Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Candi Mendut, Candi yang Dicari oleh Para Lama Tibet

$
0
0

Geshe Tenzin Zopa berkenan menjelaskan tentang Candi Mendut, berikut penjelasannya yang kami rangkum dalam tulisan pendek ketika kunjungannya di Candi Mendut beberapa waktu silam.

Salah satu bukti yang dapat kita lihat hari ini, di sekitar Candi Mendut, kita akan melihat Candi Bunda Tara, kita akan melihat banyak delapan candi bodhisattva lainnya, dan yang paling penting dari semua itu, kita bisa melihat Buddha Maitreya di Candi Mendut ini, melihat Chenrezig, dan Vajrapani di sini.

Arca Maitreya ada lebih awal dari stupa Borobudur seperti yang sudah diajarkan oleh arkeologi dan kita dapat melihatnya dalam sejarah. Karena itu, seperti yang saya sebutkan bahwa para praktisi ini, mereka tidak akan meletakkan arca sesuka-hatinya; pokoknya di mana pun asal ada tempat saja. Ada hal yang sangat penting bahwa di lahan tertentu saja, dan sesuai dengan tempat yang tepat dan ada kaitannya dengan yang dipraktikkan.

Pertemuan di antara dua sungai yang bersebelahan dengan Candi Mendut

Apa yang kita lihat dalam sejarah pertemuan kedua sungai yang berada dekat di sebelah sini (Candi Mendut) dan tempat ketika Lama Atisha bertemu dengan Lama Serlingpa, dan saat Lama Atisha tinggal selama 12 tahun serta bermeditasi tentang bodhicitta dan mendapatkan realisasinya.

Saya pikir Candi Mendut ini adalah yang paling penting. Tidak ada seorang pun dari para Lama dari Tibet atau bahkan bhikkhu utama Theravada di sini, begitu juga termasuk sejarawan, arkeolog, tidak ada satu pun yang benar-benar memperhatikan/peduli akan tempat yang utama ini.

Ada salah satu pembicara yang juga seorang ahli purbakala yang sangat senior, ia seorang profesor di universitas dan ia secara terbuka mengatakan bahwa mereka masih belum mengetahui tempat yang tepat, mereka masih mencari.

Saya agak tidak sengaja, kebetulan berada di sini dan tidak ada yang membicarakan tempat ini. Karena meski secara lahiriah kita melihat candi ini agak rusak, dan pas di samping jalan raya menuju Borobudur tapi umumnya orang-orang mengabaikannya, bahkan pemandu wisata kebanyakan tidak membawa orang ke sini karena tidak begitu menarik.


Foto: Javaloka.com

Lama Serlingpa mendapatkan pandangan langsung dari Maitreya

Candi Mendut tidak menonjol secara bangunan, itu sebabnya banyak Lama dari Tibet yang mencoba mencari tahu tempat ini tapi kemudian mereka tidak diperkenalkan ke tempat ini, tapi mungkin mereka kehilangan jejak tentang tempat ini.

Saya tidak tahu untuk orang lain. Bagi saya tempat ini sangat berarti. Saya pikir jika kita menggunakan penalaran logis tempat ini sangat penting untuk latihan/praktik ini. Bisa jadi tempat tinggal Lama Atisha selama dua belas tahun. Bisa jadi tempat Lama Serlingpa memiliki visi langsung tentang Maitreya. Itu sebabnya arca ini ada di sini. Untuk Lama Serlingpa, pengerjaaan hal-hal besar terjadi di Sumatera dan tempat lain… saya tidak tahu namanya.

Arca Buddha Maitreya di Candi Mendut ini seharusnya berada di sana (Sumatera) tapi mengapa arca ini ada di sini? Ada bangunan candi-candi megah, bangunan monumen yang bagus tapi kita tidak dapat melihat monumen semacam ini di sana.

Bagi para praktisi Mahayana dan Vajrayana, saya pikir tempat ini dapat memberi kita keuntungan besar untuk menerima berkah di hati kita untuk pengembangan bodhicitta. Salah satu alasan mengapa kita pergi dan mengunjungi tempat-tempat suci di seluruh dunia, memberikan banyak usaha secara fisik, keuangan, waktu adalah untuk menerima berkat ke dalam hati kita yang berkaitan dengan para Buddha, Guru, dan praktik tersebut.

Tantangan Lama Atisha untuk menerima restu

Bagi mereka yang terinspirasi untuk menumbuhkan welas asih yang besar, mereka yang terinspirasi untuk menjadi Buddha, ingin mewujudkan altruisme (sifat yang tidak mementingkan kepentingan orang lain), saya pikir tempat ini adalah tempat yang tepat bagi kita untuk menerima restu secara khusyuk melalui keyakinan dan keyakinan yang kita bangun dengan mendengarkan cerita, mendengarkan apa yang terjadi di masa lalu.

Salah satu cerita yang membawa dampak kuat ke dalam hati kita adalah kisah Lama Atisha Dipankara selama dua belas bulan berlayar dari pusat India menuju Sumatera melalui lautan untuk datang ke sini hanya untuk satu tujuan untuk menerima berkat bodhicitta. Jika hanya diartikan lewat sepotong kata saja, sangat sedikit artinya, sangat minim kata-katanya.

Transmisi ajaran bodhicitta Tujuh – Teknik/Metode dari hukum Sebab dan Akibat hanya beberapa kata saja. Mungkin hanya tujuh kata saja. Tapi kemudian untuk menerima berkat dari rangkaian mental kita, ini membutuhkan dedikasi yang luar biasa, ini membutuhkan penyucian yang luar biasa, ini membutuhkan banyak jasa kebaikan. Dengan melalui begitu banyak kesulitan, hanya untuk berada di sini untuk menerima berkat itu. Dalam perihal kita, sangat mudah kita terbang, kita datang dengan pesawat terbang, kita tinggal di hotel yang nyaman.

Perjalanan untuk tujuan yang sama

Dengan demikian, saya yakin bahkan arca yang megah ini dan tempat ini tidak mempunyai akses begitu mudah untuk saat itu. Mungkin sekarang jauh lebih baik, siapa tahu, jadi apapun caranya melalui mendengarkan dedikasi dari Lama Atisha, maka kita pun punya tujuan yang sama. Hanya saja kurang kesulitannya. Jaraknya sangat jauh, beberapa dari kalian datang dari Amerika, Australia, dan lain-lain. Jaraknya cukup jauh.

Saya sendiri datang dari Himalaya. Untuk perjalanan yang lebih mudah dengan tujuan yang sama, tapi kita mendapat manfaat yang sama. Lebih dari itu dengan restu yang sudah diselesaikan oleh Lama Atisha, agar kita mendapat restu lebih mudah dari itu.

Karena itu, lagi-lagi kita semua merasa sangat bernasib baik dan merasa beruntung dan merasa bahagia dan mencoba merasakan kehadiran Buddha Maitreya tidak dalam bentuk arca tapi dalam bentuk sebenarnya. Cobalah untuk menggunakan visualisasi kita sendiri. Cobalah kembali sekali lagi, bagaimana Lama Serlingpa memiliki visi Buddha Maitreya, telah menerima restu ajaran ini. Tentu saja, Lama Serlingpa menerima secara pribadi dari keberadaan gurunya, Dhammarakshita di India. Lama Serlingpa juga sebelumnya telah melakukan perjalanan ke India.

Salah satu yang paling istimewa dari Lama Serlingpa yang memiliki silsilah ajaran ini, bukan karena dia menerima dari seseorang tertentu saja, atau seorang guru besar tertentu saja, melainkan karena dia memiliki komunikasi khusus, komunikasi langsung dengan Buddha Maitreya.

Semoga kita masing-masing menerima transmisi langsung berkat bodhicitta, terutama, Tujuh – Teknik/Metode dari hukum Sebab dan Akibat langsung dari Buddha Maitreya seterusnya sampai dari silsilah dari guru kita dan untuk diri sendiri.

The post Candi Mendut, Candi yang Dicari oleh Para Lama Tibet appeared first on .


Meditasi Purnama di Rumah Centhini

$
0
0

Bulan sudah terlihat bulat sempurna sore hari saat meditasi dimulai. Shinta Soemarso, seorang praktisi meditasi vipassana mengajak para peserta untuk naik ke lantai 2 rumah kediaman Elizabeth D. Inandiak untuk memulai sesi meditasi bertajuk, “Malam Purnama Centhini.”

Rumah Centhini, Kabupaten Sleman, Yogyakarta kembali mengadakan latihan meditasi bersama Senin (24/9). Kali ini merupakan pertemuan kedua setelah meditasi bersama Kang Zaim Senin (3/9). Acara ini diikuti oleh lebih dari 25 orang dari Yogyakarta, Semarang, Temanggung, Klaten, dan Wonosobo.

Dengan beratapkan langit dan beralas tikar para peserta mengambil posisi duduk melingkar. Tak berselang lama, suara Mbak Shinta terdengar mulai mengarahkan. “Silakan mengambil posisi duduk bersila dengan nyaman. Kali ini kita akan melakukan meditasi memancarkan cinta kasih pada segala kehidupan di alam semesta.”

Mata mulai dipejamkan, bunyi bel mulai terdengar bertalu-talu sebanyak tiga kali sebagai tanda meditasi dimulai. “Rasakan tubuh Anda mulai dari kaki yang bersentuhan dengan lantai, badan Anda, kepala Anda dan kendorkan otot-otot yang tegang, buat senyaman mungkin,” Mbak Shinta mengarahkan.

“Sekarang, mulai memancarkan cinta kasih yang pertama kepada diri Anda, secara perlahan kepada orang terdekat Anda kemudian kepada semua makhluk di alam semesta.” Meditasi berlangsung selama 25 menit.

Malam purnama Centhini

Elizabeth D. Inandiak adalah seorang peneliti, penyair dan penulis yang menggubah Serat Centhini, sebuah karya Sastra Jawa yang ditulis pada abad 19. Dia menafsirkan ulang karya sastra yang dianggap sebagai ensiklopedia Nusantara ini ke dalam buku yang kemudian diberi judul Centhini; Kekasih yang Tersembunyi.

Pada malam purnama dengan selingan musik Astakosala Volk, buku ini dibaca dan didiskusikan bersama Sang Penulis. Inandiak mulai meneliti dan menafsir ulang serat Centhini mulai pada tahun 2.000. Pada saat itu, menurutnya Serat Centhini sudah hampir dilupakan orang Indonesia.

“Menurut saya, Centhini adalah buku yang amat dalam dan jujur. Karena itu, saya mengagumi ini dan ‘mengabdi’ untuk menerjemahkan Serat Centhini dan menafsirkan kembali dalam 400 halaman. Awalnya dalam bahasa Perancis sekarang sudah ada bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Italia,” tutur Inandiak.

The post Meditasi Purnama di Rumah Centhini appeared first on .

Musik Astakosala Lebur dalam Keindahan di Malam Purnama Centhini

$
0
0

Kakawin atau sastra tradisi biasanya dikidungkan bersanding dengan alat-alat musik tradisional semisal gamelan, tapi ini tidak. Syair kakawin nan indah bersanding dengan alat-alat musik modern berupa keyboard, gitar, dan bass. Elaborasi sastra kuna berpadu dengan unsur modern tetap mampu meruangkan alunan-alunan nada meditatif yang merasuk kalbu.

Salah satu sajian menarik acara Malam Purnama Centhini, Senin (24/9) adalah hadirnya Astakosala Volk (AV). AV merupakan grup musik new age asal Solo yang mengambil syair dari sastra dan kakawin Jawa kuna menjadi sebuah lagu.

Musikalitas AV bukan hanya soal keindahan musik, mengangkat karya sastra berupa kakawin menjadi sebuah lagu merupakan upaya AV untuk merawat dan mengenalkan kesusastraan Jawa kuna kepada generasi muda.

“Bukan bermaksud untuk menduakan gamelan, ini adalah upaya kami untuk mengenalkan dan merawat peninggalan leluhur kita,” tutur Ayu Gutami yang merupakan vokalis AV.

AV melantunkan lima lagu; Tak Lelo-lelo Ledung, Padhang Bulan, Alamkara, Puteri Cening Ayu, dan Banawa Sekar. Penampilan AV kali ini pun mendapat pujian dari peserta.

Shinta Soemarso misalnya, dia mengungkapkan kekagumannya kepada anak-anak muda yang bisa melihat kekayaan Nusantara. “Saya kagum sekali, kalau kata Mbak Mimi Astuti, jatuh cinta. Buat saya ini luar biasa mendengarkan tembang Jawa dari anak muda. Itu membuat saya langsung ketampar, tapi ketampar yang baik dan syukur bisa ikut menyaksikan pentasnya malam ini. Saya merasa bisa melihat Nusantara di masa depan akan begitu.”

Mbak Shinta berharap Astakosala bisa rekaman sehingga karyanya dapat menginspirasi banyak orang. “Saya berharap Astakosala membuat VCD supaya dapat dinikmati oleh seluruh orang di Nusantara.”

 

Pujian juga datang dari Dede Budiarti, salah satu pengasuh Sanggar Anak Alam, Salam, Yogyakarta ini meminta Astakosala tampil di depan anak-anak sanggar. “Tadi selama satu menit pertama saat membuat saya baper (terbawa perasaan). Bapak saya seorang niogo, jadi tembang Jawa sudah sangat mengalir di telinga saya, bahkan melihat gamelan saja ingatan saya langsung ke bapak. Tapi beliau sudah almarhum satu tahun ini, dan tadi… bapak seperti turut hadir dan berdiri di belakang Mbak Gutami (vokalis Astakosala).”

“Saya tadi dibisikin Mbak Mimi dari belakang,” lanjutnya. “Kami punya anak-anak di sanggar alam, sepertinya akan menjadi gayung bersambut idenya Mbak Shinta jika Astakosala mau memperkenalkan napas Astakosala kepada anak-anak sanggar supaya mencintai sastra Jawa dan Nusantata. Menurut saya Astakosala akan menjadi contoh yang sangat luar biasa bagaimana mengolah kakawin Jawa kuna menjadi lagu yang sangat bagus, dan anak-anak pasti akan sangat menyukainya.”

Mbak Dede sebagai salah satu yang hadir dalam acara Malam Purnama Centhini berharap generasi muda semakin terpacu dalam menggali karya sastra Nusantara yang sangat kaya.

The post Musik Astakosala Lebur dalam Keindahan di Malam Purnama Centhini appeared first on .

Ada Apa Antara Pyrrho dan Buddha?

$
0
0

Pyrrho mungkin sebuah nama yang teramat asing bagi kita. Menyebut namanya saja bisa membuat lidah kita keseleo. Tapi tahukah Anda bahwa Pyrrho termasuk salah satu filsuf Yunani terkenal yang melahirkan paham Pyrrhonisme (skeptisme universal)?

