Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Kathina di Vihara Dhammapala Deplongan, Semarang

$
0
0

Vihara Dhammaphala, Deplongan, Kab. Semarang merayakan Kathina Puja pada Senin (5/11), dengan dihadiri oleh Bhikkhu Cattamano, Bhikkhu Sujano, Bhikkhu Piyadhiro, Bhikkhu Kemadhiro, Samanera Kusaladasso, Samanera Saccasilo, dan Atthasilani Metta.

Kurang lebih 500 umat Buddhis Dusun Deplongan, umat dari sekitar Dusun Deplongan, dan umat dari Temanggung juga turut memeriahkan perayaan Kathina Puja ini. Bhikkhu Cattamano berkesempatan menyampaikan pesan Dhamma kepada umat yang hadir.

“Umat yang punya pengertian terhadap Dhamma tidak akan melewatkan kegiatan untuk menanam kebajikan,” tuturnya mengawali ceramah.

“Memang tidak semua umat Buddha memiliki pengertian terhadap Dhamma. Di Anguttara Nikaya, Buddha mengumpakan kita semua umat manusia seperti empat jenis kuda unggulan.”

“Pertama, ketika kusir mengambil cemeti dan bayangannya terlihat oleh sang kuda, kuda langsung berlari. Seperti manusia yang punya pengertian Dhamma. Di jalan sekitar Vihara dipasang bendera, seorang umat Buddha langsung tahu bahwa ada upacara Kathina di Vihara. Hanya dengan melihat simbolnya saja.”

“Kedua, kuda yang harus dicemeti baru mau berjalan. Seperti umat yang sudah tahu di Vihara dipasang bendera Buddhis, dikirim sms, dikirim chat whatsapp kalau ada Kathina, tapi belum tergerak hatinya.”

“Ketiga, kuda yang dicemeti dan dipukul dengan tangkai cemeti baru mau berjalan. Seperti umat yang sudah tahu ada bendera di Vihara, dikirim sms, dan ditelepon, baru datang ke Vihara untuk Kathina.”

“Keempat, kuda yang dicemeti, dipukul, dan ditarik rambut ekornya baru mau berjalan. Seperti umat yang sudah tahu ada bendera di Vihara, dikirim sms, ditelepon, bahkan dikunjungi ke rumahnya baru mau datang Kathina ke vihara.”

Keempat jenis kuda unggulan ini sudah lebih baik. Meski harus diberi perlakuan khusus, ia tetap mau bergerak. Seperti umatnya masih mau datang ke Vihara juga harus diberi perlakuan khusus. Tapi, lebih baik kalau umatnya punya kesadaran untuk dating ke Vihara tanpa perlakuan khusus. Selain empat jenis manusia yang diibaratkan sebagai kuda, manusia juga punya tujuan yang sama.

“Semua manusia, baik perempuan, laki-laki, dari suku mana saja pasti punya tujuan yang sama. Pertama, punya umur panjang. Dengan umur panjang kita bisa menikmati apa yang sudah direncanakan, didinginkan, bisa meningkatkan kualitas untuk berbuat baik.”

“Kedua, menjadi kaya. Siapa yang tidak ingin menjadi kaya? Orang kaya itu enak. Apa saja yang diinginkan bisa diwujudkan. Tetapi, menurut Dhamma, orang yang kaya itu bukan ukuran kaya duniawi, tapi orang yang suka berdana, punya kepedulian, suka bederma, rame ing gawe (banyak bekerja), sepi ing pamrih (sedikit bicara).

“Ketiga, menjadi orang yang terkenal. Kalau Bapak Ibu tidak suka dikenal, orang itu orang yang tidak beres. Setidanya bisa dikenal keluarga dan lingkungan. Lebih mulia lagi kalau mengenal diri sendiri. “

“Keempat, setelah meninggal terlahir di alam surga, di alam bahagia. Setidaknya empat hal itu yang dicita-citakan umat manusia melalui berdana. Lebih baik lagi bila berdana disertai saddha (keyakinan), penuh rasa hormat kepada Bhikkhu Sangha.”

“Selain itu, kita juga harus mengembangkan cinta kasih tidak saat vihara saja, tetapi setelah baca paritta Anda semua bermeditasi supaya berkah semakin banyak. Berkah bukan hanya menunggu diberi, tapi diwujudkan dengan kebajikn. Semoga Kahtina kali ini menjadi berkah, paramitta, dan mengayomi Anda semua.” Pungkas Bhikkhu Cattamano mengakhiri pesan Dhammanya.

The post Kathina di Vihara Dhammapala Deplongan, Semarang appeared first on .


Andrie Wongso Exclusive Talkshow

$
0
0

Discover The Diamond in You

Sabtu, 24 November 2018
18.00-21.00 WIB

Graha BDC
Raya Panjang Jiwo Permai 22 Surabaya, Lantai 3

Tiket:
Platinum (donasi 500k)
Gold (donasi 100k)

CP
Lidia 0813 7840 4828
Suwandi 0852 9770 0670

The post Andrie Wongso Exclusive Talkshow appeared first on .

Apakah yang Dilakukan Umat Buddha Sudah Cukup Memadai?

$
0
0

Pada tanggal 29 September 2012, para penganut keyakinan yang fanatik telah menghancurkan 12 pagoda dan lebih dari 50 rumah di Ramu, Cox’s Bazar, di tenggara Bangladesh. Kekerasan tersebut dipicu oleh rumor bahwa seorang pemuda Buddhis telah melecehkan Quran yang suci di Facebook. Dikutip dari Dailystar.net.

Kita tinggal di dunia yang tak terbayangkan oleh kakek nenek kita – sebuah dunia yang jauh lebih terintegrasi serta saling berbagi, sebagai hasil dari perkembangan dan kemajuan teknologi modern yang membawa banyak harapan serta kemungkinan yang luar biasa. Tetapi juga sekaligus sebuah dunia yang dihadapkan pada berbagai kontradiksi yang mencemari serta menghancurkan janji-janji serta harapan yang sama.

Berbagai kekuatan yang saling bertentangan menarik kita ke arah keselarasan seraya secara simultan dan kasar mendorong kita untuk tercerai-berai dalam jalan yang intoleran serta penuh kekerasan.

Kemaslahatan masyarakat modern menggarisbawahi, yang tak pernah terjadi sebelumnya, kepedulian kita untuk hidup serta berpartisipasi dalam sebuah dunia yang saling terhubung dan berbagi, dalam berbagai tingkatan internasional, nasional, regional, lokal, serta individual.

Kita tidak lagi dapat mengisolasi diri ataupun mengabaikan perbedaan antara kita dengan ”yang lain.” Kecuali jika kita hidup dalam masyarakat yang homogen dan terisolasi, karena, jika tidak demikian adanya, maka kita harus berhadapan dengan aneka perbedaan dan keragaman di sekitar kita.

Pembantaian kaum Protestan Perancis pada hari Santo Bartholomeus pada tahun 1572, oleh Francois Dubois. Diambil dari Wikimedia.org.

Kita berkutat dan direbus dalam tungku ketidakmengertian, delusi, serta kebencian, ditaklukkan atau bergumul dengan penuh kesia-siaan berjuang mencari jalan keluar dari belenggu jerat ini. Sebagaimana tertera dalam Visuddhimagga, “Kekusutan dalam dan kekusutan luar – generasi ini telah terperangkap. Siapa gerangan yang berhasil menguraikan kekusutan ini?” Sebuah dialog yang tulus dan penuh keterbukaan antar kalangan akan dapat menjadi sebuah langkah yang moderat terkait dengan upaya “menguraikan (kekusutan)” ini.

Sejak masa yang tak lagi dapat diingat, kita telah terjangkit wabah berupa prasangka dan kesalahpahaman agama, kebencian, serta kekekerasan yang ditujukan demi membela “kebenaran” dari agama “ku”, serta kebutuhan agar setiap orang mengikuti sistem kepercayaan yang sama. Tak ada satu agama pun yang kebal terhadap virus ini, yang muncul dari kemelekatan kita yang keras kepala, terhadap berbagai ilusi yang disebabkan oleh ketidaktahuan, delusi, dan kebencian.

Pengungsi kanak-kanak suku Rohingya, nyaris putus asa mengharapkan bantuan, menangis saat ia memanjat sebuah truk yang mendistribusikan bantuan bagi sebuah organisasi non pemerintah setempat, dekat kamp pengungsi Balukali di Bangladesh pada tanggal 20 September 2017. Diambil dari huffingtonpost.com.

Sebuah dialog lintas keyakinan bukan sebuah obat yang mujarab bagi semua masalah, tetapi bisa menjadi sebuah langkah penting dalam mengurangi kekerasan serta tekanan antaragama, seraya memungkinkan setiap pihak untuk saling menerima, memahami, serta bersuka cita dalam keragaman beragama. Tujuannya, adalah untuk bangkit melampaui penghargaan dan pemahaman bersama yang dangkal/bersifat hanya kulit luar saja, dalam rangka mengembangkan empati sejati terhadap agama lain.

Dalam pertemuan lintas agama, para partisipan dari berbagai tradisi religius hidup bersama, menjadi lebih dapat menghargai tentang betapa kaya dan tulusnya kehidupan spiritual dari yang lain, tanpa stereotip/penggambaran yang negatif.

Dialog lintas agama mencakup spektrum yang luas tentang berbagai penerapan, mulai dari ranah diskusi atau percakapan sederhana antar individu dari berbagai keyakinan, hingga pendekatan yang lebih akademis melalui studi komparatif.

“Dialog lintas agama merupakan hal yang tak terelakkan, karena tanpa perdamaian antarkomunitas religius, kedamaian di dunia adalah hal yang mustahil. Melalui dialog, pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tradisi-tradisi yang lain akan dapat ditumbuhkembangkan; kebencian dan intoleransi akan dapat dikurangi.” (Ven. Hin Hung, penasihat senior pada Pusat Studi Buddhis Universitas Hongkong (Centre of Buddhist Studies, The University of Hong Kong). Buddhistdoor.net.

The post Apakah yang Dilakukan Umat Buddha Sudah Cukup Memadai? appeared first on .

Catatan Para Musafir tentang Nusantara Dibahas di Gelaran BWCF 2018

$
0
0

Penasehat BWCF, Prof Dr Toety Heraty, menyambut dengan senang sekali acara Borobudur Writers and Cultural Festival 2018. Supaya BWCF dapat mengimbangi Ubud Writers Festival. Hal itu dia sampaikan saat rilis BWCF 2018 di Galeri Cemara Jakarta, Selasa (13/11) petang.

Dia menambahkan, meski BWCF lebih bersifat kebudayaan atau culture, sedangkan Ubud Writers Festival lebih ke dunia susastra, “Tapi hanya masalah waktu BWCF akan semakin berkibar,” kata Toety Herawaty.

Seno Joko Suyono, founder BWCF mengatakan, banyak catatan harian dari para musafir besar dunia yang mendatangi nusantara pada sebuah masa. “Untuk itu kita mengundang 25 narasumber yang akan membahas perjalanan para pelawat dunia yang pernah mampir ke Nusantara. Kita berharap, forum ini menjadi unik. Karena membahas kisah para pelawat besar itu ke Nusantara,” katanya.

Seno, yang juga berposisi sebagai panitia 7th BWCF 2018 menambahkan, pihaknya juga akan mengundang sembilan koreografer papan atas Indonesia, untuk merespon kisah perjalanan para pelawat dari berbagai penjuru dunia itu ke Indonesia. “Setelah dari pagi sampai sore serius, malam harinya kita nonton pertunjukan,” katanya, sembari menyebut nama Eri Mefri, Bimo Wiwohatmo, Melati Suryodarmo & Katsura Kan, Cok Sawitri, Toni Broer & Katia Engel, Yusril Katil, Djarot B Darsono, Miroto dan Anwari.

Program lain BWCF adalah Restropreksi film-film Nurman Hakim bertema Islam dan toleransi. Selain program kerja sama dengan Kemendikbud, yang dalam empat tahun terakhir mengirim sejumlah sastrawan melakukan residensi ke berbagai negara. Untuk kemudian akan melakukan sharing kepada publik.

Romo Mudji Sutrisno mengatakan, setiap individu adalah pelawat atau peziarah dalam frekuensinya masing-masing. “Puisi (Rabindranath) Tagore tentang kematian, berjudul Pantai Kematian, mengatakan bahwa kematian seperti gugurnya bunga-bunga di musim gugur. Ini puisi indah sekali. Dan puisi ini lahir dari seorang pelawat ulung. Karena Tagore ternyata pernah mampir atau berziarah ke Jawa dan Bali,” katanya, merujuk pada penyair besar India itu, yang berkarib dengan Mangkunegoro ke VII.

Hal senada dikatakan Nurman Hakim. Dia mengatakan, kalau pun setiap invidu bukan pelawat atau peziarah, dia tetaplah bagian dari jejak peziarahan. “Islam di Indonesia adalah hasil dari peziarahan itu, yang kemudian terjadi akulturasi dengan kebudayaan setempat,” katanya.

Salim Lee, Ahli Buddhis, Peneliti relief Borobudur mengatakan, meski ada ribuan makalah tentang Borobudur. Baru sekarang terungkap ada cerita yang lengkap tentang Borobudur, “Yang akan saya kisahkan dalam BWCF, nanti,” katanya.

Baca juga: Borobudur Writers and Cultural Festival 2016 Usung Tema tentang Serat Centhini

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2018 akan digelar mulai tanggal 22-25 November di Hotel Grand Inna (Garuda) Malioboro Yogyakarta dan kawasan Hotel Manohara Borobudur, Magelang.

Tema BWCF tahun ini adalah “Traveling & Diary, Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara”. Dari Yi Jing, Ibnu Batuta sampai Wallace.

Selama empat hari akan banyak datang para sejarawan dan penulis berkelas. Mulai dari Prof Taufik Abdulah, Dr Henri Chambert Loir sampai Ulil Absar Abdala membahas catatan harian para peziarah dan pengembara seperti I Tsing, Ibnu Batuta, Rabindranath Tagore VS Naipaul dan bebrapa nama penting lainnya.

Juga selama dua malam akan diselenggarakan pentas tari & teater di area terbuka (outdoor) dengan kuratorial bertema: Migrasi.

Imam Muhtahrom, pendiri dan kurator BWCF, menjelaskan, BWCF 2018 juga akan mengundang empat penyair. Dua dari Indonesia, yaitu Arif Bagus Prasetyo, dan Taufik Ikram Jamil, serta penyair Singapura yaitu Shivram Gopinath dan penyair Malaysia, Zahid M. Naser .

