampa; mulai dari Lama Atisha dan juga para Guru besar Kadampa, LamaTsongkapa dan dua muridnya yang menyusun Kesepakatan Lamrim dan berbagai tahapan yang berbeda dari Lamrim.

Seluruh Lamrim, seluruh pengajaran dari Nyima, Kagyu, Sakya, Gelug didasarkan pada naskah Lama Atisha, ” Pelita Jalan “. Karena Lama Atisha, semua dari keempat tradisi agama Buddha Tibet memperoleh jalan yang utuh untuk mencapai pencerahan. Nyingma memiliki “Kusha Lame Syalung”. Kagyu memiliki “Dabo Tagye”. Sakya memiliki “Sakye Lamde”. Gelug memiliki “Gelug Lamrim.”

“Pelita Jalan” oleh Lama Atisha

Walaupun labelnya berbeda nama, ada sedikit gaya presentasi yang berbeda namun akarnya didasarkan pada “Pelita Jalan”. Seluruh ajaran Lojong “Pache Buche”, “Kesepakatan Lojong” ibarat ayah dan anak laki-laki. “Kesepakatan Lojong” berasal dari seluruh pendahulu guru besar Lojong Kadampa, semua para penerus guru besar Kadampa bergantung dan berdasarkan pada “Pelita Jalan” oleh Lama Atisha.

Lama Atisha mampu membawa ajaran yang asli ke Tibet. Ajaran yang asli yang sudah lama ada di India, ajaran yang asli ini kemudian dilanjutkan sampai ke barat dan kita semua mendapatkan akses ajaran Lojong dan Lamrim.

Apa pun tradisi yang kita ikuti, tidak masalah, apa pun labelnya yang kita praktikkan tidak masalah, tapi yang paling penting adalah apa yang kita dapatkan benar-benar mutlak, asli, benar, sepenuhnya dari silsilah ajaran yang berasal dari Lama Atisha. Lama Atisha memiliki keberanian, memiliki hak istimewa dan memiliki jasa kebaikan yang luar biasa untuk membawa manfaat bagi pelestarian ajaran Mahayana ke dalam semua “Kesepakatan” ini disebabkan terutama karena jasa kebajikan gurunya yang tulen, Lama Serlingpa.

Tujuh-Teknik/Metode dari hukum Sebab dan Akibat yang Lama Atisha terima dari Lama Serlingpa

Lama Atisha memiliki 507 guru, ia menerima begitu banyak berbagai ajaran sutra dan tantra, namun saat ia memanggil nama Lama Serlingpa, secara alami dia meneteskan air mata karena pengabdiannya yang tulus dan khusus. Semua ini karena ia telah menerima berkat, transmisi, dan bimbingan bodhicitta dan tradisi dan silsilah ajaran yang dia dapatkan dari Lama Serlingpa adalah Tujuh-Teknik/Metode dari hukum Sebab dan Akibat, pelatihan bodhicitta.

Baca juga: Candi Mendut, Simbol Perjumpaan Welas Asih

Ia menerimanya di Nusantara dan dia tinggal di Nusantara selama dua belas tahun di bawah permintaan Lama Serlingpa yang mana adalah gurunya. Niat pertamanya adalah datang ke sini untuk menerima transmisi dan melakukan perjalanan ke Nalanda dan Vikramashila dan seharusnya Lama Atisha sudah pulang kembali. Saat itu dia bahkan tidak berniat berpergian ke Tibet.

Tapi Lama Serlingpa menasihati Lama Atisha untuk tinggal di sini tidak saja hanya menerima transmisi; “tapi jika engkau tetap di sini karena ini adalah tempat yang istimewa dan terberkati dengan silsilah ajaran ini”; “jika engkau tetap di sini dan terus mengolah, engkau memiliki kesempatan untuk mendapatkan realisasi bodhicitta”, maka Lama Serlingpa menasihatinya untuk tinggal di sini selama dua belas tahun dan dia tinggal di sini selama dua belas tahun.

Saya yakin Lama Atisha sudah tentu berkeliling ke banyak tempat di Nusantara seperti Sumatera, ia mungkin sudah datang ke Sumatera dan selama waktu itu ada komunitas praktisi Vajrayana yang sudah mahir di daerah ini, yang tentunya sudah berkembang lebih pesat lagi, terutama pada saat pemutaran roda Dharma yang dipimpin oleh Lama Serlingpa di wilayah ini, banyak berkembang dengan suburnya Vajrayana dan Mahayana.

The post Mengapa Candi Mendut Sangat Penting? appeared first on .

Nammo Amitabha – Kang Zaim

$
0
0

 

Mantram ini didengarnya dengan indah oleh Kang Zaim saat di Eropa. Berisikan tentang memuja kualitas suci yang bernama Buddha Amitabha, kualitas batin tentang welas asih agung.

Perlindungan pada sebuah kesadaran agung yang ditopang oleh kebajikan universal, dan disokong oleh persahabatan yang saling menumbuhkan. Buddha, Dharma, dan Sangha yang melebur menjadi satu, welas asih.

Mantram ini dipersembahkan secara khusus untuk Sutar Soemitro agar kesehatannya lekas pulih seperti sedia kala. Dimantramkan bersama Astakosala Volk, tim BuddhaZine, dan anak-anak Dhamma Camp Kebumen.

The post Nammo Amitabha – Kang Zaim appeared first on .

Kwee Tek Hoay, Tokoh Kebangkitan Agama Buddha yang Istimewa

$
0
0

Mungkin nama Kwee Tek Hoay tak banyak dikenal oleh generasi sekarang, namun siapa sangka dia merupakan tokoh sangat berpengaruh dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Meski tak memakai jubah, ia menjadi tokoh sentral dalam membangkitkan Buddhadharma. Kebangkitan Buddhadharma di Indonesia tak datang dari kaum spiritualis, melainkan dari tokoh intektual.

Kwee Tek Hoay merupakan peranakan Tionghoa. Lahir di Buitenzorg alias Bogor pada 31 Juli 1886. Seperti sebagian besar anak-anak Tionghoa pada jaman itu, Kwee Tek Hoay mendapat pendidikan sekolah Tionghoa dengan pengantar Bahasa Hokkian. Ayahnya berasal dari Desa Lam An, Provinsi Fujian, Tiongkok, yang merantau ke Pulau Jawa dan menetap di Bogor. Senada dengan itu Bapaknya juga melarang Kwee Tek Hoay kecil menggunakan bahasa selain bahasa Hokkian.

Aturan berbahasa telah merundungnya. Padahal, ia sangat ingin belajar bahasa Melayu. Ini juga yang menjadi alasan Kwee Tek Hoay hanya sekolah sampai jenjang sekolah dasar, karena membolos terus. Sebenarnya, ia ingin belajar di sekolah Belanda milik pemerintah Hindia Belanda saat itu, tetapi pemerintah kolonial tak sudi menerima siswa dari kalangan jelata. Mereka hanya melapangkan jalan bagi anak-anak menak dan orang berpangkat.

Kwee Tek Hoay belajar akuntansi dari seorang guru sekolah Belanda. Bahasa Inggris ia pelajari dari S. Maharaja, seorang berkebangsaan India yang mengajar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan di Bogor. Dari Lebberton dan Wotman, orang-orang dari perkumpulan Loge Theosophie, ia belajar bahasa Belanda. Bahasa Melayu, ia pelajari diam-diam dari ibunya yang merupakan generasi ketiga keturunan Tionghoa yang sudah menetap di Bogor.

Di rumah, selain membantu orangtuanya berjualan menunggui toko dan belajar kepada guru-guru yang diundang, ia juga belajar secara otodidak. Banyak buku ia baca. Sejak muda Kwee sudah hobi menulis. Banyak orang menjulukinya si kutu buku karena kehausannya dalam akan ilmu.

Ayah

Mengikuti jejak sang ayah Kwee juga membuka usaha toko serba ada, selain itu menyempatkan di sela-sela waktunya untuk menulis. Kwee mulai aktif menulis pada tahun 1905, dan fokus utama perhatiannya adalah masalah kemasyarakatan. Kemudian ia menikah dengan seorang gadis pada tahun 1906.

Istrinya diajarkan cara mengelola usaha. Setelah bisa, ia menyerahkan seluruh kendali usaha kepada istrinya dan memfokuskan diri untuk menulis. Apa yang dilakukan Kwee, di luar kebiasaan orang zaman itu. Biasanya perempuan hanya di rumah dan mengurus anak.

Tulisan-tulisan Kwee Tek Hoay banyak dimuat surat kabar Li Po, Sin Po, Ho Po, dan Bintang Betawi. Pada tahun 1926 Kwee mendirikan majalah Panorama. Tulisan Kwee meliputi persoalan filsafat, agama, kebatinan, budaya, sejarah, sosial dan politik. Kwee juga pernah menjabat sebagai Dewan Redaksi majalah Li Po dan Ho Po. Karena sering menuliskan kritik terhadap kebijakan pemerintah Kolonial Hindia Belanda, ia sempat mendekam dipenjara. Namun tak menghentikan produktivitasnya untuk menulis dan menyikapi masalah sosial-politik.

Ia juga banyak membela kaum-kaum perempuan, baik dalam tulisan maupun ranah praktis. Ia banyak memberikan ruang khusus untuk penulis-penulis perempuan, sekaligus melatih menulis. Jadi membuat perempuan juga bisa terkenal dan berkarya.

Di samping itu, Ia pun berperan penting dalam kehidupan beragama masyarakat peranakan. Bersama teman-temannya, Kwee Tek Hoay mendirikan organisasi keagamaan Tridharma pada 1934. Organisasi ini yang menjadi cikal bakal Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia (Magabutri). Dia pun mendapatkan predikat Bapak Tridharma Indonesia. Sebagai apresiasi setiap Vihara Tridharma terpampang foto atau gambar wajah Kwee Tek Hoay. Hari lahirnya pun menjadi peringatan Hari Tridharma Indonesia.

Kwee Tek Hoay sempat menyelenggarakan dialog tentang agama Buddha antara Josiast Van Dienst dengan Biksu Lin Feng Fei di Prinseniaan (sekarang Jl. Mangga Besar, Jakarta). Hasil dialog tersebut antara lain berisi pernyataan bahwa Klenteng (Chinese Buddhist Temple) sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan untuk tempat pemujaan saja, tetapi juga sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama Buddha. Bahkan sekelas Bhikkhu Narada dari Sri Lanka sempat ia undang ke Indonesia untuk memberi ceramah di Batavia (Jakarta) dan sekitarnya.