Ya! Pyrrho dikenal sebagai filsuf Yunani pertama yang memperkenalkan paham skeptik pada filsafat Barat. Skeptisisme sendiri adalah sebuah paham yang memandang suatu opini atau hal dengan keragu-raguan atau ketidakpercayaan. Paham ini memiliki banyak dimensi seperti skeptik terhadap agama, supernatural, moralitas, hingga pengetahuan. Tapi kali ini kita tidak akan membahas perihal skeptisisme. Yang menarik bagi saya justru adalah bapak skeptisisme itu sendiri, Pyrrho. Karena ternyata ada keterkaitan antara filsuf terkenal ini dengan paham-paham yang berkembang di India pada saat itu, utamanya Buddhadharma.

Seperti yang kita tahu, tanah India adalah ibu dari budaya yang mana banyak sekali agama dan pandangan hidup lahir di tanah ini. Pyrrho (360-270 SM) berasal dari Elis di Yunani. Sebelum menjadi seorang filsuf besar, dia adalah seorang pelukis yang memajang karya-karyanya di sebuah gymnasium di Elis.

Perkenalannya dengan dunia filsafat dimulai ketika ia mempelajari karya-karya Democritus (460-370 SM). Dia sendiri menjadi murid Anaxarchus dari Abdera. Diogenes mencatat bahwa Pyrrho dan gurunya pergi mengikuti Alexander Agung (356-323 SM) dalam eksplorasinya ke dunia Timur. Di India dia mengenal paham-paham Timur dan membawanya pulang ke Yunani. Meskipun kemudian dia hidup miskin, dia cukup disegani oleh masyarakat Elis dan juga Athena yang memberikannya kewarganegaraan.

Sayangnya Pyrrho tidak meninggalkan catatan tertulis. Ajaran-ajarannya dicatat oleh muridnya Timon dari Phlius. Kebanyakan dari catatan ini telah hilang dan ajaran Pyrrho saat ini bersumber dari buku Kerangka Pyrrhonisme yang ditulis oleh Sextus Empiricus.

Filsafat Pyrrho dan ajaran Buddha

Tujuan utama dari filsafat Pyrrho adalah mencapai keadaan ataraxia atau kebebasan dari kecemasan. Dia percaya bahwa ataraxia dapat dicapai dengan menghindari kepercayaan-kepercayaan tentang pemikiran dan persepsi. Sebuah ringkasan filsafat Pyrrho telah disampaikan oleh Eusebius mengutip Aristocles dalam sebuah bagian yang disebut Bagian Aristocles:

“Siapa pun yang ingin hidup dengan baik (eudaimonia) harus mempertimbangkan tiga pertanyaan ini: Pertama, bagaimana pragmata (masalah etika, urusan, topik) secara alami? Kedua, sikap apa yang harus kita lakukan terhadap mereka? Ketiga, apa yang akan terjadi bagi mereka yang memiliki sikap ini?”

Jawaban Pyrrho adalah bahwa “Adapun pragmata mereka semua adiaphora (tidak dibedakan oleh suatu perbedaan logika), astathmēta (tidak stabil, tidak seimbang, tidak terukur), dan anepikrita (tanpa menilai, tidak tetap, tidak dapat diputuskan).

Oleh karena itu, baik persepsi indrawi maupun doxai kita (pandangan, teori, keyakinan) memberi tahu kita kebenaran atau kebohongan; jadi kita tentu tidak harus bergantung pada mereka. Sebaliknya, kita harus menjadi adoxastoi (tanpa pandangan), aklineis (tidak tertarik ke arah sisi ini atau itu), dan akradantoi (tidak goyah dalam penolakan kita untuk memilih)….”

Biografi Pyrrho yang ditulis oleh Diogenes melaporkan bahwa ketika Pyrrho pergi mengembara mengikuti Alexander Agung ke India, dia telah mengambil banyak paham dan ajaran yang berkembang di India saat itu:

… dia bahkan pergi sejauh para Gymnosofis, di India, dan para Magi. Karena itulah tampaknya dia telah mengambil jalan mulia dalam dunia filsafat, memperkenalkan doktrin ketidakmampuan untuk memahami, dan perlunya menangguhkan penilaian seseorang….

Menurut Christopher Beckwith dalam bukunya yang berjudul Greek Buddha: Pyrrho’s Encounter with Early Buddhism in Central Asia, ada kemungkinan besar bahwa Pyrrho telah belajar dan terinspirasi oleh umat Buddha di Gandhara kuno.

Terdapat beberapa filosofi yang serupa antara Pyrrhonisme dengan ajaran Buddha. Pertama adalah konsep ataraxia sebagai tujuan utama dari Pyrrhonisme, yaitu kebebasan dari kecemasan yang mirip dengan nibbana/nirwana dalam ajaran Buddha.

Cendekia modern seperti Thomas McEvilley dan Adrian Kuzminski juga menemukan keselarasan antara skeptisisme Pyrrhonian dengan pemikiran Madhyamaka Buddhis. Kebanyakan sumber ini dapat dilihat pada Bab Atthakavagga bagian dari Sutta-nipata dari Khuddaka-nikaya. Salah satunya tercermin dalam Suddhatthaka Sutta syair 794:

Mereka tidak berspekulasi, mereka tidak menjunjung tinggi pandangan yang mana pun dan mengatakan ‘Inilah kemurnian tertinggi.’ Mereka melepaskan simpul kemelekatan dogma dan tidak merindukan apa pun di dunia ini.

Masih menurut Beckwith, tiga karakteristik Pyrrho tentang pragmata mirip dengan tiga corak umum Tilakkhana:

Adiaphora yang berarti tidak dibedakan oleh suatu perbedaan logika, atau dalam hal ini ‘tanpa adanya sebuah identitas diri’ selaras dengan anatta/anatman (tanpa inti).

Astathmēta yang berarti tidak stabil, tidak seimbang, tidak terukur, atau dalam hal ini ‘ketidakseimbangan, ketidaknyamanan’ selaras dengan dukkha/duhkha (ketidakpuasan, ketidaknyamanan, rasa sakit).

Anepikrita yang berarti tanpa menilai, tidak tetap, tidak dapat diputuskan, atau dalam hal ini bahwa pragmata tidaklah dapat secara permanen diputuskan/ditetapkan selaras dengan anicca/anitya (ketidakkekalan).

Sampai di sini timbul pertanyaan, apakah ajaran Buddha itu bersifat skeptik? Untuk menjawabnya tergantung pada pemahaman kita tentang pengertian skeptisisme itu sendiri. Di sini, ajaran Buddha menekankan pada pentingnya investigasi untuk memutuskan suatu kebenaran.

Dalam sebuah khotbah di dalam Anguttara-nikaya, perumahtangga Anathapindika berbicara kepada beberapa pengelana dari berbagai aliran yang ingin mengetahui pandangan Buddha. Anathapindika tidak memberikan petunjuk kepada mereka tentang pandangan Buddha, tetapi justru mengorek pandangan mereka.

Mereka memegang berbagai jenis pandangan yang berbeda: bahwa dunia itu abadi, tidak abadi, terbatas, tidak terbatas, bahwa jiwa dan jasmani adalah sama, atau berbeda, bahwa Tathagata tetap ada setelah meninggal atau tidak ada, atau keduanya, atau tidak keduanya.

Anathapindika kemudian mengatakan kepada mereka apa yang dia percayai, bahwa semua pandangan-pandangan ini telah muncul dari perhatian yang ceroboh atau berdasarkan ucapan orang lain, bahwa pandangan-pandangan ini adalah berkondisi (sankhata), sebuah produk dari kehendak yang terbentuk di dalam pikiran (cetana), muncul saling bergantungan (paticcasamuppanna), yang oleh karena itu adalah tidak tetap, tidak memuaskan, dan dengan demikian pandangan-pandangan itu adalah keliru.

Dalam khotbah lainnya di dalam Anguttara-nikaya, seorang petapa kelana yang sedang berdiskusi dengan perumahtangga Vajjiyamahita menuduh Buddha Gotama sebagai seorang nihilis (venayika) dan dia adalah orang yang tidak memberikan pernyataan yang pasti. Vajjiyamahita menjawab:

“Tentang hal itu pula, tuan-tuan yang mulia, saya akan berbicara tentang Dhamma pada sahabat-sahabat yang terhormat. Yang Terberkahi, tuan yang mulia, menyatakan bahwa sesuatu itu bajik dan yang lain tak-bajik. Yang Terberkahi, yang telah menyatakan apa yang bajik dan apa yang tak-bajik, adalah orang yang memberikan pernyataan yang pasti. Beliau bukan seorang nihilis. Beliau bukan pula orang yang tidak memberikan pernyataan yang pasti.”

Terkait keselarasan lainnya antara filsafat Pyrrho dengan ajaran Buddha, mungkin diperlukan pemahaman lebih mendalam terkait keduanya. Meskipun saya agak ragu karena Pyrrho berkelana di India hanya selama 18 bulan dan oleh karena itu mungkin tidak menyerap seluruh inti sari dari ajaran Buddha pada saat itu.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Ada Apa Antara Pyrrho dan Buddha? appeared first on .

Nusantara Ada di Kitab Tripitaka?

$
0
0

Membahas tentang sejarah Buddhis di Indonesia sudah biasa. Tapi tahukah Anda jika pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan disebutkan dalam Tripitaka dan Tipitaka?

Dari Khuddaka Nikaya, menyebutkan para pelayar biasa berlayar ke Suvannabhumi (Sumatera) dan Jawa, dua dari 34 teritori yang disebutkan di sana. Kitab Pali Milindapanha juga menyebut Suvannabhumi berikut juga kitab Mahajanaka Jataka dan Supparaka Jataka.

Suvannabhumi atau Suvarnabhumi juga Suvarnadvipa (Kepualauan Emas) adalah sebuah teritori yang mencakup kepulauan Sumatra, Melayu Malaysia, Thailand hingga Kamboja. Ibukota Suvarnadvipa ini ada di Sumatera yaitu Sriwijaya yang memang kekuasaannya mencakup sampai negara-negara lain yang kita kenal sekarang itu. Ini ditestimoni dengan adanya rupang perwujudan Avalokiteshvara di Nepal bernama Suvarnnapure Srivijayapure Lokanatha. Para sejarawan Arab juga mengatakan bahwa Kepulauan Emas ini terdiri dari pulau-pulau besar yang berbeda.

Mahavamsa, catatan sejarah Srilanka dari abad 5 M yang mungkin sudah dipoles kebenarannya, mengatakan misionari Sona dan Uttara Thera ke Suvannabhumi yang mana sejak abad ke-15 M dianggap sebagai bagian dari Thailand atau Burma (Myanmar). Berbeda dengan teks Mahakarmavibhanga yang mengatakan misonari Suvarnabhumi adalah Gavampati.

Dalam kanon Tripitaka Tiongkok ada Dvadasaviharana Sutra (佛說十二遊經) yang diterjemahkan Kalodaka pada tahun 392 M. Di sana disebutkan bahwa: “Di samudra ada 2500 kerajaan. Yang pertama adalah Srilanka…., kedua adalah Kalah (di kepaluan Melayu),… ketiga adalah Pulo (Aceh / Sumatra Utara),… keempat adalah Sheye (Jawa).”

Di Sutra Dvadasaviharana tersebut dikatakan bahwa pulau Jawa terkenal dengan produksi merica yang amna dikonfirmasi oleh catatan sejarah Tiongkok lainnya.

Kitab Buddhis Tiongkok lain berjudul Saddharma-smrtyupasthana Sutra (正法念處經) terjemahan Gautama Prajnaruci pada abad ke-6 M juga menyebutkan tentang Suvarnadvipa atau Sumatra. Tidak disebutkan tentang Jawa meskipun ada kemungkinan bahwa sumber sutra tersebut menyatakan demikian.

Berikutnya, teks dengan pengauh Tantrik yaitu Manjusrimulakalpa menyebutkan keberadaan Yavadvipa (Jawa), Balidvipa (Bali), Varusaka (Sumatra) dan Varunadvipa (Kalimantan).

Keberadaan Bali dan Kalimantan, juga diidentikkan dengan catatan sejarah Liangshu (Dinasti Liang 梁書) yang banyak mencatat hubungan dagang dengan Nusantara itu mengatakan bahwa raja di Po-li (Bali / Kalimantan) ini adalah keturunan suku Sakya ratu Mahamaya (ibu Buddha Sakyamuni).

Para pendiri peradaban di Nusantara ini memang berasal dari tanah India. Kita bisa menariknya dari kisah Ajisaka misalnya, ketika beliau sebagai brahmana Tritresta mengajak sekumpulan imigran besar dari India menetap di Jawa. Xingcha Senglan (星槎勝覽)tulisan  Fei Xin (asisten Laksamana Cheng Hoo) menyebut bahwa di Jawa, masyarakat lokal mencatat bahwa pendirian peradaban Jawa itu sekitar 1300 tahun sebelumya. Jika dilihat dari tahun kedatangan Fei Xin di Jawa maka pas sekali dengan waktu kedatangan Ajisaka menurut legenda dan tarikh Jawa yaitu sekitar abad 1 M.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness.

The post Nusantara Ada di Kitab Tripitaka? appeared first on .

Sebuah Surga di Priestdale, Queensland

$
0
0

Lokasi wihara ini terbilang cukup jauh dari pusat kota Brisbane, tepatnya di pinggiran kota Logan – sebelah tenggara Brisbane. Apabila kita memakai transportasi publik akan memakan waktu satu jam lamanya. Sedangkan untuk moda transportasi tercepat tentu dengan berkendara sendiri selama 25 menit.

Bagi kita yang sekadar berkunjung ke Brisbane, tentu transportasi publik menjadi pilihan utama. Nah, setelah naik bus dua kali dari pusat kota, ternyata kita masih harus berjalan sekitar 10 menit dari halte bus menuju ke gerbang wihara. Untungnya selama perjalanan kaki kita akan dimanjakan dengan Underwood Park yang asri dan indah. Kami bahkan menemui seekor kangguru sedang berjemur di samping pepohonan! Cukup banyak penduduk setempat yang memanfaatkan taman ini untuk berjalan-jalan atau berolahraga. Hampir semua senang disapa.

Setelah jalan santai, kita akan tiba di gerbang wihara ini. Lokasinya terletak paling pojok dari jalan utama. Dari gerbangnya dapat kita bayangkan bahwa wihara ini berarsitektur wihara tradisional Tiongkok. Wajar saja karena wihara Chung Tian (artinya ‘surga tengah’) ini adalah bagian dari Fo Guang Shan Temple. Beranjak dari gerbang masuk, kita akan melalui taman-taman yang disebut taman Chan, Zen dan para Arahat. Di sini ada patung-patung lucu berwarna putih.

Kemudian tak berapa lama kita akan menemukan bangunan dalam kuil dan aula yang disebut Bodhisattva Hall. Aula ini didedikasikan untuk Dewi Kwan Im (Bodhisattva Avalokiteshvara). Di sini tempat para umat melakukan sembahyang dan membaca sutra/paritta. Selain itu ada pula aula meditasi, galeri seni, museum serta restoran vegetarian bernama Water Drop Teahouse.