Acara Pembukaan akan diawali Pidato Kebudayaan seorang ahli Budhis Dr Hudaja Kandahjaya dari Numata Centre for Buddhist Research America. Mengenai Bagan Perjalanan Spiritual Tiga Dimensi Borobudur pada tanggal 22 November sore di Hotel Grand Inna (Garuda) Malioboro, Yogyakarta.

Seno Joko Suyono menambahkan, BWCF 2018 tidak akan memberikan rekomendasi kepada pihak terkait atau pemerintah, atas catatan-catatan penting yang akan ditemukan dalam gelaran BWCF 2018.

Atau dalam bahasa Romo Mudji Sutrisno, BWCF hanya akan membaca ulang kejadian pada masa lalu, dengan kebijaksaan baru. “Atau memaknai kembali teks-teks itu dengan kebijaksaan baru. Karena tanpa mengenal jati diri masa lalu, kita tidak akan mampu menapaki masa kini,” katanya.

Oleh karena itu, BWCF 2018 menurut dia akan menjadi acara yang fun, asyik, dan sekaligus berisi. Karena nilai-nilai Keindonesiaan akan sangat terasa di acara tahunan ini. Menepikan persoalan politik masa kini, yang memisahkan dangan buram, mana kawan, siapa lawan. (Suaramerdeka.com)

The post Catatan Para Musafir tentang Nusantara Dibahas di Gelaran BWCF 2018 appeared first on .

Bhante Sujato Berkunjung ke Dua Vihara Desa

$
0
0

Mendengar umat Buddha Indonesia yang berada di daerah pegunungan, membawa ketertarikan sendiri bagi Bhante Sujato. Saat kedatangannya ke Indonesia dalam acara Pelatihan Nasional Abdi Desa IX Ehipassiko, Kamis – Minggu (1 – 4/11) di Laras Asri Resort, Salatiga, bhikkhu yang telah mejalankan 24 vassa ini mempunyai permintaan khusus, yaitu berkunjung dan melihat umat Buddha di perdesaan Indonesia.

Bhikkhu Sujato lahir di Perth, 4 November 1966 dengan nama kecil Anthony Best. Sebelum menjadi seorang samana, Anthony Best adalah musisi band rock Martha’s Vineyard yang albumnya mencapai peringkat 77 di tangga lagu Australia. Pada tahun 1994 ia meninggalkan karier musiknya untuk mengambil penahbisan di Thailand dalam silsilah bhikkhu hutan Ajahn Chah.

Ia tinggal beberapa tahun di pertapaan terpencil di Thailand, tiga tahun di Bodhinyana Perth sebagai sekretaris Ajahn Brahm, lalu mendirikan Wihara Santi Forest di New South Wales pada tahun 2003-2012. Ia menggabungkan kecintaannya pada meditasi dengan ajaran Buddha mula. Sejak 2001, ia menerbitkan banyak buku dari sudut pandang perbandingan dan sejarah Buddhis. Ia juga menerjemahkan Tipitaka dan mendirikan megaproyek Sutta Central untuk melestarikan Tipitaka dalam puluhan bahasa secara online.

Baca juga: Bhante Sujato: Meditasi dan Kesadaran Lingkungan

Minggu (4/11) usai Pelatnas Abdi Desa, Bhante Sujato bersama beberapa Abdi Desa mengunjungi 2 vihara di Perdesan. Vihara Viriya Dhamma Loka, Wates, Sumogawe, Getasan, Semarang dan Vihara Sarana Bhakti, Tuntang. Di kedua vihara ini bhante melakukan pujabhakti dan memberi wejangan Dharma kepada umat Buddha setempat.

“Saya sangat senang berada di sini, melihat Bapak/Ibu yang masih melakukan praktik Dharma. Saya sudah melakukan perjalanan kebanyak negara dan di sana saya juga melihat banyak orang yang melakukan praktik Dharma,” tutur bhante dihadapan para umat Buddha.

Menurut bhante, dengan belajar Dharma, praktik Dharma dan berbagi Dharma dapat membuat bisa membuat orang bahagia. “Satu hal yang menakjubkan kalau kita berlatih Dharma dan berbagi Dharma, jalan hidup kita itu akan menjadi mulus. Karena Buddha sendiri ingin kita semua itu hidupnya bahagia. Sebab yang namanya hidup itu tak akan lepas dari penderitaan dan sangat sulit untuk lepas dari penderitaan,” terang bhante.

“Saya mau tanya, di sini masyarakat kebanyakan bekerja apa?” tanya bhante. “Petani Bhante,” para hadirin. Mendengar jawaban itu, Bhante Sujato tampak senang dan mengucapkan terima kasih kepada umat Buddha yang menjadi petani.”

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para petani. Karena tadi pagi saya makan dan makanan itu sudah pasti dari petani. Karena Bapak/Ibu, makanan itu jadi sangat enak. Satu hal yang dikatakan Buddha tentang jalan spiritual ini, kita dianjurkan untuk berpenghidupan benar atau bermata pencaharian benar. Jadi yang namanya petani, memproduksi pangan, ini adalah penghidupan benar atau mata pencaharian benar.

“Petani adalah orang yang berjasa untuk membuat manusia bertahan hidup. Jadi ini adalah satu hal yang bagus sekali, karena dalam jalan mulia berunsur delapan itu Bapak/Ibu sudah mendapat satu. Yaitu bermata pencaharian benar, itu sudah benar. Seperti yang tadi saya katakan, kalau melakukan praktik Dharma itu semuanya jadi mudah, jadi gampang. Karena Dharma itu menunjukkan jalan yang pantas untuk dilakukan, jadi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita ada panduan untuk berbuat sesuatu, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari,” pungkas bhante.

Tak hanya memberikan ceramah Dharma, bhante juga memberikan pemberkatan kepada sepasang pengantin yang baru melakukan perkawinan di vihara ini.

The post Bhante Sujato Berkunjung ke Dua Vihara Desa appeared first on .

Spirit Baru STAB Nalanda

$
0
0

Minggu (11/11) Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda menggelar Kathina Dana. Acara ini dilaksanakan di Cetiya Nalanda, Gedung Ramayana dan dihadiri oleh Mahasiswa, Alumni Nalanda serta umat Buddha dari sekitar Jakarta.

Dua bhikkhu Sangha; Bhante Cittajayo dan Bhikkhu Ratanajayo hadir mewakili Sangha untuk menerima dana umat. Sebelum melakukan persembahan dana kepada bhikkhu Sangha, mahasiswa dan umat Buddha yang hadir membacakan parita-parita suci yang dipimpin oleh Romo Seno Halim.

Kampus biasanya hanya digunakan sebagai kegiatan akademik; tempat aktivitas perkuliahan dengan segala dinamikanya. Ini berbeda dengan STAB Nalanda yang saat ini juga fokus dalam pengembangan spiritual. Spirit wajah baru Nalanda ini setidaknya terlihat dari penyelenggaraan Kathina Dana Cetiya Nalanda yang terlihat rapi dan terorganisir dengan baik.

“Kalau mau maju Nalanda harus berubah, berani menciptakan sistem baru yang salah satu tujuannya adalah membangun karakter mahasiswa, selayaknya mahasiswa Buddhis,” tutur Susyanto.

Tak hanya penyelenggaraan hari besar agama Buddha, cetiya kampus ini juga aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti one day mindfulness, pujabhakti rutin, fang sen (pelepasan satwa) dan diskusi-diskusi Dharma.

“Mahasiswa yang tinggal di asrama kampus rata-rata dari desa, mereka datang ke Nalanda dengan beasiswa penuh, mereka harus belajar dengan sungguh-sungguh dan yang terpenting adalah pembangunan karakter sesuai Buddhadharma. Jadi mereka harus mengikuti sistem yang kami buat, termasuk mengikuti kegiatan-kegiatan di cetiya kampus,” jelas Manager Operational Nalanda Foundation ini kepada BuddhaZine.

Pesan Dharma

Bhikkhu Ratanajayo menjelaskan, “Mengenai Kathina, ada satu Sutta dari sabda Buddha yaitu Nindhikandha Sutta yang sangat sesuai apabila dibahas dalam perayaan Kathina ini.

“Di dalam Sutta, disebutkan bagaimana cara orang-orang pada waktu itu menyimpan harta kekayaan supaya tidak hilang atau dicuri orang. Ada yang menyimpan di dalam sumur, ada yang ditimbun dalam tanah karena pada zaman dulu belum ada bank. Tetapi cara menyimpan yang demikian juga memiliki resiko hilang dengan berbagai cara, bisa saja lupa letak penyimpanannya, bisa juga para pencari harta karun menggali dan mengambilnya, mungkin bencana alam misalnya gempa menggesernya sehingga berpindah letak, dan sebab lain yang mengakibatkan harta tersebut tidak aman.

“Kemudian Buddha menyampaikan bahwa ada harta karun lain yang lebih aman disimpan. Tidak bisa dicuri, tidak bisa dirampok. Harta itu adalah harta karun berupa kebajikan. Harta karun kebajikan ini akan selalu mengikuti pengikutnya, tidak bisa dicuri maupun dirampok. Lalu bagaimana cara kita menimbun harta berupa kebajikan?

“Dalam Nindhikandha Sutta bait keenam disabdakan ada beberapa cara, di antaranya berdana, bertata susila atau memiliki moralitas, juga dengan mencegah diri dari perbuatan buruk. Ini adalah cara menimbun harta kekayaan yang baik. Selain itu juga kebajikan yang dilakukan kepada cetiya, kepada Sangha, kepada Bapak/Ibu, kepada sanak saudara, atau kepada orang lain ini juga merupakan harta karun yang lebih baik dan lebih aman disimpan.

“Jadi kalau kita mencermati Sutta tersebut, sebenarnya banyak sekali kesempatan untuk menimbun harta karun berupa kebajikan itu. Begitu juga dengan berdana, berdana bisa berupa materi ataupun non materi seperti perhatian, nasihat dan lainnya. Itu bisa dilakukan kepada siapa saja, berdana tidak harus selalu kepada para bhikkhu.

Baca juga: Pendidikan Keagamaan Buddha Tidak Lebih Menarik Dari Perayaan Kathina Puja

“Umat Buddha mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat kebajikan, apalagi saat masa Kathina lebih banyak kesempatan untuk berdana kepada para bhikkhu Sangha. Akan tetapi berbuat baik jangan hanya ketika masa Kathina, tetaplah berbuat baik kapan pun. Di dalam Sutta disabdakan bahwa kebajikan yang terkumpul akan mengabulkan segala keinginan Dewa dan manusia,” jelas Bhante.

Seusai Dhammadesana, para umat melakukan persembahan dana kepada bhikkhu Sangha. Proses persembahan dana dilakukan dengan tetap menjaga ketenangan dan nampak para umat mengantri satu per satu untuk mempersembahkan dana.

Selesainya persembahan dana, acara dilanjutkan dengan pemercikan tirta suci dan disambung dengan pembacaan paritta Etavattha. Sekitar pukul 21.00 WIB, para umat membacakan namaskara sebagai penutup acara Kathina puja di STAB Nalanda Jakarta.

The post Spirit Baru STAB Nalanda appeared first on .

Dialog Lintas Agama Sebuah Ancaman Keimanan?

$
0
0

Ven. Dr. Dhammadina (Italia), profesor departemen pendidikan Buddhis dari Institut Seni Modern Dharma Drum (The Buddhist Studies Department of The Dharma Drum Institute of Liberal Arts) di Taiwan, sekaligus direktur kelompok riset agama bersama Suster Maria Jose Perez, biarawati Ordo Karmel yang Bertelanjang Kaki (Discalced Carmelite) dari Biara Puzol (Valencia), saat menghadiri Konferensi Dunia Menghadapi Mistisism Teresian dan Dialog Antaragama yang pertama (First World Encounter Teresian Mysticism and Inter-religious Dialogue Conference) di Avila, Spanyol, 27 – 30 Juli 2017.

Dialog lintas agama, tak diragukan lagi, bukannya tanpa kesulitan, dan jika tidak ditangani dengan sangat hati-hati, bisa menjadi sangat bermasalah; keyakinan beragama merupakan sumber dari identitas pribadi, dan dialog antaragama dapat dirasakan sebagai sebuah ancaman atau dipandang sebagai sebuah metode untuk merubah keyakinan atau pelecehan sehingga dapat memicu respon mempertahankan diri serta perasaan gelisah atau tidak bersahabat (hingga kasar), kecuali, para partner yang berdialog dapat merasakan bahwa dalam pertemuan tersebut mereka merupakan partner yang setara tanpa agenda tersembunyi apa pun. Bagaimanapun juga, manfaat yang mungkin diperoleh, jauh lebih besar melampaui kemungkinan resiko yang bisa terjadi.

Secara khusus, pertemuan lintas agama, memiliki potensi yang luar biasa, karena adanya kemungkinan tranformasional pada para partisipan. Ini merupakan kesempatan langka untuk melampaui stereotip/penggambaran negatif, sehingga dapat tercapai keterbukaan dan empati, sebuah antidote/obat penawar mujarab bagi perilaku superioritas religius (merasa agamanya sendiri yang paling superior dan satu-satunya). Melalui pertemuan-pertemuan ini, kita menemukan sensitivitas spiritual dari yang lain. Membuat pernyataan secara positif dan berakar kuat dalam identitas religius kita, bukanlah berarti bahwa kita harus bersikap narsisis tentang keyakinan kita, dan berasumsi bahwa agama-agama lain hanyalah produk yang kurang berhasil dari sistem. Selalu terdapat banyak hal untuk dipelajari lintas tradisi keagamaan.

Ruang dialog

Sebagaimana pada masa lalu, umat Buddhis dewasa ini, telah menjadi sangat aktif ambil bagian dalam dialog-dialog lintas agama, meskipun mereka sepertinya kurang suka memprakarsai atau mengorganisir pertemuan-pertemuan semacam ini. Kebanyakan dialog lintas agama, dalam catatan sejarah, diprakarsai oleh umat Kristiani dari berbagai kalangan atau institusi. Peran yang diambil umat Buddhis dalam pertemuan-pertemuan semacam ini cenderung lebih pasif dan bukannya aktif, bersedia untuk hadir saat diundang, tetapi nampaknya enggan menjadi pihak yang aktif dalam mengorganisir kegiatan-kegiatan semacam ini. Hal ini mungkin dikarenakan adanya keterbatasan dalam hal “teologi agama” formal dalam sekolah dan universitas-universitas Buddhis, atau mungkin pula dikarenakan upaya mengembangkan pemahaman terhadap agama-agama lain (dengan agama Hindu sebagai perkecualian).  Bagaimanapun, penelitian tentang hal ini sungguh langka dan tidak memadai.