Majalah Mingguan Moestika Dharma yang didirikannya juga banyak menyumbangkan gagasan-gagasan soal Buddhis. Dari majalah ini diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma dan mengacu pada aliran Buddha Theravada.

Karya-karya sastra Kwee Tek Hoay banyak memakai bahasa melayu-rendah. Sebuah istilah yang dibuat pemerintah kolonial untuk membedakannya dengan Melayu-Tinggi yang mereka tetapkan. Karyanya banyak menceritakan kehidupan sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Ini juga yang menjadi alat perlawanannya terhadap pemerintah kolonial.

Hal ini muncul karena bagi peranakan Tionghoa yang lahir di Indonesia pada masa itu, Tiongkok tidaklah terlalu dikenal, bahkan hampir sebagai sebuah negeri asing bagi mereka. Oleh karenanya, mereka ingin menciptakan suatu riwayat yang berbau Indonesia, dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam keadaan seperti mereka dengan persoalan yang sama pula dengan persoalan mereka.

Sastra Melayu-Tionghoa karya Kwee Tek Hoay bisa dikatakan sebagai pelopor bagi hadirnya kesastraan Indonesia Modern. Selain sastrawan Kwee Tek Hoay juga seorang organisatoris. Lewat goresan penanya yang berjudul “Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa Modern Pertama di Indonesia”, ia menceritakan suatu organisasi modern pertama Tionghoa yang pertama ada di Indonesia. Ini menjadi inspirasi berdirinya organisasi perjuangan Budi Oetomo.

Di tahun 2012 namanya diabadikan untuk kawasan Glodok (Pecinan di Jakarta) oleh Pemda Jakarta saat itu karena jasanya dalam kesusastraan, agama, kebudayaan, serta sosial-politik. Pemerintah juga memberikan penghargaan Budaya Parama Dharma kepada Kwee. Apresiasi terhadap Kwee Tek Hoay muncul lagi pasca reformasi. Sebab di era Orde Baru nama Kwee Tek Hoay sengaja ditenggelamkan karena sentimentil pemerintah terhadap orang peranakan Tionghoa.

Bukan tanpa alasan, Orde Baru sengaja membuat stigma terhadap orang peranakan Tionghoa untuk mengesankan bahwa orang peranakan dengan kepercayaan Tridharma tak punya andil dalam pembangunan bangsa. Kwee Tek Hoay layak dikenang, bahkan kualitas karyanya dapat disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis Indonesia yang berulang kali masuk nominasi nobel. Generasi Buddhis layak pula menjadikan Kwee Tek Hoay sebagai sosok yang menginspirasi.

Billy Setiadi

Penapak jalan Dharma

The post Kwee Tek Hoay, Tokoh Kebangkitan Agama Buddha yang Istimewa appeared first on .

Dilema Kehidupan Penjaga Vihara

$
0
0

“Iya Pak, kami bersedia. Kami bersedia tanda tangan tanda terima uang 2 miliar, meski dana yang kami terima hanya 1 miliar,” kata ketua panitia. “Tapi ini aman ‘kan Pak?” kata ketua panitia dengan suara agak ragu.

“Aman Pak, itu adalah hal biasa. Tapi jika Bapak ragu, kami tidak akan memaksa. Kami akan berdana ke pihak lain yang sudah biasa menerima dana dari kami,” jawab Pak Steven.

“Pak… jangan tanda tangan Pak!!!” aku berteriak. “Nanti Bapak bisa dipenjara…” teriakku.

“Mas… Mas Puji, bangun…” seseorang menepuk bahuku. “Masih sore kok sudah tidur, sampai ngigau lagi…”

Aku mengucek mata, hmmm… ternyata cuma mimpi. Aku memandang Ko Gunawan yang masih memandangku dengan tatapan aneh. “Aduh maaf, saya ketiduran. Ada apa Ko Gunawan?” tanyaku.

“Itu, ada anak-anak mahasiswa yang mau pinjam kunci sekretariat. Ada rapat persiapan Waisak,” kata Ko Gunawan.

Aku segera masuk ke kamarku dan mengambil kunci sekretariat.

* * * * *

Aku duduk termenung di kamarku, sebuah kamar yang kecil di bagian belakang vihara. Aku tinggal di sini sudah 1 tahun, sejak aku datang dari desa dan bekerja sebagai penjaga vihara. Aku berharap, kelak bisa dapat kerja lain yang penghasilannya lebih besar dan bisa mengirim uang ke orang tuaku di desa.

Beberapa hari ini aku jadi tidak fokus dalam bekerja. Sejak aku tak sengaja mendengar percakapan panitia pembangunan vihara dengan seorang utusan dari pengusaha, Pak Steven namanya. Saat itu aku akan mengantarkan minuman ke ruang rapat. Saat akan masuk, aku mendengar pembicaraan mereka. Intinya, utusan pengusaha itu akan memberikan dana sebesar 1 miliar, tapi panitia diminta menandatangani tanda terima 2 miliar.

Aku merasakan ada hal yang tidak beres, tapi entah apa istilah untuk hal ini. Menurut perasaanku, ada pelanggaran sila di sini. Setidaknya berbohong, sila keempat. Masa’ terima uang 1 miliar tapi diminta tanda tangan tanda terima senilai 2 miliar? Ah… tapi tidak mungkin panitia mau menandatangani. Ini proyek pembangunan vihara, lagi pula penandatanganan ini dilakukan di vihara. Aku tak yakin umat Buddha yang aktif di kegiatan vihara mau melakukan itu.

Ternyata dugaan agak meleset. Seminggu lalu, secara tidak sengaja, aku mendengar percakapan dua orang panitia. Saat itu sudah malam, aku sudah tidur. Tapi rasa ingin buang air kecil membangunkanku. Aku ingin keluar dari kamar, tapi aku tahan setelah mendengar percakapan serius dua orang panitia. Salah satunya adalah ketua panitia.

“Saya rasa, sebaiknya kita terima saja dana pengusaha itu. Nggak apa kita terima 1 milir tapi tanda tangan tanda terima 2 miliar. Itu adalah hal biasa kata utusan  pengusaha itu. Ini hal yang lumrah.”

“Aku keberatan. Ini pelanggaran sila. Kita membantu pengusaha itu melakukan money laundring, pencucian uang. Ia mengeluarkan dana CSR senilai 1 miliar untuk pembangunan vihara, ia menggelapkan 1 miliar untuk dirinya sendiri.”

“Kamu pikir kita mudah mencari dana. Kalau harapkan dana dari umat, paling satu orang kasih Rp 50.000, Rp  100.000, paling gede juga 1 juta rupiah. Berapa lama kita baru dapat 1 miliar?”

“Kalau hal ini ketahuan, kita bisa dipenjara. Pokoknya aku tidak setuju. Kalau tetap ingin terima dana itu, aku keluar dari kepanitiaan. Kamu ‘kan ketua panitia? Silakan kamu putuskan, mau terima atau tidak.”

“Aku juga akan tanyakan hal ini kepada bhante. Kalau bhante setuju, kita ikut saja. Kamu jangan sok idealis. Ini demi Buddhadhamma, demi pembangunan vihara, bukan untuk kantong pribadi saya. Realistis sajalah…”

“Aku berusaha realistis, tapi untuk hal prinsip semacam ini, aku tidak mau kompromi. Kalau mau dana, dana saja, jangan ada udang di balik batu. Aku juga tidak suka dengan salah satu umat kaya di vihara ini. Beliau memang rajin berdana untuk vihara. Ada bhante yang datang, beliau sediakan mobil untuk menjemput bhante, beliau dana makanan. Aku ingat saat bhante akan pergi ke Medan, aku dimintai bantuan untuk menyetir mobil beliau dan mengantar bhante ke bandara. Istrinya juga ikut mengantar. Dalam perjalanan, sang istri bilang, bhante, durian dari Medan itu enak banget. Nanti pulang dari sana, bawa durian ya… Bhante hanya tersenyum, tidak menjawab. Tapi pas pulang dari Medan, bhante bawa banyak durian. Aku tidak tau, durian itu pemberian umat di sana atau bhante yang minta umat di sana belikan durian agar bhante bisa membawa durian yang dipesan istri umat yang kaya tadi.” Hening sejenak…

Lalu ia melanjutkan. “Kita sebagai umat seharusnya menciptakan suasana yang nyaman bagi bhante untuk menjalankan vinaya, bukan membawa beliau ke dalam situasi dilematis seperti ini. Aku tidak setuju dengan tawaran pengusaha itu. Aku juga tidak suka dengan sikap istri umat kaya tadi. Sekarang zaman sudah canggih. Tinggal pesan secara online, semua ada kok. Atau bisa pesan pada teman di Medan untuk belikan durian. Tinggal telepon, transfer uang, kasih alamat lengkap, beres. Bhante bukan pesuruh umat, yang bisa dimintai ini itu yang tak ada hubungannya dengan Dhamma. Begini saja, kalau kamu bersikeras mau terima dana itu, aku mengundurkan diri dari kepanitiaan. Keputusanku sudah final. Selamat malam…” Lalu terdengar langkah jalan menjauh. Hening sejenak.

Aku terpaksa menahan keinginan untuk buang air kecil karena ketua panitia masih ada di dekat kamarku. Nanti ia malah curiga aku menguping pembicaraan mereka. Di luar hanya terdengar helaan napas. Selang 5 menit kemudian, barulah ia melangkah pergi.

* * * * *

Aku terbaring di atas kasur di dalam kamar. Sudah pukul 23.30, aku belum tidur. Aku tak bisa tidur, mataku sama sekali tidak merasa ngantuk. Tadi siang, aku melihat Pak Steven keluar dari ruang rapat bersama dengan ketua panitia. “Sampai jumpa Pak…” kata Pak Steven sambil tersenyum. “Anumodana Pak Steven,” jawab ketua panitia, yang kulihat memegang sebuah amplop.

Mungkinkah itu selembar cek? Apakah mereka berdua sudah menandatangani tanda terima 2 miliar dengan cek senilai 1 miliar? Aku hanya penjaga vihara. Apa hak-ku melarang ketua panitia membatalkan dana 1 miliar tersebut? Apakah benar ketua panitia sudah minta persetujuan dari bhante untuk menerima dana itu? Atau mau minta persetujuan bhante hanya bualan ketua panitia agar rekannya percaya dan mau mendukungnya untuk menerima dana itu? Apakah aku harus bertanya kepada bhante mengenai hal ini? Atau semua ini hanya prasangka burukku?

