Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Nggak Ngasal Makan, Begini Caranya…

$
0
0

Makan berkesadaran merupakan bagian dari mindfulness (hidup berkesadaran), hadir secara utuh pada saat ini (present moment). Dalam makan berkesadaran artinya kita secara penuh – sadar pada proses makan sampai selesai. Menyadari setiap makanan yang masuk ke dalam mulut, mengunyah dengan penuh perhatian, hingga menelannya dengan tenang tanpa tergesa.

Menjadi bagian dari peserta retret di Plum Village Pondok Sadhana Amitayus, Cipayung Bogor adalah hal yang membahagiakan bagi saya. Melatih diri untuk hidup berkesadaran terhadap hal-hal yang sedang kita lakukan saat ini.

Bersama dengan keluarga besar guru dan staff Sekolah Tri Ratna, penulis mengikuti kegiatan retret atau mindfulness di Plum Village Pondok Sadhana Amitayus pada tanggal 23 – 26 Oktober 2019 yang lalu. Rangkaian kegiatan retret ini meliputi meditasi duduk, meditasi berjalan, meditasi kerja, singing meditation, relaksasi total, dhamma talk, sharing group, game, hingga makan berkesadaran.

Renungan makan berkesadaran

Peserta retret mengambil makanan yang telah disajikan oleh panitia. Sebelum makan, salah satu petugas akan membacakan “Renungan sebelum Makan”. Ada lima renungan sebelum makan yang harus benar-benar direnungkan, yaitu sebagai berikut:

1. Makanan ini adalah anugerah dari seluruh alam semesta—bumi, langit, dan dari berbagai hasil kerja keras.

2. Semoga kami makan dan hidup dengan penuh kesadaran dan rasa terima kasih, agar kami layak untuk menerimanya.

3. Semoga kami dapat mengenali dan mengubah bentuk-bentuk pikiran tidak bajik, terutama keserakahan, dan belajar untuk makan dengan kewajaran.

4. Semoga kami dapat menjaga welas asih agar tetap hidup, melalui cara makan sedemikian rupa sehingga mengurangi penderitaan semua makhluk, melestarikan planet ini dan mengurangi penyebab terjadinya perubahan iklim.

5. Kami terima makanan ini agar dapat merawat hubungan persaudaraan kakak dan adik, memperkuat Sanggha, dan memupuk tujuan luhur dalam melayani semua makhluk.

Makan berkesadaran dilakukan selama 15 menit setelah petugas selesai membacakan “5 Renungan sebelum Makan”. Selama 15 menit tersebut, peserta diminta untuk duduk senyaman mungkin menikmati makanannya. Tubuh dan pikiran hanya fokus pada makanan di piringnya masing-masing. Peserta dihimbau untuk tidak berpindah tempat duduk, berbicara, berjalan, atau melakukan aktivitas lain selain makan.

Makna “5 renungan sebelum makan”

Renungan sebelum makan yang dibacakan bertujuan untuk membuat kita lebih fokus dan sadar selama waktu makan atau dikenal dengan sebutan makan berkesadaran. Setiap makanan yang kita kunyah merupakan hasil semesta dan kerja dari orang-orang yang terlibat menyajikan makanan tersebut. Mulai dari petani yang menanam dan merawat bahan makanan di lahan yang telah disediakan semesta, para pedagang yang mendistribusikan bahan makanan, para koki (tukang masak) yang bekerja mengolah bahan makanan menjadi sajian yang lezat, hingga orang-orang yang menyajikan makanan tersebut.

Menyadari bahwa ada banyak pihak yang terlibat dalam sepiring makanan yang kita makan, menyadarkan kita untuk selalu bersyukur pada setiap makanan yang kita kunyah. Makanan tersebutlah yang menjadi sumber energi bagi kita untuk bertahan hidup melakukan aktivitas sehari-hari. Jika menyadari hal demikian, hendaknya kita bisa memanfaatkan energi yang kita miliki sebaik mungkin dengan melakukan hal positif atau kebajikan.

Pikir ulang sebelum marah

Mau marah? Mau berbuat jahat? Membuat kita berpikir ulang sebelum melakukan hal negatif tersebut. Latihan makan berkesadaran akan membentuk benteng diri, mengontrol pikiran, ucapan, dan perbuatan untuk melakukan kebajikan. Jangan biarkan semua pihak yang berjasa menyediakan makanan untuk kita, merasa sakit hati karena energi dalam tubuh ini justru digunakan untuk berbuat jahat. Jangan biarkan energimu terbuang sia-sia untuk marah atau melakukan kejahatan.

Maka dari itu gunakan energimu untuk melakukan kebajikan, baik melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan. Ini akan menjadi salah satu cara menghargai dan mengapresiasi semesta maupun pihak-pihak yang telah berjasa.

The post Nggak Ngasal Makan, Begini Caranya… appeared first on BuddhaZine.


Kathina di Bali

$
0
0

Para umat dengan mengenakan seragam kemeja putih memenuhi ruang Dhammasala yang terbagi dalam dua lantai di Vihara Buddha Guna Nusa Dua Bali untuk mengikuti perayaan Kathina yang dilaksanakan pada Senin (16/10). Para umat yang mengikuti perayaan Kathina datang dari berbagai daerah di Bali bahkan sebagian ada yang datang dari Lombok.

Memang menjadi keunikan tersendiri ketika menjelang masa Kathina di Bali dan Lombok. Ketika sudah memasuki masa Kathina umat Buddha Bali dan Lombok menyebar selebaran yang memuat jadwal-jadwal Kathina di setiap vihara yang ada di Bali dan Lombok. Cara ini menjadi sarana untuk mempermudah memberikan informasi juga untuk menghindari kemungkinan adanya bentrok jadwal di antara vihara-vihara di Bali dan Lombok.

Di sisi lain mengingat umat Buddha di Bali yang cukup sedikit diharapkan bisa berkumpul dan menghadiri Kathina secara serentak dalam satu vihara, sehingga dalam perayaan Kathina tidak kekurangan umat yang datang. Cara menyebar selebaran jadwal ini hanya dilakukan di masa Kathina, bukan di masa hari besar lain, untuk tahun ini Vihara Buddha Guna sendiri menempati jadwal yang ketiga dari seluruh jadwal Kathina di Bali dan Lombok.

Tentang Vihara Buddha Guna

Selain menjadi tempat ibadah umat Buddha di Nusa Dua Bali, namun Vihara Buddha Guna juga menjadi bagian dari ikon Bali karena letaknya yang berada di tengah-tengah kompleks lima rumah ibadah yang dikenal dengan areal Puja Mandala (Pura Jagatnatha, Masjid Ibnu Batutah, Gereja Bukit Goa dan Gereja Khatolik Maria Bunda Segala Bangsa). Vihara Buddha Guna ini dibangun secara harmonis berdampingan yang terletak di lingkungan Desa Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Pemandangan ini menjadi cermin tingginya semangat kerukunan kehidupan umat beragama di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Pembangunan vihara diawali dengan peletakan batu pertama pada tanggal 20 Oktober 1994 sekaligus pemberian nama Vihara Buddha Guna oleh Y.M. Girirakkhito Mahathera Ketua DPP Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Buddha Guna memiliki arti sifat-sifat mulia dari Sang Buddha yaitu:

  1. Pannya Guna : sifat mulia dari kebijaksanaan
  2. Visudhi Guna : sifat mulia dari kesucian
  3. Karuna Guna : sifat mulia dari belas kasih

Setelah melalui proses yang panjang dengan menghadapi berbagai kendala, akhirnya pada tanggal 2 Juli 2000 Vihara Buddha Guna telah rampung dibangun dan diresmikan penggunaannya dengan melakukan upacara pemberkahan yang dikenal dengan Abhiseka Buddha Ruppang.

Mari berdana di hari Kathina

Sejak pukul 16.00 WITA para umat sudah mulai berdatangan yang langsung dipersilahkan mengisi daftar tamu serta sebagian umat membeli perlengkapan dana yang sudah dipersiapkan oleh panitia dan ditata di depan Vihara tepatnya sebelah kanan pintu masuk Vihara. Senyum lembut nan ramah menghiasi wajah para penyambut tamu undangan dan para umat yang datang, lebih anggun lagi para penyambut tamu mengenakan pakaian adat khas Bali yang memberikan kesan etnik tersendiri pada perayaan Kathina.

Menunggu hingga acara dimulai para umat dipersilahkan untuk menyantap makanan yang sudah tersedia secara prasmanan, para umat melakukan makan bersama di halaman lantai bawah vihara.

Menjelang petang pukul 18.00 WITA para umat diarahkan utnuk memasuki ruang Dhamma sala hingga datang para Bhikkhu Sangha untuk memimpin pujabhakti Kathina.

Seusai pesan Dhamma para umat bergegas untuk memberikan persembahan dana kepada para bhikkhu. Dimulai dengan para romo ramani dan diikuti oleh para umat serta anak-anak sekolah minggu, proses persembahan dana berlangsung dengan khidmat. Hingga acara selesai para umat membubarkan diri pada sekitar pukul 21.00 WITA.

The post Kathina di Bali appeared first on BuddhaZine.

Jalan Terjal Pengembangan Buddhadharma di Tanah Belitung

$
0
0

Vihara Tathagata Buddha, Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung menjadi pusat pembelajaran Buddhadharma anak-anak, dan remaja Pulau Belitung. Di vihara itu, setiap hari Minggu, ratusan anak-anak dan remaja melakukan pujabhakti, meditasi, bermain, dan belajar Dharma bersama guru agama Buddha yang mengajar mereka di sekolah.

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Belitung, per 31 Agustus 2013, umat Buddha Belitung berada di urutan kedua setelah Muslim, yaitu sebesar 6,37%. Umat Buddha Pulau Belitung didominasi oleh masyarakat keturunan Tionghoa yang melakukan sembahyang di Klenteng. Karena itu, kehadiran Vihara Tathagata Buddha yang dibangun satu kompleks dengan Klenteng Kwan Im menjadi babak baru perkembangan agama Buddha di Pulau Belitung.

Klenteng Kwan Im sendiri telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Menurut cerita masyarakat setempat, pembangunan Klenteng Kwan Im berawal dari kedatangan seorang tabib dari Tiongkok berjuluk Suhu Chong. Semasa hidupnya, Suhu Chong kerap membantu masyarakat dalam hal pengobatan. Hingga suatu masa, muncul penyakit-penyakit aneh yang tidak dapat disembuhkan dan berujung pada kematian.

“Dalam kondisi seperti itu, mendorong Suhu Chong untuk pulang ke Tiongkok. Sekembalinya dari Tiongkok, Suhu Chong membawa satu patung Kwan Im dan dibikin tempat kecil untuk sembahyang. Perpaduan spiritual dan ilmu pengobatan Tiongkok ini yang dipakai oleh Suhu Chong untuk mengobati masyarakat waktu itu. Di sini kemudian banyak penduduk yang terbantu yang akhirnya membantu dana untuk membangun klenteng kecil,” turur Romo Aryindra Yapriadi, Ketua Vihara Tathagata Buddha kepada BuddhaZine, Minggu (29/9).

Seiring berjalannya waktu, Klenteng Kwan Im semakin berkembang. Seorang bernama Aliung, kelahiran Belitung mengajak para umat Klenteng untuk proses pengembangan Buddhadharma dengan membangun vihara, vihara itu kemudian diberi nama Vihara Tathagata Buddha dan diresmikan pada tahun 1994. “Kami menggandeng Sangha dan Majelis Buddhayana untuk membangun vihara. Kemudian mendatangkan guru-guru agama Buddha dari Jawa, dari Boyolali. Di sini mulai diajarkan agama Buddha yang ‘sesungguhnya’,” lanjut Romo Aryin.