Keterbatasan dalam hal inisiatif atau kepedulian terhadap sistem kepercayaan yang lain, pastilah bukan merupakan cerminan perilaku dari Buddha sendiri. Buddha menerima dan menghargai keragaman religius serta kebebasan beragama, seraya tetap bersikap kritis. Jika kebanyakan dari kita hanya mengenal satu agama, maka sebaliknya, Buddha sangat terpelajar dan menguasai banyak aliran pemikiran pada masa-Nya. Beliau terlibat dalam berbagai diskusi persahabatan dengan kaum di luar Buddhis, senantiasa santun serta penuh penghargaan, dan yang terpenting, seringkali mengawali percakapan.

Beliau mengingatkan umat untuk tidak meninggalkan tradisi atau guru-guru mereka setelah berbincang-bincang dengan Beliau. Peraturan/kebiasaan Beliau yaitu mendiskusikan topik-topik permasalahan yang lazim serta mengenyampingkan topik-topik kontroversial yang cenderung panas yang mana kesepahaman tak akan dapat dicapai.

Umat Buddhis dewasa ini nampaknya telah melupakan pendekatan Buddha terhadap non Buddhis dalam hal perbincangan religius. Mengapa? Barangkali, mereka telah melupakan bahwasanya agama Buddha bukannya eksis dalam kevakuman, ada banyak hal yang dapat dipelajari agama Buddha dari agama-agama lain, dan demikian pula sebaliknya. Seharusnya terdapat suatu interaksi dengan keyakinan-keyakinan yang lain, demi kemaslahatan semua orang. Kebahagiaan semua makhluk hidup adalah yang terutama, dan inilah sebabnya, mengapa dialog, penerimaan, pemahaman, dan transformasi, sangat krusial/penting dan mendasar.

Umat Buddhis harus meluaskan wawasan mereka tentang dialog lintas agama. Ini merupakan satu-satunya pilihan jika kita setulus hati peduli tentang kekerasan, dan ingin berkarya dalam menciptakan pemahaman serta perdamaian.

Organisasi-organisasi Buddhis harus menjadi lebih pro-aktif dalam mempromosikan pertemuan-pertemuan lintas agama. Institut-institut pembelajaran Buddhis selayaknya menyediakan perangkat-perangkat yang dibutuhkan demi kompetensi lintas agama. Pengetahuan yang memadai tentang berbagai keyakinan yang lain di samping tentang agama Buddha sendiri, sungguh mendasar bagi literasi/penjelasan secara tertulis tentang hal-hal lintas agama. Dan sekolah-sekolah serta universitas-universitas Buddhis seharusnya melatih pelajar dan pendidik tentang bagaimana menumbuhkembangkan disposisi serta perilaku yang benar terhadap agama-agama lain serta memfasilitasi pertemuan-pertemuan keagamaan.

Pembahasan tentang “teologi dari agama-agama” serta “teologi komparatif/perbandingan” sudah sepatutnya menjadi bagian kurikulum mereka. Banyak sekali yang dapat dipelajari dari studi-studi yang berdasarkan sudut pandang perbandingan, tidak hanya tentang agama lain belaka, tetapi juga tentang diri kita sendiri. Semua ini sangat penting dan mendasar pada saat kita bersiap menghadapi tantangan dialog lintas agama seraya terus berkarya dengan kesadaran perdamaian demi masa depan. (Buddhistdoor.net)

The post Dialog Lintas Agama Sebuah Ancaman Keimanan? appeared first on .

Kathina dan Kewirausahaan Sosial: Upaya Kemandirian Umat

$
0
0

Di setiap penghujung masa vassa, seluruh umat Buddha berduyun memberi persembahan kepada Sangha. Mereka memberikan empat kebutuhan pokok bhikkhu yaitu makanan, jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Persembahan ini juga untuk kembali mengingatkan akan hubungan kausalitas antara umat dan Sangha.

Keberadaan bhikkhu memang harus ditopang umat agar Buddhadhamma terus lestari, sementara umat juga terus membutuhkan bimbingan sangha dalam hidup sehari-hari. Selain Waisak, rasanya Kathina yang dirayakan lebih meriah dibandingkan Asadha dan Magha Puja.

Di kalangan umat Buddha terutama tradisi Theravada, hari Kathina dirayakan pada bulan Oktober dan November. Dana Kathina diyakini memiliki nilai spiritual lebih tinggi daripada dana yang diberikan kepada Sangha di hari-hari biasa, karena dalam dana Kathina, persembahan diberikan kepada bhikkhu yang telah berlatih membina diri secara intensif. Memberikan dana kepada mereka yang telah membina diri dalam kemoralan yang tinggi, tentu memiliki pahala yang tinggi pula.

Seiring perkembangan waktu, dana Kathina yang diterima Sangha tidak hanya berbentuk jubah dan keperluan bhikkhu Sangha. Terlebih jumlahnya juga melebihi kebutuhan. Maka tidak jarang barang-barang hasil dana Kathina disalurkan juga ke beberapa daerah yang membutuhkan, terutama daerah bencana. Seperti yang dilakukan panitia Kathina KMB Se-Jabodetabek yang menyalurkan dananya ke beberapa vihara di Lombok tahun 2000 silam. Juga kegiatan-kegiatan sosial lainnya, seperti bakti sosial juga bantuan ke daerah-daerah yang tertimpa gempa dan tsunami, seperti Lombok dan Palu beberapa waktu lalu.

Apa yang sudah dilakukan selama ini sama sekali tidak ada yang keliru. Namun kondisi ekonomi sosial umat di desa-desa juga membutuhkan penanganan yang serius. Tak sekadar memberi bantuan semata, tetapi lebih bagaimana mengupayakan mereka untuk mandiri dan berdikari. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Nagarjuna 2016 lalu, bahwa potensi ekonomi desa Buddhis begitu banyak. Seperti yang terlihat di Desa Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah yang menjadi lokasi penelitian yayasan yang didirikan beberapa mantan pengurus HIKMAHBUDHI ini.

Potensi ekonomi yang dapat dikembangkan di Kaloran antara lain di sektor pertanian dan perkebunan adalah tanaman jagung, cabe, jahe, sayur mayur, kopi alpukat, manggis, nangka dan padi di areal tertentu. Sengon dan jabon juga memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah Kaloran, namun dengan catatan pola tanam dan panen yang memperhatikan kondisi lahan yang pada umumnya memiliki tingkat kemiringan yang tinggi. Potensi yang belum tergarap maksimal juga terdapat di Banjarnegara. Sebagai sentra penghasil salak, karena harga yang fluktuatif sering kali salak dibiarkan membusuk di pohon karena harga produksi dengan harga jual tidak sebanding.


PP Wandani, pendampingan dan pemberdayaan pembuatan gula semut di Temanggung. Foto: Ngasiran

Kewirausahaan sosial

Langkah kecil sudah diinisiasi PP Wandani yang melakukan pendampingan dan pemberdayaan pembuatan gula semut di Dusun Cendono, Temanggung, Jawa Tengah. Langkah kecil ini tentu perlu dipikul juga kelompok-kelompok lain untuk bisa saling bersinergi membantu kemandirian umat melalui kegiatan kewirausahaan sosial atau social enterpreneurship (SE). Inti dari kegiatan SE adalah menyelesaikan masalah sosial dengan pendekatan bisnis. Artinya selain turut menyelesaikan masalah, namun juga dalam waktu bersamaan bisa memberi dampak positif bukan hanya untuk masyarakat namun juga pelakunya.

Seperti yang dikatakan Dondi Hananto, founder Kinara Indonesia dan partner Patamar Capital, meski bergerak sebagai sebuah bisnis sosial, social enterprise  tetap mencari pendapatan sendiri, tidak mengandalkan sekadar dari donasi saja. Tentunya secara implisit di sini jelas bahwa karena tujuan bisnis itu untuk menyelesaikan masalah, seharusnya mereka tidak membuat masalah baru. Ibaratnya jangan sampai menyelesaikan masalah kelaparan di satu tempat tapi kemudian malah menimbulkan kondisi kelaparan di tempat lain. SE sebagaimana disampaikan John Elkington tahun 1988 mengusung konsep Triple Bottom Line (TBL), yaitu People, Planet, dan Profit.

(1) People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang mendukung kepentingan tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini melindungi kepentingan tenaga kerja dengan menentang adanya eksplorasi yang mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang wajar, lingkungan kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi. Bukan hanya itu, konsep ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi tenaga kerja. Kewirausahaan sosial melibatkan banyak orang, dalam hal ini umat, terutama di desa-desa yang memerlukan pendampingan. Pelibatan orang banyak juga memungkinkan terjadinya jalinan silaturahmi di antara mereka.

(2) Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah produksi dan mengolah kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi emisi CO2 ataupun pemakaian energi, merupakan praktik yang banyak dilakukan oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep ini. Bisnis sosial selalu bersahabat dengan alam. Tidak ada satu pun bisnis sosial yang justru merusak lingkungan.

(3) Profit; Karena basisnya adalah sebuah bisnis, tentu keuntungan menjadi sarana untuk menunjang kegiatannya agar terus berkelanjutan. Namun profit disini lebih diartikan untuk penciptaan fair trade dan ethical trade. Kegiatan bisnis dalam SE juga harus terus berkelanjutan. Karena fokusnya tidak hanya soal profit semata tetapi keberlangsungan sebuah program ini terus berjalan agar dampaknya juga terus dirasakan masyarakat. Seperti yang tercantum dalam buku “Berani Jadi Wirausaha Sosial? Membangun Solusi atas Permasalahan Sosial secara Mandiri dan Berkelanjutan” yang diprakarsai DBS Foundation dan UKM Center FEB UI, dikatakan bahwa yang membedakan social enterprise dengan organisasi biasa adalah adanya misi sosial, pemberdayaan, pengamalam prinsip bisnis yang etis, dan monitoring dampak sosial. Sementara prinsip bisnis model ini adalah ethical, responsible, accountable, dan transparent (ERAT).

Mandiri dan berdikari

Dalam obrolan di warung kopi seorang kawan berseloroh bagaimana mengajak umat untuk meditasi sementara perut mereka belum terisi. Mungkin ini bisa mencerminkan kondisi umat kita saat ini. Untuk itu gagasan membuat sebuah bisnis sosial bisa menjadi alternatif solusi. Tidak perlu besar, tapi mulai saja dari yang kecil. Dan tentu saja untuk kegiatan awal dari kegiatan bisnis sosial dibutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. Terlebih kegiatan ini berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sebentar karena membutuhkan keberlanjutan (sustainability). Saya bermimpi jika saja dana Kathina bisa sedikit dialokasikan ke dalam bisnis sosial ini, bukan saja menggulirkan roda ekonomi umat, namun juga bisa turut memperkokoh fondasi hidup bersama. Skema pemberian dananya adalah pinjaman tanpa bunga, bukan hibah.

Tentu dengan pengawasan dan pendampingan yang ketat. Dan karena pinjaman, tentu ada kewajiban untuk mengembalikan. Mengapa pinjaman? Supaya ada dorongan yang kuat untuk menyukseskan bisnis sosial yang dibangun. Dengan demikian dana cicilan ini bisa digulirkan ke tempat-tempat lain yang membutuhkan. Demikian seterusnya, sehingga ini bisa menjadi efek bola salju yang terus menggelinding demi kesejahteraan umat.

Saya juga bermimpi suatu hari kantong-kantong umat bisa memiliki sentra bisnis sosial dengan ragam produk unggulan. Sehingga ekonomi desa juga berkembang, dan anak muda tak lagi harus ke kota untuk mencari pekerjaan, karena di desa ada banyak peluang tergarap dengan dukungan kita semua, sebab masa depan ada di desa. Seperti yang sudah banyak kita dengar, bukankah lebih baik memberi kail daripada terus memberi ikan?

The post Kathina dan Kewirausahaan Sosial: Upaya Kemandirian Umat appeared first on .


Semarak Menuju 40 Tahun Nalanda

$
0
0

Salah satu persoalan mendasar umat Buddha di era 1970’an adalah kurangnya guru agama Buddha dan Dhammaduta. Umat Buddha yang saat itu baru mulai tumbuh dan berkembang di pelbagai pelosok tanah air hanya belajar membaca paritta dan ajaran Buddha dari buku-buku yang sangat terbatas.

Melihat kondisi itu, pada tahun 1976 beberapa umat Buddha di Jakarta mendirikan Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda. Yayasan yang didirikan didirikan oleh dr. Ratna Surya Widya, Soeparto dan Elly Tan Ek Tek ini kemudian menyelenggarakan Akademi Buddhis Nalanda (ABN). Secara yuridis ABN berdiri sejak 20 Januari 1978, namun baru pada tanggal 1 Agustus 1979 secara resmi memulai aktifitas perkuliahan.

Dengan adanya ABN yang pada tahun 1987 berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda menjadi harapan baru bagi perkembangan Pendidikan agama Buddha di Indonesia. Umat Buddha dari berbagai daerah mulai mempelajari agama Buddha secara mendalam di kampus Buddhis satu-satunya pada masa itu. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah lahirnya sarjana agama Buddha yang kemudian menyebar ke seluruh tanah air.

Menuju 40 tahun

Setelah melalui perjalanan panjang, pada tahun 2019 Nalanda akan memasuki usia ke 40 tahun. Usia yang sudah cukup matang bagi sebuah kampus Buddhis di Indonesia. Bila dilihat dari hasil lulusanya, Nalanda telah meluluskan lebih dari 400 sarjana Buddhis. Mereka adalah penjaga Buddhadharma diseluruh pelosok tanah air dengan menjadi guru agama Buddha, guru sekolah minggu Buddhis, menjadi dhammaduta hingga mengisi ruang-ruang birokrasi di pemerintahan.

Karena itu hari Minggu (11/11) sebagai salah satu rangkaian menyambut 40 tahun Nalanda, Alumni yang tergabung dalam Ikatan Alumni Nalanda (ILUNA) bersama Mahasiswa menggelar tumpengan dan turnamen futsal. Acara yang diikuti oleh Pemuda Buddhis Temanggung, Jepara, STAB Sriwijaya, Mahaprajna, SMA Tri Ratna, Mahasiswa dan Alumni Nalanda ini dilaksanakan di Aula Kampus dan lapangan futsal Nalanda.

Sugeng, pembantu ketua III bidang kemahasiswaan menyambut baik atas terselenggaranya acara ini. Menurutnya generasi muda Buddhis terutama Mahasiswa dan Alumni Nalanda harus memberi sumbangsih besar untuk perkembangan agama Buddha ke depan. “Saya ucapkan terima kasih kepada para alumni yang hari ini sudah mau kembali ke rumah yang kedua, harapannya ke depan silaturahmi ini tidak hanya berhenti sampai di sini. Bukan hanya Mahasiswa dan Alumni Nalanda saja, tetapi seluruh pemuda dan mahasiswa Buddhis di Indonesia,” tuturnya.

