Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Seni Lukis Zen: Sebuah Kontemplasi dan Ekspresi Meditatif

$
0
0

Seperti yang mungkin para pembaca sudah ketahui, istilah “Zen” merupakan versi bahasa Jepang dari istilah bahasa China: “Ch’an” 禪, yang ternyata juga merupakan turunan dari istilah bahasa Sanskerta: dhyāna yang berarti Meditasi. Zen merupakan praktik meditasi yang membawa kepada “Pencerahan Seketika” atau “Kebijaksanaan yang Langsung, yang melihat Hakikat dari segala sesuatu, tanpa kepalsuan atau modifikasi.”

Mengakar pada ajaran Buddhis, praktik meditasi Zen meskipun dilakukan secara bertahap dan disiplin, namun ekspresinya yang mendalam terlihat dalam hal-hal yang terkesan biasa, sehari-hari, dan tidak religius. Ini sejalan dengan konsep ajaran Buddha yang banyak tertuang dalam sutra-sutra Mahayana, yang menekankan konsep “Pencerahan itu bukan di sana, namun di sini, di momen ini. Semuanya sudah sempurna di sini, di momen ini.”

Seni Lukis Zen mengekspresikan perenungan mendalam ini, dimana lukisan-lukisannya menangkap momen kekinian, yang segar, bebas, dan spontan. Lukisannya “seolah-olah” dibuat tanpa perencanaan, tanpa konsep pikiran, dan tanpa dualisme perbedaan antara sang pelukis dan yang dilukis. Meskipun lukisan-lukisan Zen cenderung terlihat sederhana, ala kadarnya, dan mengenyampingkan penguasaan teknik yang luar biasa dan detail, sesungguhnya lukisan ini tidak mudah untuk dibuat dan membutuhkan penguasaan teknik mumpuni dan insight meditatif.

Tantangannya adalah bagaimana tetap menjaga kemurnian, dan kepolosan, tanpa membiarkan sang ego menginterupsi. Bagaimana beristirahat dalam kejernihan, namun tidak terperangkap dalam label menilai dalam membuat karya. Bagaimana secara terampil menjaga keseimbangan antara “beristirahat apa adanya” dan “analisis/konseptualisasi mental.” Pada akhirnya tujuan pamungkas dari meditasi dan lukisan Zen adalah menunjukkan hakikat tercerahkan dari semua makhluk dan semua fenomena, yang sesungguhnya sudah sempurna apa adanya, dan sudah ada di sini.

Lukisan Zen ditampilkan mentah, jujur, apa adanya, namun terlihat segar, mendalam, dan memancarkan kebahagiaan serta ketenangan yang melampaui kesulitan. Kadang lukisan ini membuat kita melihat ke dalam dan menertawakan sikap mental kita yang terlalu kaku dan serius dalam menjalani hidup yang sesungguhnya tidak solid, tanpa inti, dan selalu berubah. Namun justru, karena alasan yang sama, lukisan ini juga memancing sikap sunyi melankolis dari penikmatnya karena mereka mengecap kesia-siaan dari obsesi mereka mengejar kebahagiaan.

Lukisan Zen yang berupa bunga atau pohon seringkali tampil anggun, menegaskan konsep ketidakkekalan, hewan seringkali ditampilkan jenaka. Lukisan figure digambarkan dengan emosi yang kuat, namun jujur dan tanpa inti. Lukisan Zen yang berupa landscape seringkali digambarkan sederhana dan menegaskan kesalingtergantungan dari semua fenomena.

Meskipun sulit untuk menguasai seni ini, namun proses pembuatannya sangatlah menyenangkan, spontan, dan memicu kreativitas serta kebijaksanaan yang sebenarnya sudah ada di dalam diri semua orang. Seni ini membuat orang melihat ke dalam hati, memotong ketebalan konsep, dan menembus keriuhan pikiran.

(Tiga Orang Buta Sedang Menyeberang, zen painting oleh Japanese Zen Master, Hakuin Ekaku, 1685-1769)

(Awakening, Zen Painting oleh Shen Jin He)

(Calm, and Composed, Zen painting oleh penulis sendiri, Yudhi Gejali)

Yudhi H. Gejali, MD

Dokter medis, praktisi akupuntur, penyuka filosofi Buddhis, dan murid meditasi di Tergar Meditation Centre Jakarta.

The post Seni Lukis Zen: Sebuah Kontemplasi dan Ekspresi Meditatif appeared first on BuddhaZine.


Trauma, Derita, dan Kebebasan

$
0
0

Setiap orang pasti punya pengalaman jelek di masa lalunya. Bentuknya beragam, mulai dari hal-hal kecil, seperti bertengkar dengan teman, sampai dengan hal-hal yang amat menyakitkan, seperti menjadi korban kekerasan seksual. Peristiwa itu mungkin sudah lama berlalu. Namun, bekasnya tetap terasa menyakitkan di saat ini.

Hal ini juga diteliti di dalam European Journal of Psychotraumatology. Data yang terkumpul menunjukkan, bahwa lebih dari 1,5 milyar orang mengalami perang dan konflik besar dari 1989 sampai 2015. 350 juta orang di antaranya mengalami trauma dan depresi berat. Mayoritas di antaranya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melampaui trauma dan depresi yang mereka alami.

Data tersebut hanya meliputi korban perang semata. Sampai saat ini, belum ada data yang dikumpulkan tentang penderita trauma yang lebih luas. Namun kiranya bisa dibuat kesimpulan yang masuk akal, bahwa jumlahnya jauh lebih banyak dari 350 juta orang di tingkat global. Luka lama yang masih membekas, yang disebut juga sebagai trauma, menjadi sumber penderitaan hidup bagi banyak orang.

Dampak trauma

Ada banyak penelitian soal dampak trauma bagi hidup manusia. Lima hal kiranya bisa dijabarkan. Pertama, trauma adalah bayang-bayang keseharian. Ia menempel pada diri seseorang, seperti bayangannya sendiri. Tanpa upaya yang memadai, trauma akan terus menempel, dan membuat hidup terasa berat.

Dua, bayang-bayang ini membuat orang tak mampu melihat dunia apa adanya. Ia selalu menambahkan atau mengurangi sesuatu dari apa yang ada. Ia hidup dalam mimpi terus menerus. Jika ini terus terjadi, orang bisa sungguh terpisah dari kenyataan, dan menjadi “gila”.

Tiga, hidup dalam mimpi berarti hidup dalam penderitaan. Orang menjadi begitu rapuh di hadapan perubahan kehidupan. Ketika keinginannya tak terpenuhi, derita kuat mencekam dirinya. Begitu banyak orang hidup dalam pola ini di dalam kesehariannya.

Empat, derita trauma juga muncul di dalam kesulitan mengampuni. Orang menyimpan kemarahan dan dendam bertahun-tahun, walaupun maaf sudah dipertukarkan. Orang juga tak mampu untuk melampaui kekecewaan yang ia alami. Hidupnya dipenuhi sampah masa lalu yang sebenarnya ia pilih sendiri.

Lima, semua ini akan membawa ketidakseimbangan di dalam hidup. Pengaruhnya terasa ke tubuh fisik. Berbagai penyakit kronis, yakni kelainan organ, akan muncul, mulai dari jantung, ginjal, diabetes, dan sebagainya. Daya tahan tubuh pun akan melemah, sehingga orang akan mudah terserang infeksi bakteri ataupun virus.

Melampaui luka lama

Ada tujuh hal yang kiranya perlu untuk dipahami untuk mengelola trauma. Pertama, sumber utama semua penderitaan adalah pikiran, yakni pikiran yang terus bergerak dengan analisis. Pikiran juga kerap kembali ke masa lalu, atau membayangkan masa depan. Tanpa pemahaman yang jelas, orang bisa mengira, bahwa pikirannya nyata, dan terjebak dalam derita.

Dua, emosi sebenarnya adalah sebentuk pikiran. Namun, ia begitu kuat, sehingga terasa sampai ke badan. Bisa dikatakan, bahwa emosi adalah bentuk pikiran yang berbumbu pedas. Emosi mendorong orang untuk melakukan sesuatu, entah marah, sedih dan sebagainya.

Tiga, yang perlu disadari adalah, bahwa pikiran maupun emosi bukanlah diri sejati kita sebagai manusia. Keduanya merupakan cara kita bereaksi terhadap kehidupan. Ia dibentuk oleh pola asuh dari orang tua maupun lingkungan sekitar. Ia bisa diubah dengan upaya yang tepat.

Empat, dengan menyadari ini, orang akan menemukan ruang antara dirinya dan pikiran maupun emosinya. Ruang inilah ruang kebebasan. Intinya sederhana, jangan menganggap terlalu serius apapun yang muncul di dalam pikiran. Anggaplah pikiran-pikiran yang muncul sebagai hiburan yang seringkali menyeramkan, tetapi juga jenaka.

Lima, jauh lebih baik, jika kita tidak menyentuh pikiran ataupun emosi yang muncul. Biarkan semua itu datang dan pergi, tanpa campur tangan kita. Anggap saja pikiran dan emosi seperti motor atau mobil yang berlalu lalang di depan kita. Jika ini dilakukan, jarak antara diri kita dan pikiran serta emosi yang ada akan semakin besar.

Enam, ini semua dilakukan dari saat ke saat. Jika gagal, maka ada saat berikutnya untuk mencoba lagi. Lakukan terus, dan jangan berhenti, hanya karena satu dua kegagalan. Seorang Zen master asal Korea pernah berkata, coba terus, sampai seribu tahun lamanya.

Tujuh, ada saatnya, ketika pikiran dan emosi mengucur masuk begitu deras. Inilah saatnya untuk kembali ke saat ini. Panca indra bisa digunakan. Kita bisa mendengar, merasakan sensasi kulit dan badan, ataupun sekedar bernapas, supaya bisa kembali ke saat ini. Pada dasarnya inilah yang disebut sebagai meditasi.

Luka lama, atau trauma, tak perlu menjadi bekas yang menciptakan derita. Ia bisa menjadi guru kehidupan yang berharga, asalkan dikelola dengan bijaksana. Kita bisa banyak belajar dari berbagai peristiwa yang terjadi, terutama peristiwa yang menyakitkan. Setelah trauma dikelola, kehidupan yang sebenarnya pun bisa kembali tampil ke depan. Ia tidak hanya penuh kedamaian, tetapi juga penuh kebebasan untuk mewujudkan perubahan.

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Trauma, Derita, dan Kebebasan appeared first on BuddhaZine.