Terpisah dari bangunan utama terdapat sebuah pagoda indah yang memiliki tiga aula. Aula terbesar didedikasikan untuk Buddha Amitabha yang juga merepresentasikan aliran buddhis Tanah Suci. Di sisi timur terdapat aula Bodhisattva Ksitigarbha yang terkenal akan sumpahnya untuk tidak menjadi seorang Buddha sebelum neraka kosong. Dengan keindahan dan keasrian yang ditawarkannya, wihara ini mampu memberikan ketenangan bagi para pengunjung. Jadi meskipun agak jauh, jangan lupa untuk mengunjungi wihara yang telah berdiri sejak 1992 ini.



The post Sebuah Surga di Priestdale, Queensland appeared first on .

Ngapak: Tiba di Gubuk Simbah

$
0
0

Suasananya sedikit mencekam, rombongan hujan membasahi sekujur atap dari daun kelapa. Tiada bulan ataupun bintang yang bertengger di langit kala itu. Hanya sorot lampu minyak yang hampir habis kukalungkan ditangkai payung menjadi pelitaku.

Tiada manusia maupun binatang bercengkerama di sepanjang jalanan batu bercampur tanah merah yang lengket di alas kaki. Bagaimana tiada mereka di sana, bulan bintang tidak memperlihatkan wajahnya, ditambah dengan rombongan hujan membuat tanah ini tidak ingin lepas dari alas kaki.

Sampai di gubuk simbahku yang lumayan hampir roboh aku bermalam. Simbah juga di sini, tapi beliau lebih awal tiba sebelum rombongan hujan datang.

“Eeeeeeee…. Cah wadon ayu uwis gedhuk kene. Ngene-ngene mlebu, melas timen yak, kudanan iyak?” Sapa simbahku sambil membereskan tikar di gubuk.

“Iyak mbah, udan kae sekang ngumah. Nang dalanan be sepi banget. Ra ana wong. Jangkrike be pada umpetan mbuh mengendi. Tambah maning iki jeblug banget lemahe. Ngapa maning udan, gawe susah ati,” keluhku.

“Loh-loh, aja kaya kue lah nduk. Udan iki rejeki. Iki kan wis suwi ora udan. Sing sumure pada asat ya banyune metu maning, kembange mekar maning, wit jatine ya godonge ijo tukul maning,” jelas simbahku.

“Hem, iyak lah mbah. O iyak mbah, dening ngapa dewek turu kene?” tanya aku pada simbah.

“Ngene ceritane, simbah arep menei ngerti koe, senajan awak dewek urip nang desa yak, aja nganti kalah karo wong kutha. Senajan awak dewek urung disaluri listrik, sing jare taun 2012 arep disaluri ya nyatane gudug taun siki urung ana kabar temenane kepriwe. Simbah mung njaluk, koe ijih enom, mula diakehi pengalamane.”

Baca juga: Di Lembah Bhawana Rendra

“Lah mbah, ngapa kue listrik urung gudug kene? Padahal dewek ya butuh, ra nggawani sentir kaya kie bae. Apa kudu nyong demo, ngobong kantor pemerintahan kae? Lah trus priwe mbah nek nyong arep golet pengalaman nek kaya kie?” Tatap aku dengan muka sedih bercampur kesal.

“Koe kudu ngerti, maca iku penting, kae akeh koran nang pasar Jumbe, dituku, diwaca, mesti koe bakal akeh ngertine,” pinta simbahku.

“Koset-koset mbah, deneng ngapa dewek turu kene?”

“Nduk, siki tebak-tebakan yuh!”

“Halah mbah…….” Keluh aku.

“Oui. Je l’apprends aux cours. Je m’appelle Turi Tejo Wedari, et vous?”

“Mbah, mbok sing temenan ngapa? Enyong ora ngerti rika ngomong apa lah,”

“Mulane, aja dadi wong ndesa sing ndesa, koe dikon maca koran seka Pasar Jumbe be ora gelem. Siki ditakoni nganggo basa asing ora isa nyauri. Lah priwe lah nduk nduk. Mulane, siki seneng maca, kae simbah ijih due kamus peninggalane buyutmu. Aja merga awak dewek ora ana listrik, koe dadi bebeh sinau. Aja kalah karo wong kutha. Dening koe disengi ngomong nganggo basa asing ya bisa. Tapi aja kelalen karo basa ngapakmu iki!”

“Mbah….. Nyong kudu sinau iki. Nyong bebeh kalah seka mbahne. Nyong yakin, nek nyong wis bisa basa asing, arep lah nyong kirim surat marang presiden dunia, ben desane dewek ana listrike.”

“Apik… apik… nduk. Kudu semangat, kudu kuat, lan kudu eling marang Sang Triratna ben uripmu ketata lan kepenak. Turu yuh nduk, wing bengi, udane wis ora rombongan maning. Sesuk amet jambune gasik.”

“Elah dalah mbah, jebul dene dikon nginep kene arep apet jambu. Nggih lah mbah. Manut nyong.”

Bersambung…

Marang sapa bae sing arep maca kelanjutane cerita iki, tetep stand by nang kene ya. Bisa buka Fb-ne BuddhaZine juga, utawa buka link-e Buddhazine.com.

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

The post Ngapak: Tiba di Gubuk Simbah appeared first on .

Meditasi Perlu Diperkenalkan Sejak Usia Dini

$
0
0

Ketika mendengar kata meditasi, masih banyak orang yang beranggapan hanya duduk bersila berjam-jam, memejamkan mata, dan memusatkan pikiran pada suatu objek. Anggapan ini sekaligus melahirkan persepsi bahwa meditasi hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa saja.

Anggapan semacam ini ternyata terbukti tidak sepenuhnya benar. Meditasi yang berakar dari ajaran Buddha saat ini sudah berkembang dengan berbagai metode dan bisa dipraktikan semua orang, segala usia termasuk anak usia dini.
Anak-anak Sekolah Minggu Buddhis Vihara Buddhayana Dharmavira Center (BDC), Surabaya misalnya yang secara rutin melakukan meditasi hidup berkesadaran bersama.

Sekolah Minggu Vihara BDC terdiri dari 4 kelas; (1). Kelas Metta terdiri dari anak-anak play grup dan taman kanak-kanan, (2). Kelas Karuna, anak-anak Sekolah Dasar kelas 1 – 3, (3). Kelas Mudita, Sekolah Dasar kelas 4 – 6 dan Kelas Upekkha yang terdiri dari anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jumlah keseluruhan anak Sekolah Minggu Buddhis Vihara BDC kurang lebih 150 anak.

“Kegiatan makan berkesadaran itu rutin dilakukan terutama bagi anak-anak kelas Mudita dan Upekkha. Mereka sudah terbiasa melakukannya, kadang mereka bisa meditasi makan coklat, pizza, minum milo dll,” turut Hudy Suharto, salah satu pengurus Vihara BDC Surabaya.

Baca juga: 5 Alasan Mengapa Anda Harus Mengajarkan Meditasi pada Anak-anak

Minggu, (30/9) adalah momen spesial menurut Pak Hudy. Kalau pada hari minggu-minggu biasa anak-anak melakukan meditasi sesuai dengan kelas masing-masing, kali ini seluruh kelas secara bersamaan melakukan meditasi bersama. “Meditasi makan kue bulan dan minum berkesadaran ini kita adakan untuk menyambut perayaan kue bulan yang diikuti oleh 80 anak, 11 pembina dan 20 orang tua.”

Dengan dibimbing oleh guru pembina sekolah minggu, anak-anak ini diajak untuk menyadari setiap proses menikmati makanan yang mereka makan. “Kami ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa meditasi bukan hanya duduk dan diam tutup mata. Tapi kita juga bisa melakukannya ketika kita sedang makan dan minum. Dengan menyadari setiap proses, mulai dari bentuk, warna, rasa, wangi dari makanan ini. Menyadari ketika makanan masuk kedalam mulut kita dan sebagainya.

“Juga dengan penuh kesadaran kita menyadari bawa kita bersentuhan dengan bumi. Mengetahui bahwa makanan dan minuman ini juga hasil jerih payah dari petani, tukang masak, dan semua orang yang berjasa dalam makanan dan minuman ini sehingga kita bisa menikmatinya. Itulah yang diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Sehingga selain mereka bisa makan dengan sadar dan tenang, mereka juga akan menghargai setiap makanan yang meraka makan,” jelas Pak Hudy.

The post Meditasi Perlu Diperkenalkan Sejak Usia Dini appeared first on .


Gempa Bumi Palu-Donggala, Banyak Umat Buddha di Palu Ketakutan

$
0
0

Bumi Indonesia kembali diguncang gempa. Kali ini gempa bumi berkali-kali mengguncang Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). Akun twitter resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menginformasikan bahwa salah satu gempa terbesar berkekuatan Magnitudo 7,7.

Gempa Magnitudo 7,7 terjadi pada pukul 17:02:44 WIB. Lokasi pusat gempat ada di kedalaman 10 km dan posisinya di arah 27 km Timur Laut Donggala. BMKG mengumumkan peringatan dini tsunami setelah gempa Magnitudo 7,7 itu terjadi. Peringatan tsunami itu diakhiri oleh BMKG pada sekitar pukul 17.40 WIB.

Baca juga: Vihara Veluvanna Merupakan Salah Satu Vihara yang Masih Berdiri Pasca Gempa

Gempa mengakibatkan korban jiwa, data terbaru BNPB menunjukkan, korban tewas sudah mencapai setidaknya 1347 orang, termasuk 34 pelajar yang ditemukan meninggal dunia di bawah reruntuhan gereja di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, pada Selasa (1/10).

Jumlah korban tewas terus meningkat, dan kini mencapai 1374, dalam data yang tercatat BNPB hingga Selasa (2/10) pukul 17:00. Hal ini diungkapkan Kepala BNPB Willem Rampangile, dalam jumpa pers di posko penanganan bencana, Palu.

Vihara Karunadipa

Rumah ibadah pun tak luput dari gempa, salah satunya adalah Vihara Karunadipa yang terletak di Jl. Sungai Lariang No. 74, Palu, Sulawesi Tengah. Menurut informasi dari Bhante Cittavaro yang berada di lokasi vihara ini mengalami kerusakan di beberapa tempat.

“Pondasi ruang Dhammasala retak bagian bawah memutar hampir setengah gedung. Plafon ruang Dhammasala rontok sebagian, dinding juga mengalami keretakan. Ruang serbaguna plafonnya juga rontok termasuk kuti para bhikkhu,” jelas bhante melalui pesan singkat pada BuddhaZine.

Saat gempa, Bhante Cittavaro bersama Bhante Candakaro sedang berada di vihara. Mereka sedang melatih umat Buddha yang sedang mempersiapkan diri untuk lomba di Jakarta pada (8/10) mendatang. “Tiba-tiba bumi bergoncang, spontan saya berdiri dan rasanya nggak bisa lari, kepala pening saat bumi berguncang,” tulis bhante menggambarkan situasi saat kejadian.


Pembacaan paritta bertempat di halaman Vihara Karuna Dipa, Palu.

Sehari paska gempa, Vihara Karunadipa langsung membuka posko pengungsian. Terdapat sekitar 100 orang yang berada di pengungsian vihara ini. “Di hari pertama pasca gempa, yang mengungsi di sini berkisar 90 sampai 100 orang, berangsur-angsur menurun, karena pengungsi yang awalnya berada di vihara, sebagian lari keluar kota, ada yang menggunakan mobil menuju Toli-toli, Gorontalo, Manado, Mamuju, Makassar, ada juga yang menyewa pesawat menuju ke Balikpapan.”

Sejak hari pertama, posko Vihara Karunadipa tidak kekurangan makanan. Hanya saja, saat mendatangkan logistik dari luar kota seperti Mamuju maupun Manado harus dikawal TNI karena situasi masih tidak aman.


Bhante Cittavaro bekerjasama dengan umat Buddha Vihara Karuna Dipa menyerahkan sembako.

“Umat Vihara Karunadipa tidak kekurangan makan, tapi kami menampung dan menerima dana bantuan umat Buddha yang peduli dengan korban Gempa. Begitu ada dana bantuan masuk sesegera mungkin kami salurkan kembali. Sudah beberapa pihak yang menerima dana bantuan, termasuk sore tadi membantu dua masjid. Sampai malam hari ini, tim masih bekerja membantu korban gempa,” terang bhante.

Umat Vihara Karunadipa berjumlah kurang lebih sekitar 500 orang. Kejadian gempa membuat mereka trauma, banyak toko-toko umat Buddha yang dibongkar paksa dan dijarah massa. Kondisi ini mengakibatkan banyak umat Buddha yang ketakutan dan lari meninggalkan Kota Palu.

The post Gempa Bumi Palu-Donggala, Banyak Umat Buddha di Palu Ketakutan appeared first on .

Thubten Chodron, Seorang Biksuni Teladan

$
0
0

Nama Thubten Chodron (68 tahun) menjadi dikenal dan mendapatkan apresiasi di kalangan umat Buddha Indonesia setelah salah satu bukunya, yaitu “I Wonder Why” diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Karaniya pada 1990 dengan judul, “Agama Buddha dan Saya”.

Dalam buku tersebut–yang ternyata juga diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh beberapa penerbit lain dengan judul berbeda-beda—Biksuni Thubten Chodron mampu menjelaskan agama Buddha secara jelas dan menarik lewat sajian tanya jawab. Mengapa buku tersebut terasa kontekstual bagi pembaca Indonesia? Bisa jadi karena ditulis berdasarkan pengalamannya selama mengasuh umat Buddha di Singapura. Pada 1987-1988 beliau memang bertugas sebagai guru Dharma yang menetap di Amitabha Buddhist Centre Singapura.

Mengetahui beliau masih sering membabarkan Dharma di Singapura yang letaknya dekat dengan Indonesia, Penerbit Karaniya memiliki keinginan untuk mengundang Biksuni Thubten Chodron membabarkan Dharma di Indonesia. Namun keinginan tersebut baru dapat terwujud untuk pertama kalinya pada 2012.

Setelah mengikuti pindapata dan perayaan Waisak 2556 di Wihara Ekayana Arama pada 6 Mei 2012, selama tiga malam berturut-turut dari tanggal 6 sampai dengan 8 Mei 2012 Biksuni Thubten Chodron memberikan ceramah dan tanya jawab seputar topik “Kemarahan” di Wihara Ekayana Arama. Tanggal 9 Mei 2012 beliau memberikan ceramah di Wihara Buddhayana Surabaya. Selanjutnya beliau membimbing retret bertempat di Prasada Mandala Dharma, Parakan, Jawa Tengah. Retret ini diikuti pula oleh 34 biksuni/samaneri Sangha Agung Indonesia. Beliau kemudian juga mengunjungi Candi Borobudur.