Alumni Nalanda ini juga menantang para mahasiswa dan pemuda Buddhis untuk menggelar acara yang lebih besar. “Saya berharap dari titik muncul pemikiran rencana ke depan, para mahasiswa dan pemuda Buddhis sudah tidak terhalang oleh sekat gedung STAB Nalanda, Sekat STAB Sriwijaya, Sekat STAB Mahaprajna, wilayah Jepara, Temanggung, Lampung dan lain-lain. Tetapi kita menjadi satu warna, berkolaborasi membuat satu kegiatan yang dipelopori oleh pemuda dan remaja Buddhis Indonesia,” ajaknya.

Sementara itu, Tjan Sie Tek mewakili Yayasan Nalanda menyampaikan bahwa Nalanda bukan hanya milik Yayasan dan STAB Nalanda. Tetapi milik semua umat Buddha dan di Indonesia. “Adik-adik yang hadir di sini adalah bagian dari Nalanda, jadi kapan saja datang membuat kegiatan di sini silakan. Asal kegiatan itu positif dan demi perkembangan Buddhadharma di Indonesia.”

Demi rasa bakti terhadap almamater

Semarak menuju 40 tahun Nalanda adalah kegiatan yang digagas oleh para Alumni dan Mahasiswa STAB Nalanda. Kegiatan berupa tumpengan dan turnamen futsal ini direncanakan hanya dalam waktu kurang dari satu minggu.

“Alumni Nalanda itu sudah sangat banyak, lebih dari 400 orang. Kita berkumpul dalam organisasi ILUNA, tapi selama ini belum mempunyai sumbangsih yang berarti untuk Nalanda,” tutur Supardi, salah satu alumni Nalanda yang lulus tahun 2015.

Karena itu, pada momentum hari sumpah pemuda, dan menuju ulang tahun ke-40, dia dan beberapa teman menggagas kegiatan ini sebagai wujud bakti terhadap almamater. “Awalnya hanya mau melempar ide, pengen tau reaksi para alumni yang sudah senior. Ternyata mereka antusias, bahkan dalam waktu kurang dari lima hari untuk kebutuhan dana dapat terpenuhi dari iuran alumni. Melihat ini saya berani menyimpulkan bahwa para alumni Nalanda sangat mencintai almamaternya,” imbuh Supardi.

Melihat kesuksesan acara ini, semakin optimis untuk menggelar acara yang lebih besar pada puncak acara 40 tahun Nalanda. “Saya banyak bepergian dan bertemu para alumni Nalanda, mereka rata-rata bertanya kapan alumni Nalanda reuni dengan menanggap wayang? Jadi saya rasa ini adalah waktunya kita menyusun rencana untuk reuni akbar itu.”

Karena itu, lulusan Nalanda tahun 2011 ini mengajak pengurus ILUNA mulai mendata dan berkomunikasi dengan semua lulusan Nalanda agar rencana ini bisa terlaksana. “Targetnya, tahun depan kita wayangan di Nalanda, tapi untuk menuju ke sana harus ada rencana yang matang dan melibatkan semua alumni,” pungkas pemuda asal Jepara ini.

The post Semarak Menuju 40 Tahun Nalanda appeared first on .

Memaknai Suwung yang Mendunia dengan Tepat Konteks

$
0
0

Di pertengahan tahun 2018, arstitek kondang Ary Indra dan David Hutama mempresentasikan karya mereka untuk paviliun Indonesia di Venice Biennale of Architecture 2018  berjudul Sunyata: The Poetics of Emptiness.

Ary menceritakan bahwa bagaimana konsep suwung di Jawa, terutama ketika diterapkan di bidang arsitektur,  memengaruhi konsep desainnya. Baginya, Sunyata tidak sama dengan kosong nihil – sebab lebih tepat diartikan sebagai kualitas di dalam kosong nihil. Pada akhirnya, paviliun Indonesia tahun ini berusaha untuk menyampaikan perjalanan spiritual seorang manusia menuju sunyata lewat eksplorasi ruang yang dihadirkan.

Kata “sunyata” telah dikenal Nusantara semenjak Buddhis masuk. Bhiksu Yijing mencatat bahwa di Sriwijaya telah ada pembelajaran Madhyamika yang filosofi sentralnya adalah sunyata sehingga kadangkala disebut sebagai Sunyavada.

Pujangga Buddhis Mpu Tantular juga menyebut dalam karyanya Arjunawiwaha: Ambĕk saŋ paramārthapaṇḍita huwus limpad sakêŋ śūnyatā (Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kesunyataan). Di karya lainnya semisal Sutasoma, sunyata juga acapkali disebutkan oleh Mpu Tantular sebagai kualitas dari Kebuddhaan yang penuh cinta dan welas asih itu sendiri.

Belakangan, sunyata ini menajdi identik dengan kata Jawa ‘suwung’. Dalam Lontar Jawa Tatwa Sawang Suwung, dikisahkan bahwa alam semesta ini dimulai oleh Sanghyang Taya (Suwung). Siapa Taya ini dapat dilihat di lontar Sunda Sanghyang Hayu yaitu berasal dari kata Sunyataya. Taya juga ada disebutkan sebagai Acintyataya atau Paramataya. Sunyata, acintya dan paramartha adalah kualitas dari kebenaran Tertinggi menurut Buddhis. Beberapa peneliti menyebut Taya adalah panggilan untuk Siwa dan Buddha ketika meneliti kitab-kitab Jawa.

Sunya

Sunyata juga ada disebutkan dalam Kakawin Dharmasunya. Seiring waktu, kakawin-kakawin ini berubah menjadi serat. Serat Dharmasunya dan serat Arjunawiwaha memasukkan istilah “suwung” untuk menjabarkan kesunyataan. Akulturasi dan asimilasi yang dilakukan para sufi seperti Syekh Siti Jenar di Jawa membuat konsep suwung ini juga belakangan dikaitkan dengan konsep Islami atau Allah. Konsep yang tergabung oleh elemen banyak agama ini akhirnya sampai di era modern. Belakangan konsep suwung marak kembali ketika muncul kembali berbagai gerakan Kejawen kontemporer ke permukaan – seiring meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap yoga dan meditasi.

Tetapi selalu menarik jika kita menempatkan suwung dalam konteks aslinya yaitu konteks Buddhis tulen yaitu sunyata. Istilah sunnata sudah dikenal di kitab-kitab Pali (Sunna Sutta misalnya) dan sunyata juga ada di kanon agama. Mahayana khususnya Sutra-sutra Prajnaparamita sangat menekankan tentang kesunyataan hingga akhirnya membentuk sekolah Madhyamika dan Yogacara. Belakangan kesunyataan ini dipahami sebagai hakekat Kebuddhaan lewat sutra-sutra tathagatagarbha.

Di Tibet, meski dipakai sebagai poin penting praktik meditasi, sunyata ini seringkali memancing ajang perdebatan intelektual hingga memunculkan perselisihan shentong dan rangtong. Lain halnya ketika Sunyata menjadi sepenuhnya kontemplatif ketika berjumpa dengan Buddhis Zen atau Chan, sebagaimana suwung hanya dipahami lewat rasa sejati dalam diri.

Lebih dari 10 tahun lalu, muncul penerbit Buddhis yang menggunakan nama Suwung yang didirikan Ir. Agus Santoso, pendiri komunitas Chan Indonesia. Umumnya penerbit Suwung menerbitkan buku-buku Zen/Chan. “Kebenaran dalam Zen adalah suwung, kesunyataan,” jelas pak Agus.

Ketertarikan Ordo Sarikat Yesuit pada meditasi Zen yang dimulai dari Jepang juga terkena imbasnya di Indonesia ketika arsitek Romo YB Mangunwijaya maupun Romo Mudji Sutrisno dari Ordo yang sama banyak membahas Zen. Romo Mangun misalnya dalam buku Sastra dan Religiositas banyak berceirta tentang Zen dan berkata, “Zen (Chan) bukan agama, bukan teologi, bukan filsafat, namun kesadaran mengenai kehidupan yang lebih penuh, lebih mendalam, lebih intens, lebih berkadar, lebih manusiawi penuh dan sejati.” Sedangkan Romo Mudji menulis buku Zen dan Fransiskus (1983) dan Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritual (2002).

Diakui sebagai salah seorang arsitektur Indonesia, pemahaman spiritual Romo YB Mangunwijaya dalam menciptakan ruang terus mengilhami anak bangsa ketika berusaha mencari konsep arsitektur, bahkan hingga Venice.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness

The post Memaknai Suwung yang Mendunia dengan Tepat Konteks appeared first on .

Traveling & Diary, Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara

$
0
0

Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) adalah sebuah festival tahunan yang mulai diadakan sejak tahun 2012. Di tahun 2017, BWCF diselenggarakan oleh BWCF Society dengan pendiri dan steering committees Romo Mudji Sutrisno S,J, Seno Joko Suyono dan Imam Muhtarom.

BWCF adalah wahana pertemuan bagi para penulis baik fiksi maupun non fiksi, para pekerja kreatif, aktivis budaya dan keagamaan lintas iman. Pada tiap tahunnya BWCF berusaha menyajikan tema utama terpilih yang dianggap mampu merangsang para hadirin untuk menyadari kembali keunikan dan kekayaan berbagai pemikiran sastra, kesenian dan religi Nusantara.

Perhatian utama BWCF adalah menggali dan memaknakan kembali berbagai khazanah literasi dan kebudayaan nusantara untuk menemukan relevansi aktualnya bagi masa kini dan masa depan Indonesia. BWCF menganggap masih banyak hal penting dalam sejarah dan kebudayaan nusantara yang belum digali dan didiskusikan.

Tahun ini, BWCF 2018 akan digelar kembali tanggal 22-24 November di Hotel Grand Inna (Garuda) Malioboro Yogyakarta dan kawasan Hotel Manohara Borobudur. Tema tahun ini adalah Traveling & Diary, Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara.

BWCF tahun ini akan dihadiri oleh para sejarawan dan penulis, mulai dari Prof Taufik Abdulah, Dr Henri Chambert Loir sampai Ulil Absar Abdala yang akan membahas catatan harian para peziarah dan pengembara seperti I Tsing, Ibnu Batuta, Rabindranath Tagore, V.S Naipaul, dll. Selain itu, juga akan diselenggarakan pentas tari & teater di area terbuka dengan tema Migrasi yang akan dipentaskan oleh Eri Mefri, Bimo Wiwohatmo, Melati Suryodarmo & Katsura Kan, Cok Sawitri, Toni Broer & Katia Engel, Yusril Katil, Djarot B Darsono, Miroto dan Anwari, serta 4 Penyair dari Indonesia (Arif Bagus Prasetyo, Taufik Ikram Jamil), Singapura (Shivram Gopinath) dan Malaysia (Zahid M. Naser).

Malam pembukaan akan digelar pada tanggal 22 November di Hotel Grand Inna (Garuda) Malioboro, Yogyakarta dan akan ada Pidato Kebudayaan dari seorang ahli Buddhis, Dr. Hudaja Kandahjaya dari Numata Centre for Buddhist Research America mengenai Bagan Perjalanan Spiritual Tiga Dimensi Borobudur.

Program dan acara BWCF terbuka untuk umum dan gratis. Untuk info lebih lanjut dan jadwal lengkap dapat mengunjungi sosial media (instagram) kami di @borobudurwriters.

The post Traveling & Diary, Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara appeared first on .

Berbeda Tanpa Konflik

$
0
0

Berbeda tanpa konflik itulah tema yang diusung dalam Silahturahim Kebangsaan Lintas Agama dan Budaya yang diselenggarakan atas kerjasama BAMAG Surabaya dengan Forum Beda Tapi Mesar (FBM) dan Yayasan Pondok Kasih berlangsung di Gedung Pondok Daud – Prapen Indah kota Surabaya pada 8 November 2018.

Kegiatan yang dihadiri hampir 70 peserta ini menghadirkan tujuh narasumber dari akademisi dan tokoh agama. Dua narasumber akademisi yaitu Prof.Dr. H. Nur Syam, M.Si., guru besar Univ. Negeri Sunan Ampel Surabaya dan Dr. Murpin Yosua Sembiring, S.E., M.Si., rektor Univ. Widya Kartika Surabaya, sedangkan lima narasumber dari tokoh agama yaitu Pdt. Dr. M. Sudhidarma, M.Th., Ketua BAMAG Surabaya dan Jatim; Hs. Bingky Irawan, PARAKHIN; I Wayan Suraba, SH., PHDI; Naen Soeryono, SH., MH., Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia; dan tidak ketinggalan narasumber dari Buddhis yaitu UP. Dr. Haryanto Tanuwijaya, S.Kom., M.MT. dari Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).

Dalam paparannya saya menyampaikan bahwa sebenarnya berbeda tanpa konflik tidaklah sulit yang dapat dilihat dalam sebuah rumah tangga yang mana bertemunya dua insan berbeda baik latar belakang keluarga, pendidikan, daerah dan lain-lain, namun tetap dapat hidup rukun sampai ajal menjelang.

Kebhinnekaan di Indonesia yang terdiri berbagai suku, ras, bahasa, budaya dan agama merupakan suatu keniscayaan dan merupakan kekayaan Bangsa Indonesia yang patut kita syukuri di mana kita dipersatukan oleh satu ideologi yaitu Pancasila.

Lebih lanjut disampaikan bahwa tumbuh kembangnya Buddha Indonesia selaras dengan kebudayaan dan kearifan lokal Indonesia. Umat Buddha hidup bermasyarakat berlandaskan semangat pluralisme, inklusifme, dan non-sektarian. Selain itu dalam senantiasa menjaga tri kerukunan yaitu kerukunan internal umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.

Sabda Buddha dalam Dhammapada ayat 5 yaitu: “Di dunia ini kebencian tidak akan pernah berakhir jika dibalas dengan kebencian; tetapi kebencian akan berakhir jika dibalas dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi.”

Lalu dalam Dhammapada ayat 6 yaitu: “Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian, mereka akan hancur dan musnah; tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini akan hidup damai dan tenang.”

Saya juga memaparkan bahwa umat Buddha senantiasa diingatkan bahwa kehidupan ini penuh penderitaan. Kita tidak dapat menghindari 4 kejadian yaitu lahir, tua, sakit, dan mati. Itulah sebabnya umat Buddha selalu mendoakan kebahagiaan bagi semua mahkluk, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta. Kita perlu menyadari bahwa konflik adalah salah satu akar penderitaan, sebaliknya kerukunan justru membawa kebahagiaan. Oleh karena itu, kita senantiasa diminta berlatih diri yaitu:

Menjaga pikiran, ucapan dan perbuatan. Pikiran adalah pelopor. Dengan pikiran baik maka ucapan dan perbuatanpun akan baik.