Elightenment A Biography of Siddhartha Gautama

$
0
0

ENLIGHTENMENT
A Biography of Siddhartha Gautama

A choir concert by Ekayana Buddhist Residence Choir
Conductor: Daniel Reza Adriansyah

Pianist: Dionisius Clyde, Ananda Thesvara & Marvella
Violinist: Madeleine Tjhie

Choir arrangement by: Marthin Tupanno, Alexander Moseler, Dionisius Clyde & Adriano Alvin

Featuring WES Choir and Ekayana Youth Dancer
________________________________
623 BC, Siddhartha was born a prince under the reign of Gautama. Just until one day, Young Siddhartha found out a never ending suffering life it is.

His son was born, yet restlessness still lingered on. Decision was taken, leaving his family for a mission, an antidote of a-never-ending-suffering.
Six years of suffering; Siddhartha experienced painful practice in Uruvela Forest. No wisdom, no answer was obtained, though.

Realizing no gain in the pain, Siddhartha discovered the Middle Way. Enlightenment is achieved, Siddhartha is now a Buddha.
________________________________

Reminiscing the spiritual journey of Gautama Buddha, EBRC presents “Enlightenment: A Biography of Siddharta Gautama”. An epic presentation of Buddha’s very own holy life stages in choral music performance, arranged and composed by talented musicians across the globe.

Saturday, Nov 16th, 2019
06.30 PM – on wards
Graha Swara, Universitas Tarumanagara, Campus 1, West Jakarta

Further information and reservations: http://bit.ly/ENLIGHTENMENT2019_

The post Elightenment A Biography of Siddhartha Gautama appeared first on BuddhaZine.

Pemuda Menjadi Tumpuan Keberlangsungan Buddhadharma di Pulau Belitung

$
0
0

Minggu menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak dan remaja Buddhis Kabupaten Belitung. Hari itu, mereka bisa menghabiskan waktu seharian untuk bermain, pujabhakti, belajar Dharma dan  berjumpa dengan kawan-kawan se-Dharma.

Minggu (29/9), pukul 8 pagi terik mentari sudah terasa menyengat saat kami sampai di Vihara Tathagata Buddha, Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Pagi itu, vihara ini sudah ramai dengan wajah ceria anak-anak Sekolah Minggu, tingkat SD. Sekolah Minggu Buddhis, Vihara Tathagata Buddha terbagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama, pukul 8 – 10 pagi untuk anak-anak sekolah dasar, sedangkan sesi kedua (sesi siang) pukul 10 – 12 untuk anak-anak remaja SMP dan SMA.

Sekolah Minggu memang menjadi penting sebagai peletak pondasi dasar pengetahuan Buddhadharma bagi anak-anak Buddhis Belitung, di luar sekolah formal. Di vihara, mereka berkawan, berinteraksi dan belajar mengenal nilai-nilai dharma dari para pembimbing. Hal ini setidaknya yang dirasakan oleh Desy Rostarina (20), salah satu remaja Vihara Tathagata Buddha. “Saya mulai aktif ke vihara ini sejak SMP, memang diharuskan oleh guru-guru agama Buddha di sekolah,” kata Desy kepada BuddhaZine.

Hampir sama dengan anak-anak dan remaja Buddhis di Pulau Belitung, Desy berlatar keluarga yang tidak mengenal vihara. Hanya di sekolah, ia tercatat sebagai siswa beragama Buddha. Perjumpaannya dengan guru agama Buddha di sekolah itulah yang mendorongnya untuk datang ke vihara.

“Kalau aku, dulu orang tuaku malah gak mengenal vihara. Pas SMP diharuskan sama guru agama Buddha di sekolah, dan setelah mengenal vihara, banyak kegiatan, banyak kenalan ternyata asik dan keterusan sampai sekarang,” terang Desy bercerita.

Di Vihara Tathagata Buddha, Desy termasuk salah satu remaja yang aktif. Dia pernah menjabat sebagai ketua muda-mudi vihara periode tahun 2014 – 2017. Berbagai tanggung jawab seputar kegiatan vihara pernah diembannya, mulai dari mengajar sekolah minggu untuk anak-anak sekolah dasar, mengurus bursa vihara hingga merencanakan kegiatan muda-mudi Buddhis.

“Vihara di sini sangat tergantung dengan kegiatan anak-anak Sekolah Minggu dan muda-mudi. Kalau muda-mudi ada kegiatan, yang datang ke vihara banyak. Tapi kalau tidak ada kegiatan muda-mudi di vihara atau kegiatan di luar, ya hanya hari Minggu saja ke viharanya. Jadi, keberadaan muda-mudi, di vihara ini sangat penting,” lanjut Desy.

Menyadari pentingnya peran dirinya di vihara, setiap hari Minggu Desy selalu menyempatkan diri datang ke vihara. Bahkan hingga kini, di tengah kesibukannya bekerja menjadi kasir di salah satu rumah makan di Belitung, ia tetap datang, membimbing adik-adiknya.

“Sekarang saya kerja, setiap hari Minggu sengaja ambil shift malam supaya bisa ke vihara. Jadi kegiatan saya pada hari Minggu, bangun jam 6 pagi, pukul 8 harus sudah sampai vihara. Ngajar sekolah minggu untuk anak-anak SD, urus bursa vihara, mendengarkan dhammadesana dari para guru agama Buddha, ngobrol dengan kawan-kawan remaja Buddhis untuk merencanakan kegiatan, kira-kira sampai jam 2 siang, setelah itu pulang dan malamnya kerja,” pungkasnya.

Saat ini, setidaknya terdapat 20 muda-mudi yang aktif di Vihara Tathagata Buddha. Mereka menjadi tumpuan bagi keberlangsungan generasi Buddhis, Pulau Belitung mendatang. “Yang paling aktif ada sekitar 20 orang saat ini, kalau kami bikin kegiatan bersama biasanya bergabung dengan vihara lain. Kalau anak-anak sekolah minggu, seperti hari ini sekitar 70’an anak yang hadir,” kata Kiki Hermanto (19), yang saat ini menjabat sebagai ketua aktif muda-mudi Vihara Tathagata.

Umat Buddha di Pulau Belitung sebenarnya cukup signifikan. Berdasarkan data BPS jumlah umat Buddha di Pulau Belitung berada di urutan nomor dua setelah muslim. Siswa-siswa yang tercatat beragama Buddha di sekolah juga cukup banyak. Menurut penuturan Sunyi Suzana, salah satu guru agama Buddha di Pulau Belitung, ada beberapa sekolah yang mayoritas beragama Buddha. “Di sekolah tempat aku mengajar saja, ada 102 siswa yang beragama Buddha,” kata Sunyi.

The post Pemuda Menjadi Tumpuan Keberlangsungan Buddhadharma di Pulau Belitung appeared first on BuddhaZine.

Buddha Ultraman: Pertanyaan Tentang Kelemahan Agama Terorganisir

$
0
0

Agama yang kita pelajari atau yakini hari ini adalah agama yang terorganisasi (organized religion), berarti agama-agama ini ditafsirkan sesuai dengan konteks yang berbeda. Itulah sebabnya agama Buddha di Thailand berbeda dari agama Buddha di Tibet, dan Islam di Indonesia tidak sama dengan Islam di Arab Saudi.

Meskipun kita akan menyebut kepercayaan itu sebagai sekte, tetapi kita tidak bisa menyangkal bahwa sekte itu sendiri terjadi karena interpretasi dan lingkungan yang berbeda.

Yang penting adalah orang-orang memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka diajarkan (dipaksa melalui pendidikan) oleh agama yang terorganisir untuk mengikuti cara pemahamannya dan mengklaim bahwa agama atau sekte lain salah. Ini masih bagus asalkan agama yang terorganisasi seperti itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk memerintahkan orang lain untuk mengikuti ajarannya, atau menggunakan kekuatan untuk memenjarakan orang-orang yang berbeda dari pemahamannya.

Akibatnya, sekularisme (secularism) diperlukan di dunia modern, pemerintah tidak akan mendukung satu agama atau sekte lebih dari yang lain. Ini bukan cara untuk menghancurkan agama, tetapi mengizinkan setiap agama memiliki kebebasan dan berkembang dengan cara mereka sendiri. Inilah keindahan keanekaragaman.

Kasus dari Thailand bulan September (2019) sangat menarik. Seorang mahasiswi dari fakultas seni menggambar Buddha dalam bentuk animasi Ultraman. Latar belakang adalah gambar brandname, Louis Vuitton (LV). Karyanya sangat populer tetapi dikritik oleh banyak kelompok umat Buddha konvervatif.

Tentu saja, mereka adalah dosen dan aktivis dari kampus agama Buddha. Tidak hanya kata-kata kasar digunakan oleh umat Buddha untuk mengutuknya dan penasihatnya di media sosial, tetapi mereka mencoba menuntut ke pengadilan dengan alasan bahwa mahasiswi tersebut menghina Buddha dan menghancurkan agama Buddha. Pada awalnya, dia dipaksa minta maaf pada Bhante.

Namun, banyak orang Thailand mengatakan bahwa gambar itu hanya seni. Seniman harus memiliki kebebasan untuk berinovasi apa pun yang mereka berpikir. Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh mahasiswi, Buddha adalah penyelamat dunia, yang datang ke dunia untuk membantu semua orang, dalam imaginasinya, Buddha seperti Ultraman.

Untungnya, kelompok-kelompok Buddhis konsevatif tersebut dikritik oleh media sosial dan akhirnya mereka berhenti untuk menuntut. Kasus ini menunjukkan kekuatan media sosial dan perselisihan antara kelompok agama konvervatif dan kelompok liberal. Hukum penistaan (blasphemy law) seharusnya tidak digunakan untuk memenjarakan orang lain yang menafsirkan agama dengan cara yang berbeda.

Dalam Brahmajala Sutta, Buddha mengatakan bahwa jika orang lain mengutuk Buddha, Dhamma, dan Sangha, kita seharusnya tidak marah (dengan cara yang sama, jika mereka mengagumi, kita seharusnya tidak sombong), tetapi kita harus menjelaskan apa yang sebenarnya kepada mereka dengan toleransi dan cinta kasih.

Sebenarnya, ajaran ini harus menjadi pedoman bagi umat Buddha daripada menggunakan kata-kata kasar dan menggunakan hukum untuk menghukum orang lain.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Allen Clifton (2016) dan Katewadee Kulabkaew (2012), ini adalah hal yang normal dalam agama yang terorganisasi. Berarti bahwa orang-orang dalam organisasi keagamaan belajar agama bukan hanya untuk kehidupan mereka, tetapi mereka juga diajarkan untuk melindungi kepercayaan mereka dan percaya bahwa kepercayaan lain salah. Apakah mindset seperti itu cinta kasih atau diktator?