“Eh… siapa elu. Ngaca dong… Cuma jadi penjaga vihara saja belagu. Nggak usah ngurusin urusan orang lain,” kata suara hatiku.

“Biar hanya penjaga vihara, kamu juga umat Buddha. Kalau melihat sesuatu yang tidak benar, kamu punya kewajiban untuk mengingatkan,” kata suara hatiku yang lain.

Begitu terus sisi baik dan buruk dalam diriku terus berperang. Aku tak bisa menemukan jawaban apa yang harus aku lakukan. Aku hanya terus menatap langit-langit kamar, tanpa tau harus berbuat apa.

Catatan:

Kisah ini hanyalah fiktif belaka, cuma imajinasi liar penulis. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

The post Dilema Kehidupan Penjaga Vihara appeared first on .


Mengapa Penyesalan Selalu Datang Terlambat?

$
0
0

Jawaban rubrik konsultasi psikologi BuddhaZine.com

Kepada Yth.
Ibu Maharani

Saya baru saja putus dengan kekasih saya. Sehingga akhir-akhir ini sering memiliki rasa bersalah karena saya yang memutuskan dia. Jadi, kondisinya, kekasih saya punya permasalahan mengenai kecemasan. Saya sudah menjalani hubungan dengannya selama kurang lebih dua tahun belakangan. Tapi beberapa bulan terakhir sebelum kami putus, dia mulai cuek dan agak ketus.

Setelah putus, saya baru tau kalau kekasih saya itu merasa tertekan karena saya sering bertanya apa dia mencintai saya? Karena dia hampir tidak pernah, bahkan baru dua kali mengatakan kalau dia sayang pada saya.

Sementara itu, kekasih saya ternyata tipe yang sulit mengungkapkan perasaannya. Saya jadi merasa bersalah telah mutusin dia tapi saya benar-benar merasa dia udah ngga sayang saya lagi.

Akhir-akhir ini saya benar-benar down seakan dunia menjauh dari saya. Dua bulan lalu, ibu saya meninggal dunia, dan sahabat saya mulai menjauh dari saya. Saya benar-benar merasa bersalah dan kesepian. Bagaimana cara saya menghadapinya?

Dear miss NN,

Dalam sebuah hubungan percintaan, sangatlah wajar jika seseorang ingin mendapatkan pengakuan atau pernyataan cinta dari pasangannya. Karena hal itu merupakan salah satu pembuktian bahwa kekasihnya masih mencintai dirinya. Kebutuhan dasar setiap manusia adalah untuk mencintai dan dicintai tentunya.

Namun ada yang perlu diingat bahwa gaya komunikasi setiap orang itu berbeda-beda, apalagi gaya komunikasi pria dan wanita dalam sebuah hubungan. Biasanya pria adalah makhluk yang sulit untuk mengungkapkan perasaan dan pemikirannya secara verbal (melalui kata-kata), beda halnya dengan wanita yang mudah mengungkapkan ide, pemikiran dan perasaannya secara verbal dengan orang-orang terdekatnya. Hal itulah yang sering menjadi pemicu konflik dalam sebuah hubungan percintaan.

Sehingga perlu dipahami bahwa seorang pria biasanya akan menyatakan dan mengungkapkan rasa sayangnya dalam bentuk tindakan-tindakan nyata, belum tentu dalam bentuk kata-kata ”Aku Sayang Kamu”. Coba Anda cek kembali apakah selama ini pacar Anda ini telah melakukan berbagai hal dan tindakan nyata seperti menolong Anda di saat Anda mengalami kesulitan, memberikan dukungan emosional dan sosial, memberikan kabar kepada Anda ketika berjauhan, menanyakan kabar Anda, mengantarkan Anda pergi, dan lain sebagainya. Dari perhatian-perhatian itu kita bisa melihat apakah seorang pria benar-benar mencintai kita atau tidak, meskipun tidak pernah mengungkapkan kata-kata “Aku Sayang Kamu”.

Apalagi jika Miss NN bercerita bahwa pacar Anda adalah seseorang yang mengalami kecemasan pada lingkungan sosial dan traumatik akan kehidupan percintaan. Diperlukan waktu, proses, dan kesabaran untuk dapat pulih dari sebuah peristiwa traumatik, apalagi gejala kecemasan itu sendiri.

Sebagai pasangan sudah sewajarnya kita mendukung dan memberikan support agar kekasih merasa terbantu, didukung dan tidak tertekan, baik melalui kata-kata, sikap dan kepercayaan kita terhadap dia.

Dengan adanya anxiety tersebut, seseorang akan lebih mudah merasa tertekan, merasa dipojokkan dengan adanya tuntutan tertentu yang terus menerus dari orang terdekatnya, apalagi jika itu adalah sebuah tuntutan yang sulit untuk dipenuhi dirinya.

Misalnya sulit untuk mengatakan, ”Aku Sayang Kamu”, padahal kekasih Anda sudah mati-matian menunjukkan dalam sikapnya selama ini, namun karena anda berfokus pada hal itu saja, kebaikan-kebaikan lain yang dilakukannya seolah-olah tidak tampak di mata Anda. Dengan perlakuan ini, bisa saja membuat anxiety dalam diri kekasih Anda semakin berat.

Jadi dalam sebuah hubungan, yang terpenting bukanlah kata-kata “Aku Cinta Kamu”, tapi lebih ke dalam bentuk perhatian yang sesungguhnya, saling mendukung, saling memberikan support di saat yang satu pihak membutuhkannya, dan sebaliknya.

Nah apakah selama ini Anda dan kekasih sudah melakukan hal tersebut satu sama lain? Jika memang iya, berarti ia adalah orang yang layak untuk Anda pertahankan. Hubungan kalian memiliki kemungkinan bisa berkembang dan terus berlanjut ke arah yang lebih baik.

Satu hal lagi yang perlu diketahui adalah jangan mencari seorang kekasih hanya untuk mengisi kesepian atau kekosongan dalam diri kita, karena jika kita mencari pasangan untuk tujuan tersebut, akhirnya kita akan menjadi pasangan yang selalu menuntut dan berharap terlalu tinggi terhadap pasangan. Sedangkan pasangan kita adalah manusia biasa yang juga memiliki hal dan urusan lain untuk dipikirkan selain diri kita.

Penyebab

Kita tidak mengetahui pasti apa penyebab sikap pasangan Anda berubah menjadi cuek dan ketus beberapa waktu belakangan ini, tapi terkadang manusia (terutama pria) membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, dan menjadi sedikit menjauh dari lingkungan dan orang-orang terdekatnya sesekali. Terutama ketika mereka memiliki pikiran atau beban tertentu atau permasalahan yang belum bisa terselesaikan. Pada dasarnya pria tidak ingin membuat pasangan atau orang terdekatnya ikut terbeban memikirkan masalahnya.

Berikan dia waktu sejenak tanpa harus mendesak atau menuntutnya untuk menceritakan permasalahan atau penyebab perubahan sikapnya, cukup dukung dia, berikan support dan perhatian seperti biasa. Jika permasalahannya selesai nanti, ia pasti akan menceritakannya kepada Anda dan sikapnya kembali seperti biasa lagi.

Selama waktu-waktu itu, sibukkanlah dan isilah hari-hari Anda dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat, misalnya melakukan hobi-hobi lama yang selama ini sudah jarang dilakukan, atau melakukan aksi sosial kepada orang-orang yang membutuhkan. Sehingga waktu-waktu Anda dapat terisi secara positif dan tidak lagi mengalami rasa bersalah atau kesepian yang berlebihan.

Mengenai kematian ibu Anda, saya ikut berdukacita sedalam-dalamnya dan berharap ibu Anda bisa terlahir kembali di alam yang lebih berbahagia dan semua jasa kebajikannya dapat melimpah kepada Anda dan keluarga. Tentu saja suatu kehilangan yang luar biasa ketika ibu kita meninggal, dan membuat Anda sangat bersedih.

Wajar sekali jika dalam masa-masa berkabung ini Anda merasa down, tidak bersemangat, dan seakan-akan hidup tiada artinya lagi. Tapi Anda tetap harus mengingat tujuan anda dalam kehidupan ini, dan orang-orang yang masih menyayangi dan membutuhkan Anda. Jika waktunya sudah tiba nanti, Anda harus tetap kembali bangkit dan melanjutkan perjalanan kehidupan ini dengan penuh manfaat.

Terakhir, pikirkanlah hal-hal positif yang masih bisa Anda miliki dan nikmati dalam hidup ini, dan bukan sisi yang negative yang justru melemahkan Anda. Misalnya Anda masih memiliki saudara, tempat tinggal untuk berteduh, masih memiliki pekerjaan/masih bisa menikmati pendidikan, masih memiliki uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mulailah dari hal-hal terkecil, dan bukan berfokus pada hal-hal yang membuat Anda sedih/kecewa.

Maharani K.,M.Psi

Psikolog keluarga, Hipnoterapis, dan Trainer

The post Mengapa Penyesalan Selalu Datang Terlambat? appeared first on .

Makna Analogi Sapu Jagad

$
0
0

“Tana prabedanipun, jagad katon lan jagadireku.”

(Tiada berbeda, dunia yang terlihat dan dunia dalam dirimu.) Dipetik dari Serat Cipto Waskitho, karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV)

Jagad atau dunia dalam falsafah Jawa dibagi dalam dua dimensi, yaitu jagad gede dan jagad cilik. Jagad gede adalah dunia yang ada di luar ini. Segala interaksi kita dengan hal-hal luar, itu jagad gede. Sedangkan jagad cilik adalah segala interaksi kita dengan yang ada di dalam. Tidak lain, itu adalah batin kita sendiri.

Hal-hal yang terjadi di luar adalah representasi dari apa yang di dalam. Lebih dari itu, hal luar itu sejatinya juga yang di dalam, bukan terpisah, menyatu bahkan kita itu menjadi bagian di dalamnya. Apabila pengertiannya seperti ini, maka sapu jagad bukan tentang membersihkan hal-hal luar tapi juga membersihkan batin kita.

Perumpamaan sapu jagad memiliki analogi seperti membersihkan kotoran. Sama seperti membersihkan tempat atau ruang. Jika ada kotoran, maka sebenarnya yang dikatakan bersih itu hanyalah mengelompokkan atau mengumpulkan yang kotor pada tempatnya.

