Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Bertamasya ke Masa Jawa Silam dengan Sastra Jawa Kuna

$
0
0

 

Sekitar abad ke-16 seorang pujangga Jawa yang berasal dari Kadhiri (Kediri, sekarang) menulis sangat banyak karya sastra, salah satunya adalah Kakawin Hanang Nirartha.

Dang Hyang Nirartha sendiri mendapatkan diksa atau penahbisan dua kali, yakni penahbisan pertama secara Buddhis Mahayana, dan penahbisan yang kedua secara tradisi Siwa Siddhanta. Oleh karena itu, ia menyandang sebutan Dang Hyang Dwi Jendra, atau Dang Hyang, pendeta suci yang mendapatkan Dwi Jendra atau penahbisan dua kali.


Ilustrasi Kediri. Ist

Ia juga mengajar Islam wetu telu di Lombok yang hingga kini keberadaan masyarakatnya masih ada. Ada pun salah satu sastra kakawin Jawa kuna tersebut dihidupkan ulang pada acara mindful project, Minggu (14/10) di XXI Lounge, Ciputra World, Surabaya, oleh grup band new age asal Solo, Astakosala Volk dengan judul Alamkara Kakawin Hanang Nirartha, yang berisikan kerinduannya pujangga pada tanah airnya di Jawa sementara tubuhnya berada di Bali.

The post Bertamasya ke Masa Jawa Silam dengan Sastra Jawa Kuna appeared first on .


Kirab Satu Negeri, Wajah Kebhinnekaan Kota Tangerang

$
0
0

Kirab Satu Negeri (KSN) yang diprakarsai PP GP Ansor untuk membawakan pesan perdamaian ke seluruh penjuru tanah air kini tiba di Kota Tangerang. Seluruh pengurus GP Ansor di wilayah Tangerang beserta Pengurus Cabang Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (HIKMAHBUDHI) Kota Tangerang, Orang Muda Katolik (OMK) Gereja Santo Agustinus, Muda-Mudi Kong Hu Cu, Pemuda Gereja Bethel Indonesia dan Pemuda Parisadha Hindu Dharma Indonesia turut andil dalam Kirab Kebangsaan ini.

Kirab Satu Negeri ini merupakan agenda ekstra dari dialog-dialog kebangsaan yang pernah dilaksanakan di wilayah Tangerang oleh organisasi-organisasi di atas. Dengan didorong oleh keprihatinan merebaknya isu SARA dan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama yang tentunya dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, atas dasar itu Kirab Satu Negeri di Kota Tangerang ini dihadirkan dengan nuansa kebinekaan pada selasa (16/10), bertempat di Plaza Gazebo Masjid Raya Al-Azhom, Pusat Pemerintahan Kota Tangerang.

Acara dihadiri oleh para pejabat MUSPIKA dan para tokoh agama juga tokoh pemuda se-Kota Tangerang, dalam sambutannya Walikota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah mengatakan Kota Tangerang adalah anugerah terindah yang telah diberikan oleh Tuhan karena terdiri dari berbagai macam keyakinan dan suku bangsa, melalui acara ini NKRI adalah suatu keniscayaan dalam menjaga nilai-nilai kebinnekaan, kedamaian di Kota Tangerang juga menjadi tanggung jawab seluruh warga untuk menanamkan nilai-nilai luhur bagi generasi selanjutnya.

Ketua PC GP Ansor Kota Tangerang A. Sudarto menyatakan Kirab Satu Negeri ini merupakan tindakan cinta tanah air yang dilakukan seluruh GP Ansor untuk menyampaikan pesan kebinekaan di Negeri ini sesuai dengan tagline ‘Kita Ini Sama’. Jajat Sudrajat (Ketua PAC GP Ansor Tangerang) sebagai ketua panitia juga memberikan arahan agar setiap komponen anak bangsa berperan dalam merawat kerukunan umat beragama untuk menciptakan perdamaian dan membumikan nilai-nilai toleransi di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk.

Kirab Satu Negeri dimulai dengan parade keanekaragaman budaya Indonesia, kemudian disambung dengan pembacaan puisi-puisi kebangsaan dari perwakilan seluruh agama yang ada.

Orasi Kebangsaan dari berbagai macam tokoh agama diantaranya KH. Amin Munawar (Ketua FKUB Kota Tangerang), Romo Lammarudut HPH Sihombing, CICM (Pastor Kepala Paroki Ciledug Dekanat Tangerang 1), Bhante Bhadra Sraddha (Ketua Sekretariat Wilayah Banten Sangha Agung Indonesia), JS. Yap Cun Goan (Ketua Khong Cu Bio Tangerang), P. Nyoman Subikse (Wakil Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia Kota Tangerang) dan Pendeta Andreas Tarmudi (Ketua Musyawarah Pimpinan Gereja-gereja Kota Tangerang).

JS. Yap Cun Goan dalam orasinya menyampaikan kita harus bersyukur dalam keragaman dan kebersamaan yang dimulai dari berbagai sendi-sendi kehidupan, sebagai bangsa yang besar kita harus saling membantu dan menghormati agar lebih menyadari bahwa umat manusia sama-sama membutuhkan kedamaian. Pada intinya kita sebagai bangsa indonesia berkeinginan maju bersama dalam pembangunan bangsa.

P. Nyoman Subikse menambahkan empat kekuatan yang maha dahsyat yang harus kita pertahankan untuk Indonesia yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Kita harus menjaga hubungan harmonis, ‘antara kita dengan tuhan, kita dengan sesama manusia dan kita dengan alam’. Kita juga harus menjaga kesantunan dengan berpikir baik, berbahasa baik dan bertindak baik untuk melawan hoaks-hoaks yang beredar.

Pendeta Andreas Tarmudi mengutip ‘jika tidak sanggup berbuat baik janganlah menjelekan orang lain, jika tidak sanggup menghargai janganlah merendahkan, jika kita tidak sanggup memberi janganlah mengganggu hak orang lain’. Jangan ada lagi  istilah di antara kita kamu suku apa, kamu bangsa apa, kamu bahasa apa di mana kita semua adalah putra putri Indonesia. Warisan kemerdekaan ini perlu ditindaklanjuti tanpa batas oleh kita semua, tegasnya.

Duduk tersenyum, saling menyapa dan saling memberi salam inilah roh dari Pancasila yang telah digagas oleh para Founding father dengan segala daya upaya mereka yang harus kita syukuri. Saat kita menyebut ‘Allahuakbar’ Allah Yang Maha Agung dan yang maha besar maka konsekuensinya adalah menerima segala sesuatu yang berasal dari Allah dan  kebinnekaan yang kita miliki saat ini adalah pemberian Allah untuk dijaga oleh kita semua. Untuk itu pancasila harus kita rawat, jaga dan lindungi, pungkas Romo Lammarudut HPH Sihombing.

Berada di urutan kelima ini merupakan penyimbolan Pancasila, kemudian semua yang hadir di sini berasal dari beragam suku dan agama sama halnya dengan kelima jari kita yang berbeda-beda diciptakan agar mampu saling memegang erat.

Kami semua duduk di sini dan menjadi pusat perhatian karena berbeda, keragaman itu adalah sebuah keindahan yang ibarat pelangi dengan warna-warninya dan taman bunga dengan beragam jenis, bentuk, warna yang unik dan berbeda. Jangan sampai semua yang hadir di sini masih menganggap aku, kamu, dia, dan mereka tetapi semua yang hadir di sini adalah kita, tandas Bhante Bhadra Sraddha.

Betapa indahnya kehidupan di Kota Tangerang ini dengan situasi yang kondusif karena negara kita yang merdeka. Kemerdekaan Negara ini bukanlah hadiah dari para penjajah, nikmat kemerdekaan yang kita rasakan ini adalah hasil keringat bahkan cucuran darah dari para pendahulu kita. Jangan kita kotori kemerdekaan yang kita dapat ini dengan cara-cara yang amoral, yang melanggar norma hukum dan norma agama.

NKRI tak ubahnya seperti satu tubuh, yang mana salah satu bagian mengalami sakit maka kita juga akan merasakannya. Di suku apa pun kita dilahirkan dan apa pun warna kulit kita selama kita bangsa Indonesia mari kita perkuat persaudaraan kita sebagai ‘Ukhuwah Wathoniyah’, Tutup KH. Amin Munawar.

Acara dihadiri lebih kurang seribu peserta terdiri dari berbagai elemen lintas agama mulai dari unsur pemuda, mahasiswa, tokoh agama, dan organisasi masyarakat.

Diakhiri dengan doa bersama dan pengumpulan dana untuk bencana yg terjadi di sekitar Sulawesi, Palu dan Donggala, terlihat sangat harmonis dimana para tokoh agama dan pemuda lintas iman saling membantu menghampiri seluruh hadirin untuk penggalangan dana. Mari kita rawat kebinekaan untuk menjaga NKRI, jangan pernah mencari perbedaan tapi carilah apa yang dapat kita lakukan bersama untuk bangsa Indonesia.

The post Kirab Satu Negeri, Wajah Kebhinnekaan Kota Tangerang appeared first on .

Umat Buddha Temanggung Lakukan Kenduri Pattidana untuk Tutup Bulan Suro

$
0
0

Kamis (11/10/2018), Pedopo Paud Saddhapala Jaya untuk kesekian kalinya kembali dipadati oleh manusia. Menurut penanggalan Jawa, pada malam Jumat, merupakan tanggal 30 bulan Suro. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan yang dianggap sakral, pada bulan tersebut biasanya masyarakat Jawa melakukan laku spiritual seperti; tirakatan (puasa), kendurian, merawat pusaka, mewedar ilmu Jawa, dan lain-lain.

Upacara tutup bulan Suro inilah yang dilakukan umat Buddha 18 vihara dari tiga kecamatan; Sumowono, Kabupaten Semarang, Kaloran dan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.

Umat Buddha yang tergabung dalam Lembaga Bina Manggala Sejahtera ini melakukan pujabhakti pelimpahan jasa kepada leluhur (pattidana), kendurian bersama, dan mendengar wejangan Dharma dari Bhante Dhammasubho.

“Rencana awal akan dilakukan pada malam satu Suro, tetapi katanya masih banyak yang melakukan tirakat puasa jadi kita laksanakan pada penutupan saja,” tutur Bhante Dhammakaro, saat berbincang dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang penyair yang menafsir ulang Serat Centhini.

Acara ini diawali dengan pembacaan parita-parita. Setelah memberikan tisarana dan Pancasila, para bhante membacakan parita-parita pelimpahan jasa. Parita aradana dewata yang dibacakan oleh Bhante Cattamano mengawali pembacaan parita pelimpahan jasa menuntun umat yang hadir larut dalam keheningan.

Dalam wejangan Dharma, Bhante Dhammasubho menjelaskan makna pelimpahan jasa bagi masyarakat Buddha Jawa. “Saat ini kita berkumpul di sini untuk mengadakan Pattidana. Pattidana adalah bahasa Buddha yang artinya pelimpahan jasa, dalam istilah Jawa andum lelabet, di sini disebut nyadran. Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Sradha atau Saddha dalam bahasa Pali, artinya keyakinan,” terang Bhante Dhammasubho mulai menjelaskan.

Sejarah asal-usul budaya Patidana atau nyadran pun dijelaskan Bhante pada pertengahan Dhammadesananya. “Dahulu kala pada zaman Buddha, masih banyak orang punya vihara dan punya banyak pohon Bodhi. Namun seiring perubahan zaman agama Buddha mulai tidak lagi dikenal, namun kebiasaan dan kebudayaannya masih diteruskan secara turun temurun. Oleh karena itu ketika tidak menemukan pohon Bodhi, masyarakat mencari pohon-pohon besar yang akhirnya dibuat atau dinamakan Punden.”

“Di Punden inilah biasanya terdapat sumber mata air sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan. Sebagaimana kita tahu bahwa tubuh ini 2/3 adalah unsur air, begitu juga dengan bumi ini. Untuk menjaga supaya pohon-pohon besar tetap subur dan mengasilkan sumber mata air harus dijaga, yaitu dengan cara dibuatkan tempat sembahyang atau altar di punden, supaya orang-orang bisa berkumpul dan merawat punden atau pohon-pohon besar tersebut. Dari situlah terbentuk budaya puja, yang mana puja sendiri adalah bahasa Buddha, dalam bahasa jawa Doyo yang maknanya upaya menjaga dan memelihara,” jelas Bhante.

Selepas Dhammadesana acara diteruskan dengan makan bersama yang dilakukan oleh semua umat yang hadir, nampak umat dari berbagai vihara baik laki-laki, perempuan, tua, muda sangat menikmati santapan yang dihidangkan oleh panitia penyelenggara.

Mereka terbagi menjadi kurang lebih lima banjar yang saling berhadap-hadapan dan di tengah-tengah setiap banjar disediakan makanan berupa nasi lengkap dengan lauk dan sayur untuk kenduri atau makan bersama. Acara kenduri sekaligus menjadi acara penutup pada penyelenggaraan Pattidana dan penutupan bulan Suro.

The post Umat Buddha Temanggung Lakukan Kenduri Pattidana untuk Tutup Bulan Suro appeared first on .

Buddhist Inside X PC HIKMAHBUDHI Malang

$
0
0

PC HIKMAHBUDHI Malang baru saja melaksanakan kegiatan Buddhis Inside ke-X yang merupakan kaderisasi anggota baru organisasi HIKMAHBUDHI. Kegiatan ini dilaksanakan pada 12-14 Oktober 2018. Bertempat di Vihara Dharma Mitra Arama Kota Malang, yang sekaligus juga Sekretariat PC HIKMAHBUDHI Malang. Kegiatan ini diikuti Mahasiswa Buddhis yang menempuh pendidikan di daerah Malang Raya.

Pada acara ini kami mengangkat tema, “Mewujudkan Kaderisasi HIKMAHBUDHI Berbasis Kalyanamitta” yang memiliki tujuan menciptakan jalinan rasa cinta kasih terhadap sesama. Kalyanamitta adalah persahabatan baik yang menggambarkan perilaku afeksi saling mendukung dan kerja sama antara satu sama yang lain, yang tersirat di dalam Tujuan dan Usaha HIKMAHBUDHI dengan “mempererat rasa persaudaraan dan solidaritas dengan ikut menyelesaikan serta memperjuangkan kepentingan mahasiswa pada umumnya dan anggota pada khususnya.”

