Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis

$
0
0

Kolese De Britto adalah Sekolah Menengah Atas Katolik yang diasuh oleh Serikat Jesuit yang terletak di Yogyakarta. Selama tiga hari, Selasa – Kamis (23-25/10) sebanyak 40 siswa tinggal dan hidup bersama keluarga yang beragama Buddha. Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung merupakan salah satu dusun Buddhis yang digunakan sebagai tempat live In toleransi. 

“Merawat kebhinnekaan, menjaga kerukunan sebenarnya tidak banyak membutuhkan teologi atau teori yang bagus-bagus. Karena kerukunan harus dilakukan melalui tatap muka dan srawung, bukan untuk diperdebatkan di forum-forum,” Bhante Pannyavaro.

Hidup di lingkungan berbeda, tinggal bersama keluarga berbeda keyakinan hingga mengikuti segala aktivitas keluarga yang ditinggali adalah upaya yang dilakukan oleh SMA Kolese De Britto, Yogyakarta untuk mengenalkan keberagaman. Melalui program pekan toleransi, anak-anak ini melakukan live In di berbagai komunitas dan kelompok agama yang berbeda.

“Anda harus berani keluar dari zona nyaman, merasakan dan mengalami hidup di tempat berbeda dengan keluarga berbeda suku maupun agama. Kata ‘mengalami’ ini adalah hal terpenting dari live in toleransi yang akan Anda lakukan selama tiga hari ke depan,” terang Romo Mulyadi kepada para siswa.

Mereka diajak mengikuti seluruh aktivitas keluarga yang ditinggali. Mulai dari bangun pagi meditasi di vihara, mengenal lingkungan, ikut bekerja di ladang, kerja bhakti membangun rumah hingga mengikuti pujabhakti anjangsana keluarga. Meskipun tinggal di rumah keluarga yang berbeda agama, seakan perbedaan tidak memisahkan antarkeluarga dan para siswa. Mereka mampu membaur, berkomunikasi hingga melakukan pekerjaan-pekerjaan petani di desa.

“Saya merasa sangat senang bisa tinggal bersama Bapak/Ibu di sini. Meskipun kita mempunyai keyakinan yang berbeda, Bapak/Ibu tetap mau menerima kami tanpa membedakan,” tutur Otniel sebelum meninggalkan Dusun Krecek, Kamis (25/10/2018) di ruang Dhammasala.

Bisa hidup di desa, tanpa gadget dan uang memberi kesan mendalam bagi siswa kelas XI MIPA ini. “Ketika ke ladang, kami tidak banyak membantu kayaknya, malah lebih banyak merepotkan. Tapi Bapak/Ibu tetap baik kepada kami, memperlakukan kami seperti anak sendiri. Kami hanya bisa bilang terima kasih,” pungkasnya.

The post Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis appeared first on .


Menelusuri Buddha Tionghoa dan Tamil di Medan

$
0
0

Ketika saya diminta membayangkan Kota Medan, jelas di benak saya muncul imaji Tionghoa yang amat kental dengan dialek Hokkian-nya. Hal-hal ini membuat saya penasaran akan sejarah kota ini, yang mana mayoritas etnis Tionghoanya memeluk agama Buddha ataupun Tridharma. Kehidupan umat Buddha di Medan sangat dinamis, mulai dari aliran-aliran Theravada, Mahayana, dan Vajrayana beserta ragamnya semua ada di sana.

Baca punya baca, ternyata Medan punya sejarah panjang dengan agama Buddha. Tidak hanya cita rasa candi-candi, orang-orang Buddhis dari India juga punya andil di sana. Yang paling utama adalah Mahayana Tionghoa, yang merupakan peletak dasar keyakinan orang Tionghoa Medan.

Situs Kota Cina

Di tepi Danau Siombak, Medan Utara, ditemukan salah satu peninggalan peradaban tertua di Kota Medan bernama Kota Cina. Situs-situs ini menandai bahwa Medan adalah kota pelabuhan penting pada masa Dinasti Song. Reruntuhan struktur bata ditemukan di sana, demikian juga dengan koin-koin serta keramik-keramik Tionghoa masa Song/Yuan dan dua rupang Buddha dari India berlanggam Chola.

Dinamakan Kota Cina, karena begitu banyaknya ditemukan peninggalan-peninggalan berciri budaya Tionghoa di sini. Diduga situs ini merupakan bagian dari peninggalan kerajaan Aru yang berbarengan dengan surutnya Sriwijaya. Kerajaan Aru kemudian ditaklukkan oleh Aceh dan tempat peperangannya ini tepat berada di Medan.

Penanda peradaban: Kelenteng Guanyin

Sultan Iskandar Muda mendirikan kerajaan Deli pada tahun 1632 M dan ibukotanya berpindah-pindah. Pelabuhan di Kota Cina lantas juga berpindah ke Labuhan Deli. Pada tahun 1861 gelombang imigran dari Fujian, Tiongkok mulai berdatangan lewat Labuhan.

Tak lama kemudian, sebagaimana peradaban pendatang Tionghoa pada umumnya, sejarah mereka ditandai dengan berdirinya kelenteng yang memuja Dewata Tao dan Buddhis Chan. Lewat penelitian Prof. Johannes Widodo, banyak dikenali sejarah kelenteng-kelenteng ini. Pada tahun 1878 dan 1895, Zhenjun Miao didirikan rakyat Chaozhou di Tanjung Mulia dan Titipapan menghormati dewa Zhenwu (bodhisatwa Sudrsti). Pada tahun 1880, kelenteng Guangong (bodhisatwa Sangharama) bernama Guandi Miao didirikan orang-orang Guangdong di jalan Irian Barat yang terkenal hingga kini. Tak lama juga berdiri Guanyin Gong untuk Avalokiteshvara di jalan Yos Sudarso.

Kelenteng Bodhisattwa Sangharama yang lain didirikan di Jl. Pertemburan dekat Pulo Brayan pada tahun 1890 M. Diketahui Tjong A Fie yang terkenal itu juga menyumbang untuk Kelenteng Brayan. Setahun kemudian, 1891, berdiri kelenteng bernama Shoushan Gong (寿山宫) untuk menghormati Avalokiteshvara tepat di Labuhan Deli untuk merayakan 30 tahun berdirinya pemukiman di sana. Kelenteng ini juga terdiri dari dua bagian yang terpisah, wihara untuk biksu dan satu lagi untuk biksuni.

Tahun 1906 juga didirikan Tianhou Gong untuk memuja Bodhisattwa Mazu dan tahun 1923 didirikan Zhenlian Si yang menghormati “Buddha Hidup” Guangze Zunwang oleh orang Chaozhou di Kedai Durian.

Biksu pesilat Shi Gao Can

Pada tahun 1893, di Binjai dekat Medan didirikan Kelenteng Zhenyuan Gong (民礼镇元宫) yang sekarang bernama Vihara Setia Buddha. Selain memuja Para Buddha dan Bodhisattwa, tuan rumah kelenteng ini adalah “Buddha Hidup” Guangze Zunwang. Dahulu di wihara ini tinggal seorang biksu Chan terkemuka bernama Shi Gao Can (释高参, 1886 – 1960) yang membawa beladiri Shaolin ke Asia Tenggara. Sampai sekarang sesepuh Shaolin, imaji Bodhidharma masih terlihat jelas di sana.

Biksu Gao Can belajar beladiri wuzuquan dan luohanquan pada Shi Caobiao, biksu Shaolin Selatan. Beliau lalu belajar Dharma Chan pada Biksu Shi Xingliang. Beliau juga berguru Chan dan bela diri pada Biksu Shaolin Shi Huijing dari Wihara Nanhai Puji, generasi ke-48 setelah guru Chan Huineng.

Baca juga: Tionghoa Membawa Kembali Dharma Nusantara

Pada tahun 1926, Biksu Gao Can bepergian ke Asia Tenggara dan menetap di Indonesia selama 21 tahun dengan menjadi kepala wihara kelenteng Zhenyuan Gong/Zhenyuan Si. Beliau juga membangun 9 kelenteng Buddhis lainnya di Medan. Gaya beladiri yang yang diajarkannya bernama Fojiaquan atau Beladiri Tinju Buddhis.

Biksu Gao Can akhirnya pindah ke Singapura pada tahun 1948 menjadi kepala Wihara Shuanglin dan ketika wafat pada usia 74 tahun, beliau dikremasi di Wihara Guangmingshan Pujue Chan Si (Kong Meng San Phor Kark See), terbesar di Singapura. Beliau telah mewariskan ilmu bela dirinya pada beberapa murid di Medan: seorang pangeran asli Indonesia, Huang Jinzhang,  Zhuang Qingjin, Zhuang Shunlai, dan Lin Jinju serta biksu Fachuan.

Umat Buddha Tamil

Barangkali Medan adalah satu-satunya kota di Indonesia yang punya wihara etnis India. Gerakan Buddhis di antara etnis Tamil Medan ini berasal dari tahun 1930 dengan bantuan Ayothi Das Pandithar dari India. 20 tahun kemudian komunitas mulai membangun tempat ibadah dan saat ini sudah berdiri Wihara Loka Shanti sebagai tempai ibadah tetap.

Tamil pada zaman dulu merupakan salah satu pusat Buddhadharma. Bodhidharma (Damo Zushi) pendiri Chan adalah biksu yang berasal dari Kanci, Tamil Nadu.

Chan di Medan

Selain Theravada, saat ini Mahayana Tionghoa umumnya atau Chan pada khususnya sangat hidup di kota Medan. Silsilah-silsilah Chan modern mulai bergeliat dan memainkan dinamika penting di sana. Pendiri Fo Guangshan, Master Xingyun beberapa kali pernah berkunjung ke Medan.

Silsilah Chan Foguang Shan dapat ditemui di Wihara Sinar Buddha, silsilah Chan Dharma Drum di Wihara Dharma Wijaya demikian juga dengan silsilah Thien Plum Village dari Thich Nhat Hanh. Ketiganya membangkitkan kembali prinsip sejati dari agama-agama Tionghoa di Kota Medan.

Meskipun umat Buddhis Medan umumnya mengenal Buddhis Tionghoa atau Chan tradisional, tidak banyak yang mengenali Chan modern yang telah bertransformasi menjadi banyak organisasi internasional yang futuristik semisal Dharma Drum, Foguang Shan, dan Plum Village.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness

The post Menelusuri Buddha Tionghoa dan Tamil di Medan appeared first on .

Sangharakshita, Seorang Guru Buddhis dan Penulis Meninggal Dunia

$
0
0

Urgyen Sangharakshita, penulis dan seorang guru Buddhis, serta pendiri komunitas dan Sangha Triratna Buddhist (Triratna Buddhist Order), meninggal setelah jatuh sakit, pada hari Selasa (30/10) di Rumah Sakit Hereford, Inggris, dalam usia 93 tahun.

Sangha Triratna Buddhis mengeluarkan pernyataan untuk mengumumkan berita mangkatnya Sangharakshita, sebagai berikut:

Dengan kesedihan mendalam, kami mengabarkan kepada Anda sekalian tentang wafatnya Urgyen Sangharakshita, pada hari ini, 30 Oktober 2018, kurang lebih sekitar pukul 10 pagi, di Rumah Sakit Hereford, Inggris. Beliau didiagnosa menderita pneumonia, dan pagi ini para konsultan menyatakan bahwa beliau juga mengalami sepsis yang tidak mungkin disembuhkan.

Mari bergabung bersama kami memancarkan cinta kasih kepadanya, mengenang semua kebajikannya yang tiada tara, mengingat dengan penuh terima kasih serta bersyukur atas semua yang telah beliau berikan kepada kita semua. Cabang-cabang di seluruh dunia dipersilakan menyelenggarakan puja dan meditasi harian, dan Anda sekalian boleh melaksanakan kegiatan tambahan di rumah atau lingkungan Anda.

Meminta agar mantra-mantra berikut dibacakan pada saat beliau mangkat: Shakyamuni, Tara Hijau, Manjushri, Amitabha, dan Padmasambhava.

Setelah beberapa hari, jenazahnya akan disemayamkan di Adhisthana, tempat dilaksanakannya proses penguburan sekaligus merupakan tempat pemakaman.

Terlahir dengan nama Dennis Philip Edward Lingwood, di Inggris pada tahun 1925, Sangharakshita merupakan salah satu dari praktisi Buddhis di Barat yang ditahbiskan sebagai bhikkhu Theravada pada periode pasca Perang Dunia kedua.  Sangharakshita merupakan penulis lebih dari 60 buah buku dan digambarkan sebagai, “Salah satu Buddhis yang paling produktif dan berpengaruh pada zaman kita,” (Smith and Novak, 2004) dan sebagai “Bapak pendiri aliran Buddha Barat” (Berkwitz, 2006).

Baca juga: Bagaimana Cara Melimpahkan Jasa kepada Leluhur yang Telah Meninggal Dunia?

Beliau melewatkan lebih dari 20 tahun hidupnya di Asia, beliau memiliki sejumlah guru Buddhis Tibet, dan beliau secara aktif terlibat dalam gerakan penyadaran Dalit Buddhis yang didirikan Dr. B.R. Ambedkar pada tahun 1956 di India.