Dengan kata lain, yang bersih itu kotor. Karena itu perlulah selalu membersihkan batin. Ruang batin ini perlu dibersihkan agar bersih, menjadi damai, dan hal itu membuat suasana bathin dan sekitar menjadi lebih baik. Suasana yang kotor membuat keadaan tidak tertata dengan baik, kondisi psikologis juga menjadi tidak baik, dan hal ini menjadi akar permasalahan dalam kehidupan sosial. Permasalahan sosial selalu diawali permasalahan individu.

Lalu bagaimana dengan kotoran tersebut? Walau kotoran itu disendirikan menjadi satu bukan berarti kotoran itu tidak berguna. Kotoran bisa menjadi pupuk. Seperti teratai yang tumbuh di kolam walaupun didasar kolam itu berlumpur. Teratai tetap tumbuh dan memberikan mekarnya yang indah.

Kebersihan batin itu juga termasuk menggunakan kekotoran untuk terus tumbuh. Sapu jagad itu mengingatkan kita bahwa kedamaian dunia mesti diawali dengan kedamaian di dalam batin.

Victor Alexander Liem 

Desainer batik tulis. Tinggal di Kudus, Jawa Tengah.

The post Makna Analogi Sapu Jagad appeared first on .

Guanyin, Pria atau Wanita?

$
0
0

Seringkali dalam meriset asal mula dewata tertentu di Tiongkok, masyarakat kita lebih sering memercayai kisah-kisah novel fiksi yang wow alih-alih cerita sesungguhnya yang berdasarkan kitab kanonik. Dalam kasus Guanyin atau Avalokiteshvara contohnya, bahkan hampir semua orang mengangkat justru cerita novel yang disalahpahami sebagai sejarah. Dalam satu majalah kelenteng, penulis malah menemukan cerita game PC modern berlatar dewa-dewi Tiongkok masuk ke rubrik sejarah.

Umumnya generasi tua maupun muda Tionghoa mengenal Guanyin lewat kisah putri Miaoshan. Akan tetapi perlu dipahami bahwa Miaoshan yang dikenal mereka sebenarnya berasal dari novel fiksi Xiangshan Baojuan dan derivatifnya yang amat banyak itu. Misalnya ada yang mengatakan Miaoshan ini putri raja Chu dari Zhuang pada periode Semi dan Gugur namun kisah ini berasal dari fiksi Guanshiyin Pusa Zhanlue karangan Guan Daosheng (1262-1319 M). Ada pula yang mengaitkan Guanyin dengan Cihang Daoren dari Dinasti Yin-Shang namun ini juga dari kitab fiksi Fengshen Yanyi.

Baca juga: Guanyin adalah Putri dari Sriwijaya?

Novel-novel berkisah Miaoshan ini membentuk angan-angan tentang sebuah putri di kerajaan Tiongkok kuno yang menjadi sesosok dewi welas asih. Kendati banyak memberikan pelajaran moril, tentu saja bukan kenyataan sejarah. Di masa Dinasti Ming memang muncul ledakan popularitas novel-novel berdasarkan ketokohan dewata dan tema fantasi berbumbu spiritual.

Kepercayaan masyarakat akan tokoh fiksi Miaoshan ini lantas menimbulkan kecurigaan bahwa Guanyin berwujud perempuan bukan dari agama Buddha melainkan dari zaman Tiongkok sebelum agama Buddha masuk. Padahal, kisah Miaoshan yang tertua baru muncul sekitar 1000 tahun yang lalu pada masa Dinasti Song dan novel fiksinya (yang biasa dipercaya orang) baru muncul 800 hingga 500 tahun yang lalu sedangkan Guanyin berwujud perempuan sudah ada ratusan tahun sebelumnya – disadur dari kitab suci Buddhis dan kitab sejarah asli.

Kapan Guanyin mulai berwujud wanita?

Terhitung sejak diterjemahkannya Saddharmapundarika Sutra pada tahun 406 M oleh Kumarajiva, Avalokiteshvara dipercaya dapat mewujud baik sebagai laki-laki maupun perempuan, sebagaimana tercatat dalam salah satu bab sutra tersebut. “Guanyin” atau “Guanshiyin” adalah terjemahan per kata dari bahasa India “Avalokiteshvara.”

Sejak Dinasti Utara dan Selatan setelah penerjemahan sutra itu, Guanyin beberapa kali mewujudkan diri dalam sosok perempuan. Tercatat dalam kitab sejarah Bei Qi Shu bahwa Kaisar Qi Utara Wucheng (537-569 M) menderita sakit. Tak lama ia mengalami mukjizat ketika ia melihat seorang perempuan yang kemudian berubah menjadi Guanyin memberikan pertolongan.

Nan Shi atau Catatan Dinasti-dinasti Selatan menyebutkan bahwa, permaisuri Shen Wuhua (582-589 M), istri kaisar Chen Shubao dari Dinasti Chen, menjadi seorang biksuni dengan nama Guanyin. Bei Shi atau Catatatn Dinasti-dinasti Utara sebaliknya mencatat bahwa pada periode Renshou (601-604 M), permaisuri Wen Xian meninggal dunia dan ia mendapat gelar Miaoshan Pusa. Nama Bodhisattva Miaoshan ini berasal dari tokoh dalam Kusalamulasamparigraha Sutra yang diterjemahkan Kumarajiva pula. Bahkan ada riset yang meneliti bahwa figur putri Miaoshan berasal dari figur sejarah Buddhis bernama putri Nanyang yang merupakan anak dari Kaisar Buddhis Sui Yangdi.

Akhirnya pada masa Dinasti Tang, tepatnya pada tahun 724 M, Sutra Mahavairocana diterjemahkan oleh Subhakarasimha. Di dalam mandala Garbhadhatu bagian keluarga teratai atau Avalokiteshvara, terdapat Dewi Pandaravasini dan Dewi Tara yang keduanya berjubah putih. Pengulas Mahavairocana menyebutkan bahwa Tara membebaskan dari ketakutan dan jubah putih yang dipakainya menyimbolkan kesederhanaan dan kesucian yang merupakan kualitas agung dari Bodhisattva. Di Tibet, Tara juga dikisahkan terlahir dari air mata Avalokiteshvara atau Guanyin dan cerita ini juga muncul setidaknya paling awal masa Tang.

Kehadiran Sutra Mahavairocana seolah menggenapi kisah-kisah mukjizat Guanyin berwujud perempuan yang hadir sebelumnya. Tara, Pandaravasini, dan Avalokiteshvara bergabung menjadi satu. Pengaruh Sutra Mahavairocana ini kemudian terealisasi dalam wujud terawal dari Guanyin yang kita kenal sekarang yaitu Shuiyue Guanyin atau Avalokiteshvara Air dan Bulan. Mahkota Amitabha tetap bertengger di mahkotanya seperti penggambaran Avalokiteshvara di India, namun kali ini  beliau memiliki tubuh perempuan dan jubah putih dari Tara dan Panadaravasini.

Di India dan Nepal tanah lahir Buddha, ditemukan banyak bukti peninggalan adanya Tara dan Pandaravasini juga segenap perwujudan feminin dari Avalokiteshvara. Jadi sama sekali tidak benar jika wujud wanita Guanyin hanya ada di Tiongkok karena sebenarnya sumber perwujudan di Tiongkok juga asalnya dari India yang sudah ada sejak abad ke-3 M.

Botol dan dahan willow yang dipegang Guanyin juga berasal dari sutra Buddhis Qing Guanshiyin Pusa Fudu Tuoluoni Jing yang diterjemahkan masa Dinasti Jin Timur (317-420 M). Wujud perempuan yang lain ada Svetabhagavati Avalokiteshvara, Parnasavari Avalokiteshvara, Cunda Avalokiteshvara, Malangfu Guanyin, Yulan Guanyin, dan Yangguifei Guanyin. Semuanya berdasarkan kisah dari masa Dinasti Tang.

Shuiyue Guanyin kemudian berkembang makin sempurna menjadi Baiyi Guanyin (Pandaravasini Avalokiteshvara) dan Duoluo Guanyin (Tara Avalokiteshvara) yang menjadi ikonografi favorit Buddhis Chan (Zen). Di Vihara Yunju di Tiongkok juga ditemukan banyak dharani-dharani asli Sanskerta berjudul “Pandaravasini Avalokiteshvara” dan “Tara Avalokiteshvara” terhitung sejak zaman Sui dan Tang! Berkat ini, akhirnya menyebar luas menjadi dewata feminin paling populer bagi bangsa Han di mana pun mereka berada.

Pengaruhi agama Tao atau dipengaruhi agama Tao?

Jika Guanyin perempuan sudah dipuja Buddhis semenjak Dinasti Utara-Selatan, Sui dan Tang, umat Tao baru memujanya ratusan tahun kemudian tepatnya Dinasti Song. Pada masa dinasti Song, Kaisar Huizong yang sangat berorientasi ke agama Tao menitahkan pemberian gelar-gelar Taois pada beragam Buddha dan Bodhisattva dalam agama Buddha yang populer.

Buddha Sakyamuni diberikan gelar Dajue Jinxian dan Avalokiteshvara diberi gelar Dashi sehingga menjadi Guanyin Dashi atau Cihang Dashi. Pemberian gelar ini berujung pada munculnya kitab-kitab Taois berkenaaan dengan Avalokiteshvara seperti Taishang Dongxuan Lingbao Yuantong Tianzun Cihang Yuanjun Benxing Miaojing dan ritual pertaubatan Taois dari Cihang berjudul Taishang Biluo Dongtian Cihang Linggan Dushi Baochan yang keduanya sarat dengan istilah-istilah Buddhis berkenaan Guanyin seperti Xinjing (Prajnaparamitahrdaya Sutra) atau Zhenfaming (nama Buddha Guanyin: Saddharmaprabhasa).

Proses transformasi Guanyin menjadi wujud perempuan juga menginspirasi munculnya pemujaan terhadap para Dewi Taois dengan julukan Niangniang di masa Dinasti Song seperti misalnya Bixia Yuanjun atau Taishan Niangniang (1008 M), Mazu/Tianfei atau Tianhou Niangniang (960 M), dan Chen Shisi Niangniang atau Linshui Furen (1250 M). Kita bisa menemukan bahwa para Niangniang ini banyak dipuja satu altar bersama dengan Guanyin. Pengaruh Avalokiteshvara juga dibuktikan dengan munculnya tokoh Guanyin di cerita hidup Mazu dan Linshui Furen.