Juga terdapat pada Pilar Pergerakan HIKMAHBUDHI yang keempat bahwa “solidaritas dan persaudaraan yang kuat terefleksi dari adanya kesetiakawanan diantara sesama putra/putri HIKMAHBUDHI, ada rasa senasib sepenanggungan, ada rasa sebagi satu saudara dari Rahim Dharma yang sama,kesediaan untuk saling membantu, berbagi suka dan duka, serta sebagai sahabat-sahabat seperjuangan  dalam lautan samsara ini. Ini menegaskan bahwa HIKMAHBUDHI adalah sebuah organisasi yang menjunjung tinggi prinsip Kalyanamitta.

Hari pertama kegiatan dilaksanakan pada 12 November 2018 pukul 18.00 yang dibuka oleh perwakilan Presidium pusat Saudara Munarim sekaligus sesi perkenalan yang berlansung sampai pukul 20.00, dan dilanjutkan dengan awal materi Sejarah HIKMAHBUDHI yang dibawakan oleh Ketua Demisioner HIKMAHBUDHI Malang periode 2016-2018 yaitu Billy Setiadi.

Materi ini memang sengaja di letakan di awal  karena untuk memberikan suatu uraian sejarah yang akan menjadi modal awal anggota baru HIKMAHBUDHI untuk memaknai adanya organisasi ini. Seperti yang dikatakan Soekarno (1966)” Jas Merah ( Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah )” dengan ini berharap para anggota baru mengetahui tentang sejarah berdirinya serta Pergerakan HIKMAHBUDHI Nasional dan HIKMAHBUDHI Cabang Malang.

Pada Sabtu, 13 Oktober 2018, materi pertama diawali dengan menjelaskan Visi-Misi dan Orientasi Mahasiswa Buddhis dalam kehidupan berbangsa serta Indepedensi dan intelektual Buddhis yang di sampaikan oleh Ketua Demisioner HIKMAHBUDHI Malang periode 2014-2016, Munarim. Beliau menjelaskan tentang konsep perencanaan serta tindakan sesuai dengan yang di cita-citakan dan tujuan HIKMAHBUDHI.

Dan dasar Orientasi HIKMAHBUDHI yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan/kebangsaaan yang dilandasi semangat moral, etik, dan spiritual Buddhis yang anti kekerasan. Dengan itu sudah seharusnya mahasiswa sadar dan peka dengan masalah-masalah sosial yang ada di sekitar mereka. Mahasiswa Buddhis harus mempunyai pendirian yang kuat serta tanggung jawab dalam membangun sumber daya manusia serta mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh di perguruan tinggi.

Memasuki materi selanjutnya adalah materi tentang Dinamika Pergerakan dan Paradigma mahasiswa Buddhis yang dibawakan oleh Manggala Wiriya Tantra. Ia adalah seorang aktivis Buddhis yang merupakan lulusan Universitas Negeri Jakarta serta pernah menjabat Sekertaris Jendral Presidium Pusat tahun 2014-2016. penjelasan kali ini dibuka dengan diajak melihat sejarah peranan penting pemuda dalam kontribusi membangun negeri ini.

Sejarah pertama di mulai di tahun 1928 bagaimana seorang pemuda berkumpul dari berbagai suku untuk mengucapkan satu label simbol kelahiran bangsa Indonesia, moment itu kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Di tahun 1945 seorang pemuda mendesak bung karno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah itu pemuda yang sudah di sebut Mahasiswa menumbangkan Orde Lama. Waktu bergulir 1998 Mahasiswa berkumpul Menumbangkan Orde Baru dan mendorong Reformasi.

Sejarah sejarah ini menjelaskan tentang bagaimana dinamika pergerakan mahasiswa yang seharusnya mempunyai cara pandang dan cara berfikir yang kritis, progresif. Mahasiswa Buddhis sudah seharusnya bebas merdeka dalam berbuat meski tidak diwajibkan dan tidak berani berbuat meski tidak dilarang. Paradigma mahasiswa Buddhis sudah seharusnya terbentuk dengan memandang realitas masalah-masalah sosial yang ada di sekitar mereka, dengan tidak terpenjara dalam tembok-tembok perguruan tinggi.

Sesi selanjutnya adalah mengajak peserta Buddhist Inside X untuk bermain game yang mengajarkan mereka untuk memahami arti kekompakan dan kerjasama yang merupakan pemaknaan dari Kalyanamitta bahwa kita memang sudah seharusnya hidup bersahabat dengan siapapun untuk bergotong-royong membangun komunitas buddhis dan bangsa ini.

Pada malam harinya, tepat malam terakhir, para peserta dan panitia menampilkan karya seni yang sudah di bagi beberapa kelompok. Di sesi pentas seni ini semua sangat antusias dan kelompok-kelompok ada yang menampilkan tarian, akustik, menyanyi, dan lain-lain.

Setelah itu selesai semua penampilan dari peserta dan panitia, kita bersama-sama melakukan perenungan, yang merupakan tradisi di dalam organisasi HIKMAHBUDHI. Perenungan ini untuk penyadaran bahwa segala tindakan dan perbuatan yang kita lakukan bersama dapat bermanfaat untuk orang lain dan Semoga Semua Mahluk Hidup Berbahagia.

Acara penutupan di hari Minggu, 14 Oktober 2018 dalam kegiatan penutupan ini dilakukannya sebuah pengukuhan kepada anggota baru HIKMAHBUDHI. Dengan harapan semoga anggota baru HIKMAHBUDHI dapat berproses secara progresif, kreatif,inovatif serta dapat merealisasikan visi-misi Organisasi HIKMAHBUDHI.

The post Buddhist Inside X PC HIKMAHBUDHI Malang appeared first on .

Candi Risan, Candi Buddhis yang Terserak di Gunungkidul

$
0
0

Candi Risan merupakan situs candi terbesar yang pernah ditemukan di wilayah Kabupaten Gunungkidul, DIY, merupakan Candi Buddhis. Keberadaan situs candi ini jarang terdengar karena letaknya terpencil dan jauhnya akses menuju tempat ini dari pusat kota Yogyakarta. Kondisi candi sudah tak utuh lagi namun menyisakan puing-puing batu yang telah disusun rapi.

Candi Risan terletak di Dusun Risan, Desa Candirejo, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Candi ini dipastikan bercorak Buddhis karena terdapat batu yang berbentuk seperti stupa. Selain itu, di tempat ini dahulu terdapat rupang Bodhisattva Avalokiteshvara yang replikanya ditempatkan di kawasan pintu masuk candi. Rupang Avalokiteshvara tersebut pernah dicuri pada bulan Juli 1984. Untung sembilan bulan berikutnya arca ini ditemukan di Singapura dan saat ini disimpan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta.

Lokasi Candi Risan berada di dekat perbatasan antara Kabupaten Gunungkidul dengan Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, tepatnya di dekat Pasar Candirejo. Ada dua cara menuju situs candi ini dari pusat Kota Yogyakarta. Cara pertama melewati rute jalur Yogyakarta – Jalan Solo – Prambanan – Klaten – Cawas – Semin. Cara kedua melewati rute jalur Yogyakarta – Jalan Wonosari – Patuk – Wonosari – Karangmojo – Semin. Pengunjung yang akan berkunjung ke situs candi ini dapat menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor atau mobil. Transportasi umum sebenarnya ada namun repot, karena harus berulangkali berganti bus kecil dan waktunya tidak pasti.

Kompleks Candi Risan belum mengalami pemugaran namun telah diberi pagar pembatas yang mengelilingi area candi. Pengamanan candi terkesan kurang ketat karena tidak ada penjagaan yang dilakukan petugas BP3 Yogyakarta.

Hingga saat ini penjagaan kawasan candi dilakukan oleh warga setempat saja. Tak heran jika pencurian arca pernah terjadi di candi ini.

Kompleks Candi Risan yang tersisa hanya sebuah bangunan candi yang telah runtuh dan sebuah pondasi candi di sisi selatannya. Pintu masuk candi yang asli diperkirakan berasal dari arah barat yang saat ini tertutup oleh bangunan rumah warga. Reruntuhan bangunan candi yang ada mengarah kepada bentuk punden berundak yang menjadi ciri zaman klasik. Beberapa komponen candi seperti ratna, makara, artefak, dan ukiran batu kondisinya juga ada namun sudah lapuk dan kondisinya sulit dikenali.

Pengunjung Candi Risan sampai saat ini masih sedikit dan sebagian besar adalah pelajar atau mahasiswa yang membutuhkan data candi untuk tugas sekolah atau kampusnya. Umat Buddha pun belum banyak yang mengetahui candi ini. Candi Risan memang terlihat kurang dipromosikan sebagai tempat wisata karena letaknya jauh dari pusat kota dan kurang menarik karena yang tersisa kebanyakan hanya puing-puing.

Penelitian tentang Candi Risan masih cukup minim dibandingkan candi-candi lain yang ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta. Beberapa informasi menyebutkan bahwa candi ini menjadi tempat pelarian prajurit Majapahit. Namun belum diketahui kapan pastinya candi ini dibangun karena tidak ditemukan prasasti di tempat ini ataupun angka tahun pembuatan candi ini.

Beberapa pendapat mengarah pada hubungan situs candi ini terhadap Kebudayaan Sungai Oyo yang letaknya tidak jauh dari situs candi ini. Namun hal ini perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut mengenai situs candi ini dan situs-situs purbakala yang ada di sekitarnya.

Deny Hermawan

Seorang penjelajah, bekerja sebagai jurnalis di Kota Gudeg, Jogja.

 

The post Candi Risan, Candi Buddhis yang Terserak di Gunungkidul appeared first on .

Memilih Pemimpin yang Ideal Menurut Buddhis

$
0
0

Pada 17 April 2019 Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi yaitu pemilihan umum (pemilu), untuk memilih calon pemimpin yang akan memimpin negara ini selama lima tahun ke depan.

Seorang pemimpin yang memiliki integritas dapat dipercaya dan akan dikagumi karena berpegang pada nilai-nilai yang kuat. Dalam Lokasutta (Ittivutaka 122) Buddha menyatakan bahwa pemimpin yang kredibel adalah ia yang melaksanakan apa yang ia ajarkan, “Mereka yang melakukan apa yang mereka katakan dan mereka mengatakan apa yang mereka lakukan.”

Lalu seperti apa calon pemimpin ideal yang sesuai Buddhadharma?

Menurut Aganna Sutta (DN 27) definisi etimologis yang diberikan istilah ‘raja’ yaitu “Dhammena janam ranjetiti raja” berarti Ia yang membuat senang orang lain dengan Dharma, (dengan melaksanakan prinsip kebenaran) adalah apa yang dimaksud dengan raja.

“Seorang penguasa dunia adalah raja yang adil dan luhur yang tergantung pada kebenaran (Dhamma/Dharma), yang menghargai, menjunjung tinggi dan menghormati (Dharma)-nya dengan hukum kebenaran sebagai panji, kebenaran, dan kekuasaannya.

(AN 3. 14). Dalam hal ini seorang penguasa dunia, raja yang adil dan luhur adalah yang bergantung pada hukum kebenaran sebagai panji.

Dalam Cakkavati Sihanda Sutta (DN 5) Buddha menjelaskan etika kepemimpinan dalam pemerintahan yakni:

Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak, dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya. Ia tidak pilih kasih,

Seorang penguasa yang baik harus bebas dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya,

Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan,

Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum, tapi dijalankan dalam suatu sikap yang masuk akal dan pikiran sehat.

Selain itu seorang pemimpin juga harus memenuhi kewajiban yaitu (Dasa Rajadharma) yang dikutip dalam kisah Jataka (KN V, 378):

Dana (Kemurahan Hati)

Sila (Memiliki Moralitas)

Pariccaga (Rela berkorban)

Ajjava (Ketulusan Hati)

Maddava (Ramah Tamah)

Tapa (Kesederhanaan)

Akkoda (Tidak Pemarah)

Avihimsa (Anti Kekerasan)

Khanti (Kesabaran)

Avirodhana ( Tidak Bertentangan dengan Dhamma)

 

Sumber: Buku Partisipasi Dalam Pemilu Secara Sadar dan Cerdas “Panduan berdemokrasi dan berpolitik yang selaras dengan Buddhadharma”

Oleh:

Billy Gunawan. Ketua PC Hikmahbudhi Jakarta Barat

The post Memilih Pemimpin yang Ideal Menurut Buddhis appeared first on .

Sudut Pandang: Perlindungan Lingkungan Menurut Agama Buddha

$
0
0

Paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan menurut ajaran agama Budha tercermin dari ayat suci ini, “Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dhp. 49).

Dalam ekosistem, lebah tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus membayarnya dengan membantu penyerbukan. Perilaku lebah memberi inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumber daya alam yang terbatas.

Menurut Zen Master Thich Nhat Hanh seorang tokoh Buddhis yang menjadi penulis, penyair, dan aktivis HAM, kita bisa membedakan sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut prinsipnya manusia akan saling bergantungan pada kehidupan yang mengandung unsur-unsur yang tidak hidup. Apabila manusia bercermin ke dalam diri sendiri, akan melihat bahwa manusia memerlukan dan memiliki mineral atau unsur anorganik lainnya. Atom selalu bergerak, elektron pun bergerak.

Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Muncul dari alam, dipelihara oleh alam, dan kembali ke alam.

Kehidupan lampau kita adalah tumbuh-tumbuhan, bahkan dalam kehidupan ini terus menjadi pepohonan. Manusia bagaikan pohon dan udara, belukar, dan awan. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Manusia harus menjadi bagian dari alam semesta tersebut dan peduli terhadapnya. Memandang sehelai kertas, melihat hal-hal lain pula, awan, hutan, penebang kayu.

Dalam Agganna-sutta dijelaskan hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Kemudian timbul dalam pikiran manusia, mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus.

Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-butir padi pun berkulit sekam (D. III. 88-90).

Sikap individualisme dan berpikir seolah-olah “karma” adalah “nasib” tidak membuat hidup manusia menjadi lebih baik.