Kadangkala terkesan sebagai guru yang agak kontroversial, Sangharakshita mendirikan Sahabat Sangha Buddhis Barat (Friends of the Buddhist Western Order, FWBO) di Inggris pada April 1967. Pada tahun 2010, FWBO menjadi lebih terkenal dengan sebutan Sangha Buddhist Triratna (Triratna Buddhist Order). Sangharakshita secara resmi pensiun pada tahun 1995 dan mengundurkan diri dari jajaran kepengurusan organisasi pada tahun 2000. (buddhistdoor.net)

The post Sangharakshita, Seorang Guru Buddhis dan Penulis Meninggal Dunia appeared first on .

Sangha Dana bersama Suku Dayak Maratus Kalimantan Selatan

$
0
0

Berkah yang luar biasa bagi umat Buddha di Pelosok Kalimantan karena mampu melaksanakan Sangha Dana dengan dihadiri Bhikkhu Sangha.

Pedalaman Kalimantan, mendengar kata pedalaman kalimantan, akan muncul di benak kita bahwa kondisi yang ada di sana pastinya jauh dari kenyamanan, kondisi jalan yang lumayan sulit diakses, sinyal komunikasi yang tidak semudah di perkotaan dan kondisi yang jauh dari penerangan selayaknya perkampungan modern. Demikianlah gambaran yang sebanding dengan kondisi yang mewakili wilayah Desa Rantau Buda, Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten Kotabaru.

Lokasi yang cukup jauh dari bandara Samsudin Noor, Banjarmasin. Diperlukan perjalanan kurang lebih delapan jam untuk mencapai lokasi Desa Rantau Buda. Di desa rantau Buda terdapat sebuah vihara di bawah binaan Sangha Theravada Indonesia, Vihara Sadha Manggala.

Baca juga: Apa Keistimewaan Berdana kepada Sangha di Bulan Kathina?

Vihara Sadha Manggala, baru berdiri kurang lebih tahun 2017. Bhante Saddhaviro, dengan semangat juangnya dalam membina dan pengembangan Buddhasasana, telah menjadi pelopor utama berdirinya Vihara Sadha Manggala, Kalimantan Selatan.

Di Desa Rantau Buda, agama Buddha dianut oleh masyarakat suku Dayak Maratus. Minggu (31/10) di Vihara Sadha Manggala mengadakan perayaan Sangha Dana Kathina untuk yang kedua kalinya. Kali ini Bhante Saddhaviro membawa delapan anggota Sangha, hal ini merupakan berkah yang sangat luar biasa yang diperoleh oleh umat Buddha di pedalaman Kalimantan, karena memiliki kesempatan melakukan Sangha Dana.

Umat sangat antusias, vihara yang jarang penuh, kali ini penuh. Dalam sesi ceramah Dhamma ada tuturan yang mendalam, “Bahwa semangat berbuat baik harus dimiliki oleh umat Buddha, karena kebaikan itulah yang menjadi satu-satunya penolong dan juru selamat kita sebagai manusia.”

The post Sangha Dana bersama Suku Dayak Maratus Kalimantan Selatan appeared first on .

Bhante Pannyavaro: Saat Masyarakat “Sakit” Dhamma adalah Obatnya

$
0
0

Minggu (28/10) ratusan umat Buddha mengikuti perayaan Kathina di Vihara Mendut, Magelang. Para umat yang hadir berasal dari berbagai vihara yang ada di daerah sekitar Magelang, seperti Temanggung, Yogyakarta, Solo dan Magelang sendiri.

Acara dimulai sekitar pukul 11.30 WIB dengan pujabhakti. Seusai pujabhakti, Bhante Sri Pannyavaro memberikan Dhammadesana. Di awal khotbah bhante menjelaskan hubungan timbal baik antara umat dan para bhikkhu, sehubungan dengan perayaan Kathina.


“Di hari Kathina ini para umat melakukan kebajikan berdana, memberikan kebutuhan pokok para bhikkhu. Para Bhikkhu kemudian melaksanakan kewajiban kepada masyarakat yang telah memberikan empat kebutuhan utama untuk kelangsungan hidupnya,” tutur bhante di awal khotbah.

“Apakah kewajiban para bhikkhu itu?” lanjut bhante.

“Kewajiban para bhikkhu adalah mengajarkan Dhamma, memberikan keteladanan berperilaku yang pantas, malu melakukan kejahatan dan mengingatkan bahaya dari perbuatan kejahatan kepada masyarakat. Para bhikkhu seperti perawat, para bhikkhu seperti dokter yang menyimpan obat, obat penderitaan yang didapat dari Guru Agung Buddha Gautama. Kemudian memberikan obat penderitaan itu kepada masyarakat. Tidak semua yang sakit mau minum obat, ada yang mau minum obat meskipun pahit sekali, tetapi ada yang menolak kalau obat itu pahit. Sebagai perawat, sebagai dokter, para bhikkhu kemudian memecah-mecah obat yang pahit itu, membalut dengan gula dan membujuk masyarakat yang menderita untuk mau minum obat itu supaya sembuh. Itulah kewajiban moral semua bhikkhu sepanjang masa.”

Obat penderitaan

“Di dalam Sanghiti Sutta disebutkan, ada tiga Punnyakiriyawathu, tiga hal dari perbuatan yang sangat berharga, berguna, perbuatan yang sangat berjasa bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Dan kalau boleh saya mengumpamakan, menganalogikan, obat Dhamma itu adalah Dana, Sila, dan Bhavana. Sering metafora ini digunakan Guru Agung kita sebagai dokter, Guru Agung Buddha Gautama sebagai dokter, Dhamma itulah obat kehidupan untuk menyelesaikan penyakit penderitaan dan Sangha itu mereka yang mulai sembuh dan kemudian mewariskan obat itu kepada generasi kemudian.

“Ibu, Bapak, dan Saudara, sebagai umat Buddha sudah tidak asing lagi dengan ajaran dana, sila, dan bhavana. Dana, moralitas atau berperilaku baik, dan mengembangkan kebajikan. Dana, sila, dan bhavana. Tetapi sekarang yang ingin saya minta kepada saudara-saudara adalah marilah kita meningkatkan kualitas kita, kualitas berdana, kualitas sila, dan kualitas bhavana. Berdana adalah ajaran yang sangat populer bagi seluruh umat Buddha.

“Ajaran berdana sudah tidak asing lagi bagi setiap umat Buddha golongan apa pun. Tetapi ajakan saya sekarang adalah marilah kita meningkatkan kwalitas berdana kita, tidak hanya kuantitasnya, tidak hanya jumlahnya, tetapi kualitasnya. Berdanalah untuk tujuan yang tertinggi, membersihkan kotoran batin. Supaya dana itu menjadi salah satu obat untuk mengurangi penderitaan kita. Penderitaan itu muncul bukan karena kurang materi, penderitaan itu muncul bukan karena kurang sejahtera, penderitaan itu muncul bukan karena kita bukan orang kaya, penderitaan itu muncul karena batin kita dipenuhi oleh keserakahan, iri hati, kemarahan, dendam, kecongkaan, keakuan yang menggelembung luar biasa.”


“Kalau boleh dibuat perumpamaan, kalau Ibu, Bapak, Saudara berdana, memberi meskipun kecil, bukan jumlahnya tapi kualitasnya dinaikkan untuk kebersihan batin kita. Maka manfaatnya sangat besar, manfaat yang tengahan, yang bawah itu otomatis didapat. Seperti kalau saudara bisa pegang rajanya maka anak buah akan ikut semua. Kalau saudara menangkap tawon madu, tangkap rajanya semua pengikutnya akan ikut. Kalau saudara berdana dengan kualitas raja maka manfaat berdana yang tengahan, yang rendahan akan ikut semua. Memberilah untuk membersihkan kotoran batin. Kesejahteraan, kebahagiaan, nama yang baik otomatis akan ikut serta. Kalau rajanya sudah dipegang, anak buahnya atau punggawanya akan ikut semua.”

“Obat yang kedua adalah sila, tidak melakukan hal-hal yang buruk, menjaga diri. Menjaga ucapan, menjaga mulut dan juga menjaga perbuatan. Tidak hanya di lingkungan orang lain, tidak hanya di lingkungan terbatas, tidak hanya di kantor, tidak hanya di rapat. Dengan istri, dengan suami sendiri berdua berusahalah untuk mengendalikan ucapan dan perbuatan Anda. Jangan membiasakan untuk berkata-kata dan berbuat yang buruk, karena itu akan menjadi kebiasaan. “Nek ora ngomong koyo ngono kui, ora lego,” kalau yang diomongkan itu buruk, saudara akan menambah hal-hal yang buruk.

Baca juga: ‘Berdana Saat Kathina Adalah Belajar Melepas’

“Ibu, Bapak, dan Saudara-saudara, cobalah perhatikan kalimat ini, ‘kita tidak bisa memaksa orang lain untuk berbuat baik, tetapi kita tetap bisa berbuat baik kepada mereka’. Saya ingin mengulang sedikit tahun yang lalu.

“Sekarang tidak hanya menjaga ucapan, tidak hanya menjaga perilaku, hati-hatilah saudara menulis, membuat status, di facebook, di WA, di internet. Meskipun saudara mendapat kiriman benar, kalau tidak berguna jangan dilanjutkan. Kalau dahulu waktu kita SD, belajar tujuh ratus peribahasa, antara lain, ‘Mulutmu harimaumu’, sekarang ‘jempolmu harimaumu’. Hati-hati dengan jempol-jempol kita.

“Obat yang ketiga adalah bhavana. Mengembangkan hal-hal yang baik. Seperti yang di depan, saya juga ingin mengajak saudara, mari kita meningkatkan kualitas bhavana kita. Tidak sekadar menambah hal-hal yang baik, tidak sekadar memancarkan pikiran-pikiran yang positif. Tetapi marilah kita bermeditasi lebih dalam lagi. Karena tantangan kita lebih berat, tidak sekadar tenang, tidak sekadar mencari ketenteraman, tetapi lebih dari itu. Bagaimana kita bisa nggladi kesadaran kita, awareness kita, untuk menjagai perasaan dan pikiran kita.

“Guru Agung kita mengatakan berhati-hati dengan pikiranmu, karena kejahatan muncul dari pikiran. Kebaikan juga bersumber dari pikiran. Penderitaan berasal dari pikiran, kebahagiaan juga diciptakan dari pikiran. Bermeditasilah.

“Agama Buddha tanpa latihan kesadaran, hanya dana, sila. Hanya berdana, berdana, tidak berbuat buruk selesai, tidak lengkap. Bukan agama Buddha yang lengkap, bukan Dhamma yang lengkap. Dhamma yang lengkap adalah dana, sila, dan meditasi. Membersihkan pikiran, karena pikiran itulah sumber dari segala malapetaka. Tetapi pikiran adalah sumber dari semua kebahagiaan, dan pikiran yang sadar itulah obat mujarab untuk memberesken penyakit-penyakit penderitaan ini.

“Inilah tiga macam obat yang selalu dibawa oleh para bhikkhu ini ke semua tempat. Ke daerah-daerah, ke pelosok-pelosok, dengan dijelaskan, diuraikan dengan berbagai macam cara. Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan cara yang sama,” jelas bhante.

Seusai Dhammadesana acara dilanjutkan dengan persembahan dana kepada para bhikkhu. Secara bergiliran satu per satu para umat mempersembahkan dana kepada para bhikkhu. Setelahnya para bhikkhu membacakan paritta pelimpahan jasa, umat bersikap anjali.

Menjelang akhir acara diisi dengan pemercikan tirta suci oleh para bhikkhu kepada para umat dan disambung pembacaan paritta Ethavatha. Sebagai penutup acara, para umat membacakan Namaskharapatha. Rangkaian acara secara keseluruhan selesai sekitar pukul 15.00 WIB.

The post Bhante Pannyavaro: Saat Masyarakat “Sakit” Dhamma adalah Obatnya appeared first on .

Menapaki Jalan Kehidupan

$
0
0

Rumah tipe 36 ini masih seperti dulu, saat pertama kami beli. Tidak banyak yang berubah. Warna cat dan semua perabot masih sama. Tidak banyak yang berubah atau bertambah. Meja, sofa, lemari pajangan, sampai jam dinding, masih sama seperti dulu, hanya warnanya sudah kusam dan modenya sudah ketinggalan zaman. Warna cat rumah juga sudah kusam, dimakan usia.

Aku tidak punya banyak waktu memerhatikan keadaan rumahku sendiri. Aku sibuk dengan kegiatan mengurus rumah tangga, membuat aneka kue dan camilan untuk dititipkan ke sekolah dan warung. Penghasilan suamiku tidak besar sehingga aku harus membantu mencari tambahan agar cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.

Hari ini aku memutuskan untuk bersantai sejenak, kemarin aku lembur membuat banyak pesanan kue untuk arisan. Kupandangi pigura foto yang ada di meja. Foto keluarga kami. Aku, suami, dan Dea putri semata wayang kami. Aku merindukan saat berkumpul bersama. Nonton televisi bersama, makan bersama, atau jalan bersama ke mal. Aku rindu kebersamaan. Kini semua tinggal kenangan. Suamiku meninggal dua tahun lalu. Aku harus bekerja lebih keras, aku sekarang berperan sebagai ibu sekaligus ayah bagi Dea.