Dalam kitab Taois yang bercerita asal usul Guanyin juga disebutkan kelahiran sebagai putri Xingyin anak dari Miaozhuang. Ini semua merupakan pengaruh dari Buddhis. Teks tertua tentang kisah Miao Shan ada dalam naskah Buddhis berjudul Longxing Fojiao Biannian Tonglun yang ditulis oleh Biksu Zu Xiu pada tahun 1164 M yang menceritakan pertemuan Biksu pendiri aliran Lu (Vinaya) yaitu Dao Xuan (596 – 667 M) dengan seorang dewa, di mana Biksu Daoxuan menanyakan riwayat Bodhisattva Avalokiteshvara pada dewa tersebut, yang menjawabnya dengan kisah Miaoshan.

Cerita paling awal dari Miaoshan di  Longxing Fojiao Biannian Tonglun masih murni bersifat Buddhis, ada dasar sutranya dan belum berupa novel fiksi. Miaozhuang, ayah Miaoshan adalah terjemahan Mandarin per kata dari raja Subhavyuha dalam Saddharmapundarika Sutra, demikian juga istrinya Bao De adalah Vimaladatta.

Miaoyin, kakak Miaoshan, juga berasal dari bodhisattva Gadgadasvara dalam sutra yang sama. Kakak keduanya, Miaoyan, berasal dari figur yang berada di istana raja Asoka. Pegunungan Xiangshan tempat Miaoshan mewujud juga sebenarnya adalah terjemahan dari Pegunungan Gandhamadana yang berasal dari Saddharmapundarika Sutra. Istilah-istilah ini diadaptasi oleh umat Taois.

Kisah Buddhis ini mulai tercampur aduk dengan kisah Taois setelah kitab Taois berkenaan dengan kisah tersebut muncul kemudian belakangan juga jadi favorit dalam novel-novel fiksi Xiangshan Baojuan, Sou Shenji masa Ming dan Guanshiyin Pusa Zhanlue yang disebutkan di atas.

Latar belakang ceritanya juga mulai dikarang ke dinasti-dinasti Tiongkok kuno bahkan hingga masa Buddha Kasyapa. Karena novel fiksi bercerita dengan asyik sehingga mampu menyebar ke masyarakat luas, cerita seperti inilah yang diturunkan nenek moyang kita pada kita dan akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dikarenakan adanya suatu sikap supremasi terhadap bangsa Tionghoa, maka umat-umat kelenteng banyak beranggapan agama Buddha dari India-lah yang kemudian mencomot Guanyin, padahal yang terjadi adalah justru sebaliknya.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness.

The post Guanyin, Pria atau Wanita? appeared first on .

Konferensi Asian Buddhism Connection ke-3

$
0
0

Sabtu (15/9) di auditorium Prasadha Jinarakkhita diadakan upacara pembukaan 3rd Asian Buddhism Connection yang diikuti oleh 16 negara di Asia dan Australia, yaitu: Australia, Bangladesh, Bhutan, Hongkong, India, Kamboja,
Korea Selatan, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Taiwan, Thailand, Sri Lanka, dan Vietnam, termasuk Indonesia Asian Buddhism Connection tahun ini mengangkat tema, “Buddhism, Women, and Education.”

Konferensi ini berlangsung selama 3 hari, dari tanggal 15 sampai 17 September 2018. Lucy Salim, Ketua Pelaksana Konferensi ini berharap agar kegiatan ini bermanfaat bagi kita semua. Konferensi ini tujuan khususnya adalah mengajak para wanita Buddhis untuk berkarier lebih baik dalam pendidikan dan Dhamma.

Lebih lanjut Bhikkhu Khemacaro selaku ketua Sangha Agung Indonesia menambahkan, “Konferensi ini memberi kesempatan bagi para bhikkhuni dan upasaka/upasika untuk berkomunikasi.”

Selang pemukulan gong sebagai tanda acara resmi dibuka oleh Caliadi, Dirjen Bimas Buddha, dilanjutkan pemaparan materi utama oleh Bhikkhu Ajahn Sujato dengan tema, “Biksuni dan Kepemimpinan Spiritual”, dan Bhikkhu Nyanasuryadi dengan tema, “Transformasi Spiritual dan Pendidikan Perempuan Buddhis.”

The post Konferensi Asian Buddhism Connection ke-3 appeared first on .

Munas Permabudhi dibuka Presiden Joko Widodo di Istana Negara

$
0
0

Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo membuka Musyawarah Nasional Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) di Istana Negara, Selasa (18/9). Munas ke-1 Permabudhi ini dihadiri oleh para bhikkhu Sangha dari berbagai mazhab dan ratusan umat Buddha dari 34 provinsi di Indonesia.

“Permabudhi ini sangat istimewa karena akan dibuka oleh Presiden Jokowi dan diselenggarakan di Istana Negara. Permabudhi merupakan wadah baru umat Buddha Indonesia yang didirikan 3 April 2008,” kata Arief Harsono, Ketua Umum Permabudhi seperti yang dilansir Merdeka.com.

Presiden Jokowi menandai pembukaan Munas dengan pemukulan gong. Sejumlah pejabat juga turut hadir dalam acara ini, di antaranya adalah Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri.

Dalam sambutannya, Presiden Jokowi kembali mengingatkan tentang kebesaran Bangsa Indonesia. “Saya ingatkan kepada semuanya, negara kita adalah negara besar. Oleh sebab itu, saya ingin mengajak kita semuanya marilah kita menjaga persatuan, karena aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, kerukunan dan persaudaraan,” tuturnya.

Sementara itu, Bhante Sri Pannyavaro dalam pesan Dhammanya menyampaikan ada enam faktor Dhamma yang bisa merawat kesatuan dan persatuan, yaitu; (1). Berperilaku/bertindak dengan cinta kasih, (2). Bertutur kata, menulis, bertegur sapa dengan cinta kasih, (3). Berpikir dengan cinta kasih, (4). Berbagi kebahagiaan. Keberhasilan dari satu lembaga (anggota Permabudhi) akan dirasakan seluruh anggotanya, (5). Menaati etika yang telah disepakati bersama, (6). Memiliki pandangan yang sama. Pancasila dasar negara RI adalah diṭṭhisammañata.

“Cinta kasih (mettā) dan kearifan (paññā) adalah inti dari Dhamma dalam semua mazhab,” terang bhante.

Bhante Pannyavaro menambahkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika yang dituliskan oleh seorang pujangga Buddhis Mpu Tantular di lontar Sutasoma pada zaman Majapahit yang menjadi salah satu dari 4 pilar persatuan dan kerukunan bangsa ini adalah kontribusi besar umat Buddha dalam meletakkan dasar filosofis kerukunan bangsa. “Bhinneka Tunggal Ika adalah jatidiri kita,” pungkasnya.

Munas Permabudhi selanjutnya Munas dilaksanakan di Hotel Grand Mercure Jakarta Harmoni di Jl. Hayam Wuruk No. 36-37 Jakarta.

The post Munas Permabudhi dibuka Presiden Joko Widodo di Istana Negara appeared first on .

Zen dalam Bencana

$
0
0

Hidup manusia memang dipenuhi bencana. Penderitaan kerap kali mengikuti, setelah bencana terjadi. Bencana yang menimpa Lombok dan Bali jelas merupakan hal menyedihkan yang menciptakan banyak penderitaan. Bagaimana kita memahami semua ini?

Pemikir asal Jerman, Viktor Frankl, berpendapat, bahwa segala bentuk penderitaan bisa dijalani, jika orang memiliki makna dalam hidupnya. Makna ini bisa berupa keluarga, nilai-nilai kehidupan atau Tuhan. Namun, bencana yang begitu menyakitkan kerap kali membunuh semua makna yang ada. Orang justru jatuh ke dalam rasa putus asa.

Dari kaca mata semesta, sebenarnya tidak ada bencana. Manusia yang menamai sebuah peristiwa sebagai “bencana’. Di mata semesta, yang ada hanyalah perubahan dari saat ke saat. Dengan memahami ini, kita sebenarnya sudah bisa mengurangi penderitaan yang ada, ketika bencana tiba.

Jantung hati Zen

Zen bergerak lebih jauh. Inti utama Zen adalah memahami jati diri kita yang asli. Jati diri ini terletak sebelum segala pikiran dan emosi. Ia adalah kesadaran diri (self-awareness) yang menjadi dasar bagi segala pikiran maupun emosi yang datang dan pergi.

Jalan paling cepat untuk sampai pada kesadaran diri ini adalah penyelidikan diri (self-enquiry), yakni dengan bertanya terus menerus “siapa saya?” (who am I?) Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan menggunakan pikiran, misalnya dengan mengacu pada nama atau beragam identitas sosial lainnya. Pertanyaan itu sendiri adalah jawabannya. Ia menunjuk langsung ke jati diri kita yang sebenarnya.

Jati diri kita yang sejati, sebenarnya, tidak mempunyai nama. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Buddha Nature. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Atman. Namun, sejatinya, ia tidak punya nama, karena ia berada sebelum pikiran dan konsep.

Zen dalam bencana

Ketika orang mengenali diri sejatinya, ia menjadi jernih. Ia lalu bisa melihat keadaan sebagaimana adanya (correct situation). Ketika kebahagiaan datang, ia sekedar bahagia. Ketika penderitaan dan bencana datang, ia pun sekedar menderita.

Kemampuan memahami keadaan juga bisa terus dikembangkan dengan hidup berkesadaran dari saat ke saat (mindful living). Ketika makan, arahkan perhatian sepenuhnya pada tindakan makan. Ketika berjalan, arahkan perhatian sepenuhnya ke tindak berjalan. Semua hal dilakukan dengan kepenuhan hati dari saat ke saat.

Namun, Zen tak berhenti disitu. Langkah kedua adalah melihat hubungan dengan keadaan yang terjadi (correct relation). Misalnya, dalam keadaan bencana, apa peran yang bisa kujalani? Apa yang bisa kulakukan pada detik ini, sehingga bisa mengurangi penderitaan yang ada?

Langkah ketiga adalah melakukan apa yang diperlukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Inilah yang disebut sebagai fungsi yang tepat (correct function) di dalam Zen. Mungkin, kita tak bisa menghentikan atau mencegah bencana. Namun, kita selalu punya kekuatan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik bagi mereka yang menderita, walaupun itu kecil. Tingkat pencerahan tertinggi di dalam tradisi Zen adalah kejernihan berpikir untuk menolong semua mahluk hidup dari saat ke saat.