Patung Buddha, misalnya, dibuat dari imaginasi setelah 500 tahun setelah kematian Buddha. Jadi, tidak ada orang yang pernah melihatnya. Akibatnya, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa patung Buddha yang kita hormat itu benar (sama dengan Buddha asli) dan bentuk lain (seperti Ultraman) salah?

Kasus ini menjadi bermasalah karena kita memiliki pola resmi patung Buddha. Tentu saja, pola seperti itu disetujui oleh agama yang terorganisir yang dimiliki oleh beberapa orang, sementara banyak imaginasi dari orang lain tidak bisa diungkapkan.

Diktator mencoba mengendalikan kepercayaan para pengikut dengan alasan “persatuan” akan terjadi ketika setiap orang memiliki identitas yang sama dan berpikir dengan cara yang sama. Ini adalah konsep sejak 100 tahun yang lalu, tetapi masih ada sampai sekarang di negara yang orang takut demokrasi dan hak manusia. Karena perbedaan akan membawa konflik, menurut mereka.

Oleh karena itu, identitas era modern tidak boleh satu, tetapi multiple. Kita harus menghormati perbedaan, bukan untuk memaksa orang lain berpikir dengan cara yang sama dengan kita. Saya mendengar bahwa umat Buddha Indonesia juga ingin membuat pola patung Buddha sebagai identitas nasional, semua sekte harus menghormati bentuk nasional Buddha itu. Gagasan ini didasarkan pada nasionalisme yang menghancurkan keanekaragaman.

Haruskah kelompok Nichiren menyembah patung Buddha yang baru itu, padahal mereka tidak memiliki patung Buddha? Haruskah kelompok Maitrya mengganti patung Buddha gemuk dan tersenyum mereka dengan pola Buddha yang baru?

Dengan melakukan itu, bisakah kita mengatakan bahwa kita mencoba paksa setiap orang untuk melakukan apa yang kita inginkan, yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha, cinta kasih dan keterampilan yang mengadaptasi Dhamma yang sesuai dengan berbagai tingkat / jenis orang.

Tidak ada salahnya jika kita ingin menbangun kelompok besar (agama yang terorganisir) dalam rangka memperkuat kegiatan. Namun, kita juga harus ingat bahwa kelompok kita tidak boleh menghancurkan kebebasan orang lain. Setiap orang memiliki kebebasan untuk berpikir, belajar, dan menafsirkan agama karena agama dibuat untuk semua orang, bukan untuk satu organisasi.

*Jesada Tee Buaban, antropolog dari Thailand, tertarik tentang agama/kepercayaan dan politik di Negara Asia Tenggara.

 

The post Buddha Ultraman: Pertanyaan Tentang Kelemahan Agama Terorganisir appeared first on BuddhaZine.

Cara Buddhis Mengatasi Baby Blues

$
0
0

11 September menjadi hari yang spesial bagi saya dan istri. Mettiko, putra pertama kami lahir ke dunia. Saya masih dan akan terus mengingat senyum kecilnya tatkala dia dipeluk istri saya untuk pertama kalinya. Sungguh sangat manis. Segala penantian dan perjuangan terasa terbayarkan.

Namun kehadiran seorang buah hati perlu disikapi dengan tepat. Apalagi bagi pasangan yang baru pertama kali menjadi orangtua. Perubahan drastis gaya hidup dapat menyebabkan turunnya mood hingga depresi ringan. Kondisi ini sering disebut baby blues, dan kondisi ini nyata adanya.

Baby blues tidak hanya menjangkiti si ibu. Seorang ayah pun bisa kena. Bahkan keluarga serumah pun juga bisa kena. Terutama bagi seorang wanita, menjadi ibu merupakan sebuah pengalaman paling berharga sekaligus penuh tekanan dalam hidupnya. Ini adalah transisi besar dalam kehidupan yang dapat mempengaruhi emosi seorang ibu.

Tak keliru bila seorang ibu baru menjadi rentan terkena baby blues syndrome. Perasaan gembira, khawatir, kasih, takut, bahagia, dan capek bercampur aduk menjadi satu. Bila biasanya kita merasa lelah dengan satu jenis emosi, apalagi sekarang yang mana semuanya berkecamuk dalam hati dan pikiran orangtua baru. Emosi-emosi ini muncul karena mereka menghadapi tantangan-tantangan baru: tidur terganggu, pakaian kotor menumpuk, tangisan rewel, pengeluaran membengkak, dan lain sebagainya.

Karena kondisi ini berkaitan dengan emosi seseorang, ajaran Buddha dapat diterapkan untuk membantu mengatasi gejala baby blues. Kuncinya adalah dengan merespon perubahan-perubahan ini dengan bijaksana. Pertama, tumbuhkanlah rasa menerima (acceptance) dan rasa syukur (gratitude). Kedua aspek ini penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita telah menjadi orangtua baru.

Seiring dengan hadirnya seorang anak yang ditunggu-tunggu, muncullah rasa tanggung jawab yang turut menyebabkan munculnya kekhawatiran-kekhawatiran seperti: bisakah saya menjadi ibu yang sempurna, bisakah anak saya tumbuh besar dengan baik, dan lain-lain.

Kekhawatiran-kekhawatiran ini hanya bisa diatasi dengan menyadari dan menerima bahwa tidak apa-apa bila kita belum menjadi orangtua yang sempurna – justru inilah kesempatan kita untuk berlatih menjadi orangtua yang baik. Itulah pentingnya rasa menerima yaitu menerima diri sendiri, anak dan perubahan-perubahan yang terjadi dengan sadar dan relaks.

Demikian pula memiliki dan mengembangkan rasa syukur bahwa apa yang dinantikan telah hadir akan membantu kita menerima bahwa perubahan yang terjadi adalah konsekuensi dari keinginan kita sendiri. Ucapkan terima kasih kepada dirimu sendiri dan orang lain atas perbuatan-perbuatan yang telah kamu lakukan hari ini.

Kedua, berikan cinta kasihmu kepada dirimu sendiri. Kamu, apalagi seorang ibu, tetap layak mencintai dan dicintai. Meskipun menjadi seorang ibu baru berarti memiliki tanggung jawab baru, kamu pantas memperoleh ‘me-time’. Berikanlah waktu bagi dirimu sendiri agar kamu bisa bernapas sejenak. Silakan pergi ke kafe sekadar menyeruput kopi kesukaan dan membaca buku. Silakan pergi nonton film terbaru di bioskop kesayangan. Silakan pergi sesi pijat atau ke salon. Silakan makan masakan enak yang sudah lama tak kamu santap. Berikan waktu me-time barang sebentar saja untuk melepas tumpukan stres. Kamu akan kembali dengan segar dan lebih menyenangkan.

Ketiga, berikan kasih sayangmu kepada orang lain. Terkadang tumpukan stres dan mood jelek dapat tercermin dalam tingkah laku kita. Belum lagi ditambah masukan-masukan orangtua sendiri untuk ciapo-ciapo. Akibatnya tidak hanya diri sendiri, orang lain seperti suami atau keluarga pun sering jadi pelampiasan kita. Apa yang dibicarakan menjadi buah pertengkaran. Apa yang diminta menjadi serasa diperintah. Ini hanya akan menambah masalah baru. Jadi pancarkan pula kasih sayangmu kepada orang lain. Sadari bahwa mungkin mereka bersikap demikian karena peduli. Bahkan ketika kamu tidak salah pun, tetap sabar dan jangan ambil hati.

Keempat, berbagilah. Ingat, kamu tidak sendirian. Ada lebih banyak orang yang juga sedang menjadi seorang ibu. Mereka juga sedang mengalami apa yang sedang kamu rasakan. Bersosialisasilah dengan mereka. Dengan berbagi cerita, setidaknya kamu tidak merasa sendirian. Bahkan berbagi cerita dengan suami dan keluarga sangat dianjurkan.

Kelima, meditasi. Meditasi atau setidaknya ambil napas panjang akan membantu meredakan stress dan ketegangan-ketegangan yang ada di badan dan pikiran kita. Ini adalah langkah sederhana yang harus dilakukan setiap saat terutama pagi dan malam hari. Amati ketika Anda sedang mengambil dan menghembuskan napas. Dengan demikian Anda akan menjadi relaks.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Seorang ayah.

The post Cara Buddhis Mengatasi Baby Blues appeared first on BuddhaZine.

Senja, Kopi, dan Dharma

$
0
0

Gabungan Sekolah Minggu Buddhis (SMB) ANANDA mengadakan Dhamma Camp yang melibatkan peserta anak-anak sekolah minggu dari sebelas vihara. Dhamma Camp dilaksanakan di lapangan Desa Cemara, Kecamatan Wonoboyo Temanggung ini diikuti oleh remaja Sekolah Minggu yang sudah memasuki jenjang SMP dan SMA. Kegiatan berlangsung selama dua hari satu malam (5-6/10) dengan peserta sebanyak 35 remaja SMB.

Selain untuk menambah semangat dan mengajak refreshing anak-anak Sekolah Minggu pemilihan tempat kegiatan juga bermaksud untuk memperkenalkan anak-anak SMB kepada umat Buddha Desa Cemara.

“Memang kita memilih tempat di Cemara ini karena alamnya indah, tapi kita juga ingin memberikan wawasan kepada mereka bahwa di Cemara ini juga ada saudara-saudara kita yang Buddhis. Dengan kegiatan ini diharapkan bisa menambah semangat dan keyakinan dalam Buddhadharma baik untuk anak-anak SMB maupun umat Desa Cemara,” jelas Sumarmi, ketua panitia Dhamma Camp.

Kegiatan diawali dengan pujabhakti bersama di Vihara Virya Dhamma Ratana, Desa Cemara pada pukul 19.00 WIB. sebagai pembuka kegiatan Dhamma Camp. Setelah usai waktu makan malam para peserta diajak berkumpul di lapangan yang sudah dipasang tenda-tenda camp para peserta. Rangkaina acara pada malam hari diisi dengan malam keakraban dan pembekalan materi Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yaitu pembekalan dini pada anak-anak untuk perencanaan pendidikan serta perencanaan masa depan.

“Meskipun anak-anak atau peserta Dhamma Camp masih remaja namun dari program PUP ini sebagai perencanaan, bagaimana anak-anak bisa merencanakan untuk persiapan kerja ataupun untuk persiapan berkeluarga,” lanjut Sumarmi.

Banyak kegiatan yang digalakan dalam Dhamma Camp ini, terutama kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan potensi atau bakat yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Berdasarkan tujuan tersebut kegiatan berupa unjuk kebolehan diselenggarakan pada malam hari sebelum acara api unggun. Api unggun mulai dinyalakan menjelang waktu istirahat yang menambah suasana semakin berkesan seiring dinginnya malam di Lereng Gunung Perahu.

