Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Menyongsung Satu Windu BuddhaZine

$
0
0

Tanggal 1 Desember 2019, tepat satu minggu dari sekarang, BuddhaZine genap berusia delapan tahun. Belum lagi dewasa, namun bagi sebuah media pemberitaan yang dikelola oleh segelintir mantan anak muda, delapan tahun bukan waktu yang singkat. Apakah keberadaan BuddhaZine memang sudah memberi manfaat bagi masyarakat, khususnya untuk perkembangan Buddhadharma?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami berupaya untuk mengumpulkan pendapat dari para pembaca, penulis, akademisi, hingga pengamat media.

 

Kris Budiman | Dosen Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, kritikus sastra, novelis, penulis, dan antropolog.

Makan waktu cukup lama penantian saya hingga pada akhirnya datanglah di tengah-tengah kita sebuah media buddhis yang beda! Bukan hanya lantaran ia sebuah media daring, tetapi yang membuatnya distingtif adalah konten dan orientasi audiensnya.

Konten BuddhaZine bukan semata-mata berita langsung (straight news), tetapi terutama feature, esai, opini, bahkan kisah perjalanan, dengan kemasan bahasa Indonesia yang baik dan gaya penulisan yang ringkas dan padat, sangat sesuai dengan semangat zaman digital. Orientasi pembaca atau audiens yang ditargetnya, saya duga-duga, bukan hanya sebatas kaum buddhis, melainkan bisa siapa saja yang tertarik dengan topik-topik yang dilontarkan.

Lebih dari itu, sekali lagi ini dugaan saya, BuddhaZine menyasar pembaca-pembaca urban-terpelajar. Ini sungguh bagus mengingat urgensi atas penguatan kelompok intelektual Buddhis di negeri ini, yang berwawasan progresif dan tidak minderan.

 

Efi Latifah | Pengamat Media, Dosen STAB Kertarajasa, dan Aktivis Perempuan.

Di BuddhaZine semangat keberagaman liputan dan artikel mengenai Buddha di Indonesia, tanpa sekat aliran atau sekte.

BuddhaZine juga memberi suara pada komunitas buddhis yang selama ini kurang mendapat ruang. Lebih dari itu, BuddhaZine menebarkan metta yang transformatif dengan mengangkat kasus-kasus aktual dunia buddhis global yang menjadi refleksi pentingnya menerima perbedaan dalam beragama. Bukan hanya ruang berita, ruang Dharma terasa begitu akrab karena mengangkat masalah-masalah yang aplikatif dalam keseharian. Tulisan-tulisan seperti ini perlu diperbanyak dengan variasi tema dan gaya penulisan.

Semoga literasi media di kalangan buddhis dan masyarakat secara umum dapat diharapkan meningkatkan keterlibatan dan apresiasi terhadap BuddhaZine yang signifikan keberadaannya sebagai counter wacana yang bersifat mencerahkan dan membebaskan. Ruang media seperti citizen dapat menjadi lebih meriah dengan kontribusi yang lebih terbuka dari berbagai kalangan, termasuk non-Buddhis sehingga dapat menjadi ruang pertemuan dialog yang lebih hidup yang menggambarkan dinamika Buddha sebagai “a living religio”.

 

Muhammad Mukhlisin | Kepala Sekolah Guru Kebhinekaan

BuddhaZine menjadi media alternatif yang menyajikan kesejukan dan kedamaian dalam beragama. Di Indonesia, tidak banyak media seperti, penuh filosofi.

Secara pribadi, saya pernah menjadi intoleran karena sejak kecil hidup di tengah komunitas yang homogen. BuddhaZine membantu saya untuk meluruhkan sikap intoleransi itu dengan membuka ruang perjumpaan. Saya bisa bertukar pikiran, refleksi, dan meretas sekat prasangka dengan medium BuddhaZine.

BuddhaZine juga mengajarkan saya untuk bagaimana berpikir, dan bertindak secara sadar atau mindfulness. Saya justru bisa menjadi seorang muslim penuh keberkahan setelah belajar dari BuddhaZine.

 

Alam Wijaya Yap | Pembaca Setia BuddhaZine

Menurut saya, BuddhaZine sebagai media buddhis sangat bermanfaat bagi masyarakat, baik kalangan buddhis maupun non Buddhis. Banyak inovasi berita yang selalu up to date, bervariasi dan tidak menjemukan. Karena itu, saya berharap BuddhaZine terus berinovasi dalam mengabarkan umat Buddha dari berbagai daerah.

The post Menyongsung Satu Windu BuddhaZine appeared first on BuddhaZine.


Jeniusnya Buddha – Sang Pendobrak

$
0
0

Mungkin kita sebagai umat Buddha tidak menyadari bahwa Buddha adalah salah satu orang terjenius yang pernah ada di dunia. Apa yang Beliau ajarkan jauh melebihi prinsip dan pandangan umum yang ada pada masanya.

Bila kita tilik lebih jauh, apa yang Buddha ajarkan dan lakukan dapat dikatakan sebagai bentuk spiritual disruptif – sebuah bentuk spiritual yang merusak tatanan yang sudah ada dengan menciptakan solusi sebuah jalan hidup baru bagi banyak orang.

Tidak hanya terhadap agama dan kepercayaan sebelumnya, agama Buddha memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan agama-agama yang masih bertahan di dunia sekarang ini. Mari kita lihat apa saja tindakan disruptif yang telah dilakukan oleh Buddha.

Ketika yang lain mengajarkan penyiksaan diri atau pemuasan nafsu, Buddha menyadari pentingnya mawas diri dalam upaya berlatih dan mengajarkan Jalan Tengah

Ketika yang lain mengajarkan konsep jiwa yang kekal/permanen, Buddha mengajarkan pentingnya menyadari bahwa tidak ada jiwa yang kekal karena segala sesuatunya selalu berubah. Ajaran anatta (tanpa diri/aku yang kekal) ini merupakan konsep fundamental yang menjadi pondasi bagi ajaran Buddha.

Ketika yang lain memandang umatnya teristimewa atau bersifat eksklusif, Buddha mengajarkan bahwa jalan kebenaran ini bisa dicapai siapa saja. Tidak harus menjadi seorang buddhis untuk dapat memperoleh manfaat dari ajaran Buddha.

Ketika yang lain bertujuan hidup kekal di alam surgawi, Buddha mengajarkan jalan untuk mencapai Nibbana – terbebasnya dari penderitaan tumimbal lahir. Dengan kata lain, ketika yang lain mengajarkan terus-menerus berada di alam samsara, Buddha mengajarkan cara memutuskan lingkaran samsara ini.

Ketika yang lain mengajarkan sikap pasrah terhadap takdir yang telah ditentukan, Buddha mengajarkan sikap pantang menyerah dan terus berusaha memupuk jasa kebajikan dalam kondisi sulit apa pun. Di sini terlihat bahwa Buddha merevolusi konsep umum yang ada, ketika yang lain sering kali berpangku tangan atau menyalahkan keadaan atas segala sesuatu yang buruk terjadi, Buddha justru mengajarkan bahwa kita-lah yang bertanggung jawab atas kondisi-kondisi yang terjadi dalam kehidupan kita. Kita bukanlah korban dari keadaan, tetapi tuan bagi pilihan hidup kita sendiri.

Ketika yang lain mengajarkan kemelekatan terhadap kekuasaan, nafsu indrawi, dan lain sebagainya, Buddha mengajarkan pelepasan – sebuah sikap untuk rela melepas segala bentuk keinginan yang dapat menyebabkan penderitaan.

Ketika (dulu) yang lain tidak memiliki struktur keagamaan dan komunitas, Buddha membentuk struktur keagamaan yang jelas dengan Sangha sebagai komunitas monastiknya.

Ketika (dulu) yang lain tidak fokus menyebarkan ajarannya, Buddha pertama kali meminta murid-muridNya untuk pergi dan menyebarkan ajaran kebenaran ke seluruh dunia.

Ketika yang lain fokus pada ritual dan penyembahan terhadap sesuatu, Buddha fokus pada pencarian kebenaran melalui pikiran murni dan pandangan terang yang dapat dicapai dengan berlatih meditasi. Di sini, Buddha fokus pada potensi manusia yang dapat tumbuh berkembang untuk mengetahui jati dirinya dan berlatih demi mencapai pencerahan sempurna.

Ketika yang lain menyelenggarakan pengorbanan makhluk hidup, Buddha menegaskan penolakanNya terhadap ritual kurban dan memandang kehidupan sebagai sesuatu yang berharga.

Ketika yang lain membentuk pengelompokan manusia (kasta, pengkafiran, dan lain sebagainya), Buddha meruntuhkan sistem pengelompokan itu dan menerima semua orang.

Ketika yang lain membenarkan praktik kekerasan (perang suci, dan lain sebagainya), Buddha mengajarkan ahimsa (tanpa kekerasan) dan metta (cinta kasih universal).

Ketika  yang lain menutup kesempatan bagi peran perempuan, Buddha mengizinkan peran perempuan dalam berbagai segi termasuk spiritualitas. Perempuan tidak dikekang oleh sistem yang membatasi mereka untuk melaksanakan praktik keagamaan. Bahkan banyak perempuan yang telah terbukti dapat mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.

Demikianlah beberapa tindakan spiritual disruptif yang telah dilakukan Buddha pada masanya dan masih dianggap bermanfaat hingga saat ini.

Terlepas dari kejeniusanNya, kita sebagai orang yang meneladani Buddha tidak serta merta mendapatkan manfaat dari ajaranNya tanpa berlatih diri dengan benar, tekun, dan disiplin.

Buddha sendiri telah menunjukkan usahaNya untuk menemukan Dhamma melalui perjuangan, ketekunan, dan kedisiplinan yang terus dipupuknya selama bertahun-tahun. Buddha telah menunjukkan jalannya, kita-lah yang harus menjalaninya.

The post Jeniusnya Buddha – Sang Pendobrak appeared first on BuddhaZine.

Apa yang Saya Dapatkan dari 8 Tahun BuddhaZine?

$
0
0

Pada tahun 2015, saya dipercaya Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) untuk memimpin majalah Majemuk. Majemuk bagi saya sangat spesial. Majalah lintas agama yang mengangkat praktik-praktik kerja sama dalam bidang perdamaian ini menjadi tempat saya menggembleng diri, mengasah kemampuan menulis, berkomunikasi, dan membangun jaringan. Saat itu pula, saya mengenal beberapa pendiri Buddhazine seperti Ngasiran, Sutar Soemitro, dan Pak Jo Priastana.

Lewat obrolan-obrolan sambil minum kopi, kami sering bertukar gagasan soal toleransi. Beberapa kali saya mengajak Sutar dan Ngasiran untuk berdiskusi di tempat kerja saya. Lewat obrolan-obrolan itu, saya menangkap bahwa para pemuda ini mempunyai niat luhur menyebarkan Dhamma melalui media online.

Tidak terasa, tahun ini sudah sewindu BuddhaZine menyuplai bacaan yang ringan, sederhana, dan informatif.  Namun, dengan bahasa yang sederhana itu saya menemukan banyak manfaat. Berikut ini enam manfaat yang saya dapatkan dari BuddhaZine.

1. Sahabat yang open minded

Ngasiran dan mendiang Sutar Soemitro bekerja keras membangun media Buddhis lintas sekte ini. Meskipun Buddhis di Indonesia sangat beragam alirannya, namun BuddhaZine memberikan jalan tengah yang bisa menaungi semua ragam itu.

Dua anak muda ini, memiliki pemikiran yang sangat terbuka. Mereka tidak mau terbawa dalam perbedaan internal buddhis. Mereka fokus pada nilai-nilai universal dan kemanusiaan.