Pada akhirnya, di dalam hidup, kita tidak bisa mengontrol semua hal. Sebagian besar peristiwa terjadi di luar kuasa kita, misalnya bencana alam. Namun, kita selalu punya kekuatan untuk menolong sekitar kita, sesuai dengan kemampuan yang kita punya. Tindak menolong ini didasarkan pada kejernihan pikiran, dan bukan ego yang suka pamer. Inilah yang perlu kita lakukan dari saat ke saat.

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Zen dalam Bencana appeared first on .

5 Hal Seru yang Bisa Dilakukan Saat Wisata Spiritual di Gunung Koya Jepang

$
0
0

Gunung Koya atau Koyasan adalah sebuah kawasan yang terletak di Prefektur Wakayama, sekitar 50 kilometer di selatan Kota Osaka, Jepang. Wilayah pegunungan di ketinggian 850 meter dpl ini ditemukan oleh seorang biksu bernama Kobo Daishi (Kukai) di tahun 819, saat ia melakukan perjalanan ke selatan menyusuri Osaka dan Nara ke arah Semenanjung Kii.

Kukai menyadari wilayah di sekitar puncak Gunung Koya ini dikelilingi oleh 8 puncak gunung yang membentuk kelopak teratai, yang dipercaya sebagai simbol kesucian. Gunung Koya juga merupakan tempat sebuah vajra yang dilemparkan Kukai dari China ke negeri asalnya mendarat. Itulah mengapa kemudian Gunung Koya dijadikan sebagai pusat pengajaran dan penyebaran agama Buddha Shingon, salah satu bentuk Buddhis Tantrayana khas Negeri Sakura.

Selama ratusan tahun, banyak orang datang dan mendalami ajaran Buddha di tempat ini untuk kemudian menyebarkannya ke seluruh Jepang. Wilayah Koyasan kemudian diakui sebagai situs warisan dunia UNESCO Jepang sejak tahun 2004, sebagai situs suci bersejarah dan rute perjalanan ziarah di Semenanjung Kii. Total ada 117 kuil dengan 52 kuil di antaranya adalah shukubo (tempat penginapan), di daerah seluas 6 kilometer kali 2 kilometer di Gunung Koya.

Ada berbagai kegiatan wisata spiritual seru yang bisa dilakukan di Gunung Koya. Ini adalah  5 di antaranya:


Pemandangan di Pagoda Konpon Daito di Koyasan.

1. Mengunjungi Kuil Legendaris Kongobuji

Kobo Daishi (Kukai) membangun kompleks kuil dan bangunan yang digunakan sebagai tempat pendidikan para biksu Buddhis. Kukai sendiri membuat berbagai bangunan kayu di puncak gunung itu sebagai tempat sakral. Ada lebih dari 100 bangunan kuil yang dibangun di area Gunung Koya. Salah satu yang paling terkenal adalah Kuil Kongobuji yang adalah kuil utama Shingon yang terletak di tengah-tengah daerah wisata Gunung Koya. Ini adalah kuil yang dubuat menjadi museum. Banyak peninggalan sakral maupun artistik dari era Kukai yang bisa dinikmati keindahannya di sini.


Suasana ritual pagi di salah satu penginapan kuil shukubo di Koyasan.

2. Mencoba menginap di kuil

Yang membuat Gunung Koya terkenal di mata wisatawan, terutama wisatawan luar negeri bukan hanya kompleks kuil yang ada di gunung ini saja. Di sini, pengunjung bisa merasakan pengalaman menginap di dalam kuil yang juga sekaligus menjadi penginapan yang disebut shukubo. Pengunjung bisa merasakan pengalaman ritual sehari-hari yang dipimpin pendeta Buddhis.

Ada sekitar 50 kuil di area Gunung Koya yang menyediakan layanan ini baik kepada para peziarah maupun pengunjung biasa. Pengunjung yang ingin mencoba menginap di kuil ini disarankan melakukan booking dahulu via online. Bila tidak sempat, datang saja ke Tourist Information Center di Koyasan yang akan mengarahkan untuk mendapatkan kamar di shukubo. Biaya menginap per malamnya sekitar 8.000-15.000 yen, dan beberapa ada yang sudah termasuk makan malam dan sarapan pagi. Kita juga bebas berkeliling ruangan di dalam kuil, taman, perpustakaan atau ruang baca, dan juga pemandian air panas di beberapa kuil tertentu.

Fasilitas penginapan di dalam kuil ini hampir setara dengan ryokan (penginapan tradisional Jepang). Ruangan dilengkapi dengan alas tatami, pintu dorong fusuma, dan tempat tidur futon. Tersedia juga penghangat ruangan saat akhir musim gugur dan musim dingin.


Menu makan malam vegetarian di salah satu shukubo di Koyasan.

3. Makan malam dengan menu monastik

Sebaiknya pengunjung sudah tiba dan masuk ke penginapan kuil sekitar pukul 16.00. Selain karena terkait masalah etika di area kuil, biasanya pengunjung harus bersiap untuk makan malam sekitar jam 18.00. Ada menu vegetarian (shojin ryori) khas monastik yang dihidangkan setiap malam dan pagi hari.

Beberapa menu yang mungkin bisa dicoba antara lain konnyaku (devils tongue jelly), yuba (kulit tahu), dan koyadofu (tahu kering). Beberapa makanan lainnya yang khas Koyasan antara lain tempura soba dan oyako katsu don. Di pagi hari pengunjung juga bisa bergabung dalam ritual kebaktian pagi bersama jam 6, yang kemudian disambung dengan sarapan bersama jam 7.

4. Mengelilingi kawasan Gunung Koya

Gunung Koya selalu punya pemandangan alam yang menawan yang bisa dinikmati dalam perjalanan dari stasiun hingga ke tempat penginapan atau kuil di lereng gunung. Meski saat musim panas, suhu di kawasan ini cukup dingin, jadi ada baiknya membawa pakaian yang tebal.

Untuk berkeliling kawasan Koyasan, terdapat bus umum yang cukup mudah aksesnya. Apabila kuat, jalan kaki merupakan sarana yang paling mudah untuk mengelilingi berbagai objek wisata di Koyasan, sebab jaraknya tidak terlalu jauh. Apabila kehausan, terdapat minimarket di yang menjual berbagai minuman, termasuk sake kalengan. Patut diketahui, meskipun Pancasila Buddhis melarang minum minuman yang memabukkan, Kukai memperbolehkan para biksu untuk meminum sake dalam porsi sedang, untuk menghangatkan badan.


Penulis bermeditasi di area pemakaman Okunoin di Koyasan.

5. Mengunjungi kompleks pemakaman terbesar di Jepang

Pemakaman terbesar di Jepang ada di Koyasan. Okunoin namanya, berisi lebih dari 200.000 nisan, yang mayoritas adalah biksu atau pendeta Buddhis. Area pemakaman berada dalam hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon raksasa berusia hingga ribuan tahun.

Di ujung perjalanan menjelajahi makam sekitar lebih dari 2 kilometer, terdapat mausoleum, atau makam sekaligus museum Kobo Daishi atau Kukai. Ini adalah tempat sakral yang merupakan jantungnya Koyasan. Namun di sini pengunjung dilarang mengambil gambar atau memotret. Cukup menyimpan imaji indah yang dilihat di memori saja.

Untuk menuju Koyasan, sebenarnya tidak terlalu sulit. Dari Stasiun Namba di Osaka, kita bisa naik kereta Nankai Koya Line sampai Stasiun Gokurakubashi yang terletak di kaki Gunung Koya. Lama perjalanannya sekitar 90 menit dengan ongkos 870 yen. Kemudian dilanjutkan dengan naik kereta gondola Nankai Koyasan Cable sampai Stasiun Koyasan seharga 390 yen, dilanjutkan dengan naik bus dari Stasiun Cable-Car sampai ke Kuil Koyasan dengan ongkos 20 yen.

Kalau dari Stasiun Kyoto, kita bisa naik kereta JR Kyoto Line sampai Stasiun Osaka, kemudian berpindah ke kereta JR Yamatoji sampai Stasiun Shinimamiya. Lama perjalanan sekitar 40-45 menit, dengan ongkos 920 yen. Dari Stasiun Shinimamiya, kita tinggal naik kereta Nankai Koya Line sampai Stasiun Gokurakubashi. Lama perjalanannya sekitar 95 menit dengan ongkos 870 yen.

Sementara, dari Stasiun Nara, kita bisa naik kereta JR Yamatoji sampai Stasiun Shinimamiya. Lama perjalanan sekitar 35 menit, dengan ongkos 560 yen. Dari Stasiun Shinimamiya, kita tinggal naik kereta Nankai Koya Line sampai Stasiun Gokurakubashi. Kemudian, tinggal naik cable train selama kurang lebih 5 menit sampai ke puncak Gunung Koya.

Selamat berwisata!

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja.

 

The post 5 Hal Seru yang Bisa Dilakukan Saat Wisata Spiritual di Gunung Koya Jepang appeared first on .


Sulak Sivaraksa Gagal Datang, INANEB Tetap Lakukan Diskusi di Jakarta

$
0
0

Indonesian Network of Engaged Buddhis (INANEB) kembali gelar pertemuan Minggu, (16/9/2018), di Restoran Eka Ria Jakarta. Ini adalah pertemuan yang ketiga sejak berdirinya Jaringan Engaged Buddhist Indonesia ini pada 7 Oktober 2017 di Restoran Eka Ria.

INANEB merupakan jaringan yang terdiri dari individu-individu dan lembaga yang ingin berkontribusi bagi masyarakat dengan landasan Buddhadharma.

“Dengan jaringan ini, kita akan lebih mudah untuk memberdayakan sumber daya (manusia, finansial, organisasi) yang tersedia sehingga menjadi lebih efisien dan efektif. Setiap lembaga dan individu bisa saling melengkapi demi tujuan bersama yang baik,” terang Agus Hartono, saat memandu diskusi.

Pada awalnya, pertemuan ini akan dihadiri pendiri International Network of Engaged Buddhists (INEB), Sulak Sivaraksa, Thailand. Namun, menjelang keberangkatannya ke Jakarta, Sulak dicekal pihak imigrasi Thailand. “Informasi yang kami terima, pencekalan dilakukan terkait dengan sikap kritis Sulak terhadap institusi kerajaan Thailand,” sesal Agus.