Kundarto, adalah guru agama Buddha dari Jawa yang pertama kali datang dan mengajar di Belitung. Laki-laki kelahiran Jepara itu tiba di Belitung pada tahun 1997, menjadi pegawai negeri sipil, mengajar siswa-siswi beragama Buddha di salah satu Sekolah Dasar. Sebagai orang baru, Kundarto mengaku mengalami banyak kendala di sekolah tempatnya mengajar. Ia pernah ditolak oleh siswa, bahkan dimintai keterangan di kejaksaan Belitung lantaran ajaran Buddha yang ia ajarkan berbeda dengan yang telah berkembang di sana.

“Jadi pada waktu itu saya juga sebagai guru banyak sekali kendala. Ketika masuk di sekolah tidak di terima oleh siswa yang beragama Buddha sendiri, tapi lama kelamaan, mereka juga akhirnya mereka mau mengikuti pelajaran yang sesuai dengan kurikulum. Bahkan kita pernah dipanggil diadukan dipihak kejaksaan, kemudian saya bawakan buku-buku agama Buddha,” tuturnya mengenang.

Terkait umat Buddha Vihara Tathagata Buddha, menurut Kundarto selalu mengalami dinamika pasang surut. “Tahun 1997 khususnya muda-mudi (Vihara Tathagata) kalau kebaktian bisa penuh bahkan kadang sampai ndak muat. Karena waktu itu masih ada biksunya. Tetapi sejak tidak ada bikksu, waktu itu guru agama Buddha juga masih saya sendiri, harus memegang Sekolah Minggu, kegiatan vihara, sekolah SD, SMP sampai SMA sempat mengalami titik terendah.”

Seperti yang dituturkan oleh Kundarto, guru agama Buddha memang mempunyai peran yang sangat vital dalam pembinaan umat Buddha di Belitung. “Pembinaan dari sangha hampir tidak ada. Bhikkhu datang mungkin hanya sekali dalam satu tahun, saat Kathina. Jadi hanya mengandalkan kami guru-guru, bisa dikatakan pemegang kendali vihara di sini adalah guru-guru, tanpa guru-guru vihara ini bisa mati,” imbuhnya.

Perlu terobosan baru

Dengan segala keterbatasan tenaga, guru-guru agama Buddha fokus mendidik anak-anak dan remaja Buddhis. Datang ke vihara pada hari Minggu menjadi wajib bagi siswa-siswi di sekolah Pak Kundarto, Pak Eko Purnomo, dan guru-guru agama Buddha lain. “Anak-anak, SD, SMP dan SMA itu generasi yang menjadi fokus kita. Kalau orang tua itu masih kuat tradisinya, kita ajak kebaktian itu susah, mereka sembayang sendiri di klenteng. Kalau kita ajak kumpul di vihara, kemudian kita kasih ceramah susah.” terang Eko Purnomo, guru asal Lampung.

Eko Purnomo, menjadi generasi ke dua guru agama Buddha yang datang ke Pulau Belitung. Ia mengajar di SD Negeri 5 Tanjung Pandan dan beberapa sekolah SMP dan SMA sebagai guru tambahan. “Waktu pertama kali masuk ada 90 siswa Buddha, tapi semakin ke sini semakin kurang. Sekarang murid saya tinggal 25 orang di SD 5 Tanjung pandan, kalau SMP saya juga ngajar SMP PGRI ada sekitar 70’an siswa. SMA ada ratusan, tapi saya ngajar hanya kelas 10 sekitar 40 orang”.

Sedangkan Sunyi Suzana, Guru Agama Buddha SMK Negeri Tanjung Pandan mengajar 102 siswa beragama Buddha. “Sebenarnya di beberapa sekolah, siswa Buddhis jumlahnya cukup banyak. Di sekolah saya saja lebih dari 10% dari jumlah keseluruhan siswa. Tetapi pengetahuan Buddha Dharmanya masih sangat minim, baru setelah ada guru agama Buddha, anak-anak mulai belajar Dharma,” kata guru yang baru tiga bulan tinggal di Belitung itu.

Saat ini, guru PNS agama Buddha di Pulau Belitung berjumlah 6 orang. Selain mengajar di sekolah, mereka juga dijadwalkan mengajar anak-anak remaja di vihara. Tetapi, menurut Sunyi, pembinaan umat Buddha yang berfokus pada anak-anak seolah tidak ada perkembangan. Saat masih sekolah hingga SMA, mereka aktif datang ke vihara, tetapi setelah kuliah apalagi sudah berkeluarga, mereka sudah tidak aktif di vihara lagi.

The post Jalan Terjal Pengembangan Buddhadharma di Tanah Belitung appeared first on BuddhaZine.

Ribuan Umat Secara Khusyuk Mengikuti Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Serpong

$
0
0

Sekitar seribu delapan ratus umat Buddha merayaan Kathina di Wihara Ekayana Serpong yang berlangsung hari Minggu pagi tanggal 3 November 2019. Umat sangat antusias merayakan hari Kathina bersama seluruh anggota keluarganya.

Perayaan Kathina diadakan setelah berakhirnya masa vassa, yaitu masa para biksu dan biksuni berdiam di satu tempat selama tiga bulan. Selama masa tersebut mereka meningkatkan latihan meditasinya, sehingga mengalami banyak kemajuan batin. Oleh karena itu, umat perumahtangga sangat bahagia jika pada saat perayaan hari Kathina dapat memberi persembahan kepada Sangha (komunitas para biksu dan biksuni).

Pada perayaan Kathina ini, umat Buddha secara khusus berdoa untuk keselamatan dan kejayaan negara dan bangsa Indonesia. Steven Surya sebagai Ketua Panitia Perayaan Kathina mengatakan bahwa momen Kathina ini merupakan suatu berkah bagi umat Buddha untuk berdana kepada Sangha. Perayaan ini dihadiri oleh Pimpinan Wihara Ekayana Bhante Aryamaitri Mahasthawira serta anggota Sangha lainnya.

Perayaan Kathina diawali dengan pindapata yang merupakan kesempatan bagi umat perumahtangga mempersembahkan dana bagi pengadaan salah satu kebutuhan pokok para biksu/biksuni, yaitu makanan. Para biksu-biksuni dengan membawa mangkuk terlihat berjalan hening, eling, dan waspada di halaman Wihara Ekayana Serpong untuk menerima persembahan dari umat perumahtangga.

Setelah pujabhakti, sekitar seratus umat mengikuti Upacara Wisudhi Trisarana dan Upasaka/Upasika. Tujuan wisudhi adalah memperteguh keyakinan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, serta berlatih sebagai umat awam melaksanakan Pancasila Buddhis.

The post Ribuan Umat Secara Khusyuk Mengikuti Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Serpong appeared first on BuddhaZine.

Sarasehan Kebangsaan di Surabaya Ingatkan Kembali Jadi Manusia Indonesia

$
0
0

Persatuan Indonesia telah digaungkan sejak 91 tahun silam. Seruan itu muncul dari gagasan generasi muda, yang kini kita kenal sebagai hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Untuk merayakan peristiwa bersejarah itu Young Biddhist Association (YBA) menggelar sebuah acara Sarasehan Kebangsaan bertajuk Merayakan Indonesia, Senin (28/10). Acara ini digelar di Auditorium Fakultas Kedokteran, Gedung MA lantai 6 Kampus Universitas Surabaya Tenggilis, Jl. Raya Kalirungkut, Surabaya.

Tidak tanggung-tanggung dalam Sarasehan Kebangsaan menghadirkan tiga tokoh Bangsa, yaitu; Bhikkhu Nyana Suryanadi dan Kyai Haji Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) serta seorang pengusaha dan aktivis sosial Harjanto Halim dengan moderator Prof. Sujoko Efferin, seorang dosen senior yang menjabat sebagai Ketua Pusat Kewirausahaan dan Inovasi Universitas Surabaya (Ubaya).

Pertunjukan salah satu seni daerah, tari Gaba-gaba dari Manado, Maluku Utara yang dibawakan oleh kolaborasi mahasiswa pertukaran pelajar menjadi pembuka acara ini. Hal ini memberikan pesan betapa keragaman dan budaya Indonesia dapat dicintai dan dapat diterima oleh seluruh bangsa-bangsa. “Saya sangat suka dengan budaya Indonesia, ketika saya melihat dan mendengar tarian itu (Gaba-gaba) dari dosen, saya tertarik untuk belajar,” kata salah satu penari.

Penari dari Negara Panama itu menurutkan banyak pelajaran berharga selama berlatih dan menari Gaba-gaba. Ia mengaku membutuhkan 8 Minggu untuk bisa menari bersama, mengatur kekompakan. “Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dalam tarian ini, yaitu kerjasama dan ekspresi kebahagiaan,” imbuhnya.

Pesan para guru

Harojanto Halim, sebagai narasumber pertama menyampaikan beberapa tiga poin penting yang bisa dijadikan prinsip dalam menjaga keharmonisan dalam keberagaman. Pertama menghapus stereotipyng, berdasarkan pengalamannya sewaktu penjadi penggerak perayaan Kopi Semawis di Semarang, ternyata beliau pun baru menyadari bahwa di dalam dirinya menyimpan stereotipyng yang menjadi salah satu faktor sulitnya menerima dan berdamai dengan perbedaan yang ada dalam dirinya dan orang lain.

“Saya sangat senang sekali ketika Kopi Semawis ini berjalan lancar bahkan saya sempat lihat seorang perempuan yang pasti muslim karena berjilbab. Perempuan ini sedang foto di depan shio yang dipajang. Kan ada 12 shio yang dipajang untuk foto-foto, dan perempuan ini foto di depan gambar shio babi, dan akhirirnya saya penasaran saya tanya, ‘lho mbak kamu kok fotonya di depan gambar babi?’ Dia jawab, ‘lho itu shio saya kok.’ Saya tanya lagi, ‘lho kamu kok tahu kalau shio kamu Babi?’ Dia jawab lagi, ‘lha kan emak saya Tionghoa.’ Oalah, saya bergumam.

“Tapi dari hal ini saya baru saja tersadarkan ternyata saya pun muncul stereotipyng, ‘ini perempuan berjilbab nggak mungkin kalau tahu tentang shio, apalagi foto di depan shio babi’.  Tapi ini benar terjadi. Artinya apa? Kita sering kali sadar atau tidak telah melakukan stereotipyng. ‘Owh Cina itu pelit, isinya cuma duit aja, macem-macem tapi intinya dosa, banyak dosa. Inilah stereotipyng yang muncul.

“Nah terkait pembelajaran berbangsa jelas harus juga mengikis stereotipyng. Tidak semua Tionghoa begitu, tidak semua Jawa begitu, tidak semua muslim begitu, tidak semua Nasrani begitu dan yang lain-lain. Ini yang harus dikikis, stereotipyng yang mendegradasi nilai kemanusiaan,” lanjutnya.

Kedua melestarikan budaya dan tradisi. “Dalam perjumpaan saya di Semawis, di sekolah Karang Turi, saya menjumpai berbagai macam hal yang menurut saya, saya selalu harus masuk untuk tanda petik mendidik dan mengarahkan. Di kantor bahkan di rumah saya selalu menggelorakan apa itu kearifan lokal. Saya itu tiap kali buka kantor, dan setiap Suro saya pasti selamatan. Itu di kantor, kalau di rumah saya ngundang modin. Lho muka saya gini tapi Alfatikah saya apal,” ungkapnya disambut riuh tawa audiens.