Menjalani lima sila (moralitas). Dengan menjalani lima sila (pancasila Buddhis), maka tidak ada umat Buddha yang melakukan perbuatan merugikan orang lain seperti korupsi dan lain-lain.

Mengembangkan Metta, Karuna.

Mengikis kilesa (kekotoran batin) seperti kemarahan, kebencian, iri hati, dan lain-lain;

serta melihat ke dalam diri sendiri atau instropeksi diri dengan latihan meditasi.

Inti ajaran Buddha adalah janganlah berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran. Kita juga harus selalu menjaga prinsip hidup dalam berbuat sesuatu sebagaimana diajarkan Guru Agung Buddha yaitu: lakukan perbuatan perbuatan yang memberi manfaat bagi diri kita dan orang lain, tinggalkan perbuatan yang merugikan diri kita apalagi merugikan orang lain.

Dengan berpegang teguh pada Buddhadharma maka jelas umat Buddha akan dapat hidup rukun sehingga tidak pernah mengalami konflik dalam perbedaan di mana pun berada.

The post Berbeda Tanpa Konflik appeared first on .

Dua Menara Buddhis di Daerah Islam Xinjiang

$
0
0

Ada banyak sekali menara yang ada di dunia. Menara kembar Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya. Ada pula menara kembar WTC di New York yang hancur pada September 2001. Nah, kali ini kita akan melihat sekilas tentang dua menara kuno yang terdapat di propinsi Xinjiang, Tiongkok. Uniknya, meskipun Xinjiang saat ini identik dengan budaya dan agama Islam, dulu agama Buddha pernah berkembang di sana. Agama Buddha masuk ke Xinjiang pada abad 1 Masehi dengan adanya arus dagang di sepanjang jalur sutra kuno.

Perkembangannya berlangsung sampai kedatangan agama Islam di Xinjiang pada abad 11 Masehi. Karena pengaruh penyebaran agama Buddha pada masa ini, kita masih dapat melihat dan menemukan beberapa peninggalan Buddhis seperti stupa, gua-gua dan kesenian-kesenian Buddhis. Beberapa stupa dibangun dengan sangat tinggi hingga menyerupai Menara. Di kota Turpan, sebelah timur Xinjiang, terdapat dua menara Buddhis yang oleh penduduk lokal disebut Menara Sirkip dan Menara Taizang.

Menurut catatan di Tiongkok, kedua menara ini dibangun antara abad ke-6 dan ke-7 Masehi. Keduanya memiliki arsitektur yang serupa. Berdiri setinggi 20 meter, keduanya mungkin adalah bangunan tertinggi di daerah itu selama beberapa abad. Sayangnya, Menara Sirkip telah runtuh secara alami dan menyisakan reruntuhan saja sedangkan Menara Taizang masih berdiri meskipun tidak utuh.


Menara Sirkip sebelum runtuh. Ist

Para arkeolog mengklaim bahwa struktur kedua menara ini berkaitan dengan kota kuno Gaochang yang merupakan pusat perdagangan pada jalur sutra kuno. Kedua menara ini adalah bukti kejayaan agama Buddha di Xinjiang selama puncak perdagangan di jalur sutra. Bagi orang Uyghur, menara ini juga merupakan sebuah pengingat akan warisan budaya mereka sebelum kedatangan Islam.

Penemuan kembali dua menara ini bukan tanpa usaha. Seorang arkeolog berkebangsaan Hungaria-Inggris bernama Aurel Stein (1862 – 1943) membuat mata dunia terbuka atas warisan budaya yang telah lama dilupakan ini. Terinsipirasi oleh “santo pelindung”nya yaitu Xuanzang, Aurel Stein melakukan empat ekspedisi di Asia Tengah pada awal abad ke-20. Dia ingin menemukan kembali kekayaan budaya di sepanjang Jalur Sutra sebagaimana yang telah dicatat oleh Xuanzang dalam perjalanannya dari Chang’an menuju India.

Di sepanjang ekspedisinya, Aurel mencatat dan mendokumentasikan berbagai lokasi kuno yang dia kunjungi, termasuk pula Menara Sirkip dan Menara Taizang di Turpan. Berkat usahanya, mata dunia menjadi terbuka akan kekayaan budaya di sepanjang jalur sutra. Banyak arkeolog dari Inggris, Rusia, Jepang, Jerman dan negara-negara lain berlomba-lomba untuk meneliti dan menelusuri jalur sutra kuno ini.

Tidak hanya itu, kedua menara ini juga didokumentasikan oleh dua misionaris Kristen yaitu Francesca French dan Mildred Cable dalam buku mereka yang berjudul The Gobi Desert. Buku ini merupakan catatan perjalanan mereka selama 1923 – 1936 di Gurun Gobi. Mereka berdua adalah penulis wanita Inggris pertama yang menaklukkan Gurun Gobi setelah 20 tahun sebelumnya mereka bekerja sebagai misionaris di provinsi Shansi. Buku ini merangkum pengalaman mereka selama 13 tahun mengembara di Gurun Gobi untuk mengunjungi penginapan-penginapan Tiongkok, kuil-kuil, situs-situs arkeologi, dan kota-kota tua di sana.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Dua Menara Buddhis di Daerah Islam Xinjiang appeared first on .

Menyiasati Trauma dan Kebencian

$
0
0

Dylan Roof membunuh sembilan orang di sebuah gereja di South Carolina, Amerika Serikat. Alasannya adalah karena ia membenci orang-orang kulit hitam.

Robert Bowers, menurut dugaan, membunuh sebelas orang Yahudi yang sedang berdoa di Pittsburg, karena ia membenci orang Yahudi. Cesar Sayoc juga diduga mengirim belasan bom ke kantor-kantor Partai Demokrat AS dan kantor berita CNN, karena ia juga membenci mereka.

Di Indonesia, kita pun tak luput dari serangan mematikan yang berpijak pada kebencian semacam ini. Kota-kota besar Indonesia sudah kenyang dengan tragedi pembunuhan massal berdarah. Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah, apa akar dari semua kebencian ini? Pemikiran Gabor Mate, sebagaimana diulas oleh Abraham Gutman, kiranya bisa membantu kita. (Gutman, 2018)

Gabor Mate adalah seorang dokter kelahiran Hongaria, namun dibesarkan di Kanada. Ia sudah lama bertekun untuk memahami akar dari kecanduan. Salah satu hasil penelitiannya adalah, bahwa kecanduan mendorong orang untuk menemukan pelepasan dalam berbagai bentuk, mulai dari heroin sampai dengan kebencian. Akar dari kecanduan, menurutnya, adalah upaya untuk menutupi trauma berat yang pernah dialami.

Kecanduan dan kebencian

Apa itu kecanduan? Kecanduan adalah perilaku manusia yang tak bisa dihentikan secara sadar, karena ia memberikan kenikmatan, walaupun dengan dampak-dampak yang merusak. Seorang pecandu heroin menemukan kehangatan dan kenikmatan dari penderitaan yang ia alami, ketika ia menggunakan heroin. Seorang pecandu rokok menemukan kehangatan, ketika ia merokok, walaupun ia tahu, bahwa rokok itu merusak kesehatan.

Lalu, bagaimana hubungan antara kecanduan di satu sisi, dan kebencian di sisi lain? Mate menjawab, keduanya terhubungan melalui trauma. Tidak ada pembunuh massal yang tidak mengalami trauma berat di dalam hidupnya. Mereka menemukan pelepasan tidak melalui narkoba, melainkan dari kebencian yang mereka genggam erat-erat.

Kebencian yang dirasakan berakar begitu dalam, karena penderitaan yang mereka alami di masa-masa hidupnya. Kebencian itu lalu  diarahkan ke orang lain. Suasana masyarakat juga memberikan dukungan terhadap kebencian itu, ketika satu kelompok dijadikan kambing hitam untuk semua masalah yang ada. Ini seperti menuangkan bensin ke dalam api kebencian yang telah terbakar lama, karena trauma berat.

Bagaimana mengelola kebencian? Kebencian tidak bisa ditolak. Kita tidak bisa “membenci” kebencian itu sendiri. Paradoksnya adalah, semakin kebencian itu ditolak, semakin ia bertambah besar.

Kebencian dan trauma

Orang membenci, karena ia sebelumnya dibenci. Orang menyakiti, karena ia telah disakiti sebelumnya. Akar dari kebencian adalah trauma. Dalam arti ini, trauma adalah jejak dari peristiwa masa lalu yang belum lenyap, sehingga membekas, dan mempengaruhi sikap orang di masa kini. Trauma akan kekerasan akan mendorong orang menjadi pelaku kekerasan.

Trauma juga mesti ditempatkan pada bingkai peristiwa yang lebih besar. Keadaan sosial politik dan ekonomi sebuah masyarakat juga memiliki pengaruh besar di dalam kehidupan orang. Masyarakat yang terjebak pada kesenjangan sosial ekonomi yang besar, seperti di Indonesia, akan menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian.

Kebencian inilah yang lalu mendorong tindak kekerasan. Pada tingkat kecil, banyak keluarga terpecah, karena kekerasan di dalamnya. Kecanduan narkoba, dan berbagai bentuk kecanduan lainnya, juga akan meningkat. Pada tingkat yang lebih luas, konflik dan pembunuhan massal akan menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba” kehidupan. Karena trauma yang dialaminya, orang mungkin tak jatuh ke dalam heroin, atau rokok. Setiap orang punya kecenderungan yang berbeda di dalam mengelola trauma yang ia punya. Bagi sebagian orang, kebencian adalah narkoba yang menghangatkan.

Walaupun begitu, apa pun bentuknya, pengalihan dari trauma tak akan pernah bisa berjalan selamanya. Pada satu titik, penderitaan tetap menyelinap masuk, bahkan dengan intensitas yang lebih besar. Kebencian, dan segala bentuk narkoba trauma lainnya, bersifat sangat sementara, bahkan menciptakan kecanduan dan penderitaan yang lebih besar. Jalan lain mesti ditemukan.

Berada bersama trauma

Jika trauma adalah akar dari kebencian, dan kebencian adalah akar dari konflik serta pembunuhan massal, maka kita harus belajar untuk memahami dan mengelola trauma yang ada. Rasa sakit yang dialami akibat trauma tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika diabaikan, ia akan mempengaruhi perilaku hidup sehari-hari. Hubungan antarmanusia, sekaligus mutu kehidupan secara keseluruhan, pun juga akan terpengaruh.

Dari sudut pandang Zen, dan di banyak pendekatan filsafat Asia lainnya, trauma hanya bisa dihadapi dengan kesadaran penuh. Di sinilah arti penting “berada bersama trauma“, yakni dengan melihatnya sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan itu sendiri. Di titik ini, tidak ada penolakan terhadap trauma.

Dengan “berada bersama trauma“, orang mengakui, bahwa hidup tak sepenuhnya bahagia, tetapi juga tak sepenuhnya penuh derita. Seorang guru berkata, jika derita itu abadi, maka itu pasti ilusi. Sebaliknya pun juga betul. Jika bahagia itu abadi, maka itu pasti juga hanya ilusi.

“Berada bersama trauma“ berarti orang tak hanyut di dalamnya, sekaligus tidak menolaknya sebagai musuh. Sikap ini menghasilkan ketenangan batin, sekaligus kejernihan. Keduanya amatlah penting di dalam memahami dan mengelola trauma. Dengan sikap ini, trauma pun tidak berbuah menjadi sebentuk kecanduan atau kebencian yang merusak.

Menyiasati trauma dan kebencian berarti menempatkan keduanya dalam bingkai kompleksitas kehidupan yang tiada tara. Dalam hal ini, orang perlu untuk belajar menghargai dan menghormati kompleksitas itu sendiri. Hidup bukanlah untuk dikontrol sesuai keinginan, tetapi dijalani dengan kepekaan penuh terhadap segala kompleksitas yang ada. Di dalam kompleksitas itu, kebencian berpelukan dengan cinta, serta kejahatan berpelukan dengan kebaikan.

Zen adalah hidup dengan kejernihan di tengah semua kompleksitas yang ada. Awalnya, kesulitan pun akan datang menerpa. Jika kita berteguh, buah-buah kejernihan dan kedamaian akan kita petik. Walaupun, masalah dan berkah datang silih berganti.

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Menyiasati Trauma dan Kebencian appeared first on .

Dipa Ma Sang Bunda Cahaya

$
0
0

”Manusia tak akan pernah menuntaskan semua masalah mereka. Satu-satunya cara yaitu dengan membawa meditasi pada apa pun yang kamu derita,” Dipa Ma.

Kisah Buddha Gotama yang kita kenal mengikuti alur cerita seorang pahlawan sejati, Beliau meninggalkan istri dan anak-Nya serta melepaskan keduniawian untuk mencari penghidupan suci.

Dipa Ma mengikuti alur yang sama, tetapi dengan sebuah belokan yang tak terduga. Pada akhirnya ia membawa latihannya kembali ke rumah, menjalani pencerahannya di sebuah apartemen kota yang sederhana bersama putrinya. Tanggung jawabnya sebagai orangtua dimurnikan dengan latihan spiritualnya, ia membuat keputusan bukan berdasarkan rasa bersalah maupun kewajiban, melainkan berdasarkan kebijaksanaan dan welas asih yang timbul dari meditasi. Bukannya menarik diri pergi menyepi ke dalam gua atau hutan pertapaan, Dipa Ma justru tinggal di rumah dan mengajar dari ruang tidurnya- yang cukup seadanya, sebuah ruangan tak berpintu.

Latar belakang

Nani Bala Barua, belakangan dikenal sebagai Dipa Ma, lahir pada tahun 1911 di sebuah desa di dataran Chittagong yang kini menjadi Bangladesh. Budaya Buddhis yang mendarah daging di sana dapat dilacak silsilahnya dalam sebuah garis pada Buddha. Pada saat Dipa Ma lahir, latihan meditasi telah hampir lenyap dari kalangan keluarganya, meski mereka tetap melaksanakan semua kebiasaan serta ritual Buddhis.

Sekalipun sejak masih sangat belia ia telah tertarik secara mendalam terhadap agama Buddha, sebagaimana layaknya kebanyakan wanita Asia pada masanya, Dipa Ma hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengikuti pelatihan spiritual yang serius. Bagaimanapun, pada usia paruh baya, ia datang untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya pada meditasi, mencapai tingkat-tingkat meditasi pandangan terang yang mendalam hanya dalam waktu singkat. Ia menemukan jalan untuk memadukan keluarganya ke dalam jalan spiritualnya dan selanjutnya mengajarkan teknik-teknik spesifik untuk menerapkan meditasi di tengah kesibukan kegiatan sehari-hari.