Sulak Sivaraksa adalah seorang intelektual Buddhis, aktivis lintas agama, dan pemerhati pembangunan dan persoalan sosial yang terkemuka. Ia adalah pengagas utama bahwa umat Buddha harus peduli dan terlibat dalam berbagai persoalan sosial, ekonomi, lingkungan, dan budaya yang dihadapi masyarakat. Ia pernah diminta menjadi penasihat World Bank dan menginisiasi gerakan pendidikan alternatif dan pemberdayaan pemuda di berbagai penjuru dunia.

“INEB dan Sulak adalah inspirasi berdirinya INANEB, tentu kita sedih mendengar berita pencekalan beliau. Tapi pertemuan ini harus tetap kita laksanakan.”

Upaya membangun sinergi dan aksi kemanusiaan bersama

Pertemuan ini dihadiri oleh lebih dari 50 orang dari berbagai lembaga dan organisasi Buddhis di Indonesia. Di antaranya; Institut Nagarjuna, Hikmahbudhi, Wanita Theravada Indonesia (WANDANI), Institut Kewarganegaraan Indonesia dan beberapa tokoh Buddhis seperti Ayya Santini. Hadir pula Sekjen INEB, Somboon Chungprampree (biasa disapa Moo).

Berbagai aksi sosial yang sudah berjalan, sedang dijalankan maupun akan dijalankan dibahas dalam pertemuan ini. Seperti aksi INEB, Ayya Santini, Hikmahbudi membantu dan menyalurkan bantuan untuk korban Lombok.

Salah satu pokok bahasan yang menarik adalah upaya WANDANI dalam melakukan pemberdayaan ekonomi umat Buddha di pedesaan Temanggung. “Kami mencoba mencari potensi yang bisa dikembangkan di desa. Tujuan pertama sebenarnya Lombok, melalui pengolahan kacang mede, tapi karena ada kendala jadi tertunda dan pindah ke Dusun Cendono, Kecamatan Kaloran,” tutur Yogi, salah satu pengurus PP WANDANI.

“Di Dusun Cendono,” lanjutnya, “Masyarakat masih banyak yang melakukan pekerjaan menderes (mengambil nira aren) untuk dijadikan gula. Selain gula batok (batok; kulit kelapa biasa digunakan untuk mencetak gula aren) mereka juga membuat gula semut yang pada awalnya untuk dikonsumsi sendiri. Dari situ kami mulai berpikir, gula ini kan sehat dan mempunyai nilai tinggi kalua diproduksi dan dipasarkan dengan baik.”

Bukan tanpa kendala, menurut Yogi, pada awal memulai mendampingi petani dusun Cendono banyak rintangan yang harus dilalui. “Pernah gula itu menumpuk 1 kwintal di rumah Bu Wenny, haduh mau diapakan gula ini. Masih bingung pemasarannya, salah satu upaya memasarkan gula ini kami menggandeng Dai TV untuk membuat meliput dan membuat video promosi,” pungkas Bu Yogi.

“Inilah gunanya kita berjejaring melalui INANEB ini. Kita bisa saling bersinergi dan melengkapi sesuai kapasitas masing-masing,” timpa Suparjo.

The post Sulak Sivaraksa Gagal Datang, INANEB Tetap Lakukan Diskusi di Jakarta appeared first on .

Ajahn Sujato: Diskriminasi terhadap Perempuan Disengaja oleh Laki-laki

$
0
0

Hingga saat ini belum, semua negara bisa menerima keberadaan Sangha bhikkhuni. Salah satu alasan penolakan adalah Sangha bhikkhuni setelah masa Buddha telah putus dan tidak ada penerusnya. Kegiatan 3rd Asian Buddhism Connection bertujuan untuk menyatukan seluruh pendapat para panelis dari 16 Negara di Asia dan Australia terutama berkaitan dengan pendidikan dan perempuan dalam Buddhis.

“Mulanya penahbisan bhikkhuni mendapat penolakan yang berakar dari Theravada. Padahal, kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa kini,” jelasnya Ajahn Sujato mengawali pemaparan materinya, pada 3rd Asian Buddhism Connection, Sabtu (15/9/2018) lalu di Auditorium Prasadha Jinarakkhita.

Ajahn Sujato menjadi pembicaara kunci pada Konferensi Internasional ini. Ia merupakan salah satu bhikkhu yang ditahbiskan dalam silsilah Ajahn Chah, selanjutnya ia tinggal selama 3 tahun di Bodhinyana Monastery (Perth) sebagai sekretaris dari Ajahn Brahmavamso. Bhikkhu ini adalah Founder of Santi Forest Monastery, Australia yang pada sesi pemaparan utama ini dengan tema, “Bhikkhuni dan Kepemimpinan Spiritual.”

Menurut Ajahn Sujato, diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya sebagaimana adanya, melainkan aktif dan sengaja dibangun oleh laki-laki. Dari sikap itu, dunia yang seharusnya bisa menjadi lebih adil dan damai malah menjadi dunia yang banyak terjadi kasus pelecehan, penggertakan, dan penyalahgunaan perempuan.

Namun, pada masa kini, Sangha bhikkhuni telah berkembang dalam Theravada dengan melakukan berbagai kegiatan seperti berlatih, belajar, melayani, beribadah, mendukung komunitas, menginspirasi dan menjadi teladan bagi masyarakat.

“Untuk mengatasi masalah yang terjadi, hendaknya kita mengembangkan welas asih, kebaikan, pemahaman, kebebasan, dan mendengarkan dengan baik. Apabila kita mendukung aspirasi perempuan untuk menjalankan kehidupan keagamaan, maka secara tidak langsung kita mengangkan derajat perempuan sekaligus derajat laki-laki,” tegas Ajahn Sujato mengakhiri pemaparannya.

Pendapat yang sama diutarakan oleh Bhikkhu Nyanasuryanadi sebagai narasumber kedua. Dosen sekaligus Nayaka Theravada Sangha Agung Indonesia (SAGIN) ini menuturkan dalam pandangan Buddhis perempuan memiliki peran yang setara dalam pengembangan spiritual.

“Perempuan saat ini menjadi perhatian khusus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbeda dengan zaman sebelum Buddha, perempuan dianggap sebagai yang rendah dan diperlakukan tidak sewajarnya,” jelas Dosen STAB Smaratungga ini.

Pada masa Buddha, peran perempuan dalam lingkungan Sangha dapat dilihat dari perjuangan Prajapati Gotami untuk menjadi bhikkhuni agar bisa mengangkat derajat perempuan setara dengan laki-laki.

“Melalui tranformasi diri dan sosial yang membantu mengenali diri serta melalui pencarian diri dan praktik spiritual akan membuat mereka mengubah diri menjadi sumber kebijaksaan, belas kasih, kesetaraan, dan keteguhan yang memiliki pandangan non-sektarian, inklusif, pluralism universalis, dan berkeyakinan kepada Dharmakaya,” pungkas bhante.

The post Ajahn Sujato: Diskriminasi terhadap Perempuan Disengaja oleh Laki-laki appeared first on .

Musim Gugur, Kelinci, dan Kue Bulan

$
0
0

Apabila di Barat kita mengenal hari Thanksgiving, maka di Timur ada Mid Autumn Festival atau Festival Pertengahan Musim Gugur (中秋節 Zhōngqiū Jié). Festival ini jatuh pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan lunar China dan dirayakan oleh orang-orang Tionghoa di seluruh dunia.

Tidak hanya itu saja, bahkan festival ini juga dirayakan di beberapa negara di Asia Tenggara terutama di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Makna perayaan ini hampir mirip dengan Thanksgiving yaitu menyambut hasil panen yang berlimpah.

Selain itu, Festival Musim Gugur juga merayakan kebersamaan bersama keluarga dimana anggota keluarga akan pulang dan berkumpul serta berdoa bersama.

Asal 

Festival Musim Gugur merupakan salah satu festival tertua yang diadakan oleh manusia. Sejarah mencatat festival ini telah dirayakan sejak jaman Dinasti Shang (1600-1046 SM). Meskipun demikian, perayaan ini baru mulai populer di masa Dinasti Tang (618-907 M).

Pada perayaan ini, bulan memegang peranan penting. Contohnya bagi orang-orang Zhuang, mereka percaya bahwa matahari dan bulan ada sepasang suami-istri sedangkan bintang-bintang adalah anak-anak mereka. Ketika bulan penuh, maka bulan sedang hamil. Sedangkan bulan berbentuk sabit, artinya bulan telah melahirkan anaknya (bintang). Kepercayaan ini begitu mendalam sehingga para wanita akan memberikan persembahan kepada bulan.

Persembahan juga ditujukan kepada Dewi Bulan Chang’e. Mitos terkait Chang’e dan penyembahan bulan memiliki dua versi. Yang pertama, Chang’e adalah istri dari Hou Yi – seorang pahlawan dengan keahlian memanah yang lihai. Suatu ketika, muncul 10 matahari yang menyebabkan kesulitan bagi banyak orang. Huo Yi memanah 9 dan menyisakan 1 matahari.

Atas aksi heroiknya, sesosok dewa memberikan ramuan hidup abadi kepada Huo Yi. Huo Yi yang tidak ingin hidup abadi seorang diri, meminta istrinya untuk menyimpan dan merahasiakan ramuan tersebut. Tetapi rahasia ini diketahui Peng Meng, salah satu murid Huo Yi. Saat Chang’e seorang diri di rumah, Peng Meng datang dan memaksa Chang’e untuk menyerahkan ramuan tersebut. Tetapi Chang’e menolak dan meminumnya sendiri.

Akhirnya Chang’e menjadi abadi dan terbang ke langit untuk menjauhi Peng Meng. Namun karena tidak ingin berjauhan dengan suaminya, Chang’e memilih berdiam di bulan. Huo Yi yang mengetahui hal itu merasa sedih. Untuk memperingati istrinya, dia mempersembahkan kue dan buah-buahan kesukaan istrinya di halaman. Tetangga yang mengetahui kisah ini mulai mengikuti ritual Huo Yi dengan memberikan persembahan kepada bulan.

Versi kedua menceritakan bahwa setelah Huo Yi menjadi pahlawan, dia diangkat menjadi kaisar. Tetapi sayangnya dia berubah menjadi beringas dan kejam. Agar bisa hidup abadi, dia meminta Xiwangmu obat umur panjang. Chang’e yang tidak ingin rakyat menderita berkepanjangan, meminum obat itu dan terbang ke bulan. Huo Yi yang murka tak lama kemudian meninggal. Rakyat yang bahagia kemudian mulai memberikan persembahan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas pengorbanan Chang’e.