Biksuni Thubten Chodron adalah biksuni teladan dalam belajar, berlatih, dan berbagi Dharma. Lulusan UCLA ini meninggalkan suami dan pekerjaannya sebagai guru pada usia 25 tahun untuk sepenuhnya menempuh jalan Dharma, pergi ke Nepal dan India. Beliau ditahbiskan sebagai samaneri di Dharamsala India pada tahun 1977 dan sebagai biksuni di Taiwan pada tahun 1986. Selanjutnya di samping mengajar Dharma ke berbagai negara, beliau dengan penuh kesungguhan membangun tempat belajar dan berlatih bagi komunitas biksuni Barat, yaitu Sravasti Abbey di Newport, Washington, Amerika Serikat.

Baca juga: Agama Buddha, Satu Guru Beragam Tradisi

Buku-buku beliau semakin banyak diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit-penerbit Buddhis. Salah satunya yang istimewa adalah buku berjudul “Agama Buddha – Satu Guru Beragam Tradisi” yang ditulisnya bersama Y.M. Dalai Lama.

Tahun ini, Biksuni Thubten Chodron akan kembali mengunjungi Indonesia. Beliau akan memberikan ceramah di Wihara Ekayana Arama Jakarta (25 November 2018), Wihara Ekayana Serpong Tangerang (26-27 November 2018), dan Wihara Dharmakirti Palembang (3 Desember 2018), serta akan membimbing retret di Jambi. Retret di Jambi akan diadakan pada 29 November – 2 Desember 2018 bertempat di Wihara Sakyakirti dan Kompleks Percandian Muara Jambi.

Mengingat Kompleks Percandian Muara Jambi yang delapan kali lebih luas daripada Candi Borobudur dulunya adalah Universitas Buddhis yang mana Mahaguru Atisha pernah berguru pada Mahaguru Dharmakirti dan menerima ajaran tentang Bodhicitta, maka tema retret yang akan diberikan Biksuni Thubten Chodron adalah, “Kebahagiaan Sesungguhnya dengan Bodhicitta”.

Bagi yang ingin mengikuti retret tersebut, dapat menghubungi,
Illeny 0813-8239-2828

The post Thubten Chodron, Seorang Biksuni Teladan appeared first on .

Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi

$
0
0

Penulis dan sastrawan asal Perancis, Elizabeth Inandiak, memaparkan keelokan dunia Buddhis di kawasan Muslim Jambi. Hal itu dilakukannya dalam presentasi bukunya yang berjudul “Dreams From The Golden Island” dalam acara Wednesday Forum CRCS and ICRS UGM, yang diadakan Rabu (3/10) siang.

Dreams From The Golden Island (Mimpi-mimpi Pulau Emas) adalah karya terbaru Elizabeth bersama beberapa pemuda Desa Muarojambi. Ia menjelaskan, lewat bukunya, ia mengungkap bahwa keelokan dunia Buddhis di Jambi bisa dilacak dari catatan biksu peziarah asal Tiongkok, I-Tsing, yang sempat mengunjungi Sumatera pada abad ke-8. I-Tsing adalah salah satu yang pertama kali mencatat perjalanan maritimnya menggunakan kapal.

Elizabeth selanjutnya bertutur bahwa keelokan Pulau Emas (Swarnadwipa) atau Sumatera juga bisa dilacak lewat kisah perjalanan Atisha Dipankara dari India yang ingin lebih banyak memahami batin pencerahan bodhicitta, jantung praktik seorang Bodhisattva, pada guru yang paling tersohor di Sriwijaya, yakni Dharmakirti, yang biasa disebut di Tibet sebagai Lama Serlingpa. Atisha berhasil menemui gurunya itu di abad ke-11 setelah menempuh perjalanan laut selama 15 bulan.

“Kisah hidup Atisha termasuk kunjungannya ke Sumatera digambarkan dalam mural di Biara Drepung di Tibet,” ujarnya.

Ia menerangkan, dari catatan yang ada, baik di Tiongkok maupun Tibet, Sriwijaya, khususnya Jambi adalah kawasan yang elok dan megah dengan tingkat budaya yang tinggi. Namun ia juga tidak mengerti, mengapa peradaban yang mulia dan masyhur itu lantas hilang bagai ditelan bumi. Dirinya menduga itu bukan karena serangan atau perang, namun karena bencana alam.

“Kemungkinan karena tsunami. Tapi ini masih misterius,” ujarnya.

Elizabeth yang pertama kali datang ke Desa Muarojambi pada 2010, mengaku bahwa warga masyarakat Desa Muarojambi yang mayoritas beragama Islam ikut berjasa merawat situs terbesar di Asia Tenggara dan dulunya adalah sebuah universitas Buddhis sejak abad ke-7 hingga abad 13 itu.

Faktanya di Muarojambi memang berdiri sebuah desa yang semua warganya penganut agama Islam. Namun sisa-sisa budaya berbasis bahasa Sanskerta masih bisa ditemukan di sana. Ia mencontohkan bahwa di sana pantun disebut sebagai seloko, mirip seperti seloka dalam bahasa Sanskerta. Selain itu, ia mencontohkan adanya alat musik gong yang dipakai untuk kelompok dzikir tradisional di sana, sebagai pelengkap rebana.

“Bahkan ada seorang Muslim memberi nama anaknya nama Buddhis seperti Prajna Paramita,” terangnya.

Keunikan lain, ia menjelaskan terdapat beberapa spesies endemis pohon-pohon dari anak benua India yang tidak tumbuh di tempat lain di Sumatera, kecuali di hutan Muarojambi. Contohnya, pohon kapung atau kembang parang (meto dzambaka dalam bahasa Tibet) yang memiliki kelopak setipis ari berwarna putih.

“Ini digunakan di India dan Tibet sebagai bunga untuk ritual tantra Buddhis,” jelasnya.

Elizabeth meneruskan, dalam rentang waktu yang panjang, antara Buddha (termasuk situs peninggalannya) dan Islam di kawasan tersebut terbangun dalam relasi penuh cinta dan kasih. Hal itu didasarinya dari fakta bahwa puluhan ribu datang tiap tahun merayakan Waisak di Muarojambi, dan mampu harmonis dengan warga sekitar.

“Kalau tidak ada dialog, pasti terjadi ketidakharmonisan,” tutupnya.

The post Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi appeared first on .

3 Umat Buddha di Vihara Karuna Dipa Meninggal Akibat Gempa

$
0
0

Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,7 yang mengguncang Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9) masih menyisakan trauma mendalam bagi para korban. Gempa bumi yang disusul dengan tsunami ini menghancurkan bangunan dan menelan korban meninggal di Palu dan sekitarnya telah mencapai 1.571 orang dan sebanyak 1.000 lainnya mungkin terkubur reruntuhan rumah dan bangunan.

Data mengenai korban meninggal dikemukakan juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Adapun jumlah korban terkubur dipaparkan Badan SAR Nasional.

“Kami memperkirakan ada lebih dari 1.000 rumah terkubur, jadi mungkin lebih dari 1.000 orang masih hilang,” kata Yusuf Latif, Kasubbag Humas Badan SAR Nasional, M Yusuf Latif, kepada kantor berita AFP, hari Jumat (5/10).

Menurut data yang diperoleh BuddhaZine, sampai hari ini setidaknya terdapat tiga korban jiwa umat Buddha Vihara Karuna Dipa. “Sudah ketahuan dan telah dikebumikan ada 2 orang; 1 perempuan berusia 80 tahun dan 1 laki-laki berusia 70 tahun. Tetapi masih ada satu lagi yang sampai hari ini (4/10) belum berhasil dievakuasi,” terang Bhante Cittavaro.

Menurut keterangan Bhante Candakaro, umat Buddha yang meninggal tersebut karena tertimbun reruntuhan rumah. “Rumahnya empat lantai, hancur rata dengan tanah. Gempa dan tsunami itu juga menghancurkan rumah-rumah umat Buddha, hampir semua kena termasuk yang di daerah pantai,” tulis bhante melalui pesan singkat.

“Mengerikan Mas, suasana malam itu mencekam. Listrik langsung padam, kita seperti dilempar-lempar,” jelas bhante lebih lanjut. Pagi hari pasca kejadian gempa umat Buddha langsung berdatangan dan mengungsi di Vihara Karuna Dipa.


Sekolah Karuna Dipa sebelum gempa. Foto: www.sekolah.data.kemdikbud.go.id

Tak hanya itu, sekolah-sekolah juga harus diliburkan setelah kejadian gempa. Sekolah Karuna Dipa misalnya yang harus diliburkan entah sampai kapan. Sekolah Karuna Dipa merupakan sekolah Buddhis yang berada di seberang jalan Vihara Karuna Dipa. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah favorit di Kota Palu.

“Menurut Ketua Yayasan, Sekolah Karuna Dipa tidak mengalami kerusakan parah. Hanya retak-retak sedikit, kegiatan belajar harus dihentikan sementara,” pungkas bhante.

Sekolah Karuna Dipa menyelenggarakan jenjang pendidikan dari TK hingga SMA. Sekolah ini memiliki siswa didik sekitar 700 anak di semua jenjang. Hingga hari ini, Jumat (5/10) posko vihara telah menerima dan menyalurkan bantuan logistik ke berbagai posko cabang. Yayasan Buddha Tzu Chi juga telah membuka posko dan melayani para korban gempa.

The post 3 Umat Buddha di Vihara Karuna Dipa Meninggal Akibat Gempa appeared first on .

Zen dalam Percakapan

$
0
0

Tulisan ini berawal dari percakapan dengan seorang teman. Sebagai anak dari keluarga pengusaha, ia sebenarnya cukup beruntung. Ia bisa mendapatkan penghidupan yang layak, dan pendidikan yang bermutu tinggi. Setelah itu, ia pun diharapkan bisa melanjutkan dan mengembangkan usaha keluarga.

Sejak kecil, ia dididik untuk menjadi pekerja keras. Keluarganya berharap, supaya ia bisa menjadi fondasi keluarga, ketika orangtuanya tidak lagi mampu mengelola bisnis. Maka dari itu, ia pun diajar untuk menjadi manusia yang memiliki ambisi besar. Nilai-nilai persaingan, kerja keras dan fokus adalah nilai-nilai yang telah ia terima, sejak kecil.

Ambisi

Jika kita jeli, hal serupa banyak terjadi di sekitar kita. Cita-cita keluarga dipaksakan menjadi cita-cita pribadi. Hidup menjadi penuh ambisi, yakni tujuan yang amat sangat diharapkan menjadi kenyataan. Ambisi ini tidak hanya terjadi pada hal-hal soal harta dan nama besar, tetapi juga dalam soal spiritual.

Ada keluarga yang ingin anaknya menjadi orang kaya dan terkenal. Inilah yang terjadi pada teman saya di atas. Disini, uang dan harta menjadi ukuran bagi keluhuran manusia. Seperti kata Herbert Marcuse, seorang pemikir Jerman, manusia hanya diukur dari satu dimensi saja, yakni dimensi harta dan kepemilikan semata.

Sebagian keluarga lainnya ingin anaknya menjadi manusia yang luhur di hadapan Tuhan. Inilah yang saya sebut sebagai ambisi spiritual. Segala upaya dilakukan, supaya sang anak menjadi suci di dalam satu tradisi agama tertentu. Segala pernak pernik keagamaan, mulai dari baju sampai cara bicara, pun disesuaikan demi ambisi spiritual tersebut.

Pikiran yang mencengkeram

Apa pun bentuknya, ambisi adalah sumber penderitaan. Di dalam Zen, ambisi adalah sebentuk pikiran yang mencengkeram (grasping mind). Orang menginginkan sesuatu secara berlebihan. Ada paradoks di sini.

Ketika ambisi menjadi kenyataan, orang tetap tidak puas. Ini terjadi, karena memang hal-hal yang ada di luar diri, seperti harta dan kuasa, tidak akan pernah bisa memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia. Setelah ambisi terwujud, orang justru bingung, mengapa ia belum juga merasa puas dan bahagia. Inilah ciri mendasar dari “pikiran yang mencengkeram” tersebut.

Sebaliknya, ketika ambisi tak juga menjadi nyata, derita pasti menyapa. Ambisi mengikat orang, sehingga ia tak bisa lepas darinya. Jika ikatan tersebut tak diikuti, orang pun merasa tercekik. Di dalam tradisi filsafat Asia, ambisi adalah sebentuk kelekatan (attachment) yang menjadi sumber dari penderitaan.

Ini semua terjadi, karena orang tak paham tentang dunia. Orang mengira, dengan ambisinya, ia bisa menggenggam dunia. Orang juga berpikir, dengan terus mengasah kemampuannya, dan mencapai ambisinya, ia lalu bisa merasa bahagia. Sayangnya, begitu banyak orang yang terjebak pada salah paham semacam ini.

Dunia adalah perubahan

Seluruh ajaran filsafat Asia menegaskan, bahwa dunia adalah perubahan. Ini berarti, tidak ada yang disebut dunia, karena dunia mengandaikan adanya sesuatu yang tetap. Perubahan itu seperti gelombang yang terus bergerak. Ia tidak menyisakan bentuk apa pun.

Ini bertentangan dengan pandangan banyak orang. Mereka mengira, dunia ini ada, namun ia terus berubah. Pandangan ini kurang tepat. Ia masih mengandaikan adanya sebuah dunia yang, kemudian, berubah.

Jika dunia dilihat sebagai perubahan terus menerus, maka tidak ada yang tetap. Tidak yang disebut manusia. Tidak ada yang disebut hewan ataupun tumbuhan. Tidak ada yang disebut benda. Bahkan, tidak ada yang disebut sebagai “aku”, karena segalanya adalah perubahan terus menerus yang mengalir bagaikan gelombang.

Jika segalanya adalah gelombang perubahan, apa yang bisa kita pegang? Jika segalanya adalah perubahan tanpa henti, apa yang bisa kita raih? Penderitaan muncul, ketika kita mencoba untuk mengenggam apa yang tak bisa digenggam. Ambisi berarti mencoba mencengkeram gelombang. Itu tidak akan mungkin dilakukan, dan justru menghantar kita pada penderitaan.

Ingatlah apa yang dikatakan oleh Herakleitos, pemikir Yunani kuno, lebih dari dua ribu tahun yang lalu: pantha rei. Segalanya mengalir. Karir, uang, harta, nama besar dan kuasa tak akan pernah bisa digenggam, karena semuanya mengalir. Cinta dan hubungan juga tidak akan pernah bisa digenggam, karena semuanya adalah perubahan.

Saat ini

Dengan menyadari arti sesungguhnya dari dunia dan kehidupan ini, kita lalu secara alami melepas segalanya. Ambisi padam. Pikiran yang mencengkeram pun secara alami lenyap. Yang tersisa hanya sepercik kehidupan dan kesunyian yang mengantarkan kita pada kedamaian.

Kita berhenti untuk mengontrol masa depan. Kita berhenti untuk terobsesi pada masa lalu. Ingatlah bahwa segalanya adalah perubahan. Segalanya mengalir dari saat ke saat, tanpa menyisakan satu bentuk apapun yang bersifat tetap. Tidak ada yang bisa dipegang, apalagi dicengkeram.