Ketiga, kontekstualisasi ritual keagamaan dengan alam dan tradisi setempat. Harjanto memberikan contoh,”Saya pengurus satu perkumpulan Tionghoa yang tertua. Dan mungkin itu satu-satunya perkumpulan Tionghoa yang di altar leluhurnya ada papan nama dengan tulisan K.H. Abdul Rahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia.

“Kemudian kaitannya dengan alam, kalau di Buddhis ada yang namanya Fangsen. Ketika Fangsen menurut saya juga harus memperhatikan lingkungan alam atau habitat hewan yang akan di Fangsen. Misalnya, kalau mau Fangsen burung emprit yang ditangkap di desa yang masih banyak tanaman padinya kemudian dilepas di perkotaan apalagi perkotaan yang padat jelas tidak ada area pertanian atau tanaman-tanaman penyedia pangan burung emprit. Lalu bagaimana nasib burung emprit yg dilepas di perkotaan ini, mau makan apa setelah dilepas? Ini salah satu contoh kotekstualisasi ritual keagamaan dengan alam,” pungkasnya.

Sedangkan Bhikkhu Nyana Suryanadi berbagi pemikiran yang melihat dari kacamata modernisasi yang kian mengancam keharmonisan dalam perbedaan. Beliau memberikan kiat-kiat bagaimana menjaga keberagaman dalam era digital.

Tidak mungkin kita menjalani kehidupan ini sendiri, tanpa bantuan orang lain bahkan sekalipun orang lain itu mungkin kadang kita benci karena berbeda dengan kita. Namun dengan kesadaran bahwa hidup ini saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain.

Sementara sudut pandang lain yang tidak kalah menarik dikemukakan oleh Gus Mus seorang Guru Besar yang merupakan tokoh intelektual Islam kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU.

Dalam salah satu pesan singkatnya beliau mengajak dan mengajarkan kita bagaimana berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan yang memberikan anugerah istimewa kepada kita dalam wujud negara Indonesia.

“Sudah selayaknya kita bersyukur sebagai manusia dengan menjaga kemanusiaan kita, menjaga akal, dan nurani kita. Kemudian kita bersyukur diberi anugerah Indonesia dengan menjaga Indonesia ini dengan sebaik-baiknya. Jaga Indonesia beserta keragamannya. Saya mengajak bersyukur kepada semuanya kita diciptakan sebagai manusia terlebih sebagai manusia Indonesia. Dan saya lebih bersyukur lagi anak-anak muda di sini masih mau menjaga Indonesia dengan mengadakan sarasehan kebangsaan merayakan Indonesia Raya ini dalam rangka Sumpah Pemuda,” pesan Gus Mus.

The post Sarasehan Kebangsaan di Surabaya Ingatkan Kembali Jadi Manusia Indonesia appeared first on BuddhaZine.

Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, Tempat Patung Raksasa yang Pernah Bermasalah

$
0
0

Klenteng Kwan Sing Bio terletak di Jalan Martadinata No. 1 Kelurahan Karangsari, Kecamatan Kota Tuban, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Lokasi klenteng ini tepat berada di pinggir jalan raya pantura yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan menghadap ke Laut Jawa.

Klenteng ini merupakan tempat ibadah bagi penganut agama Buddha, Tao, dan Konghucu, atau yang biasa dikenal dengan Tri Dharma. Tempat ibadah ini secara khusus dipersembahkan untuk memuja dan menghormati Kwan Kong (Guan Yu). Ia adalah jenderal perang dari zaman Tiga Negara yang dalam tradisi Buddhis Tiongkok dihormati sebagai Bodhisattwa Sangharama.


Di sini terdapat patung Dewa Kwan Kong yang menjadi perhatian publik setelah menyabet rekor MURI sebagai patung dewa tertinggi di Asia Tenggara, Juli 2017. Kesemarakan itu kemudian berganti menjadi polemik yang menghebohkan, lantaran muncul desakan penutupan dan pembongkaran patung, di awal Agustus 2017. Desakan protes mengalir deras, sehingga diperoleh keputusan untuk menutup sementara patung itu dengan kain putih agar tidak memicu polemik lebih jauh di masyarakat. Namun masalah itu akhirnya bisa diselesaikan secara damai, dan kini patung setinggi 30,4 meter itu telah kembali dibuka.

Keunikan lain di sini, sebelum memasuki klenteng, terdapat sebuah gerbang yang sangat unik di mana di bagian atas gerbang tersebut terdapat hiasan seekor kepiting yang berukuran sangat besar. Mungkin hanya klenteng ini yang memiliki hiasan seperti itu di Indonesia. Konon, kepiting yang menjadi ikon klenteng Kwan Sing Bio dibangun pada tahun 1973, berkaitan dengan sejarah awal dibangunnya klenteng ini.

Dahulu, lokasi tempat dibangunnya klenteng ini merupakan areal tambak yang dihuni banyak kepiting, dan setiap malam hewan itu selalu keluar. Akhirnya, untuk mengenang situasi itu, digunakanlah hewan kepiting tersebut sebagai hiasan di Klenteng Kwan Sing Bio. Klenteng ini diperkirakan didirikan pada tahun 1773, meski inskripsi tertua yang terdapat di klenteng ini berangka tahun 1871.

The post Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, Tempat Patung Raksasa yang Pernah Bermasalah appeared first on BuddhaZine.

Manis Pahit Hubungan Kong Hu Cu dan Buddha: (3) Integrasi

$
0
0

Kaisar Taizong (627 – 650) mensponsori proyek terjemahan biksu Xuanzang (600-664M) setelah beliau kembali dari India dengan ratusan kitab buddhis berbahasa Sanskerta. Demikian pula pada periode singkat pemerintahan Maharani Wu Zhao (690-705M), pengadilan Tang dan para administrator Kong Hu Cu mengambil sikap yang lebih toleran kepada umat Buddha dengan membiarkannya berkembang.

Naiknya Maharani Wu Zhao sebagai kaisar perempuan satu-satunya di Tiongkok mengubah tatanan Kong Hu Cu dan Buddha di kerajaan itu. Dengan naiknya beliau sebagai kaisar, hal ini bertentangan dengan prinsip ideologi tradisional Kong Hu Cu yang mendukung kepemimpinan seorang pria daripada wanita. Akibatnya, Maharani Wu Zhao melakukan pembersihan dan reformasi dalam sistem pengujian resmi pejabat penganut Kong Hu Cu.

Selama dinasti Song (960-1279M), hubungan antara cendekia Kong Hu Cu dan biksu/ni Buddha menjadi lebih baik. Pemerintahan Song mendukung proyek-proyek penerjemahan kitab-kitab buddhis, menyokong para penganut aliran Chan, dan memfasilitasi debat dan diskusi terkait kebijakan sosial dan pendidikan. Su Shi (1036-1101M) seorang cendekia Kong Hu Cu berpendapat bahwa budaya Tiongkok (Kong Hu Cu) dapat bertahan melalui literatur.

Dia menganggap ajaran-ajaran Buddha tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Kong Hu Cu dan para biksu/ni terutama dari aliran Chan, dapat menghargai nilai-nilai budaya Tiongkok yang ada, bahkan mewariskannya. Pada masa-masa pertukaran ini, muncullah Neo Kong Hu Cu, yang meskipun mencela praktik monastik (berselibat) tetapi meminjam banyak gagasan dari agama Buddha Chan seperti transmisi dan pengembangan diri.

Selama Dinasti Ming (1368-1644M), pejabat Kong Hu Cu bernama Wang Yangming (1472-1529M) mulai belajar ajaran Buddha dan mempraktikkannya untuk menciptakan sebuah praktik meditasi Kong Hu Cu yang disebut sebagai duduk diam (jingzuo). Wihara-wihara menjadi pusat pembelajaran dan pusat budaya. Selama Dinasti Ming dan Qing (1644-1911M) agama Buddha telah terintegrasi seutuhnya dan menjadi bagian dari Tiga Ajaran dalam agama tradisional Tiongkok.

Tiga Ajaran ini adalah Kong Hu Cu, Tao, dan Buddha. Ketiganya diakui sebagai ajaran yang membentuk akar budaya masyarakat Tionghoa. Akibat interaksi yang panjang antara ketiganya, sulit untuk menggambarkan batasan-batasan antara ketiga ajaran ini di dalam budaya Tionghoa. Setiap elemen yang ada saling memperkaya satu sama lain dan tidak dapat lagi diklaim sebagai bagian eksklusif dari satu ajaran tertentu.

Selama lebih dari dua milenia interaksi ketiganya terjadi. Tidak dapat dipungkiri jalan panjang dan berliku agama Buddha untuk diterima sebagai satu-satunya agama impor yang sukses menjadi akar budaya masyarakat Tionghoa. Filosofi Kong Hu Cu yang bermula pada Dinasti Zhou bertemu dengan Tao yang berkembang selama Dinasti Han seolah menjadi kekuatan besar yang menghadang pengenalan dan perkembangan agama Buddha di daratan Tiongkok. Namun berkat kegigihan misionaris buddhis dalam memperkenalkan ajaran Buddha kepada masyarakat umum, agama Buddha mulai menjadi populer sejak pemerintahan Dinasti Tang.

The post Manis Pahit Hubungan Kong Hu Cu dan Buddha: (3) Integrasi appeared first on BuddhaZine.

Buddhis-Muslim Perlu Memperkuat Komunikasi

$
0
0

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI, Caliadi secara resmi membuka International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) 2019 di Auditorium Royal Orchid Garden, Batu, Malang, pada Selasa (5/11). Didampingi oleh Bhante Santacitto, Supriyadi, dan Kadek Yudi Murdana selaku ketua panitia penyelenggara, Caliadi membuka acara dengan dentang suara gong.

International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) 2019 digelar oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian RI. Acara yang diikuti oleh ratusan mahasiswa, dosen, akademisi serta delegasi berbagai kampus Buddhis di Indonesia menghadirkan 22 pemateri dari negara-negara ASEAN; Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Myanmar.

“Konferensi Buddhis Internasional ini mengundang 22 pembicara dari Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Indonesia. Tujuan konferensi ini adalah untuk mengekspolrasi upaya untuk mempererat hubungan Buddhis dan Muslim, mengetahui upaya media untuk merepresentasikan harmoni antara Buddhis dan Muslim; menemukan nilai moral antara Buddhis dan Muslim melalui histori, dan praktik, pengetahuan, dan ritual; dan upaya yang dapat dilakukan perempuan untuk menciptakan kedamaian,” jelas Bhante Santacitto memberi sambutan.

Sedangkan Caliadi berharap perhelatan akbar itu membawa banyak manfaat terutama bagi PTAB di Indonesia. “Upaya peningkatan Perguruan Tinggi Agama Buddha di Indonesia untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas dan dapat berperan di dunia internasional, untuk bertukar informasi, menjalin kerja sama antar PTAB dan secara internasional, dan membuka peluang untuk artikel ilmiah para panelis dapat terbit dalam jurnal internasional,” paparnya.

Konferensi berlangsung selama 3 hari, Selasa – Kamis, 5 – 7 November 2019. Berbagai pokok bahasan yang bertujuan untuk memperkuat relasi Buddhis-Islam di Asia Tenggara akan dibahas dalam empat panel besar.