Meskipun acara Dhamma Camp penuh dengan suasana keceriaan ala remaja, namun tidak meninggalkan nilai-nilai kerohanian dan spiritual. Dini hari saat suasana hening dengan semilirnya angin pegunungan sekitar pukul 02.00 WIB para peserta diajak bermeditasi, mengembangkan cinta kasih serta konsentrasi yang dilanjutkan dengan acara santapan rohani yaitu materi Dhamma.

Sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan sosial serta mendidik para remaja akan pentingnya kepedulian terhadap sesama, para peserta diajak untuk baksos pada pagi harinya. Untuk pembiayaan kegiatan Dhamma Camp pihak panitia menggalang dana dengan cara iuran dari vihara-vihara yang terlibat kegiatan, dana kas sekolah minggu serta sokongan dana dari para donatur.

Pemilihan lokasi Dhamma Camp yang berada di lereng pegunungan serta rangkaian acara yang di siapkan secara matang memberikan kesan tersendiri bagi para peserta Dhamma Camp. Hal ini pun diungkapkan oleh Rini Setiyani, “Untuk Dhamma Camp SMB saya baru ikut pertama kali ini, dan ternyata asyik sekali apalagi di sini di pegunungan alamnya sejuk, dingin bahkan. Tapi aku juga bisa tahu bahwa di sini yang jauh dari tempatku ternyata masih ada saudara-saudara Buddhis dan saya senang sekali bisa mengenal mereka. Saya juga bisa lebih akrab sama temen-temen SMB dari vihara-vihara lain,” terang peserta yang masih duduk di kelas XII SMA Pringsurat dari Dusun Gandon.

Hal yang sama pun diungkapkan oleh Pratna Dian Pratiwi peserta dari Vihara Dharma Sambhara Gandon, “Rasanya seneng sekali bisa refreshing tapi juga bisa mendapatkan pendalaman tentang Dhamma. Kan jarang sekali kita bisa seperti ini, apalagi di sini suasananya sejuk, pemadangannya juga bagus. Acaranya juga asyik, di sini kita bisa berlatih untuk pengembangan rasa percaya diri,” pungkasnya.

The post Senja, Kopi, dan Dharma appeared first on BuddhaZine.

Di Pekan Kebudayaan Nasional, Astakosala Angkat Kisah Mpu Prapanca yang Terasing

$
0
0

“Tityang sakendela walang alas, akemul mega, akandang langit, merak kang angemuli, kijang kang anyusoni, tan wara bumi astana (Aku ini seperti belalang hutan, bertilam mega, beratap langit, burung merak yang menyelimutiku, rusa yang menyusuiku, negeri tiada, tempat tinggal pun tak tetap)” teks Tutur Panji.

Syair di atas menjadi pembuka pertunjukan musik Astakosala, di Panggung Guyub, Istora Senayan, Jakarta, Kamis (10/9), dalam perhelatan Pekan Kebudayaan Nasional. Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) digelar selama 7 hari, mulai tanggal 7 – 13 Oktober 2019. Astakosala yang menjadi salah satu pengisi melantunkan 6 lagu yang diambil dari syair sastra Jawa Kuna. Kali ini mengangkat tema besar pertunjukan musik Samar Tan Prapanca.

Samar Tan Prapanca, mengisahkan tentang lakon Mpu Prapanca, abad ke-14 yang disingkirkan dari Istana Majapahit oleh para elit penguasa yang iri padanya. “Prapanca adalah nama pena pujangga yang menulis Nagarakrtagama pada masa Hayam Wuruk.

“Sebelumnya ia punya jabatan sebagai Dharmmadyaksa Kasogatan, pejabat yang mengurusi keagamaan khususnya agama Buddha. Tapi ia dipecat dan diasingkan, dalam kesepiannya ia menulis tentang Majapahit; alamnya, tata kelola pemerintah, khususnya pada masa Hayam Wuruk,” terang Udi, Public Relations Astakosala, kepada BuddhaZine.

Dalam catatan itu, lanjut Udi, ia juga menulis seperti apa dirinya, betapa buruk tindakan dan fisiknya dahulu yang sampai tak layak menjadi pejabat Dharmmadyaksa Kasogatan. “Tetapi justru catatannya menjadi referensi dan sumber utama tentang kejayaan Majapahit bagi kita semua saat ini. Lalu kaitanya dengan syair lagu yang dibawakan oleh Astakosala dalam PKN kemarin adalah, kita semua ini seperti Prapanca. Punya sebuah posisi, yaitu sebagai manusia.

Namun kadang kita melakukan hal-hal yang tidak baik bahkan meninggalkan sisi kemanusiaan kita, misalnya merusak alam. Lalu ketika kita sadar, apa yang bisa kita lakukan? Berharap, kembali menyadari bahwa kita hanya manusia yang sebenarnya lebih kecil daripada semesta itu sendiri. Berharap, agar alam raya ini kembali seimbang, kita masih punya harapan meskipun kecil. Seperti Mpu Prapanca yang punya harapan untuk memperbaiki dirinya sendiri, lewat menulis sebuah jurnal tentang Majapahit,” terangnya.

Astakosala membawakan 6 lagu yang dianggap memiliki semangat yang sama dengan Mpu Prapanca. Alamkara yang indah dengan syair “jatuh cinta”, Amurti Niskala yang bisa menyampaikan perasaan manusia yang ragu dan kembali berpasrah pada Hyang Widi-nya setelah sadar melakukan “ketersesatan” di dunia, Ilir-ilir dan Padang Bulan yang membuat kita percaha bahwa harapan baik itu masih ada.

Muhammad Muhklisin, praktisi pendidikan merasa kagum kepada Astakosala yang mempunyai dedikasi dalam mengenalkan kesusastraan Jawa Kuna. Menurutnya, dalam pendidikan musik menjadi media penting untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

“Sudah berabad-abad lalu, para sastrawan dan budayawan Jawa menggunakan gamelan dan karawitan sebagai strategi. Astakosala memperbaharui dengan kreativitas khas anak muda. Saya menikmati betul alunan kendang berharmoni dengan gitar dan musik elektronik. Saya kagum dengan anak-anak muda Astakosala ini. Penuh talenta dan berdedikasi pada kebudayaan,” katanya memberi pujian.

The post Di Pekan Kebudayaan Nasional, Astakosala Angkat Kisah Mpu Prapanca yang Terasing appeared first on BuddhaZine.


Di Vihara Avalokiteshvara Madura Ada Arca Buddhis Era Majapahit

$
0
0

Vihara Avalokiteshvara (Klenteng Kwan Im Kiong) Pamekasan merupakan salah satu dari 3 klenteng yang ada di Madura. Lokasinya terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, 14 km sebelah timur Kota Pamekasan, di sekitar Pantai Talang Siring. Apa uniknya?

Awalnya klenteng ini adalah sebuah bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa yang dibangun sekitar awal tahun 1900-an, untuk menampung temuan patung-patung dari kerajaan Majapahit yang dikirim untuk salah satu kerajaan di Pamekasan.

Sekitar tahun 1400 M, Kerajaan Jamburingin (Proppo-Pamekasan) berencana membuat candi di pusat kraton. Majapahit sebagai induk penguasa wilayah Jamburingin membantu pembangunan candi dengan mengirim beberapa arca (patung) pemujaan.

Patung-patung tersebut dikirim dengan kapal laut lewat Pelabuhan Talang yang berjarak kurang lebih 35 km dari Jamburingin. Namun pengiriman ke lokasi candi gagal karena angkutan rusak. Penguasa Jamburingin lantas memutuskan untuk membangun candi di sekitar Pelabuhan Talang.

Saat Islam mulai menyebar di daerah Pamekasan, yang menyebabkan pembangunan candi di Pantai Talang pun tak kunjung terlaksana. Patung-patung kiriman dari Majapahit ditinggalkan orang, terbengkalai dan perlahan lenyap tertimbun tanah.

Hingga pada awal 1800-an patung-patung tersebut tidak sengaja ditemukan kembali oleh seorang petani ketika menggarap ladangnya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan Bupati Pamekasan saat itu, Raden Adullatif Palgunadi yang bergelar Panembahan Mangkuadiningrat I (1804-1842) untuk mengangkat dan memindahkan patung-patung tersebut ke Kadipaten Pamekasan.

Namun, karena keterbatasan sarana, patung-patung tersebut gagal lagi untuk diangkut. Akhirnya patung-patung tersebut tetap dibiarkan berada di tempat semula ketika ditemukan.

Seratus tahun berselang, sekitar tahun 1900, sebuah keluarga keturunan Tionghoa membeli tanah yang mana patung-patung tersebut berada. Setelah dibersihkan, diketahui bahwa itu adalah patung-patung Buddhis aliran Mahayana versi Majapahit.

Patung-patung tersebut dikumpulkan dalam sebuah bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa. Seiring waktu mulai dibenahi dan jadilah Vihara Avalokiteshvara (Kwan Im Kiong) Kelenteng Pamekasan sampai saat sekarang.

Masterpiece di sini adalah patung Bodhisattwa Avalokiteshvara (Kwan Im Pho Sat) gaya Majapahit dengan ukuran tinggi 155 cm, tebal tengah 36 cm dan tebal bawah 59 cm. Kwan Im bermudra anjali ini diapit dua pendampingnya yang merupakan arca baru.

Arca era Majapahit lain yang ditemukan di tempat ini adalah Tri Buddha (Sam Po Hud), yang di sini meliputi Buddha Amitabha, Buddha Amogasiddhi, dan Buddha Ratnasambhava. Semua arca terbuat dari batu hitam, namun sekarang diwarnai kuning keemasan.

Selain itu, keunikan lain adalah adanya pura Hindu dan langgar di dalam kompleks tempat ibadah Tridharma ini. Karena itulah, vihara ini memperoleh rekor MURI tahun 2009 sebagai vihara terunik yang di dalamnya terdapat bangunan ibadah agama lain.

The post Di Vihara Avalokiteshvara Madura Ada Arca Buddhis Era Majapahit appeared first on BuddhaZine.

Sahabat Nasional Belitung Lakukan Bakti Sosial

$
0
0

 

Sahabat Nasional Belitung (Sahnasbel), pada Sabtu (28/9/19) bekerja sama dengan Agrowisata Wangi Hijau mengadakan bakti sosial pengobatan gratis dan pembagian sembako ratusan masyarakat Belitung.

Mereka rela meluangkan waktu demi membantu masyarakat dan tanah kelahirannya. Banyak cara untuk membantu sesama, apalagi mendukung perkembangan tanah kelahiran tercinta.

The post Sahabat Nasional Belitung Lakukan Bakti Sosial appeared first on BuddhaZine.