Kita pun secara alami kembali ke saat ini. Apa yang sedang anda lakukan? Lakukan sepenuh hati. Just do it!

Waktunya makan, sepenuhnya makan. Waktunya berjalan, sepenuhnya berjalan. Waktunya sakit, sepenuhnya sakit. Semuanya mengalir dari saat ke saat. Just do it!

Kesadaran akan saat ini (now awareness) itulah yang mesti dikenali, dan dipertahankan dari saat ke saat (recognizing and maintaining awareness). Jika gagal, kembali lagi ke saat ini, dan lakukan lagi. Inilah inti terdalam dari Zen. Inilah inti dari pencerahan dan pembebasan yang sesungguhnya.

Tentu saja, saya tidak menerangkan hal ini ke teman saya. Ia belum siap. Ambisi atas harta dan nama besar masih memenjara pikirannya. Mungkin nanti, setelah ia ditabrak ratusan kegagalan, baru ia sadar, bahwa ambisi dan upayanya mencengkeram dunia adalah sesuatu yang sia-sia.

Teman saya mungkin belum siap. Ya sudah. Yang lebih penting adalah, apakah Anda sudah siap?

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Zen dalam Percakapan appeared first on .

Siapa itu Nagini JK Rowling yang Konon dari Indonesia?

$
0
0

“Naga adalah makhluk dongeng mirip ular dalam mitologi Indonesia, dinamakan ‘Nagini.’ Mereka digambarkan sebagai makhluk bersayap setengah manusia, setengah ular. Indonesia terdiri dari ratusan kelompok etnis,” tulis JK Rowling di akun Twitter pada Rabu (26/9).

Sesosok tokoh baru dimunculkan dalam film Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald yang akan diputar November 2018 mendatang mengundang kehebohan mancanegara terutama Indonesia. Beberapa selebriti tanah air hampir saja mendapatkan peran sebagai Nagini, pada akhirnya peran tersebut didapatkan oleh aktris Claudia Kim dari Korea, yang tentu saja juga mengundang kehebohan lain.

Tapi siapa sih Nagini yang dimaksud Rowling? Jika kita lihat naga di Jawa misalnya naga Ananta(boga) digambarkan sebagai naga bersayap. Raja naga Ananta(boga) ini memiliki seorang putri bernama Dewi Nagagini yang namanya berasal dari Nagini (naga perempuan).

Apakah ini legenda Jawa atau sarat dengan histori Hindu-Buddha yang telah lama hilang? Di kitab Hindu Srimad-devi Bhagavatam disebutkan bahwa Nagaraja Ananta juga memiliki putri nagini bernama Manasadevi pemuja Siwa dan Wisnu, saudara dari Vasuki (Basuki). Baik di Hindu maupun Buddhis, Manasadevi memiliki nama lain sebagai Janguli. Khususnya di Buddhis Nagini Janguli ini dianggap sebagai perwujudan/asisten dari Bodhisattva Tara. Janguli kadang digambarkan dengan warna kuning atau hijau.

Tercatat bahwa teks sutra Janguli dibawa melewati Nusantara sekaligus diterjemahkan oleh Amoghavajra dalam bahasa Tionghoa (佛說穰麌梨童女經). Dikisahkan bahwa Buddha Shakyamuni suatu ketika bertemu dan menceritakan berbagai kualitas kebajikan dari nagini Janguli termasuk mantra-mantranya.

Jika melihat kenyataan bahwa Dewi Nagagini juga adalah nama lain Dewi Sri Nyai Pohaci maka di Buddhis juga dikenal sosok tersebut. Dalam naskah Suvarnaprabhasasottama Sutra misalnya, diceritakan kualitas-kualitas dari Dewi Sri. Di Jawa juga ditemukan Avalokiteshvara berpasangan dengan Dewi Sri yang memegang padi bernama Vasudhara.

Nagini Rara Kidul beda lagi, ia diidentikkan dengan manifestasi Durga. Rara Kidul dan putrinya Widanangga bertempat suci di Dlepih yang juga merupakan tempat suci Betari Durga (Sanghyang Pramoni). Kisah Senapati bertemu Ratu Kidul dalam Babad Tanah Jawi juga mirip dengan kisah pertemuan Rama dengan Nagini di Ramayana versi Asia Tenggara. Kaitan Ratu Kidul dengan Hindu-Buddha juga sangat menarik jika dieksplorasi lebih jauh dengan pemujaan Dewi-dewi perairan di Bali.

Ada beberapa penelitian yang mengaitkan pemujaan Rara Kidul dengan Bodhisattva Tara karena Candi Kalasan, janji keselamatannya bagi para pengarung lautan dan warna hijaunya. Sebenarnya ini tidak keliru juga. Bagi sistem Hindu, Tara adalah manifestasi Durga salah satu Mahavidya. Dari perspektif Buddhis, Bodhisattva Tara dapat menjadi Vasudhara (Dewi Sri), Nagini Janguli maupun sosok krodha seperti Ugra Tara yang erat kaitan ikonografi dan kisah-kisahnya dengan aspek-aspek Durga bahkan beberapa bernama sama dengan Durga.

Rajanaga Ananta ayah Dewi Nagagini juga ditemukan dalam sejumlah naskah Tantra Buddhis, salah satunya adalah dari Sutra Mahamayurividyarajni yang terkenal di Tiongkok. Menurut Bon Tibet, Raja Ananta yang menyimpan naskah Prajnaparamitahrdaya Sutra.

Kisah-kisah nagini tidak hanya ada di Indonesia namun juga negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur seperti Tiongkok dan Korea. Jika kita teliti, Avalokiteshvara seringkali didampingi juga oleh Nagini Nagakanya di berbagai lukisan Tionghoa atau kelenteng-kelenteng. Nagini Nagakanya adalah putri dari Rajanaga Sagara (Jawa: Segara).

Kisah legenda nan dinamis dan melewati batas-batas versi yang kaku ini menginspirasi JK Rowling untuk membuat satu sosok kontroversial Nagini yang menghidupkan kembali legenda-legenda berbagai negara ini, terutama Indonesia sebagaimana aku si penulis.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness.

The post Siapa itu Nagini JK Rowling yang Konon dari Indonesia? appeared first on .

Anak-anak Korban Gempa Lombok Sudah Kembali Sekolah

$
0
0

Korban gempa bumi Kabupaten Lombok Utara, perlahan mulai bangkit. Para pengungsi kini telah kembali ke kampungnya masing-masing. Mereka membangun tempat tinggal sementara di atas reruntuhan rumahnya menggunakan tenda, ada juga yang membuat rumah dari bambu dengan atap daun kelapa.

Para warga yang awalnya tinggal di pengungsian kini juga sudah mulai beraktifitas kembali. Para petani kembali menggarap ladangnya, karyawan mulai bekerja, para mahasiswa juga sudah kembali ke kampus dan anak-anak juga sudah kembali ke sekolah.

“Anak-anak sudah mulai sekolah, bahkan saya juga sudah bolak-balik ke Mataram untuk melanjutkan kuliah saya,” tutur Budiartoyo, salah satu pemuda Buddhis dari Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Lombok Utara kepada BuddhaZine, Jumat (5/10).

Hal yang sama diungkapkan oleh Bhante Saccadhammo dari Posko Vihara Buddhavamsa, Dusun Lenek. Meskipun posko masih dibuka, para pengungsi juga sudah mulai kembali ke rumah dan bekerja seperti biasa. “Sekarang masyarakat telah kembali ke rumah masing-masing, tapi posko masih dibuka,” terang bhante.

Saat ini Vihara Buddhavamsa juga digunakan untuk tempat belajar sementara Sekolah Dasar Lenek. Sudah lebih dari satu bulan ini, anak-anak sekolah sudah belajar di tenda darurat yang dibuat di sawah dekat vihara.

“Baru kemarin anak-anak kelas 3 – 6 pindah di bangunan sekolah sementara yang dibangun di area Vihara Buddhavamsa. Untuk kelas 1 dan 2 masih di tenda darurat,” tulis bhante kepada BuddhaZine.

Tak hanya itu, di posko Buddhavamsa juga menyelenggarakan bimbingan belajar kepada anak-anak usia sekolah pada sore hari. Mereka mendatangkan relawan untuk membimbing dan mengajak bermain anak-anak sekitar dusun Lenek.

Tujuh mahasiswa STAB Syailendra misalnya yang saat ini bertugas menjadi relawan di sana. Mereka adalah; Khanti Adhisti, Danang Setyadi, Yuli Setyanto, Musini, Rusmiyati, Veni Ratana, dan Andrean.

“Saat ini para mahasiswa yang dikirim oleh WANDANI ini kami tugaskan untuk mengisi kegiatan seperti aneka permainan, berbagi pengetahuan Dhamma kepada anak-anak, dan mengajarkan anak-anak tampil di depan,” pungkas bhante.

Tak hanya mengajar dan mengajak bermain anak-anak, selama berada di sana para mahasiswa ini juga dikirim untuk mengisi ceramah Dhamma di posko-posko pengungsian.

The post Anak-anak Korban Gempa Lombok Sudah Kembali Sekolah appeared first on .


Perdamaian dan Toleransi Sekolah Perempuan di Desa Getas, Temanggung

$
0
0

“Salah satu yang membuat kita berada di sini adalah budaya damai masyarakat Desa Getas. Ibu-ibu dapat kumpul di sini meski dari latar belakang berbeda. Di Indonesia ini masih banyak orang-orang yang anti perbedaan,” tutur Maskur Hasan, saat mengawali penyampaian materi Menggali Nilai-nilai Lokal Perdamaian Rabu, (3/10/2018).

Materi ini disampaikan dalam acara Training Perdamaian dan Toleransi Sekolah Perempuan Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Acara yang diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia selama dua hari; Rabu – Kamis (3 – 4/10/2018) di aula balai Desa Getas.

Pada sesi ini, sebanyak 30 peserta yang didominasi oleh kaum perempuan diajak untuk diskusi menggali nilai-nilai dan budaya lokal yang masih dilestarikan masyarakat Desa Getas. “Menurut data yang kami peroleh, di desa ini terdapat tiga agama; Buddha, Islam, dan Kristen. Di tengah perbedaan ini ibu-ibu bisa hidup rukun, pasti ada nilai dan budaya lokal yang membuat bapak ibu bisa hidup bersama,” kata Maskur lebih lanjut.

Sadranan, gotong royong, merti dusun, kendurian, ngendong, perayaan hari ulang tahun RI, Jumat bersih dan aneka kesenian lokal masuk dalam dafatar saat peserta diminta menuliskan nilai lokal perdamaian dalam sebuah kertas. Masih dilestarikannya kesenian daerah dan berbagai budaya lokal ini menurut peserta yang membuat mereka bisa hidup bersama.

“Saat ada tetangga yang meninggal, tidak peduli apa agamanya semua orang terlibat membantu. Mulai dari memandikan jenazah, ambil rumput untuk pakan ternak yang lagi berduka selama satu minggu secara bergantian hingga ngendong (bila yang meninggal umat Buddha, dibacakan paritta selama satu minggu di rumah duka, selesai bacar paritta orang-orang akan berjaga semalaman di tempat tersebut),” terang salah satu peserta.

Lestarinya berbagai kesenian daerah juga dinilai sebagai salah satu sarana pemersatu masyarakat Desa Getas. “Kalau sudah berbicara soal kesenian, masyarakat sini sudah melampaui nilai-nilai materi. Kesenian kuda kepang, warok, topeng ireng, soreng, koncer masih sangat dilestarikan. Saat perayaan 17 Agustus misalnya, satu tim kesenian bisa tampil puluhan kali dalam satu bulan, mereka tidak dibayar. Dan ini hampir setiap dusun ada grup keseniannya,” terang peserta lain.

Sebagai kesimpulan, nilai-nilai ini menurut maskur yang menjadi kunci toleransi masyarakat Desa Getas. “Ini harus dilestarikan, Inilah Indonesia”.

AMAN, penggagas sekolah perempuan

AMAN merupakan Lembaga Internasional yang berpusat di Bangkok, Thailand. Lembaga ini konsen terhadap isu-isu perempuan dan perdamaian, salah satunya melalui program Sekolah Perempuan.

Di Indonesia saat ini AMAN telah membentuk tiga puluh sekolah perempuan yang tersebar di tujuh provinsi. Di Jawa Tengah saat ini baru ada di Wonosobo dan baru merintis di Temanggung, yang akan di mulai dari Desa Getas.

Terdapat tiga alasan mengapa Desa Getas dipilih sebagai tempat memulai Sekolah Perempuan. Pertama, kondisi hubungan sosial masyarakat, (interaksi, interelasi, dan interdependensi) melalui budaya lokal yang hampir setiap tahun dilaksanakan. Mereka selalu membuka ruang-ruang kebersamaan untuk saling mengharagai dan menerima berbagai aktifitas keagamaan maupun sosial seperti perayaan hari-hari besar keagamaan yang saling melibatkan, melaksanakan perayaan dan penghormatan terhadap leluhur dan alam (nyadran) yang dilakukan secara bersama.

Kedua, Masyarakat Getas khususnya perempuan mempunyai peran besar dalam merawat perdamaian melalui kegiatan keagamaan. Mereka terlibat langsung dalam proses persiapan dan pelaksanaan kegiatan.

Ketiga, organisasi peremuan keagamaan cukup maju. Ini ditandai dari aktifitas rutin mereka di internal agama masing-masing yang menguatkan tingkat spiritual dan relasi agama, masyarakat, dan alam.

The post Perdamaian dan Toleransi Sekolah Perempuan di Desa Getas, Temanggung appeared first on .

Jangan Ada Lagi Berita Bohong di Antara Kita

$
0
0

Kasus penyebaran berita bohong alias berita palsu yang mengemuka pada minggu lalu menyita cukup banyak perhatian khalayak. Di media sosial dan beberapa stasiun televisi, kasus yang dilakoni oleh seorang aktivis itu ramai diperbincangkan.

Ada banyak komentar yang disampaikan tentang kasus itu, dan isinya mayoritas “bersuara” negatif: mengumpat, mencemooh, mencibir, mengkritik, memaki, menghujat atau bahkan mengecam! Biarpun sudah lewat seminggu, kasus itu masih saja dibahas, seolah itu menjadi “bumbu-bumbu” yang renyah dalam obrolan sehari-hari.

Saya tidak ingin ikut-ikutan membahas kasus itu di dalam tulisan ini. Biarlah kasus itu menjadi bahan omongan di forum lain. Namun, saya lebih tertarik mengupas satu aspek yang terdapat di dalam kasus itu, yaitu berita bohong.

Berita bohong atau kabar palsu sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru. Ia telah ada bertahun-tahun yang lalu dengan nama yang berbeda. Ada yang menyebutnya fitnah, dusta, bohong, tipu, dan seterusnya. Makanya, kasus penyebaran berita bohong sejatinya bukan sekali-dua kali terjadi. Ia telah terjadi berulang kali. Hanya saja, pelaku, latar peristiwa, dan persoalannya saja yang berbeda. Sisanya sama.