Pertama, upaya institusi pendidikan, social work, dan welfare organisasi dalam memperkuat hubungan Buddhis dan Islam. Kedua, upaya media dan literasi media dalam memperkuat harmoni relasi Buddhis-Islam. Ketiga, menemukan nilai-nilai yang bermanfaat antara Buddhis dan Islam secara histori, teks, praktik, pengetahuan, dan ritual. Keempat, partisipasi dan promosi perdamaian dan harmoni religius.

Memperkuat relasi Buddhis Muslim di Asia Tenggara

Mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim dan Imtiyaz Yusuf menjadi pembicara utama mengawali konferensi. Mereka berdua masing-masing membawakan materi.

Lukman Hakim Syaifuddin, sebagai pembicara utama mengawali konferensi menyatakan bahwa dalam memaknai ajaran suatu agama yang beragam diperlukan kearifan, karena keberagaman is given. Kemajemukan dalam ajaran agama adalah apa adanya yang tidak bisa ditolak siapa pun. Untuk memahami ajaran agama secara tekstual ada dua jenis menurut mantan Menteri Agama itu, yakni konservatif dan liberalisasi.

“Cara kita mengikapi teks agama, masuk pada wilayah ekstrem. Yang dimaksud ekstrem di sini adalah berlebihan. Pertama, secara konservatif dengan pemahaman untuk memelihara kemurnian suatu agama tanpa melihat konteks. Sedangkan cara memahami agama secara liberalisasi adanya kebebasan untuk menerjemahkan suatu teks. Kalau liberalisasi, begitu bebasnya menerjemahkan teks, sehingga jadi terlalu bebas, diperlukan moderasi cara beragama, bukan agama yang dimoderasi,” katanya.

Setiap agama pada dasarnya memiliki ajaran yang sama untuk menghargai dan menghormati. “Jadi, melalui konferensi adalah untuk mengetahui titik temu antara dua agama, Islam dan Buddha. Tujuan konferensi ini adalah untuk mengetahui inti pokok ajaran Buddha dan Islam dapat dipahami dengan baik agar hidup lebih baik,” imbuhnya.

Untuk memoderasi cara beragama, dibutuhkan budaya dan pendidikan. Secara umum, ajaran agama agar bisa membumi harus membaur dengan budaya setiap daerah. Cara merawat budaya juga dengan menanamkan kebajikan yang bersumber dari nilai-nilai agama. Supaya nilai agama dapat dibudayakan, maka diperlukan sistem pendidikan yang baik agar memelajari agama tidak hanya secara teks melainkan sesuai konteks.

Imtiyaz Yusuf yang menjadi pembicara kedua membawakan materi Former Minister of Religion Affairs dan Stregthening Buddhist-Islam Relation in South East Asia. Dalam pemaparannya, DR. Imtiyaz mengatakan bahwa agama Buddha dan agama Islam adalah agama yang memiliki populasi hampir sebanding di Asia Tenggara. Penganut agama Buddha sekitar 40% sedangkan agama Islam 42%. Karena itu, menurut Imtiyaz kedua agama ini berperan penting dalam membentuk harmoni agama di Asia Tenggara.

“Kalau ditanya mengapa saya tertarik dengan agama Buddha? Jawabannya adalah ‘takdir’. Saya memelajari Buddha secara detail di Thailand. Saya suka ajaran belas kasih, kebaikan, dan toleransi yang merupakan ajaran dari Buddha,” kata Imtiyaz memulai pemaparannya.

“Pada abad 12-17, Buddhis dan Islam masuk ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Yang kemudian muncul namanya pondok pesantren (Buddhist Temple School) dari tradisi Buddhis,” Jelasnya.

“Ada pesan kebenaran yang sama antara Buddha dan Muhammad. Kalau Buddha tentang ajaran cinta kasih, belah kasih, perdamaian yang berujung pada Nibbana/Sunyata. Muhammad mengajarkan bebas dari penderitaan yang berujung pada Allah,” tegas Dr. Imtiyaz Yusuf.

Masih ada ketidakharmonisan di antara keduanya, “Sebenarnya masalah yang terjadi hingga saat ini adalah kesalahpahaman antara Buddhis dan Muslim,” tegas Dr. Imtiyaz Yusuf. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang lebih mendalam dan praktik toleransi supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

Pada ujung pemaparannya, Dr. Imtiyaz Yusuf menyimpulkan bahwa Buddha dan Islam memiliki persamaan budaya, dialog akan membantu menyelesaikan masalah, dan dari Islam bisa mengundang bhikkhu untuk mengajarkan tentang welas asih dan sebaliknya.

The post Buddhis-Muslim Perlu Memperkuat Komunikasi appeared first on BuddhaZine.


DV Live In 2019, Realize What You Have

$
0
0

KMB Dhammavaddhana BINUS University akan mengadakan: – DV LIVE IN 2019 – “Realize What You Have”

Event ini akan diselenggarakan:

23 – 30 Desember 2019

Dusun Pakisan, Desa Wonokerso Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Desa tersebut memiliki vihara satu-satunya yang bernama Vihara Sasana Dhamma di Dusun Pakisan. Vihara ini memiliki Kuti yang kondisinya kurang layak dikarenakan atap yang telah rusak serta bangunan yang sudah tua.

Maka dari itu, kami akan melakukan penggalangan dana untuk membangun kuti di samping Vihara Sasana Dhamma.

 

Paket:

Kami selaku panitia DV LIVE IN 2019, mengajak teman-teman se-dhamma untuk berbuat kebajikan dengan memberikan donasi berupa:

1. Paket Sembako (Rp.50.009)
Minyak Goreng, Gula, Beras, Mie Instan.

2. Paket Petani (Rp.100.009)
Sepatu Boots

3. Paket Pembangunan (Rp.250.009)
Pembangunan Kuti Vihara Sasana Dhamma

Berikut video kondisi Kuti (tempat tinggal Bhante):

 

Dana:

Bagi saudara/i yang ingin berdana, dapat mentransfer dengan kode “9” di akhir nominal ke:

BCA: 5271694033

a.n. Alvina Horas

Contoh: 100.009,-

Untuk konfirmasi dana dapat menghubungi Alvina (0878 1936 0340).

 

Informasi:

Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi:

Steven Kurniawan Tanudibrata

No. Telp: 085771703347

Ervin Wijaya

No. Telp: 085106067965

 

Sosial media:

Untuk melihat perkembangan pembangunan, anda dapat mengunjungi :

Kita Bisa: Kitabisa.com/kuti

Instagram: dv.livein

Facebook: KMB Dhammavaddhana

“Gemar berdana dan memiliki moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri, adalah timbunan “Harta” yang terbaik, bagi seorang wanita maupun pria.” – KN : Nidhikhanda sutta, 6 –

Mohon bantu sebarkan kabar bahagia, kesempatan berdana ini

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Anumodana

The post DV Live In 2019, Realize What You Have appeared first on BuddhaZine.

Kebudayaan Sebagai Akar Bersama

$
0
0

Salah satu pokok bahasan penting dalam perhelatan Internasional Conference Buddhist Indonesia (IBCI) 2019, di Batu, Malang adalah peranan media dalam membangun relasi Buddhis-Muslim. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik mempunyai pengaruh besar terhadap cara pikir masyarakat.

“Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Twitter, dan Facebook. Semua media sosial tersebut pada dasarnya menjadi media penyebaran berita juga, dan tidak dapat dihindari juga hoax bisa menjalar ke mana pun,” kata Wahyudi Akmalia, seorang peneliti di pusat kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Wahyudi Akmaliah menjadi salah satu dari tujuh panelis dalam panel dua dengan pokok bahasan; Peran Media dalam Menciptakan Harmoni Relasi Buddhis-Muslim, Selasa (5/11).

Pengunaan internet khususnya masyarakat Indonesia semakin meningkat apabila ada salah satu topik yang hangat. Terutama bila berkaitan dengan isu politik, mendekati pemilihan umum. “Ini benar-benar kita rasakan menjelang, saat dan setelah pemilu 2019 kemarin. Penggunaan internet oleh sebagain besar rakyat Indonesia juga semakin meningkat. Hal ini membuktikkan bahwa media berpengaruh besar terhadap opini masyarakat untuk mengikuti berita hangat dan sedang berlangsung,” jelas Wahyudi.

Salah satu contoh dahsyatnya pengaruh pemberitaan media dan hoax juga terjadi tahun 2016, kasus Meliana. Berdasarkan hasil penelitian Dr. Irwansyah (Kepala Program Studi Sosiologi-Agama di Universitas Islam Sumatera Utara) dan Muhammad Jailani (Dosen Program Studi Sosiologi-Agama di Universitas Islam Sumatra Utara), kasus yang dialmi oleh Meliana hanya karena kesalahpahaman akibat hoax melalui media sosial.

“Saat itu menurut pengakuan Meliana, beliau sedang sakit dan minta suara adzan di masjid dekat rumahnya untuk dikecilkan. Lalu pukul 21.00 rumah Meliana didatangi oleh warga Muslim setempat. Kemudian pukul 23.00 rumah Meliana dan beberapa tempat ibadah umat Buddha dilempari batu, dibakar,” terang Irwansyah.

Agar kesalahpahaman dalam memahami agama lain tidak terjadi perlu adanya sikap kritis dalam menganalisis berita. “Membaca fakta yang dikonstruksi suatu berita. Intinya kita harus kritis, kritis memahami berita. Sehingga, media dapat membantu menyebarkan harmoni toleransi khususnya dalam relasi Buddhis-Muslim,” tegasnya.

Peran BuddhaZine 

Ngasiran, wartawan BuddhaZine yang menjadi salah satu panelis dalam forum ini bercerita bagaimana BuddhaZine mampu menjadi jembatan relasi harmoni antaragama. “Pada awalnya, BuddhaZine didirikan untuk menghadirkan berita terbaru tentang Buddhadharma di Nusantara dan perkembangan Buddhadharma internasional. Kemudian berkembang ke arah penyebaran informasi tentang budaya, sejarah, arkeologi, dan isu sosial yang berkorelasi dengan agama Buddha,” tutur Ngasiran.

Menurut Ngasiran, kontribusi BuddhaZine semakin terlihat nyata setelah diputuskan secara bersama untuk berpindah kantor dari kota (Jakarta) ke sebuah dusun Buddhis di Temanggung. Berbagai pemberitaan tentang nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Temanggung, khususnya Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran setidaknya menawarkan referensi baru bagi relasi antaragama.

Tahun ini (2019), kami pindah kantor dari Jakarta ke Dusun Krecek, Temanggung, karena kami ingin lebih dekat dengan masyarakat desa. Tetapi itu tidak mengubah tujuan BuddhaZine, yaitu memberitakan Buddhadharma dari seluruh tanah air dan Indonesia. Hanya saja, intensitas pemberitaan memang lebih banyak pemberitaan dari desa, seperti Temanggung, nilai-nilai lokal dari beragam tradisi dan budaya masyarakat desa yang kadang luput dari perhatian media ini menurut saya sangat menarik diberitakan.

Perubahan ke arah positif juga terlihat bagi perkembangan Dusun Krecek saat ini. Dengan masyarakat 99% beragama Buddha, Dusun Krecek tidak menutup diri dari dunia luar. Bahkan dalam perkembangannya, selain menjadi pusat kegiatan umat Buddha, Krecek juga sudah menjadi rumah bersama bagi masyarakat lintas agama.