Dea sekarang duduk di kelas 8. Ia sekarang sering menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Sepulang  sekolah Dea sering ke rumah temannya, mengerjakan tugas sekolah, katanya. Aku tidak bisa memaksa Dea untuk langsung pulang ke rumah. Aku berusaha memaklumi, remaja punya kesibukan sendiri dan ingin punya waktu bersama teman seusianya. Ngumpul dan ngobrol bersama teman-teman seusianya. Aku juga pernah remaja, aku tersenyum mengingat masa remajaku.

Aku menatap kalender meja. Astaga! Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sudah dua bulan ini Dea tidak menitip untuk dibelikan pembalut. Mungkinkah Dea sekarang sudah tidak malu lagi membeli pembalut ke warung? Tapi naluriku sebagai seorang ibu merasakan kekhawatiran, seperti ada yang tidak beres.

Aku langsung menghubungi ponsel Dea.

“Sekarang Dea di mana?”

“Di rumah Desy Ma, ada apa? Masih buat tugas, belum selesai.”

“Oke, begitu selesai, langsung pulang ya?”

“Baik Ma…”

Perasaanku sedikit lega setelah berbicara dengan Dea. Dari nada suaranya, tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi entah mengapa, perasaanku tetap tidak enak. Duduk sendiri di ruang tamu, hanya memandang jam dinding, menunggu kepulangan Dea. Waktu terasa berjalan begitu lambat.

* * * * *

Aku mendengar suara motor mendekat, pasti itu ojek online yang mengantar Dea pulang. Aku segera membuka pintu menyambut kedatangan Dea. Aku berusaha menahan diri untuk tidak bertanya dulu. Aku menawarkan Dea untuk makan dan mandi dulu. Kami makan bersama. Aku tidak banyak mengobrol seperti biasanya. Biasanya aku menanyakan keadaan sekolahnya, apa kabar temannya, dan hal lain. Aku segera ingin bicara dengan Dea, mencari tahu apa yang membebani pikiranku.  Dea langsung mandi setelah selesai makan, sementara aku membereskan perlengkapan makan.

Aku menunggu dengan perasaan tidak menentu.

* * * * *

“Dea, duduk di sini sayang. Mama ingin tanya.”

“Iya Ma.”

Aku menarik napas panjang sebelum memulai percakapan. “Dea, gimana kabar Rena?” aku masih bingung harus memulai dari mana.

“Baik Ma.”

“Di sekolah tidak ada kesulitan mengikuti pelajaran?”

“Semuanya lancar-lancar saja Ma.”

“Oh iya, kok Dea nggak nitip Mama untuk beli pembalut lagi? Dea sudah tidak malu beli pembalut sendiri?”

“Belum ada tanda-tandanya kok Ma. Nanti kalau butuh, Dea akan titip Mama. Di lemari pakaian masih ada sisa yang lama.”

“Kapan Dea mens terakhir?” tanyaku hati-hati.

“Ng… sekitar dua setengah bulan lalu Ma.”

* * * * *

Obrolan malam itu belum melegakan hatiku. Belum tuntas. Mungkin siklus mens Dea yang tidak teratur atau memang ada hal lain yang harus kukhawatirkan. Lewat pembicaraan panjang lebar, akhirnya aku berhasil mengorek keterangan tanpa membuatnya merasa dipojokkan atau terluka. Sekitar dua setengah bulan lalu Dea belajar kelompok berempat di rumah Ramon. Sheila dan Nindy pulang duluan. Kata Dea, ia merasa sangat ngantuk dan akhirnya terbangun sudah di kamar Ramon.

Dea merasakan sakit yang luar biasa di pangkal pahanya, tapi ia tidak berani bercerita padaku. Pertama karena aku terlihat sangat sibuk dan capek menjadi orangtua tunggal. Kedua ia tak ingin membuatku khawatir dan mencoba mengatasi sendiri masalahnya. Langit serasa runtuh saat aku mendengar ceritanya.

Sebagai orangtua, aku merasa gagal menjaga anakku satu-satunya. Aku tak sepenuhnya mengerti, apakah pembekalanku kepada Dea tentang pendidikan seks masih kurang atau Dea belum sepenuhnya menyadari apa yang menimpanya atau belum mengerti risiko kehamilan di usia sangat muda. Entahlah…

* * * * *

Apa pun yang terjadi, aku harus kuat. Aku harus kuat menghadapi ini semua demi Dea. Tidak ada yang dapat diminta bantuan untuk masalah ini. Aku sampai pada kesimpulan, dalam hal ini Dea tidak sepenuhnya salah. Ia positif hamil setelah dua kali aku melakukan tes dengan test pack.

Perjuangan panjang dimulai. Dengan bantuan seorang pandita, aku berhasil meminta keluarga Ramon bertanggung jawab membiayai segala kebutuhan Dea hingga melahirkan nanti. Dea terpaksa diungsikan ke suatu tempat dan cuti sekolah dengan alasan berobat. Itu hal yang paling penting untuk ditangani saat ini. Hal itu yang paling sulit aku dapatkan. Keluarga Ramon bersikeras minta kandungan Dea diaborsi. Apa pun yang terjadi, aku tidak mungkin menyetujui pembunuhan ini.

* * * * *

Delapan bulan kemudian…

Dea sudah masuk sekolah lagi. Dea terpaksa mengulang kelas 8. Mungkin ini bagian terberat dalam hidup kami, setelah kepergian suamiku, ayah Dea. Aku dan Dea menghilang sekitar delapan bulan, hidup di sebuah vila, tanpa pernah bersosialisasi sama sekali. Dea keguguran saat bayi yang dikandungnya memasuki usia tiga bulan. Setelah semua pulih, barulah kami kembali ke rumah dan menjalani hidup “normal” kembali.

Satu beban berat telah berlalu, aku harus tetap kuat menjalani hari-hari kami. Kembali menjadi ibu sekaligus ayah bagi Dea, plus seorang “psikolog” untuk memulihkan mental Dea yang harus menjalani beban sangat berat di usianya yang masih sangat muda.

“Berbuat kesalahan adalah hal yang manusiawi, tapi melakukan kesalahan yang sama adalah sebuah kebodohan,” begitu kalimat motivasi yang pernah kubaca. Aku harus membekali Dea agar lebih selektif memilih teman.

Dulu, aku terpaksa berbohong ke pihak sekolah. Aku mengatakan Dea sakit kanker dan bukan hamil. Aku melanggar sila keempat dari Pancasila Buddhis, tapi aku sekuat tenaga berjuang untuk mempertahankan janin yang ada di dalam kandungan Dea. Aku tidak mungkin membunuh, apa pun yang harus kami hadapi, aku siap.

Catatan:

Kisah ini hanyalah fiktif belaka, namun banyak terjadi di sekitar kita. Seks pranikah adalah salah satu ancaman bagi buah hati kita (entah mereka laki-laki ataupun perempuan). Mari bekali mereka dengan pengetahuan Dhamma dan pendidikan seks agar mereka tidak mendapatkan info yang salah di luar sana.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

The post Menapaki Jalan Kehidupan appeared first on .

Melatih Diri Mencapai Kebahagiaan Sejati

$
0
0

Di zaman modern ini sangatlah sulit untuk mempraktikkan Dharma, ajaran Buddha. Buddha bersabda, “Terlahir sebagai manusia sulit, mempraktikkan Dharma jauh lebih sulit.“ Kenapa sulit? Teknologi semakin canggih tetapi berbanding terbalik dengan kemajuan kualitas batin kita. Perkembangan teknologi yang canggih ini justru memberikan dampak negatif yakni kemerosotan batin.

Banyak sekali orang yang menciptakan banyak karma buruk, mengembangkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Misalnya di media sosial, orang-orang cenderung lebih menyukai menghujat, menghina dan menyebarkan berita kebohongan. Tidak hanya dalam lingkup masyarakat luas saja. Banyak umat Buddha yang masih terjebak dengan pandangan salah. Saya sering menemukan sejumlah umat Buddha ketika nian jing atau baca sutra ke vihara adalah untuk memohon berkah seperti kesehatan, kemakmuran, kesejahteraan dll.

Lalu apa tujuan utama kita melatih diri terutama melihat era modern yang penuh dengan kemerosotan batin? Tujuan utama kita melatih diri bukanlah sekadar mencapai kebahagiaan duniawi. Jika kita melatih diri hanyalah untuk mencapai kebahagiaan duniawi saja, kita sudah jauh dari ajaran dan tekad para Buddha dan Bodhisattva.

Kebahagiaan duniawi sifatnya tidaklah kekal dan ilusi. Seperti di dalam Sutra Intan, Buddha memberikan syair yang berbunyi, “Semua Dharma yang timbul berkondisi adalah bagaikan laksana mimpi, ilusi, gelembung, bayangan, bagaikan titik embun, dan laksana kilat, renungkanlah demikian.“ Kebahagiaan duniawi yang berupa kesehatan, kesenangan, kekayaan, dll itu adalah Dharma atau fenomena yang tidak kekal. Sehingga tak sedikit orang yang tidak mengerti tujuan melatih diri sehingga terjebak oleh pandangan salah yang memunculkan banyak penderitaan.

Tujuan utama melatih diri adalah membebaskan diri dari penderitaan atau mencapai Kebudhaan. Ketika kita melatih diri haruslah memiliki pandangan yang benar. Seperti Jalan Mulia Berunsur Delapan yang langkah pertama adalah dengan memiliki pandangan benar. Ketika kita melatih diri tetapi tidak memiliki pandangan benar justru tidak akan membawa kita mencapai kesucian.

Banyak orang beranggapan bahwa hanya dengan membaca Sutra pagi sore, membaca mantra, melakukan pertobatan, melafal nama Buddha sudahlah cukup untuk melatih diri. Banyak sekali orang mengeluh, “Ohh ,saya sudah ke vihara puluhan tahun tetapi nasib saya masih demikian.“

Nah, sekadar ke vihara saja, baca Sutra saja tapi tidak mengembangkan dan mempraktikkan apa yang diajarkan Buddha itu tidak akan memberikan manfaat yang besar. Seperti yang sudah saya bahas di paragraf sebelumnya rata-rata era modern ini, orang-orang melatih diri hanyalah mencari pahala duniawi yang justru menimbulkan 3 akar kejahatan.

Membebaskan diri dari penderitaan berarti kita belajar sedikit demi sedikit melenyapkan 3 akar kejahatan yakni keserakahan, kebencian, kebodohan batin. Semua itu perlu didasari dengan latihan perenungan seperti meditasi sehingga kita semua memiliki pandangan terang. Mengikis keserakahan, kita belajar merenung bahwa segala sesuatu itu tidak kekal, uang bisa habis jika tidak digunakan dengan benar.

Keserakahan hanya membawa penderitaan. Seperti syair Bodhisattva, “Hawa nafsu keserakahan ibarat seperti minum air laut, semakin banyak minum akan semakin haus.“ Tetapi dengan mempraktikkan welas asih tanpa mengharap imbalan untuk menolong makhluk makhluk yang menderita kita akan mendapatkan kebajikan dan kebahagiaan yang tak terhingga.

Sama halnya dengan berlatih mengikis kebencian. Banyak umat Buddha khususnya Buddhis Mahayana mengenal Bodhisattva Avalokiteshvara. Kita berlindung kepada Avalokiteshvara bukan meminta berkah saja tetapi haruslah kita mempraktikkan semangat cinta kasih saling memaafkan kepada orang yang mencelakai kita.

Di dalam Fa Hua Jing Guan Shi Yin Phu Sa Phu Men Pin, “Barang siapa melafal, merenung nama Avalokiteshvara, kebencian di dalam diri akan lenyap. Kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian tetapi dengan cinta kasihlah kebencian akan berakhir.“

Dengan kita melatih ucapan, perbuatan, pikiran kita menanam kebajikan atau paramita kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin perlahan-lahan akan lenyap. Sehingga dengan kita melatih diri di era modern ini kita tidak akan terjebak oleh kemelekatan duniawi. Maka dari itu ,marilah kita selalu merenung ke dalam diri kita sendiri ,mempraktekkan ajaran Buddha, mengembangkan bodhicitta sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan sejati yaitu Nirvana.

The post Melatih Diri Mencapai Kebahagiaan Sejati appeared first on .

Why Me?

$
0
0

Why me? Mengapa (harus) saya? Sebuah pertanyaan yang sering terlontar dari seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah atau mengalami musibah. Ketika seseorang mengalami kejadian buruk seperti tiba-tiba terserang penyakit kronis, atau mengalami kecelakaan, kebangkrutan, ditipu orang, dan kejadian buruk lainnya, maka banyak orang yang mempertanyakan kejadian atau ‘kesialan’ yang menimpanya dengan pertanyaan: Mengapa saya yang mengalami musibah ini? Mengapa harus saya yang menderita penyakit ini?