Zaman Buddha

Pada kehidupan Buddha Gotama, penyebaran berita bohong juga terjadi. Berkali-kali Buddha Gotama didera berita bohong, sebagai akibat atas ketidaksukaan sejumlah petapa terhadap beliau. Satu kasus yang terus dikenang ialah kasus Cinca. Cinca adalah seorang wanita penghibur yang punya daya tarik fisik. Namun, di balik kecantikannya, ia memiliki hati yang jahat, sebuah hati yang diselimuti kegelapan.

Pada suatu hari, Cinca diminta melaksanakan “siasat licik” oleh para petapa telanjang. Mereka ingin Cinca menyebarkan berita bohong terhadap Buddha, agar reputasi Buddha runtuh di mata umatnya. Ternyata sudah sejak lama, para petapa itu memendam kebencian terhadap Buddha, sebab Buddha dianggap telah merebut umat mereka. Akibatnya, hidup mereka menjadi sulit, lantaran tidak ada yang bersedia menyokong mereka lagi.

Cinca akhirnya menyanggupi permintaan itu. Pada suatu malam, ia datang berkunjung ke wihara tempat Buddha sedang mengajar. Namun, tidak seperti umat lainnya, ia hanya berseliweran di sekitar wihara. Sewaktu berpapasan dengan umat yang datang, ia berkata akan bermalam bersama Samana Gotama.

Padahal, nyatanya, Cinca sama sekali tidak melakukan itu. Ia hanya ingin “mencangkokkan” kesan negatif di pikiran umat terhadap Buddha. Ia ingin membangun persepsi bahwa Buddha sudah menyimpang dari ajaran-Nya, dan tidak lagi suci. Singkatnya, ia telah menyebarkan berita bohong di kalangan umat dengan tujuan jahat.

Beberapa bulan kemudian, Cinca datang lagi ke wihara. Kali ini, ia memainkan “drama” yang lain: pura-pura hamil. Makanya, sebelum berkunjung, ia mengikatkan potongan kayu di sekitar perutnya. Ditutupinya potongan kayu itu dengan pakaian tebal untuk menyamarkan bentuknya. Perutnya pun terlihat buncit, layaknya wanita hamil pada umumnya.

Kemudian, di dalam perjalanan, Cinca menebarkan berita bohong bahwa “janin” yang berdiam di rahimnya adalah hasil hubungan gelapnya dengan Samana Gotama. Ia terus saja “memviralkan” berita bohong itu. Bahkan, di dalam wihara sekali pun, tanpa rasa malu dan takut, ia berani membikin keonaran, menuding Buddha dengan tuduhan yang bukan-bukan.

Marah

Alih-alih marah, Buddha bersikap tenang menanggapi tuduhan itu. Buddha tahu bahwa kebenaran ujung-ujungnya akan terungkap. Bukankah serapat apapun seseorang menutupi bangkai yang telah membusuk, baunya tetap akan terendus juga pada akhirnya?

Demikianlah yang dialami Cinca. Kebohongan yang disiarkannya akhirnya terbongkar setelah sejumlah tikus tiba-tiba datang menggerogoti tali yang mengikat kayu di perutnya. Tali itu putus, dan potongan kayu jatuh mengenai kakinya. Kakinya pun bengkak-bengkak dan ia pun mengerang kesakitan. Orang-orang yang melihat “drama” itu pun menjadi geram. Mereka pun hendak menyerang Cinca.

Oleh karena merasa nyawanya terancam, Cinca memutuskan kabur. Namun, sebelum ia meninggalkan pelataran wihara, bumi merekah, dan ia pun terjeblos masuk ke neraka. Sebuah akhir yang malang bagi si penyebar berita bohong.

Kasus yang dialami Cinca sebetulnya memberi banyak “hikmah” untuk kita. Di antaranya adalah kebenaran suatu saat akan terungkap, kesabaran akan mengantar pada terselesaikannya masalah, dan penyebar berita bohong akan memetik ganjaran yang setimpal.

Oleh karena telah terjadi pada masa lalu, masih terjadi pada masa kini, dan mungkin terus terjadi pada masa depan, Buddha melihat “bahaya laten” dari berita bohong. Buddha menyadari bahwa orang-orang yang “mengembuskan” berita bohong akan menderita sebagai akibat dari perbuatan jahatnya.

Makanya, dalam banyak kesempatan, Buddha menganjurkan orang-orang untuk taat melaksanakan sila. Sebab, di dalam sila, terdapat anjuran untuk menghindari ucapan bohong.

Buddha tentu punya alasan mengapa beliau menyarankan orang-orang berkata jujur, bebas dari dusta. Alasannya sebetulnya sederhana: karena orang-orang tidak mau dibohongi. Seperti diri kita, orang lain pun benci didustai, ditipu, dikelabui.

Makanya, sebagai umat Buddha, kita terus diwanti-wanti berkata jujur, jangan memperdaya orang lain lewat kata-kata. Sungguh perih rasanya kalau kita dibohongi oleh orang-orang di sekitar kita. Apalagi kalau ia adalah orang yang kita kenal dekat, macam orangtua, pasangan, atau bahkan sahabat. Lebai? Mungkin. Namun, demikianlah kenyataannya. Contohnya banyak, bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, perkataan jujur juga menunjang kesuksesan seseorang. Dengan terbiasa berkata jujur, kita akan jadi orang yang lebih mudah dipercaya, dan kalau sudah dipercaya, bukankah semua urusan menjadi lancar.

Mau pinjam uang, orang lain akan bersedia kasih utang sebab ia percaya kepada kita, bahwa kita akan melunasi pinjaman sesuai janji. Mau buka usaha, orang lain akan kasih modal, lagi-lagi karena ia percaya kita tidak akan bawa lari uangnya. Mau punya pasangan ideal, orang lain pun akan tertarik lantaran ia percaya bahwa kita tidak akan “mendua”. Berkat kepercayaan, apa-apa jadi gampang.

Jadi, untuk menangkal persebaran berita bohong, sebetulnya “rumusnya” mudah saja: laksanakan sila keempat dengan sebaik-baiknya. Saya tidak melihat kerugian yang mungkin timbul kalau kita melaksanakannya. Sebab, kalau dihitung-hitung, pelaksanaan sila keempat tak hanya “mengerem” keburukan yang bisa menyebabkan penderitaan, tetapi justru “mendongkrak” keberhasilan dalam hidup.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

The post Jangan Ada Lagi Berita Bohong di Antara Kita appeared first on .

Teknik Meditasi Universal oleh S.N. Goenka

$
0
0

Ratusan ribu orang, mulai dari para petani India yang buta huruf hingga para pastor Katolik Roma, telah memperoleh manfaat dari 10 hari pelatihan meditasi yang dirintis oleh Guru Vipassana S.N. Goenka. Diambil dari ajaran-ajaran awal Buddha, Goenka mengajarkan sebuah teknik perhatian yang terpusat pada setiap perasaan, teknik yang sederhana tapi sangat manjur.

Norman Fischer: Mohon beritahu kami, jika Anda berkenan, bagaimana awal mulanya Anda melibatkan diri dalam pengajaran serta penerapan meditasi.

S.N. Goenka: Pada awalnya, saya ragu-ragu untuk mendalami ajaran Buddha. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Burma, dalam sebuah keluarga Hindu yang sangat konservatif dan fanatik. Sejak masih sangat muda kami telah diberitahu bahwa Buddha sangat luar biasa karena Beliau merupakan salah satu titisan Vishnu. Tetapi ajaran Beliau tidak dianggap bagus bagi kami.

Bagaimanapun, pada 1955, pada usia 31 tahun, saya mulai mengalami migraine yang sangat parah dan tidak bisa menemukan pertolongan atau penyembuhan apa pun. Pada saat itu, seorang sahabat yang sangat baik – saya selalu sangat berterima kasih padanya – berkata, “Pergilah dan ikutilah pelatihan meditasi sepuiluh hari ini.” Saya menjadi bimbang. Jika saya menjadi seorang Buddhis, apa yang akan terjadi pada saya? Saya akan tidak memercayai adanya suatu jiwa, saya akan tidak memercayai Dewa. Lantas saya akan terjerumus ke neraka. Oh tidak, ini bukan untuk saya.

Saya ragu-ragu selama beberapa bulan, tetapi kemudian sahabat saya kembali mendorong saya, “Mengapa Anda tidak pergi dan menemui U Ba Khin?” Sebagai seorang guru vipassana (meditasi pandangan terang), U Ba Khin merupakan seorang perumahtangga, dan bahkan faktanya, merupakan seorang pegawai pemerintahan. Saat saya pergi menemuinya, saya segera merasa bahwa beliau seorang yang suci. Hal pertama yang saya ucapkan adalah, “Saya datang demi migraine saya.” Beliau berkata, “Tidak, Goenka, saya tidak dapat membantumu. Pergilah ke dokter.”

Akibat tanggapan tersebut, saya menjadi sangat tertarik padanya. Anda tahu, pada saat itu saya merupakan seorang yang sangat populer dalam komunitas saya sendiri. Saya merupakan Presiden dari Kantor Perdagangan dan Industri, sekaligus seorang presiden atau sekretaris dari sekurang-kurangnya dua puluh organisasi sosial, termasuk berbagai sekolah dan rumah sakit.

Lazimnya, seorang guru akan merasa hebat jika memiliki seseorang yang sedemikian istimewa sebagai siswanya.  Sebaliknya, beliau malah berkata, “Tidak, saya tidak akan menerima Anda.” Beliau tidak memiliki kemelekatan terhadap nama maupun ketenaran atau keuntungan pribadi.

Beliau menjelaskan dengan sangat menyenangkan, “Lihat, apa yang saya ajarkan adalah sebuah jalan spiritualitas yang tinggi dari India, tetapi negara kita telah kehilangannya. Janganlah merendahkannya. Janganlah menggunakan teknik ini untuk mengobati suatu penyakit fisik. Teknik ini dapat membebaskan Anda dari segenap penderitaan, tidak hanya sekadar penderitaan akibat migraine.”

Pendekatan beliau menarik hati saya, tetapi saya masih tetap penuh kebimbangan. Bagaimanapun, ini adalah agama Buddha. Kemudian beliau menanyakan sebuah pertanyaan pada saya, “Anda adalah seorang pemimpin dari komunitas Hindu di Burma sini. Apakah agama Hindu Anda memiliki keberatan tertentu terhadap sila? Tak ada agama mana pun di dunia yang akan berkata bahwa mereka bertentangan dengan aturan moralitas. Maka saya menjawab, “Tidak Tuan, saya sama sekali tidak memiliki keberatan apa pun sehubungan dengan sila.”

Beliau melanjutkan, “Bagaimana Anda melaksanakan sila jika Anda tidak memiliki kendali atas pikiran Anda? Saya akan mengajarkan padamu tentang pengendalian pikiran. Saya akan mengajarkanmu meditasi.” Dalam naskah Hindu, samadhi, konsentrasi, dipandang sebagai sesuatu yang sangat tinggi. Kaum Rshi, para meditator agung, semua melakukan meditasi. Tetapi kami para perumahtangga tidak tahu apakah meditasi itu. Kami menghargainya, tetapi kami tidak memahami apa sesungguhnya meditasi itu. Jika seseorang ingin (menjelaskannya) maka hal ini sungguh luar biasa. “Tidak, Tuan,” saya menjawab, “Saya sama sekali tidak memiliki keberatan terhadap meditasi.”

Selanjutnya ia berkata, “Baiklah, semata-mata meditasi saja, tidak akan bekerja. Ia akan mengendalikan pikiranmu, tetapi jauh di dalam pola perilaku itu layaknya gunung berapi yang tertidur. Ia akan meletus lagi, dan Anda akan melupakan segalanya, Anda akan melanggar sila Anda. Maka saya akan mengajarkan pada Anda pemurnian dari level pikiran yang terdalam, panna (Pali: kebijaksanaan). Apakah Anda memiliki keberatan tertentu tentang panna?”

Pada saat itu, saya merupakan seorang guru pengajar Bhagavad Gita. Saya telah menjelaskan tentang prajna (Sanskrit: kebijaksanaan) pada orang-orang, tetapi saya tidak sungguh-sungguh memahaminya, saya tidak pernah mempraktikkannya. Itu hanyalah ujaran percakapan semata.

Seringkali setelah memberikan sebuah kuliah/ceramah tentang prajna, saya akan pulang ke rumah dan merasa sangat menyesal. Mengapa saya berbicara tentang semua ini? Saya tidak memiliki pengalaman terbebas dari kemelekatan, kemerdekaan dari rasa antipati. Saya memiliki ego yang demikian besar, akan tetapi saya berbicara tentang prajna. Maka saya berkata pada U Ba Khin, “Seandainya seseorang mengajarkan panna kepada saya, tidak, Tuan, saya tidak memiliki keberatan apa pun.”

“Baiklah, Goenka,” beliau menyahut, “Saya hanya akan mengajarkan padamu tentang sila, samadhi, dan panna.  Tidak ada yang lain. Terima sajalah demikian adanya. Jika Anda menerima hal itu, maka kemarilah.” Jadi, demikianlah, saya mengikuti pelatihan sepuluh hari, dan saya menemukan bahwa pelatihan itu bagus.  Ajaran Buddha begitu lengkap, begitu murni.

 

Norman Fischer: Dalam praktik Zen saya dan dalam bentuk-bentuk praktik Buddhis yang lain, terdapat banyak sekali ritual, juga jabatan religius, serta hierarki. Apakah Anda merasakan adanya manfaat atau keuntungan bagi agama Buddha dalam ritual?

S.N. Goenka: Saya tidak bermaksud untuk mencela siapa pun, tetapi jika guru saya meminta saya untuk melaksanakan ritus-ritus atau ritual-ritual, maka saya akan mengucapkan selamat tinggal. Tradisi Hindu saya sendiri penuh dengan berbagai upacara dan ritual-ritual, jadi, tidak masuk akal untuk mulai lagi dengan serangkaian ritual yang lain. Tetapi guru saya berkata, “Tidak, ritual yang diajarkan Buddha hanyalah sila, samadhi, panna. Tidak ada yang lain. Tidak ada yang ditambahkan dan tidak ada yang dikurangi.” Sebagaimana Buddha berkata, “Kevalaparipunnam.” (Pali: keseluruhan teknik sesungguhnya telah lengkap dalam dirinya sendiri, dalam teknik itu sendiri).

Norman Fischer: Dapatkah Anda memberitahu kami tentang pelatihan yang Anda selenggarakan, tentang petunjuk tentang vipassana – rincian tentangnya, bagaimana bekerjanya, bagaimana Anda mengajar orang-orang?