Kelinci bulan

Dalam mitologi China, terdapat juga legenda mengenai seekor kelinci yang tinggal di bulan sambil memukul lesung untuk membuat ramuan obat (玉兔搗藥 Yutu Daoyao). Legenda ini tampaknya berakar dari cerita Buddhis yaitu Sasa Jataka (No. 316). Jataka ini menceritakan tentang seorang brahmana yang meminta beberapa hewan untuk memberikan makanan. Hewan-hewan ini antara lain seekor monyet, serigala, berang-berang, dan kelinci. Semua hewan mampu membawakan makanan tetapi tidak dengan si kelinci.

Si kelinci memaksa untuk mengorbankan dirinya sendiri dan terjun ke dalam bara api di hadapan brahmana. Ajaibnya, api itu tidak panas dan ternyata brahmana itu adalah jelmaan Dewa Sakka yang berniat menguji nilai kebajikan para hewan ini. Atas sikap rela berkorbannya, Dewa Sakka menempatkan gambaran kelinci di bulan.

Dalam legenda versi China, kelinci ini tinggal di bulan sambil membuat ramuan obat dan menemani Dewi Bulan Chang’e. Cerita serupa tentang seekor kelinci di bulan juga dapat ditemukan dalam cerita-cerita rakyat di Korea, Jepang, Indian Amerika, dan Aztec/Meksiko.

Kue bulan

Salah satu penganan yang wajib ada dalam perayaan Musim Gugur adalah kue bulan (mooncake atau 月餅 yuebing). Secara tradisional, kue ini berbentuk bulat atau kotak dengan kulit luar crust dan isian lembut didalamnya. Isian ini bisa berupa pasta biji teratai, kacang manis, dan jujube.

Kadang ada pula diisi kuning telur bebek di dalamnya untuk menyerupai bulan purnama. Masing-masing daerah di China memiliki ragam variasi kue bulannya sendiri seperti versi Teochew, versi Kanton, dan versi Taiwan. Sekarang ini populer pula versi modern kue bulan dengan kulit berwarna putih salju atau kulit jelly.

Di atas kue bulan biasanya terdapat motif yang menggambarkan simbol-simbol Tionghoa atau didesain dengan kaitan Perayaan Musim Gugur. Kue ini biasanya akan dipotong kecil-kecil dan dimakan bersama dengan keluarga atau sahabat ditemani dengan teh hangat dan buah-buahan.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Musim Gugur, Kelinci, dan Kue Bulan appeared first on .

Keluar dari Bahaya Masuk Mulut Cerpelai

$
0
0

Hartini Soewondo seorang pakar arkeologi mengatakan terkait dengan Candi Jago di Jawa Timur dalam salah satu panelnya, relief binatang yang merangkak menuju bukit di atas adalah seekor cerpelai, sejenis musang yang senang memakan ular. Hartini mengatakan hal itu berdasar relief sejenis yang ada di dinding permandian candi penataran yang juga menggambarkan cerita sejenis.

Krom menyebut binatang itu adalah seekor kadal atau buaya. Cerita ini terdapat dalam kitab  Hitopadeça, Pañchatantra Pañchākhyānaka, Pañchatantra Tantrākhyāyika, Kathā Sarit Sāgara dan Hikayat Kalila dan Damina, binatang yang ada dalam masing masing kitab itu berbeda.

Di Gunung Gṛdharakuṭa bersarang burung-burung bangau. Di bawah sarang para burung itu terdapat sebuah lubang tempat tinggal seekor ular yang sering memakan anak-anak bangau tersebut.

Melihat keadaan itu, seekor bangau tua memberi saran agar para bangau itu meletakkan ikan berderet dari lubang cerpelai hingga ke lubang tempat si ular tinggal sehingga nanti saat Cerpelai mulai memakan ikan dan sampai ke lubang ular, ia akan memakan juga ular itu sehingga masalah gangguan atas para bangau itu akan selesai.

Para bangau pun menjalankan nasihat bangau tua itu. Memang seperti yang dikatakan bangau tua itu yang terjadi, namun ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika Cerpelai itu mendengar cicit suara anak-anak bangau di dalam sarang, Cerpelai pun mendatangi sarang para burung bangau itu dan memakan habis semua anak-anak bangau itu semua.

Inti dari cerita ini adalah “Belum tentu nasihat yang baik akan berakhir dengan baik pula. Pikirkanlah secara matang segala tindakan yang akan dilakukan dengan segala akibat yang akan terjadi.”

Goenawan A. Sambodo

Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.

The post Keluar dari Bahaya Masuk Mulut Cerpelai appeared first on .

Praktik Kalachakra Tantra

$
0
0

Praktik Kalachakra Tantra, sebagaimana halnya semua sistem tantrik Buddhis, didasarkan pada, awalnya menerima inisiasi yang layak dan sesuai. Agar inisiasi dapat diberikan dan diterima secara layak, baik guru maupun muridnya, perlu memiliki kualifikasi tertentu.

Kualifikasi seorang guru Tantrayana, sebagaimana dijelaskan oleh Losang Chokyi Gyaltsen adalah sebagai berikut: “Ia seharusnya memiliki pengendalian atas tubuh, ucapan, dan pikiran. Dia harus cerdas, sabar, dan tidak memiliki pandangan salah/sesat. Ia harus mengetahui mantra dan tantra, memahami kesunyataan, dan kompeten dalam menyusun serta menjelaskan naskah-naskah.” Kita sungguh beruntung bahwa guru-guru seperti itu masih dapat ditemukan pada masa kini.

Siswa harus memiliki pengalaman dalam tiga aspek prinsipil dari Jalan Mahayana: pelepasan dari samsara, bodhicitta, dan memahami kesunyataan. Jika sang siswa belum benar-benar mengalami hal ini, maka siswa laki-laki atau siswa perempuan ini setidaknya harus memiliki keakraban secara intelektual serta menghargai ketiga aspek ini.

Yang terpenting dari ketiga aspek ini ialah bodhicitta, motivasi utama untuk mengambil inisiasi. Dalam Abhisamayalankara Maitreya mendefinisikan bodhicitta sebagai berikut: “Bodhicitta adalah tekad terhadap Pencerahan Sempurna yang sejati, demi makhluk lain.” Ketika diterapkan dalam kondisi khusus saat menerima inisiasi Kalachakra, siswa seharusnya menumbuhkan bodhicitta dalam cara sebagai berikut; “Demi semua makhluk, aku harus mencapai tingkatan Shri Kalachakra. Dengan demikian, aku juga akan dapat mengembangkan semua makhluk yang lain dalam tingkatan Shri Kalachakra pula.” Demikianlah, seseorang seharusnya mengambil inisiasi dengan motivasi seperti ini.

Tujuan umum dari inisiasi tantrik adalah bahwa dengan melalui inisiasi, guru dapat menuai keseluruhan lahir batin siswa. Dalam hal ini, “menuai” berarti menguatkan siswa untuk mempraktikkan yoga baik dalam proses pengembangan maupun dalam proses penyempurnaan. Secara khusus, inisiasi Kalachakra menguatkan siswa untuk mempraktikkan yoga Kalachakra Tantra, dan terutama, untuk mencapai tingkatan Shri Kalachakra.

Ada sebelas inisiasi (abhiseka) Kalachakra: tujuh inisiasi dari “memasuki bagaikan seorang bocah,” tiga inisiasi “mulia,” serta satu inisiasi “yang tertinggi.” Para siswa yang secara temporer hanya berminat terhadap siddhi/pencapaian duniawi (baik pencapaian magis maupun mistis) hanya akan diberikan ketujuh inisiasi yang lebih rendah.

Mereka yang terutama berminat terhadap siddhi transendental dalam Kebuddhaan, merekalah akan diberi keseluruhan dari sebelas inisiasi. Tujuh inisiasi pertama yang termasuk “memasuki bagaikan seorang bocah” merupakan inisiasi dengan menggunakan air. Hal ini dianalogikan seperti seorang ibu yang memandikan anaknya segera setelah melahirkannya.

Inisiasi kedua merupakan inisiasi pemahkotaan, yang dilambangkan dengan mengikat sejumput rambut anak kecil. Yang ketiga, inisiasi pita, dianalogikan dengan menindik telinga anak-anak serta mendandaninya dengan berbagai hiasan. Inisiasi keempat, inisiasi vajra dan genta, dianalogikan dengan seorang bocah yang berbicara dan tertawa. Inisiasi ke lima adalah inisiasi disiplin/sila, yang dianalogikan dengan kesenangan kanak-kanak terhadap lima objek kesenangan indera. Keenam adalah inisiasi nama, dianalogikan dengan memberi nama pada seorang anak. Ketujuh, dan merupakan yang terakhir, inisiasi dari memasuki bagaikan seorang bocah, adalah inisiasi otorisasi penjapaan mantra.

Inisiasi tersebut menguatkan siswa agar dapat secara total menghancurkan halangan dan mencapai kekuatan magis untuk menenangkan/menyucikan, meraih kesejahteraan, penaklukan, serta penghancuran (santika, paustika, vasikarana, dan abhicaruka).

Ketiga inisiasi mulia adalah sebagai berikut: inisiasi vas/kendi/kalasa merupakan pemahaman dari suka cita dan kekosongan yang tumbuh dalam diri siswa saat menyentuh buah dada pasangan. Inisiasi rahasia adalah pemahaman tentang suka cita dan kesunyataan yang muncul saat siswa secara sangat total dan mendalam menghargai bodhicitta, inisiasi intuisi kebijaksanaan merupakan pengalaman tentang sukacita yang sangat halus dan mendalam yang muncul dari siswa dan pasangannya saat terlibat dalam penyatuan (yab-yum).

Inisiasi yang tertinggi juga disebut “inisiasi keempat” atau “inisiasi kata-kata.” Inisiasi intuisi kebijaksanaan agung yang terdahulu menumbuhkembangkan siswa untuk mencapai tahapan bodhisattva kesebelas. Kemudian guru secara simbolis mengindikasikan Tubuh Intuisi (Dharmakaya) yang merupakan integrasi dari sukacita dan kesunyataan agung, yang tertinggi dan tak berubah, yang memiliki semua yang terbaik dalam segenap aspeknya. Menyatakan, “Inilah itu,” Guru menganugerahkan inisiasi keempat pada siswa. Inisiasi ini menguatkan siswa untuk mencapai Kebuddhaan sempurna dalam wujud Shri Kalachakra.

*Diterjemahkan dari bahasa Tibet dan diedit dalam bahasa Inggris oleh John Newman. (www.dalailama.com)

The post Praktik Kalachakra Tantra appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live