Perkembangan kemajuan duniawi tidak setimpal bayarannya dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Lingkungan hidup menjadi tidak terpelihara, rusak, dan justru mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal itu terjadi karena kehidupan non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh porsi yang semestinya.

Falsafah

Falsafah hidup Buddhis menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan spiritual. Keseimbangan hidup semacam itu, dalam Cakkavatti-sihanadasutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (D.Ill.75).

Buddhadharma menghubungkan lingkungan alam dan hubungan manusia yang berguna untuk menciptakan suatu atmosfir kebahagiaan dalam kehidupan di atas bumi. Buddhis menunjukkan cara pemecahan masalah krisis lingkungan. Sehubungan dengan pandangan ekologis Buddhis memperkuat sikap ramah kepada alam dan menelisik hubungan manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang dari sudut keselarasan.

Tiga peristiwa utama menyangkut kehidupan Buddha, yakni kelahiran, mencapai penerangan sempurna, dan parinibbana (kematian), mengambil tempat di bawah pohon terbuka. Buddha menasihatkan kepada biarawan untuk mencari-cari tempat yang luas di tengah hutan dan kaki pohon untuk praktik meditasi. Udara menyegarkan, tenang, dalam suatu lingkungan alami dipertimbangkan sebagai sarana untuk pertumbuhan spiritual.

Perhatian Buddha untuk hutan dan pohon dapat dilihat dalam Vanaropa Sutta (S.I.32), yang mana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa) adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai penolong.

Dengan sangat jelas Buddha mengapresiasi peran hutan, pohon, dan alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Kata ‘Vana’ atau hutan dalam Dhammapada digunakan oleh Buddha sebagai perumpamaan kata-kata penuh arti diberlakukan bagi konteks dunia saat ini: tebanglah hutan (nafsu) sampai habis, jangan tinggalkan satu pohon pun. Dari hutan itulah tumbuh rasa takut (Dhp.283).

Dalam Vinaya Buddha menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Agama Buddha mengenai sikap tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan dan alam.

Teladan

Buddha Gotama dan para siswa-nya tidak merusak bibit-bibit yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. Di musim hujan (Vassa) para bhikkhu tidak melakukan perjalanan jauh sehingga mereka tidak akan membunuh serangga dan melukai tanaman-tanaman selama dalam perjalanan.

Peradaban menghendaki hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena hidup manusia bukan benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber alam yang telah dipakainya. Orang yang pandai dan bijaksana akan berusaha meningkatkan kesejahteraan atau mencapai sukses yang sebesar-besamya hanya dengan menggunakan sumber daya yang  minimal, seperti ia meniupkan napasnya membuat api kecil menjadi besar (Ja.I.123).

Buddhis menekankan manusia untuk hidup selaras dengan lingkungan, yang berarti bahwa manusia adalah bagian dari alam dan hidup di alam. Oleh karena itu manusia ditekankan untuk tidak merusak alam dan berusaha menjaga kelestarian alam bersifat fisik, tetapi bersifat abstrak.

Billy Setiadi

Penapak jalan Dharma

The post Sudut Pandang: Perlindungan Lingkungan Menurut Agama Buddha appeared first on .

Grateful is the Greatest Blessing

$
0
0

Persaudaraan Mahasiswa Buddhis Gunadarma Proudly Present “Perayaan Kathina & Pattidana 2562 B.E./2018” Dengan tema “Grateful is the Greatest Blessing”

Ayo Bergabung bersama kami dalam memeriahkan acara perayaan kathina yang akan diselenggarakan pada:

Sabtu, 10 November 2018
17.00 – selesai
Pondok Meditasi Asri Jakasampurna Bekasi
Jl. assyafiah No.100, RT 08 / RW 21
(masuk dari Jl. Patriot – Kranji, seberang Apotek Roxy)
Gg. Bugis Kampung Dua-Jakasampuna, Bekasi Barat

*Dhammadesana oleh Y.M. Bhikkhu Dhammavuddho*

Pada acara Kathina dan Pattidana 2562 B.E. / 2018 ini, apa saja sih yang akan diadakan oleh PMBG pada acara ini? Berikut adalah rangkuman acaranya:

Puja Bakti Kathina

Pelita Pelimpahan Jasa

Persembahan Dana kepada Bhikkhu Sangha

dan hiburan lainnya

Bagi yang ingin berdana, kami telah menyediakan beberapa jenis paket persembahan yang merupakan kebutuhan Bhikkhu Sangha.

Berikut daftar paketnya :

Paket A: Bowl (Tempat Makan Bhante): Rp. 600.000,-

Paket B: Jubah Lengkap (Jubah Luar dan Dalam): Rp. 600.000,-

Paket C: Paket Komplit Kebutuhan Bhante (Jubah, Handuk, Madu, Obat-obatan, Sabun mandi, dll): Rp. 600.000,-

Paket D: Jubah Biasa (Hanya Jubah Luar): Rp. 350.000,-

Paket E: Kebutuhan Bhante (Obat-obatan, Sabun mandi, Pasta Gigi, Sikat Gigi, Alat Pemotong Jenggot/Rambut, Handuk): Rp. 200.000,-

Paket F: Kebutuhan Bhante (Obat-obatan, Pasta Gigi, Sikat Gigi, Handuk): Rp. 150.000,-

Paket G: Kebutuhan Bhante (Sabun Mandi, Pasta Gigi, Sikat Gigi, Alat Pemotong Jenggot/Rambut): Rp. 100.000,-

Paket H: Kebutuhan Bhante (Sabun Mandi, Pasta Gigi, Sikat Gigi): Rp. 50.000,-

Kami juga mengadakan pelimpahan jasa dalam bentuk pelita dengan harga yang tidak ditentukan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor :

Andriani: 0822 9953 3404 (WhatsApp)
Herawaty: 0813 8342 0015 (WhatsApp)

Untuk paket, karena jumlahnya terbatas, maka Anda bisa terlebih dahulu memesannya melalui Intan (WhatsApp : 0812 9447 3559) dengan No. Rekening: 900 1223 8575 (BTPN Jenius) A.N Meryse Bunnawan.

Setelah melakukan transfer, diharapkan untuk mengkonfirmasi ke Contact Person yang tersedia.

Contact Person:
Noviyanti: 085694552094 (WhatsApp)
Meryse Bunnawan: 083815959809 (WhatsApp)

Terima kasih atas perhatiannya, Namo buddaya

Let’s join us guys!!
Ditunggu kehadirannya
.
.
.
For more information :
– E-mail: pmb.gunadarma@gmail.com
– Facebook: PMBG-ChatGroup
– Instagram: @pmbg_gunadarma
– Official Line: @qqw6145c
– Twitter: @PMBGunadarma

The post Grateful is the Greatest Blessing appeared first on .


Sekilas Mengenai Tantra

$
0
0

Pertama-tama kita perlu memahami bahwa tidak ada sepatah kata pun yang diajarkan oleh Buddha yang tidak bertujuan untuk membantu para makhluk hidup mengatasi penderitaan mereka dan mencapai kebahagiaan yang sempurna.

Ajaran-ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori sebagai berikut:

Yang pertama adalah ajaran yang diberikan kepada mereka yang hanya ingin mencapai kebahagiaan ‘samsarik’ berupa kelahiran kembali yang lebih baik dalam tumimbal lahir samsara;

Yang kedua adalah yang diajarkan kepada mereka yang ingin mencapai pembebasan dari samsara secara perorangan, dengan demikian mengakhiri penderitaan mereka sendiri; dan

Yang ketiga diberikan kepada mereka yang ingin mencapai Kebuddhaan sehingga mereka pun dapat membantu makhluk lain untuk membebaskan diri mereka dari penderitaan samsara dan mendapatkan kebahagiaan sejati pula.

Kategori yang ketiga ini terbagi lagi menjadi dua bagian berdasarkan metode yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu:

Paramitayana

Tantrayana

Kedua metode ini membuahkan hasil yang persis sama, yaitu Kebuddhaan. Buddha mengajarkan kedua metode ini sesuai dengan kemampuan dan cara berpikir murid-muridnya. Paramitayana atau Jalan Kesempurnaan, juga disebut sebagai “yana penyebab”, sedangkan Tantrayana juga disebut sebagai “yana penghasil”.

Untuk memahami lebih jauh pembagian ini,  kita harus tahu bahwa secara umum praktek keenam kesempurnaan (paramita) adalah penyebab Kebuddhaan. Apa yang selanjutnya juga harus kita pahami adalah bahwa paramitayana disebut sebagai “kendaraan penyebab” karena paramita kemurahan hati, konsentrasi, kebijaksanaan, dan sebagainya tersebut apabila dimeditasikan secara langsung akan menyebabkan tercapainya Kebuddhaan. Sang praktisi membangkitkan kebajikan-kebajikan ini di dalam dirinya dan mengembangkannya melalui meditasi.

Cara yang dilakukan oleh praktisi Tantra berbeda. Orang tersebut akan “langsung” memeditasikan kesunyataan dan setelah menghasilkan kebijaksanaan tersebut dalam pikirannya, dia akan memeditasikan pemahaman kesunyataan itu muncul dalam wujud seorang Buddha yang berbentuk agung, yaitu disebut juga sebagai Istadewata. Kemudian paramita lainnya (dana dan sebagainya) dimeditasikan sebagai berbagai bentuk atribut seorang Buddha, seperti perhiasan, dan seterusnya. Sebelum benar-benar mencapai tujuan akhirnya yaitu Kebuddhaan, praktisi Tantra ketika berlatih di jalan ini “seolah- olah” telah mendapatkan aspek hasil dari tujuan akhirnya yaitu Kebuddhaan. Oleh karena itu Tantrayana juga disebut sebagai “kendaraan penghasil”.

Di kemudian hari saat kita telah menjadi Buddha, kita akan memiliki bentuk seorang Buddha, tubuh dan semua atribut, iring-iringan serta aktivitas-aktivitasnya. Dalam Tantra kita menerapkan hasil tersebut pada saat kita masih berada pada jalan menuju hasil itu. Meskipun kita belum mencapai baik tubuh maupun atributnya, kita bermeditasi seolah-olah kita telah memiliki semua atribut-atribut tingkat Kebuddhaan yang kita tuju.

Jadi, di Paramitayana kita memeditasikan keenam paramita secara langsung. Kita mencoba untuk  mengembangkan berbagai kualitas dalam  pikiran kita dan menstabilkannya. Sebaliknya, di Tantrayana, kita memeditasikan berbagai kualitas paramita tersebut dan mengembangkannya dalam batin kita sebagai bentuk tubuh seorang Buddha dan atributnya.

Buddha mengajarkan Tantra untuk pertama kalinya setahun setelah Beliau mencapai Pencerahan Agung. Ketika itu, beliau mengajarkan Prajna Paramita Sutra di Gunung Puncak Nasar di India Utara dekat Rajagriha dan pada saat yang bersamaan di India Selatan beliau juga mengajarkan Tantra.

Prajna Paramita Sutra 

Pada saat mengajarkan Prajna Paramita Sutra beliau tampak sebagai seorang biksu, namun ketika mengajarkan Tantra, beliau menampakkan diri dalam bentuk  lengkap dengan berbagai atribut dan perhiasan dan dikenal dengan sebutan Vajradhara. Buddha dalam wujud Vajradhara mengajarkan empat kategori Tantra sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan muridnya, yaitu: Kriya Tantra, Charya Tantra, Yoga Tantra, dan Anuttara Yoga Tantra.

Adapun kriteria untuk membedakan antara mereka yang sesuai untuk menerima ajaran Paramita dan mereka yang sesuai untuk menerima ajaran Tantra adalah berdasarkan kapasitas batin, secara khususnya yaitu kemampuan untuk bertahan melawan dan mengatasi klesha-klesha secara umum maupun klesha utama, nafsu keinginan (Tanha). Jadi pada saat nafsu keinginan muncul, apakah mereka dapat menghentikannya.

Sedangkan yang membedakan kemampuan batin mereka dalam mengatasi klesha adalah kedalaman pemahaman mereka masing-masing mengenai kesunyataan. Jadi pengertian tentang kesunyataan adalah penawar untuk racun kemelekatan. Semakin dalam pengertian tentang kesunyataan maka semakin mampu ia mengatasi kemelekatan.

Untuk dapat menjalankan Tantra kita harus mendapatkan ajaran dari seorang guru Tantra yang berkualifikasi dan benar-benar memenuhi syarat.

Sebaliknya kita sendiri pun harus memenuhi syarat yang lengkap pula untuk menjadi murid Tantra yang baik dan benar. Kita telah melihat bahwa zaman sekarang banyak sekali orang-orang mempraktikkan Tantra. Apakah ini berarti bahwa banyak orang yang sudah cocok untuk menjalankan Tantra? Sebenarnya tidak, bahkan sebenarnya sedikit sekali orang yang benar-benar cocok untuk menjalankan Tantra.

Zaman sekarang ada anggapan salah bahwa tidak apa-apa bila seorang praktisi Tantra merasakan kemelekatan, bahkan makin banyak kemelekatan yang dialami oleh praktisi Tantra itu lebih baik. Perlu dipahami bahwa ini adalah suatu pandangan yang sama sekali salah bahkan berlawanan dengan ajaran Buddha.

Jadi, sekali lagi ditekankan bahwasanya Buddha mengajarkan orang yang cocok untuk menerima ajaran dan menjalankan praktik Tantra adalah orang yang batinnya mampu mengatasi klesha-klesha, terutama kemelekatan. Ini yang harus dicapai terlebih dahulu sebelum sang murid dapat melanjutkan praktik Tantra.

Oleh karena itu, ada yang dinamakan sebagai dua jenis persiapan sebelum seseorang layak menerima ajaran dan mempraktikkan tantra, yaitu:

persiapan biasa dan

persiapan khusus.

Apa yang disebut sebagai persiapan biasa adalah melatih diri dalam ketiga tingkatan jalan yang sesuai dengan kapasitas ketiga jenis makhluk, sebagaimana diajarkan oleh Guru Atisha, yaitu makhluk dengan kapasitas kecil, menengah dan agung. Latihan-latihan ini juga yang kemudian dirangkumkan oleh Je Tsongkhapa menjadi yang dinamakan sebagai Tiga Prinsip Utama Sang Jalan, yaitu:

Membangkitkan sebuah sikap hendak meninggalkan kemelekatan terhadap tumimbal lahir samsara;

Melatih Bodhicitta, yaitu membangkitkan keinginan untuk mencapai pencerahan demi menolong para makhluk,

Berupaya mendapatkan pandangan benar tentang kesunyataan.