“Jika saya mau jual BuddhaZine, saya sekarang bisa kaya Kang” demikian tutur Sutar. Saat itu, BuddhaZine sedang dilirik oleh salah satu lembaga buddhis di Indonesia. Dia juga meyakinkan saya tentang pentingnya menjaga idealisme dan Dhamma.

2. Artikel-artikel yang menyejukkan

Salah satu artikel yang paling saya nikmati adalah rubrik dharma. Saya bisa menikmati tulisan-tulisan ringan yang penuh advice dari guru-guru Dharma. Beberapa bulan lalu saya membaca tulisan Thich Nhat Hanh tentang “Memulai Lembaran Baru”.

Dalam tulisan itu saya menemukan kekuatan berharga dari aktivitas mendengarkan. Ternyata, mendengarkan dengan penuh welas asih dapat memulihkan diri dari penderitaan. Mulai saat itu hingga kini, saya mencoba mengasah kemampuan mendengar saya.

3. Mindfulness dalam tindakan

Tiga bulan ini saya menerapkan mindfulness dalam kehidupan sehari-hari. Saya terdorong karena kesibukan dan tuntutan kerja yang semakin semrawut. Terlebih kehidupan di Jakarta penuh dengan polusi, kebisingan, macet, dan kerja dituntut cepat.

Saya belajar praktik mindfulness dari BuddhaZine dan beberapa buku karya Thich Nhat Hanh. BuddhaZine menjadi media pertama yang mengenalkan saya pada praktik penuh kesadaran. Meskipun saya beberapa kali masih undercontrol, namun upaya berkesadaran ini membantu saya lebih rileks.

4. Tempat-tempat menarik, penuh dengan kearifan lokal

BuddhaZine sering melakukan liputan on the spot ke berbagai daerah terutama daerah buddhis. Misalnya saya suka sekali membaca puluhan liputan dari Blitar. BuddhaZine mengambil tema-tema tulisan yang bervariatif namun fokus pada oase kesejukan umat buddha Blitar. Membaca liputan-liputan beruntun soal Blitar ini saya seperti membaca sebuah cerpen bersambung.

Liputan langsung ke tempat-tempat eksotis ini menjadi kekuatan penting BuddhaZine.

5. Guru-guru yang bijak

Membaca BuddhaZine membuat saya menemukan guru-guru yang penuh dengan welas asih, dan mengajarkan kebijakan. Bahasa-bahasa yang digunakan oleh para guru ini juga sederhana. Seperti salah satu artikel berjudul “Cara Mengatasi Penderitaan Menurut Bhante Sri Pannyavaro”.

Bhante Sri Pannyavaro menyatakan “Akar penderitaan itu adalah keinginan yang tidak wajar. Keinginan yang tidak wajar itulah yang membakar diri semua orang. Membakar dengan keserakahan, membakar dengan kebencian, membakar dengan iri hati, membakar dengan balas dendam. Membakar dengan kesombongan, kecongkakan. Itulah akar penderitaan.” Nasihat-nasihat mulia sangat mudah dipahami bukan?

BuddhaZine mempunyai kekuatan untuk mengangkat narasi reflektif dari orang-orang kampung biasa, namun mempunyai pelajaran berharga. Mbah Kasboe dari Jepara misalnya. Kegigihan dan kesederhanaannya mampu membangkitkan masyarakat untuk mendirikan Vihara Sima Kalingga di Blingo Jepara.

6. BuddhaZine berkontribusi pada keragaman di Indonesia

Melihat semua kontribusi di atas, rasanya tidak berlebihan jika saya bilang bahwa BuddhaZine mempunyai peran besar dalam keragaman dan kehidupan toleran di Indonesia saat ini. Di tengah merenggangnya kohesi sosial seperti saat ini, kita membutuhkan narasi-narasi damai untuk merekatkan semangat kebangsaan itu.

Terimakasih BuddhaZine, tetaplah konsisten, dan terus berinovasi.

Muhammad Mukhlisin

Kepala Sekolah Guru Kebinekaan, Jakarta.

 

The post Apa yang Saya Dapatkan dari 8 Tahun BuddhaZine? appeared first on BuddhaZine.

Tantrayana di Nusantara Menurut Para Pakar

$
0
0

Borobudur Writers and Cultural Festival 2019 kembali digelar, difokuskan di kawasan Candi Borobudur Jawa Tengah, 22-23 November 2019. Pada sesi simposium di hari kedua, terdapat beberapa pakar yang menyampaikan materi bertema “Membedah Tantrayana di Nusantara”.

Ida Bagus Putu Suamba dari Politeknik Negeri Bali saat menjelaskan konsep tantrayana di Bali menjelaskan, raja-raja di Bali dan Jawa kuna umumnya mempelajari dan mempraktikkan ilmu tantra. Ini utamanya digunakan untuk kepentingan sosial politik, untuk mengendalikan negara.

“Tapi untuk tujuan spiritualnya adalah pembebasan, enlightenment,” jelas dia.

Terkait tantra di Bali, menurutnya secara teknis itu merupakan proses pengolahan aksara di tubuh manusia untuk mencapai pembebasan, bersatunya mikrokosmos dan makrokosmos. Aksara sendiri menurutnya adalah sesuatu kekuatan yang kekal, tak terlahirkan/terhancurkan, dan hanya bisa berganti wujud.

“Alam semesta ini adalah suara. Aksara akan menggetarkan tubuh, membangkitkan Kundalini,” jelasnya.

Ery Soedewo dari Balai Arkeologi Medan menjelaskan, kawasan Padang Lawas di Sumatera Utara adalah salah satu kawasan yang memiliki banyak situs candi yang memiliki karakteristik buddhis tantrik. Dari catatan era Belanda, menurutnya tercatat ada lebih dari 20 situs candi.

“Tapi sekarang yang ditemukan baru 17, beberapa di antaranya berubah fungsi jadi tempat hiburan, jadi kolam pancing,” ungkapnya.

Dari kawasan Padang Lawas menurutnya cukup banyak ditemukan peninggalan arca. Yang terkenal adalah arca Hevajra atau yang oleh kalangan lain disebut sebagai arca Heruka.

“Namun sayang saat ini sudah tidak diketahui [arca Hevajra itu] jejaknya di mana,” paparnya.

Ia melanjutkan, “Di Padang Lawas, peninggalan visual relief sosok-sosok tantrik berkepala hewan atau raksasa yang terlihat berpose seperti menari ditemukan juga di kawasan itu.” Ery berpendapat, tampaknya dari artefak tersebut hendak menggambarkan ritual yang dilakukan di Padang Lawas saat itu. Ia lalu membandingkan dengan ritual Buddhis tantrik menggunakan tarian dan topeng di Tibet, Nepal, Bhutan, atau India utara yang masih eksis hingga kini.

Sementara, terkait kenapa tradisi tantrik buddhis bisa lenyap dari Padang Lawas, Ery berpendapat bisa saja itu karena adanya invasi. “Ada yang menyebut karena kurangnya interaksi dengan India, sesudah agama Buddha menurun di sana,” urainya.

Di Padang Lawas sendiri, saat ini masih ditemui adanya lesung atau tempat menumbuk padi yang diberi (diukir) semacam mantram dan mandala. Dan hingga kini pun, masih dijumpai pula juga ritual adat yang masih menggunakan mantram dan mandala tersebut.

“Jadi itu tampaknya adalah sisa-sisa memori dari tradisi leluhur yang hidup di Padang Lawas,” ungkapnya.

Pembicara lain, Guru Besar Universitas Indonesia Noerhadi Magetsari menjelaskan, tantra buddhis Guhyasamaja pernah dipraktikkan di Nusantara. Ini diketahui dari konsep Panca Tatagatha yang ada di Candi Borobudur, yang memang menjadi objek pemujaan dalam tantra tersebut.

Namun ada perbedaan. Noerhadi berargumen, menurut teks Guhyasamaja yang asli berbahasa Sanskerta, Buddha Vairocana adalah yang ada di tengah-tengah Mandala, dikelilingi empat Buddha lain yakni Amitabha, Ratnasambhava, Aksobhya, dan Amogasiddhi.

Meski begitu, dalam tradisi Tantra Guhyasamaja yang masih hidup dan eksis hingga sekarang –lewat agama Buddha Tibet– yang ada yang di pusat Mandala adalah Buddha Aksobhya.

“Kalau di Nusantara (Borobudur) yang di tengah adalah Vairocana, namun mudranya Vitraka Mudra, bukan Dharmachakra,” jelasnya.

Terkait keberadaan rupang Buddha di Borobudur, ia memiliki pandangan yang berbeda dari pandangan umum. Ia meyakini, arca Buddha yang ada di dalam stupa (di lantai atas) bukanlah Buddha, melainkan Bodhisattwa.

Noerhadi meyakini, yang ada di dalam stupa adalah Bodhisattwa level tinggi, paling tidak sudah mencapai level ketujuh atau Acala (tak tergoyahkan) dari sepuluh tingkatan Boddhisattwa. Menurutnya, di sini, Boddhisattwa sebenarnya sudah bisa melepaskan diri dari lingkaran samsara, namun memilih untuk tinggal di samsara, demi menolong semua makhluk.

“Sesungguhnya arca-arca yang diletakkan di dalam stupa adalah arca-arca Bodhisattwa, bukan arca Tatagatha,” tegas Noerhadi.

The post Tantrayana di Nusantara Menurut Para Pakar appeared first on BuddhaZine.

Danang Suseno Penggubah Komposisi Musik Kidung Prajnaparamita Versi Jawa

$
0
0

Om sujud kepada Arya Bhagavati Prajnaparamita!

Saat itu, Arya Avalokiteshvara sedang menyelami Prajnaparamita, namun yang tampak dalam pengamatan beliau hanyalah panca-skandha yang bersifat sunya dari svabhava.

Oh Sariputra, wujud adalah sunyata, sunyata adalah wujud; sunyata tak lain dari wujud, wujud tak lain dari sunyata; wujud apa pun itu sunyata, sunyata apa pun itu wujud. Begitu juga sensasi, pembedaan, aktivitas-aktivitas mental yang lain, dan kesadaran.

Oh Sariputra, semua Dharma bersifat sunya; tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang kurang dan tiada yang lengkap.

Oleh karena itu, Sariputra, dalam sunyata tiada wujud, tiada sensasi, tiada pembedaan, tiada aktivitas-aktivitas mental yang lain, tiada kesadaran; tiada mata. Tiada telinga, tiada hidung, tiada lidah, tiada badan, tiada unsur kesadaran.

Tiada wujud, tiada suara, tiada bebauan, tiada rasa, tiada objek sentuhan, dan tiada Dharma. Tiada indra penglihatan, dan sebagainya, termasuk tiada unsur kesadaran. Tiada kesalahpengertian, tiada berakhirnya kesalahpengertian, dan sebagainya, termasuk tiada penuaan dan kematian, tiada berakhirnya penuaan dan kematian.

Tiada dukha, tiada sebab duhkha, tiada berakhirnya duhkha, tiada jalan untuk mengakhiri dukha. Tiada pengertian, tiada yang dicapai, dan tiada yang tidak dicapai.

Maka Sariputra, karena tiada yang ingin dicapai, dengan mengandalkan Prajnaparamita, Bodhisattwa bebas dari segala gangguan pikiran. Karena bebas dari segala gangguan pikiran, mereka tidak gentar. Dan dengan mengatasi penyebab halangan-halangan, pada akhirnya mereka mencapai Nirvana.

Semua Buddha di tiga masa, mencapai tingkat yang tak terbandingkan, Penggugahan agung yang lengkap dan sempurna, dengan mengandalkan Prajnaparamita.