Pertanyaan itu kadang berlanjut menjadi protes tentang ketidakadilan yang diterimanya. “Saya selalu berdana di setiap kegiatan vihara, tapi kenapa saya masih tidak punya apa-apa? Sementara dia yang pelit dan tidak pernah beribadah ke vihara, tapi hidupnya senang berlimpah harta”. Atau protes seperti ini “Dia sudah menipu uang saya ratusan juta, tapi sampai sekarang hidupnya tetap makmur bahkan sering ke luar negeri. Tapi saya yang sudah ditipu uangnya, malah hidup susah sampai sekarang”. Itulah fenomena yang banyak kita jumpai yang pada akhirnya meragukan ajaran yang selama ini telah dianutnya.

Keakuan

Pertanyaan “Why me?” menunjukkan betapa tingginya ego seseorang. Kita tidak ingin hal-hal buruk menimpa kita, tapi kita tidak peduli hal buruk tersebut menimpa orang lain. Sewaktu orang lain memperoleh kegembiraan, pertanyaan kita pun berubah menjadi “Why not me?”, kenapa bukan saya yang mendapatkannya. Tingginya ego merupakan salah satu kotoran batin (kilesa) yang sering menghinggapi seseorang sehingga sulit melepaskan atau mengurangi keakuan yang ada dalam dirinya.

Sewaktu mendapatkan keberuntungan, kita tidak pernah bertanya, “Why me?”, mengapa saya yang beruntung? Kita tidak bertanya, “Mengapa bukan dia yang beruntung?” Ketika kita bahagia, kita asyik menikmati dan tidak pernah mempermasalahkan.

Keakuan yang begitu tinggi menimbulkan kemelekatan dalam diri setiap orang yang pada akhirnya mendatangkan penderitaan (dukkha). Karena itu dukkha dapat datang baik dalam keadaan suka maupun tidak suka, senang maupun tidak senang.

Kita bisa belajar melepas kemelekatan ini dengan senantiasa mendoakan orang lain bahagia. Contoh sederhana penerapan dalam kehidupan ini adalah ketika penarikan doorprice pada suatu kegiatan. Coba renungkan, sudahkah kita mendoakan orang lain mendapat undian tersebut atau kita sibuk berdoa agar kita yang memenangkan undian tersebut. Belajarlah melepas kemelekatan dengan berdoa semoga hadiah undian tersebut bermanfaat dan membawa kebahagiaan bagi orang lain yang mendapatkannya.

Ketidakkekalan

Ketidakkekalan merupakan hal yang berlaku bagi setiap orang, bersifat universal dan tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu (Anicca). Hanya perubahan yang kekal di dunia ini. Perubahan yang terjadi di alam semesta ini terus berproses tak henti-hentinya dari timbul (Uppada), berlangsung (Thiti), dan kemudian berakhir atau lenyap (Bhanga). Demikian pula perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia berawal dari timbul, berlangsung, dan pada akhirnya akan berakhir.

Menyadari akan ketidakkekalan yang terjadi dalam kehidupan ini, maka kita perlu belajar atau tepatnya berlatih untuk menerima segala sesuatu apa adanya agar kita tidak terlarut dalam kesedihan atau terbuai dalam kesenangan.

Ada sebuah kisah tentang sebuah keluarga yang hidup bahagia dengan seorang anak muda yang tampan. Pemuda ini rajin membantu orang tuanya menggembalakan kuda di padang rumput. Suatu hari kuda tersebut hilang karena melarikan diri ke dalam hutan. Seluruh penduduk desa mengatakan betapa sialnya keluarga tersebut. Namun beberapa hari kemudian kuda tersebut pulang kembali ke rumah bahkan membawa dua ekor kuda liar dari hutan.

Seluruh penduduk desa mengatakan betapa beruntungnya keluarga tersebut. Pemuda tampan tersebut lalu berusaha melatih dua ekor kuda liar itu agar dapat ditunggangi. Karena kurang hati-hati, pemuda tersebut jatuh sampai kakinya patah karena terinjak kaki kuda.

Penduduk desa mengatakan sungguh sial nasib keluarga tersebut karena hanya mempunyai anak laki-laki satu-satunya tapi cacat pula. Sebulan kemudian Raja menyatakan negara darurat perang sehingga semua pemuda yang sehat dan bugar harus mengikuti latihan militer dan dikirim ke medan perang. Pemuda tampan tersebut tidak terpilih karena kakinya yang catat. Tetangga mengatakan sungguh beruntung nasib keluarga tersebut karena tidak kehilangan anak laki-laki satu-satunya.

Lihatlah, betapa tipisnya perbedaan keberuntungan dan kesialan karena ketidakkekalan. Maka sebagai murid Buddha, sudah sepatutnya kita menyadari keadaan menyenangkan dan tidak menyenangkan datang silih berganti (tidak kekal) disebabkan Anicca. Kita perlu berlatih untuk membekali diri kita dengan pikiran baik (kusala citta) sehingga kita mampu menyadari Anicca yang menyebabkan ketidakkekalan dalam kehidupan kita saat ini sehingga kita mampu menerima segala sesuatu apa adanya.

Bersyukur

Kita dapat menerima segala sesuatu apa adanya dengan senantiasa bersyukur baik dalam keadaan berkelebihan maupun kekurangan. Buddha mengingatkan, hendaknya kita tidak terlalu larut dalam kegembiraan saat mengalami hal-hal yang menyenangkan, sebaliknya hendaknya kita tidak terlalu larut dalam kesedihan atau kekecewaan saat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Terlalu larut dalam kegembiraan dapat membuat kita lupa diri dan memberi kesempatan berkembangnya keserakahan.

Demikian pula apabila kita terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan dapat membangkitkan amarah dalam diri yang berujung pada berkembangnya kebencian dalam diri yang pada akhirnya sangat merugikan diri sendiri. Kita patut berlatih mengendalikan diri saat menghadapi berbagai hal yang muncul dalam kehidupan saat ini. Orang yang dapat mengendalikan diri ketika mengalami hal-hal baik maupun buruk adalah orang yang memiliki kesabaran.

Kita harus tetap tenang dengan dilandasi pengertian yang benar  dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan. Dalam Dhammapada 222, Buddha mengatakan bahwa seseorang yang mampu menahan amarah yang sedang memuncak, bagaikan seseorang yang menahan laju kereta kuda yang sedang melaju kencang, orang yang demikian itu patut disebut sebagai pengendali sejati.

Bersyukurlah dari hal yang sederhana, misalnya bernapas dan tersenyum. Bersyukurlah kita masih diberi kesempatan bernafas, menghirup oksigen dengan gratis. Bersyukurlah kita masih bisa tersenyum untuk memberi keceriaan dan kebahagiaan kepada siapapun yang menerima senyuman kita.

Perbuatan kita sendiri

Kita hidup bukan untuk bertanding dengan orang lain karena itu tidak perlu membanding-bandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain. Bersyukurlah pada apa yang telah kita miliki dalam perjalan hidup kita saat ini. Orang yang paling bahagia adalah mereka yang mampu mensyukuri apapun yang telah dimilikinya saat ini, tidak menyesali segala yang terjadi di masa lalu, dan tidak merisaukan yang belum terjadi di masa depan. Namun dengan kesadaran diri penuh, kita bisa sepenuhnya berada di sini saat ini sehingga kita bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Bila kita renungkan ke dalam diri kita sendiri, sesungguhnya semua peristiwa tidak menyenangkan yang kita alami adalah akibat hasil perbuatan kita sendiri. Kalau bukan akibat perbuatan kita, tidak mungkin peristiwa buruk menghinggapi kita.

Di dalam parita Brhamaviharaparanam sudah jelas dikatakan bahwa: aku adalah pemilik karmaku sendiri, pewaris karmaku sendiri, terlahir dari karmaku sendiri, behubungan dari karmaku sendiri, terlindungi oleh karmaku sendiri, apapun karma yang kuperbuat, baik atau buruk itulah yang akan kuwarisi. Jadi kita tidak perlu mengkambinghitamkan nasib atau karma masa lampau kita.

Semua peristiwa tidak menyenangkan yang menghinggapi kita bukan disebabkan nasib buruk kita. Kita tidak boleh pasrah hanya pada karma masa lampau kita. Justru kita harus memperbanyak kebajikan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan sehingga berbuah karma baik yang dapat mengubah nasib atau jalan hidup kita.

Sebagai murid Buddha, kita telah dibekali empat keadaan batin luhur yang diajarkan Guru Agung kita dalam Pajjhatthana Sutta (AN 5.57) yaitu 1. Cinta kasih (metta), 2. Welas asih (karuna), 3. Turut berbahagia (mudita), dan 4. Keseimbangan batin (upekkha). Berbekal modal dalam batin ini disertai penghayatan nilai-nilai tersebut dan pebuatan kebajikan kita dalam kehidupan sehari-hari niscaya kita mampu tegar dalam menghadapi keadaan terburuk sekalipun.

So, sebagai murid Sang Buddha, kita tidak perlu bertanya “Why me?” lagi kan.

Sebagai murid yang baik, kita seharusnya mampu menghadapi berbagai kesulitan, peristiwa yang tidak menyenangkan maupun penderitaan yang muncul dengan lebih bijaksana. Ingat, penderitaan hanya datang kepada orang yang patut menerimanya sesuai dengan pikiran, ucapan dan perbuatan yang pernah dilakukannya.

Kita harus berusaha menerima bahwa semua kejadian buruk tersebut terjadi karena kita sedang memetik hasil dari perbuatan buruk kita di kehidupan masa lampau. Namun kita menyadari adanya ketidak-kekalan sehingga penderitaan tidaklah kekal. Untuk itu kita perlu memperbanyak kebajikan kita agar berbuah karma baik sehingga ketika waktunya tiba maka penderitaan kita pun akan berlalu. Isilah kehidupan kita yang singkat ini dengan memperbanyak perbuatan baik sebelum ajal kematian datang menjemput kita.

Dr. Haryanto Tanuwijaya, S.Kom., M.MT.

Sekretaris Majelis Buddhayana Indonesia Jawa Timur. Dewan Pembina situs berita BuddhaZine. Kaprodi S1 Manajemen Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya

The post Why Me? appeared first on .


Ada Santo di antara Kita?

$
0
0

Istilah Santo atau Santa (untuk wanita) adalah sebutan bagi orang-orang kudus dalam agama Kristen. Mereka adalah orang-orang yang telah terbukti menjalani hidupnya dengan melakukan kebajikan heroik dengan membantu sesama. Bagi teman-teman Kristiani, meneladani hidup para Santo dan Santa adalah sebuah anjuran demi menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Mungkin kalau dalam agama Buddha, para Santo dan Santa ini setara dengan para Ariya yang terutama Arahat yang mengajarkan kita tentang teladan hidup sesuai Dhamma, atau pula Bodhisattva yang mengajarkan kita untuk menolong makhluk hidup seperti Samantabhadra maupun Avalokiteshvara. Tetapi sejarah mencatat, ternyata memang ada lho Santo yang berasal dari agama Buddha. Ya! Itulah Santo Barlaam dan Yosafat.

Legenda Barlaam dan Yosafat sendiri telah ada sejak abad ke-7 Masehi (atau versi lain mengatakan abad ke-10 Masehi). Setelah berkembang dan diceritakan dari satu generasi ke generasi lainnya, baru pada pertengahan abad ke-19 orang-orang menyadari bahwa cerita Barlaam dan Yosafat dibuat berdasarkan kisah hidup Pangeran Siddhartha yang kemudian menjadi Buddha.

Pada abad pertengahan, keduanya dianggap sebagai Santo Kristen yang memiliki tanggal suci 26 Agustus (untuk mazhab Greek Orthodox) dan 27 November (dalam Kisah Para Martir untuk Gereja-Gereja Katolik). Cerita Barlaam dan Yosafat menjadi begitu populer pada abad itu hingga muncul dalam beberapa karya sebagai Legenda Emas dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa dan Timur Tengah.

Cerita ini mengisahkan tentang Raja Abenner atau Avenier di India yang menganiaya Gereja Kristen di sana yang diwartakan oleh Rasul Thomas. Ketika itu, para astrolog meramalkan bahwa putranya sendiri akan menjadi seorang penganut Kristen. Hal ini membuat Raja Abenner mengisolasi putranya dari dunia luar. Singkat cerita, pangeran yang tumbuh besar tanpa mengenal dunia luar pada akhirnya dapat bertemu dengan pertapa Barlaam dan menjadi pengikut Kristen.

Yosafat tetap mempertahankan keyakinannya meskipun harus menghadapi kemurkaan ayahnya. Pada akhirnya, Raja Abenner sendiri pun ikut menjadi penganut Kristen, menyerahkan tahta kerajaannya kepada Yosafat dan mengasingkan diri menjadi seorang petapa. Yosafat sendiri juga melepaskan tahtanya dan pergi mengasingkan diri mengikuti gurunya Barlaam.

Tidak hanya kemiripan cerita saja yang dapat kita temukan. Bahkan nama Yosafat sendiri berasal dari bahasa Sanskerta Bodhisattva. Kata Bodhisattva ini berubah menjadi Bodisav dalam naskah-naskah Persia pada abad 6 atau 7 Masehi, kemudian menjadi Budhasaf atau Yudasaf dalam naskah-naskah Arab pada abad 8 Masehi.