Idealnya adalah seseorang harus sudah bisa memperoleh realisasi spontan yang tanpa upaya atas Ketiga Prinsip Utama Jalan tersebut (penolakan samsara, bodhicitta dan pemahaman sunyata). Namun bila belum bisa mencapai realisasi spontan, paling tidak calon praktisi harus sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan berupaya keras untuk memahami ketiga hal tersebut.

Praktisi Tantra

Jadi calon praktisi Tantra harus sudah memiliki suatu tingkatan pemahaman yang jelas dan tahu bagaimana caranya untuk menjalankan praktik- praktik yang akhirnya akan membawanya ke pencapaian-pencapaian tersebut. Ini adalah syarat minimal. Ini mencakup perlindungan kepada Tri Ratna, karena berlindung itu adalah pintu utama untuk masuk ke ajaran Buddha, dan ini juga mencakup pembangkitan bodhicitta, yaitu keinginan untuk mencapai pencerahan agung demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk.

Kemudian, apa yang dimaksud dengan persiapan khusus? Ini adalah inisiasi (abhiseka), yang merupakan pintu masuk ke jalan Tantra. Inisiasi bukan hanya berkaitan dengan ritual dan sebagainya, yang sebenarnya hanyalah merupakan perlengkapan dari inisiasi itu sendiri. Yang menjadi  pokok dari inisiasi adalah suatu kebijaksanaan utama yang timbul dalam batin kita melalui inisiasi tersebut. Inilah inisiasi yang sebenarnya.

Ketika Vajra-Acarya melakukan ritual inisiasi di hadapan para murid, Vajra-Acarya akan menjelaskan segala yang berkaitan dengan ritual tersebut dan para murid melakukan meditasi-meditasi yang wajib dilakukan. Bila persiapan mereka sudah matang para murid akan mampu membangkitkan kebijaksanaan utama (yang merupakan inisiasi yang sesungguhnya) dalam batin mereka.

Ini hanya bisa terjadi berkat pengertian yang mendalam tentang kesunyataan dan berdasarkan kualitas persiapan mereka pada jalan umum yang telah dijelaskan sebelumnya. Seandainya seorang murid belum bisa mendapatkan realisasi pemahaman tentang kesunyataan yang spontan, paling tidak dengan keyakinan  mereka pada Sang Vajra-Acarya dan Istadewata yang bersangkutan, lalu berdasarkan petunjuk Vajra-Acarya pada saat inisiasi, maka sang murid bisa membangkitkan suatu realisasi “yang diupayakan” melalui meditasi dan perenungan-perenungan yang tepat.

Dengan demikian sang murid dikatakan mendapatkan suatu pemahaman tentang kesunyataan berdasarkan upaya dan muncul keyakinan bahwa ia telah menerima kebijaksanaan utama dari inisiasi tersebut. Di tahap ini barulah dapat dikatakan bahwa sang murid telah menerima inisiasi yang sesungguhnya.

Saat menerima inisiasi, sang murid juga berjanji untuk menjalankan sejumlah komitmen atau ikrar yang berupa praktik-praktik sesuai dengan petunjuk Vajra-Acarya. Kemudian bila kita terus berlatih dengan semua upaya, maka satu per satu, semua klesha, akan terhapuskan hingga akhirnya kita mencapai tingkat penyucian yang lengkap sempurna, dan kita dikatakan berhasil mencapai tingkat Vajradhara, yaitu Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna.

 

Tulisan di atas disarikan berdasarkan sesi-sesi pengajaran Guru Dagpo Rinpoche, seorang Guru Besar kelahiran Tibet namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan Indonesia, karena garis kelahiran kembali beliau dapat ditelusuri hingga ke Guru Suwarnadwipa dari Kerajaan Sriwijaya, sebagaimana dikukuhkan oleh Yang Maha Suci Dalai Lama ke-13. 

Di dunia saat ini, selain dikenal sebagai Kelahiran Kembali yang Otentik dari Sang Mahabiksu abad ke-10 dari Sriwijaya tersebut, beliau juga dikenal sebagai seorang Guru Besar Pemegang Silsilah Otentik dari Tradisi Lamrim (Tahapan Jalan Menuju Pencerahan), sebuah tradisi yang diprakarsai oleh Guru Atisha sejak abad ke-10, yang mengajarkan cara belajar dan memeditasikan ajaran-ajaran Buddha secara terstruktur dan bertahap. 

Tahun 2019 menandai 30 Tahun Cipta, Karsa dan Karya Guru Dagpo Rinpoche di Nusantara, sebuah perjalanan yang sudah dimulai beliau sejak 1989 hingga sekarang. Dengan demikian, beliau menjadi salah satu dari tidak banyak guru-guru besar yang telah membina Buddhadharma di Indonesia secara konsisten selama tiga dasawarsa.

Praviravara Jayawardhana

Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan

The post Sekilas Mengenai Tantra appeared first on .

Terima Kasih Tian!

$
0
0

Cuaca sangat panas dan lembab, banyak orang disekitarku dan suasana terasa membosankan. Hidup enggan mati pun tak mau, begitulah rasanya kecewa. Sudah satu bulan ini aku merasa bebas, tidak perlu harus ke vihara. Baca paritta, meditasi cukup di rumah bahkan berdana juga ada kotak dana di rumah.

Sengaja disediakan untuk kebiasaan selesai kebaktian memasukan dana di kotak dana. Satu minggu masih semangat, dua minggu masih semangat, minggu berikutnya rasanya tidak perlu dan hari pun berlalu seperti biasanya.

Aku tidak terpaku lagi dengan harus baca paritta pagi dan sore, meditasi sebelum tidur dan memasukan uang ke kotak dana. Hari berikutnya aku menjalani kehidupan yang biasa saja sibuk dengan pekerjaan, nonton televisi, membaca buku, jalan-jalan dan kumpul dengan teman-teman. Asyiknya. inilah keindahan hidup, ketika kita bebas melakukan apa pun sesuai keinginan kita.

Kosong

Malam minggu yang gemerlap suasana kafe membuatku larut dalam obrolan yang tak berkesudahan bersama teman-temanku. Sambil menikmati secangkir kopi cappuccino dan kentang goreng, tertawa terbahak-bahak dan sesekali menitikkan air mata saking terharunya. Di sela-sela obrolan yang mengasyikan bunyi nada whatsApp menyela.

“Ka, apa kabar?”

Sepuluh menit aku membiarkan pesan itu terbengkalai tanpa balasan dan belum dibaca.

“Ka, aku kangen ke vihara,”

Degh! Segera kubuka pesan itu. Anak itu namanya Kristiawan, dan biasa dipanggil Tian. Bocah berumur sepuluh tahun itu sudah tiga bulan tidak nampak di vihara. Tian adalah anak yang rajin dan tidak pernah melewatkan hari minggu untuk ikut Sekolah Minggu. Selalu tersenyum dan antusias untuk bertanya serta selalu penasaran jika jawabannya kurang pas. Rambutnya selalu dipotong cepak, mempunyai mata bulat dengan kedua bola mata berwarna hitam pekat.

Tian mengirimkan foto sebuah gambar bendera buddhis yang ia lukis sendiri serta gambar sebuah vihara. Tak lupa ia sisipkan gambar perempuan dengan nama Viola, itu aku.

“Aku sayang Kak Viola. Terima kasih sudah membimbing Tian selama ini,” itu adalah pesan berikutnya.

Aku terpaku membaca pesan itu, dalam keramaian aku merasa kesepian. Ada sebuah kerinduan yang menyeruak di dalam hati. Ingin memeluk Tian dengan sangat erat. Aku beranjak ke kamar kecil rasanya sudah tidak bisa di tahan karena cuaca malam yang makin dingin. Mataku menatap cermin yang terpampang lebar di toilet. Aku memang egois! Ada yang lebih membutuhkanku daripada sekedar menuruti perasaanku. Inginku melawan hati walau berat kuungkapkan. Kubuka handphone-ku kembali tanpa pikir panjang ku balas pesan Tian.

“Oke Tian, besok ketemu di vihara ya. Kak Viola juga kangen sama Tian nih.”

Tian langsung membalas dengan emoticon senyum dan peluk.

“Aku gak mau ke vihara kalau gak ada kak Viola.”

Aku senyum sendiri, tak berapa lama kemudian ada getaran dasyat yang mengguncang gedung kafe. Semua orang berteriak histeris ketakutan dan berhamburan keluar. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha lari sekencang-kencangnya dan saling bertabrakan dengan yang lain.

Di luar pohon-pohon bergoyang dan suara-suara histeris terdengar. Mataku mencari keberadaan teman-temanku yang entah di mana posisinya. Gedung sebelah kafe bergoyang ke kanan – kiri dan tak lama kemudian ambruk seketika. Aku berdiri dengan kaki gemetaran, mata melotot dan tak mampu berkata apa-apa, dalam hati mengatakan ‘amitofo’. Reno menyeret tubuhku seketika dan tak kurasakan apapun, aku masih dalam keadaan linglung. Gempa! Baru saja terjadi gempa.

“Viola, sadar!” Reno menepuk-nepuk pipiku. Sebuah cahaya menyeret kesadaranku dengan rasa sesak yang membuat napasku terengah-engah. Huah! Aku menjerit. Hampir saja reruntuhan bangunan itu menguburku hidup-hidup jika Reno terlambat untuk menyelematkanku. Di sebelahku hampir semua orang menangis termasuk teman-temanku. Sebagian ada yang terluka, ringan dan parah bahkan ada yang meninggal.

Bukan beberapa lagi tapi puluhan nyawa melayang seketika dalam hitungan detik. Aku tak kuasa menahan tangis, betapa waktu tidak bisa dilawan. Kakiku masih lemas, Reno memapahku, darah mengucur dari lengan Reno, aku masih setengah sadar. Betapa aku tak berdaya, tak bisa apa-apa. Sirine ambulan terus berdatangan, betapa kacaunya kota ini. Kami menuju rumah sakit, suasana yang mencekam menusuk relung hati. Aku duduk di samping Reno yang sedang dibalut perban tangannya.

Tangisan pecah kembali terdengar, mataku samar melihat anak kecil yang sedang ditangisi oleh kedua orangtuanya disampingnya.

“Tian…” teriak suara wanita. Jantungku berdegup kencang mendengar nama itu. Kukedipkan mata ini berulang-ulang sampai penglihatan perlahan jelas. Perlahan kakiku melangkah ke arah mereka. Tangan dan kakiku makin gemetar, keringat dingin kurasakan mencambukku berulang-ulang. Lorong rumah sakit serasa ruangan pembekuan es. Aku mendorong wanita yang memanggil nama Tian. Aku hanya bisa menganga, suaraku habis. Tangan Tian melambai ke arahku. “Kak Viola…” dan hembusan napasnya berakhir.

Mama-ku menarik dan memelukku erat dan serasa dunia ini runtuh seketika, aku jatuh dan tidak sadarkan diri.

………………………….

Angin sepoi menyapu wajahku, trauma masih menggelayuti pikiranku. Aku berdiri diantara puluhan anak yang sedang melakukan kebaktian dengan kondisi bangunan vihara setengah retak. Terkadang ingin lari dan tak peduli namun lagi-lagi nurani berbisik, kalau bukan saat ini kapan lagi?

Wuzz! Sekelebat tanganku berat, sebuah genggaman lembut yang kemudian terasa ringan. Aku tahu itu adalah Tian. Terima kasih Tian, sudah memanggilku kembali dalam kerumunan tawa bocah-bocah polos yang menganggapku keluarga mereka.

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

The post Terima Kasih Tian! appeared first on .

Produksi Gula Semut, WANDANI Ajak Masyarakat Lestarikan Pohon Aren

$
0
0

Nderes atau aktivitas mengambil nira aren merupakan salah satu pekerjaan yang masih ditekuni oleh masyarakat pedesaan Temanggung. Nira yang diambil dari dangu (tangkai bunga) setiap pagi dan sore ini kemudian diolah menjadi gula aren.

Pengolahan nira sampai menjadi gula ini dilakukan secara tradisional. Air nira direbus di sebuah pawon (tungku tradisional dengan bahan bakar kayu) selama kurang lebih 4 jam, setelah air nira mengental dicetak dengan menggunakan batok kelapa. Hasilnya, gula aren dijual dalam bentuk gula batok untuk menopang sebagian kebutuhan keluarga.

Belakangan untuk meningkatkan nilai jual gula aren, sebagian masyarakat mulai kreatif mengolah gula batok menjadi gula semut. Salah satunya mayarakat yang sudah mulai memproduksi gula semut adalah warga Dusun Cendono, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, dan Kabupaten Temanggung.

Tetapi bagi masyarakat desa yang minim jaringan dan pengetahuan mempunyai banyak kendala untuk mengembangkan gula semut. Karena itu, Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) salah satu wadah oraganisasi umat Buddha membantu mengembangkan produksi gula semut masyarakat Dusun Cendono.

“Pada awalnya mereka hanya produski untuk dikonsumsi sendiri karena terkendala dipemasaran. Jadi kami turun tangan untuk memperbaiki kualitas produksi, mulai dari pengemasan hingga pemasaran,” kata Ibu Yogi, salah satu pengurus WANDANI pusat.

Gula semut produksi masyarakat Dusun Cendono ini kemudian dikemas dan dipasarkan oleh WANDANI ke berbagi kota di Indonesia. Gula semut mudah larut bila dicampurkan dengan minuman kopi maupun teh, selain itu gula aren lebih sehat untuk dikonsumsi karena mempunyai kandungan antioksidan dan memiliki kalori yang rendah.

Pohon aren harus dilestarikan

Tetapi persoalan gula aren ternyata tidak hanya diproduksi dan pemasaran. Masalah yang paling besar adalah terancam punahnya pohon aren sebagai bahan mentah nira. Hingga saat ini masyarakat Temanggung hanya mengandalkan pohon aren yang tumbuh secara alamiah, tidak ada penanaman ulang.