S.N. Goenka: Setiap orang yang menghadiri sepuluh hari pelatihan dasar vipassana, harus menerima lima sila (Pancasila Buddhis), karena aturan moralitas sangat penting sebagai landasan. Para siswa baru, setidaknya selama sepuluh hari tersebut, harus melaksanakan sila-sila ini dengan cermat dan rinci. Jika seseorang masih tetap melakukan pelanggaran sila, maka ia sama sekai tidak dapat mengikuti pelatihan. Setelah sepuluh hari diselesaikan, para siswa adalah tuan dan guru bagi diri mereka sendiri. Jika mereka mendapati bahwa sungguh baik bagi mereka untuk melanjutkan menjalankan sila, maka mereka dapat tetap melaksanakannya. Para siswa yang lebih senior menjalankan delapan sila.

Sedangkan tentang aspek samadhi dalam program ini, kami bekerja dengan sistem respirasi, pernapasan. Kita menggunakan cara bernapas yang alami, saat napas masuk dan keluar, mempertahankan perhatian pada wilayah terbatas – daerah pintu masuk dari lubang hidung. Selanjutnya, mulai sejak hari keempat dan seterusnya, seseorang dilatih untuk memperhatikan perasaan di sekujur tubuh – menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral – serta memahami hakikat alaminya. Setiap perasaan memiliki hakikat yang sama: timbul, tenggelam, muncul, dan berlalu.

Memahami ketidakkekalan ini, seseorang mempertahankan keseimbangan (batin yang seimbang dan tidak terpengaruh) selama mungkin. Seseorang tidak bereaksi, dan (sikap) tidak bereaksi ini mulai merubah pola perilaku dan kebiasaan pada tingkat yang lebih mendalam. Seiring berlalunya waktu, kita telah membangun dan menguatkan pola perilaku dan kebiasaan yang membuta/otomatis dari (rantai) reaksi. Setiap pengalaman menyenangkan – kemelekatan. Setiap pengalaman tidak menyenangkan – penolakan/antipati. Pola kebiasaan ini harus dipatahkan.  Ia memang dapat dipatahkan pada tingkat permukaan, tetapi Buddha ingin memurnikan keseluruhan pemikiran, maka kita bekerja pada tingkat terdalam.

 

Norman Fischer: Apakah para praktisi hanya semata-mata mengamati apa pun perasaan yang timbul pada jasmani, ataukah mereka secara sistematis bergerak mengamati berbagai bagian tuibuh yang berbeda?

S.N. Goenka: Kami menggunakan pendekatan yang sistematis. Kami ingin para siswa mencapai tahapan yang mana mereka mengalami semua jenis sensasi dan mengalaminya pada setiap bagian jasmani. Jika Anda bekerja secara sistematis, maka tahapan-tahapan dari mengalami semua jenis sensasi pada sekujur tubuh akan muncul jauh lebih dini.

Norman Fischer: Apakah ini merupakan meditasi terpandu, ketika Anda akan menyatakan, “Amati sensasi pada puncak kepala, amati sensasi di sini, amati di sana.”

S.N. Goenka: Ya, sangat mirip dengan itu, dalam pengertian bahwa para siswa mengingatkan diri mereka sendiri untuk tetap bergerak secara sistematis. Jika mereka tidak “melihat” sensasi apa pun, mereka tinggal selama kurang lebih satu menit dan kemudian kembali bergerak dengan tenang. Apakah timbul beberapa sensasi, ataupun tidak ada yang muncul sama sekali, anda tetap bergerak terus.

Norman Fischer: Sutra-sutra berbicara tentang banyak jenis orang dengan banyak kecenderungan yang berbeda-beda.  Apakah Anda dapat menemukan, bahwa teknik ini bekerja lebih baik bagi beberapa jenis orang tertentu dibandingkan dengan yang lain, atau bahwa beberapa orang tidak dapat melaksanakannya?

S.N. Goenka: Sepanjang pengalaman saya, saya belum menemukan seorang pun yang tidak mampu melakukannya.  Orang yang paling buta huruf dari desa-desa di India, orang-orang yang belum pernah mendengar apa yang diajarkan Buddha, maupun orang-orang yang telah lama menganut agama Buddha, semuanya mendapatkan hasil yang setara. Hal ini sangat sederhana. Ketika saya meminta mereka untuk mengamati napas, mereka mengamati napas. Seseorang yang buta huruf juga dapat mengamati napas. Mereka dapat mengarahkan perhatiannya ke bagian tubuh tertentu. Di mana kesulitannya?

Norman Fischer: Anda merujuk pada Pertemuan Perdamaian Dunia (World Peace Summit) di Amerika Serikat.  Apakah hubungannya, suatu teknik meditasi, yang nampak sebagai hal yang bersifat sangat pribadi, dengan perdamaian dunia?

S.N. Goenka: Kita menginginkan kedamaian bagi seluruh umat manusia, tetapi kita tidak peduli apakah terdapat kedamaian dalam pikiran para individunya. Saat kita berbicara tentang umat manusia, maka manusialah pokok bahasan yang paling utama. Dan ketika kita berbicara tentang perdamaian, maka pikiran merupakan pokok bahasan utama. Jadi, pikiran dari setiap individu yang harus diutamakan. Tanpa adanya kedamaian dalam pikiran masing-masing individu, bagaimana mungkin terdapat perdamaian dalam masyarakat ?

Mungkin terdapat teknik-teknik yang berbeda. Kami tidak mengatakan bahwa ini merupakan cara satu-satunya.  Bagi saya ini merupakan jalan satu-satunya, tetapi agama lain menyatakan bahwa mereka memiliki cara yang lain bagi umat untuk menemukan kedamaian dan keselarasan. Sangat bagus, silakan lanjutkan.

Tetapi apa yang saya ajarkan bersifat universal. Setiap orang bisa mempraktikkannya, dari agama maupun tradisi apa pun mereka berasal, dan mereka akan memperoleh hasil yang sama. Kami mempunyai pengikut pelatihan vipassana yang berasal dari setiap agama yang ada di dunia, dan mereka memperoleh hasil yang sama. Saya tidak berkata pada mereka, “Rubahlah diri Anda dari agama ini menjadi agama itu.” Guru saya tidak pernah meminta saya untuk berpindah mengikuti agama mana pun. Perubahan satu-satunya adalah dari penderitaan menuju kebahagiaan.

 

Norman Fischer: Kenyataan bahwa tiada ritual apa pun (yang harus diikuti), memudahkan orang dari mana pun untuk bergabung.

S.N. Goenka: Lebih dari dua ribu pendeta serta biarawati Kristiani telah mengikuti pelatihan meditasi ini. Seorang biarawati, seorang suster kepala yang telah berusia lebih dari 75 tahun, memberitahu saya, “Anda mengajarkan Kristiani dalam nama agama Buddha. Saya seharusnya mempelajari teknik ini lima puluh tahun yang lalu.” Karena sesungguhnya tidak terdapat teknik apa pun dalam latar belakangnya. Ia telah berkotbah tentang cinta kasih dan welas asih bagi yang lain, tetapi (ini semua) masih meninggalkan pertanyaan dalam hatinya tentang bagaimana sesungguhnya menerapkan cinta kasih dan welas asih.

Dengan teknik vipassana, Anda memurnikan pikiran pada akarnya. Cinta kasih akan timbul secara alamiah. Anda tidak harus melakukan suatu upaya tertentu untuk mempraktikkan metta, cinta kasih murah hati. Ia begitu saja muncul dengan sendirinya.

Norman Fischer: Jadi, sekalipun tidak terdapat upaya untuk merubah keyakinan, bagaimanapun, orang lain tetap tertarik terhadap pelatihan ini?

S.N. Goenka: Orang-orang tertarik oleh hasil-hasil dari latihan yang mereka saksikan dalam diri orang lain. Saat seseorang sedang marah, pengaruh dari kemarahan membuat setiap orang tidak bahagia, termasuk diri mereka sendiri. Anda merupakan korban pertama dari kemarahan Anda sendiri. Kesadaran ini merupakan hal lain yang menarik saya pada ajaran Buddha.

Pada hari-hari awal saya, saya percaya bahwa Anda menjalani sebuah kehidupan yang bermoral agar tidak mengganggu kedamaian dan keharmonisan masyarakat. Dengan kata lain, sebagai seorang Hindu, saya memahami bahwa seseorang harus menjalani kehidupan yang bermoral sebagai kewajiban dalam bermasyarakat.

Tetapi saat saya mengikuti pelatihan sepuluh hari saya yang pertama, saya mulai memahami bahwa saya tidak memiliki kewajiban terhadap siapa pun yang lain, saya memiliki kewajiban terhadap diri saya sendiri. Karena ketika saya melakukan tindakan apa pun yang tidak baik, saya tidak akan dapat melakukan tindakan tersebut, kecuali saya telah memunculkan kotoran batin dalam pikiran saya.

Setiap noda batin, setiap tindakan yang tidak baik, diawali oleh pikiran yang tidak baik. Sebagaimana dikatakan Buddha, “Pubbe hanatu attanam, paccha hanati so pare” – “Mula-mula Anda akan membahayakan diri Anda sendiri, baru kemudian membahayakan orang lain.” Anda tidak dapat membahayakan siapa pun tanpa membahayakan diri Anda sendiri.

Hal itu sungguh menyadarkan saya. Sebelumnya, saat saya marah, pikiran saya terserap dalam pemikiran tentang orang lain beserta situasinya. Pikiran saya akan berkisar di seputaran hal tersebut tanpa mengetahui bahwa pemikiran yang demikianlah yang memberikan bahan bakar bagi api kemarahan. Saya belum pernah diajar untuk mengamati diri saya sendiri.

Ketika saya mulai mengamati diri sendiri, saya menemukan kemarahan, banyak kebakaran. Sekujur tubuh saya membara, detak jantung saya meningkat, tekanan meninggi.  Saya berpikir, “Apa yang saya lakukan? Saya sedang membakar diri saya sendiri!”

Setelah mempraktikkan teknik meditasi, sekarang saya mengetahui bahwa saat saya menjalani hidup dengan melaksanakan sila saya melaksanakan kewajiban saya sendiri dahulu, dan bukannya orang lain. Orang lain turut melaksanakan kewajiban mereka, adalah sesuatu yang bagus, tetapi, saya adalah orang pertama yang menikmati manfaatnya. Hal inilah yang merupakan perbedaan yang indah dan luar biasa dalam ajaran Buddha jika dibandingkan dengan ajaran lain mana pun yang saya tahu.

 

Norman Fischer: Saya mengerti bahwa Anda bersahabat dekat dengan Yang Mulia Dalai Lama. Dapatkah Anda memberitahu kami, bagaimana hal tersebut berkembang, terutama dikarenakan tradisi Yang Mulia Dalai Lama, dengan segala pernak-pernik dan ritualnya, sungguh kontras dengan pendekatan Anda?

S.N. Goenka: Pada tahun pertama kepindahan saya ke India dari Burma, terdapat fungsi publik yang besar yang dipercayakan oleh para pengikut Dr. Babasaheb Ambedkar yang telah menjadi penganut agama Buddha. Mereka mengundang saya pada perayaan tahunan peringatan hari masuknya Dr. Ambedkar menjadi seorang Buddhis.  Terdapat sekitar satu setengah juta peserta. Yang Mulia Dalai Lama juga diundang, demikian pula saya, beserta guru Jepang Fuji Guruji. Kami diundang sebagai tamu kehormatan, dan masing-masing dari kami memberikan sepatah kata. Sambutan saya diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dan Yang Mulia Dalai Lama sangat menyukainya, sampai-sampai beliau mengatakan ingin bertemu dengan saya untuk mendiskusikan banyak hal.

Kami mulai pada pukul sembilan pagi berikutnya, dan sekitar pukul tiga, kami masih mengobrol – semua tentang teknik. Beliau sangat puas dan bahagia sehubungan penjelasan saya. Tetapi ketika saya berkata, “Terkadang beberapa orang melihat cahaya pada hari kedua atau ketiga,” Beliau menyahut, “Tidak, tidak. Itu pasti sebuah ilusi.  Bagaimana mungkin seseorang melihat cahaya dalam tiga hari? Dibutuhkan bertahun-tahun untuk melihat cahaya.”

Saya membalas, “Tuan Yang Mulia, saya melihat cahaya dengan mata saya. Demikian pula halnya banyak orang lain. Saya tidak akan berkata bahwa itu adalah sebuah ilusi. Lebih baik Anda mengirim beberapa Lama Anda dan membiarkan mereka mengalaminya sendiri. Seandainya saya salah, saya akan mengoreksinya. Saya tidak mengajarkan pada orang-orang bahwa mereka harus melihat cahaya. Itu hanyalah sebuah pertanda semata, sebuah batu penanda pada sebuah jalan yang panjang, bukan tujuan akhir.”

Kemudian beliau mengirim tiga Lama pada pelatihan saya yang berikutnya di Sarnath. Ketiganya melihat cahaya, dan mereka sangat bahagia. Saat mereka kembali dan menjelaskan hal ini pada Yang Mulia Dalai Lama, beliau juga sangat bahagia. Beliau berkata, “Goenka, datanglah kemari dan berikanlah pelatihan pada orang-orang saya.” Kemudian saya menulis balasan pada beliau, “Saat saya memberikan pelatihan, berikut ini merupakan peraturannya.  Saya tidak ingin menyinggung perasaan siapa pun, tetapi jika para Lama senior Anda tidak menyetujui peraturan saya, maka saya tidak dapat mengajar.” Beliau mengirim pesan balik pada saya, “Goenka, mereka akan mengikuti apa pun yang Anda katakan selama sepuluh hari penuh. Jadi jangan khawatir, mereka akan menaati peraturan Anda.”

Pelatihan diselenggarakan di perpustakaan Tibetan di Dharamsala, tidak jauh dari tempat Yang Mulia Dalai Lama tinggal. Pada hari pertama, saat saya memberitahukan peraturan-peraturan saya pada semua Lama peserta yang berasal dari tingkatan yang paling tinggi, mereka memprotes. “Tetapi setiap hari, kami memiliki ritual yang harus dilaksanakan, kami harus menjapa begitu banyak mantra, kami harus begitu banyak kali bersujud/bernamaskara.”

“Tidak ada yang harus dilakukan,” saya menyahut, “Selama sepuluh hari, tidak ada yang harus dikerjakan.” Dan mereka berkata, “Tidak, kami tak dapat melanggar sumpah seumur hidup kami.” Maka saya mengirimkan pesan pada Dalai Lama, “Tuan, saya tidak dapat mengajar. Orang-orang Anda tidak setuju. Maafkan saya, saya harus pergi.” Maka beliau mengirimkan pesan pada para Lama tersebut melalui sekretaris pribadinya, “Anda sekalian harus menaati instruksi Goenka, bahkan sekalipun itu berarti melanggar peraturan kalian. Apa pun yang dikatakannya, Anda sekalian harus setuju untuk mengerjakannya.” Mereka semua melaksanakannya, dan mereka semua mendapatkan hasil yang sama. Dengan atau tanpa ritus, dengan maupun tanpa ritual, teknik ini memberikan hasil.