Maka ketahuilah Prajnaparamita adalah mantra agung, mantra pengetahuan agung, mantra yang tertinggi, mantra yang tak terbandingkan, yang secara tuntas mengatasi semua dukha. Mantra yang seyogianya dimengerti sebagai kebenaran sejati, yang tidak mungkin palsu. Dengan Prajnaparamita, diutarakanlah mantra ini:

Tadyatha Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha

Syair di atas diambil dari Prajnaparamita Hrdaya Sutra yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta oleh tim Potowa Center, Jakarta. Oleh Danang Suseno, seorang penggubah gamelan, Prajnaparamita Hrdaya Sutra digubah menjadi sebuah kidung dengan iringan musik gamelan Jawa. Prajnaparamita Hrdaya Sutra dianggap memiliki makna yang mendalam, menjelaskan sebuah kebenaran sejati. Pembuatan kidung Prajnaparamita, baik dalam bahasa Sanskerta maupun dalam bahasa Indonesia mendapat respon positif, juga dapat dinikmati oleh semua kalangan.

Kidung dalam versi syair bahasa Indonesia seperti yang diunggah di akun YouTube Albert Song tanggal 13 Agustus 2014, sudah ditonton lebih dari 31 ribu kali, disukai oleh 546 orang dan mendapat 62 komentar bernada positif. “Seperti kembali ke Indonesia abad ke-8, semua orang mawas diri, eling, dan waspada mendengar sutra dibacakan,” tulis akun Subroto Xing. “Ditunggu sutra-sutra yang lain. Menenangkan batin,” tulis akun Parmin Savano.

“Saya Pandita Hindu dari Malaysia, mengagumkan rasanya, universal, menciutkan rohku, syahbas saudara! Moga Jagat ketenganan dan Om Shanti,” tulis akun Ramakrishnan Sinnasamy.

Sementara, kidung Prajnaparamita dalam syair bahasa Sanskerta mendapat respon positif lebih banyak dari masyarakat. Sejak diposting di akun Youtube bernama Konsultan Karen Sasikirana Ashalina pada 1 Februari 2018, sudah ditonton lebih dari 331 ribu kali, disukai oleh 4,4 ribu orang dan mendapat 888 komentar bernada positif. Komentar positif tak hanya berasal dari umat Buddha.

Akun Dodik Setiawan misalnya, menuliskan komentar, “Meskipun agama saya Islam tapi saya sangat menyukai kidung ini, sungguh tenang, nyaman, dan damai. Semoga semua makhluk berbahagia. Rahayu sagung dumadi.”

“Pakai langgam Jawa jadi enak didengar. Walaupun saya Katolik, tapi kakek dan buyut saya beragama Buddha dan Hindu Kejawen. Jadi ingat dulu pernah diajak berdoa bareng di tempat semadi pas masih kecil,” tulis akun Febrian Adhika.

Sepintas Danang Suseno dan Proses Kreatifnya

Kidung Prajnaparamita, baik versi bahasa Sanskerta maupun dalam versi Indonesia dengan iringan gamelan Jawa adalah garapan Danang Suseno, putra Ki Manteb Soedarsono. Seolah membuktikan pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” laki-laki kelahiran Karangpandan 21 November 1980, itu juga mengikuti jejak bapaknya, menjadi seniman wayang kulit.

Sebagai seorang putra dalang, memegang wayang dan gamelan memang sudah menjadi keseharian Danang Suseno. Baginya, gamelan menjadi medium Ayahnya dalam mendidik dan mengarahkan karakternya menjadi pribadi yang mencintai seni dan kebudayaan Jawa.

“Sejak kecil, kalau saya pulang sekolah, pulang dari bermain itu Bapak kan pasti sedang di depan gamelan. Memang itu aktivitas keseharian Bapak. Kadang saya dipanggil, kalau minta sangu (uang jajan), Biasanya Bapak bilang kene (sini) tak ajari, kene ngarep rene. Kalau permainan saya bagus biasanya dikasih seratus ribu, kalau kurang bagus ya lima puluh ribu, kalau bagus ya ditambahi lagi, itu cara Bapak mendidik,” tutur Mas Danang kepada BuddhaZine.

“Tapi saya menyadari itu cara mendidik ya sekarang ini waktu sudah dewasa. Waktu saya masih mbujang, masih sekolah, durung ndue dugo ya mikirnya Bapak ini sibuk mayang terus, mau ketemu, mau ngajak dolan saja tidak punya waktu,” imbuhnya.

Melalui tempaan itu, kini Danang Suseno menjadi seorang dalang handal berjuluk Ki Danang S. Tak hanya menjadi dalang, pemilik sanggar Bimo Putro ini juga membuka usaha membuat gamelan sekaligus menjadi penggubah gending-gending Jawa. Kidung Wahyu Kolosebo, Prajnaparamita dalam dua versi bahasa menjadi beberapa karyanya yang fenomental dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia.

“Saya kan nggak tau doanya teman-teman Buddhis Mas. Jadi dalam penggarapan itu saya tidak berani sembrono, apalagi itu sebuah sutra, sebuah mantra dengan makna mendalam. Bimbingan Om Salim Lee dan teman-teman komunitas Potowa Center sangat membantu saya dalam membuat gending itu,” kata Mas Danang berkisah proses pembuatan penciptaan gending Prajnaparamita kepada BuddhaZine.

Kidung Prajnaparamita digarap Mas Danang sekitar tahun 2013. Setidaknya membutuhkan waktu 1 bulan unntuk garapan mentah. “Karena itu perlu inspirasi, proses digital yang harus memasukkan ornamen gamelan satu persatu membutuhkan waktu cukup lama. Hampir ratusan kali kita muter itu terus, karena kita harus ngolah terus menerus. Musik, lagu itu kan kumpulan dari pecahan-pecahan nada, ornamen-ornamen itu kita masukkan satu persatu dengan karakteristiknya masing-masing. Nah kebetulan kok ya karya saya diterima,” jelasnya.

“Terus kenapa gamelan,” lanjut Danang.  “Ya, karena saya wong Jowo, apa pun aliran musiknya saya ingin tetap identitas sebagai orang Jawa, tetap ada gamelan yang menjadi identitas diri kita, sebagai orang Indonesia. Ternyata karya saya diterima Prajnaparamitta terus Karaniya Metta Sutta, Wahyu Kolosebo juga yang mendorong saya untuk terus berkarya.

“Yang penting bagi saya berani urun karya, tidak usah takut karya kita dianggap jelek, jelek masih bisa diperbaiki. Intinya kalau karya kita direspon positif dan banyak disenangi orang-orang ya Alhamdulilah. Kebetulan saya tidak sendiri, ada Om Salim yang sudah saya anggap seperti orangtua saya, juga guru saya. Apalagi dekat dengan Bapak dan teman-teman dari Potowa Center juga.

Mas Danang juga berpesan kepada para seniman untuk berani berkarya. “Yang penting kita berani untuk ikut menciptakan sejarah untuk anak-anak dan cucu kita,” pungkasnya.

The post Danang Suseno Penggubah Komposisi Musik Kidung Prajnaparamita Versi Jawa appeared first on BuddhaZine.

Bon Anniversaire BuddhaZine!

$
0
0

Menulis buat sebagian orang menjadi kegiatan yang membosankan, buang-buang waktu, paling cuma buat iseng-iseng doang. Tapi, menulis itu nggak semudah yang kita pikirkan. Ketik… ketik… ketik.. di laptop langsung jadi, nggak semudah itu juga. Nyatanya, menulis itu butuh imajinasi dan keterampilan lebih untuk mengolah kata-kata menjadi kalimat bermakna dan saling menyambung. Hal terpenting dari menulis adalah “tulisannya bisa dipahami dengan baik oleh para pembaca”.

Lumayan susah membuat tulisan yang bagus, alur jelas, makna ada, dan mudah dipahami. Butuh waktu dan kebiasaan buat menghasilkan tulisan yang bagus. Begitu pula denganku, aku bukan orang yang pandai menulis, tapi ya suka aja dengan menulis. Aku ada pengalaman menulis di media online BuddhaZine karena kebetulan aku ikut seminarnya mereka di kampusku.

Kurang lebih tahun 2018 BuddhaZine mengadakan seminar di kampus aku, STAB Syailendra, Semarang. Di sana ada Ngasiran dan Andre Sam yang jadi pembicara. Kalau Ngasiran, dia wartawan lama di BuddhaZine. Kadang ngiri juga baca tulisannya keren, banyak yang baca, tapi tukang ngarit. Ngasiran tinggal di Temanggung sudah menikah dan punya anak satu.

Nah, kalau Andre Sam asli Solo sih katanya, dia itu redaktur BuddhaZine, orangnya kocak, gila abis, baik pula. Dia yang nerbitin beberapa tulisanku di BuddhaZine. Andre Sam juga sudah menikah dan punya anak satu.

Ada satu lagi wartawan namanya Ana Surahman, orang Temanggung, belum menikah. Tulisannya juga bagus, banyak yang baca. Dia orangnya baik, jadi partner guyonan kalau lagi ngumpul bareng.

Kalau aku, nggak perlu sebut nama, deh. Masih kuliah dan suka makan. Aku gabung di BuddhaZine kurang lebih 1,5 tahun. Banyak sekali pengalaman yang aku dapat selama di BuddhaZine. Mulai dari liputan kegiatan di luar kota dan ikut acara yang tentunya membawa pengaruh positif dan menambah ilmu buat aku. Ngasiran dan Ana Surahman jadi panutan aku ketika nulis berita dan artikel lainnya. Dari BuddhaZine-lah aku tahu banyak informasi tentang buddhis dan belajar menulis tentang berita buddhis dan artikel lainnya.

Nah, BuddhaZine ini lahir 1 Desember 2011, sekarang dia berusia delapan tahun. BuddhaZine didirikan oleh Sutar Soemitro dan Jo Priastana. Kang Sutar ini dulunya mahasiswa STAB Nalanda, Jakarta, anak STAB yang mendirikan majalah buddhis online sama dosennya, Jo Priastana.

Tapi, sekarang Kang Sutar sudah di alam lain. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Sebelum meninggal, Kang Sutar sempat cerita padaku, satu hal kunci sukses orang menulis. Dia bilang, “Nek arep pinter nulis, ya kudu maca buku. Maca buku kuwe ana jutaan ide. Nah, baru koe bisa nulis. Nek urung maca ya aja nulis.” Itu pesannya, yang artinya, “Kalau mau pintar menulis, harus membaca buku. Membaca buku itu ada jutaan ide. Nah, baru kamu bisa menulis. Kalau belum membaca ya jangan menulis.”

Memang benar pesan Kang Sutar, kalau mau pandai menulis, harus banyak membaca dulu. Orang yang pandai menulis cerpen dan novel, karenanya sebelumnya dia pasti banyak membaca cerpen, novel, dan membaca kisah kehidupan dengan berbagai sudut pandang. Kalau orang pandai menulis berita, itu karena dia sering membaca berita, dan tahu alur menulis berita. Nah, kalau orang pandai menulis artikel, itu karena dia sering membaca berbagai artikel, jadi bisa menulis artikel yang bagus dengan gaya yang berbeda.

So, Bon anniversaire BuddhaZine. Semoga di usia yang ke-8 ini BuddhaZine terus menjadi media belajar dan berbagi informasi untuk semua orang. Semoga tulisan-tulisan yang ada semakin berbobot. Dan untuk para penulis terus semangat menulis.

Merci..

The post Bon Anniversaire BuddhaZine! appeared first on BuddhaZine.

Paradoks Zen

$
0
0

Sejak kecil, saya suka sekali belajar. Saya suka menemukan hal-hal baru. Saya suka mengetahui segala hal tentang kehidupan, termasuk sejarah dan kompleksitasnya. Belajar menjadi semacam petualangan yang membahagiakan untuk hidup saya.

Secara umum, belajar berarti mengumpulkan informasi. Kita membaca atau mendengar hal-hal baru yang menambah pengetahuan di dalam diri kita. Belajar ilmu pengetahuan terjadi dengan proses ini. Sekolah formal, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga terjadi melalui proses yang sama.