Menurut data yang diperoleh WANDANI, dusun Cendono sebagai proyek percontohan pengembangan gula semut memiliki 150 pohon yang siap dideres dan 200 pohon yang dalam masa pertumbuhan. Sementara ancaman datang dari para pedagang pohon aren mulai merangsek ke pedesaan membeli pohon aren untuk diambil sagunya.

“Saat ini, banyak pedagang dari luar Temanggung yang mengejar para petani agar menjual pohon aren dengan harga yang cukup fantastis, yaitu di atas lima ratus ribu rupiah per batang. Batang pohon aren yang ditebang, lalu digiling untuk menghasilkan tepung sagu pohon aren. Hal ini akhirnya membuat jumlah populasi pohon aren di Kecamatan Kaloran menurun drastis,” kata Sukhita Dewi.

Karena itu untuk mengatasi ancaman kepunahan pohon aren, WANDANI Temanggung bekerjasama dengan kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mengadakan sosialisasi pelestarian pohon aren. Acara ini digelar di Aula Gedung Dhammaseka Surya Jaya, Dusun Janggleng, Selasa (16/10/2018).

Acara yang diikuti oleh masyarakat penderes ini membahas banyak hal tentang cara budidaya pohon aren, perawatan pohon aren hingga pelatihan tehnik produksi gula semut.

Cecep Khoirul Anwar, Perwakilan Menko PMK divisi Pembinaan Kerukunan Umat Beragam menyambut baik langkah yang dilakukan WANDANI dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.

“Ekonomi umat sangat berpengaruh terhadap kerukunan umat. Mungkin Anda bertanya, apa hubunganya kerukunan dengan pohon aren? Sangat berpengaruh Bapak/Ibu, karena ketika ekonominya bagus orang tidak mudah untuk diadu domba,” katanya.

Kementerian PMK mempunyai komitmen untuk mendorong kementerian dibawah koordinasi Menko PMK untuk menindak lanjuti program WANDANI. “Kami hanya memberi stimulan-stimulan terkait pelestarian pohon aren kami akan mendorong kementerian pertanian untuk menindak lanjuti,” tegasnya.

The post Produksi Gula Semut, WANDANI Ajak Masyarakat Lestarikan Pohon Aren appeared first on .

Bhante Dhammasubho: Umat Buddha Desa Jangan Meninggalkan Tradisi Leluhur

$
0
0

Gaya hidup modern saat ini telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat desa. Masyarakat pedesaan yang dari dulu dikenal hidup sederhana, makan dari tanaman yang tumbuh di ladang berupa singkong, talas, jagung, dan aneka sayur hasil panen sendiri, kini telah banyak berubah.

Singkong, jagung, talas, sruwek, uwi, gadung, gembili, dan lain-lain yang dulu dijadikan pengganti makanan pokok berangsur ditinggalkan. Masyarakat desa kini lebih memilih hidup praktis, nasi menjadi makanan pokok tiga kali sehari, sayur beli dari pasar dan aneka makanan kemasan pabrik juga sudah menjangkit masyarakat desa.

Kondisi ini membuat Bhante Dhammasubho merasa prihatin. Menurut bhante, harusnya masyarakat desa tidak usah mengikuti gaya hidup orang kota. Hal ini disampaikan kepada masyarakat Buddha Kabupaten Temanggung dan Semarang pada acara pattidana tutup bulan Suro, Rabu (10/10/2018) di Pendopo Paud Saddhapala Jaya.

“Orang kota itu tidak bisa bercocok tanam, mereka tidak punya tanah, punyanya uang. Lha kita, orang desa melihat uang kan tiga bulan sekali. Menanam jagung setelah panen ditukar uang,” kata bhante.

Menurut bhante, masyarakat desa mempunyai cadangan makanan pokok yang tumbuh secara alami di ladang. Bhante mengibaratkan kehidupan masyarakat desa yang mempunyai punjer dan lajer. Punjer itu tanaman rambat seperti; kapak, uwi, gadung, gembolo-gembili. Sedangkan lajer itu lanjaran yang digunakan tanaman untuk merambat. Harusnya jangan ditinggalkan tanaman-tanaman seperti itu Bapak/Ibu, karena makanan ini adalah cadangan makanan di mangsa paceklik.”

“Lalu sebagai umat Buddha apa to punjer dan lajernya kita?” tanya bhante. “Dhamma warisan Buddha Gotama itulah punjer kita sebagai umat Buddha. Bhante Dhammakaro, Bhante Cattamano, dan Bhante Uppasanto itulah lajer kita,” terang bhante.

Karena, menurut bhante tanaman rambat kalau tidak dikasih lanjaran akan berkembang ke mana-mana dan ini membuat tanaman tersebut tidak produktif dalam berbuat. Sama halnya dengan umat Buddha ketika tidak ada pegangan yang kuat akan mudah goyah.

“Lha sekarang, tanaman seperti itu sudah mulai hilang. Harusnya tanaman seperti; kapak uwi, gembolo, gembili, gadung itu dirawat Pak. Karena itu makanan saat paceklik datang. Pada zaman kakek buyut kita, pada saat bulan Februari – Maret makanan sudah mulai berkurang, hasil panen sudah mulai habis. Makanan yang tumbuh secara alami inilah yang menjadi makanan kakek buyut kita,” terang bhante dalam bahasa Jawa halus.

Karena itu, bhante berharap masyarakat Buddha yang tinggal di pedesaan mulai kembali merawat alam, merawat dan makan-makanan yang sehat yang berasal dari alam, dan yang paling penting menurut bhante jangan sampai meninggalkan tradisi dan ajaran para leluhur umat Buddha Jawa.

The post Bhante Dhammasubho: Umat Buddha Desa Jangan Meninggalkan Tradisi Leluhur appeared first on .

3.000 Umat Buddha Hadiri Peresmian Vihara Dhammaratana

$
0
0

”Jangan hanya viharanya yang megah, namun umatnya juga harus berkualitas dalam hal moralitas, Bhante Subhapannyo.

Kalimat di atas adalah petikan wejangan Dhamma Bhante Subbhapannyo dalam acara peresmian purnapugar Vihara Dhammaratana, di Dusun Manguntosari, Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Rabu (17/10/2018). Setelah melalui proses panjang, Vihara Dhammaratana akhirnya selesai dipugar. Pemugaran vihara ini tak lepas dari peran tiga pemuda Temanggung; Mettiko Dahyono, Catur, dan Tri Madyo.

Kini Vihara Dhammaratana sudah tampil megah dengan berbagai fasilitas ruang dhammasala, dapur, toilet, dan halaman yang luas. Karena itu, sebagai wujud syukur atas dipugarnya vihara ini, umat Buddha Dusun Manguntosari menggelar peresmian purnapugar dengan meriah yang dihadiri oleh tiga ribuan umat Buddha sekitar Temanggung dan Semarang.

Tak hanya umat Buddha, yang lebih membanggakan acara ini juga turut dihadiri oleh 14 bhikkhu dari Sangha Theravada Indonesia (STI). Mereka adalah; Bhante Jothidhammo, Bhante Subbhapanno, Bhante Guthadhammo, Bhante Sujanno, Bhante Cattamano, Bhante Dhammakaro, dan beberapa bhante lainnya. Selain para bhikkhu, turut hadir pula Wakil Bupati Temanggung yang turut meresmikan purnapugar Vihara Dhammaratana.

Namun yang tidak kalah menarik atas penyelenggaraan acara peresmian ini adalah usaha keras umat Vihara Dhammaratana untuk mengumpulkan dana. “Acara ini disokong sepenuhnya oleh umat Buddha Dusun Manguntosari dibantu oleh para relawan, untuk pendanaan adalah swadaya dari umat yang dilakukan sejak Januari 2018. Mereka menabung sampai pada pelaksanaan peresmian,” tutur Pandita Mettiko.

Sejarah Vihara Dhammaratana

Menurut Pandita Mettiko Dahyono, pada tahun 1970 umat Buddha Dusun Manguntosari membangun vihara pertama mereka. Sebelum tahun 1970 umat bermukim di Dusun Jambon yang terletak di bawah Dusun Manguntosari, karena terjadi pergeseran tanah pada dusun mereka akhirnya para umat pindah dan bermukim di Bukit Gemulung yang berada di atas Dusun Jambon.

Nama Manguntosari sendiri merupakan gabungan dari tiga tokoh pembangkit agama Buddha di daerah Kaloran khususnya di Dusun Manguntosari yaitu Mbah Mangun, Mbah To Sari, dan Mbah Sari. Untuk mengenang jasa para tokoh dalam membangkitkan dan membangun kembali agama Buddha para umat memberikan nama dusun baru mereka Manguntosari. Seluruh umat Buddha Manguntosari ada tigah puluh delapa kepala keluarga.

Kemeriahan acara

Prosesi peresmian dimulai dengan arak-arak umat dari titik kumpul di kuti Vihara Dhammapanna Desa Kalimanggis sekitar pukul 08.00 WIB. Dengan urutan barisan paling depan kesenian Barongsai Dusun Lamuk, disusul dengan barisan pengusung Lambang Negara Indonesia yaitu Garuda dan pasukan pembawa bendera negara dan bendera Buddhis, urutan selanjutnya adalah pengusung hasil bumi yang dibentuk tumpeng yang menyambung dengan muda-mudi Buddhis Kecamatan Kaloran yang berpakaian adat jawa, kemudian disusul barisan para bhante dan umat sebagai barisan terakhir. Arak-arak menempuh perjalanan kurang lebih satu km hingga sampai di Vihara Dhammaratana.

Seusai prosesi umat dipersilahkan untuk istirahat dan makan siang sembari menyaksikan pertunjukan seni tari-tarian anak-anak Sekolah Minggu dan nyanyian lagu-lagu Buddhis. Pertunjukan seni berlangsung hingga sekitar pukul 13.00 WIB.

Pada pukul 13.30 WIB acara inti dimulai dengan sambutan-sambutan. Selesainya acara sambutan Bhante Subbhapanno dipersilahkan untuk memberikan Dhammadesana kepada umat. Dalam ceramahnya Bhante Subha memberikan apresiasi kepada umat atas selesainya purnapugar Vihara Dhammaratana, “Tentu kami semua merasa bersukacita dan berbahagia atas selesainya purnapugar Vihara Dhammaratana Dusun Manguntosari ini.”

“Bahwa Vihara ini dibangun sebagai wujud dari sifat, dari karakter umat Buddha Dusun Manguntosari yang bekerja keras dan juga punya kekuatan yang lain, punya semangat bergotong royong hingga vihara ini terbangun dengan baik. Vihara ini tidak akan terbangun tanpa adanya semangat gotong-royong, kerja keras, kekuatan, dan kekompakan dari segenap umat Buddha di Manguntosari ini,” tutur Bhante Subha di awal ceramah.

Selanjutnya Bhante mengingatkan kembali para umat untuk terus mengembangkan nilai-nilai luhur dalam diri umat masing-masing,“ setelah vihara ini terbangun dengan indahnya, dengan megahnya, atas segala kerja keras, kesungguhan, ketulusan, keyakinan dan gotong-royong para umat hendaknya vihara ini bisa menjadi tempat untuk mengembangkan nilai-nali luhur yang ada di dalam diri masing-masing umat. Apalah artinya vihara ini dibangun dengan susah payah, dengan megah kalau tidak diisi dengan hal-hal kebajikan.

Selain membangun vihara di luar, umat juga hendaknya harus membangun dan mengembangkan vihara di dalam diri yaitu yang pertama adalah Metta, mengembangkan cinta kasih kepada segenap makhluk hidup yang ada. Yang Kedua adalah Karuna atau kasih sayang kepada segenap makhluk hidup, kita turut merasakan kesusahan atau kesedihan orang lain sehingga timbul keinginan untuk membantu dan meringankan beban penderitaan orang lain.

Yang ketiga adalah Mudita yaitu turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain, sehingga tidak timbul rasa iri di dalam diri. Yang keempat adalah Upekha atau keseimbangan batin, dimana kita mengembangkan sikap dewasa, matang, dan bijaksana dalam melihat segalan sesuatu,” lanjut bhante.

Di akhir ceramah bhante memberikan penjelasan sedikit tentang relief yang terpasang di samping kanan dan kiri pintu masuk Vihara Dhammaratana. Sebelah kiri merupakan simbol kesejahteraan, kemakmuran, dan kesentosaan, sedangkan sebelah kanan pintu adalah simbol panjang umur.

Selesainya Dhammadesana, Bhante Subhapanno, acara dilanjutkan dengan sambutan Wakil Bupati Temanggung, Heri Ibnu Wibowo dan penandatangan prasasti oleh Bhante Subhapanno dan Wakil Bupati Temanggung. Dalam sambutannya Heri Ibnu Wibowo menyampaikan pesan kepada umat Buddha, khususnya umat Vihara Dhammaratana untuk mengisi vihara yang telah dibangun dengan mengembangkan baik kuantitas umat maupun kualitas moral umat Buddha di Manguntosari.

The post 3.000 Umat Buddha Hadiri Peresmian Vihara Dhammaratana appeared first on .

Mengapa Aku Kadang Merasa Sendirian?

$
0
0

Thich Nhat Hanh menjawab pertanyaan anak-anak.

Anak-anak memiliki tempat istimewa dalam tradisi Plum Village, yang mana Thich Nhat Hanh mengajar di sana. Terdapat berbagai program, pengembangan latihan meditasi, serta latihan-latihan spiritual yang memang secara khusus dirancang untuk anak-anak serta remaja, Thich Nhat Hanh kerap menyesuaikan bagian awal ceramah-ceramah Dharma dengan mempertimbangkan kalangan anak dan remaja ini.

Thich Nhat Hanh secara rutin memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengajukan pertanyaan padanya. Anak-anak mungkin lebih kecil dan lebih muda, dan karenanya mereka mungkin memiliki cara yang unik dalam mengungkapkan sesuatu.

Baca juga: Menyembuhkan Anak Kecil di Dalam Diri

Berikut ini merupakan pertanyaan anak-anak, beserta jawaban-jawaban Thich Nhat Hanh yang membuka wawasan, dikutip dari buku bergambar berjudul, “Apakah Tiada itu Sesuatu? (Is Nothing Something?)”. “Saya selalu berusaha memberi jawaban yang terbaik pada anak-anak,” demikian Thich Nhat Hanh berujar.