Meditation, Korean Zen Art, and Life As It Is

$
0
0

Anda mungkin adalah seorang penggiat seni, atau penikmat seni, atau bahkan mungkin anda berpikir bahwa anda tidak mempunyai bakat dan jiwa seni sama sekali. Namun yang anda perlu ketahui adalah: Kesadaran, Cinta kasih, Kebijaksanaan, dan Kemampuan serta Kreativitas adalah kualitas-kualitas hakikat sejati dari diri kita.

Dengan kita mengaplikasikan kesadaran dan kebijaksanaan meditatif dalam membuat karya seni tertentu, tidak hanya karya tersebut menjadi “spesial” namun karya tersebut juga akan membantu kita mengenali lebih dekat keadaan batin kita dan apa yang menjadi kualitas sejati dari batin kita.

Tergar Indonesia akan kedatangan tamu spesial, yaitu: Professor DAMWON KIM Chang-Bae, yang merupakan Professor Zen art dari Korea Selatan dalam rangkaian acara: “MEDITATION, KOREAN ZEN ART, and LIFE AS IT IS” yang akan berlangsung pada tanggal 7-14 Desember 2019. Dalam rangkaian acara ini, Professor Kim akan melakukan Solo Exhibition 108 buah Korean Zen Painting, serial workshop Meditative Zen Painting bersertifikat, seminar, dan Korean Tea ceremony and Meditation.

Acara ini bersifat Non Profit, berasal dari Komunitas dan kembali ke Komunitas. Setiap pendapatan yang didapat dari acara ini akan digunakan untuk penyelenggaran acara dan mendukung kegiatan Tergar untuk menyebarkan seni hidup bermeditasi.

Informasi dan Pendaftaran untuk mengikuti workshop silakan hubungi: +62 812 8686 0002

@TergarIndonesia

The post Meditation, Korean Zen Art, and Life As It Is appeared first on BuddhaZine.

Kehidupan yang Harmonis, Harapan Ribuan Umat Buddha di Vihara Mendut untuk Presiden

$
0
0

Minggu (20/10), pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019 – 2024 dilantik. Ir. Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’aruf Amin mengucapkan sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada sidang paripurna MPR RI di gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta.

Di hari yang sama, di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang, ribuan umat Buddha berkumpul dalam acara Sangha Dana, perayaan Kathina. Acara dihadiri oleh 11 bhikkhu dan samanera, Bhikkhu Sri Pannyavaro mengajak umat Buddha untuk berdoa dan membacakan paritta agar pelantikan dapat berjalan dengan lancar.

”Saudara-saudara, hari ini akan berlangsung pelantikan kepala negara kita. Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa lima tahun yang akan datang, Bapak Insinyur Joko Widodo dan Prof. Dr. Kiyai Haji Ma’aruf Amin. Tentu para bhikkhu dan umat Buddha melakukan pattana, berdoa agar kepala negara bisa memimpin masyarakat, bangsa, dan negara ini,” tutur Bhante Sri Pannyavaro.

Bhante Pannyavaro berharap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang dilantik dapat membawa kemajuan bagi bangsa. “Kita semua berharap, semoga Bapak Ir. Joko Widodo dan Prof. Dr. Kiyai Ma’aruf Amin bisa membawa Indonesia ini menuju kesejahteraan, kemakmuran, kehidupan masyarakat yang damai, dan harmonis.

“Saya mohon, kepada semua umat Buddha bersikap anjali, dan para bhikkhu bersama kami membacakan paritta manggala (keberuntungan/berkah) untuk kepala negara kita, presiden kita dan wakil presiden kita,” ajak bhante.

Pembacaan paritta manggala dilakukan oleh para bhikkhu yang dipimpin langsung oleh Bhante Sri Pannyavaro. Ribuan umat Buddha yang hadir bersikap anjali dan menundukkan kepala sembari merenungkan makna lantunan paritta-paritta suci yang dibacakan oleh para bhikkhu.

The post Kehidupan yang Harmonis, Harapan Ribuan Umat Buddha di Vihara Mendut untuk Presiden appeared first on BuddhaZine.

Rayakan Kathina, Umat Buddha Wihara Ekayana Arama Doakan Negara dan Bangsa Indonesia

$
0
0

Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Arama, Duri Kepa, Jakarta Barat, berlangsung pada Minggu pagi (20/10) dihadiri ribuan umat Buddha. Berbeda dengan Kathina tahun-tahun sebelumnya, tahun ini umat Buddha secara khusus berdoa untuk keselamatan dan kejayaan negara dan bangsa Indonesia. “Kami mendoakan baik parlemen maupun kabinet yang baru agar dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, semoga semua bertindak lurus,” demikian dinyatakan Edwin Halim, Ketua Panitia Perayaan Kathina.

Kathina adalah hari raya umat Buddha. Selain Waisak, umat Buddha memiliki beberapa hari raya lainnya. Kathina dapat dikatakan menjadi hari raya nomor dua bagi umat Buddha. Bahkan di beberapa negara Buddhis, perayaan Kathina lebih meriah daripada perayaan Waisak. Kathina yang diadakan sejak zaman Buddha 2.600 tahun yang silam, merupakan upacara persembahan terbesar.

Perayaan Kathina diadakan setelah berakhirnya masa vassa, yaitu masa para biksu dan biksuni berdiam di suatu tempat selama tiga bulan. Selama masa tersebut mereka meningkatkan latihan meditasinya, sehingga mengalami banyak kemajuan batin. Oleh karena itu, umat perumahtangga sangat bahagia jika pada saat perayaan hari Kathina dapat memberi persembahan kepada Sangha (komunitas para biksu dan biksuni).

Tema Kathina tahun ini adalah, “Kasih Buddha Hadirkan Sangha untuk Menjaga Dharma”. Pimpinan Wihara Ekayana Arama, Bhante Aryamaitri, menyampaikan, “Tanpa berpegang pada Dharma (Kebenaran Universal), masyarakat tidak akan hidup lurus. Jika tidak hidup lurus, masyarakat tidak akan hidup damai. Oleh karena itu Buddha dengan penuh kasih membentuk Sangha, komunitas para biksu dan biksuni, untuk menjaga Dharma.”

Perayaan Kathina diawali dengan pindapatta yang merupakan kesempatan bagi umat perumahtangga mempersembahkan dana bagi pengadaan salah satu kebutuhan pokok para biksu/biksuni, yaitu makanan. Para biksu-biksuni dengan membawa mangkuk terlihat berjalan hening, eling, dan waspada di halaman Wihara Ekayana Arama untuk menerima persembahan dari umat perumahtangga.

Setelah para hadirin melakukan pujabhakti, bermeditasi, dan mendengarkan ceramah Dharma, dimulailah acara utama Kathina yaitu Sanghadana. Umat perumahtangga berkesempatan satu persatu maju ke hadapan Sangha untuk mempersembahkan kain bahan jubah maupun dana bagi pengadaan kebutuhan pokok lainnya, yaitu kesehatan dan tempat tinggal Sangha. Perayaan Kathina diakhiri dengan doa pemberkahan serta doa bagi keselamatan dan kejayaan negara dan bangsa Indonesia, termasuk melimpahkan jasa kebajikan yang telah diperbuat demi kebahagiaan semua makhluk.

The post Rayakan Kathina, Umat Buddha Wihara Ekayana Arama Doakan Negara dan Bangsa Indonesia appeared first on BuddhaZine.

Manis Pahit Hubungan Kong Hu Cu dan Buddha: (1) Awal Interaksi

$
0
0

Secara umum, kepercayaan tradisional Tiongkok terbagi menjadi tiga agama utama masyarakat Tionghoa yaitu agama Kong Hu Cu (Rujiao), Taoisme (Daojiao) dan agama Buddha (Fojiao). Pengaruh agama-agama ini bahkan mencapai negara tetangga seperti Taiwan, Korea, dan Jepang, terutama Kong Hu Cu di Korea dan Buddha Chan/Zen di Taiwan dan Jepang. Tetapi hubungan ketiganya tidak selalu harmonis. Hal ini terlihat terutama pada awal penyebaran agama Buddha di daratan Tiongkok.

Sebagaimana yang kita ketahui, agama Buddha bukanlah produk asli negeri tirai bambu. Agama ini berasal dari kawasan India kuno yang kemudian merambah ke kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Berkat misionaris awal Buddhis, agama Buddha dikenal dan mulai memengaruhi peradaban dan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Terkenal sebagai negara dan budaya yang homogen, agama Buddha menjadi satu-satunya produk asing yang sukses diterima dan menjadi akar budaya masyarakat Tionghoa hingga kini.

Tetapi perjalanan integrasi agama Buddha di Tiongkok tidaklah selalu berjalan mulus. Sejarah mencatat banyak persekusi terhadap penganut Buddha yang terjadi, bahkan saat agama Buddha telah mengakar kuat di kalangan masyarakat awam Tiongkok. Salah satu penyebabnya adalah penolakan yang dilakukan oleh para cendekia Kong Hu Cu dan Taois yang menganggap agama Buddha sebagai produk asing yang ingin menguasai masyarakat dan negara Tiongkok.

Cendekia Kong Hu Cu adalah para terpelajar yang menekankan aspek sosial kemasyarakatan yang tertib dan berbudaya. Selama dua milenium interaksi, umat Kong Hu Cu dan Buddha terlibat konflik terkait politik dan tradisi ritual di sana. Kong Hu Cu sebagai kepercayaan asli Tiongkok didukung oleh banyak kaisar sebagai agama negara.

Gerakan persekusi bersifat anti agama Buddha terjadi selama beberapa dinasti pemerintahan di Tiongkok daratan. Selain karena memandang agama Buddha sebagai produk asing yang dapat memengaruhi kebudayaan setempat, konflik ini juga terjadi karena kentalnya perbedaan antara ajaran Kong Hu Cu dan Buddha akibat minimnya diskusi dan keterbukaan saat itu.

Sebagai contoh, umat Kong Hu Cu terdiri dari para cendikia yang mementingkan peranan dan tata sosial pemerintahan untuk mengatur sendi kehidupan sosial yang tertib, yang dapat terwujud dengan upaya dan peran aktif segenap lapisan masyarakat di dalamnya (zaijia).

Sedangkan agama Buddha dipandang sebagai agama yang mengajarkan para biksu/ni untuk tinggal terpisah di dalam komunitas Sangha, meninggalkan kehidupan keduniawian (chujia) demi mematahkan belenggu samsara. Dengan demikian mereka memandang agama Buddha sebagai ajaran eksklusif yang tidak membawa perbaikan bagi kerajaan di kala itu.