Dari Arab, namanya berubah menjadi Iodasaph di Georgia pada abad ke-10 dan diadaptasi menjadi Ioasaph di Yunani pada abad ke-11 Masehi. Pada akhirnya, nama ini menjadi Iosaphat/Josaphat dalam versi Latin yang dikenal saat ini.

Legenda ini diturunkan dari sebuah naskah Buddhis Mahayana berbahasa Sanskerta yang ditulis pada abad kedua hingga keempat Masehi, melalui sebuah versi Maniisme (di Persia), kemudian versi Arab dalam Kitab Bilawhar wa-Yudasaf (Kitab Bilawhar dan Yudasaf), dan masuk ke dalam dunia Kristen Timur Tengah sebelum akhirnya muncul dalam versi-versi di Eropa.

Atas kepopulerannya, terdapat cerita ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa antara lain: Yunani, Inggris, Georgia, Perancis Kuno, Italia, Portugis, dll. Cerita Yosafat sering digunakan sebagai eksplorasi akan kehendak bebas dan pencarian kedamaian batin melalui meditasi pada abad ke-17.

Demikianlah bagaimana Buddha Gotama sebagai tokoh sentral dalam agama Buddha turut memberikan pengaruh dan teladan bagi orang-orang Kristen maupun Timur Tengah dengan menjadi seorang Santo selama kurang lebih 1.000 tahun lamanya.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Ada Santo di antara Kita? appeared first on .

Relief Binatang dan Brahmana

$
0
0

Kisah relief binatang dan brahmana. Dalam salah satu panel relief di Candi Jago, Jawa Timur. Relief ini menceritakan para binatang yang tahu membalas budi dan manusia yang tidak tahu membalas budi. Cerita ini terdapat dalam kitab Tantri Kamandaka, Pañchatantra Pañchākhyānaka, Kathā Sarit Sāgara dan Hikayat Kalila dan Damina, para binatang yang di tolong kadang berlainan antar kitab itu demikian pula dengan nama para tokohnya.

Seorang Brahmana yang bernama Sajñadharma yang sedang bepergian merasa haus dan hendak minum di sebuah sumur di hutan. Di saat ia hendak mengambil air di sumur tersebut, dilihatnya ada kera, ular, harimau dan seorang manusia berada dalam sumur tersebut.

Kera tersebut bercerita karena angin rebut yang cukup hebat membuatnya dan mahluk lain itu tercebur ke dalam sumur tersebut. Kera juga memperingatkan pada Sajñadharma untuk tidak menolong manusia di dalam sumur itu karena ia sangat jahat. Setelah berkata demikian, pergilah kera itu. Lalu berturut turut Brahmana itu menolong harimau dan ular yang masing masing juga memperingatkan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh kera.

Setelah masing-masing binatang itu pergi, Sajñadharma tetap menolong manusia itu tanpa menghiraukan peringatan para binatang tadi. Setelah manusia tersebut dapat keluar dari sumur itu, berceritalah ia bahwa ia adalah seorang pandai emas dari Madhura-kling yang bernama Suwarnangkara. Ia mengajak Brahmana itu untuk singgah di rumahnya, setelah mengucapkan terima kasih maka pergilah Suwarnangkara.

Setelah melepas dahaganya maka Sajñadharmapun melanjutkan perjalanannya. Di dalam hutan ia bertemu dengan kera yang pernah di tolongnya, iapun diberi buah buahan oleh sang Kera. Dalam perjalanan selanjutnya ia bertemu dengan harimau yang memberinya barang barang dari emas milik anak seorang raja yang telah dibunuhnya ketika sang pangeran sedang berburu di hutan.

Oleh karena Brahmana itu merasa tidak membutuhkan barang perhiasan emas tadi, maka dalam perjalanannya singgahlah ia di Madhura-kling tempat tinggal Suwarnangkara si pandai emas. Diberikannyalah barang perhiasan itu kepada di pandai emas.

Suwarnangkara mengenali perhiasan itu adalah milik seorang pangeran yang telah mati terbunuh, maka di saat Brahmana itu sedang beristirahat, pergilah Suwarnangkara menghadap raja untuk melaporkan bahwa seorang Brahmana yang saat itu sedang ada di rumahnya yang telah membunuh sang pangeran putra raja tersebut, sebagai bukti ia menunjukkan barang perhiasan yang diberikan Brahmana tadi kepada sang raja. Sajñadharmapun kemudian dipenjara atas laporan si pandai emas tersebut.

Kabar ini terdengar oleh ketiga hewan yang telah ditolongnya sebelumnya. Kemudian si ular datang ke tempat sang brahmana dan mengatakan ingin menolongnya lalu ia menggigit Wirasena putra raja yang lain. Hal ini membuat sang raja bersedih hati, iapun mengumumkan pada semua yang dapat menyembuhkan sang pangeran akan mendapatkan separo dari kerajaannya dan memerintah bersamanya.

Para tabib istana dan semua orang berusaha menolong sang Wirasena tetapi tidak bisa, dan beliau pun mati. Seorang pendeta istana yang pandai memanggil ular berusaha memanggil ular yang telah mematuk sang pangeran. Si ular kemudian mendatangi pendeta itu dan mengatakan bahwa ia berbuat demikian untuk menolong Sajñadharma karena Brahmana itu dulu pernah menolongnya pula. Ular berkata bahwa hanya Sajñadharma yang bisa menghidupkan kembali sang Wirasena.

Pendeta istana itu segera menghadap raja dan menceritakan semua perkataan sang ular. Rajapun memerintahkan agar Sajñadharma dibebaskan dari penjara dan mengobati Wirasena. Tidak lama kemudian Wirasena dapat hidup kembali. Sajñadharma diberi hadiah seperti yang dijanjikan sang raja, sedangkan Suwarnangkara si pandai emas yang jahat itu diperintahkan untuk dihukum mati.

Inti dari cerita ini adalah “Lebih baik menolong hewan daripada manusia yang berbudi rendah dan tidak memiliki rasa terima kasih itu.”

Goenawan A. Sambodo

Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.

The post Relief Binatang dan Brahmana appeared first on .

Ehipassiko Ada untuk Membawa Perubahan

$
0
0

“Ehipassiko ada untuk membawa perubahan. Keberadaan Ehipassiko di Indonesia tidak akan ada gunanya kalau tidak membawa perubahan, hanya memperkental ritual, hanya baca paritta doang, hanya banyak meeting; musyawarah daerah, musyawarah nasional, dan musyawarah-musyawarah lainnya,” tegas Handaka Vijananda dalam menyampaikan materi pelatihan nasional (pelatnas) Abdi Desa, Kamis (1/11).

Pelatnas adalah pertemuan rutin Abdi Desa Ehipassiko Foundation yang dilakukan setiap tahun. Pelatihan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan Dharma para Abdi Desa Ehipassiko yang bertugas membina umat Buddha di berbagai pelosok desa tanah air.

Pelatnas yang ke IX ini dilaksankan selama empat hari, Kamis – Minggu (1–4/11) di Laras Asri, Resort, Kota Salatiga. Tak hanya Abdi Desa, pelatnas kali ini juga diikuti oleh Kalyanamitra (para umat Buddha yang membantu Abdi Desa dalam menjalankan tugas Dhammaduta) yang jumlah keseluruhan sekitar 100 orang.

Sebagai ujung tombak pelestari Dharma di Indonesia, para Abdi Desa dan Kalyanamitra dibekali dengan berbagai strategi pembinaan umat Buddha. “Jadi orang baik saja tidak cukup, kita harus mempunyai strategi dan visi. Visi Ehipassiko tahun ini adalah, ‘Membangun Karakter Dharma’, kenapa berbeda dengan tahun lalu? Karena kita harus terus berinovasi sesuai dengan perubahan zaman,” terang pendiri Ehipassiko Foundation dalam menyampaikan visi misinya.

Untuk menjalankan visinya, Ehipassiko menjalankan tiga misi yaitu; Studi, Aksi, dan Meditasi. “Tujuan kita adalah melestarikan Dharma dan lingkungan, jadi perlu misi nyata. Studi, Aksi, dan Meditasi. Dalam bahasa Buddha Gotama; pariyatti, patipatti, pativedha. Ini kurikulumnya komplet. Umat tidak bisa hanya sekedar studi saja, aksi saja atau meditasi saja,” tegasnya.

Menghadirkan pembicara berkualitas

Pelatnas Abdi Desa adalah momentum yang selalu dinanti oleh para Abdi Desa. Selain sebagai ajang temu kangen dan membahas perkembangan desa binaan masing-masing, pelatnas juga digunakan sebagai kesempatan untuk meng-update pengetahuan Dharma.

Karena itu, setiap pelatnas Ehipassiko selalu mendatangkan narasumber dengan berbagai kemampuan di bidangnya masing-masing. Termasuk pada pelatnas kali ini yang menghadirkan tujuh narasumber yang mengisi berbagai materi selama tiga hari penuh. Mereka adalah; Kartika Swarnacitta, Handaka Vijananda, Rudy Rachman, Agus Santoso, Yulvian, Bhante Nyanasuryanadi, dan Bhante Sujato.

Kartika Swarnacitta membawakan materi wise internet. Manajer tunggal Abdi Desa Ehipassiko ini mengajak para Abdi Desa untuk membimbing umat agar bijaksana dalam menggunakan internet. “Saat ini internet sudah merambah perdesaan, sebagai abdi desa yang membimbing umat Anda harus dapat membimbing umat agar bijak dalam menggunakan internet.”

Meskipun tidak sepenuhnya berdampak buruk, menurut Kartika bila tak diawasi dengan baik penggunaan internet bisa menjerumuskan masyarakat, terutama anak-anak. “Internet memang memudahkan untuk berkomunikasi, mencari informasi bahkan kalau bisa memanfaatkan dengan baik dapat digunakan untuk berbisnis. Tetapi kalau tidak dilakukan dengan bijak, internet dapat menjerumuskan anak-anak kita, yang paling nyata adalah dampak ketagihan handphone canggih,” terang Kartika.

Sedangkan Yulvian yang merupakan pendukung setia Abdi Desa Ehipassiko menyampaikan materi ekonomi desa. “Semua orang membutuhkan makan. Anda semua sebagai Abdi Desa yang menjemput bola menjaga Dharma juga harus peka terhadap perekonomian umat. Jadi tak hanya melulu menyampaikan Dharma, tetapi juga bisa membangun terobosan untuk memberdayakan perekonomian umat,” kata Yulvian.

Senada dengan Yulvian, Bhante Nyanasuryanadi yang menjadi narasumber di hari ketiga juga menyampaikan perlunya inovasi para Dharmaduta. “Potensi apa pun yang ada di daerah binaan Anda coba digali, karena yang dibutuhkan umat itu tak hanya sekadar meditasi. Urusan perut ini juga sangat penting, kalau perutnya kenyang meditasi juga terasa nyaman. Jadi harus ada keseimbangan antara spiritual dan kesejahteraan,” kata bhante.


Bhante Sujato

Hadirnya Bhante Sujato sebagai narasumber menjadi nilai lebih pada pelatnas kali ini. Sebagai narasumber kehormatan, ia mendapat porsi lebih, yaitu mengisi tiga sesi pelatihan. Ia membimbing dan menyampaikan materi meditasi empat unsur, metta meditasi dan membedah Buddhis mula (early Buddhism). Selengkapnya akan diulas pada artikel khusus.

Abdi desa mengabdi di pelosok negeri

Ehipassiko adalah yayasan yang bervisi membangun karakter pribadi, masyarakat, dan lingkungan melalui cara hidup studi, aksi, meditasi berdasarkan Dharma Humanistik. Dalam menjalankan visinya ini Ehipassiko menjalankan berbagai program pelayanan, mulai dari menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku Buddhis, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat, memberikan beasiswa sekolah serta menggelar pelatihan-pelatihan meditasi.

Menurut data yang diperoleh BuddhaZine, saat ini Ehipassoko telah menerbitkan lebih dari 300 judul buku cetak dan 40 ebook, memberikan beasiswa kepada 2.712 siswa, 234 desa binaan, 340 vihara binaan dan 541 perpustakaan vihara.

Dari berbagai program Ehipassiko ini tak lepas dari peran para Abdi Desa. Saat ini Ehipassiko Foundation mempunyai 24 Abdi Desa yang mengabdi di berbagai pelosok Indonesia. Mereka adalah ujung tombak untuk melaksanakan visi dan program Ehipassiko. Mulai dari memberi pembelajaran Dharma kepada umat Buddha di vihara-vihara, memberikan bimbingan belajar kepada anak-anak sekolah, menyalurkan bantuan kemanusiaan, menyalurkan beasiswa hingga membagikan buku-buku Dharma terbitan Ehipassiko.

“Saya mengatakan Anda (para Abdi Desa) adalah Wira Dharma, prajurit Dharma. Keberadaan Anda adalah ujung tombak lestarinya Dharma di Nusantara,” kata Rudy Rachman.

The post Ehipassiko Ada untuk Membawa Perubahan appeared first on .