“Saya jauh lebih tua dibanding anak-anak yang mengajukan pertanyaan, tetapi saat kami duduk dan bernapas bersama, kami sesungguhnya sama saja.” ~Andrea Miller.

Apa itu penuh kesadaran?

Penuh kesadaran adalah energi. Energi ini membantu kita menikmati apa yang terjadi pada saat ini. Energi ini dapat membawa banyak kebahagiaan bagi kita. Ia membantu kita untuk tidak terlalu larut dalam penderitaan, justru belajar dari penderitaan. Caranya? Dengan memejamkan mata kita dan bernapas dengan mudah/lancar. Sekadar perhatikan saja napasmu. Jika kamu dapat menikmati napasmu, maka kamu menciptakan energi penuh kesadaran.

Apa yang harus kita lakukan jika kita ingin menyenangkan orang itu serta membuatnya merasa lebih nyaman?

Salah satu cara paling mudah dan menyenangkan yang dapat kamu lakukan bagi seseorang yang sedang merasa tidak enak, adalah menemaninya, dan bernapas bersama mereka. Kamu bisa berkata, “Aku di sini untukmu.” Kamu memberikan kehadiranmu dan kebersamaan, yang merupakan hadiah terindah yang dapat kamu persembahkan pada orang lain.

Apa yang kamu lakukan saat kamu takut ?

Lazimnya, ketika kita merasa takut, kita mencoba lari dari apa pun yang membuat kita takut. Saat merasa takut, saya akan menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri saya. Saya akan mencoba menghentikan pemikiran saya dan sekedar bernapas saja. Hal ini selalu membantu saya.

Setiap kali perut saya bergejolak, saya mengisi sebuah botol dengan air panas dan meletakkannya di perut saya. Dalam lima menit, saya akan merasa jauh lebih baik. Pernapasan penuh kesadaran yang saya sebutkan itu mirip dengan sebotol air panas bagi pikiran saya. Setiap kali saya menerapkan pernapasan dengan penuh kesadaran pada ketakutan saya, saya menjadi lega dan terbebaskan.

Apakah tiada itu sesuatu?

Ya. Tiada itu sesuatu. Kamu memiliki gagasan dalam kepalamu tentang ketiadaan. Kamu memiliki gagasan dalam kepalamu tentang sesuatu. Keduanya merupakan hal yang dapat menciptakan, baik kebahagiaan maupun penderitaan.

Mengapa aku kadang merasa sendirian dan merasa tak seorang pun mencintaiku?

Kadang orang-orang di sekitarmu teralihkan, dan mungkin lupa untuk mengekspresikan cinta mereka. Tetapi seandainya kamu merasa seolah tak seorang pun mencintaimu, kamu selalu bisa melihat keluar ke alam. Apakah kamu melihat pohon di luar sana? Pohon itu mencintaimu. Ia mempersembahkan keindahan dan kesegarannya padamu dan memberimu oksigen sehingga kamu bisa bernapas. Bumi mencintaimu, mempersembahkan air yang menyegarkan dan buah yang nikmat untuk kamu makan. Dunia menyatakan cintanya dalam banyak cara, bukan hanya dengan kata-kata.

Bagaimana aku bisa menyayangi seseorang menyukai hal-hal yang berbeda dengan yang kusukai ?

Mencintai berarti menemukan. Jika kamu tetap menyayangi orang lain, kamu akan terus-menerus menemukan hal yang indah tentang orang itu. Kamu dapat menikmati berbagai perbedaan tersebut, karena tentu akan sangat membosankan seandainya semua orang itu sama adanya. Bahkan jika seseorang memiliki kualitas yang nampaknya tidak menyenangkan, kamu bahkan tetap masih dapat belajar menyayangi orang itu, sebagaimana adanya mereka, dan bukan sebagaimana yang kamu harapkan.

Bagaimana aku bisa tetap tenang saat aku menyaksikan begitu banyak hal yang tidak baik di dunia ?

Kapan pun saya menyaksikan kekerasan atau kekejaman, hal itu tetap membuat saya marah. Kita semua kadangkala menjadi marah. Tetapi kita dapat belajar untuk mengendalikan kemarahan kita. Jika kita melihat lebih dekat, kita akan dapat menyaksikan bahwa orang-orang yang kejam itu sesungguhnya memiliki banyak penderitaan dalam diri mereka.

Saat kita melihat hal ini, kita akan menjadi iba, dan membantu situasinya dengan menciptakan kedamaian, bahkan seandainya saat itu apa yang sedang terjadi di sekitar kita tidaklah terlalu mendukung suasana damai/tenang. Kita dapat menggunakan pernapasan dan ketenangan kita untuk mengubah energi kemarahan menjadi energi welas asih. Saat kita memiliki energi welas asih, kita dapat melakukan banyak hal untuk membantu agar orang-orang tidak terlalu menderita. (lionsroar.com)

The post Mengapa Aku Kadang Merasa Sendirian? appeared first on .

Inilah Kemeriahan Peresmian Vihara Dhammaratana, Dusun Manguntosari, Temanggung

$
0
0

Sebagai wujud syukur atas terselesainya pemugaran kembali Vihara Dhammaratana, umat Buddha Manguntosari, Desa Kalimanggis, Kaloran, Temanggung merayakan peresmian vihara dengan meriah.

Acara dilaksanakan pada Rabu (17/10/2018), yang mengundang sekitar tiga ribu umat lebih serta menghadirkan empat belas Bhikkhu dari Sangha Therevadha Indonesia (STI). Nampak juga acara wakil Bupati Temanggung hadir dalam acara ini, wakil Bupati Temanggung juga turut serta meresmikan dan menandatangani prasasti purnapugar Vihara Dhammaratana.

Sesuai sesi sambutan-sambutan dan ceramah Dhamma, Bhante Subbha dan wakil Bupati meresmikan vihara dengan penandatangan prasasti dan pemotongan pita peresmian. Pada malam harinya umat dihibur dengan pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk yang merupakan puncak rangkaian acara peresmian Vihara Dhammaratana Dusun Manguntosari.









The post Inilah Kemeriahan Peresmian Vihara Dhammaratana, Dusun Manguntosari, Temanggung appeared first on .


Tantra di Bumi Nusantara: Jejak Tantra di Masa Lampau

$
0
0

Buddhadharma pertama kali masuk ke Nusantara di awal abad ke-5 Masehi ketika jalur perdagangan laut yang menghubungkan antara India di Barat dan Tiongkok di Timur (Jalur Sutra) mulai dikenal. Sebelum itu, jalur perdagangan antara kedua wilayah tersebut adalah melalui jalan darat melalui sisi utara dari India, tidak melalui Nusantara.

Sebelum abad ke-5 pun sudah banyak biksu dari India yang bepergian melalui jalan darat untuk menyebarkan ajaran Buddha di wilayah Asia Tengah dan Tiongkok. Namun sejak abad ke-5, mereka mulai menggunakan jalur laut. Dan dalam perjalanan mereka, biasanya mereka akan singgah di Nusantara.

Ada seorang biksu dari India, persisnya dari kerajaan Kashmir, yang memiliki peran penting di dalam silsilah biksu Sangha di Tiongkok, bernama Gunawarman, di dalam biografi beliau, tercatat bahwa adalah beliau yang pertama kali memperkenalkan Buddhadharma ke Nusantara di abad ke-5. Beliau pada waktu itu sempat berkunjung ke Jawa dan menyebabkan seorang raja Jawa menjadi penganut Buddhadharma.

Secara umum, sejarah Buddhis di Nusantara biasanya dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:

abad ke-5 hingga abad ke-8, ketika sumber informasi masih sangat jarang dan biasanya tersebar di berbagai wilayah Indonesia;

abad ke-8 hingga abad ke-10, ketika pusat kekuasaan dan kebudayaan berada di Jawa Tengah (dan Sumatera); serta

abad ke-10 hingga abad ke-15, ketika pusat kekuasaan dan kebudayaan bergeser ke Jawa Timur.

Sekitar abad ke-8 hingga abad ke-9, Syailendra sangat terkenal sebagai dinasti yang sangat berpengaruh di Jawa (melalui Kerajaan Mataram Kuno/Medang) maupun di Sumatera (melalui Kerajaan Sriwijaya). Di bawah kekuasaan mereka, Buddhadharma berkembang dengan sangat pesat di Nusantara.

Candi Borobudur adalah mahakarya yang dihasilkan oleh dinasti ini. Selain itu, tentu juga masih banyak sekali peninggalan bersejarah baik dalam bentuk bangunan, prasasti maupun kitab-kitab yang menunjukkan karakteristik Buddhadharma di Nusantara pada masa itu.

Masa kejayaan Buddhadharma di Jawa Timur dimulai sekitar 929 Masehi ketika terjadi pergeseran pusat kekuasaan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Dua kerajaan yang paling dikenang dari masa ini adalah Singosari dan Majapahit.

Abad ke-8 sampai abad ke-10

Karakteristik penghayatan Buddhadharma di Nusantara pada zaman dahulu biasanya dapat ditelusuri melalui tiga sumber yaitu: bukti peninggalan berupa bangunan, arca maupun prasasti; kitab-kitab peninggalan dari masa tersebut; dan catatan dari para musafir luar negeri.

Misalnya, kita bisa lihat bahwa dari peninggalan candi-candi di Jawa Tengah, antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu dan sebagainya, dapat disimpulkan bahwa filosofi Buddhis yang berkembang pada masa itu adalah berkiblat Mahayana. Ini bisa dilihat dari relief-relief yang diukir di Candi Borobudur (abad 9 M) yang diambil dari berbagai sutra khas Mahayana seperti Lalitawistara ataupun Gandavyuha.

Baca juga: Sekilas Mengenai Tantra

Candi Mendut (abad 9 M) memiliki arca utama yang masih lestari hingga sekarang yaitu Maitreya (yang terkadang diidentifikasi pula sebagai Vairocana dikarenakan mudra Memutar Roda Dharmanya yang sama) dan diapit oleh Avalokiteshvara dan Vajrapani, yang lagi-lagi ketiganya adalah sosok yang sangat dipuja di dalam tradisi Mahayana. Candi Sewu (abad 8 M), berdasarkan prasasti yang ditemukan, diketahui dulunya adalah bernama Manjusri-Grha, yang berarti Rumah Manjusri. Manjusri adalah sosok Buddha Kebijaksanaan yang sangat dijunjung tinggi di dalam Mahayana.

Mahayana-Tantra juga ditengarai menjadi praktik umat Buddha di Jawa Tengah pada masa itu, antara lain bisa dilihat dari Candi Borobudur yang dibangun dengan konsep mandala, yang sebenarnya merupakan inti ajaran dari praktik Yoga Tantra yang diwujudkan secara visual. Candi Kalasan (abad 8 M) yang terletak tidak jauh dari Candi Sewu juga diketahui berdasarkan prasasti yang ditemukan, merupakan sebuah bangunan kerohanian yang didedikasikan secara khusus kepada sesosok istadewata Tantra yang sangat “populer” yaitu Bhagavati Tara.

Berdasarkan catatan perjalanan dari seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing yang mampir ke Kerajaan Sriwijaya pada (abad 7 M), diketahui bahwa penganut Buddhadharma pada era tersebut cukup heterogen, termasuk di dalamnya adalah penganut Mahayana maupun “Pratimokshayana” (yang berarti “Kendaraan Pembebasan Pribadi”, sebuah istilah yang lebih tidak derogatif dibandingkan dengan penggunaaan istilah “Hinayana”). Namun corak ajaran Mahayana juga sangat kental di masa itu, antara lain bisa diketahui dari misalnya Prasasti Talang Tuo (684 M) yang berisi doa-doa aspirasi Mahayana.

Kemudian juga banyak ditemukan peninggalan berupa arca-arca Bodhisatva yang sangat khas Mahayana di sana. I-Tsing sendiri mengatakan bahwa Sriwijaya pada masa itu merupakan tempat persinggahan “favorit” para biksu Tiongkok yang hendak belajar ke Nalanda di India, karena mereka bisa belajar topik-topik pendahuluan di sini, khususnya bahasa Sanskrit yang merupakan bahasa utama yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Mahayana.

Dan yang paling penting adalah adanya sesosok guru besar yang memegang silsilah penting dari esensi ajaran Mahayana yaitu bodhicitta atau batin pencerahan. Beliau adalah Guru Dharmakirti Swarnadwipa, seorang mahabiksu berdarah asli Nusantara. Ketenaran beliau bahkan menyebabkan seorang biksu, yang tak kalah luar biasanya, dari Bengal (India), pun datang dan berguru kepada beliau sebelum kemudian membawa ajaran tersebut ke Tibet dan terpelihara hingga sekarang sebagai salah satu rumpun ajaran Mahayana utama di dunia saat ini.

Abad ke-10 sampai abad ke-15

Bagaimana pula dengan Buddhadharma di masa Jawa Timur kuno? Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, diketahui bahwa praktik Buddhis Mahayana-Tantra semakin mengental di era ini. Raja Krtanegara dari Singosari (abad 13 M) diketahui adalah seorang praktisi Tantra yang sangat mumpuni, khususnya Kalachakra Tantra, dan ini dikatakan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan beliau sanggup menandingi Kubilai Khan dari Mongol yang waktu itu hendak menginvasi Jawa.

Arca-arca peninggalan masa ini sangatlah khas Tantra, antara lain: Amogaphasa Lokeswara (yang masih dapat dilihat di Candi Jago) yang merupakan Avalokiteshvara dalam penampakannya sebagai istadewata Tantra bertangan delapan. Selain itu juga banyak ditemukan arca-arca istadewata Tantra lainnya seperti Bhagawati Tara, Bhairawa dan sebagainya dari era ini. Di masa ini, hubungan diplomatik antara kerajaan di Jawa (Singosari) dan Sumatera (Malayu) juga berjalan sangat erat.