Di dalam perjalanan, saya mulai menemukan filsafat. Filsafat adalah ibu dari semua ilmu. Proses belajarnya pun berbeda. Filsafat tidak semata mengumpulkan informasi, melainkan melatih kita untuk berpikir secara rasional, kritis dan sistematik.

Lalu, saya berjumpa dengan Zen. Zen tidak memberikan informasi baru, atau melatih cara berpikir. Zen adalah sekumpulan metode untuk mengajak orang kembali ke keadaan alamiahnya sebagai mahluk hidup. Keadaan alamiah ini disebut juga sebagai “Hakikat Buddha”, dan terletak sebelum semua pikiran muncul.

Buah dari Zen adalah kejernihan. Artinya, orang paham, apa yang terjadi di dalam diri dan di sekitarnya secara apa adanya. Tidak ada yang ditambahkan, dan tidak ada yang dikurangi. Pola pembelajaran Zen mengandung banyak paradoks yang menarik untuk dicermati.

Paradoks Zen

Pertama, proses belajar Zen adalah melepaskan semua pembelajaran yang ada. Semua teori dan informasi dilepas. Semua konsep dan kepastian intelektual ditunda. Yang tersisa adalah diri kita yang asli, yakni keadaan alamiah kita sebagai manusia.

Dua, di dalam Zen, jika orang ingin mencari kebenaran, maka ia tak akan mendapatkan kebenaran. Yang ia dapatkan adalah konsep kebenaran. Artinya, ia kembali terjebak ke dalam ilusi. Kebenaran hanya dapat diperoleh, ketika orang melepaskan keinginan untuk mencapai kebenaran.

Tiga, di dalam Zen, jika orang ingin mencapai kedamaian, maka ia tidak akan pernah merasa damai. Ia akan merasa tegang. Kecemasan pun muncul, karena kedamaian tak kunjung datang. Kedamaian hanya dapat diraih, jika orang melepaskan keinginan untuk merasa damai.

Empat, di dalam Zen, jika orang ingin memperoleh kebebasan, maka ia akan terbelenggu. Ia akan terjebak di dalam konsep tentang kebebasan. Ia pun akan semakin tidak bebas. Jika orang ingin bebas, maka ia harus melepaskan semua keinginan untuk mendapatkan kebebasan.

Yang mesti dilakukan, jika orang ingin mendalami Zen? Tidak ada! Kita hanya perlu menjadi diri kita yang sebenarnya, yakni kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang berisi kesadaran murni (pure awareness), tanpa penilaian dan analisis apa pun.

Lalu?

Lalu, apa?

Banyak orang yang sulit memahami ini. Ini terjadi, karena mereka terbiasa dengan pola belajar formal, yakni menambah informasi belaka. Zen terlihat amat sulit, persis karena ia terlalu sederhana. Ini juga merupakan salah satu paradoks di dalam Zen.

Kita terbiasa dengan kerumitan yang kita buat sendiri. Kita terbiasa tenggelam di dalam kotoran ilusi yang kita ciptakan sendiri. Artinya, kita menyiksa diri kita sendiri, tanpa kita sadari. Semua ini dengan mudah dilepas, asal kita memiliki pandangan yang tepat tentang dunia sebagaimana adanya.

Tujuan Zen adalah memahami, siapa diri kita sebenarnya. Pemahaman ini akan melahirkan kejernihan. Kejernihan akan melahirkan kebijaksanaan. Jika ini terjadi, kerak derita yang mengekang hidup kita selama ini pun akan lenyap secara alami.

Zen memberikan kesegaran di dunia yang serba cepat dan kompleks. Zen memberikan pencerahan di dunia yang terus berlari tanpa arah dan motivasi yang jelas. Zen memberikan dasar yang kokoh di dunia yang terus berubah. Paradoks Zen adalah sebuah upaya untuk memecah kebuntuan pikiran kita, akibat informasi sampah yang tersebar begitu luas dan cepat sekarang ini.

Di abad 21 ini, Zen bukan hanya hobi golongan tertentu semata, melainkan alat yang amat penting untuk kewarasan pikiran, sekaligus penentu mutu keseluruhan hidup kita.

The post Paradoks Zen appeared first on BuddhaZine.

International Conference on Buddhist Ethics, Education, and Applied Buddhis (ICEAB-2019) di STAB Negeri Sriwijaya Tangerang

$
0
0

Kamis, 28 November 2019 Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Sriwijaya Tangerang berkesempatan baik dapat menghadirkan sejumlah besar cendekiawan Buddhis untuk berperan serta dalam konferensi internasional berjudul “1st International Conference on Buddhist Ethics, Education, and Applied Buddhis (ICEAB-2019)”. Konferensi diselenggarakan di kampus STABN Sriwijaya, Jl. Edutown BSD City Tangerang, Banten selama tiga hari yaitu dari tanggal 28 – 30 November 2019.

Tema yang diusung dalam konferensi ini yaitu “Cultivating Buddhist Ethics, Education, and Praxis in Disruption Era.” Tema ini kemudian dijabarkan dalam empat sub tema yaitu “Buddhist Education and The Current Contexts”, “The Role of Buddhist Ethics in Disruptive Era”, “Connecting Buddhist Values to Millenials”, dan “Buddhist and The Religious Harmony”. Para pembicara menyampaikan berbagai makalah sesuai dengan tema-tema tersebut.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI Caliadi, SH, MH membuka konferensi didampingi oleh Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Drs. Supriyadi, M.Pd., Ketua STABN Sriwijaya Dr. Sapardi, S.Ag., M.Hum., dan Ketua Panitia Konferensi Dr. Edi Ramawijaya Putra, M.Pd., serta Bhikkhu Ditthi Sampanno.

Dalam sambutannya Dirjen menyampaikan bahwa tema yang diangkat dalam konferensi ini sangat relevan di saat bangsa Indonesia memasuki era modernisasi yang diperkuat oleh era disrupsi dan revolusi industri 4,0 yang selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif. Melalui konferensi ini diharapkan dapat dirumuskan formula dalam upaya membangun kedamaian dan keharmonisan dengan mengaktualisasikan etika, pendidikan, praktik, dan doktrin Buddha sebagai pedoman hidup.

Konferensi ini menghadirkan Prof. G.T. Maurits Kwee, Ph.D. dari Amerika Serikat sebagai Keynote Speaker. Maurits adalah pakar psikologi klinis yang menggabungkan pendekatan Buddhisme dengan aplikasi psikoterapi modern. Beraktifitas sebagai pengajar pada Taos Institute di Amerika dan Tilburg University di Belanda. Untuk menyebarkan ilmunya ia mendirikan Relational Buddhism dan Karma Transformation. Telah menulis berbagai macam jurnal dan book-chapter dalam bahasa Inggris dan Belanda. Berbagai macam workshop dan pelatihan telah diberikan untuk semua profesi dan kalangan di berbagai negara-negara di dunia.

Pada kesempatan ini Maurits menyampaikan makalah berjudul “On The Cutting Edge of Buddhist Education to Awaken” pada hari pertama dan melakukan diskusi interaktif dengan topik “Buddhist as Psychology and Psychotherapy” pada hari kedua.

Pembicara penting lain yaitu Charles Dorman O’Gowan (Jerman), Ambassador Representative dari perwakilan kantor ICRC (International Committee of Red Cross – Palang Merah Internasional) untuk wilayah Indonesia dan Timor Leste yang menyampaikan makalah berjudul “On The Cutting Edge of IHL (International Humanitarian Law) and Applied Buddhism Principles”

Para pembicara yang dihadirkan berasal dari dalam dan luar negeri, terdiri dari akademisi, peneliti, dan bhiksu. Dari Indonesia berjumlah 27 orang, sebagian besar merupakan dosen Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha di Indonesa. Dari kampus lain yaitu dosen Universitas Kwik Kian Gie Jakarta. Dari luar agama Buddha terdapat pembicara dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Politeknik Negeri Jakarta, dan Bahai Community Indonesia. Dari institusi lain yaitu United Nations Development Programme (UNDP). Sementara pembicara dari luar negeri berjumlah 8 orang berasal dari Amerika, Jerman, Malaysia, Taiwan, Srilanka, Myanmar, dan India.

Konferensi dihadiri oleh sekitar 300 peserta terdiri dari dosen, pegawai, dan mahasiswa STABN Sriwijaya, dosen dari beberapa PTKB dan umat Buddha. PTKB yang mengirimkan utusan baik sebagai pembicara maupun peserta yaitu STAB Dharma Widya Tangerang, STAB Samantabadra, STAB Nalanda, STAB Maha Prajna dari Jakarta, STAB Syailendra Semarang, STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri, STAB Kertarajasa Malang, STIAB Smaratungga Boyolali, dan STAB Jinarakkhita Lampung.

Dalam makalahnya, Maurits menyampaikan penjelasan mengenai membangkitkan kesadaran. Di era saat ini, membangkitkan kesadaran Buddhis berusaha untuk mengembangkan  Bodhicitta dalam diri pribadi, membebaskan pikiran dari pengaruh infromasi tidak benar di media, mempraktikkan nilai-nilai moral Buddhis berdasarkan etika sesuai Pancasila, dan menyelamatkan manusia dari gangguan kejahatan dengan berdasarkan ajaran Buddhis.

Meditasi adalah faktor terpenting dalam membangkitkan kesadaran. Tetapi ketika melalui meditasi tidak mampu mengatasi masalah, diperlukan metode konseling melalui dialog seperti yang Buddha lakukan kepada Angulimala, Kisagotami dan lain-lain. Klinis Buddhis dilakukan dengan pendekatan bertahap, melalui terapi dialogis, percakapan yang menggunakan metafora, analogi, perumpamaan. Metode percakapan oleh konselor dengan dialog yang mencerahkan kepada klien secara hangat dan empatik. Sebagai sebuah mediasi, penyelesaian ada di tangan klien sendiri dengan menciptakan pembicaraan tentang penyembuhan emosi.

The post International Conference on Buddhist Ethics, Education, and Applied Buddhis (ICEAB-2019) di STAB Negeri Sriwijaya Tangerang appeared first on BuddhaZine.


Dari Komodo Hingga Alien, Presentasi Baru Relief di Borobudur

$
0
0

Sabtu pagi, 23 November 2019, puluhan orang peserta Borobudur Writers & Cultural Festival memadati area utama Candi Borobudur. Mereka terlihat antusias berjalan sambil sesekali berhenti mendengarkan Handaka Vijjananda, pendiri Ehipassiko Foundation mendongeng tentang relief-relief menarik di candi tersebut.

Tampaknya apa yang disajikan Handaka membuat kagum para peserta. Sebab berbagai hal baru diungkapkan oleh Handaka, yang mendongeng dengan penuh semangat, walau sempat mengalami kendala microphone.

Sehari sebelumnya, Jumat 22 November 2019, Handaka sudah menyajikan presentasi tersebut dalam ceramah berjudul “Cerita Relief Borobudur, Bukan Misteri Lagi” di Ruang Vitarka, Hotel Manohara, Borobudur. Ini adalah bagian dari perlelatan yang tahun ini mengangkat tema “Tuhan dan Alam: Membaca Ulang Panteisme, Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-Manuskrip Kuno Nusantara”.

Presentasi itu memang sangat menarik, disertai penampilan foto-foto relief dan data grafis. Namun tentunya lebih menarik bagi peserta, bila melihat langsung relief itu pada Sabtu pagi.

“Siapa yang kemarin mendengarkan ceramah saya?” tanya Handaka sebelum memulai perjalanan mengitari Borobudur. Ternyata hanya sebagian kecil yang mengacungkan jari. Sehingga masih banyak peserta yang belum mengetahui, apa yang akan didongengkan Handaka.