Kebudayaan sebagai akar bersama

Sebagai contoh ketika Waisak. Waisak secara sederhana merupakan perayaan besar bagi umat Buddha. Namun di wilayah Temanggung rata-rata dirayakan secara bersahaja. Dalam konteks yang lebih luas, karena masyarakat Temanggung menganut berbagai ragam keyakinan agama, pertemuan antara para pemeluk agama yang berlainan tersebut berbaur dalam nilai-nilai kearifan lokal.

Salah satu bentuk kearifan lokal tersebut adalah Nyadran. Nyadran sendiri merupakan sebuah acara adat yang mampu menembus sekat agama. Nyadran yang dimaknai sebagai bentuk bakti pada leluhur, misal pada upacara Nyadran di Dusun Gletuk, Desa Getas, Kaloran, yang digelar setiap tahun. Di sana masyarakat yang turut hadir dari elemen masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk.

Dusun Gletuk didominasi oleh pemeluk agama Islam, Dusun Krecek didominasi oleh pemeluk agama Buddha. Dari dua dusun tersebut perbedaan menjadi lebur, hal ini tercermin saat pelaksanaan upacara Nyadran di makam, masyarakat yang hadir bisa duduk dan berbaur menjadi satu, doa dari umat Islam dan doa dari umat Buddha beriringan saling mengisi. Tak ada yang mendebatkan, siapakah yang harus berdoa terlebih dahulu, ataupun doa dari umat manakah yang lebih baik, karena sudah tak ada lagi sekat agama.

Kesenian tradisi termasuk dalam ruang perjumpaan antaragama. Ketika masyarakat Temanggung khususnya, beraktivitas kesenian mereka tak pernah membeda-bedakan agama. Ada suatu peristiwa menarik, ini terjadi pada 2018, peristiwanya adalah ketika ada perayaan Waisak di Candi Borobudur saat itu, ada kelompok seni kuda kepang Kaloran yang secara anggotanya didominasi oleh umat Buddha lebih memilih untuk memenuhi undangan pertunjukan seninya daripada khusyuk beribadah namun abai dalam kerukunan sosial.

The post Kebudayaan Sebagai Akar Bersama appeared first on BuddhaZine.

Zen dan Seni Bersih-bersih Rumah

$
0
0

Saya harus mengakui, pendidikan masa kecil saya tidak bagus. Di rumah, kami punya dua pembantu. Padahal, kami hanya dua bersaudara. Alhasil, kami hidup seperti layaknya putri dan pangeran. Semua hal dilayani. Rumah dibersihkan. Makan dimasak pembantu. Bahkan, sampai akhir sekolah dasar, saya masih dimandikan pembantu. Memalukan.

Saya dimanja. Padahal, memanjakan anak itu sama dengan membunuhnya. Memanjakan itu menghancurkan karakter, dan memperlemah daya juang. Tak heran, banyak anak yang dimanja akhirnya terus bergantung pada orangtua, atau pada saudara-saudarinya, bahkan ketika mereka dewasa.

Namun, itu semua berubah, ketika saya memasuki SMA. Saya hidup di asrama dengan segala aturan dan kebiasaannya yang kompleks. Saya hidup dan belajar bersama teman-teman seumuran. Semuanya berubah. Saya harus mengerjakan semuanya sendiri. Saya memasang sprei, dan membersihkan tempat tidur sendiri. Saya mencuci baju dan piring sendiri. Saya mengatur keuangan sendiri.

Masih teringat pengalaman mencuci baju pertama kali. Baju direndam, lalu disikat, dan dibilas. Namun, bilasan saya tak bersih. Alhasil, semua pakaian berbau apek, dan saya terpaksa harus mencuci dari awal.

Pengalaman serupa saya dapatkan, ketika merantau ke berbagai kota. Begitu banyak yang harus dikerjakan. Saya harus bekerja mencari uang dan berkarya. Saya harus membersihkan kamar, lalu mengangkut baju ke binatu murah untuk dicuci (karena sudah tak ada waktu dan tenaga untuk mencuci manual).

Di negara lain, saya memilih untuk mencuci sendiri. Seminggu dua kali, saya mencuci baju. Setiap hari, saya membersihkan kamar, mencuci piring dan bekerja. Hari-hari saya penuh.

Namun, waktu itu, saya belum mengenal Zen. Semua kegiatan, seringkali, saya lakukan, karena terpaksa. Padahal, dari sudut pandang Zen, kegiatan sehari-hari adalah jalan untuk mengolah batin, sehingga penderitaan bisa dilampaui. Kuncinya adalah dengan melakukan semuanya secara sadar dan fokus.

Maka, membersihkan rumah bisa dilihat sebagai tindakan spiritual. Membersihkan rumah bisa dilihat sebagai jalan untuk mencapai pencerahan. Penderitaan hidup pun lenyap. Pendek kata, kita tak memiliki waktu dan energi lagi untuk menderita.

Ketika membersihkan sesuatu, lakukanlah itu, seolah keselamatan seluruh dunia bertumpu pada kegiatan membersihkan tersebut. Pola pikir yang sama perlu diterapkan, ketika berjalan, duduk, berdiri atau tidur. Lakukan semua itu, seolah itu semua adalah tujuan tertinggi di dalam hidup ini. Tindak membersihkan pun menjadi tindakan spiritual yang mendalam.

Lakukan dengan sadar, fokus dan gesit. Tidak perlu bergerak terlalu lama. Bergerak terlalu perlahan justru tidak alami. Ini tak sesuai dengan gerak hidup manusia yang sebenarnya. Ketika melakukan sesuatu dengan kesadaran dan fokus yang penuh, maka ego pun lenyap. Sejatinya, ego memang tak pernah ada. Ia diciptakan oleh kebiasaan pikiran kita. Lalu, ia semakin besar, dan menjadi sumber penderitaan hidup yang tiada tara.

Ketika orang menyadari, bahwa ego hanya sesuatu yang bersifat semu, maka penderitaan pun akan luntur secara alami. Orang terlibat penuh pada apa yang ia lakukan disini dan saat ini. Pikiran dan badan menyatu dengan saat ini. Memang, yang sesungguhnya ada dan nyata hanyalah saat ini.

Zen juga mengajarkan, bahwa di dalam bekerja, kita harus peka pada kehidupan lain. Ada serangga di sekitar kita. Ada nyamuk, semut dan sebagainya. Sedapat mungkin, kita harus memperhatikan kehidupan mereka, karena mereka juga punya hak untuk hidup bersama di bumi ini, sama seperti kita.

Ingatlah, bahwa saat ini adalah waktu yang terpenting. Masa lalu tak bisa lagi diubah. Masa depan belum terjadi, dan amat tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini. Maka, di saat ini, kita tidak boleh menunda apa pun.

Apa yang bisa dilakukan sekarang, haruslah dilakukan sekarang. Tentu saja, ini juga harus memperhatikan keadaan. Istirahat juga amat penting untuk kesehatan dan kebahagiaan hidup kita. Ketika badan lelah, maka istirahat pun harus dilakukan dengan penuh kesadaran.

Pikiran sehari-sehari adalah pencerahan kehidupan itu sendiri. Kita tak perlu bertapa di puncak gunung. Kita tidak perlu menyepi di hutan belantara. Disini dan saat ini, di tengah kegiatan hidup sehari-hari, seperti bersih-bersih, kita bisa memperoleh pencerahan dan kebahagiaan yang sejati.

Ketika pikiran mulai kembali mengulang masa lalu, atau cemas akan masa depan, kita hanya perlu kembali ke saat ini. Apa yang sedang dilakukan? Lakukan dengan fokus, totalitas dan penuh kesadaran. Ini perlu dilakukan terus, dan dianggap sebagai latihan seumur hidup.

Dengan cara ini, kita belajar untuk tidak hanyut dalam pikiran dan emosi sesaat. Kita bisa melepaskan masa lalu dan masa depan. Kita bisa hidup dalam kenyataan, dan meninggalkan ilusi. Kita pun bisa melepaskan diri dari rasa takut, marah, trauma dan derita yang selama ini mungkin mencengkeram.

Pada akhirnya, bersih-bersih rumah adalah bersih-bersih pikiran itu sendiri. Selalu saja ada yang perlu dibersihkan. Membersihkan debu itu bagaikan menghapus trauma dan luka lama. Ia perlu dilakukan terus… dan terus… dan terus.

Jadi, selamat bersih-bersih!

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

The post Zen dan Seni Bersih-bersih Rumah appeared first on BuddhaZine.

Mbah Ngari, Pemeluk Buda Jawi Wisnu Terakhir di Dukuh Gedangan, Malang

$
0
0

Kali ini kita akan jalan-jalan ke Malang, bedanya adalah ini bukan jalan-jalan biasa. Kita akan sowan ke sesepuh desa, di Dukuh Gedangan, Desa Gondowangi, Kec Wagir, Malang. Transportasi ke dukuh ini kurang lebih dapat ditempuh dalam 45-60 menit dari stasiun kereta dengan menggunakan mobil.

Mbah Ngari sekarang berusia 75 tahun, ketika sedang sowan, beliaunya usai keluar dari rumah sakit karena perawatan kesehatan, meski demikian beliau tetap menyediakan waktu untuk berbagai pengalaman hidup.

Sebelum sesi tanya jawab dengan Mbah Ngari, apa itu Buda Jawi Wisnu? Buda Jawi Wisnu mulai berdiri pada tanggal 25 November 1925, dengan pemimpinnya Resi Kasumodewo berasal dari Solo, menurut penjelasan Mbah Ngari. Sebaran dari Buda Jawi Wisnu secara garis besar ada di Jawa Tengah maupun Jawa Timur

Berikut sesi tanya jawab bersama Mbah Ngari pada Kamis (7/11) di kediamannya.

Ada berapa penganut Buda Jawi Wisnu di sini Mbah?

Ya tinggal saya saja, karena sudah tidak ada temannya lagi. Secara administrasi ya di KTP kolom agamanya Hindu.

Buda Jawi Wisnu itu apa?

Mohon maaf karena tidak bisa menerangkan secara terang, pada intinya adalah ajaran yang ada di tanah Jawa, kawruh tentang sangkan paraning dumadi.

Mantramnya bagaimana?

Mantram itu kalau dalam bahasa Islam ya doa, kurang lebih begini, “Hong wilaheng awignam astu nama sidham, luputta sarik lan sandi, luputta dendaning tawang towang jagat dewa bathara yang jagat  pramu dhita buwana langgeng.”

Maknanya, lha ya agar supaya semua mendapat berkah kebaikan, dijauhkan dari keburukan.

Apakah di mantram tertentu menyebut Buddha Gautama?

Tidak ada.

Menyebut Avalokiteshvara ada?

Tidak ada.

Bagaimana dengan sesajinya?

Kalau Jawa Buda, itu mempersembahkan pisang satu tangkep. Daksina, bumbu masak, kelapa wungkul. Untuk pisangnya, pisang raja. Bunga, sari, dupa, telur ayam.

Apakah setiap bulan purnama atau bulan mati, ada menghaturkan sesaji?

Ya, ada.

Resi Kasumodewo dari mana?

Beliau dari Solo dan yang menyebarkan Buda Jawi Wisnu ini.

Kalau sembahyang objek sucinya apa atau bagaimana?

Kalau saya, sembahyang Buda Jawi objeknya ya napas. Kemudian ya doa itu tadi.

Di Buda Jawi Wisnu apakah menyembahyangi sumber-sumber mata air?

Kalau setau saya kok tidak, lebih menekankan pada aspek mengolah batin. Lebih banyak mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan.

Di altar ada patung?