Corak Buddhadharma yang dipraktikkan oleh kedua wilayah kerajaan tersebut juga mirip, yaitu Mahayana-Tantra. Ini antara lain bisa dilihat juga dari penemuan arca-arca istadewata Tantra pula di Sumatera, termasuk di antaranya adalah arca Bhairawa, Mahakala dan juga Heruka. Candi Bahal di Sumatera hingga saat ini pun sangat terkenal sebagai tempat ziarah para praktisi Tantra (khususnya Heruka Tantra), dari berbagai pelosok dunia.

Istadewata Heruka juga muncul di dalam salah satu bait dari Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular (abad 14 M) dari era Majapahit.

Selain Sutasoma, yang terkenal karena Bung Karno mengambil semboyan bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika, dari kitab ini, ada beberapa kitab yang juga sangat penting dan bisa menunjukkan jejak-jejak karakter Buddhadharma di Nusantara pada zaman lampau, antara lain: Negarakrtagama, Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya dan Sang Hyang Kamahayanan. Secara khusus, kedua kitab yang terakhir disebutkan ini juga dikenal sebagai kitab ajaran Tantra Jawa Kuna.

Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya adalah kitab yang berisikan syair-syair Sanskrit dan kemudian menyertakan pula penjelasannya dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab ini pada dasarnya adalah berisi panduan untuk memberikan abhiseka kepada para (calon) murid ke dalam praktik Tantra. Beberapa kutipan syair dari kitab ini, antara lain:

Sang Hyang Mahayana ini kuajarkan padamu, yaitu Sang Hyang Mantranaya dari Jalan Agung Mahayana namanya. Tata laksananya akan kujelaskan padamu. Karena engkau merupakan makhluk yang baik yang pantas menerima ajaran Sang Hyang Dharma Mantranaya. (2)

Bhatara Sri Shakyamuni hingga dapat meraih kemenangan terhadap rintangan mara, yang kalah olehnya, seperti klesha-mara, skandha-mara, mrtyu-mara menyerah kalah semuanya kepada beliau, sebab kesanggupannya menaklukkan mara adalah dikarenakan tak terhingganya pengaruh samadhi sakti pada Sang Hyang Mantranaya yang ditekuninya. (5)

Jangan membicarakan, mengajarkan vajra, gantha, dan mudra kepada orang yang tidak melihat mandala, demikian pula rahasianya harus engkau sembunyikan, tidak mengajarkannya kepada orang tanpa penjelasan ajaran, juga jangan membicarakan atau menjadikannya gurauan dengan mereka yang tidak mempercayai tujuanmu, yang tidak sungguh-sungguh dalam menerima ibadah dari bhatara, jangan sampai hal itu terjadi.

Jika ada orang yang menentang jalan agung, lihatlah orang seperti itu, sengsara selama-lamanya. Karenanya janganlah hatimu tidak tulus dalam kemuliaan Sang Hyang Bajrajnana, ingatlah dengan baik kepada Sang Hyang Samaya. (12)

Kemudian, kitab Sang Hyang Kamahayanan adalah berisi sadhana Tantra Yoga berdasarkan tradisi Jawa Kuna, terutama terkait dengan teknik pengendalian nafas yang dihubungkan dengan bija-aksara. Kitab ini juga banyak menunjukkan kosmologi istadewata Tantra yang dilambangkan sebagai Sang Hyang Diwarupa, berwujud Bhatara Hyang Buddha yang mengejawantahkan dirinya menjadi Bhatara Ratnatraya (Shakyamuni, Lokeswara dan Bajrapani) dan juga Bhatara Panca Tathagatha.

Kitab ini banyak menjadi rujukan bagi para cendekiawan dalam usaha mereka untuk memahami dan mengidentifikasi istadewata dan mandala yang berada di Candi Borobudur. Beberapa kutipan syair dari kitab  ini antara lain:

Jika berdiam di gunung, gua, pantai, sebuah kuti, vihara, pondok pertapaan, atau engkau tinggal di kuburan angker dan sebagainya, lengkapilah dengan tempat melakukan homa, rumah sunyata namanya, tempat persembahan, tempat arca, buatlah balai-balai, tirai, tempat duduk, dan alas tidur, segala yang menyenangkan hatimu. (2)

Bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tatacara, berdiamlah dengan memandang ujung hidung. (6)

Yang disebut mahati-dana. Seperti sang Mahasatwa, yang memberikan dagingnya, darahnya, matanya, tubuhnya, sama sekali tidak memiliki keterikatan terhadap semua itu, disebabkan belas kasihnya pada semua makhluk hidup, akibat penderitaan makhluk hidup tersebut, ada raksasa, ada harimau, ada garuda, diberikannya dagingnya, darahnya, matanya, diberikan kepada brahmana tua buta, yang menguji keberaniannya berdana, hatinya diberikan kepada seekor angsa lumpuh lapar dan menderita, menggunakan tubuhnya untuk menolong bagi yang membutuhkan, tanpa ragu-ragu. Perbuatan baik seperti itulah, yang disebut mahati-dana namanya. Demikianlah arti dana yang telah diajarkan terdapat tiga macamnya. (15)

Bagaimanakah cara melaksanakannya? Dengan bersadhana sang adwaya. Tidak terlupakan nafas am, demikian suaranya, hisaplah melalui mulut, diamkan dalam kerongkongan, jangan hiraukan masuk keluarnya nafas dari hidung; yang didiamkan dalam kerongkongan, kemudian lebur, memenuhi sekujur tubuhmu, sehingga berwarna merah matahari. Lalu buatlah nafas ah, demikian suaranya; yang didiamkan dalam kerongkongan lenyap dalam tubuh, hingga menjadi setenang rembulan, tenang menyenangkan, namanya pranayama itu, selalu lakukanlah demikian, terhapuskanlah segala kleshamu, setelah itu, kuatkan renungan pada Buddha. (51)

Demikianlah tentang Panca Tathagathadewi, yaitu: Bharali Datiswari, Bharali Locana, Bharali Mamaki, Bharali Pandarawasini, Bharali Tara. Demikianlah nama kelimanya. (83)

Demikianlah dapat kita simpulkan bahwasanya ajaran Mahayana-Tantra telah memiliki akar sejarah yang sangat kuat di bumi Nusantara ini. Tidak heran jika koneksi karma dan kekuatan praktik yang sudah sekian ratus tahun ini terbawa hingga sekarang dan praktik Mahayana-Tantra menjadi bukan sesuatu yang asing di lubuk hati terdalam dari para praktisi Buddhis di Nusantara. Namun tentu saja sekali lagi perlu ditekankan bahwa untuk memasuki ajaran Tantra memiliki syarat-syarat pendahuluan (biasa maupun khusus, sebagaimana telah disampaikan pada bagian pertama dari tulisan ini) yang harus dipenuhi terlebih dahulu sehingga tidak terjadi kesalahpahaman ataupun kesalahan praktik yang bisa saja sangat rawan terjadi, apalagi di Nusantara dewasa ini.

*Sumber pengayaan materi: Buddha di Nusantara, oleh Bambang Budi Utomo, Sang Hyang Kamahayanan, Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya

Praviravara Jayawardhana

Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan

The post Tantra di Bumi Nusantara: Jejak Tantra di Masa Lampau appeared first on .

Tionghoa Membawa Kembali Dharma Nusantara

$
0
0

“Jika kita bisa mengganti cara lama yang keliru dan menjalankan cara baru yang benar, maka silsilah yang diletakkan Bodhidharma di gunung Shaoshi akan berlanjut semulia Grdhakuta!”

Vinaya Master Yijing, ditulisnya catatan Nanhai Jigui Neifazhuan ini di pulau Sumatera

Dalam kisah Chan dan Tiantai, setelah pembabaran Saddharmapundarika Sutra dan sebelum parinirvana-Nya, Buddha mentransmisikan Dharma pada Mahakasyapa Dharma yang terunggul yang tak bisa terlukiskan dengan kata-kata.

Kala itu Buddha mengangkat sekuntum bunga teratai tanpa berbicara dan hanya Mahakasyapa yang mengerti hingga senyum merekah di wajahnya. Kisah ini berasal dari Brahma-pariprrcha Sutra dengan garis silsilah yang juga diamini oleh Asokaraja Sutra dan kitab silsilah Sarvastivadavinaya. Teratai itu juga tak lain adalah Saddharmapundarika – ajaran paripurna Buddha. Bodhidharma membawa ajaran ini ke Tiongkok dan dikenal dengan nama silsilah Chan atau Zen.

Kemerosotan Sangha terjadi di Nusantara pada era Majapahit, para biksu memilih jalan menikah, sama dengan apa yang terjadi Nepal negara kelahiran Buddha. Keadaan Buddhadharma menjadi sirna seiring dengan surutnya kerajaan Majapahit pada tahun 1527 M. Tapi untung, 100 tahun kemudian, Buddhis Tionghoa yang mewarisi semangat Bodhidharma membantu menjaga keberlangsungan Buddhadharma di Nusantara.

Berdirinya Guanyin Ting di Batavia (Jakarta) dan kota lain

Kitab  Sejarah Melayu dan Zhang Xie mencatat keberadaan kelenteng tak lama setelah Majapahit runtuh. Catatan historis Kai Ba Lidai Shiji (Catatan Tionghoa tentang Batavia) mencatat berdirinya Guanyin Ting pada tahun 1650 M. Letnan Guo Xunge dan Guo Qiaoguan mengumpulkan dana membangun tempat penghormatan pada bodhisattva Avalokiteshvara ini yang akhirnya kita kenal dengan nama Jinde Yuan di daerah Glodok, Jakarta. Tak selang 100 tahun, berdiri kelenteng Dabo Gong, Xuantian Shangdi dan Baosheng Dadi, serta satu wihara Buddhis yang terhubung dengan kuburan di Batavia kemudian wihara Chaojue di Cirebon (1714 M).

Hubungan Batavia dan Tiongkok juga tertestimoni dari inskripsi tahun 1696-7 di distrik Tong’an, Quanzhou berjudul Chongxing Longchi Beiji atau Catatan Rekonstruksi Wihara Longchi. Di sana disebutkan bahwa kepala wihara Longchi yang berada di Wenpu Chanlin (Hutan Chan Wenpu), bernama Wenhui Shangren pergi berlayar ke Batavia untuk menemukan danapati yang bisa membantu biaya pembangunan dan ada kapitan Guo yang membantunya di Batavia. Para umat di Batavia begitu tahu sang biksu pergi berlayar jauh dari Tiongkok ke Indonesia demi Buddhadharma, langsung segera membantu mengumpulkan biaya. Donatur juga datang dari orang Tionghoa di Ambon dan Banten.

Huang Yanguan membangun akademi Nankai di sebelah Guanyin Ting di Batavia pada tahun 1775. Kepala sekolahnya yang bernama Yang Ben menulis: “Dari periode Wanli (1572-1650) hingga sekarang periode Qianlong (1775), kami orang Tang datang ke Batavia yang mana sudah ada Kapitan. Kami tak pernah menduga mereka telah membangun wihara-wihara Buddha dan kelenteng dewa-dewa.” Saat itu orang-orang Kanton dan Fujian (Hokkian) telah menjabat sebagai kapitan di Batavia. Menurut reportase Dinasti Ming dan Qing, masyarakat Fujian “percaya akan dewa-dewa dan kuil serta memuliakan Buddhadharma.”

Biara Guanyin juga berdiri di Semarang pada tahun 1746 dan setelah lokasinya dipindahkan kita kenal dengan nama wihara Dajue di Gang Lombok. Wang Dahai menulis satu bhiksu eksentrik bernama Fobin yang berasal dari Fujian menjaga biara Guanyin tersebut. Saking eksentriknya hingga perilakunya melanggar janji selibat dari Vinaya. Sebagai Konfusianis, Wang Dahai mengkritisi budaya kelenteng dan Buddhis yang diyakini banyak orang Fujian saat itu.

Cendekiawan Konfusianis saat itu juga dikenal amat kritis terhadap ritual Pu Du atau Jinghe Ping. Cuma belakangan ini saja rohaniwan Khonghucu mengadaptasi sembahyang rebutan atau Avalambana atau istilah lokal Jinghe Ping yang berasal dari agama Buddha. Catatan terawal mengenai Pu Du di Jawa berasal dari catatan Tjoa Tjoe-koan di Surakarta pada tahun 1885 M lalu juga catatan Belanda tentang Avalambana di Maluku dan Riau pada abad ke-18 dan 19.

Tjoa Tjoe-koan mendeskripsikan pada tanggal 15 bulan ke-7 diadakan perayaan Tao yaitu Zhongyuan yang memuliakan dewa Diguan yang mana para biksu mengadakan ritual Pu Du atau penyebrangan makhluk di alam menderita bernama Ullambana/Avalambana yang berasal dari biksu Maudgalyayana.

Tjoa juga mencatat bahwa semua orang Tionghoa menghormat pada leluhurnya di hari Ullambana ini untuk menghaturkan permohonan maaf, melakukan Jinghe Ping, memohon berkah sambil mengundang para leluhur untuk menikmati bersama-sama gunungan-gunungan persembahan. Pada perayaan Pudu, di samping rupang Guanyin ada figur kertas dari Kaisar Buddhis Liang Wudi dan Chan Master Baozhi, yang dianggap sebagai pionir ritual penyeberangan dan pertobatan.

Seiring dan reformasi Kang Youwei dan masuknya abad ke-20, para cendekiawan Konfusian (Yang Chengxing etc) mulai mengkritik Pu Du tahun 1904 di koran Ik Po dengan mengemukakan bahwa ritual Ullambana berasal dari Buddhis dan tidak ditemukan dasarnya di kitab-kitab Khonghucu. Ini ditentang oleh Zhou Ruyuan dari Surakarta yang menyatakan bahwa Ullambana mengedepankan bakti yang dipuji di Konfusianisme.

Reformasi Konfusianisme pada awal abad ke-20 sangat berdampak pada organisasi Tionghoa saat itu, tapi anomali kemudian terjadi, karena para inisiator reformasi Konfusian itu akhirnya beralih juga ke Buddhadharma khususnya pemikiran Yogacara dan kelogisan Buddhis dengan sains. Jauh sebelum Albert Einstein menemukan koneksi antara Buddhisme dan Sains, orang Tionghoa menemukannya terlebih dahulu. Gelombang keberpihakan para reformator Konfusianis ke arah Buddhis ini sayangnya tidak sampai ke anggotanya di Nusantara.