Tur relief itu berlangsung sejak pukul 06.00 hingga pukul 08.30. Peserta berjalan memutari setiap lantai candi dengan cara pradaksina, atau memutari candi searah jarum jam. “Selalu dimulai dari arah timur,” pesan Handaka. Penjelasan pun dimulai dari area 4 1/2 panel relief Karmawibhangga hingga stupa puncak.

“Jangan memegang dan bersandar pada candi agar tak rusak. Keringat kita akan merusak candi,” kata Handaka mengingatkan seluruh peserta.

Lantas apa saja yang didongengkan Handaka? Ia memulai dengan menjelaskan jumlah relief yang ada di candi. Bangunan bersejarah yang berdiri selama 12 abad itu dianggapnya istimewa karena punya banyak relief. “Candi dengan relief terbanyak di dunia,” tegasnya.

Handaka menjelaskan, total ada 2.672 relief, yang terdiri dari relief naratif dan dekoratif. Relief naratif adalah relief yang memiliki cerita. Sementara relief dekoratif adalah relief figur atau hiasan dekoratif yang tidak bercerita. Total ada 1.212 relief dekoratif dan 1.460 relief naratif.

Handaka mengaku bersama tim Ehipassiko telah melakukan riset tentang relief itu selama 5 tahun lebih. Hasilnya akan ditulis dalam 27 buku, di mana sebagian telah diterbitkan, seperti buku relief Gandavyuha dan Lalitavistara. Itu adalah buku-buku terbitan Ehipassiko yang ditulis oleh Bhikkhu Anandajoti, yang seyogyanya menjadi salah satu narasumber dalam Borobudur Writers & Cultural Festival, namun urung datang karena masalah kesehatan. “Terpaksa saya yang menggantikan,” kata Handaka.

Dari perjalanan mendongeng selama lebih dari dua jam, Handaka menghabiskan paling banyak waktu untuk menceritakan kisah kehidupan lampau g Buddha yang tertuang dalam relief Jataka. Karena memang di situlah banyak terdapat pahatan-pahatan yang unik dan bahkan lucu, terkait kisah binatang.

Salah satunya adalah kisah seekor gajah dengan pengorbanan yang luar biasa. Gajah itu menjatuhkan dirinya ke jurang supaya bisa menjadi makanan bagi ratusan manusia yang tersesat di hutan.

Yang menarik dari kisah ini adalah sang gajah berbohong kepada manusia yang kelaparan dengan berkata bahwa di suatu tempat ada bangkai gajah yang bisa dimakan dagingnya. Rupanya, setelah mengatakan itu, sang gajah segera menuju ke tempat yang dimaksud, dan melakukan bunuh diri. Sejak awal bertemu manusia kelaparan, ia memang berniat mengorbankan dirinya untuk dimakan dagingnya. Para manusia yang lalu menyadari hal ini pun lalu mendirikan stupa untuk menghormati sang gajah.

Tak kalah menarik dari relief Jataka, adalah relief Avadana. Di sini, menurut Handaka ada beberapa relief ikonik, salah satunya adalah relief kinara-kinari, pasangan peri burung, yang menjadi simbol keabadian cinta. “Ini adalah relief paling indah di Borobudur,” kata Handaka.

Relief di Avadana lain yang menurutnya istimewa adalah relief kumpulan satwa. Salah satunya tampak seperti kadal besar, yang Handaka yakini sebagai komodo. Benar atau tidak, memang belum bisa diklarifikasi 100 persen. Namun dengan menyebut itu sebagai komodo, menurut Handaka akan meningkatkan nilai jual Borobudur. “Jadi kalau mau lihat komodo tidak usah jauh-jauh ke Pulau Komodo, cukup Borobudur,” katanya.

Satu lagi yang menurut Handaka sangat istimewa, adalah relief bocah, yang ia sebut sebagai alien. Bocah itu unik, karena terlihat memiliki telinga besar berbentuk segitiga. “Bocah alien, bukan manusia, bukan dewa, tapi ya semacam itu, tapi bayi. Seperti Master Yoda di Star Wars,” jelas Handaka.

Handaka juga sempat menunjukkan relief Garuda, yang terkenal sebagai wahana atau tunggangan Dewa Wisnu dalam mitologi Hindu. Di Borobudur, hanya ada satu relief Garuda.

Tak kalah unik, di relief Gandavyuha, ia menjelaskan panel yang memperlihatkan Genta Tanpa Suara, yang di sekitarnya terdapat Pohon Bodhi. Di sampingnya terlihat Sudhana, tokoh utama dalam kisah Gandavyuha berlutut menghadap menara yang berisi satu lonceng besar dan beberapa lonceng kecil. “Genta tanpa suara itu seperti filosofi Zen, seperti bagaimana suara bertepuk satu tangan,” kata Handaka.

Hal menarik lain, Handaka mengaku, bersama tim Ehipassiko kini tengah mengembangkan aplikasi smartphone yang bisa digunakan secara real time untuk menampilkan informasi mengenai relief, saat kita berdiri di sebuah relief di Borobudur. Diperkirakan ini akan terwujud dalam lima tahun ke depan, sehingga akan memudahkan siapapun untuk mengetahui kisah relief Borobudur yang dilihat langsung di depan mata. Semoga segera terealisasi.

The post Dari Komodo Hingga Alien, Presentasi Baru Relief di Borobudur appeared first on BuddhaZine.

30 Tahun Penerbit Karaniya

$
0
0

Bahasamu, Kualitasmu.

Hi kawan,
Kamu yang masih bingung nulis dicintai atau di cintai? Kamu yang masih bingung nulis dilarang atau di larang? Kualitas tulisanmu menunjukkan siapa kamu. Kualitas bahasamu menunjukkan dirimu.

Yuk datang:

Hari/tanggal : Sabtu, 14 Desember 2019

Waktu : Pukul 10.00 – 13.00 WIB

Tempat : Gedung Serbaguna (Ashokavardhana) Wihara Ekayana Arama

10.00 Kelas Bahasa Indonesia bersama Ivan Lanin

11.30 Tanya Jawab

12.15 Ramah Tamah – Makan Bersama

 

Nyesel lhoh kalau nggak datang. Konfirmasi: 0813 1531 5699. Kuota maksimal 50 orang

The post 30 Tahun Penerbit Karaniya appeared first on BuddhaZine.

Diiringi Suara Kentongan yang Bertalu, Bupati Temanggung Buka Festival Dusun Krecek

$
0
0

Bupati Temanggung (Muhammad Al Khadziq), Perwakilan Gubernur Jawa Tengah (Agus), Kepala Dusun Krecek (Sukoyo), dan Ketua Panitia (Walmin) secara bersama membunyikan kentongan sebagai tanda dibukanya Festival Dusun Krecek, Sabtu (30/11). Pembukaan dilakukan di panggung utama yang berlokasi di area Paud Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Temanggung.

Festival Dusun Krecek dikemas dalam bentuk suguhan berturut-turut selama tiga hari; Sabtu 30 November – Senin 2 Desember 2019. “Ini spesial bagi kami masyarakat Dusun Krecek, kalau sebelumnya Merti Dusun (bersih desa) hanya dilakukan secara sederhana yaitu, membersihkan area lingkungan dusun, gendurian bersama sebagai bentuk rasa syukur terhadap berkah yang kami terima dan menggelar pentas kesenian satu hari, kali ini kami buat berbeda yaitu menggelar festival,” turut Walmin, ketua panitia acara ini.

Festival Dusun Krecek menyuguhkan berbagai pentas seni rakyat khas Temanggungan seperti; kuda kepang, topeng ireng, lengger juga musik kontemporer dengan yang masih terkait dengan kebudayaan Jawa. “Kami ingin melestarikan kebudayaan dan kesenian yang menjadi salah satu kekuatan identitas masyarakat Temanggung,” lanjut Walmin.

“Melalui festival ini, kami juga ingin membantu meningkatkan usaha kecil menengah masyarakat perdesaan. Karena itu, kita juga buka bazar produk-produk UKM (Unit Kegiatan Masyarakat) desa seperti kopi yang menjadi produk andalan masyarakat Temanggung, juga banyak stand kerajinan tangan masyarakat. Bapak/Ibu nanti bisa mengunjungi stand-stand bazar,” ajak Walmin mengakhiri laporannya.

Sementara itu, Muhammad Al Khadziq, Bupati Temanggung memberi apresiasi kepada masyarakat Kaloran yang mempunyai inisiatif menyelenggarakan festival. Gotong royong, toleransi yang menjadi napas kehidupan masyarakat sehari-hari juga menjadi nilai tersendiri, “Saya bangga Dusun Krecek dan Kecamatan Kaloran pada umumnya menjadi wilayah yang masyarakatnya memegang erat persatuan sehingga mampu menjadi banteng kebhinnekaan bagi Temanggung dan Indonesia.

“Saya senang dengan inovasi anak-anak muda Dusun Krecek, saya juga bahagia bisa ikut datang dalam pembukaan acara festival. Masyarakat berpesta Bupati diundang. Berbeda dengan biasanya, masyarakat senang Bupati tidak diundang, tapi kalau susah curhat di media sosial,” katanya disambut tepuk tangan hadirin.

Hujan cukup lebat mengguyur Dusun Krecek saat pembukaan festival berlangsung. Meskipun demikian, tak menyurutkan antusias masyarakat yang hadir dari berbagai daerah, baik dari Temanggung, Jakarta, Solo dan Surabaya. Selain masyarakat, acara pembukaan Festival Dusun Krecek juga dihadiri oleh pejabat Muspika dan Muspida, Bhikkhu Sangha, dan tokoh lintas agama.

Dalam rintik hujan, usai pembukaan di panggung festival, seluruh hadirin dan masyarakat yang hadir melakukan arak gunungan hasil bumi sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang didapat.

The post Diiringi Suara Kentongan yang Bertalu, Bupati Temanggung Buka Festival Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Bersatunya Tiga Jalan

$
0
0

Sebelumnya kita telah mengulas interaksi agama Buddha dan Kong Hu Cu yang penuh lika-liku dan sejarah panjang. Tak lengkap rasanya bila kita tidak mengulas juga interaksi agama Buddha dan Tao. Tao dan Kong Hu Cu adalah dua kepercayaan asli masyarakat Tionghoa di daratan Tiongkok. Terutama Kong Hu Cu, kepercayaan ini menyebar pula ke negara-negara tetangga seperti Korea Utara & Selatan, Jepang, Taiwan, dan Vietnam. Interaksi ketiganya yang panjang telah memunculkan suatu filosofi baru yang disebut Tiga Ajaran.

Berbicara mengenai Tao, kita harus membedakan ajaran Tao dengan Kong Hu Cu. Tao adalah tradisi keagamaan masyarakat Tionghoa yang menekankan keharmonisan hidup sesuai dengan Tao. Tao sendiri berarti ‘Jalan’ yang menjadi filosofi utama bagi masyarakat Tionghoa. Berbeda dengan Kong Hu Cu, Tao tidak secara spesifik mengatur ritual-ritual dan tatanan sosial masyarakat, tetapi lebih pada cara bagaimana seseorang dapat hidup selaras dengan sang jalan.

Permulaan

Awal mula Tao berakar dari salah satu naskah tertua kebudayaan Tionghoa yaitu kitab I Ching. Kitab ini memuat tentang sistem filosofi bagaimana manusia bersikap sesuai dengan alam. Ajaran Tao juga menekankan pada berbagai konsep dalam Tao Te Ching dan Zhuangzi seperti kesederhanaan, keselarasan dengan alam, ketidakmelekatan dari nafsu, dan kekosongan/tanpa aksi (wu wei).