Pengaruh Dipa Ma dirasakan sangat luas di Barat, sebagian karena hubungannya dengan ketiga pendiri Masyarakat Meditasi Pandangan Terang (Insight Meditation Society). Ia merupakan guru utama dari Joseph Goldstein dan Sharon Salzberg, serta salah satu di antara guru-guru Jack Kornfield. Kornfield mengenang bahwa pertanyaan yang pertama diajukan oleh Dipa Ma selalu adalah, “Bagaimana perasaanmu? Bagaimana kesehatanmu? Apakah kamu makan dengan baik?” Tak peduli siapa pun yang muncul atau bagaimanapun kondisi mereka pada saat itu, Dipa Ma selalu menyambut mereka dengan cinta. Baik Salzberg maupun Goldstein menyebutnya, “Orang paling menyenangkan dan penuh cinta yang pernah saya temui.”

Guru IMS, Michele McDonald-Smith menganggap perjumpaannya dengan Dipa Ma merupakan sebuah titik balik dalam hidupnya. “Pada saat saya bertemu dengannya,“ McDonald-Smith berkata, “kebanyakan yang ada adalah teladan pria – guru lelaki, Buddha laki-laki. Menjumpai seorang wanita perumah tangga yang tinggal bersama putri dan cucu laki-lakinya – juga yang begitu tercerahkan – itu jauh lebih mendalam dari yang dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Ia merupakan perwujudan dari apa yang sesungguhnya jauh di dalam lubuk hati saya inginkan, untuk menjadi seperti itu. Bagi saya yang merupakan seorang wanita perumah tangga, saya segera saja merasa, ‘Jika ia bisa melakukan hal ini, maka saya pun bisa.’”

Umat awam

Bagi umat awam yang berkomitmen pada pelaksanaan Dharma tetapi enggan meninggalkan rumah, pekerjaan, dan keluarganya, untuk hidup di kuil atau biara, Dipa Ma merupakan contoh yang gamblang tentang hal yang mungkin. Bahkan nama yang digunakannya menggambarkan identitasnya sebagai perumah tangga yang tercerahkan. Setelah di usia paruh baya melahirkan seorang anak yang sudah lama sangat dinantikan, seorang putri bernama Dipa, Nani Bala Barua mendapat nama panggilan “Dipa Ma,” yang berarti “Ibunda Dipa.” Kata Dipa berarti “cahaya atau pelita Dharma,” dengan demikian nama “bunda cahaya” menggabungkan dua hal penting dalam kehidupannya – Dharma dan semua yang terkait dengan peran dan fungsi ibu.

Masa awal kehidupan Dipa Ma mengikuti jalan hidup yang dapat diharapkan dari seorang gadis dusun di Timur Bengal. Pada usia 12 tahun, ia menikahi Rajani Ranjan Barua, seorang teknisi yang usianya dua kali lebih tua, yang pergi untuk bekerja di Burma seminggu setelah pernikahan mereka. Setelah dua tahun sendirian di rumah mertuanya, Dipa Ma muda dikirim ke Rangoon untuk menemani suaminya. Sungguh sangat mengecewakan bagi pasangan ini, Dipa Ma muda tidak kunjung hamil, dan menambah kesulitan ini, ibunya meninggal saat ia masih berusaha menyesuaikan dengan kehidupan barunya. Sekalipun sebenarnya bisa memiliki anak, ia kehilangan dua bayinya dan kemudian ia sendiri sakit parah. Melewati semua ini, Rajani bersikap sangat sabar, penuh cinta, dan bijak. Pasangan ini mengadopsi Bijov, saudara laki-laki Dipa Ma yang jauh lebih muda, dan Rajani menyarankan pada istrinya yang berduka agar memperlakukan setiap orang yang ia jumpai layaknya anaknya sendiri.

Dipa Ma membesarkan adik laki-lakinya, melahirkan Dipa, serta merawat suaminya. Bagaimanapun, pada saat Dipa Ma berusia empat puluhan, setelah Bijov dewasa dan meninggalkan rumah, mendadak Rajani wafat, meninggalkan Dipa Ma yang hancur. Selama bertahun-tahun ia terikat pada tempat tidurnya dengan penyakit jantung dan tekanan darah tinggi, sangat susah untuk dapat mengurus dirinya sendiri dan putrinya yang masih belia, dan ia yakin ia akan segera mati jika ia tidak dapat menemukan jalan untuk membebaskan diri dari beban kepedihannya. Ia membulatkan tekad untuk belajar meditasi, meyakini bahwa ini merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya. Tak lama sesudahnya, ia bermimpi tentang Buddha yang dengan lembut melantunkan bait-bait dari Dhammapada berikut:

Piyato jayati soko

Piyato jayati bhayam

Piyato vipamuttassa

Natthi soko kuto bhayam

 

Melekat pada apa yang dicintai membawa penderitaan

Melekat pada apa yang dicintai membawa ketakutan

Mereka yang telah sepenuhnya terbebas dari mencintai sesuatu lebih dari yang lain

Baginya tiada lagi kesengsaraan maupun ketakutan.

Terbangun dari mimpi tersebut, Dipa Ma merasakan sebuah ketetapan hati yang menenangkan, untuk sepenuhnya mengabdikan diri pada praktik meditasi. Ia menyerahkan semua peninggalan suaminya pada seorang tetangga yang ia minta untuk merawat putrinya, dan bersiap untuk pergi ke Pusat Meditasi Kamayut (Kamayut Meditation Center) di Rangoon, berniat untuk menghabiskan sisa hidupnya di sana.

Pagi hari pertama di pusat meditasi, Dipa Ma diberi ruangan dan instruksi dasar, serta diberi tahu untuk melapor ke aula meditasi pada akhir hari. Saat ia duduk dalam meditasi sepanjang hari, konsentrasinya dengan cepat makin mendalam. Kemudian, dalam perjalanannya menuju aula meditasi, ia mendadak menemukan bahwa ia tak dapat bergerak. Selama beberapa menit, ia bahkan tak dapat mengangkat sebelah kakinya, yang membingungkannya.  Akhirnya ia menyadari bahwa seekor anjing telah membenamkan giginya di kakinya dan tak mau melepaskannya.  Sungguh menakjubkan, konsentrasinya telah menjadi demikian mendalam, bahkan hanya dalam beberapa jam pertama pelatihan sehingga ia bahkan tidak merasakan sakit sama sekali. Akhirnya, anjing tersebut ditarik oleh beberapa bhikkhu. Dipa Ma pergi ke rumah sakit untuk mendapat suntikan anti rabies dan kemudian kembali ke rumah untuk pemulihan.

Sesampainya di rumah, putrinya yang sangat khawatir tidak mengizinkannya pergi lagi. Dengan kepraktisan karakter, serta kemampuannya untuk mengatasi masalah sulit yang tak biasa, Dipa Ma menengarai bahwa perjalanan spiritualnya akan harus mengambil bentuk yang berbeda. Menggunakan instruksi-instruksi yang diterima dalam retret singkatnya, ia dengan sabar bermeditasi di rumah, berkomitmen pada dirinya sendiri untuk melaksanakan pelatihan kesadaran dengan rajin, dari waktu ke waktu.

Meditasi

Setelah sekian tahun, Munindra, seorang sahabat keluarga yang tinggal dekat rumahnya, mendorong Dipa Ma, yang saat itu telah berusia 53 tahun, untuk datang ke pusat meditasi tempatnya belajar di bawah bimbingan guru termasyhur Mahasi Sayadaw yang terkenal. Pada hari ketiga di sana, Dipa Ma masuk ke dalam konsentrasi yang jauh lebih mendalam. Kebutuhannya untuk tidur menghilang, bersamaan dengan keinginannya untuk makan. Pada hari-hari berikutnya, ia melampaui tahapan-tahapan klasik dari “kemajuan dalam pandangan terang,” yang mengawali proses pencerahan.

Saat mencapai tingkat pertama, tekanan darahnya kembali normal, detak jantungnya juga menurun secara dramatis (menjadi tenang, tidak lagi merasa seolah jantungnya berdetak dengan keras), dan kelemahan yang membuatnya tak mampu menaiki tangga tergantikan dengan kebugaran yang bertenaga. Akhirnya, sebagaimana telah diramalkan Buddha dalam mimpinya, kedukaan yang telah membebaninya sedemikian lama, akhirnya sirna.

Sepanjang akhir tahun, Dipa Ma bolak-balik pulang-pergi antara rumahnya dan pusat meditasi, ia mengalami kemajuan pesat melalui tahapan-tahapan yang lebih jauh dalam jalan pencerahan. (Sebagaimana dijelaskan dalam Visuddhimagga, tradisi Theravada menandai 4 tahapan, yang masing-masing menghasilkan perubahan dalam pikiran, yang sangat jelas dan dapat ditengarai). Orang-orang yang mengenalnya menjadi tertarik dan ikut bergembira karena perubahannya, dari seorang wanita yang sakit-sakitan, terpukul oleh kedukaan, menjadi sosok yang tenang, kuat, sehat, dan bercahaya.

Perubahan

Terinspirasi oleh transformasi ini, keluarga dan teman-teman Dipa Ma, termasuk putrinya, ikut berlatih bersamanya di pusat meditasi. Salah satu yang pertama tiba adalah saudari Dipa Ma, Hema. Sekalipun Hema memiliki delapan orang anak, dengan lima di antaranya masih di tinggal bersamanya, ia berhasil meluangkan waktu untuk berlatih bersama Dipa Ma selama hampir setahun lamanya. Pada saat jeda sekolah, kedua ibu paruh baya yang memiliki enam orang anak bersama mereka. Mereka tinggal bersama sebagai sebuah keluarga, tetapi mengikuti disiplin pelatihan yang ketat, melatih keheningan, tidak saling memandang, dan tidak makan setelah tengah hari (attha-sila).

Pada tahun 1967, pemerintah Burma memerintahkan agar semua penduduk asing meninggalkan negeri. Para bhikkhu meyakinkan Dipa Ma, bahwa ia bisa memperoleh izin khusus untuk tinggal, sebuah kehormatan yang sangat tidak biasa dan sebelumnya tak pernah terjadi, bagi seorang wanita sekaligus orangtua tunggal, seseorang yang pada dasarnya sama sekali tidak memiliki posisi dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun ia ingin tinggal di Rangoon, Dipa Ma memutuskan untuk pergi ke Calcutta, yang mana putrinya akan dapat memperoleh kesempatan yang lebih baik dalam bidang pendidikan dan sosial.

“Jika kamu sibuk, maka kesibukan itulah meditasinya. Pada saat melakukan kalkulasi, sadarilah bahwa kamu sedang melakukan penghitungan. Meditasi selalu mungkin, pada saat kapan pun. Jika kamu sedang bergegas menuju kantor, maka kamu seharusnya berkonsentrasi pada ketergesaan tersebut.” – Dipa Ma.

Kondisi kehidupan baru mereka termasuk golongan menengah, bahkan berdasarkan standar Calcutta. Mereka tinggal di sebuah ruangan kecil di atas toko peleburan logam di tengah kota. Mereka tidak memiliki fasilitas air PAM, menggunakan tungku arang di lantai sebagai kompor masak, serta berbagi toilet bersama keluarga lain. Dipa Ma sendiri tidur beralaskan kasur jerami tipis.

Dengan segera kabar tersiar di Calcutta, bahwa seorang guru meditasi yang telah tercerahkan telah datang dari Burma. Kaum wanita, yang mencoba menyesuaikan pelatihan spiritual di tengah tuntutan tanpa henti untuk mengatur urusan rumah tangga mereka, bermunculan di apartemen Dipa Ma sepanjang hari, memohon petunjuk.  Ia menerima mereka sebagai tanggung jawabnya dengan memberikan tuntunan yang bersifat pribadi per individu, yang disesuaikan dengan kehidupan masing-masing dari mereka yang penuh kesibukan – tetapi tanpa konsesi/mengambil keuntungan bisnis.

Baca juga: Menyentuh Ibunda dalam Diriku

Perjalanan panjang Dipa Ma dalam membimbing para perumah tangga sebenarnya telah dimulai di Burma. Salah satu siswi pertamanya, Malati, adalah seorang janda sekaligus ibu tunggal yang harus membesarkan enam orang anak. Pelatihan cerdas yang dirancang Dipa Ma dapat dilakukan Malati tanpa meninggalkan anak-anaknya, seperti contohnya, menghadirkan kesadaran penuh pada sensasi saat menyusui bayi dengan payudaranya. Persis sebagaimana diharapkan oleh Dipa Ma, dengan menerapkan meditasi pada saat mengasuh bayinya, Malati mencapai tingkat pertama pencerahan.

Di Calcutta, Dipa Ma kembali menghadapi situasi yang sama, lagi, dan lagi. Sudipti harus berjuang menjalankan bisnis sambil mengurus putranya yang berkebutuhan khusus serta ibunya yang disabilitas.  Dipa Ma memberinya instruksi dalam latihan Vipassana, tetapi Sudipti bersikeras bahwa ia tidak dapat menemukan waktu untuk meditasi karena ia memiliki begitu banyak tanggung jawab dalam bidang bisnis dan keluarga. Dipa Ma memberi tahu Sudipti bahwa pada saat mendapati dirinya sedang berpikir tentang keluarga atau bisnis, maka Sudipti dapat memikirkan semua itu dengan penuh konsentrasi.

“Manusia tidak pernah dapat menuntaskan semua masalah mereka,” Dipa Ma mengajarkan, “Satu-satunya cara adalah dengan membawanya bersama meditasi, berkonsentrasi terhadap apa yang kamu derita. Dan jika kamu berhasil bermeditasi selama lima menit saja dalam sehari, maka kamu selayaknya melakukannya.”

Pada pertemuan pertama mereka, Dipa Ma bertanya pada Sudipti, apakah ia dapat bermeditasi saat itu juga di tempat itu selama lima menit. “Maka saya duduk bersamanya selama lima menit,” kenang Sudipti. “Kemudian ia begitu saja memberikan instruksi-instruksi meditasi, sekalipun saya berkata saya tidak punya waktu. Bagaimanapun, akhirnya saya dapat menemukan lima menit dalam sehari, dan saya mengikuti instruksinya. Dan dari lima menit ini, saya menjadi begitu terinspirasi. Saya bisa menemukan waktu yang lebih lama, dan kemudian lebih lama lagi, untuk bermeditasi, dan segera saja saya bermeditasi selama berjam-jam dalam sehari, sampai malam tiba, kadang bahkan sepanjang malam, setelah semua pekerjaan saya selesai. Saya menemukan waktu dan energi, yang sebelumnya tidak saya sadari bahwa saya memilikinya.”