Dari Guanghua Si hingga kembalinya Buddhis di Nusantara

Pewarta Dharma Buddhis Tionghoa lantas terus berdatangan ke Nusantara. Umumnya mereka berbahasa Mandarin dan lebih fokus pada ritual.

Guo Dehuai (Kwee Tek Hoay) pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia juga pernah berkata bahwa sebenarnya Buddhis yang mau beliau undang adalah dari Buddhis Mahayana Tiongkok karena merupakan keyakinan asli orang Tionghoa, namun karena beragam keterbatasan akhirnya Bhikkhu Narada yang diundang. Bagi Kwee, mengundang Bhikkhu Narada ke kelenteng sama saja seperti mengundang pendeta Kristen Protestan ke gereja Katolik, misalnya.

Juga tanpa mahabhiksu silsilah Chan yaitu Benqing misalnya, mustahil rasanya Buddhadharma bisa bangkit seperti sekarang. Dilahirkan pada tahun 1878 di Fujian, Biksu Benqing diasuh di bawah didikan bhiksu Chan Tongzhan. Pada tahun 1901 beliau berlayar ke Hindia Belanda atau Nusantara ini dan tinggal di wihara Dajue Si, Semarang membabarkan Buddhadharma selama 3 tahun. Beliau kemudian kembali ke wiharanya Guanghua Si di Putian dan ditawari untuk menjabat sebagai kepala biara namun ditolaknya sehingga beliau kembali lagi ke Nusantara.

Setelah membabarkan ajaran di Xietian Gong dan Guandi Miao di Bandung, mahabhiksu Benqing tiba di Jakarta pada tahun 1924 dan menetap di Yulian Tang. Dengan bantuan muridnya Biksu Tipan dan Yuanren beliau mendirikan Wihara Guanghua di Jakarta. Dua tahun kemudian, Zheng Man’an (Tee Boan An) ditahbiskan menjadi samanera di Wihara Guanghua Jakarta ini dengan saksi Biksu Rusong, Rukong, Zhenyao, dan Wujing. Mahabiksu Benqing memberinya nama tahbis Tizheng yang kita kenal sekarang dengan nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhitta.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness

The post Tionghoa Membawa Kembali Dharma Nusantara appeared first on .

Hidup dan Mati Sengkuni, Sang Penghasut Handal

$
0
0

Bagi Anda yang senang dengan cerita-cerita pewayangan, tentu Anda tidak akan asing dengan nama Sengkuni. Ya! Dia dikenal sebagai seorang konspirator ulung, seorang penghasut, dan seorang pemain dadu yang ahli menipu lawannya. Dia adalah tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Hidupnya dipenuhi dendam dengan satu tujuan untuk memusnahkan garis keturunan Bhisma (kakek para Pandawa dan Kurawa).

Dikisahkan, Sengkuni adalah seorang Pangeran dari Kerajaan Gandhara yang diperintah oleh Raja Subala. Dia adalah putra ke-100 dari Raja Subala dan menjadi satu-satunya yang bertahan hidup. Dia tidak senang atas pernikahan adik perempuannya Gandhari dengan Pangeran Kurawa yang buta bernama Dretarastra. Salah satu versi menceritakan bahwa dia menyalahkan Bhisma yang mengajukan perjodohan ini karena menganggapnya sebagai sebuah penghinaan.

Gandhari – karena kesetiaannya terhadap suaminya, memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan selembar kain. Gandhari dan Dretarastra dikaruniai 100 orang putra. Sedangkan Sengkuni, untuk mencapai tujuannya, tinggal bersama dengan Dretarastra dan mengasuh 100 keponakannya – para Kurawa. Setiap hari dia meracuni pikiran Duryodana, yang tertua dari para Kurawa, agar memusuhi sepupunya sendiri yaitu para Pandawa (anak-anak Pandu).

Ketika Duryodana memimpin Kerajaan, Sengkuni menjadi penasihat utamanya. Disini, dia memerankan peran jahat dengan mengadu domba para Kurawa dan para Pandawa. Berbagai tipu muslihat dan kelicikan dilakukannya. Dalam Mahabharata, dia adalah penyebab munculnya berbagai perang saudara, bahkan menjadi perang terbesar dalam sejarah India. Hal ini dilakukannya antara lain dengan:

Menganjurkan Duryodana untuk memasukkan racun kedalam makanan Bhima sebanyak 2 kali

Membayar Purochana untuk membunuh para Pandawa di Istana Laksagraha (tempat kediaman para Pandawa bersama ibu mereka – Kunti

Memenangkan Kerajaan Indraprastha dan mempermalukan Dropadi (istri para Pandawa) hanya dengan sebuah permainan dadu

Menasehati Duryodana untuk menafkahi pasukan Shalya sehingga nantinya pasukan ini akan bertarung membela para Kurawa

Sebagai seorang penipu ulung, dia adalah orang yang berani menghadapi segala rintangan dan melakukan segala sesuatu untuk mencapai ambisinya. Dalam setiap tipu muslihatnya, dia tidak pernah mengakui kegagalan meskipun rencananya tidak tercapai. Dia selalu memiliki seribu satu alasan dan rencana untuk mencapai tujuannya. Satu-satunya orang yang ditakutinya adalah Krishna.

Dalam setiap tipu muslihatnya, dia tidak akan menunjukkannya di hadapan Krishna karena dia tahu bahwa Krishna memiliki kepintaran dan kekuatan untuk membongkar rencana-rencana busuknya. Dalam babak permainan dadu yang dimenangkan Sengkuni dengan licik, dia mempermalukan Dropadi. Sadewa – si bungsu dari para Pandawa, bersumpah untuk membalaskan dendam Dropadi dan membunuh Sengkuni. Hal ini akhirnya terwujud pada hari ke-18 Perang Mahabharata. Demikian, berakhirlah hidup Sengkuni.

Sebagai seorang tokoh dalam epos Mahabharata, Sengkuni adalah contoh orang licik yang menjalankan segala cara untuk mencapai ambisinya. Epos Mahabharata dapat diibaratkan sebagai panggung politik dalam kehidupan kita. Dengan demikian, Sengkuni dapat diibaratkan sebagai salah satu ahli strategi karena dia selalu menyiapkan rencana-rencana politik yang menyulut perang.

Meskipun kita tidak menyukai karakternya (atau mungkin malah mengidolakannya), jelas kita tidak dapat meremehkan Sengkuni dalam peranannya di dunia perpolitikan Mahabharata. Kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari kisah hidup Sengkuni dan menjadikannya sebagai peringatan. Dari perspektif ajaran Buddha, beberapa poin dari karakter Sengkuni yang dapat dijadikan pelajaran antara lain:

Sengkuni mengadu domba para Kurawa dengan 5 Pandawa karena dilatarbelakangi oleh dendamnya kepada Bhisma. Dia sangat benci pada Bhisma dan menginginkan agar seluruh keturunan Bhisma baik dari Pandu (Pandawa) maupun Dretarastra (Kurawa) lenyap dari muka bumi. Segala daya upaya dilakukannya namun selalu gagal pada akhirnya. Hal ini mengingatkan kita pada Dhammapada Syair 5:

Dalam dunia ini, kebencian tidak pernah dapat dilenyapkan dengan kebencian, kebencian hanya dapat dilenyapkan dengan cinta kasih (kasih sayang) dan saling memaafkan. Ini adalah kebenaran abadi”.

Sepanjang hidupnya, Sengkuni selalu menghasut Duryodana. Duryodana yang selalu dihasut menjadi benci kepada para Pandawa dan ingin membunuh mereka. Hal ini mengingatkan kita pada Dhammapada Syair 291:

Barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan dengan menyakiti atau menyiksa makhluk lain, ia tidak akan terbebas dari kebencian, ia akan terjerat dalam jaring kebencian dari orang lain”.

Karena dendam yang terus dipupuknya, Sengkuni meracuni dirinya sendiri dengan perbuatan-perbuatan buruk. Hal ini seperti apa yang disampaikan Buddha dalam Dhammapada Syair 162:

Seperti tanaman menjalar maluva yang menghancurkan pohon sala, demikianlah orang jahat yang melakukan perbutan jahat, menghancurkan dirinya sendiri seperti yang diinginkan oleh musuhnya”.

Sengkuni dapat menjadi salah satu contoh orang bodoh yang menyengsarakan dirinya sendiri, sebagaimana syair 66 dari Dhammapada:

Orang-orang bodoh yang dangkal kebijaksanaannya memusuhi dirinya sendiri, yaitu dengan melakukan perbuatan buruk yang akan membawa penderitaan bagi dirinya kelak”.

Secara umum, kisah hidup Sengkuni menegaskan bahwa ketidakbenaran (Adharma) tidak akan menang melawan kebenaran (Dharma). Kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari panggung politik. Untuk itu diperlukan mawas diri dan kebijaksanaan untuk tidak terjerumus dalam cara-cara Adharma dalam mencapai tujuan kita.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Hidup dan Mati Sengkuni, Sang Penghasut Handal appeared first on .

Willingness in Giving, Happiness in Living

$
0
0

Sotthi Hottu, Namo Buddhaya. KMB Dhammavaddhana akan mengadakan “Kathina 2562 B.E / 2018”

Acara kali ini adalah Kathina Puja & Siripadapuja yang akan dilaksanakan pada;

Tanggal: 4 November 2018

Tempat: Auditorium lt.5 Binus Alam Sutera

Waktu: 16:30 WIB – Selesai

Open Gate: 15.30 – 16.30

Kami menyediakan paket Sangha dana yang berupa;

Paket A >> Jubah (Rp 280.000)

Paket B >> Perlengkapan mandi (Rp 55.000)

Paket C >> Obat (Rp 125.000)

Untuk info pemesanan lebih lanjut dapat menghubungi Jimmy (0859 5955 3001), id line :…jimmy

Silakan menghubungi contact person dibawah ini jika ada pertanyaan lebih lanjut

Contact Person :

Edy evendi

line : edy_evendi

WA: 0852 7891 9005

Chintiya Low

Line : chintiyalow

WA : 0813 2059 0947

Bagi saudara se-dhamma yang ingin berpartisipasi dalam membantu terselenggarakan acara ini dapat mentransferkan dana dengan menambahkan kode ‘7’ di akhir nominal. Contoh Rp 100.007,00 ke rekening BCA 467 0151 935 a.n. Kevin Willianes

Anumodana

The post Willingness in Giving, Happiness in Living appeared first on .

Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Arama Dipadati 5.000 Umat Buddha

$
0
0

Tidak seperti hari-hari biasanya, Minggu (28/10) di Wihara Ekayana Arama, Jakarta Barat, sedari pagi hingga siang wihara dipadati oleh 5.000 umat Buddha. Kedatangan mereka adalah untuk merayakan Kathina.

Perayaan Kathina merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih umat Buddha kepada anggota Sangha yang telah melewati masa retret. Kathina sendiri merupakan salah satu momen perayaan dalam agama Buddha, Sangha yang telah selesai melatih diri selama masa retret tiga bulan untuk kemudian memasuki masa Kathina.

Ada 40 anggota Sangha yang berjalan dengan penuh keheningan saat melakukan pindapatta. Wihara Ekayana Arama mengangkat tema, “Dengan Mendukung Sangha, Kita Menjaga Dharma dan Hidup Sejahtera”. Usai pindapatta, acara dilanjutkan dengan pujabhakti dan ceramah Dharma yang dibabarkan oleh Bhante Dharmavimala.

Dunia digital

Dalam pembabaran Dharmanya, Bhante Dharmavimala menyampaikan perkembangan digital dengan agama Buddha, “Sesungguhnya di era digital, kita juga bisa menjadi semakin Buddhis, dengan penuh kesadaran memilih media digital. Kita tahu jika kita terus menerus diterpa konten-konten yang buruk maka pikiran kita pun akan menjadi buruk. Pikiran buruk membuat kita menjadi orang yang berucap dan bertingkah laku buruk. Akibatnya kita menderita dan tidak merasa damai.

“Sebaliknya jika kita terus menerus diterpa konten-konten yang baik maka pikiran kita pun akan menjadi baik. Pikiran baik membuat kita menjadi orang yang berucap dan bertingkah laku baik. Akibatnya kita merasa damai dan tidak menderita.”

“Saya menyarankan jika Anda tidak punya cukup waktu untuk membaca e-book Dharma atau memirsa video rekaman ceramah Dharma, setidaknya Anda memulai dulu setiap hari Anda dengan membaca renungan Dharma di smartphone Anda.

Bhante Dharmavimala menambahkan, “Anda juga dapat menjadikan dering smartphone Anda untuk berlatih sadar-penuh. Saat smartphone Anda berdering jadikan itu sebagai bunyi genta yang mengajak Anda untuk pulang ke rumah kedamaian, yaitu dengan menyadari tarikan napas dan embusan napas Anda sebanyak tiga kali. Atau minimal sekali. Setiap kali smartphone kita berdering, itu yang kita lakukan.

“Jadi Anda yang tingkat kesibukannya dalam berkomunikasi melalui smartphone lebih tinggi, sehingga berpotensi lebih tidak damai, juga akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk berlatih pulang ke rumah kedamaian. Akhirnya Anda juga bisa menjadi lebih Buddhis di era digital. Selamat merayakan Kathina. Dengan Mendukung Sangha, Kita Menjaga Dharma dan Hidup Sejahtera. Semoga semua makhluk hidup berbahagia,” pungkasnya.

Sementara itu dalam kesempatan terpisah, Bhante Aryamaitri selaku Pimpinan Wihara Ekayana Arama menyampaikan, “Kita semua perlu menjadi teladan untuk menerapkan kehidupan penuh kesadaran. Dengan demikian kasih Buddha terpancarkan ke sekeliling dan masyarakat.”

Sanghadana menjadi penutup rangkaian perayaan Kathina, umat Buddha yang duduk di luar mengikuti serangkaian acara disediakan tenda, kipas angin, toilet yang cukup bersih sehingga mereka menjadi nyaman, bahkan panitia memasang sebuah layar yang cukup besar, membuat umat yang duduk di luar dapat mengikuti apa yang terjadi di dalam bhaktisala.


The post Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Arama Dipadati 5.000 Umat Buddha appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live