Ajaran Kong Hu Cu menjadi sebuah agama dan filosofi masyarakat Tionghoa didasarkan pada lima kitab kuno (wujing) yang menjadi dasar edukasi masyarakat Tionghoa sejak 136 SM. Kitab suci ini terdiri atas: kitab sanjak suci (shijing), kitab dokumen sejarah (shujing), kitab wahyu perubahan (yijing), kitab suci kesusilaan (lijing), dan kitab catatan periode musim semi dan gugur (chunqiu). Selain lima kitab suci ini, terdapat pula kitab-kitab lainnya yang menjadi pedoman umat Kong Hu Cu seperti Lunyu (analek), dan kitab berisikan ajaran dari Mensius dan Xunzi.

Sama seperti halnya Kong Hu Cu, Taoisme telah lebih dulu hadir di daratan Tiongkok sebelum agama Buddha masuk. Taoisme sebenarnya merupakan kumpulan dari kepercayaan, ritual, dan filosofi tradisional asli yang sudah ada di Tionghoa sejak zaman pra-sejarah. Taoisme merujuk pada Tao atau Jalan sebagai menggambarkan sumber dan pola atas segala yang ada di dunia ini.

Taoisme menekankan pada berbagai prinsip Tao Te Ching dan Zhuangzi seperti spontanitas, kesederhanaan, pelepasan nafsu keinginan, dan wu wei (tanpa aksi atau pikiran kosong). Masuknya agama Buddha di Tiongkok pada mulanya dianggap sebagai ‘Taoisme Asing’ oleh para Taois karena banyaknya kemiripan dalam konsep keduanya.

Naskah-naskah Buddhis pun diterjemahkan ke dalam Mandarin menggunakan kosakata Taoisme. Bahkan Taoisme cukup banyak mempengaruhi perkembangan agama Buddha Chan/Zen. Interaksi ini juga memberikan kesempatan bagi agama Buddha untuk mempengaruhi Taoisme seperti pelarangan mengkonsumsi alkohol, vegetarianisme dan doktrin kesunyataan.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

The post Manis Pahit Hubungan Kong Hu Cu dan Buddha: (1) Awal Interaksi appeared first on BuddhaZine.

Melihat Perayaan Kathina Dana Umat Buddha Pulau Dewata

$
0
0

Hari Jumat, (18/10) pada pukul 15.00 WIT, di Vihara Dhammadana Jl. Baturiti Bedugul, Kecamatan Baturiti, Kab. Tabanan, Bali, mulai dipadati oleh ratusan orang. Mereka adalah umat Buddha Bali yang hendak mengikuti Sanghadana, perayaan Kathina 2019.

Sebelum itu, para umat yang hadir bercengkerama menikmati berbagai hidangan makanan yang sudah disediakan oleh panitia. Senyum terpancar dari wajah setiap orang, suasana terlihat begitu hangat, setiap orang menikmati perjumpaan dengan kawan sedhammanya.

“Memang kalau di Bali, hari raya umat Buddha yang paling disambut antusias adalah Kathina. Kita seperti muter terus ke vihara-vihara secara bergantian. Menjalin silaturahmi dengan umat Buddha dari daerah lain,” kata Pak Eddy Kencana, salah satu umat Buddha Bali memberikan keterangan.

Sebelum sore, umat sudah mulai memasuki ruang dharmasala, mereka duduk berbaris rapi dengan penuh keheningan. Ruang dharmasala berukuran besar dan tenda penuh oleh umat Buddha yang hadir. Puluhan umat bahkan harus duduk tanpa tenda peneduh.

Sanghadana dihadiri oleh lima orang bhikkhu perwakilan Sangha; Bhante Sucirano, Bhante Saccadhammo, Bhante Jayadhammo, Bhante Upasilo, dan Bhante Dhammaratano. Mereka adalah para bhikkhu pembina umat Buddha Pulau Bali dan Lombok yang melakukan masa vassa di dua pulau tersebut.

Masa vassa adalah masa berdiam di musim hujan bagi para bhikkhu. Di India dimana agama Buddha berasal, musim hujan biasanya jatuh sekitar Agustus – Oktober. Di zaman awal berkembangnya agama Buddha, bepergian di musim hujan bisa membuat kita menginjak hewan-hewan kecil dan tunas-tunas tumbuhan, juga tidak baik bagi kesehatan karena dahulu para bhikkhu berjalan kaki di hutan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, akhirnya selama tiga bulan musim hujan para biksu berdiam menetap di suatu tempat sekaligus digunakan sebagai kesempatan untuk melatih diri secara intensif. Keberhasilan para bhikkhu dalam menjalankan masa vassa ini kemudian disambut gembira oleh umat Buddha, dengan melakukan Sanghadana, memberikan persembahan kebutuhan pokok para bhikkhu.

“Sore ini, formasi bhikkhu lengkap. Bhante Sucirano bisa hadir di tengah-tengah kita, kesehatan beliau mulai membaik, semoga terus membaik. Ada budaya yang coba kita jaga dan lestarikan, yaitu berkumpulnya semua umat Buddha dari seluruh Bali, minimal perwakilan dari vihara-vihara. Sayang tahun ini dari Lombok tidak bisa hadir, hanya diwakili oleh para bhikkhu saja, karena kami habis terkena bencana gempa,” terang Bhante Saccadhammo, mengawali pesan Dhamma.

Senada dengan yang dituturkan oleh Eddy Kencana, bhante juga mengatakan bahwa perayaan Kathina Dana bagi umat Buddha Bali menjadi momentum reuni setahun sekali. “Ini adalah reuni tahunan, ini melebihi momentum hari raya lain dalam agama Buddha. Kita tidak meragukan hari Waisak yang menjadi perayaan umat Buddha di seluruh dunia. Tetapi khusus kita di Bali ini, saat Waisak, Asadha, Maghapuja belum tentu semua bhikkhu hadir selengkap ini. Karena saat Waisak, setiap vihara melakukan perayaan sendiri-sendiri. Tetapi Sanghadana, diusahakan dihadiri oleh para bhikkhu,” lanjut bhante.

Selain sebagai ajang berkumpul umat Buddha, Sanghadana juga menjadi kesempatan untuk berbuat kebajikan. Seperti pada masa sekarang, yang mana situasi bangsa Indonesia sedang panas jelang pelantikan presiden, bhante berharap umat Buddha juga peduli terkait situasi tersebut. “Saya juga mendapat pesan dari pembimas Buddha Provinsi Bali, beliau meminta kita semua untuk ikut mendoakan bangsa. Karena kalau kita membaca dan melihat di media-media suasana masih panas.

“Tetapi doa dalam agama Buddha ini tidak semata-mata meminta kepada para brahma, para dewa, bodhisattwa maupun kepada Buddha tetapi doa dalam agama Buddha harus hadir dari hati, serta dilaksankan dalam tindak-tanduk sehari-hari. Saya kira momen Sanghadana ini adalah momen kebajikan. Saya percaya bapak ibu ini sudah memahami bahwa kebajikan (dana) tidak hanya materi.”

Bhante juga menjelaskan tentang lima pihak yang layak menerima dana atau persembahan. Mereka adalah; Pertama, orang yang datang (tamu). Kedua, kepada orang yang bepergian. Ketiga, orang yang terkena musibah, gempa, banjir, kebakaran, kecelakaan. Kita memberi kepada mereka, karena kita tahu mereka membutuhkan dan layak untuk dibantu. Keempat, kepada orang sakit. Kelima, kepada orang-orang yang melakukan latihan moral, menjalankan sila,” pungkasnya.

Selesai mendengarkan ceramah Dhamma, para umat memberi persembahkan dana kepada bhikkhu Sangha.

The post Melihat Perayaan Kathina Dana Umat Buddha Pulau Dewata appeared first on BuddhaZine.


Lakumu Cerminan Adabmu

$
0
0

Peribahasa yang dijadikan sebagai judul dari artikel ini di atas mengandung arti bahwa perilaku atau perangai menunjukkan adab seseorang. Dapat juga berarti baik buruk perilaku seseorang mencerminkan kepribadiannya, mengindikasikan tinggi rendahnya akhlak yang dimilikinya.

Sebagaimana kata adab, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Kosokbali dari kata ini adalah biadab, yang memiliki definisi belum beradab alih-alih tidak beradab. Belum beradab artinya memiliki kemungkinan untuk diubah.

Dalam agama Buddha laku atau perbuatan memiliki cakupan yakni pikiran, ucapan, dan tindakan jasmani. Bukan saja laku yang kasat mata seperti lisan dan tindakan, tetapi juga termasuk laku pikiran (perbuatan melalui pikiran). Ketiganya disebut sebagai pintu perbuatan. Dari ketiganya kebaikan dan kejahatan dapat dilakukan. Untuk perbuatan jahat, akarnya adalah ketamakan (lobha), kebencian (dosa), dan ketidaktahuan (moha).

Beradab sudah pasti bermatabat, tetapi tidak selalu berlaku sebaliknya

Adab adalah kualitas baik, sebuah nilai yang dimiliki oleh seseorang dengan usaha, melalui proses belajar (berlatih) secara berkelanjutan dalam hidupnya. Nilai ini tidak digarisi melalui keturunan, tidak juga didapatkan melalui kedudukan sosial. Seseorang juga tidak bisa mengandalkan orang lain atau kekuatan entitas tertentu melakukannya untuk dirinya.

Dalam untaian indah syair Dhammapada 165, Sang Buddha bersabda bahwa, “Oleh diri sendiri kejahatan diperbuat, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan dihindari, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci ataupun tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tidak seorang pun yang dapat menyucikan orang lain.”

Kata kuncinya adalah diri sendiri. Oleh diri sendiri. Seorang anak yang lahir dari keluarga yang taat beragama, misalnya, tidak lantas menjadi baik dengan sendirinya, kecuali melalui kombinasi antara didikan yang didapatkan dalam keluarga, lingkungan, dan aktualisasi dalam kehidupannya.

Ini berlaku bagi siapa saja. Setiap orang memiliki potensi yang sama untuk menjadi baik –atau sebaliknya– sejak ia mengenal dan memahami kehidupan, ada ataupun tidak kedudukan sosial yang dimiliki. Tetapi semuanya tidak instan, memerlukan proses, dan tidak pula gratis. Minimal harus dibayar dengan iktikad dan kontinuitas.

Dalam masyarakat, tak dapat dipungkiri bahwa orang lebih dihormati karena derajat atau status sosial yang dimiliki. Status sosial mendapatkan tempat terhormat. Meski begitu, tidak berarti bahwa segala hal yang baik dengan sendirinya menjadi milik kalangan tertentu, sedangkan semua bentuk kejahatan sudah pasti milik golongan lainnya.