Di sini, terlihat ada beberapa kesamaan antara ajaran Buddha dan Tao, tetapi terdapat pula perbedaan mendasar. Keduanya memiliki tujuan dan prinsip yang berbeda, pandangan yang berbeda, sehingga solusi dan sikap respon yang diberikan pun berbeda terkait kehidupan individu, masyarakat, sosial budaya, lingkungan, dan alam semesta.

Sama halnya dengan ajaran Buddha, Tao memandang penting untuk berfokus pada potensi manusia. Tao mengajarkan manusia agar hidup harmonis dan seimbang sehingga Tao dapat dicapai. Hanya individu itu yang dapat berlatih hidup harmonis dan mencapainya sendiri. Keduanya juga meyakini kehidupan setelah kematian (atau kelahiran kembali), meskipun memiliki perspektif yang berbeda. Dalam pandangan Tao, jiwa seseorang tidak pernah mati dan hanya berganti dari satu badan jasmani (yaitu terlahir kembali) ke badan jasmani lainnya.

Ini akan terus terjadi hingga orang itu mencapai Tao, yang sering diartikan mencapai keabadian (menjadi makhluk abadi). Sedangkan menurut pandangan Buddhis, seseorang terlahir di alam samsara dan mencapai Nibbana (padamnya keinginan). Selama seseorang terjerat keinginan/kemelekatan, ia akan terus memupuk kekuatan karma baru yang harus ditebus dalam lingkaran samsara yang tiada putusnya. Selain itu, ajaran Buddha juga menjelaskan bahwa tidak ada jiwa yang kekal atau permanen karena segala sesuatunya tidaklah kekal, selalu berubah.

Perbedaan lain antara keduanya terlihat pada cara mereka mengatasi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Tao, segala sesuatu di dunia ini memiliki tatanannya sendiri dan cara untuk mengatasi permasalahan yang muncul adalah dengan memahami kebenaran itu dan menggunakan konsep Yin-yang untuk menyeimbangkannya.

Sedangkan menurut pandangan buddhis, permasalahan yang muncul adalah wajar sebagai bagian dari kehidupan dan manusia dapat mengatasi permasalahan yang ada dengan mencari akar sumber permasalahan tersebut dan memberikan solusi yang tepat sesuai ajaran Buddha. Untuk dapat menemukan akar permasalahan, maka diperlukan kejernihan pikiran yang dapat dikembangkan melalui meditasi.

Konsep

Demikian pula dalam hal pernikahan. Tao percaya bahwa wanita mewakili konsep Yin dan pria mewakili konsep Yang. Untuk itu, pernikahan antara seorang wanita dan seorang pria merupakan salah satu cara untuk mencapai keharmonisan hidup sebagaimana konsep Yin Yang yang bersatu. Di sisi lain, agama Buddha tidak memandang pernikahan sebagai sesuatu yang wajib dalam kehidupan seseorang. Pernikahan adalah pilihan dan jalan hidup seseorang yang tidak menentukan apakah dia menjadi lebih baik atau tidak.

Secara garis besar, agama Buddha dan Tao mengajarkan cara bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kemiripan keduanya mungkin menjadi salah satu sebab agama Buddha mudah diterima oleh masyarakat Tionghoa pada saat awal diperkenalkan. Interaksi keduanya bersifat kompleks dan saling melengkapi. Kehadiran agama Buddha memberikan warna baru bagi Taoisme dengan merestruktur kepercayaan yang ada menjadi sebuah agama yang lebih terorganisir.

Tao juga melihat kemiripan ajaran Buddha seperti kesunyataan dan kesalingtergantungan. Sebaliknya, agama Buddha meminjam banyak kosakata dari kitab-kitab Tao untuk menjelaskan ajaran Buddha kepada masyarakat Tionghoa. Interaksi yang intensif ini bahkan melahirkan agama Buddha tradisi Chan/Zen.

Prinsip kesederhanaan Tao diterapkan dalam tradisi Chan dengan melepaskan banyak teori-teori buddhis dan menekankan pada pengalaman langsung melalui praktik meditasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Ditambah dengan ajaran Kong Hu Cu, ketiganya dianggap satu dengan sebutan “Tiga Ajaran” dan menjadi wujud nyata toleransi dalam peradaban Tionghoa.

The post Bersatunya Tiga Jalan appeared first on BuddhaZine.

Menghidupkan Kembali Rumah Batik

$
0
0

Batik, mendengarnya saja sudah mengingatkan kita akan warisan budaya Indonesia. Batik banyak sekali ragam jenisnya sesuai dengan wilayah tempat membuatnya. Sampai saat ini batik masih digunakan terutama dijadikan pakaian.

Berbicara lebih lanjut tentang batik, Dosen dan mahasiswa STAB Syailendra yang terdiri dari Suranto, Sukkhita Dewi, dan Didik Susilo mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan pelatihan Pengembangan Batik Tulis menjadi Batik Cap “Prema Batik Syailendra” sebagai sarana pemberdayaan bagi Wandani Pati, Kudus, Jepara, dan Grobogan pada 22-24 November di Rumah Batik, Ngawen, Kabupaten Pati.

Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk mengembangkan Rumah Batik yang ada di Pati dan mengembangkan potensi masyarakatnya dalam membatik.

“Wilayah Pati sudah mempunyai modal dalam usaha batik, salah satunya karena sudah ada rumah batik. Umat Buddha di sana sudah pernah dapat pelatihan batik. Tapi sayang tidak ditindaklanjuti untuk dikembangkan. Dari hal itu kita mau mengembangkan rumah batik tersebut. Selain itu, daerah Pati cocok untuk usaha batik karena cuaca cukup mendukung dengan suhu yang panas membantu proses membatik. Yang utama, masyarakat Pati punya potensi untuk membatik,” tutur Suranto.

Membatik dengan teknik cap dilatihkan kepada Wandani ini dengan tujuan mempersingkat proses pembuatan batik. Dan pelatihan ini adalah lanjutan dari pengabdian masyarakat dengan membuat batik tulis di STAB Syailendra pada tahun 2016, kemudian berlanjut dengan pelatihan batik cap di Kabupaten Semarang pada 2018, dan dilanjutkan di Kabupaten Pati serta sekitarnya pada tahun ini.

Pelatihan membatik ini juga didampingi oleh dua orang pembatik yang merupakan hasil dari pelatihan membatik di Kabupaten Semarang, yakni Maslicha dan Partimah.

Bukan hanya membatik, para dosen juga mengajarkan bagaimana cara memasarkan batik melalui media sosial. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini juga menjadi salah satu kegiatan wajib di perguruan tinggi.

“Kegiatan pengabdian kepada masyarakat menjadi ciri khas dari STAB Syailendra. Ada tiga kegiatan wajib yang dilaksanakan dalam perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kalau salah satu belum lengkap, tidak bisa dibilang perguruan tinggi,” jelas Suranto.

Sebelum membatik dimulai, peserta Wandani dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama di ruang Omah Batik untuk mengetahui cara memasang meja membatik dan cara membatik menggunakan cap dipandu oleh Maslicha dan Ibu Kustiani (Dosen STAB Syailendra pada program membatik di Kab. Semarang). Kelompok kedua belajar tentang cara membuat warna untuk mewarnai motif batik yang dipandu oleh Ibu Partimah.

Bagaimana prosesnya?

Tahap pertama, mengecap motif pada kain. Proses pengecapan harus hati-hati agar motif yang dihasilkan rapi.

Tahap kedua, pewarnaan. Pewarnaan menggunakan kuas harus hati-hati pula agar warna dasar kain tidak bercampur dengan warna isian motif. Apabila pewarnaan motif sampai keluar dari motif, maka akan berdampak pada pewarnaan dasar kain.

Tahap ketiga, fiksasi (penguncian warna), adalah tahap di mana para peserta mengoleskan cairan waterglass pada motif yang sudah diwarnai.

Tahap ketiga, penempelan malam pada motif yang sudah diberi waterglass. Tahap ini bertujuan agar saat pewarnaan warna dasar kain tidak menutupi warna motif. Sebelum penempelan malam, minimal waterglass sudah kering kurang lebih 30 menit.

Tahap keempat, pewarnaan dasar kain. Setelah kain selesai ditempeli malam hingga kering, pewarnaan dasar kain dapat dimulai. Pewarnaan menggunakan spons yang telah dicelupkan pada pewarna lalu diusapkan pada kain hingga merata. Kemudian dijemur hingga kering.

Tahap kelima, pemberian waterglass pada keseluruhan kain, kemudian didiamkan minimal 30 menit untuk mengunci semua warna kain agar tidak luntur saat proses pelorotan.

Tahap keenam, pencucian kain batik untuk menghilangkan waterglass hingga bersih.

Tahap ketujuh, pelorotan, dengan cara merebuh kain batik pada air mendidik yang sudah dicampur waterglass sampai malam benar-benar hilang. Lalu dibilas sampai bersih dan dikeringkan. Jadilah batik cap.

Hasil

Hasil dari pengabdian ini akan menjadi sumber penghasilan bagi Wandani Pati dan sekitarnya. Output nanti bisa membuat seragam buat Wandani, Magabudhi, dan Patria. Setelah pelatihan selesai, tim PKM Dosen dan Mahasiswa STAB Syailendra langsung membentuk pengurus yang terdiri dari 10 orang untuk mengatur produksi batik.

“Harapannya umat Buddha secara kreativitas dapat dikembangkan sehingga mampu menunjukkan karya-karya yang mempunyai nilai spiritual dan juga membantu peningkatan ekonomi serta pendidikan pemberdayaan masyarakat. Paling tidak untuk membantu meningkatkan eksistensi keumatan yang berbasis spiritual maupun juga material khususnya ekonomi,” tutur Suranto.

The post Menghidupkan Kembali Rumah Batik appeared first on BuddhaZine.

Meneropong Cakrawala Borobudur bersama Salim Lee

$
0
0

Kamis, 28 November – 30 Desember 2019 Salim Lee, seorang pakar Buddhadharma kembali berkunjung ke Dusun Krecek. Ini adalah kali ketiga Om Salim datang ke Dusun Krecek, Temanggung. Seperti biasa, kedatangan Om Salim adalah untuk sharing pengetahuan Buddhadharma, terutama yang terkait dengan ajaran Borobudur.

Kepada masyarakat Dusun Krecek dan warga sekitar, Om Salim mengajar di Ruang Dhammasala pada malam hari. Kamis (28/11) membahas Borobudur Riwayatmu Dulu, sedangkan pada malam kedua, Jumat (29/11) Om Salim membahas Ngabekti ing Asepuh.

Di luar forum resmi diskusi dengan Om Salim berjalan lebih menarik. Hadirnya sahabat diskusi seperti dalang wayang kulit (Ki Eko Prastyo), pegiat pariwisata sejarah (Anton Ida Saputro), arkeolog yang juga Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung (Goenawan A. Sambodo), Hendri Ang, dan Yosi Cahyono yang saat ini bertugas memugar Candi Liyangan.

Bagi Yosi, kehadiran Om Salim di Krecek menjadi daya tarik sendiri. Ia yang selama ini telah banyak melakukan pemugaran candi, mempelajari kesusastraan Nusantara, mempunyai banyak pertanyaan terutama terkait Borobudur. Karena itu, dalam kesempatan berjumpa dengan Om Salim, Yosi menanyakan banyak hal terkait Candi Borobudur. Pertanyaan serta jawaban dari Om Salim kemudian dicatat menjadi sebuah dialog berikut ini:

Yosi: Untuk apa Borobudur dibangun?

Salim Lee: Borobudur itu lebih dari sebuah monumen, namun merupakan ajaran. Dalam Borobudur dari kaki hingga puncak terdapat ajaran-ajaran moral ataupun Dharma yang menjadi pedoman hidup manusia. Pada candi-candi lain mungkin hanya ditujukan untuk pujabhakti ataupun memperingati sesuatu, namun Borobudur adalah ajaran. Itulah yang membedakan Borobudur dengan candi-candi lainnya.