Siswa India yang lain, Dipak, mengingat bagaimana Dipa Ma bercanda menggodanya, “Oh, kamu datang dari kantor, pikiranmu pasti sangatlah sibuk.”  Tetapi kemudian Dipa Ma dengan sangat tegas memerintahkannya untuk merubah pikirannya. “Saya memberitahunya, bahwa bekerja di bank merupakan pekerjaan yang penuh dengan urusan kalkulasi/penghitungan, dan pikiran saya selalu tak dapat beristirahat,” ujar Dipak. “Sungguh mustahil untuk berlatih, saya terlalu sibuk.” Dipa Ma bersikukuh, bagaimanapun, memaksakan bahwa, “Jika kamu sibuk, maka kesibukan itulah meditasinya. Dan saat kamu sedang melakukan kalkulasi, sadarilah bahwa kamu sedang melakukan penghitungan. Meditasi selalu mungkin, pada saat kapan pun. Jika kamu sedang bergegas menuju kantor, maka kamu seharusnya berkonsentrasi pada ketergesaan tersebut.”

Praktik

Pelatihan dalam kehidupan rumah tangga di bawah bimbingan Dipa Ma bisa sangat penuh tuntutan, tak ubahnya kehidupan biara. Penuh kasih namun teguh, Dipa Ma meminta siswanya mengikuti lima sila (Pancasila Buddhis) dan hanya tidur selama empat jam dalam semalam, sebagaimana yang dilakukan Dipa Ma sendiri. Para siswa bermeditasi berjam-jam dalam sehari, melapor padanya beberapa kali dalam seminggu, dan dengan dorongannya melaksanakan pelatihan pribadi, yang mereka jalani dan atur sendiri.

Joseph Goldstein mengenang bagaimana pada saat terakhir ia menemui Dipa Ma, Dipa Ma memberitahunya bahwa ia seharusnya duduk selama dua hari – artinya bukanlah dua hari pelatihan, melainkan benar-benar duduk selama dua hari tanpa jeda. “Saya mulai tertawa, karena itu nampak sungguh di luar kemampuan saya. Tetapi ia melihat pada saya dengan penuh welas asih, dan ia hanya berkata, ‘Jangan malas !’“

Cara Dipa Ma tidaklah terikat pada tempat, guru, gaya hidup, atau bahkan model biara tertentu. Dunia adalah biaranya, bertindak layaknya seorang ibu dan mengajar adalah cara latihannya. Ia merengkuh dan memadukan keluarga dan meditasi menjadi satu kesatuan, dalam sebuah hati yang bersikeras menolak untuk melakukan pembedaan dalam kehidupan. “Dipa Ma memberi tahu saya, ‘menjadi seorang istri, menjadi seorang ibu – ini adalah guru-guru awal saya’,’ kenang Sharon Kreider, seorang ibu yang belajar pada Dipa Ma. “Ia mengajarkan pada saya, bahwa apa pun yang kita lakukan, tidak masalah apakah ia seorang guru, seorang istri, seorang ibu – mereka semua mulia. Mereka semua setara.”

Baca juga: Senyuman Cahaya

Dipa Ma menjadi bukan saja “suciwan pelindung kaum perumah tangga,” sebagaimana salah seorang siswanya menyebutnya, tetapi juga sekaligus merupakan perwujudan dari latihan itu sendiri, dan bukannya sekadar seseorang yang sedang menjalankan latihan. Bagi Dipa Ma, semata-mata berlatih untuk ada pada saat sekarang, menjadi sepenuhnya sadar, sepanjang waktu, dalam setiap situasi, Dipa Ma merupakan demonstrasi hidup bahwa hakikat sejati dari pikiran adalah kekinian. Joseph Goldstein berkata, bahwa bersama Dipa Ma sama sekali tidak muncul kesan tentang adanya seseorang yang sedang mencoba bermeditasi; yang ada hanyalah meditasi semata, yang terjadi dengan sendirinya.

“Pikirannya tidaklah membuat pembedaan-pembedaan,” tutur guru meditasi Jacqueline Mandell. “Bermeditasi, bertindak layaknya seorang ibu, dan berlatih, semuanya mengalir dan berkesinambungan satu sama lain dengan sendirinya tanpa paksaan sama sekali. Mereka semua sama. Mereka merupakan satu kesatuan. Tidak ada tempat khusus untuk berlatih, tidak ada lingkungan khusus, tidak ada sesuatu yang khusus apa pun. Semuanya adalah Dhamma.” Dipa Ma menekankan pada para siswanya untuk memperhitungkan setiap momen waktu dan menggarisbawahi untuk menyertakan meditasi dalam proses memasak, menyeterika, berbicara, atau aktivitas harian apa pun lainnya.  Ia sering berkata bahwa keseluruhan cara meditasi sesungguhnya adalah semata-mata kesadaran tentang apa pun yang sedang Anda lakukan, “Selalu sadari apa yang sedang kamu lakukan,” demikian ia akan berkata, “Kamu tidak bisa memisahkan meditasi dari kehidupan.”

Mangkat

Pada saat mangkatnya di tahun 1989, Dipa Ma memiliki ratusan siswa dari Calcutta dan sekelompok besar pengikut Barat. Arus pengunjung yang tak putus terus menerus berdatangan ke apartemennya sejak subuh hingga jauh malam. Ia tak pernah menolak siapa pun. Saat putrinya mendorongnya untuk meluangkan lebih banyak waktu bagi dirinya sendiri, Dipa Ma akan menjawab, “Mereka lapar akan Dhamma, jadi biarkanlah mereka datang.”

Dipa Ma dikenang bukan hanya karena meditasinya yang tanpa banding maupun instruksi-instruksi langsungnya, tetapi juga karena caranya mewariskan Dhamma melalui pemberkahan. Sejak saat ia bangun pada setiap pagi, ia memberkati apa pun yang berhubungan dengannya, termasuk binatang dan bahkan objek-objek tak bergerak. Ia memberkati setiap orang yang dijumpainya dari kepala hingga kaki, meniupi mereka (yang merupakan salah satu cara pemberkatan secara tradisi) dan menjapa mantra serta mengusap rambut mereka.

Para siswanya selalu mengingat bagaimana mereka seolah dibasuh dengan cinta, sebuah perasaan yang demikian kuat dan mendalam yang mereka ingin tak kan pernah berakhir. Bahkan hingga hari ini, salah seorang siswa Dipa Ma, Sandip Mutsuddi, masih senantiasa membawa foto Dipa Ma dalam saku kemejanya di dekat hatinya. Beberapa kali dalam sehari, ia mengeluarkan foto Dipa Ma untuk memberikan penghormatan serta membantunya mengingat ajaran-ajaran Dipa Ma. Sandip telah melakukan hal ini setiap hari sejak mangkatnya Dipa Ma.

Para praktisi awam sering merasa terkoyak antara latihan spiritual dengan kebutuhan keluarga, pekerjaan, serta kehidupan sosial. Kita tahu bahwa dilema-dilema kita dewasa ini tidak dapat dipecahkan dengan cara memisahkan bagian-bagian dari kehidupan kita dan lebih mementingkan yang satu dibanding yang lain, namun tetap saja kita mudah tersesat saat dilema seperti itu muncul. Barangkali gambaran Dipa Ma dapat bersemayam dalam hati kita sebagai pengingat, bahwa kita tidaklah harus memilih. Setiap dilema dapat diterima sebagai berkah, menantang kita untuk menemukan, lagi, dan lagi, dan sekali lagi, jalan tengah yang sama sekali bukan di luar perasaan welas asih kita. Barangkali pula proses yang sama yang membuka tantangan-tantangan seperti itu akan menghasilkan sebentuk “pelatihan dalam keluarga/rumah tangga“ yang dapat merefleksikan, bahwasanya Dharma sesungguhnya dapat dijalankan pada tempat dan waktu kita. (Amy Schmidt /lionsroar.com)

The post Dipa Ma Sang Bunda Cahaya appeared first on .


Perayaan Kathina Wihara Ekayana Serpong Berlangsung Khidmat

$
0
0

Wihara Ekayana Serpong merayakan Hari Raya Kathina 2562 B.E./2018 pada Minggu (11/11). Kathina tahun ini mengusung tema, “Dengan Mendukung Sangha, Kita Menjaga Dharma dan Hidup Sejahtera” dan dihadiri oleh Kepala Wihara Ekayana Serpong Bhante Aryamaitri bersama 17 anggota Sangha lainnya.

Rangkaian Kathina diawali dengan pindapata di halaman Wihara Ekayana Serpong pada pukul 08.00 WIB. Setelah pindapata, umat langsung menuju baktisala untuk melakukan pujabhakti dan disambut oleh tim paduan suara WES Choir. Pujabhakti diikuti oleh kurang lebih 1.400 umat.

“Perayaan ini juga merupakan suatu penghormatan dan ucapan terima kasih kepada anggota Sangha yang mana kita sebagai umat dapat melakukan ibadah, belajar, berlatih, dan berbagi bersama,” demikian yang dikatakan Agung Surya Thidar selaku Ketua Panitia Kathina dalam sambutannya.

Pujabhakti dilakukan dengan membacakan paritta-paritta suci dan mendengarkan Dhammadesana yang disampaikan oleh Bhikkhu Saddhannyano. Acara Kathina juga diadakan khusus untuk anak-anak di ruang terpisah, yakni di Ruang Bodhgaya, Lantai 5, Wihara Ekayana Serpong. Dalam Dhammadesananya, Bhikkhu Saddhannyano atau yang lebih akrab disapa Bhante Saddha, menekankan bahwa berdana kepada Sangha adalah wujud mendukung majunya Buddhadharma.

Melalui dukungan dari umat awam, anggota Sangha bisa lebih optimal menjalankan hidup sebagai samana. Sekaligus membina umat dan mentransformasi diri. Bhante mengatakan bahwa bhikkhu pun masih perlu melatih diri, tidak langsung instan menjadi pribadi yang baik. Dalam proses melatih diri itulah dukungan dari umat awam dibutuhkan. Dengan dukungan dari umat Buddha, para bhikkhu tumbuh bersama dengan umat.

Baca juga: Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Arama Dipadati 5.000 Umat Buddha

Bhante mengatakan di dalam Sutta-sutta, khususnya di dalam Anatthapindiko Sutta, disebut banyak manfaat berdana. Anatthapindika adalah seorang dermawan pada zaman Buddha paling giat berdana dan mendukung majunya Buddhasasana.

Akibat kedermawanannya, ia semakin sukses, tampan, sehat, makmur, terpandang, dan panjang usia. Ketika meninggal pun, ia terlahir di alam Surga Tusita. “Jadi Bapak, Ibu, Saudara-Saudari se-Dharma, lakukan dengan bahagia dalam mendukung Sangha karena Sangha punya tanggung jawab, menjadi pribadi yang lebih baik sehingga nanti Sangha bisa terus melestarikan Dharma yang berguna melindungi dunia,” jelas Bhante Saddha.

Setelah sesi Dhammadesana, umat melakukan Sanghadana dengan mempersembahkan keperluan pokok para bhikkhu dan keperluan pendukung wihara dengan penuh sukacita diiringi lagu-lagu Buddhis yang dibawakan oleh Tim Kesenian Wihara Ekayana Serpong.

Acara dilanjutkan dengan pemberkatan/pemercikan air suci. Setelah bhikkhu Sangha meninggalkan baktisala, pujabhakti ditutup dengan pelimpahan jasa. Semoga kebajikan yang dilakukan pada bulan Kathina ini bisa memberikan berkah, baik bagi kemajuan Buddhadharma maupun kesejahteraan umat Buddha.

The post Perayaan Kathina Wihara Ekayana Serpong Berlangsung Khidmat appeared first on .

Hati Amirudin Terpanggil untuk Tugas Kemanusiaan di Lombok

$
0
0

Bencana gempa bumi Lombok, Nusa Tenggara Barat sudah berlalu. Kini masyarakat Lombok mulai bangkit untuk pemulihan pasca gempa. Tetapi kisah haru para korban dan perjuangan heroik para relawan demi tugas kemanusiaan sungguh inspiratif! Salah satunya kisah Amirudin.

Amirudin adalah putra asli Pulau Lombok, Lahir di dusun Tendaun, Batu Rapat, Kecamatan Lembar, Lombok Barat. Pria kelahiran 31 Desember 1983 ini merupakan salah satu korban gempa Lombok, rumahnya mengalami retak ringan, istrinya yang sedang hamil tua saat terjadi gempa mengalami pendarahan membuat nyawa putra keduanya tidak bisa diselamatkan.

Dalam kondisi seperti itu, Amir yang merupakan Abdi Desa Ehipassiko Foundation tetap menjalankan tugas kemanusiaan. “Ya gimana, uang sudah masuk dan harus dibelanjakan untuk disalurkan. Tidak mungkin saya pasrahkan ke orang lain yang sudah menjadi tanggung jawab saya,” tutur laki-laki yang akrap disapa Amir ini kepada BuddhaZine.

Sejak gempa pertama mengguncang Lombok tanggal 29 Juli, Amirudin bersama tim yang terdiri dari 20 orang langsung bergerak menyalurkan bantuan. Setiap hari dia blusukan ke desa-desa yang terkena dampak gempa. Hingga saat gempa mengguncang dengan kekuatan lebih dahsyat tanggal 5 Agustus, meskipun berpusat di Lombok Utara, rumah Amir yang berada di Lombok Barat juga terkena goncangan cukup keras.

“Saat itu, istri saya panik mengalami pendarahan, belum sempat saya bawa ke rumah sakit karena sumah sakit juga lumpuh. Setelah beberapa hari, putra kedua kami yang masih dalam kandungan meninggal,” sesal Amir.

Meskipun dalam kondisi duka mendalam, namun Amir tetap melaksanakan tugas dalam misi kemanusiaan; Bodhisattva misi. Sehari setelah jenazah putranya dikebumikan, Amir harus kembali meninggalkan istri dan keluarga untuk kembali bertugas. “Esok hari setelah anak saya dikebumikan saya harus kembali bertugas. Ya bagaimana, amanat orang harus diselesaikan, tetapi jam empat sore saya usahakan sudah sampai rumah. Karena malam harinya kan ada baca paritta,” lanjutnya.

Suka duka menjadi relawan gempa

Menjadi relawan untuk membantu orang yang sedang kesusahan tidak selalu mudah. Dibutuhkan niat tulus dan keberanian di lapangan. Apalagi relawan yang juga korban, terkadang dihadapkan pada dilema antara mengurus keluarga dan menjalankan tugas kemanusiaan. Ini juga yang dihadapi oleh Amirudin. “Istri saya kadang ya protes, ‘hanya mengurusi orang lain, keluarga sendiri tak diurus’ ya bagaimana sudah tugas saya. Lama-lama istri juga ngerti,” tutur Amir.