Kebaikan dan kedudukan adalah dua hal yang berbeda. Kedudukan bisa didapatkan dan didominasi, tetapi kebaikan bukan monopoli kelompok tertentu.

Seorang yang tergolong miskin secara materi sekalipun dapat melakukan perbuatan baik. Mereka tergolong orang yang bermartabat secara moral, memiliki tingkat harkat kemanusiaan. Sebaliknya, orang yang secara sosial dianggap bermartabat tidak jarang justru berlaku lalim dengan memanfaatkan status yang dimiliki. Setiap orang memiliki potensi untuk melakukan perbatan baik atau buruk.

Seyogianya, siapapun kudu berbuat baik. Tapi kenyataannya kejahatan terjadi di mana-mana. Saban hari media mewartakan pelbagai tindak kriminalitas dalam ragam rupa, di manapun, dan dilakukan oleh banyak kalangan. Tidak saja dilakukan oleh kaum marjinal, tetapi juga oleh mereka yang dinilai terpandang dalam masyarakat.

Hampir sering media menyiarkan para aparatur negara melakukan tindak korupsi. Meskipun berkecukupan secara materi, mereka tetap tidak terpuaskan. Ini satu contoh dari sekian banyak kejahatan yang ada. Para pelaku kejahatan inilah contoh dari orang yang belum memiliki adab. Dalam frasa lain disebut ‘kaum terbuang’, sedikit lebih baik dari sebutan kasar ‘manusia sampah’.

Kriteria kaum terbuang dalam Vasala Sutta

Buddha menjelaskan secara terperinci apa saja kriteria dari ‘kaum terbuang’ ini dalam Vasala Sutta, Sutta Nipāta (Khuddaka Nikaya). Beberapa di antaranya adalah pemarah dan pendendam, memiliki pandangan salah, tidak memiliki cinta kasih dan melukai (membunuh) makhluk hidup lain, pencuri, pembohong, pelakor atau pebikor, tidak menyokong orang tua kandung dan durhaka terhadap mereka, dan sombong serta merendahkan orang lain…. “Orang demikian disebut sebagai Kaum Terbuang”.

Semua contoh kriteria yang ditulis di sini hanya sebagian kecil dari apa yang tertera di dalam sutta. Semuanya berpangkal dari tiga akar kejahatan tadi dan tersalurkan melalui tiga pintu perbuatan. Jika mencermati setiap tolak ukur tersebut, dipastikan bahwa kita sudah pasti pernah melakukan satu kasus atau lebih sejauh ini.

Tidak ada orang yang tidak pernah marah atau menyimpan dendam. Pandangan hidup kita tidak selalu berkiblat pada kebenaran. Mungkin kita tidak sampai menghilangkan nyawa manusia, tapi pernah melukai perasaan mereka dengan perkataan nyelekit. Pernah ingkar pada kewajiban sebagai anak kepada orang tua. Singkatnya, kita pernah berbuat salah. Laku kita tak selalu beradab.

Tetapi dengan mula-mula mengetahui bahwa kita salahlah kemudian kita bisa memperbaiki diri. Seseorang yang menderita suatu penyakit akan dapat lebih mudah dicarikan penawar dan diobati setelah didiagnosa. Begitupun dengan laku buruk.

Dengan tahu sesuatu itu buruk baru kemudian kita dapat membimbing diri dengan benar (attasammāpaṇidhi) di kemudian hari. Sebagaimana halnya bibit kejahatan, dalam diri kita juga mempunyai benih kasih. Keduanya sama. Luas bak samudra. Tergantung pada kita, memilih untuk mengembangkan yang terpuji dan menjadi beradab atau sebaliknya.

*Ditulis oleh Bhikkhu Pabhajayo, Sangha Theravada Indonesia

Saat ini berdomisili di Vimala Chanda Arama, Singkawang, dan membantu pembinaan umat Buddha di Kalimantan Barat.

The post Lakumu Cerminan Adabmu appeared first on BuddhaZine.

Songsong Perayaan Kathina Wihara Ekayana Serpong Ajak Meditasi Jalan Damai

$
0
0

Berjalan sedemikian rupa sehingga setiap langkah menjadi realisasi perdamaian, setiap langkah menjadi doa bagi perdamaian dan kerukunan.

Menyambut Hari Raya Kathina 2563 BE/2019, Wihara Ekayana Serpong mengadakan “Peace Walk” atau Jalan Damai Berkesadaran yang diikuti sekitar dua ratus umat dan delapan anggota Sangha.

Kegiatan Peace Walk ini dilakukan di kompleks Symphonia Harmony Lake Summarecon Serpong pada hari Sabtu, 26 Oktober 2019. Acara dimulai pukul 05.30 dengan Gerak Badan Berkesadaran, dilanjutkan dengan Jalan Berkesadaran.

Jalan Damai Berkesadaran adalah salah satu seni hidup berkesadaran dengan cara sederhana, berjalan bersama dengan hening, menghadirkan energi kolektif, berjalan tanpa ketergesaan untuk sampai di suatu tempat. Dengan mencurahkan seratus persen diri kita dalam melangkah, menyadari gerakan kaki, termasuk ketika telapak kaki menyentuh Ibunda Bumi.

“Berjalan bersama dalam keheningan, berjalan untuk menyatukan hati, untuk memelihara kebersamaan kita. Berjalan tenang dan damai menerbitkan kebahagiaan mendalam dalam diri, kebahagiaan mudah diciptakan jika seseorang memiliki cukup keriangan dan damai dalam dirinya,” tutur Bhante Dharmavimala selaku Wakil Kepala Wihara Ekayana Serpong.

Setelah jalan berkesadaran, acara dilanjutkan dengan duduk berkesadaran (meditasi duduk), dan makan berkesadaran (meditasi makan) dengan hening.

Acara Kathina di Wihara Ekayana Serpong sendiri akan diadakan pada Minggu, 3 November 2019 pukul 08.00-11.00 WIB. Acara Kathina Anak juga akan diadakan pada waktu bersamaan, dilanjutkan dengan Upacara Wisudhi Trisarana/Upasaka/Upasika.

The post Songsong Perayaan Kathina Wihara Ekayana Serpong Ajak Meditasi Jalan Damai appeared first on BuddhaZine.

Manis Pahit Hubungan Kong Hu Cu dan Buddha: (2) Gerakan Anti-Buddhis

$
0
0

Selama zaman dinasti Han (206 SM – 220 M), agama Buddha telah dikenal oleh masyarakat Tionghoa meskipun belum dominan. Pada masa ini, agama Buddha lebih banyak dipraktikkan oleh komunitas-komunitas pedagang dari Asia Tengah. Oleh karena sifatnya yang masih terbatas, penyebaran agama Buddha belum dipandang sebagai suatu ancaman bagi kekaisaran dan tradisi Kong Hu Cu yang saat itu berkembang di kalangan istana.

Selama interval kejatuhan dinasti Han dan berdirinya dinasti Sui (581 – 618 M), agama Buddha telah berkembang menjadi kekuatan dominan dan berakulturasi dengan kebudayaan dan tradisi setempat melahirkan aliran Buddha Mahayana Tiongkok. Aliran ini menekankan pada ajaran tentang dhyana (meditasi) dan sunyata (kekosongan) sebagaimana dijelaskan dalam sutra Prajnaparamita.

Ajaran ini menarik minat banyak kalangan di kala itu sebagai bahan diskusi dan praktik, termasuk aristokrat di Tiongkok utara dan selatan. Para biksu India (Tiongkok – India) mulai bertukar pikiran dengan para aristokrat untuk menemukan kesalingpahaman dan toleransi antara ajaran Buddhis dengan tradisi setempat.

Hasilnya adalah pertukaran teori antara aristokrat penganut paham Kong Hu Cu, para biksu Buddhis, dan para Taois yang dikenal sebagai Xuanxue. Sedangkan pertukaran yang meliputi pemikiran agama Buddha Mahayana dengan Laozi dan Zhuangzi disebut qingtan.

Agama Buddha kemudian terus berkembang tidak hanya di kalangan pedagang dan aristokrat, tetapi juga masyarakat Tionghoa secara umum. Bahkan pada abad kelima terjemahan lengkap peraturan monastik biksu/ni (vinaya) dari India selesai. Melihat pertumbuhan signifikan ini, Kaisar Wudi (424 – 451) dari dinasti Wei Utara mengambil langkah persekusi anti buddhis pertama di Tiongkok atas permintaan kedua menteri penganut Kong Hu Cu dan Taoisme, Kou Qianzhi dan Cui Hao.

Keduanya berharap keadaan negara yang lebih homogen (mengutamakan tradisi dan kepercayaan asli Tionghoa) dan melihat Sangha sebagai pembangkang kekaisaran dan sekularisme. Kaisar Wudi dari dinasti Zhou Utara (557 – 581) juga menerima argumen ini dan melakukan persekusi anti buddhis. Dia mengeluarkan berbagai kebijakan yang merugikan agama dan penganut Buddha di Tiongkok seperti penangkapan biksu/ni dan penutupan wihara-wihara.

Selama dekade awal dinasti Tang (618 – 907), para penasihat Kong Hu Cu dan Taois mengecam Sangha dengan berbagai alasan, termasuk penahbisan ilegal, arogansi agama, aktivitas komersil, dan penghindaran pajak. Hal ini menyebabkan Kaisar Gaozu (618 – 627) pada tahun 626 memproklamirkan Kong Hu Cu dan Taoisme sebagai dua pilar kekaisaran. Hal ini berdampak pula pada semakin terpojoknya perkembangan agama Buddha di daratan Tiongkok. Aksi persekusi anti-buddhis paling drastic terjadi selama era Huichang (841-845M).

Kaisar Wuzong mengadopsi kebijakan untuk menekan popularitas agama Buddha di daratan Tiongkok. Dia memerintahkan penutupan vihara-vihara, mengusir para biksu dan biksuni dari vihara tempat mereka tinggal, dan melarang para pemuda-pemudi untuk menjadi seorang biksu atau biksuni.

Pada 845M, kebijakan Wuzong ini telah menyebabkan kurang lebih 260.000 biksu dan biksuni lepas jubah dan menghancurkan lebih dari 4.600 vihara dan 40.000 kuil. Kebijakan anti asing Kaisar Wuzong juga turut berimbas pada agama impor lainnya yang ada di Tiongkok kala itu, yaitu Zoroastrianisme, Kristen Nestorian, dan Manichaeisme.

Han Yu mengambil pendapat dari sudut pandang Kong Hu Cu bahwa agama Buddha merupakan sebuah budaya barbar dan Buddha sendiri adalah seorang barbar – yang artinya seseorang yang tidak mengetahui hubungan pantas antara penguasa dan para menteri, ayah dan anak, atau siapa pun yang tidak mengenakan pakaian kuno Tionghoa. Han Yu berpendapat bahwa agama Buddha mengancam eksistensi Kong Hu Cu di komunitas Tiongkok dengan mengajak masyarakat untuk menyembah tulang Buddha.