Yosi: Apakah Borobudur merupakan candi yang berkiblat dari ajaran India?

Salim Lee: Tidak tepat dikatakan seperti itu, karena meskipun dari tradisi buddhis namun sudah dimasak sedemikian rupa supaya cocok dipraktikkan pada masyarakat Jawa.

Yosi: Buddha “Nusantara”?

Salim Lee: Iya boleh dikatakan begitu.

Yosi: Sang Hyang Kamahayanikan?

Salim Lee: Masih terlalu sedikit isi dari Sang Hyang Kamahayanikan untuk menjabarkan Borobudur. Kitab itu juga 2 abad lebih muda saat Borobudur mulai dibangun.

Yosi: Jika demikian apa sumber yang digunakan acuan untuk membangun Borobudur?

Salim Lee: Sejauh ini, banyak sekali sutra yang bisa digunakan untuk menjelaskan tiap panel dalam relief Borobudur. Namum sutra-sutra itu terpisah. Dengan berbagai bahasa dan tersebar di berbagai negara.

Yosi: Bisa dijelaskan lebih mendetail?

Salim Lee: Borobudur tidak dari sebuah kitab, namun dari Borobudur sekarang menjadi banyak sutra yang terpisah-pisah yang sejauh ini masih bisa ditelusuri.

Yosi: Tidak ada sutra pedoman Borobudur?

Salim Lee: Bukan begitu, justru dari Borobudurlah rangkuman-rangkuman dari banyak sutra itu ada. Saya menyebutnya Sutra Borobudur.

Yosi: Bisa dibuktikan?

Salim Lee: Kami sudah selesai mengumpulkam itu, mencoba menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia hingga dapat dipelajari dan dibaca seluruh masyarakat Indonesia. Untuk penerbitan kami sudah bekerjasama dengan Kemendikbud, hanya tinggal menyempurnakan tata bahasa, karena banyak kosakata Indonesia yang masih belum tepat untuk mengartikannya secara jelas dan mudah dipahami.

Yosi: Boleh saya katakan itu kitab suci yang divisualkan?

Salim Lee: Betul… Tepat sekali!

Yosi: Bagaimana dengan empat Buddha unfinished yang ditemukan di bawah pohon kenari itu? Adakah filosofisnya dalam buddhis? Dan di mana seharusnya arca itu berada?

Salim Lee: Sudah tepat ditanam di sana. Sejauh yang saya telusuri seluruh bentuk, model, penempatan arca ataupun relief dapat dikaitkan dengan sutra. Namun arca yang rusak tidak ada korelasinya. Jika kamu menjadi pemahat, dan memahat arca dewa ataupun rupang Buddha sebanyak itu. Mungkinkah kamu bekerja tanpa kesalahan? Berapa banyak kamu menemukan arca Buddha yang unfinished?

Yosi: Tidak lebih dari arca gagal produksi?

Salim Lee: Saya menyimpulkan begitu.

Yosi: Apa harapan ke depan untuk Borobudur?

Salim Lee: Borobudur bukanlah monumen biasa, bukan sekadar tempat wisata. Ada banyak sekali ajaran kebaikan di dalamnya. Tidak hanya untuk umat Buddha, namun bisa dilakukan oleh umat lain. Makna-makna itu yang sudah lama hilang, mungkin kita sudah selesai merekontruksi bangunannya, namun ajaran di dalamnya itulah yang lebih penting dan harus kita cari dan sebarkan.

Ajaran mengenai kebaikan, tata tertib, bhakti pada orangtua, dana, ketulusan, berlaku adil, keiklasan semuanya ada. Dan secara tidak langsung sudah dilakukan oleh orang Jawa khususnya sekarang. Dari Borobudur kita bisa menjadi diri yang sejati, yang lebih baik, Migunani Tumrap Ing Liyan. Itulah yang sebenarnya nenek moyang kita wariskan dan telah lama hilang.

Semoga dengan ini Borobudur tidak hanya sarana untuk selfie, tapi siapa pun, yang telah mengunjungi dan dapat memahami Borobudur, dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan ajarannya dapat dipraktikkan dalam bermasyarakat.

The post Meneropong Cakrawala Borobudur bersama Salim Lee appeared first on BuddhaZine.

Serunya Belajar Dharma dari Batik Syailendra

$
0
0

Pada pelatihan Pengembangan Batik Tulis menjadi Batik Cap “Prema Batik Syailendra” sebagai sarana pemberdayaan bagi Wandani Pati, Kudus, Jepara, dan Grobogan pada 22-24 November di Omah Batik, Ngawen, Kabupaten Pati, motif batik yang digunakan adalah motif batik bercirikan buddhis yang diambil dari relief di Candi Borobudur dan Mendut, seperti motif stupa, Dhamma Cakra, daun Bodhi, serta kombinasi cakra, dan teratai.

Pemilihan motif batik yang ada di relief Candi Borobudur dan Mendut supaya umat Buddha mengingat kembali ajaran Buddha, “Pemilihan motif batik dari relief candi sebagai usaha untuk mengingatkan kembali keagungan warisan Nusantara terutama ajaran Buddha yang terpahat di Candi Borobudur dan Mendut,” tutur Ketua tim PKM Batik Syailendra.

“Pilih pola itu tidak terlepas dari usaha kita untuk mengingatkan kembali simbol-simbol buddhis yang kaya makna. Sejauh ini motif buddhis sangat langka untuk dimanifestasikan dalam pola batik,” terang Suranto.

Apa saja makna dari motif batik ini?

Simbol-simbol Buddhis yang menjadi motif pada batik Syailendra juga memiliki makna sebagai simbol ajaran dan Buddha.

Stupa

Pada zaman India Kuno, stupa menjadi objek pemujaan yang dihormati setara dengan kitab dan rupang suci. Ketika zaman Kerajaan juga stupa menjadi tempat penyimpanan relik atau abu jenazah raja. Relik dari Buddha juga disimpan dalam stupa. Stupa juga dapat dijadikan objek meditasi dan simbol ucapan terima kasih pada Buddhadhamma. Karena di dalamnya mengingatkan kita pada relik Buddha yang telah menyebarkan Dhamma bagi umat manusia.

Dhamma Cakra

Dhamma Cakra biasa disebut dengan roda Dharma yang merupakan simbol kebenaran. Jari-jari Cakra beragam, ada yang 4, 8, dan 12. Masing-masing jari-jari memiliki makna. Jari-jari 4 adalah cattari ariya saccani atau empat kebenaran mulia (adanya dukkha, sebab dukkha, jalan menuju lenyapnya dukkha, dan akhir dari dukkha). Dengan memahami adanya dukkha dan jalan keluar dari dukkha, maka seseorang dapat mengatasi penderitaan yang muncul dalam dirinya. Misal, kita merasa direndahkan oleh orang lain. Tidak perlu menderita karena direndahkan, cukup mengetahui kalau direndahkan dan melakukan hal yang baik agar tidak direndahkan orang lain.

Jari-jari 8 adalah hastha ariya magga atau delapan jalan mulia berunsur delapan yakni perhatian benar, pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, penghidupan benar, dan konsentrasi benar. Melalui delapan jalan mulia berunsur delapan ini seseorang sebaiknya dapat menempatkan dirinya ke dalam hal-hal yang benar. Hal yang benar adalah sesuatu yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Bodhi

Nama lain Bodhi adalah ficus religiosa. Bodhi adalah simbol pencerahan, dahulu Pangeran Siddharta mencapai penerangan sempurna dengan melakukan meditasi di bawah Pohon Bodhi di Bodhgaya.

Pohon Bodhi menjadi objek puja untuk mengingat kembali bagaimana perjuangan Pangeran Siddharta dapat terbebas dari penderitaan. Pangeran Siddharta bermeditasi di bawah Pohon Bodhi selama 49 hari kemudian mencapai penerangan sempurna dengan nama Buddha Gautama.

Hendaknya sebagai umat Buddha dapat mengingat Buddha dalam Bodhi. Mempraktikkan ajaran untuk berbuat baik dan bermeditasi agar bebas dari penderitaan.

Teratai

Teratai adalah bunga indah yang tumbuh di air berkumpul dan kotor. Tetapi Teratai tetap bersih sehingga menjadikannya simbol kesucian. Sama seperti seseorang yang ingin mencapai kesucian harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari kekotoran batin, tetap bersih meski lingkungan sekitar kotor.

Menjadi orang seperti teratai cukup dengan berbuat baik, tidak merugikan orang lain, dan menjalankan Pancasila buddhis. Dengan berbuat baik maka seseorang tidak akan terpengaruh oleh tindakan jahat, karena ia sudah paham mana perbuatan baik dan tidak baik.

“Pesan Bhante Pannyavaro, kalau menggunakan batik bersimbol buddhis harus sebagai atasan. Tidak boleh untuk bawahan, itu sama saja tidak menghormati simbol buddhis,” terang Suranto.

The post Serunya Belajar Dharma dari Batik Syailendra appeared first on BuddhaZine.


8 Tahun BuddhaZine, Hidup yang Mencahayai

$
0
0

1 Desember 2019 menjadi momentum bersejarah bagi keluarga BuddhaZine. Hari itu, media buddhis online yang didirikan oleh Sutar Soemitro bersama Jo Priastana telah genap sewindu. Karena itu, sebagai bentuk syukur dan rasa cinta kepada mendiang Sutar, BuddhaZine menggelar saresehan dan gendurian peringatan 8 tahun BuddhaZine.

Sarasehan dan gendurian peringatan 8 tahun BuddhaZine dihelat pada Minggu (1/12), di Dusun Krecek, Temanggung. Acara ini menjadi salah satu rangkaian dari gelaran Festival Dusun Krecek 2019, dusun yang sekaligus menjadi lokasi kantor BuddhaZine sejak tahun 2019.

“Sebagai pendiri BuddhaZine, Sutar juga mempunyai perhatian khusus terhadap budaya dan kesenian Nusantara. Saya ingat betul, pada tahun lalu (2018) ketika peringatan 7 tahun BuddhaZine di Gombong, Sutar mempunyai cita-cita untuk menyelenggarakan festival kesenian, kalau bisa yang bercirikan buddhis. Karena itu, kegiatan malam ini kita dedikasikan kepada Sutar,” tutur Ngasiran dalam sambutannya sebagai perwakilan redaksi BuddhaZine.

Ngasiran kembali menegaskan bahwa BuddhaZine bukanlah aliran atau sekte dalam agama Buddha. BuddhaZine adalah media buddhis yang menyebarkan informasi Buddhadharma di Indonesia. “Kadang masih ada orang yang salah paham soal BuddhaZine, menganggap bahwa BuddhaZine adalah aliran baru dalam agama Buddha, itu tidak benar Bapak/Ibu. BuddhaZine adalah media berita, kami tidak terkait pada organisasi atau lembaga tertentu. Dan tujuan kami hanya satu, yaitu untuk menyebarkan Buddhadharma.”

Memaknai Urip iku Urup

Sarasehan 8 tahun BuddhaZine mengangkat tema Urip iku Urup dengan menghadirkan dua narasumber yaitu; Bhikkhu Dhammasubho (seorang budayawan serta anggota Sangha) dan Supriyadi (Direktur Urusan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama RI) dipandu oleh Luna Kharisma sebagai moderator (Pengajar di Institut Seni Surakarta). Dalam acara tersebut, turut hadir Bhikkhu Sujano dan Bhikkhu Khemadiro, serta ratusan umat Buddha dari beberapa dusun sekitar.