Tak hanya itu, ketika sedang berada di lapangan untuk menyalurkan bantuan. “Kesulitannya ya, namanya orang itu kan timbul keserakahan, jadi harus pandai-pandai. Contohnya misalnya terpal, terpal itu saya menyalurkan lebih dari 400’an buah, masih saja tidak cukup-cukup. Begitu juga yang lain-lain, karena itu ketika menyalurkan bantuan, barang langsung saya serahkan kepada kepala posko atau Kadus, supaya mereka yang atur.”

Tetapi bagi Amir, membantu orang dan melihat orang yang dibantu tersenyum merupakan kebahagiaan sendiri. Seperti ketika Amir menyalurkan bantuan ke pelosok Dusun Pawang Timpas, Kecamatan Bayan, Lombok Utara yang hingga Amir datangi belum menerima bantuan. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. “Aduh tepat sasaran dah saya,” pikir Amir dalam hati.

Menurut Amir, Dusun Pawang Timpas adalah dusun paling pelosok di Lombok Utara. Untuk datang ke sana harus jalan kaki melalui medan pegunungan. Hingga kedatangan amir, (4 hari pasca gempa) masyarakat Pawang Timpas belum tersentuh bantuan sama sekali.

“Pergi saya ke sana, memang pelosok benar, kita jalan kaki, pelosok banget. Saya bawa mie Instan waktu itu, mereka lagi bakar ubi, tidak ada beras, minumnya air kelapa. Belum lagi bantuan saya berikan, baru ngobrol-ngobrol sama mereka, orang tua-tua itu langsung ambil mie, langsung dimakan mentah. Oh, ini laper bener pikir saya, nggak ada malu-malunya langsung dimakan mentah-mentah,” Amir berkisah.

Selama menjadi relawan, amir telah menyalurkan bantuan senilai 355 juta rupiah. Dana ini diperoleh dari Ehipassiko Foundation dan para donatur dari berbagai kota di Indonesia. Uang tersebut disalurkan dalam bentuk berbagai kebutuhan pokok seperti; beras, mie instan, lauk-pauk (ikan asin, bawang merah, cabe), air, dan aneka kebutuhan lain.

The post Hati Amirudin Terpanggil untuk Tugas Kemanusiaan di Lombok appeared first on .

Perayaan Kathina di Lombok Penuh Kesederhanaan

$
0
0

Meskipun masih dalam tahap pemulihan pasca gempa, umat Buddha di Lombok, Nusa Tenggara Barat tetap antusias melakukan persembahan dana kepada bhikkhu Sangha. Sangha dana pada masa Kathina diselenggarakan di Vihara Giriratana Suriyan Lenong, Selasa (20/11). Acara dihadiri oleh 2 bhikkhu dan 4 samanera dan umat Buddha dari seluruh provinsi NTB, Bali, dan sekitarnya.

Vihara Giriratana Suriyan Lenong berada di Dusun Tangin Angin, Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Dusun Tanan Angin merupakan salah satu daerah pedalaman yang berada di Lombok Barat. Untuk menuju ke sana, perjalanan dari Kecamatan Sekotong memerlukan waktu sekitar dua jam dengan jalan aspal berliku yang sebagian jalan rusak parah, bergelombang.

Tetapi di balik itu, mamasuki desa ini akan disuguhkan pemandangan alam perbukitan. Sepanjang jalan mengitari pantai biru nan murni yang menyejukkan hati. Terlebih lagi hal terindah yang bakal ditemui di desa tersebut suasana budaya, hal unik lainnya. Alam yang seju dengan pemandangan perbukitan dengan tempelan warna-warna derit para penambang emas yang menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat setempat.

Kathina berbalut budaya

Salah satu yang menarik dari umat Buddha Lombok adalah masih lestarinya budaya setempat. Dalam upacara keagamaan Buddha, seperti yang terlihat dalam Kathina dana kali ini, umat Buddha yang hadir mengenakan sarung/jarik yang dipadukan dengan kebaya khas Lombok.

Acara berjalan dengan tertib meskipun tanpa pengeras suara. Usai melakukan pujabhakti dan membacakan Niddikhanda Sutta, Umat Buddha dengan semangat mempersembahkan dana kepada bhikkhu Sangha. Saat mempersembahkan dana, seluruh umat Buddha menyanyikan lagu dana paramita dengan wajah penuh kebahagiaan.

Bhante Saccadhammo yang hadir dalam acara tersebut berpesan agar umat Buddha selain bekerja mencari penghasilan untuk kehidupan sehari-hari juga harus menimbun kekayaan Dhamma. “Desa ini merupakan area tambang emas tempat menimbun kekayaan, tetapi umat juga harus mengupayakan kekayaan Dhamma. Bukan cuma tambang emas, tetapi tambang kebajikan,” kata Padesanayaka Sangha Theravada Indonesia, Provinsi NTB dan NTT.

“Sangha dana artinya berdana kepada bhikkhu Sangha, setelah para bhikkhu menjalankan masa vassa (tinggal di suatu tempat selama musim hujan) untuk memperdalam Dhamma dan belajar vinaya. Sehingga momen ini tepat untuk menyimpang harta kebajikan seperti yang dijelaskan dalam Nidhikanda Sutta bahwa harta yang patut ditimbun adalah kebajian. Investasi yang tidak hilang saat disimpan, dan berbuah pada saat dibutuhkan. Serta bertata susila, mengembangkan kesadaran/meditasi,” tutur bhante.

Usai melakukan Sangha dana, para umat makan bersama dalam tradisi Begibung (Jawa; Kenduren. Makanan disajikan dalam piring dan gelas khas Lombok. Pada momen seperti ini terjalan kebersamaan dan komunikasi antarumat Buddha.

The post Perayaan Kathina di Lombok Penuh Kesederhanaan appeared first on .

Pembukaan BWCF 2018: Membaca Ulang Kitab-Kitab Pelawat Asing ke Nusantara

$
0
0

Pembukaan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) ke-7 dilaksanakan di aula Hotel Grand INNA Malioboro, Yogyakarta pada Kamis (22/10). Dalam BWCF yang ke-7 ini mengusung tema Taveling & Diary: Membaca Ulang Kitab-Kitab Pelawat Asing ke Nusantara. Peserta yang mengikuti BWCF berasal dari daerah Yogyakarta dan sekitar dengan dihadiri beberapa para penulis Indonesia.

Dalam acara ini juga diadakan pameran buku dari dua puluh delapan penerbit yang digelar di ruangan depan pintu masuk aula. Acara pembukaan dimulai sekitar pukul 15.30 WIB yang diawali dengan penampilan grup musik tradisional Nusa Tuak (Sasando).

Seusai penampilan grup musik acara dilanjutkan dengan pidato pembukaan yang diisi oleh Mudji Sutrisno. Dalam petikan pidatonya Romo Mudji menyampaikan pengaruh para pelawat asing dalam perkembangan Buddhadharma di Nusantara.

“Dari kumpulan surat-surat I Tsing yang di baca Yi Jing di abad ke-7 yang berjudul Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan atau Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan, misalnya kita diberi kesempatan membayangkan bagaimana situasi di Shili Foshi diperkirakan adalah Jambi pada tahun 671. I Tsing di usia 37 tahun singgah dan belajar Sabdavidiya (tata bahasa Sanskerta) selama enam bulan sebelum berangkat ke Nalanda, India. Dan bagaimana setelah belajar di Nalanda selama sepuluh tahun ia membawa pulang teks-teks Tripitaka sejumlah lima ratus ribu sloka dari India dan kembali berdiam di Shili Foshi, menerjemahkan, mengirimkan ke China. Karena itu dan maka dari itu bukunya berjudul Kiriman catatan dari Laut Selatan. Dan Laut Selatan ini, para saudara dan saudari dalam hal ini menunjuk Kepulauan Melayu.”

“Dari surat I Tsing kota Foshi diinformasikan berbenteng dengan ribuan biksu di dalamnya. Para biksu ini memperlajari semua mata pelajaran tepat, persis yang disaksikan I Tsing di kerajaan tengah Madyadesa India atau Nalanda. Tata cara dan upacaranya sama sekali tidak berbeda. Dari catatan I Tsing ini paling tidak kita bisa membayangkan bahwa di kota Foshi pernah terdapat sebuah pusat studi kesarjanaan Buddhis yang memiliki relasi internasional dengan studi Buddhis yang berpusat di Nalanda, India. Kesaksian I Tsing memberikan kita pemahaman bahwa di abad ke-7 itu sebuah kota kita di Sumatera sudah berperan aktif  dalam globalisme studi Buddhis di Asia,” tutur Romo Mudji.

Setelah pidato pembukaan, selanjutnya acara diisi dengan acara peluncuran buku dan penjelasan singkat dari para penulisnya. Acara peluncuran buku terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama menghadirkan lima penulis yaitu Dr. Tan Ta Sen dengan bukunya Cheng Ho, Penyebar Islam dari China Ke Nusantara; Salim Lee dengan bukunya Ketenaran Nusantara di Mata Dunia; Kesaksian Karya Yi Jing di Abad ke-7; Prof. Joko Suryo: Indonesia di Mata India, Kala Tagore Melawat ke Nusantara, karya Iwan Nurdaya-Djafar; Mona Lohanda: Painting dan description of Batavia in Heydt’s book of 1744 karya Romo A. Heuken S,J; Dr. S. Margana: Suma Oriental Karya Tome Pirez.

Pada sesi kedua menghadirkan empat narasumber yaitu Halim HD dengan mengulas buku yang berjudul Gunung Kidulan karya Wonggunung; Andi Muhammad Akbar: Islamisasi Bugis; I Gusti Dibal Ranuh: Napak Tilas Perjalanan Dang Hyang Nirata di Bali, dan terakhir Azhari Aiyub; Novel Kura-Kura Berjanggut.

Sebagai penutup acara pembukaan BWCF, acara diisi dengan pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Hudaya Kandahjaya dengan tema Borobudur: Bagan Perjalanan Spiritual Tiga Dimensi.

The post Pembukaan BWCF 2018: Membaca Ulang Kitab-Kitab Pelawat Asing ke Nusantara appeared first on .

Buddhist Fantastic Beasts

$
0
0

Sebelumnya saya telah membahas Nagini yang asli Indonesia, namun ada dua hewan menarik lainnya yang punya hubungan khusus dengan mitologi Buddhis dalam Wizarding World. Baru beberapa hari Fantatsic Beasts: Crimes of Grindelwald (2018) diputar di Indonesia, kita sudah disuguhkan oleh aneka hewan fantastis baru.

1. Kappa

Tampak di sirkus Arcanus yang menampilkan hewan-mewan magis ada sesosok kappa, iblis air Jepang yang rupanya seperti monyet. Kappa sering dijuluki Enko atau monyet. Asal usul kappa adalah gabungan dari beberapa mitologi Buddhis. Yang pertama disadur dari kisah Zen Enko Sokugestu (Yuanhou Zhuyue) tentang monyet-monyet yang berusaha menggapai refleksi bulan di atas air namun tenggelam. Cerita ini berasal dari Mahasanghika Vinaya.

Sumber kedua kappa adalah Nalapana Jataka dari Mahavastu (juga berasal dari Mahasanghika), mengisahkan perseteruan raja monyet dengan iblis air. Sumber ketika adalah novel Xiyouji yang mana salah satu tokohnya yaitu Sha Wujing adalah iblis air yang menjadi adik seperguruan adari anagarika Sun Wukong.

Di Jepang, banyak kisah penduduk takut diganggu kappa lalu menghormati Kstigarbha Bodhisattva (Jizo) dan Avalokiteshvara untuk menundukkan para kappa tersebut. Sampai sekarang di Jepang sering dijumpai Ksitigarbha berwajah kappa, sebagai simbol penaklukkan dan penyelamatan para iblis kappa.

2. Zouwu (Zouyu)

Hewan kedua sirkus yang menjadi andalan Newt Scamander adalah Zouwu atau Zouyu. Zouyu pertama kali disebut dalam kitab Shanhai Jing dan Shijing yang dikompilasi Konfusius. Meskipun tampangnya aneh mirip kucing, namun hatinya baik dan hanya muncul ketika raja-raja bajik muncul di dunia. Konon ada seekor Zouyu ditangkap saat pemerintahan Kaisar Ming Yongle.

Kitab Taoisme Shanhai Jing yang bisa dibilang sebagai ensklopedi hewan fantastis versi Tiongkok dari abad 4 SM: “Gunung Linshi punya hewan yang amat berharga. Besarnya se-harimau dan bertubuh panca warna. Ekornya lebih panjang daripada badannya. Namanya Zouwu. Jika dinaiki maka seseorang dapat berkelana sejauh 1000 li.” Persis sekali dengan deskripsi Zouwu di film Crimes of Grindelwald.

Asal usul nama marga Wu keturunan Tionghoa berasal dari nama Zouyu yang mana Yu dibaca sebagai Wu. Sebelumnya marga Wu adalah suku Jiang yang memakai Zouyu sebagai lambang suku mereka.

Upasaka Zhou Yong (488 M), salah satu pionir fonetik Tionghoa dan Buddhis yang taat dahulu berkata, “Melihat hewan makan dan minum, terbang dan berenang, kita semua merasakan welas asih untuk mereka. Bagimana mungkin kita membunuh dan mereka begitu saja? Zouyu ketika lapar bahkan hanya makan tanaman yang mati dengan sendirinya. Mendengar kebajikan hewan Zouyu bukankah kita semua harusnya merasa malu?”

3. Oni

Oni sebagia hewan ketiga juga sempat sekilas muncul di poster dan kandang sirkus. Oni sebenarnya adalah lafalan Jepang untuk Tionghoa “gui” yang artinya setan, namun jika melihat penampakan Fantastic Beasts maka yang dimaksud adalah Oni versi Buddhis yang mana memiliki karakteristik yaksha dan rakshasha, berbeda dengan guishen Tiongkok.

4. Ezra Miller sebagai Obscurus/Credence/Aurelius Dumbledore

Bukan perannya, namun aktor Ezra Miller di dunia nyata juga banyak membaca tentang Buddhis. Mulai dari merekomndasi buku bernafas Zen, Siddhartha karya Hermann Hesse pada Emma Watson, Ezra pada saat remaja sempat naik panggung memanggil Patti Smith sebagai ‘bodhisattva’. Tampak terkadang ia memakai kalung bergambar figur Buddhis Tantrik. “Ada bayi Buddha kecil dalam perutmu yang ingin tertawa, bebas dan apa adanya,” ujar Ezra mendeskripsikan dirinya pada Evening Standard Magazine, 2018.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness

The post Buddhist Fantastic Beasts appeared first on .

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live