Lazimnya, saya tidak keluar selama masa pelatihan, tetapi Dalai Lama ingin mendiskusikan bagaimana proses pelaksanaannya, maka saya mengunjungi beliau dua kali. Kami berdiskusi panjang lebar secara rinci tentang teknik yang saya ajarkan dan tentang teknik beliau juga – tanpa menghakimi, hanya membahas dengan rasa keingintahuan yang tulus. Masing-masing dari kami sungguh sangat menikmati diskusi-diskusi tersebut. Sejak saat itu kami menjadi sahabat.

Saya tidak tertarik terhadap politik apa pun. Tentu saja saya memiliki simpati yang mendalam terhadap apa pun yang terjadi terhadap masyarakat Tibet, tetapi saya tidak dapat mengangkat masalah itu. Itu bukan merupakan bagian tugas saya sebagai seorang guru Dharma. Bahkan orang yang paling tidak demokratis, bahkan tiran yang paling agung, akan menjadi seorang manusia yang baik jika ia berlatih. Sebagaimana Buddha tidak tertarik terhadap politik dari para raja pada zaman-Nya, maka itu juga bukan merupakan pekerjaan saya juga. Yang Mulia Dalai Lama memahami hal tersebut dengan sangat baik. Kami bukan merupakan teman politik, melainkan lebih sebagai teman dalam Dharma.

Beliau pernah terus bertanya pada saya tentang sunnata, kekosongan. “Anda tidak menemukan kesunyataan?” demikian beliau akan bertanya. Tetapi setelah saya menjelaskan pemahaman saya tentang hal tersebut, beliau menerima apa yang saya utarakan, bahwa semua kepastian yang kokoh akan melebur dalam teknik, dan tak ada yang tersisa kecuali getaran, dan itulah sunnata.

Selanjutnya Anda akan mengalami sesuatu yang melampaui pikiran dan bentuk-bentuk – sunna – tak ada sesuatu pun untuk dipegang/dilekati di sana. Anda memiliki kesunyaan dari pikiran dan substansi (nama dan rupa), serta kesunyaan dari yang melampaui cakupan kesadaran dan substansi (melampaui nama – rupa). Yang Mulia nampaknya cukup puas dan bahagia dengan penjelasan tersebut. Beliau tidak memiliki keberatan apa pun.

 

S.N. Goenka merupakan seorang guru meditasi vipassana dalam tradisi dari mendiang Sayagyi U Ba Khin dari Burma (Myanmar). (www.lionsroar.com)

The post Teknik Meditasi Universal oleh S.N. Goenka appeared first on .

Ulang Tahun ke-42 Magabudhi Luncurkan Buku Sejarah

$
0
0

Tanggal 3 Oktober 2018, Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) genap berusia 42 tahun. Magabudhi berdiri pada tanggal 1976 di Bandung, Jawa Barat, dengan nama awal Mapanbudhi (Majelis Pandita Buddha-dhamma Indonesia).

Bhikkhu Jayamedho, dalam bukunya Menapak Pasti; Kisah Spiritual Anak Madura menyebutkan bahwa berdirinya Mapanbudhi adalah awal berkibarnya bendera Theravada di Indonesia. Beberapa tokoh yang tercatat dalam pendirian organisasi ini adalah Mahapandita Karbono, Mahapandita Vidyadharma, Mochtar Rasyid, Hudoyo Hupudio, Djamal Bakri, dan Ratna Surya Widya.

Pada tahun 1995, Mapanbudhi berganti nama menjadi Magabudhi (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia). Perubahan nama ini berdasarkan saran dari Budi Setiawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Buddha, Kementerian Agama RI dengan alasan penyeragaman serta memperjelas identitas.

Merayakan ulang tahun 42 berkibarnya bendera Theravada di Indonesia, Magabudhi menggelar syukuran. Acara ini diselenggarakan di Wisma Narada, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta, pada Sabtu (6/10/2018). Dalam acara yang dihadiri oleh ratusan anggota Magabudhi, Bhikkhu Sangha, dan organisasi Buddhis lain, juga digelar peluncuran buku Sejarah Singkat Agama Buddha Theravada di Indonesia; Sejak abad kedua puluh.

Buku Sejarah Singkat Agama Buddha Theravada di Indonesia; Sejak Abad kedua puluh, merekam perjalanan panjang agama Buddha mazhab Theravada di Indonesia. Theravada masuk di Indonesia sejak datangnya Bhante Narada Thera dari Ceylon, Srilanka, tanggal 4 Maret 1934.

“Bhikkhu Narada adalah bhikkhu Theravada pertama yang datang ke Indonesia sejak 450 tahun setelah agama Buddha pernah berjaya di Nusantara,” tulis Dharmanadi Chandra, Ketua Umum Magabudhi dalam kata pengantar buku tersebut.

Atas jasa Bhante Narada yang menyebarkan agama Buddha Theravada kini melahirkan tokoh-tokoh agama Buddha di Indonesia. “Jasa Bhikkhu Narada melahirkan tokoh-tokoh agama Buddha sangat besar, hingga saat ini agama Buddha Theravada telah berkembang ke seluruh pelosok Indonesia,” tulisnya.

Saat ini anggota dan kepengurusan Magabudhi telah menyebar ke berbagai provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Jumlah anggota yang terdiri dari pandita dan upacarika kurang lebih mencapai 3.900 orang. Melihat perkembangan dan peran Magabudhi membantu Sangha dalam membina umat Buddha, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, Bhikkhu Subhapannyo memberi apresiasi tinggi kepada para pandita Magabudhi.

“Kebesaran Magabudhi bukan karena kuantitas anggotanya, namun karena kiprah nyata di masyarakat. Untuk itu kualitas anggota Magabudhi (yang terdiri dari pandita dan upacarika) harus ditingkatkan, tingkah laku harus dijaga karena anggota Magabudhi adalah teladan umat,” tutur Bhante Subbhapannyo dalam sambutannya.

Sementara itu, dr. Ratna Surya Widya yang merupakan salah satu pendiri mengatakan saat ini Magabudhi sudah diakui oleh banyak kalangan Buddhis. “Semakin banyak orang Buddhis yang mau jadi anggota, dulu hanya pegawai, petani, dan pedagang kecil yang mau jadi anggota. Sekarang manajer perusahaan, direktur, pemilik perusahaan, orang kaya sudah mau jadi anggota,” tulisnya melalui pesan singkat kepada BuddhaZine.

Meskipun cita-cita saat didirikan belum sepenuhnya tercapai namun eksistensi dan peran Magabudhi saat ini sudah sangat mewarnai perkembangan agama Buddha. “Saat ada kasus Buddha Bar contohnya, para anggota MAGABUDHI turun ke jalan berdemonstrasi bersama seluruh umat Buddha, termasuk saya sebagai ketua majelis (saat itu),” pungkasnya.

The post Ulang Tahun ke-42 Magabudhi Luncurkan Buku Sejarah appeared first on .

Mindful Project, Konferensi Kebahagiaan dan Meditasi

$
0
0

Memiliki karir cemerlang, harta melimpah, tinggal di tempat mewah dengan keluarga “sempurna” bukan jaminan memiliki hidup bahagia. Anjasmara, Avi Basuki, dan Dipha Barus adalah tiga contoh nyata para pesohor tanah air yang pernah merasakan tidak bahagia, meski menurut takaran masyarakat mereka adalah contoh orang yang sukses!

“Pada tahun 2000’an saya mendapat cobaan terindah dalam hidup saya. Saya punya segalanya, istri cantik, punya karir yang baik, bahkan banyak yang mengatakan Anjasmara adalah yang terbaik dengan berbagai penghargaan. Tetapi di saat seperti itu, saya merasa ada sesuatu yang kurang, ‘kok saya tidak beneran happy ya? lalu apa arti hidup saya? syuting, terima honor, belanja-belanja kemudian untuk apa?” kata suami Dian Nitami ini dalam acara mindful project pada Minggu (14/10) di XXI Lounge, Ciputra World, Surabaya.

Di saat kegelisahannya memuncak, berbagai pertanyaan kemudian muncul dalam batinnya. “Sebenarnya tugas saya apa di dunia ini?” Dari pertanyaan introspektif tersebut, Anjasmara mulai mengenal dunia meditasi. Berbagai metode meditasi pernah dijalaninya, tetapi yang benar-benar cocok baginya adalah meditasi Buddhis.

“Saat itu saya menghabiskan hidup di luar rumah untuk syuting. Ketika ada waktu senggang saya pergi ke toko buku, saya mendapat buku panduan meditasi Buddhis. Setelah saya praktikkan ternyata bekerja, saya mendapat pencerahan di dalam diri, saya merasakan sesuatu yang luar biasa,” jelasnya.


Anjasmara

Anjasmara sebagai seorang artis yang dituntut untuk memiliki penampilan yang bagus kemudian memadukan meditasi dengan olahraga. “Saya berpikir bagaimana caranya badan saya tetap bagus dan pernapasan saya semakin baik tapi pikiran saya juga tenang. Setelah melakukan penelitian, yoga adalah jawabanya, yoga dan meditasi ini membuat saya dapat menikmati hidup,” pungkasnya.

Anjasmara adalah satu dari sembilan narasumber acara konferensi yang membahas kebahagiaan hidup. Mereka adalah Ven. Guo Jun Fa Shi, Reza Gunawan, Dipha Barus, Avi Basuki, Nayra Dharma, Helga Angelina, Mouly Surya, dan Yasa P. Singgih.


Avi Basuki

Kisah yang hampir sama juga dialami oleh Avi Basuki. Model terkenal pada era 80’an hingga tahun 90’an ini pernah tinggal selama 18 tahun di Milan, Italia. “Kehidupan saya oke sih, hidup di kota besar, kota yang sangat indah, saya juga sangat menyukai Eropa, tetapi saya merasa masih ada yang kurang. Hanya seperti menjalani; ke kantor, kerja, bayar tagihan, saya besarkan anak saya. Setelah beberapa tahun saya baru merasa ini bukan hidup yang sebenarnya,” katanya.

Untuk merubah hidupnya Avi kemudian pindah ke Bali. “Ternyata di Bali juga tidak mudah, apalagi setelah saya bilang mau berubah. Bayangan-bayangan saya, debu-debu yang selama ini saya umpetin di Milan satu persatu keluar dan harus saya hadapi satu per satu.”

Untuk menghilangkan debu-debu keburukannya itu Avi mulai menempuh mindfulness dengan menyanyikan mantram-mantram. “Sekarang saya ketika ditanya apa kabar saya bisa menjawab ‘I am great’, dan great-nya ini benar-benar great.


Dipha Barus

Cerita Dipha Barus mengatasi rasa depresinya tak kalah menarik. Salah satu DJ dan produser musik kebanggaan tanah air ini mengaku sering tegang akibat trauma di-bully dilingkungan sejak kecil. Trauma ini memengaruhi penampilannya di atas panggung, dan membuatnya merasa selalu ada yang kurang dari setiap penampilannya.

“Dari kecil ketika di tengah keramaian saya selalu tegang, jarang punya teman. Hingga pada tahun 2010 saya ikut meditasi di Dharmavangsa Square dengan metode self feeling. Meditasi ini membawa saya ke mindfulness,” terangnya.

Setelah meditasi, Dipha Barus mulai menyadari rasa “selalu ada yang kurang” itu adalah akibat trauma di-bully sejak kecil. “Setelah rutin melakukan meditasi, trauma itu nggak pernah kambuh, nggak tegang lagi, mulai berani bersosialisasi dan nge-DJ lagi di festival,” terangnya.


Sesi meditasi bersama

Hidup bahagia 

Mindful project merupakan konferensi pertama di Indonesia yang membahas mengenai hidup dengan penuh kesadaran. Acara ini digagas sebagai upaya untuk memperkenalkan sebuah budaya gaya hidup baru yang didasarkan pada nilai kesadaran atau mindfulness untuk masyarakat Indonesia.

Tiga pengalaman dari tiga pembicara di atas merupakan contoh nyata bagaimana meditasi hidup berkesadaran membantu orang untuk bahagia di tengah kesibukan sehari-hari. “Kami percaya dengan mempraktikkan hidup yang mindful (penuh kesadaran) dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat orang hidup bahagia dan lebih positif,” terang Hendrick Tan saat memberi penjelasan pada rekan-rekan media.

Sedangkan menurut Anthony Soehartono, salah satu penggagas acara ini berharap setelah mengikuti acara ini masyarakat yang hadir bisa lebih bahagia dalam menjalani hidup. “Seluruh kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup dapat kita atur dengan mindful.”


Nayra Dharma

Kemasan milenial

Salah satu yang membuat acara ini berbeda dengan acara-acara Buddhis lain adalah mindful project dikemas sesuai dengan generasi milenial. Tanpa sambutan yang membosankan, sajian musik, sembilan narasumber dengan teknik penyampaian yang juga mengajak para peserta untuk prakti mindful dengan metodenya masing-masing.

“Kita mengombinasikan tidak hanya satu arah saja, kita akan banyak berinteraksi, melakukan aktifitas bersama-sama. Meditasi pernapasan bersama-sama, meditasi dengan menyanyi, jadi saya yakin acaranya tidak akan membosankan,” jelas Stanley Prayogo dalam kepada awak media.

 

Astakosala Volk membuka acara ini dengan menampilkan dua lagu, Bhanawa Sekar dan Alamkara Kakawin Hanang Nirartha, Syair Kakawin Jawa Kuno dengan iringan musik modern mampu membius para hadirin sekaligus mengondisikan atmosfer yang lebih teduh ke pemateri pertama.

Avi Basuki sebagai pembicara pertama pun tak hanya berbagi pengalamannya dalam mencari kebahagiaan hidup yang sejati. Avi juga mengajak hadirin untuk melakukan meditasi yang dilanjut dengan nyanyian mantram-mantram yang menyembuhkannya.


Sesi diskusi yang dipandu oleh Dr. Yudhi Gejali dengan narasumber Helga Angelina, Yasa Singgih, dan Mouly Surya

Sepanjang acara diikuti dengan antusias dan penuh kegembiraan oleh para peserta. Tepuk tangan dan gelak tawa membuat riuh suasana saat narasumber melontarkan humor, hening saat narasumber mengajak praktik meditasi. Seperti saat Zen Master Guo Jun sebagai pembicara pamungkas mengawali dengan praktik meditasi. Serentak seluruh peserta melakukan praktik meditasi.


Zen Master Guo Jun

Acara ditutup dengan indah oleh nyanyian Nayra Dharma, petikan gitar yang lembut dan vokal yang mampu menembus sore itu dengan kedamaian menambah suasana yang sungguh bermakna.

Kemasan milenial ini yang membuat mindful project diminati banyak orang. Bahkan saat dibuka pendaftaran, tanpa menunggu lama target 300 orang langsung terpenuhi. “Acara ini asik, sangat bagus saya berharap ini bisa dibawa ke seluruh Indonesia ya, karena ini bisa menyembuhkan banyak orang, sangat dibutuhkan untuk orang Indonesia,” tutur Dipha Barus, saat ditemui BuddhaZine di akhir acara.

The post Mindful Project, Konferensi Kebahagiaan dan Meditasi appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live