Bhikkhu Santacitto: Lima Hal Agar Kita Bahagia

$
0
0

Kathina, adalah salah satu hari raya besar bagi umat Buddha. Perayaan Kathina diadakan setelah para bhikkhu ber-vassa kurang lebih tiga bulan terhitung sejak bulan Juli 2018. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada umat untuk berdana kebutuhan pokok bhikkhu, yaitu jubah, tempat tinggal, makanan, dan obat-obatan. Biasanya Kathina dirayakan di vihara masing-masing wilayah ataupun secara gabungan.

Kesempatan kali ini BuddhaZine mengikuti perayaan Kathina di Vihara Dhamma Sundara, Surakarta pada Minggu (4/11). Bhikkhu Santacitto, Bhikkhu Jayasilo, dan ratusan umat dari berbagai daerah turut hadir menyambut Kathina Dana 2562/2018. Dalam ceramahnya, Bhikkhu Santacitto menguraikan lima hal agar seorang Buddhis bahkan seluruh umat manusia agar bahagia.

Pertama, agar bahagia harus berlindung kepada Tiratana. “Mungkin Bapak dan Ibu berpikir bahwa saya sudah berlindung dengan mengucapkan Buddham saranam gacchami, Dhammam saranam gacchami, Sangham saranam gacchami,” tutur Bhikkhu Santacitto.

“Tetapi apakah sekadar mengucapkan tisarana itu? Berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha harus dari hati kita, pengertian benar dari diri kita. Dhamma adalah sandaran, begitu pula Buddha juga sebaliknya. Begitu pula dengan kehidupan kita, kalau tidak ada sandaran maka tidak ada pengendali, kita akan liar.”

Kedua, menjadikan Dhamma sebagai prioritas juga bisa membuat bahagia. “Dhamma adalah kebenaran, ada kesabaran, cinta kasih, keseimbangan batin, perhatian, dan ada kebajikan.”

“Orang akan mudah marah ketika Dhamma tidak menjadi prioritasnya. Sebagai seorang Buddhis, dalam segala kondisi dianjurkan untuk memegang Dhamma sebagai kendaraan kita. Seandainya kita mendapat musibah, kecelakaan, pada sesungguhnya kita tidak akan menderita.”

Baca juga: Selamat Datang, Bulan Kathina..

Ketiga, dengan bersyukur akan bahagia. “Ketika kita ingin bahagia, harus bersyukur, puas dengan yang sekarang dimiliki. Kita tidak bahagia karena terlalu banyak keinginan, diperbudak oleh diri sendiri. Padahal, kekayaan, kemasyhuran tidak akan memberikan kebahagiaan sejati. Jangan mencari harta yang mengorbankan kesehatan, karena kesehatan tidak bisa diukur dengan seberapa banyak uang.”

Keempat, bahagia karena suka berbagi,suka berdana. Saat kita melekat karena kebodohan batin, maka penderitaan datang. “Berdana sesuai Dhamma akan mengikis kotoran batin. Dengan berdana keserakahan berkurang, dengan memberi akan mengikis kebencian. Berdana juga untuk mengikis kebodohan, karena kita tahu dengan berdana dapat mengikis keserakahan dan kebencian.”

Kelima, praktik meditasi membuat kita bahagia. “Meditasi yang diajarkan Buddha bukan hanya duduk diam. Melainkan seluruh aspek kegiatan kita adalah meditasi, seperti berbaring, duduk, berjalan, berbicara. Selama kita merawat diri dari kekotoran batin, itulah meditasi.”

“Orang yang tidak merawat batinnya seperti orang mati, karena tidak waspada, tidak sadar, batin mengembara. Orang yang waspada itulah orang yang hidup, karena sadar dan batin tidak mengembara. Merawat dan menjaga batin agar tetap sadar itulah meditasi, meski di awal sulit, tak mengapa, lama-lama jadi kebiasaan,” pungkas Bhikkhu Santacitto mengakhiri ceramahnya.

The post Bhikkhu Santacitto: Lima Hal Agar Kita Bahagia appeared first on .

Buddhayana Dharmawira Centre Surabaya Gelar Pentas Seni Beragam Agama

$
0
0

Lebih dari 300 orang sejak pukul 08.00 hadir di Buddhayana Dharmawira Centre (BDC) Surabaya pada Minggu (4/11). Di gedung utama lantai 2 yang berlangsung sangat apik. Kegiatan pentas seni diselenggarakan oleh Paguyuban Antar Lembaga Umat Beragama Surabaya.

Pentas seni tahun 2018 yang mengambil tema, “Bahagia dalam Kebhinnekaan” ini dimulai dengan doa bersama dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian dilanjutkan dengan parade pakaian daerah oleh lembaga umat beragama dengan diiringi lagu daerah dari seluruh pelosok Indonesia. Sesuai tema pentas seni kali ini, parade ini menunjukkan suka cita dan kebahagiaan semua pihak dalam kebhinnekaan.

Pentas seni ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018 sekaligus menyambut hari Pahlawan tanggal 10 November 2018. Selaku ketua panita pentasi seni, Ridwandi berharap kegiatan seperti dapat terus berlanjut agar persaudaaraan di antara semua umat beragama dalam tetap terjaga dengan baik.

Suasana persaudaraan sangat terasa dari berbagai atraksi seni budaya berupa nyanyian, tarian daerah, dan lain-lain disajikan dari perwakilan masing-masing lembaga umat beragama. Semoga kegiatan pentas seni budaya antar lembaga umat beragama semacam ini dapat meningkatkan persaudaraan, persatuan dan kesatuan, karena agama dan sosial adalah satu kesatuan untuk Indonesia nan damai.

The post Buddhayana Dharmawira Centre Surabaya Gelar Pentas Seni Beragam Agama appeared first on .

Bhante Sujato: Meditasi dan Kesadaran Lingkungan

$
0
0

Meditasi empat unsur, mendengar kata meditasi ini mungkin agak asing di telinga umat Buddha Indonesia. Padahal dalam Wisudhi Magga membahas panduan meditasi aliran Theravada, meditasi dengan objek empat unsur ini dibahas lebih panjang daripada bab lainnya.

Apa itu meditasi empat unsur? Bagaimana melakukannya dan apa manfaat meditasi ini? Bhante Sujato, seorang bhikkhu yang ditahbiskan di Thailand dalam silsilah bhikkhu hutan Ajahn Chah, mengajarkan dengan lengkap meditasi ini pada Pelatnas Abdi Desa Ehipassiko, Jumat (2/11) di Laras Asri Resort, Salatiga.

Tanah, air, api, dan udara adalah empat unsur pembentuk materi. Terdapat sedikit perbedaan cara pandangan empat unsur tersebut antara ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan Buddhis. Dari sudut pandang IPA, materi yang terbentuk dari empat unsur hanya dipandang sebagai bentuk benda. “Saya dengan cangkir adalah dua hal yang terpisah. Sedangkan dalam Buddhis melihat benda (cangkir) sesuai dengan yang kita cerap berdasarkan pengalaman,” jelas Bhante Sujato.

Manusia selalu dikelilingi oleh empat unsur pembentuk. Materi tubuh manusia juga terbentuk oleh empat unsur, karena itu menurut bhante manusia (umat Buddha) perlu untuk melakukan meditasi empat unsur. “Jangan salah mengerti bahwa ajaran meditasi 4 unsur ini adalah ajaran yang kuno, sulit dimengerti dan jadul. Sebab kita ini dikelilingi empat unsur ini setiap waktu, dan tubuh kita terbuat dari unsur-unsur ini,” terangnya.

Jadi yang perlu diperhatikan dalam meditasi 4 unsur adalah kita memperhatikan dan mengenali apa itu 4 unsur, bagaimana rasanya. “Sebagai contoh, mari kita membungkuk sampai tangan kita menyentuh lantai, kita bisa merasakan dingin dan kerasnya lantai ini. Itulah yang dinamakan mengalami unsur padat. Menurut filosofi berdasarkan pandangan Buddha, materi itu selalu memuat unsur-unsur secara bersamaan. Tetapi di saat tertentu ada unsur-unsur yang lebih dominan.

“Kalau kita bandingkan dengan IPA misalnya, ketika melihat gelas atau kaca, kita hanya melihat unsur padat. Tetapi kalau Anda perhatikan, kaca atau gelas yang sudah berumur puluhan tahun akan mengalami aus dan terlihat ada airnya, di situ mulai muncul unsur airnya,” bhante memberi contoh.

Merawat keseimbangan alam

Dalam praktik meditasi, biasanya pikiran (batin) hanya ditugaskan untuk mengamati ke dalam diri. Berbeda dengan meditasi 4 unsur, selain melihat ke dalam juga diperlukan keterlibatan pikiran dalam melakukan perenungan terhadap alam yang ada di luar jasmani.

“Meski begitu, meditasi 4 unsur bukan praktik meditasi yang langka. Dulu Buddha sering melakukan praktik meditasi ini, dan Buddha membicarakan dan membabarkannya dengan terperinci. Buddha juga menerapkan ajaran ini dengan berbagai cara yang indah,” kata Bhante Sujato.

Saat ini masa depan planet bumi terancam oleh persoalan lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan global. Persoalan ini mengancam kehidupan semua ekosistem di dalamnya. Menurut bhante, persoalan lingkungan ini diakibatkan oleh empat unsur yang sudah tidak seimbang.

“Beberapa tahun lalu ketika saya di Sidney, suhu udara naik sampai 47 derajat. Pernah Indonesia mengalami suhu 47 derajat? Itu benar-benar sangat panas. Dengan kondisi panas yang seperti itu, orang yang tidak tahan, banyak yang meninggal. Semua yang terjadi seperti itu benar-benar di luar dugaan,” kata bhante.

Mengapa itu terjadi? karena ketamakan manusia. Kita tidak bersungguh hati untuk merawat apa yang kita dapatkan. Semakin besar kita mengeksploitasi alam akan membuat alam semakin tidak seimbang. “Jadi pada saat Anda melakukan meditasi empat unsur, Anda menyadari dan merenungi bahwa dunia ini adalah kita, bumi adalah hal yang sama dengan kita. Udara yang berembus dari alam adalah udara yang masuk dalam paru-paru kita. Polusi-polusi yang dibuat di tempat lain itu sesungguhnya masuk juga ke dalam darah dan tubuh kita.

“Jadi begitulah rapuhnya empat unsur ini, juga begitu rapuhnya elemen yang menyokong kehidupan ini. Kalau terlalu panas atau terlalu dingin kita akan menderita, kalau kita tidak minum air beberapa hari saja kita akan mati. Tapi kalau kita di tengah laut dan tenggelam kebanyakan air kita juga mati. Jadi kita sangat perlu keseimbangan dan keseimbangan itu.

“Salah satu hal terpenting ketika kita melakukan meditasi empat unsur adalah menyadari bahwa kita adalah bagian dari planet ini. Sama halnya ketika kita merawat keseimbangan empat unsur dalam tubuh kita, kita juga merawat keseimbangan empat unsur dalam planet ini. Tanpa keseimbangan itu kita akan meninggal beberapa hari saja, begitu juga dengan planet ini,” jelasnya lebih lanjut.

Panduan praktik meditasi empat unsur

Yang perlu dilakukan dalam meditasi empat unsur adalah melakukan pengamatan terhadap empat unsur ini secara bergiliran. Mulai dari unsur tanah, api, air, dan udara. Tugas pertama adalah memiliki pencerapan dalam batin bagaimana unsur-unsur tersebut. Jadi Anda seperti membayangkan dalam batin bagaimana rasanya unsur-unsur ini.

“Silakan ambil posisi duduk dengan nyaman, duduk selama beberapa menit untuk membuat duduk Anda nyaman. Rasakan tubuh Anda agar merasakan nyaman duduk di kursi. Lalu mulia kita menggerakkan tubuh kita, memindai tubuh kita, kalau Anda merasakan ada bagian tubuh yang tegang, cukup santaikan bagian tubuh tersebut, rasakan dengan damai dan tidak perlu mengkhawatirkan apa pun,” terang Bhante Sujato, mulai memandu meditasi.

“Pada saat badan Anda mulai mapan dan tenang, mulai perhatikan sentuhan kaki dan tubuh pada benda yang keras di tempat duduk Anda. Kemudian arahkan perhatian Anda pada sifat benda yang keras itu dengan bagian tubuh Anda yang keras juga. Dimulai dari bagian yang paling keras dari tubuh Anda, yaitu gigi Anda. Anda mulai bisa merasakan sensasi gigi yang ada dalam mulut Anda. Anda bisa merasakan sifat keras dan kepadatannya.

Baik dengan melihat maupun mengetahui, mengetahui dengan merasakan sensasi gigi Anda, melihat seperti Anda membayangkan gigi Anda yang keras. Lalu dengan perlahan arahkan kebagian tubuh yang keras lainya, seperti tulang Anda. Kalau anda memperhatikan dengan saksama, Anda bisa merasakan tulang yang ada pada daging Anda dengan cara menjaga tubuh Anda tetap tegak atau menggoyangkan kepala atau tubuh Anda. Bayangkan bila tulang-tulang Anda bergerak, kalau tulang Anda diambil tubuh Anda akan tergolek seperti ubur-ubur.