Di altar ya tidak ada apa-apa, hanya membawa sesaji saja. Malam Rabu (Buda) biasanya. Di meja ya tidak ada foto siapa-siapa, untuk taplak mejanya pun tidak ada ketentuan warna apa pun.

Ada persyaratan saat sembahyang?

Ya, bersuci dulu dengan air agar bersih. Kalau pakai sarung, sarungnya sidomukti. Kalau pakai atasan, atasannya surjan. Menggunakan iket atau blangkon.

Kalau ada Waisak, ikut?

Tidak, itu kan Buddha.

Jadi hari rayanya kapan?

Setiap Rabu Wage, bulannya Suro. 1 Muharram, Rabu Wage.

Ada acara apa ketika hari raya?

Ya, saling silaturahmi. Syukuran.

Sebelum jatuh hari raya, ada laku khusus?

Puasa sebulan penuh. Kalau Buda, berbuka dan sahurnya hanya sekali saja setiap jam lima sore misalnya. Selama satu bulan pun tidak boleh berhubungan suami istri. Kalau melanggar, ya mandi besar atau mandi keramas.

Kok bisa penganut Buda Jawi Wisnu hanya tinggal Mbah Ngari saja di sini?

Ya bagaimana, administrasi negara juga. Anak muda ya ada, tapi itu dulu, sekarang sudah pada tua-tua, dan juga sudah banyak yang meninggal juga.

Ada acuan kitab sucinya?

Nah, itu masalahnya, bukunya itu sudah dimakan rayap. Kitab sucinya ya laku hidup, kalau saya. Kalau untuk bukunya secara intisari ya tentang berbagai macam pelajaran hidup. Ditulis dalam aksara Jawa.

Di rumah ini ada foto Semar, apa maknanya?

Samaran. Sem peteng, mar padang. Manusia itu bisa gelap, bisa juga terang. Manusia itu ada dua pilihan, pilihan menjadi terang atau gelap, tergantung pada manusianya.

Bagaimana laku Buda Jawi Wisnu?

Sabar lan narima, sabar dan menerima, tidak mudah terpancing emosi. Karena kawruh itu, artinya mekar sebelum melihat. Contoh, kalau perbuatan kita itu akan menghasilkan hasil yang tidak baik, ya tidak perlu dilakukan. Susah menjalankannya kalau tidak sering diterapkan.

 Agar menjadi Buda Jawi Wisnu tahapannya bagaimana?

Ya itu, yang penting lakunya. Kalau saya dulu jadi penganut Buda itu karena almarhum bapak juga penganut Buda. Lakunya sabar lan narima. Karena apa pun penganut agamanya, kalau sudah menjalankan laku ini, ya kebenaran itu kan bisa untuk semua.

Rela kalau Buda Jawi Wisnu akan lenyap?

Ya mau bagaimana, saya legowo. Hanya sayang saja. Ajaran Buda ini tidak ada jeleknya.

Ada saran Mbah, agar ajaran ini tidak lenyap dari tanah Jawa?

Laku itu tadi. Kalau secara administrasi negara kan sudah tidak bisa. Orang hidup itu kan yang penting lakunya.

Meditasinya bagaimana?

Ya, biasanya setiap jam dua belas malam, setiap malam Rabu (Buda). Meditasinya ya semampunya saja.

Ada pesan lagi Mbah?

Saya hanya mau menyampaikan, ke depan yang bakal dirindukan oleh orang Jawa di tanah Jawa itu…

(*Untuk yang terakhir tadi mohon jangan ditulis, silakan buka sastra Sabda Palon Nayagenggong, pungkas Mbah Ngari mengakhiri pembicaraan kami.)

The post Mbah Ngari, Pemeluk Buda Jawi Wisnu Terakhir di Dukuh Gedangan, Malang appeared first on BuddhaZine.

8 Rekomendasi Konferensi Buddhis Muslim

$
0
0

Semua agama memiliki esensi perdamaian dan harmoni yang sama yakni kebahagiaan semua makhluk. Meskipun begitu, ketegangan antarpemeluk agama masih sering terjadi, termasuk hubungan buddhis – muslim, dan itu perlu dipertimbangkan sebagai fakta sejarah.

Sebagai contoh; konflik yang terjadi di antara perbatasan Myanmar dan Bangladesh, masalah terjadi pada minoritas etnis Rohingya yang sebagian besar muslim, mereka mendapatkan tindakan tidak adil dari masyarakat tertentu atas nama umat Buddha. Sebaliknya di Indonesia, gesekan mayoritas muslim ke umat Buddha juga terjadi. Seperti pada tahun 2014 beberapa orang yang mengatasnamakan muslim menyerang sejumlah vihara Buddha di Sumatera.

Hubungan harmonis, relasi buddhis-muslim sebenarnya sudah terjalin dan mengakar di masyarakat perdesaan Indonesia. Berdasarkan laporan penelitian Centre of Asian Studies (Cenas), yang diterbitkan dalam buku berjudul; Berpeluh Berselaras Buddhis-Muslim Meniti Harmoni tahun 2010, menjunjukkan keselarasan hidup antarpemeluk agama Buddha dan Islam.

Dari tidak daerah yang menjadi sampel Cenas yaitu; Bayuwangi, Temanggung, dan Malang memperlihatkan fakta-fakta menarik tetang hubungan relasi Buddhis-Muslim yang bisa dijadikan bahan pelajaran berharga saat ini. Di Temanggung misalnya, kearifan lokal, warisan budaya dan memori kolektif masyarakat yang mampu menjadi pemersatu kedua komunitas berbeda keyakinan namun memiliki kesamaan akar.

Seperti juga yang disampaikan oleh Prof. Imtiyaz Yusuf, pakar relasi buddhis-muslim, sejarah kedekatan buddhis muslim di Asia Tenggara telah terjadi sejak berabad-abad lalu. Karena itu, Ia memberi arahan supaya dialog buddhis-muslim bisa kembali diadakan. “Perlunya kembali ada dialog bersama diantara Umat Buddha dan umat Islam, ini bisa dimulai dari common history pertemuan Buddhis dan Islam di Asia Tenggara yang khas. Pertemuan dan saling belajar dari umat muslim di abad-abad awal menjadi bukti dekatnya dan akrabnya hubungan kedua umat ini perlu dihidupkan kembali,” katannya.

Menurut Prof. Imtiyaz, relasi buddhis – muslim di Asia Tenggara berperan penting dalam mempromosikan perdamaian dan harmoni. “Demografi di Asia Tenggara memiliki jumlah umat Buddha dan Islam yang seimbang dan karenanya akan memainkan peran penting dalam mempromosikan perdamaian dan harmoni di wilayah ini. Dan upaya bersama dalam mengatasi ekstremisme dan radikalisme di kawasan ASEAN akan sangat mempengaruhi dunia,” tegasnya.

Prof. Imtiyaz Yusuf hadir sebagai pembicara utama dalam perhelatan International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) 5 – 7 November 2019 di Hotel Royal Orchid Garden, Batu, Jawa Timur. Dengan mengangkat tema besar International Conference on Strengthening Buddhist-Muslim Relation in Southeast Asia, konferensi Buddhis Pertama di Indonesia itu menghadirkan 22 panelis yang terbagi atas 4 pokok bahasan terkait relasi buddhis-muslim di Asia Tenggara.

Menghasilan 8 rekomendasi

Konferensi ini cukup representatif menampilkan relasi Islam dan Buddha di Asia Tenggara dengan hadirnya sejumlah pembicara berlatar akademisi, tokoh agama, dan aktivis dari Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Dari permasalahan yang terjadi di tingkat institusi pendidikan dan organisasi keagamaan, kemudian mempertajam makna kehadiran teknologi komunikasi di masyarakat yang telah terkoneksi secara digital, 4.0, lalu mencoba kembali menggali khasanah perjumpaan masa lampau untuk merefleksi pada situasi kekinian dan diakhiri peran nyata dari kaum perempuan yang sangat penting sebagai penjaga kebersamaman yang damai dan harmonis di masa yang akan datang.

Delapan rekomendasi itu adalah;

Pertama, perlu merencanakan sistem endowment atau komitmen dalam hal pendanaan untuk mendukung program-program yang dilakukan kaitannya dengan relasi buddhis – muslim agar menghasilkan program yang sustainable.

Kedua, membentuk sebuah institut buddhis – muslim yang fokus terhadap isu-isu relasi buddhis and muslim di Nusantara. Institut ini adalah wadah bagi para scholars, pegiat dan ahli yang menekuni dan tertarik pada isu-isu terkait hubungan kedua agama. (Rekomendasi ini khususnya ditujukan kepada STAB Kertarajasa sebagai bentuk tindak lanjut nyata mengikuti konferensi Internasional yang telah diselenggarakan).

Ketiga, untuk memberikan time and space yang bertujuan untuk memfasilitasi kedua komunitas untuk saling terbuka dan berdiskusi bahkan berdebat.

Empat, melakukan program saling kunjung secara berkala antar komunitas buddhis – muslim yang bertujuan untuk memperkenalkan kedua komunitas dan menciptakan ruang-ruang untuk diskusi dan inklusif.

Lima, memberikan upaya dan aksi mengkounter negative stereotyping dengan positive stereotyping. Masih berkaitan dengan ini, positive stereotyping bisa dilakukan melalui media populer. Yaitu dengan mengangkat atau memberitakan relasi kultural dan sosial kedua komunitas dalam media terkait.

Enam, media pemberitaan menyediakan rubrik khusus yang memberitakan ruang-ruang perjumpaan kedua komunitas di masyarakat terutama yang terjadi di tingkat akar.

Tujuh, kedua komunitas menguatkan relasi dan kerjasama melalui community engagement, social work, dan isu-isu lingkungan.

Delapan, rekomendasi terhadap pemerintah kaitannya dengan kurikulum pembelajaran agama: Pembelajaran lintas agama dan mata kuliah agama diampu oleh masing-masing guru/dosen yang ahli di bidangnya.

The post 8 Rekomendasi Konferensi Buddhis Muslim appeared first on BuddhaZine.

Pasca Renovasi, Wihara Ekayana Arama Diberkahi Tiga Tradisi

$
0
0

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, para monastik, dan sekitar tiga ribu umat Buddha pada Minggu 17 November 2019 menghadiri pemberkahan pasca renovasi gedung Wihara Ekayana Arama. Acara pemberkahan wihara yang terletak di Duri Kepa, Jakarta Barat, merupakan bentuk terima kasih dan apresiasi kepada seluruh umat dan simpatisan yang telah bergotong royong memberikan sumbangsih bagi perbaikan sebagian bangunan yang terbakar pada 4 Agustus 2019 silam.

Selama tiga bulan setelah musibah kebakaran, para monastik di bawah kepemimpinan Bhante Aryamaitri berusaha mengembalikan kondisi gedung seperti sedia kala. Dengan didukung panitia pembangunan dan gotong royong umat, bagian gedung yang terkena dampak api kini sudah rampung direnovasi dan bangunan pun tampak lebih indah dan megah. Semua ini tidak lepas dari adanya perhatian yang besar dari pemerintah yang mengharapkan agar fungsi sebagai tempat umat Buddha belajar dan berpraktik Dharma dapat segera berjalan normal.

Acara pemberkahan diawali dengan 108 persembahan kepada Para Buddha dan Bodhisattwa, sebagai ungkapan sujud, syukur, dan kasih atas segala kebaikan yang telah menyertai seluruh umat. Dalam kata sambutannya, Kepala Wihara Ekayana Arama, Bhante Aryamaitri, menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada panitia pembangunan, para umat, dan pemerintah yang telah memberikan dukungan sehingga bangunan dapat diperbaiki dalam waktu singkat.