The post Manis Pahit Hubungan Kong Hu Cu dan Buddha: (2) Gerakan Anti-Buddhis appeared first on BuddhaZine.

Bhikkhu adalah Seorang Pertapa yang Menjalani Hidup Sederhana

$
0
0

“Ibu, Bapak dan Saudara, apa pun fungsi sosial di masyarakat, dengan kalimat yang lain, apa pun jabatan yang akan atau yang sedang ditunaikan, para bhikkhu tetaplah seorang pertapa, para bhikkhu tetaplah seorang samana” terang Bhante Sri Pannyavaro kepada ribuan umat Buddha yang hadir dalam perayaan Kathina 2563 TB/2019 di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (20/10).

Bhante Pannyavaro menambahkan, bhikkhu adalah orang yang menjalankan hidup sederhana ingin membersihkan kotoran batin untuk menyelesaikan penderitaan. Seorang bhikkhu hanya memiliki satu setel jubah dan dua setel jubah pengganti milik bersama. Seorang bhikkhu makan sehari hanya dua kali pagi dan sebelum tengah hari, kadang-kadang bahkan hanya satu kali.

 

Siapa pun seorang bhikkhu itu, seorang Bhikkhu memerlukan tempat berteduh tetapi bukan memiliki aset dan sekadar obat-obatan pada waktu sedang sakit. “Ini adalah kesempatan bagi kami yang paling baik untuk memperbaharui pengertian Ibu, Bapak, dan Saudara utamanya umat Buddha tentang Sangha, tentang para bhikkhu,” tutur Bhante.

“Kathina Dana adalah perayaan mempersembahkan jubah utamanya, dan kebutuhan-kebutuhan lain untuk Sangha bukan untuk pribadi bhikkhu. Siapa pun yang menerima, apakah saudara mempersembahkan di dalam, di depan atau di belakang. Kepada bhikkhu siapa pun di vihara manapun, Ibu, Bapak dan Saudara harus berpikir, persembahanku ini untuk Sangha bukan untuk bhikkhu-bhikkhu tertentu,” jelas bhante.

“Ibu, Bapak, dan Saudara, beberapa waktu yang lalu ada seorang umat Buddha mungkin baru mengenal Dhamma. Umat Buddha yang baru mengenal Dhamma ini bertanya pada temannya yang sudah lama menjadi umat Buddha. Pertanyaannya agak aneh bagi kami, mungkin tidak aneh bagi yang lain. Umat ini bertanya, ‘Apakah bisa mengundang para bhante, para bhikkhu, untuk pemberkahan di rumah juga untuk mengajar Dhamma, memberikan wejangan, memberikan bimbingan?’

“Oh iya, mengapa tidak! Karena selain membersihkan kotoran batin, kami mempunyai tugas moral spiritual untuk memberikan pendidikan kepada umat Buddha dan kepada siapa saja yang mau mendengar untuk meningkatkan kualitas batin menjadi lebih baik. Itu tugas moral kami.

“Kemudian orang ini bertanya,” lanjut bhante. ‘Kalau misalnya mengundang untuk ceramah, Bhante Jothidhammo, Bhante Santacitto, itu kira-kira tarifnya berapa? Sampai puluhan juta? Apalagi kalau mengundang Bhante Pannyavaro, itu sampai berapa ratus juta?’

“Pertanyaan ini amat janggal bagi kami Ibu, Bapak, dan Saudara. Karena para bhikkhu tidak boleh berjualan, apalagi menjual Dhamma. Dhamma itu tidak ternilai harganya, ratusan juta sekalipun tidak mungkin bisa digunakan untuk membeli Dhamma. Saya, Bhante Jotidhammo, Bhante Santacitto dan para bhikkhu semuanya mengajarkan, memberikan pendidikan Dhamma dengan ketulusan, tidak ada tarif.

“Apakah Bhante Pannyavaro tidak mempunyai sekretaris yang mengurusi itu tarif-tarif? Tidak saudara! Para bhikkhu adalah pertapa yang mempunyai tugas moral untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat, mendorong keluhuran moral mereka hingga mencapai kebebasan dari penderitaan, yang kami perlu adalah, hanya kalau mengundang para bhikkhu siapkanlah transportasi.”

Bhante bercerita selama 35 tahun beliau telah pergi ke berbagai daerah, ke pelosok-pelosok desa untuk mengajar Dhamma. “Sampai suatu saat kami pergi ke desa ke daerah Jepara, yang namanya Blingoh, kemudian desanya Bhante Sujano namanya Jugo dan naik lagi sampai Guwo. Guwo itu desa yang paling ujung, sudah tidak ada desa lagi Saudara. Di Gunung Pandawa. Mungkin Desa Guwo itu sudah mendekati Surga Tusita. Di sini ada seorang samanera dari Guwo yang mendekati Surga Tusita itu belajar di Vihara Mendut,” gurau Bhante.

“Apakah Bhante Pannyavaro pergi ke tempat itu? Iya saudara. Saya datang ke Guwo itu. Lalu bagaimana Bhante transportasinya? Ibu Silamurti dari Muntilan memberikan dana kendaraan kepada kami kurang lebih 35 tahun. Kendaraan yang beliau danakan, kendaraan yang beliau bantukan kepada kami sebenarnya seperti kendaraan vihara ini. Hampir kadang-kadang setiap hari saya menggunakan kendaraan Ibu Silamurti itu dengan sopirnya Mas Budi. Mungkin Budi mendengarkan kotbah saya paling banyak selama puluhan tahun. Saya menyampaikan penghargaan kepada Ibu Silamurti.

“Tetapi bagaimana Bhante kalau tempatnya jauh? Umat memberikan transportasi, hanya kadang-kadang ada juga yang kurang. Lalu bagaimana Bhante? Pak Ayung memberikan tawarannya. Selama singa terbang, Bhante boleh menggunakan untuk kepentingan Dhamma. Saya menyampaikan penghargaan juga atas tawarannya Pak Ayung ini.

“Apakah ada bhante umat-umat yang ingin berdana mobil kepada Bhante? Oh iya, tidak hanya ada, sering. Tetapi saya berpikir untuk apa? Karena dana dari Ibu Silamurti ini tidak perlu garasi, tidak perlu sopir, tidak perlu mengurus STNK, kalau rusak saya tidak perlu membawa ke bengkel, itu meringankan kami sebagai pertapa. Kalau ada umat ingin memberikan mobil kepada kami untuk apa? Itu beban. Meskipun dibutuhkan,” bhante Menegaskan.

Begitulah seharusnya kehidupan seorang bhikkhu seperti yang dijelaskan Bhante Sri Pannyavaro. Hidup sederhana, tidak mempunyai warisan, membersihkan kotoran batin hingga mencapai kesucian dan memberikan pendidikan moral, meningkatkan keluhuran akhlak budi pekerti kepada masyarakat.

The post Bhikkhu adalah Seorang Pertapa yang Menjalani Hidup Sederhana appeared first on BuddhaZine.

Wujudkan Generasi Cinta Negara Tanpa Menggunakan Narkoba

$
0
0

Antusias para umat terlihat dari keramaian yang memenuhi ruang Baktisala Utama Wihara Ekayana Serpong. Tidak hanya ruang Baktisala Utama, sesi sharing pun disiarkan langsung ke lantai 3 hingga ruang meditasi dan ruang isipatana di lantai 5. Dengan siaran langsung ini, para umat baik komisi remaja, komisi pemuda dan umum dapat mengikuti rangkaian acara pada Minggu, 15 September 2019.

Tepat pukul 09.00 WIB, para umat membacakan buku Paritta yang menandakan rangkaian acara telah dimulai. Suara merdu pembacaan Paritta mewarnai seisi ruangan. Pikiran terarah dan hati tenang terlihat dalam kegiatan meditasi memperhatikan nafas masuk dan keluar.

Sesi sharing hari itu cukup berbeda, Wihara Ekayana Serpong kedatangan tamu spesial dari Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) yang dibawakan oleh Victor Pudjiadi, Brigadir Jenderal Polisi yang telah mendapatkan beberapa REKOR MURI ini secara langsung memberikan pemaparan yang sangat detail tentang penyalahgunaan narkoba.

“Terima kasih atas kehadiran Dr. Victor Pudjiadi mewakili BNN Republik Indonesia yang telah bersedia hadir di Wihara Ekayana Serpong,” demikian sambutan dari Bapak Hasan Anny selaku Ketua Persamuhan Umat Wihara Ekayana Serpong. Sesi sharing yang dibawakan dengan penuh semangat dan suara lantang memberikan aura tersendiri. Uniknya, Victor Pudjiadi juga memiliki keahlian di bidang sulap. Sesi sharing mengalir dengan santai dan tidak kaku karena diselingi oleh sulap-sulap penuh arti darinya. Tidak disangka, beliau adalah seorang pesulap handal yang telah dianugerahi Merlin Award International Magicians Society kategori Outstanding Contribution.

Dengan bukti – bukti kasus penyalahgunaan narkoba, Victor Pudjiadi berhasil memberikan visualisasi yang dapat berdampak buruk bila menggunakan narkoba. Selain itu, sesi sharing juga dimeriahkan dengan efek suara pistol menunjukkan ketegasan akan dilarangnya penggunaan narkoba yang tidak melalui pengawasan.

Hidup hanyalah sekali manfaatkanlah waktu yang ada dengan semaksimal mungkin. Narkoba mungkin terlihat sederhana (permen, tablet, kapsul), tapi efeknya mampu merusak hidup seseorang yang bahkan menyebabkan kematian.

Sebagai generasi muda, mulailah dari menjaga diri sendiri untuk tidak menyalahgunakan narkoba. Setelah itu, jadilah pahlawan dengan menjaga bangsa Indonesia dari narkoba. Langkah kecil yang dimulai dari diri sendiri ini, tanpa sadar akan mampu membawa negara Indonesia menjadi negara yang jauh lebih baik.

“Ayo bela negara dengan tidak menggunakan narkoba!” Ajakan yang merupakan inti dari sesi sharing yang dibawakan oleh Victor Pudjiadi mewakili BNN RI.

Waktu tak terasa menunjukkan sesi sharing harus berakhir. Para umat tentu tidak pulang dengan tangan kosong, melainkan telah membawa ilmu-ilmu serta kewajiban untuk bersama – sama mewujudkan cinta negara tanpa menggunakan narkoba.

The post Wujudkan Generasi Cinta Negara Tanpa Menggunakan Narkoba appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live