“Jika Anda memiliki kecerahan yang cukup jernih pada sifat-sifat tubuh Anda, mulai pancarkan ke luar, ke alam semesta. Jika Anda bisa merasakan sifat keras di dalam kursi Anda, itulah yang disebut sebagai sifat kepadatan. Kita hanya mengetahui bahwa unsur padat yang ada di luar itu sama dengan unsur yang ada di tubuh Anda. Anda juga bisa melihat batu-batuan yang ada di luar, dan batuan-batuan itu juga sama dengan unsur yang ada dalam tubuh kita. Itulah unsur-unsur mineral yang menyusun tubuh kita. Ketika kita meniggal tubuh kita akan dapat diurai oleh tanah.

Selain mengamati benda padat yang ada dalam tubuh dan di luar tubuh yang bersentuhan. Bhante juga memandu mengamati unsur air, angin, dan api (panas) yang semua itu ada dalam tubuh dan di luar tubuh.

The post Bhante Sujato: Meditasi dan Kesadaran Lingkungan appeared first on .

Hubungan Mantra Jawa-Bali dan Tiongkok

$
0
0

“Saya (Huiguo) telah mentransmisikan mandala garbha pada Ajnagarbha dari Jawa.”

Dicatat Biksu Kukai – pendiri Shingon dan pencipta aksara (Jepang) Hiragana

Mantra-mantra atau dharani Buddhis yang ditemukan di Jawa banyak erat kaitannya dengan mantra-mantra yang biasa dipakai oleh Tantrayana Tiongkok/Jepang. Kukai membawa serta naskah Sanskrit/Siddhamatrka dari Tiongkok ke Jepang yang mana banyak sekali korelasinya dengan Nusantara.

Mantra Jawa ‘Hong Wilaheng’ misalnya berasal dari mantra Avira dari Buddha Mahawairocana yaitu “Om a vi ra hum kham” yang sampai sekarang masih dipakai oleh Shingon di Jepang dan pernah ditulis oleh biksu Jawa zaman Tang, Bianhong. Kemudian kita akan menemukan mantra Vajrabhairava-Yamantaka baik di ajian Kalacakra Jawa maupun dalam ritual ekadasarudra di Bali.

Bait-bait kitab Nusantara seperti Sanghyang Kamahayanikan, Sanghyang Nagabayu Sutra, dan Kalpa Buddha diketahui identik dengan bait-bait kitab Mahavairocana Sutra dan Adhyardasatika Prajnaparamita Sutra (理趣經) serta Tattvasamgraha Sutra (金剛頂一切如來真實攝大乘現證大教王經).

Jika mandala sutrik maupun tantrik dari Buddha Mahawairocana tersebut dipakai sebagai kreatifitas arsitek Borobudur, maka mandala Vajrabhairava-Yamantaka juga dipakai sebagai kreatifitas arsitek Forbidden City di Beijing.

Kajian menarik dapat kita tarik juga dari temuan-temuan prasasti bertuliskan mantra atau dharani yang tersebar di seluruh dunia, sebagaimana yang diteliti oleh Arlo Griffiths. Dalam penelitiannya banyak dijabarkan asal usul dharani atau mantra yang tertulis, salah satunya mantra pratityasamutpada yang banyak sekali ditemukan di Nusantara: “ye dharma hetuprabhava.”

Bait-bait Navakampa dari Bali misalnya berasal dari Susiddhikara Sutra (蘇悉地羯羅經). Di Sambas, Kalimantan Barat ditemukan lontar berisi dharani dari Bhadracaripranidhana (大方廣佛華嚴經普賢行願品), mantra Mahapratisaravidyarajni (普遍光明清淨熾盛如意寶印心無能勝大明王大隨求陀羅尼經), dan syair Vajracchedika Prajnaparamita Sutra (金剛經).

Di prasasti Batu Bedil Lampung ditemukan mantra yang berasal dari Aparimitayur Sutra (大

乘無量壽經. 無量壽大智陀羅尼). Di bangkai kapal Nanhan di Cirebon juga ditemukan dharani Avalokiteshvara yang merupakan varian dari Ekadasamukhadharani (佛說十一面觀世音神咒經). DI Candi Plaosan Lor juga ditemukan dharani-dharani di prasasti yang dapat ditelusuri bersumber dari Sarvadurgatiparisodhana Sutra (佛頂尊勝陀羅尼經), Baji kunan tuoluoni jing (拔濟苦難陀羅尼經), dan Miechu wu nizui da tuoluoni jing (滅除五逆罪大陀羅尼經) juga Bodhigarbhalamkaralaksadharani dan Saptasaptatisamyaksambuddhakotibhirukta (宿命智陀羅尼經).

Lontar emas di Pura Pagulingan di Bali juga menunjukkan mantra dari Amoghapasahrdayadharani Sutra (不空絹索陀羅尼經).

Mantra-mantra wrathful juga ditemukan di Sleman yang berasal dari Sarvadurgatiparisodhana Sutra (佛頂尊勝陀羅尼經) dan Guhyasamaja Tantra (一切如來金剛三業最上秘密大教王經). Serupa juga sama ditemukan dalam teks-teks Sanskrit di Nepal semisal Kriyasamgrahapanjika, Sarvavajrodaya dan Sadhanamala. Mantra “Takki Hum Jah” yang ditemukan di kompleks percandian Ratu Boko juga berasal dari Tattvasamgraha (金剛頂一切如來真實攝大乘現證大教王經) dan Guhyasamaja. Jenderal Yaksa Candravajrapani yang berasal dari siklus Tattvasamgraha juga ditemukan dalam Maharaudranamahrdaya di kompleks Candi Borobudur.

Segel tanah liat dari Bali yang ditemukan di Pejeng, Blahbatuh yang dimasukkan dalam stupa juga ternyata merupakan Vimalosnishadharani yang ditemukan di goa Dunhuang, Tiongkok. Segel tersebut juga berisi perenungan pada Buddha sebagaimana termaktub dalam kitab Bodhisattvabhumi (菩薩戒本).

Di Bali juga masih lestari teks bernama Purwaka-weda Buddha yang dilantukan oleh para pedanda Buddha di Bali yang berisi Saranagamana (perlindungan pada Buddha, Dharma, Sangha), mantra Yamantaka, mantra Ekadasamukha Avalokitesvara juga pujian pada Adi Buddha Wairocana serta Panca Tathagata, Buddhalocana, Mahapratisara dan Prajnaparamita.

Menilik temuan-temuan ini maka dapat kita lihat bahwa Nusantara dahulu memang menyimpan banyak karya Buddhis, namun sayangnya telah hilang dan silsilahnya sudah terputus. Dalam membangkitkan agama Buddha Nusantara, sejak zaman Bhante Ashin hingga sekarang kita semua mengundang para guru dari luar negeri yang masih lestari silsilahnya hingga kita semua memiliki berkah realisasi. Apalagi untuk urusan Mantrayana/Tantrayana/Vajrayana perlu silsilah yang absah dari Jepang dan Tibet untuk membangkitkan kembali apa yang dulu sempat jaya di Nusantara.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness

The post Hubungan Mantra Jawa-Bali dan Tiongkok appeared first on .


Berinvestasi di Saham Peternakan Bisa Melanggar Sila Pertama?

$
0
0

Sewaktu akan berinvestasi di beberapa saham perusahaan peternakan, saya sering “dihantui” perasaan bimbang. Bukan karena takut uang yang saya tanamkan akan “tergerus” manakala tren pasar sedang turun. Melainkan karena khawatir bahwa dengan membeli saham di perusahaan itu, secara tersirat, saya sudah mendukung pembunuhan makhluk hidup alias melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis.

Hal itu tentu dapat dimaklumi. Pasalnya, perusahaan peternakan yang sahamnya tercatat di lantai Bursa Efek Indonesia umumnya tak hanya memproduksi pakan ternak. Untuk meningkatkan pendapatan, mereka juga mengelola sejumlah peternakan unggas.

Ada begitu banyak unggas, seperti ayam, yang dipelihara di peternakan tersebut. Selama berhari-hari, mereka diberi makan dan dirawat sebaik mungkin. Mereka pun terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Hingga, akhirnya, setelah bobotnya sesuai, barulah mereka semua “dipanen”.

“Pembunuhan massal” jelas terjadi pada masa panen. Bisa dibayangkan betapa banyaknya unggas yang mati setiap hari. Betapa banyaknya ayam yang disembelih hanya untuk dijual memenuhi kebutuhan pasar.

Hal itulah yang kemudian membuat saya ragu untuk berinvestasi di saham sektor peternakan. Di satu sisi, saya merasa saham perusahaan itu punya prospek yang bagus, lantaran bisa mendatangkan keuntungan pada masa depan. Namun, di sisi lain, saya juga melihat ada potensi pelanggaran sila pertama kalau saya membeli saham-saham demikian.

Akibat pembunuhan massal

Kasus di atas memang agak sulit dianalisis. Sejauh ini, saya belum menemukan sebuah sutta yang secara khusus membahas topik tentang dampak dari kepemilikan saham suatu bisnis peternakan.

Namun demikian, sehubungan dengan pembunuhan makhluk hidup, pikiran saya tiba-tiba “terbang” pada sebuah ayat yang terdapat di Dhammapada 157. Ayat tersebut mempunyai latar cerita yang menarik dibahas. Sebab, isinya menceritakan akibat yang timbul atas “pembunuhan massal”.

Ceritanya begini. Pada masa Buddha Gotama, hiduplah seorang pangeran bernama Bodhirajakumara. Ia mempunyai seorang istri dan hidup nyaman di sebuah kerajaan.

Biarpun terkesan bahagia, sesungguhnya Pangeran memiliki satu kekurangan, yaitu tidak kunjung dikaruniai buah hati. Setelah menjalani “bahterah” rumah tangga selama bertahun-tahun, ia dan istrinya belum juga mendapat momongan.

Suatu hari, Pangeran Bodhirajakumara membangun sebuah istana baru. Setelah selesai, ia mengundang Buddha dan sejumlah bhikkhu untuk menerima dana makan.

Sudah lama Pangeran mendengar bahwa siapapun yang berderma kepada seorang Buddha akan memperoleh pahala yang luar biasa jumlahnya. Makanya, dalam hati kecilnya, ia berharap dengan melakukan kebajikan agung demikian, keinginannya untuk mendapat keturunan mungkin dapat terwujud.

Sebelum Buddha tiba di istana, Pangeran Bodhirajakumara membentangkan sehelai kain di lantai. Ia kemudian berucap dengan tekad kuat bahwa kalau Buddha menginjak kain tersebut, semoga ia dan istrinya segera mempunyai anak.

Tidak lama kemudian, Buddha pun sampai. Buddha melihat bentangan kain di lantai, tetapi Beliau enggan berjalan di atasnya. Beliau kemudian meminta kain itu disingkirkan lantaran tahu bahwa dalam kehidupan ini, Pangeran dan istrinya tidak akan bisa punya anak.

Buddha selanjutnya menceritakan kehidupan lampau Pangeran Bodhirajakumara dan istrinya. Dalam kehidupan silamnya Pangeran dan istrinya pernah mengalami kecelakaan di laut. Kapal yang mereka tumpangi hancur dihantam badai.

Semua orang tewas dalam kecelakaan itu, kecuali mereka berdua. Mereka pun terdampar di sebuah pulau yang kosong tanpa penghuni. Untuk bertahan hidup mereka membunuh burung-burung yang tinggal di pulau itu. Mereka menyantapnya tanpa rasa sesal.

Tak hanya itu, mereka pun memakan telur dan anak-anak burung di sana. Selama bertahun-tahun, mereka melakukan perbuatan buruk tersebut hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, ketika terlahir ulang, mereka “ditakdirkan” tidak mempunyai anak sebagai buah atas karma buruk pada masa lalu.

Setelah mendengar cerita Buddha, Pangeran dan istrinya dapat maklum. Mereka bisa menerima kenyataan, dan menganggap peristiwa yang mereka alami pada kehidupan sekarang sebagai “penebus” karma buruk yang telah mereka perbuat pada kehidupan lalu.

Pada akhir pembabaran, Buddha menyampaikan ayat berikut.

Jika orang menganggap dirinya berharga,

hendaknya ia menjaga dirinya dengan baik.

Pada salah satu dari tiga waktu jaga malam,

hendaknya orang baik berjaga.

Sebuah tanda tanya

Setelah menyimak kasus Pangeran Bodhirajakumara di atas, saya pun bertanya-tanya. Kalau saya memiliki saham di sektor peternakan, apakah saya akan “ikut” menanggung karma buruk orang lain, yang menyembelih hewan ternak milik perusahaan tersebut?

Walaupun tidak membunuh secara langsung, apakah saya bertanggung jawab atas kematian unggas di peternakan, dan akan “bernasib” seperti Pangeran Bodhirajakumara kalau saya membeli saham perusahaannya?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus “berpolemik” di pikiran saya. Pertanyaan demikian jelas membutuhkan jawaban, yang sampai saat ini masih coba saya cari, supaya siapapun yang ingin berinvestasi saham di sektor peternakan bisa merasa lebih tenang. Jangan sampai investor yang awalnya ingin mendulang keuntungan lewat transaksi saham malah terdampak karma buruk akibat ketidaktahuannya.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

The post Berinvestasi di Saham Peternakan Bisa Melanggar Sila Pertama? appeared first on .