Mewakili pemerintah, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Caliadi, dalam kata sambutannya mendorong monastik dan pengurus Wihara Ekayana Arama untuk meningkatkan peran wihara melalui perbaikan manajemen wihara, memperluas kegiatan dan program kerja, serta memaksimalkan potensi umat Buddha, sehingga dapat terus berperan aktif memberikan kontribusi dan mendukung program-program pemerintah, yang paling utama adalah menjaga iklim sejuk kerukunan dalam kehidupan beragama.

Wihara Ekayana Arama adalah wihara dengan semangat non-sektarian, para umat dapat mempelajari ajaran Buddha dari ketiga tradisi, yaitu Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Oleh karena itu, pemberkahan dalam acara ini juga dilakukan dengan tiga tradisi. Di samping Ketua Umum Sangha Agung Indonesia, Bhante Khemacaro, tampak hadir dalam pemberkahan ini Ketua Umum Sangha Mahayana Indonesia, Bhante Kusalasasana, Nayaka Sangha Theravada Sangha Agung Indonesia, Bhante Nyanasuryanadi, dan tamu kehormatan dari tradisi Vajrayana yaitu Thaye Dorje, H.H. 17th Gyalwa Karmapa.

Gyalwa Karmapa dalam pembabaran Dharmanya menyampaikan, “Ada banyak praktik Buddhadharma di berbagai belahan dunia. Esensi dari Buddhadharma adalah Dharma yang dapat dipraktikkan dalam sehari-hari, salah satu bentuk mempraktikkan Dharma itu adalah bakti, tanpa bakti penerapan Dharma menjadi kurang mendalam.”

Dalam sesi ceramahnya, Karmapa mengungkapkan kebahagiaannya saat melihat berbagai aliran di dalam Buddhadharma dapat berkumpul dan berdoa bersama-sama, meskipun dari berbagai latar tradisi yang berbeda.

The post Pasca Renovasi, Wihara Ekayana Arama Diberkahi Tiga Tradisi appeared first on BuddhaZine.

Mendetoksifikasi Hati secara Buddhis

$
0
0

Aktivitas sehari-hari membuat kita rentan terserang racun dari lingkungan maupun dari dalam diri. Racun yang mengendap di dalam tubuh akan mengganggu kesehatan, bahkan menyebabkan penyakit serius. Untuk mengeluarkan racun di dalam tubuh, diperlukan detoksifikasi, sehingga tubuh tidak mudah terserang penyakit. Bukan hanya tubuh saja lho yang perlu didetok, hati kita juga perlu didetok.

Apa itu detoksifikasi?

Detoksifikasi merupakan proses mengurangi atau mengeluarkan racun di dalam tubuh. Secara umum, proses ini bisa dilakukan dengan pola hidup sehat seperti perbanyak minum air putih, melakukan aktivitas fisik yang menghasilkan keringat, mengonsumsi buah dan sayur, mengonsumsi lemon setiap pagi, dan kebiasaan baik lainnya. Itulah cara detoksifikasi fisik secara umum yang bisa kita lakukan untuk membuat tubuh tetap sehat. Lantas, bagaimana cara mendetoksifikasi hati? Secara Buddhis, detoksifikasi hati dijelaskan oleh Danai Chanchaochai dalam bukunya berjudul “White Heart”.

Mengapa hati kita perlu didetok?

Seperti fisik yang terpapar oleh racun dan bakteri setiap harinya, sehingga perlu didetok agar tetap sehat. Begitu pula dengan hati yang terpapar racun seperti kebencian, ketamakan, dendam, iri, dan pikiran-pikiran negatif. Hati kita perlu didetok agar tetap sehat dan penuh cinta kasih. Kalau tidak didetok secepatnya, racun-racun akan mengendap dalam hati, membentuk endapan tebal hingga berkarat.

Detoksifikasi hati dalam Buddhis

Danai Chanchaochai dalam bukunya menjelaskan, ada 3 tahapan detoksifikasi yang harus kita lakukan, yaitu detoksifikasi endapan, kerikil, dan karat.

Tahap Pertama –  Detoksifikasi Endapan di Hati

Racun ini cenderung mudah meluap dengan cepat. Seperti kecenderungan mengeluh, egois, emosi tidak stabil, hingga mudah terganggu dengan hal-hal yang sedang terjadi. Seseorang menjadi mudah marah ketika orang lain berkata buruk tentangnya.

Pada tahap ini, detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara: berhenti membesarkan kesalahan orang lain, tidak terlalu ikut campur dengan urusan orang lain, mengubah aktivitas negatif menjadi positif ketika emosi muncul, dan mengembangkan cinta kasih mulai dari dalam diri sendiri.

Tahap Kedua – Detoksifikasi Kerikil di Hati

Racun telah mengendap dan mengeras seperti kerikil di dalam hati. Kerikil tidak seperti debu yang mudah berterbangan ketika terkena angin. Tidak seperti tahap pertama yang mudah meluap, di tahap kedua ini racun dalam hati cenderung terpendam. Racun tersebut adalah dendam, diam di dalam hati tapi mampu melukai hati kita sendiri. Ketika ada suatu hal yang menyentuh rasa sakit, hati menjadi terluka. Seseorang yang terinfeksi racun ini akan menghancurkan hal yang berada di sekelilingnya, bahkan menyakiti dirinya sendiri.

Detoksifikasi kerikil di dalam hati dilakukan dengan cara: menumbuhkan cinta kasih dari dalam diri dan menyebarkan ke semua makhluk, berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain, ingat bahwa hati kita bukan tong sampah (jangan isi hati dengan kotoran/hal negatif), dan lihatlah kebaikan orang lain.

Tahap Ketiga – Detoksifikasi Karat di Hati

Tahap terakhir, kita perlu mendetoksifikasi karat yang ada di dalam hati kita, agar hati kita benar-benar bersih dan sehat. Membersihkan benda yang berkarat memang tidak mudah, bahkan benda yang berkarat seperti besi cenderung mudah rapuh dan rusak. Kita tentu tidak mau-kan jika hati kita rusak karena karat yang dibiarkan terlalu lama? Tumpukan racun yang dibiarkan terlalu lama membuat hati kita berkarat. Hati yang telah berkarat ini cenderung punya ingatan kuat tentang masa lalu yang menyakitkan.

Proses detoksifikasi membutuhkan waktu yang lama, butuh tekad kuat untuk membersihkan karat di dalam hati. Caranya: melepaskan diri dari kepahitan masa lalu, mulai melakukan hal-hal positif yang membuat diri kita bahagia, berhenti bertanya “mengapa” yang tidak penting, seperti “mengapa saya menderita” (pertanyaan tersebut justru akan membuat kita semakin menderita), membantu manusia dan binatang agar terbebas dari penderitaan, serta belajar untuk memaafkan diri sendiri maupun orang lain & meminta maaf.

Mari kita lakukan detoksifikasi hati, mengeluarkan racun yang masuk melalui pikiran, ucapan, maupun perbuatan. Dengan begitu, hati kita akan menjadi bersih, sehat, dan penuh cinta.

The post Mendetoksifikasi Hati secara Buddhis appeared first on BuddhaZine.


40th Nalanda: Drama Musikal dan Talkshow

$
0
0

Menyambut ulang tahun ke-40, Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Nalanda menggelar, Panggung Drama Musikal dan Talkshow yang akan dimainkan oleh para mahasiswa STAB Nalanda.

Dapatkan ilmu berharga dari nama-nama tenar, mulai dari:

– Andy F Noya
– Gita Wirjawan
– Banthe Utomo
– Dr Ponijan Liaw

Catat tanggalnya!
Minggu, 1 Desember 2019
Jam 13.00 – 18.00 WIB

Di JIEXPO Kemayoran, Jakarta

GRATIS!

Tanpa tiket!
Tanpa Registrasi!
Tinggal datang dan enjoy….

Jadi tunggu apa lagi? See you there!

The post 40th Nalanda: Drama Musikal dan Talkshow appeared first on BuddhaZine.

Mengalami Tanpa Kata

$
0
0

Sebagai seorang praktisi Zen, saya banyak mengalami pencerahan-pencerahan kecil dalam hidup. Dalam arti ini, pencerahan kecil adalah saat saya hidup sepenuhnya di sini dan saat ini dengan penuh kejernihan. Saat-saat semacam ini muncul tak terduga. Semakin saya mendalami Zen, semakin sering saat-saat semacam ini muncul dalam hidup.

Salah satu yang paling berkesan adalah ketika saya berada di kereta menuju Jakarta dari Yogyakarta pada akhir Oktober 2019 lalu. Saya pulang dengan kereta malam. Mungkin karena pesan tiketnya telat, saya dapat tempat duduk paling depan. Di tempat duduk ini, saya tidak bisa meluruskan kaki, karena langsung berhadapan dengan tembok depan gerbang kereta.

Alhasil, saya terjebak dalam posisi duduk sepanjang malam. Awalnya, tak ada masalah, karena saya bisa langsung tertidur. Namun, tak lama kemudian, rasa pegal mulai muncul di kaki. Duduk mulai terasa tak nyaman, sementara perjalanan masih sekitar enam jam lagi.

Saya mulai menerapkan teori Zen yang saya dalami. Just do it, lakukan saja semuanya dari saat ke saat. Saya hanya sekadar duduk, dan sekedar merasakan sakit yang muncul. Saya menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di dalam maupun di sekitar tubuh saya.

Karena perjalanan masih panjang, saya memutuskan untuk membaca. Judul buku yang saya baca adalah Awareness: A Key to Living in Balance, karangan dari Osho. Satu argumen langsung menyentak saya, ketika membacanya. Hiduplah dari saat ke saat dengan mengalami kenyataan, tanpa pengaruh bahasa. Ia menyebutnya sebagai non-verbal experience.

Ini sebenarnya sejalan dengan prinsip Zen lainnya, yakni just do it. Kita tidak memberi nama pada apa yang kita alami, melainkan sekadar mengalaminya. Kita tidak menilai baik atau buruk. Kita tidak mengejar, atau menolak apa pun yang terjadi di sini dan saat ini.

Di titik ini, kita menjadi pengamat yang hening (silent observer) atas segala yang terjadi. Kita berada sebelum bahasa dan sebelum pikiran itu sendiri. Yang muncul adalah keheningan dan kedamaian, bahkan ketika keadaan sekitar kita sedang sangat ramai. Kita bisa tetap bergerak aktif bekerja di dalam dunia, sambil mengalami keheningan dan kedamaian di dalam batin.

Setelah membaca argumen Osho tersebut, saya langsung merasa hening. Ada kedamaian yang luar biasa di dalam hati. Pikiran saya terasa luas, seperti ruang yang bisa menampung segalanya. Keadaan ini bertahan cukup lama, bahkan sampai hari ini (awal November 2019).

Bahasa dan realita

Mengapa ini terjadi? Mengapa “mengalami tanpa kata” bisa membawa pada kejernihan, kedamaian dan keheningan yang begitu mendalam? Ada empat hal yang bisa menjadi pertimbangan.

Pertama, bahasa adalah ciptaan manusia untuk dua hak, yakni memahami dunia, dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa adalah kerangka yang memberikan makna pada pengalaman manusia. Di dalam bahasa terkandung budaya dan sejarah manusia. Ia adalah simbol dari identitas.