Kendurenan 7 Tahun BuddhaZine.com

$
0
0

BuddhaZine akan merayakan ulang tahun ke-7 pada 1 Desember 2018 di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Bersama masyarakat desa Buddhis setempat dan masyarakat yang beragama Islam, Hindu, maupun Kristen, dengan perayaan yang sederhana khas desa dan juga doa bersama untuk kesehatan Sutar Soemitro sebagai pendiri BuddhaZine.com.

Kami percaya bahwa spirit kebersamaan di dalam Dharma akan selalu menguatkan antara satu dengan yang lainnya.

Sabtu (1/12)

19.00 WIB

Di rumah Sutar Soemitro (Dekat Vihara Bodhikirti) Desa Purwodadi, Kec Kuwarasan, Kab Kebumen, Jawa Tengah

Apabila hendak berdana silakan ke:

BCA
Jo Priastana
485 0557 701

CP:
AGENG (0838-6333-9337)

The post Kendurenan 7 Tahun BuddhaZine.com appeared first on .

Pendidikan Keagamaan Buddha Tidak Lebih Menarik Dari Perayaan Kathina Puja

$
0
0

Sudah hampir beberapa pekan ini, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan telah menimbulkan banyak reaksi dan pertentangan di tengah masyarakat. Draft RUU awalnya beredar luas di media sosial. Sontak ini mendapat respon yang cukup keras. Reaksi awal datang dari Komunitas Kristen Protestan. Lewat lembaga resminya PGI (Persatuan Gereja Indonesia) mengeluarkan statement di media massa soal keberatannya akan RUU tersebut. Pasalnya di dalam RUU tersebut ikut mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi yang merupakan bagian dari pelayanan Gereja.

Begitu pun dengan Pendidikan Keagamaan Buddha. Tak luput diatur oleh RUU tersebut. Mulai dari Dhammaseka, Sekolah Minggu, Pendidikan Widya Dharma, sampai Pabbajja Samanera semua terlampir dalam draft RUU tersebut. Seperti sudah diketahui, Sekolah Minggu dan Pabbajja Samanera bukan merupakan lembaga pendidikan sebagaimana dibayangkan oleh para penyusun RUU, melainkan bagian dari ritus spiritual dalam meningkatkan disiplin pertapaan dan Saddha, yang tidak perlu dicampuri oleh negara.

Ini menyangkut salah satu prinsip dasar kehidupan keagamaan dalam hal otonomi lembaga keagamaan dalam mengelola kehidupan keumatan yang tidak boleh dicampuri oleh Negara. Negara hanya perlu menjamin kebebasan dan keamanan lembaga-lembaga keagamaan dalam menjalankan otonominya.

Soal Dhammaseka yang diatur dengan berbagai tingkatan serta platform-platform khusus yang perlu diperhatikan menjadi beban yang sangat berat untuk komunitas Buddhis. Ketidaksiapan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang wajib ada akan menjadi persoalan yang pelik di kemudian hari. Selain itu perbedaan mazhab dan tradisi dalam komunitas Buddhis perlu dipahami para penyusun RUU. RUU ini juga akan menjadi potensi dasar konflik di internal Buddhis karena cara-cara dan visi misi pendidikan keagamaan nonformal antara satu lembaga dan lain lembaga tidak bisa digeneralisir.

Dengar pendapat

Perlu adanya hearing ke DPR yang dilakukan komunitas Buddhis untuk memberikan pandangan soal pendidikan keagamaan dalam komunitas Buddhis. Majelis-majelis agama buddha juga perlu mengadakan pembicaraan serius soal RUU ini dan potensi-potensi ke depan yang dapat terjadi bagi komunitas buddhis secara keseluruhan. Lalu mendesak pemerintah agar tidak buru-buru memutuskan RUU yang nantinya hanya akan menimbulkan banyak persoalan dan gejolak di tengah masyarakat .

Persoalan yang diatur oleh RUU ini mencakup banyak persoalan pelik, mulai dari visi pendidikan, kurikulum, kesiapan tenaga, harmonisasi dengan UU lain (misalnya dengan UU Sisdiknas), sampai keragaman bentuk dan model pendidikan keagamaan non-formal yang selama ini sudah dikelola oleh masing-masing lembaga keagamaan.

Nyatanya sudah beberapa pekan ini belum ada majelis mana pun yang menyikapi soal UU tersebut. Mungkin terkendala juga ritus perayaan Kathina Puja yang menjadi salah satu hari besar agama buddha. Sehingga sedikit kurang fokus menyikapi terkait RUU yang berpotensi menambah beban proses pendidikan dan penanaman nilai dharma. Padahal pendidikan merupakan manifestasi dalam membangun komunitas, bukan hanya perayaan ritus spiritual.

Harusnya polemik RUU ini perlu dijadikan juga sebagai refleksi bersama bahwa komunitas Buddhis harus banyak terlibat dalam Forum Forum Lintas-Agama yang secara berkala bertemu dan melakukan kajian kritis terhadap kebijakan publik. Sehingga dapat membangun sinergi dan strategi advokasi bersama dalam mengawal kebebasan beragama yang berkeadilan.

Billy Setiadi

Penapak jalan Dharma

The post Pendidikan Keagamaan Buddha Tidak Lebih Menarik Dari Perayaan Kathina Puja appeared first on .

Curhat Karo Bhante

$
0
0

Benda cair ini terus mengalir membasahi bedak yang terpoles manis di pipinya. Bukan tanpa sebab ia harus menyangkal realita kalau ratap ini semakin dalam. Tiada maksud untuk melarikan pikiran dan badan yang sudah bertahan, tapi, lancipnya syair dari kerongkongnya sudah menggema.

“Sebut saja kalian ini kaum yang beradab, dengan lengan panjang kau harus bertahan, jangan mudah terpenggal dengan syair gemanya,” rentetan giginya melontarkan suara ini, dia adalah Mohda, seorang kepala juang dari  negeri Merna.

“Mantap kali kau baca syair itu ye. Belajar ka mane kau ni?” Tanya Siha, sahabat lama dari pulau seberang.

“Ya iki lah, anu biasa dolanan kertas nang kali.” Jawabku.

Very cool ye. Boleh lah esok hari kau ajari aku ye.” Jawabnya. Entah dia ini asli kelahiran mana, bahasa Melayu paham, bahasa Jawa paham, tidak ada jawaban pasti setiap aku tanya.

“Aku pergi dulu ya, nak balek.”

“Baiklah, macam mane kau ni, ikut-ikut awak ade bahase?”

“Tak ape lah, daaa…”

Minggu siang ini matahari sangat terik, tidak biasanya sampai keringat membasahi kaos lusuhku. Bukan berarti harus berdiam terus di rumah, menutup diri agar tidak terkena sinarnya. Aku harus keluar, mencari udara baru.

Udara yang membuat diriku lebih nyaman, tidak dalam keterpurukan. Udara yang aku cari ini berkat semangat nenekku sewaktu di kebun jambu malam itu. Tapi, kini nenek sudah tiada dan aku tidak berbahasa ngapak lagi. Aku pun tidak tahu alasan Ayah melarangku.

Karena kejenuhan ini, ya, aku pergi dari rumah dengan mengayuh sepeda tua peninggalan kakekku. Menuju sebuah tempat teduh bertemu seseorang yang mencukur habis rambut di kepalanya,  mengenakan jubah kuning, dan tidak berkeluarga.

Tibalah aku di tempat ini, Vihara Metta namanya. Meski tidak besar, Vihara ini sangat sejuk, di depannya ada Pohon Bodhi yang tumbuh subur. Tumbuh juga bunga mawar dan melati di halaman. Bunga teratai juga hidup bersama segerombolan ikan di kolam samping vihara.

Sugeng siyang Pak Moko,” sapaku dengan penjaga vihara yang setia.

“Eh, genduk, ngene-ngene,” jawab Pak Moko sambil menghampiriku dengan sapu masih di tangannya.

“Bhante wonten kuti, Pak?”

Ono nduk ono, tak panggilke disik, koe tunggu ana dhammasala ya!”

Inggih Pak, matur nuwun.”

“Eh, ada genduk.”

Inggih Bhante, sugeng siyang namo buddhaya.”

“Ada apa nduk. Maaf ya, bahasane Bhante masih campur-campur, kadang Jawa, kadang Indonesia, kadang-kadang bahasane tekan endi-endi.”

Inggih Bhante. Lah pripun niki, kulo ngagem bahasa nopo?

Pie yo nduk? Bahasa Indonesia wae.”

“Baik, Bhante. Bhante, saya itu suntuk di rumah, bapak marah-marah terus. Saya tidak boleh pakai bahasa ngapak lagi di rumah. Kalau tidak ada minyak buat masak, suka dimarahi. Kertas-kertas puisi saya juga sering dibakar sama bapak, koran, majalah yang saya beli di kota juga dibakar. Bapak sering bilang kalau anak perempuan itu tugasnya di rumah saja, masak, cuci, pokoknya tidak boleh belajar, tida boleh menyaingi laki-laki. Kalau seperti ini terus kan saya suntuk di rumah.” Setelah bercerita, aku terdiam sejenak.

“Boleh Bhante jawab, nduk?”

“Boleh Bhante.”

“Begini, kalau bapakmu suka mengekang kamu, pikirannya masih primitif. Zaman sekarang bukan zamannya dulu lagi. Sekarang sudah ada listrik di sini, tidak seperti tahun lalu, sekolah juga sudah ada buat masyarakat. Biar masyarakatnya pinter. Kalau bapakmu seperti itu, berarti dia tidak pingin anaknya pinter, dan juga tidak ada cinta kasih dalam diri bapakmu.”

“Oooo, seperti itu, Bhante. Jadi, saya harus bagaimana?”

“Sekarang, kamu harus banyak baca paritta tentang cinta kasih, renungkan bacaannya. Beri bapakmu pengertian supaya tidak marah-marah, tapi pelan-pelan, ajak juga ke vihara. Kalau bapakmu masih belum bertambah baik sifatnya, lakukan terus sampai sifatnya bertambah baik.”

“Baik, Bhante. Saya coba saran dari Bhante. Terima kasih. Saya pamit dulu, kelihatannya mau hujan ini.”

“Yo nduk. Hati-hati. Alon-alon ngepite.”

Nggih, Bhante. Namo buddhaya.”

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

The post Curhat Karo Bhante appeared first on .

Perhelatan The 2nd International Conference Innovation in Religious Education and Buddhism (ICIREB) 2018 Dibuka

$
0
0

Sabtu (10/11) di Le Beringin Hotel, Salatiga, diadakan upacara pembukaan The 2nd International Conference Innovation in Religious Education and Buddhism. Konferensi ini diikuti oleh 5 negara di Asia dan Australia, yaitu: Australia, Myanmar, Thailand, China, dan Indonesia. Acara yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratungga bersama Kementerian Agama RI, dan APTABI (Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia) dan didukung oleh berbagai Universitas Buddhis yang ada di Indonesia ini mengangkat tema, “Building Harmony through Modern Religious Education and Buddhism”.

Konferensi yang berlangsung selama tiga hari (10-12 November 2018) bertujuan untuk menciptakan forum bagi para peneliti, Mahasiswa dan masyarakat untuk membahas tantangan terkini konflik modern dari sudut pandang pendidikan agama formal (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Penganut lain) dan studi Buddhis. Bhante Sulaiman Girivirya, yang merupakan Kaprodi Pascasarjana STIAB Smaratungga, selaku Ketua Pelaksana konferensi ini berharap agar para sarjana dan pelajar di Indonesia dapat belajar dan berbagi di bidang pendidikan keagamaan, dan Buddhis, sesuai dengan sub-tema kali ini untuk membangun harmoni dalam membangun peradaban dunia yang lebih baik.

Sejalan dengan itu, Bhikkhu Ditthisampano selaku Ketua STIAB Smaratungga menyampaikan bahwa, “Kegiatan konferensi ini dapat meningkatkan kinerja para dosen dan menjadi media untuk memperkenalkan penelitian dalam bidang ilmu agama buddha kepada dunia luar, dapat meningkatkan gairah menulis di kalangan dosen agama Buddha khususnya dosen Perguruan Tinggi Agama Buddha (PTAB).”

Supriyadi, selaku Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha pada Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama RI, menandai pembukaan konferensi dengan pemukulan gong. Pemaparan materi konferensi yang pertama di sampaikan oleh dua orang Pembicara: Prof. Dr. H. Nur Syam, M. Si., dengan tema “Pendidikan Agama sebagai metode untuk membangun keharmonisan” dan Dr. Julia Esteve dengan tema “Kuil Buddhis dari kediaman masa penghujan menuju Universitas Terkemuka”.

The post Perhelatan The 2nd International Conference Innovation in Religious Education and Buddhism (ICIREB) 2018 Dibuka appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live