Dua, karena memberi makna, bahasa juga memberikan bumbu pada pengalaman manusia. Ia mengurangi atau menambahkan dari apa yang sesungguhnya terjadi. Bahasa menyempitkan pengalaman ke dalam konsep dan kata. Akhirnya, manusia tak mampu mengalami dunia sebagaimana adanya.

Tiga, bahasa juga penuh dengan beban masa lalu. Bahasa memberikan kerangka makna dengan berpijak pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Bahasa adalah penafsiran akan saat ini dengan berpijak pada masa lalu. Ketika mengalami sesuatu dalam kerangka kata dan bahasa, kita lalu tak bisa hidup sepenuhnya disini dan saat ini.

Empat, dalam kerangka masa lalu, kita akan terjebak di dalam kegelisahan. Trauma dan ingatan akan mengotori pengalaman kita. Kita kehilangan kejernihan dan keheningan. Pendek kata, kita akan terjebak dalam penderitaan.

Mengalami tanpa kata

Dengan mengalami tanpa kata, kita dapat mengalami dunia apa adanya. Kita tidak mengurangi atau menambahkan sesuatu kepada pengalaman kita. Kita menjadi pengamat yang hening atas segala yang terjadi. Di dalam keseharian yang sibuk dan ramai, kita tetap merasakan keheningan dan kedamaian di dalam batin.

Sebenarnya inilah tujuan utama dari Zen, dan dari semua jalan spiritual di dunia, termasuk filsafat Stoa di peradaban Eropa. Kita hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Kita tidak terbeban oleh ingatan dan trauma yang bersembunyi di balik bahasa dan kata. Kita pun menyadari kembali, bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan antara diriku dan alam semesta.

Kejernihan pun akan muncul. Artinya, kita bisa sadar akan segala yang terjadi. Kita bisa melihat semua apa adanya. Ini amat berguna di dalam proses pembuatan keputusan di dalam hidup.

Kita tidak lagi reaktif terhadap keadaan, yakni secara buta bereaksi pada keadaan, tanpa pertimbangan apapun. Kita bisa hening, dan secara sadar bertindak menanggapi keadaan yang terjadi. Inilah inti dari hidup yang seimbang. Hening dan jernih di dalam batin, sambil kita aktif bekerja di dunia yang kompleks.

Dalam perjalanan, keheningan dan kejernihan bisa bersembunyi, karena pikiran egoistik yang muncul. Gangguan ini bisa amat kuat, karena kebiasaan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Kita pun seringkali merasa bersalah karenanya. Pada titik ini, kita hanya perlu kembali menjadi pengamat hening yang mengalami segalanya, tanpa kata. Perlahan tapi pasti, pikiran egoistik akan semakin jauh, dan penderitaan juga lenyap bersamanya.

Perjalanan dengan kereta malam Yogyakarta ke Jakarta menjadi salah satu perjalanan paling berkesan di dalam hidup saya. Seluruh pemahaman filsafat dan Zen saya mengerucut menjadi satu kalimat pendek, yakni “mengalami tanpa kata”, atau non-verbal experience. Dari saat ke saat, saya menjadi “pengamat yang hening” (silent observer) di dalam kehidupan. Tertarik mencoba?

The post Mengalami Tanpa Kata appeared first on BuddhaZine.

Dana Tiga Rupang ⁠Festival Dusun Krecek

$
0
0

Dana 3 Rupang. Seluruh keuntungan akan digunakan untuk membiayai Festival Dusun Krecek⁠.

Avalokiteshvara⁠
Bahan: Batu paras super⁠
Ukuran: 80 cm⁠
Donasi: 12 juta⁠

Buddha⁠
Abhaya Mudra Borobudur⁠
Bahan: Batu paras putih⁠
Ukuran: 70 cm⁠
Donasi: 8 juta⁠

Buddha Mahaparinibbana⁠
Bahan: Batu paras super⁠
Ukuran: 130 cm⁠
Donasi: 15 juta⁠

Catatan:⁠
Rupang akan diserahkan saat pembukaan Festival Dusun Krecek pada 30 November 2019, atau bisa dikirimkan dengan biaya pengiriman ditanggung oleh donatur⁠

CP: Febriyanto | 0831 0339 0425

The post Dana Tiga Rupang ⁠Festival Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Perayaan Sanghadana di SMK Negeri 1 Tanjung, Lombok Utara

$
0
0

Pada Jumat (15/11) pukul 07.30 WITA di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Tanjung, Karang Sobor, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi NTB, siswa-siswi yang beragama Buddha, tergabung dalam organisasi Pemuda Pemudi Buddhis SMK Negeri 1 Tanjung dengan jumlah 130 siswa, menyelenggarakan perayaan Kathina.

Kegiatan Sanghadana tersebut dihadiri oleh Bhikkhu Sacchadhammo dengan didampingi dua samanera dari STAB Kertarajasa Batu, Malang. Bhikkhu Sacchadhammo menyampaikan Dhammadesana tentang makna Kathina yang merupakan hari raya bagi umat buddha.

Kathina merupakan kesempatan yang baik bagi umat Buddha, karena pada saat Kathina umat Buddha berkesempatan memberikan persembahan dana kepada Sangha berupa empat kebutuhan pokok para bhikkhu (catupaccaya). Dana kepada Sangha oleh umat Buddha tersebut ibarat menanam benih di ladang yang subur yang pastinya akan memberi manfaat yang luar biasa bagi pemberi dana.

Pada kesempatan tersebut Bhikkhu Saccadhammo juga menyampaikan tentang harta sejati, harta yang tidak akan pernah bisa hilang atau dicuri oleh siapa pun. Dalam perayaan tersebut, para siswa didampingi oleh guru pembina agama Buddha SMK Negeri 1 Tanjung yaitu Ibu Sri Suryaningsih dan Bapak Alianto serta dihadiri oleh Wakil Kepala Kurikulum, I Nyoman Sudharma beserta para guru beragama Buddha di SMK Negeri 1 Tanjung.

The post Perayaan Sanghadana di SMK Negeri 1 Tanjung, Lombok Utara appeared first on BuddhaZine.

Nyungne, Tradisi Puasa Buddhis Khas Vajrayana

$
0
0

Puasa adalah praktik spiritual yang ditemukan di hampir semua agama besar di dunia. Tak terkecuali dalam agama Buddha. Umumnya, para Buddhis berpuasa dengan mempraktikkan tidak makan setelah lewat tengah hari hingga subuh. Namun masih boleh mengonsumsi cairan bila haus.

Ini adalah tradisi yang dipraktikkan sejak zaman Buddha. Para bhikkhu mempraktikkannya tiap hari, dan para umat awam dianjurkan mempraktikkannya saat bulan purnama.

Di dalam tradisi Vajrayana, terdapat praktik puasa khusus yang disebut Nyungne. Praktik yang sangat populer di Tibet ini adalah praktik pemurnian yang mendalam. Satu kali praktik Nyungne terdiri dari 2 hari puasa. Hari pertama adalah hari pendahuluan dan hari kedua adalah hari berpuasa sepenuhnya.

Seperti yang dilakukan puluhan umat dari Vihara Palyul Nyingma Indonesia Jakarta. Dari tanggal 13-16 November 2019, mereka melakukan retret Nyungne di Chan Forest, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, dibimbing Khenpo Khentse Norbu Rinpoche dan beberapa anggota Sangha.

Jumat (14/11) pagi, umat mengambil suatu tekad yang disebut tekad Tekchen Sojong, tekad penahbisan pemulihan dan pemurnian dari tradisi Mahayana dengan jumlah delapan sila. Tak jauh beda dengan praktik atthasila dari tradisi Theravada.

Di hari itu peserta hanya makan sampai tengah hari saja, yang membedakan dari tradisi Theravada, di sini makanan murni vegan, yang berarti bebas dari semua yang mengandung daging, telur, dan juga bawang merah maupun bawang putih.

Di hari selanjutnya, Sabtu (15/11), peserta benar-benar berpuasa tanpa makan atau minum. Selain itu, peserta harus menjaga keheningan atau tidak berbicara sama sekali. Noble silence, begitu istilah keren dalam bahasa Inggrisnya.

Syarat lain melakukan praktik ini adalah adalah peserta harus mengambil tekad Bodhisattwa, dan menerima inisiasi Avalokiteshvara 1000 Tangan (Sahasra Bhuja Avalokiteshvara) yang diberikan sebelum proses puasa dimulai. Tanggal (16/11) pagi, barulah puasa dibatalkan setelah dilakukan puja pagi hari saat matahari menyingsing.

Di saat-saat senggang, peserta retret dianjurkan membaca mantra Om Mani Padme Hum sebanyak-banyaknya, atau melakukan namaskara.

Asal-muasal praktik Nyungne

Praktik Nyungne berkaitan erat dengan sosok yang dihormati dalam sejarah Buddhis yang dikenal sebagai Biksuni Lakshmi, atau yang dalam literatur Tibet dikenal sebagai Gelongma Palmo. Sebelumnya ia adalah seorang putri di sebuah kerajaan di Kashmir, saat kawasan itu masih menjadi kawasan Buddhis yang besar.

Biksuni Lakshmi adalah seorang yang terpelajar. Ia ahli dalam lima jenis pengetahuan: logika, seni, puisi, kedokteran, dan tentunya Dharma, serta sangat ketat dalam menjaga sila.

Tetapi karena karma masa lalunya, Biksuni Lakshmi menderita sakit kusta. Tubuhnya kesakitan dan batinnya juga mengalami banyak penderitaan. Ia tidak dapat menggunakan tangannya, dan harus secara tidak layak sebagaimana lazimnya manusia. Keluarga dan anggota rombongan raja kemudian membawanya ke tempat yang sangat terpencil, tempat rumput obat tumbuh, dan meninggalkannya di sana.

Sang biksuni lantas mengalami serangkaian mimpi yang penuh dengan kedalaman makna, ia diperintahkan untuk merapalkan mantra dan dharani Avalokiteshvara sembari berpuasa hanya makan sekali dalam dua hari. Setelah mempraktikkan selama satu tahun, ia berhasil sembuh total dari penyakitnya itu. Tradisi praktik Nyungne ini dimulai dari silsilahnya.

Manfaat praktik Nyungne

Diyakini, bagi mereka yang ingin membuat hidupnya lebih berarti harus melakukan paling sedikit satu kali praktik Nyungne. Sekali praktik hanya 2 hari saja, tetapi dua hari tersebut mungkin bisa menjadi perjalanan yang cukup panjang dan tak terbatas. Menurut tradisi Tibet, minimal harus mengikuti paling sedikit delapan kali Nyungne dalam hidup ini. Selama praktik beberapa orang mungkin merasa sedikit lapar dan haus. Tetapi ini berfungsi akan memurnikan karma buruk seseorang.

Waktu praktik ini sangat singkat hanya 2 hari saja tetapi manfaat dan pahala sangat besar sekali. Dikatakan bahwa manfaat dan pahala mengikuti satu kali praktik Nyungne sama dengan manfaat dan pahala seseorang merapalkan mantra Om Mani Padme Hum sebanyak 100 juta kali.

Khenpo Khentse Norbu Rinpoche menjelaskan, besar atau tidak efek dari praktik Nyungne ini tergantung dari motivasi praktisinya. Motivasi maksimal adalah ketika seseorang mampu membangkitkan Bodhicitta, menjadi Sammasambuddha.

“Kita harus mau tujuannya menjadi Buddha. Karena menjadi Buddha ini tujuannya agar memiliki welas asih untuk membantu semua makhluk,” ujar Khenpo.

The post Nyungne, Tradisi Puasa Buddhis Khas Vajrayana appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live