Sarasehan dimulai dengan penampilan musik Mantram Nyawiji yang dinyanyikan oleh Anda Wardhana, pemimpin Sanggar Omah Wulanggreh, Jakarta. Dengan iringan gitar akustik, Anda Wardhana melantunkan syair-syair Jawa yang kaya makna, lagu itu sekaligus menuntun hadirin ke pokok bahasan yaitu memaknai Urip iku Urup.

Bhante Dhammasubho yang menjadi narasumber pertama memaknai kalimat urip iku urup sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap kehidupan itu sendiri. Sebagai umat Buddha, menurut bhante, menghargai segala bentuk kehidupan seperti yang diajarkan oleh Buddha adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh umat manusia.

”Buddha pun pernah menyatakan bahwa kesehatan adalah keuntungan yang terbesar. Makanya Buddha adalah manusia yang tidak pernah setuju dengan penghinaan, dengan penyiksaan apalagi tentang pembunuhan makhluk hidup. Setahu saya manusia pertama dan satu-satunya manusia yang tidak pernah memberi setuju tentang pembunuhan. Boleh dibuktikan, boleh buka sejarah dunia. Karena itulah kemuliaaan bahwa urip itu urup tanda-tandanya adalah kalau bisa menempatkan harga hidup di atas harga diri, harga diri di atas harga materi. Harga materi berada pada tingkat yang paling bawah,” terang Bhante.

Tapi kebanyakan yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak yang karena harga diri tega melenyapkan hidup orang lain, kalau seperti ini artinya menempatkan harga hidup di tataran rendah. Kalau sudah seperti ini akibatnya di mana-mana banyak terjadi kasus pembunuhan.

”Inilah bedanya Buddha yang menempatkan harga hidup di atas harga diri, menempatkan harga diri di atas harga materi. Orang kalau mengerti ajaran Buddha, meski hidupnya miskin sekalipun tidak akan melakukan kejahatan, lapar sekalipun tidak akan melakukan pencurian karena harga diri. Itulah artinya urip iku urup, orang yang hidup dia akan menyala, nampak sumringah berada di mana-mana,” tegasnya.

Sementara Supriyadi melihat dari sudut pandang perubahan sikap anak-anak muda saat ini yang seakan sudah melupakan petuah-petuah yang merupakan warisan para leluhur. Pak Supriyadi mencoba mengingatkan kembali makna urip iku urup bagi kalangan anak muda.

Urip iku urup. Saya beranjak dari fenomena saat ini di mana banyak anak muda yang sudah tidak lagi mengenal wewaler atau petuah warisan dari para leluhur terdahulu. Makna yang bisa saya ambil dari urip iku urup ini adalah walaupun kita sebagai anak muda, kita tidak boleh menganggap apa yang telah diajarkan oleh para leluhur dahulu adalah kuno dan tidak berguna lagi.

“Nah berkaitan dengan acara yang diadakan oleh umat dan anak-anak muda di Dusun Krecek ini menurut saya adalah suatu upaya untuk membangun kembali, melestarikan kembali nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu dan menjadi tradisi warga dusun, sehingga bisa kembali menyinari kehidupan umat di Krecek ini. Karena itulah maka saya berharap dengan ulang tahun yang kedelapan ini BuddhaZine menjadi sebuah sumber nyala yang bisa menerangi umat yang ada di Krecek.

“Pesan lain ketika saya menghadiri acara ini adalah hal apa pun yang harus kita kerjakan entah karena jabatan, entah karena amanah, kita harus melakukannya dengan sepenuh hati. Bahwa apa pun yang kita kerjakan hendaknya melakukan atas dasar kesadaran, cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), keikhlasan, dan kesabaran. Dengan dasar inilah ketika kita melakukan suatu yang baik kita tidak merasa ada yang hilang dari diri kita, tapi kita sedang menanam perbuatan baik sehingga apa yang kita lakukan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri namun juga bermanfaat juga bagi orang lain. Itulah makna kata urip iku urup,” pungkasnya.

Seusai acara ceramah dan diskusi budaya, acara dilanjutkan dengan genduri bersama sebagai wujud syukur bahwa sampai saat ini BuddhaZine masih tetap bertahan untuk mengabarkan Buddhadharma. Gendurian diawali doa oleh Bhante Dhammasubho untuk kemudian para umat dipersilahkan menyantap makanan yang tersaji. Sebagai penutup acara, umat disuguhi hiburan yaitu penampilan kesenian tradisional Soreng Mataram.

The post 8 Tahun BuddhaZine, Hidup yang Mencahayai appeared first on BuddhaZine.

Meditasi Pagi dan Pentingnya Makan Sayur

Catatan Harian Cici Pembina SMB

$
0
0

“Hei … jauhkan anak itu! Dia mau memukul anak saya,” hardik Evelyn saat melihat anaknya didekati anak lain.

Semua mata tertuju pada Evelyn, mama dari Susan. Aku hanya menoleh sejenak, lalu kembali ngobrol dengan Luna dan Erika. Aku memang sering nggak enak hati dengan suasana di SMB ini jika Evelyn sudah marah.

Sebagai anggota baru dari gank ini, aku lebih sering memilih diam, nggak mau banyak berkomentar. Aku umat baru di vihara ini, kami sekeluarga baru pindah dari Semarang. Setiap Minggu aku rutin membawa putri kami, Jane untuk ikut SMB. Sekolah Minggu Buddhis di sini lumayan ramai, ada sekitar 50 anak dari berbagai tingkatan. Dari yang belum sekolah sampai yang sudah SMA.

Saat pertama datang, aku bertemu Erika, teman SMP-ku dulu. “Hai Karin, nggak disangka kita ketemu di sini,” sapa Erika.

Dari situlah aku berteman dengan Erika dan kemudian aku dikenalkan dengan anggota gank-nya, Evelyn dan Luna. Evelyn adalah ketua gank ini. Sebenarnya semakin lama bergaul dengan Evelyn, Luna, dan Erika, aku semakin tertekan. Aku merasa bahwa aku tak layak gabung ke mereka, beda kelas dan beda sifat.

Memang sih hanya Evelyn yang kaya banget, suaminya pemilik pabrik tekstil. Rumahnya besar, mewah banget, ada kolam renangnya. Erika dan Luna nggak terlalu kaya sih, tapi tetap jauh di atas aku, yang hanya istri seorang karyawan sebuah perusahaan swasta.

Aku “terperosok” ke dalam gank ini karena Erika, teman SMP-ku, meski dia dulu bukan teman akrabku. Saat ke vihara ini, dia-lah yang pertama menyapaku, kemudian kami ngobrol lama. Dan kebetulan, kami semua sama-sama memiliki 1 anak perempuan. Jadi klop 1 gank, ibu dengan 1 anak perempuan.

Kalau dibilang enak sih sebenarnya enak gabung ke gank ini, kami selalu ditraktir Evelyn. Setiap jalan, kami naik mobil Alphard milik Evelyn, makan di mal, dia yang traktir. Tapi aku tak terbiasa dengan hal seperti ini, aku merasa tertekan. Aku seolah jadi hewan peliharaan yang harus patuh pada majikan. Kalau bicara selalu berusaha menyenangkan hati Evelyn, cari muka.

Kulihat Luna dan Erika sih santai saja. Mungkin mereka memang tipe penjilat. Dan gilanya lagi, beberapa pengurus di vihara “mendukung” segala keangkuhan Evelyn. Meski bukan pengurus, ia jadi orang penting di vihara, ada acara, dapat tempat paling depan. Keangkuhan Evelyn semakin menjadi. Kata anak zaman now, “horang kaya mah bebas.”

* * * * *

Minggu lalu Evelyn marah besar. Susan terjatuh karena didorong temannya. Saat SMB selesai, Cici dan Koko Pembina diceramahin. Evelyn marah dan komplain ini itu, Luna dan Erika sering ikut ngomporin. Sementara aku hanya diam, serbasalah. Sebenarnya yang dikomplain Evelyn itu urusan kecil, hanya Evelyn sengaja ingin menunjukkan power-nya. Anak-anak yang berisik, lantai baktisala yang kotor, Cici Koko yang kurang perhatian sama anak-anak, cara mengajar yang kurang asyik, membosankan, dan lain-lain.

Aku yang pernah menjadi Pembina SMB sangat memaklumi keadaan yang dikomplain Evelyn. Aku tau, mereka semua adalah relawan. Aktivitas mereka jadi Pembina adalah kerja tanpa pamrih. Seharusnya kita banyak berterima kasih karena di sela kesibukan kuliah, mereka masih mau meluangkan waktu mengajar Dhamma untuk anak-anak SMB.* * * * *

“Karin, aku mau curhat dong,” bunyi WA dari Erika.

“Ya, ada apa Erika?”

“Kemarin aku sendirian di SMB. Kamu, Evelyn, dan Luna tidak ada.”

Lho kok bisa kebetulan 3 orang tak ke SMB? Kami nggak janjian lho. Aku pergi ke luar kota, ada famili yang menikah.”

“Iya, aku tau. Di SMB aku duduk sendirian saja, nggak ada yang menyapa. Anak-anak, Cici dan Koko pergi ke swalayan membeli barang-barang untuk baksos ke panti asuhan. Ibu-ibu lain pergi, aku males jalan, jadi aku nunggu di SMB. Karin, aku merasa bersalah banget.”

“Cuma nggak ikut ke swalayan kok merasa bersalah? Biasa aja, mereka maklum kok.”

“Bukan itu. Di baktisala ada buku diary milik Pembina SMB. Aku tau, itu privasi orang, seharusnya nggak boleh dibuka dan dibaca.  Tapi aku penasaran, aku buka dan baca.”

“Hah … kok bisa sih?”

“Itulah sebabnya, aku jadi merasa bersalah. Aku nggak tau harus bagaimana. Aku cerita dulu ya, kamu baca saja. Nanti kamu baru kasih saran.”

“Itu diary Amanda. Aku baru tau, ternyata Cici dan Koko Pembina SMB tidak dibayar serupiah pun untuk mengajar di SMB. Aku juga jadi tau di tengah keterbatasan kiriman uang dari orangtua, mereka harus keluar uang transport dari kost ke SMB. Mereka harus meluangkan waktu mengajar anak-anak SMB, padahal tugas kuliah menumpuk. Eh … pengorbanan mereka bukan diapresiasi dengan ucapan terima kasih, malah Minggu lalu diomelin Evelyn. Aku dan Luna juga ikut-ikutan. Cici dan Koko Pembina hanya pasrah. Mereka hanya bisa menjawab, terima kasih masukannya Ci Evelyn, akan kami perbaiki semampu kami. Sekarang aku jadi merasa bersalah, aku harus gimana dong?”

“Hmmm … hal ini juga sudah terlintas di benakku, dulunya aku juga Pembina SMB. Aku pernah mengalami hal ini, tapi untungnya di tempatku dulu orangtua anak SMB lebih baik dan care kepada kami. Mereka sering memberi kami makanan. Pengurus vihara memberi kami pengganti uang transport dan uang jajan. Masalah kami lebih ke soal sulitnya membagi waktu antara tugas kuliah dan mengajar SMB, bukan komplain ortu. Makanya aku hanya diam saat kalian bertiga ngomel ke Cici Koko. Mau ngebelain Cici dan Koko jadi nggak enak sama Big Boss. Bisa-bisa aku yang diomelin orang tak tau diri, sudah sering ditraktir tapi malah ngebela orang lain. Erika, diskusinya kita lanjut besok saja ya? Aku dan suami mau antar Jane ke dokter, Jane muntah-muntah sejak pulang sekolah.”

“Aduh, maaf aku nggak tau Jane sakit. Oke deh. Semoga Jane lekas sembuh ya …”

*   *   *   *   *

Catatan: DRF, terima kasih email dan curhat-nya. Kisahmu sudah saya jadikan cerpen. Nama tokoh dan lokasi kejadian sudah saya ubah, dan tentu saya beri bumbu agar menarik. Semoga cerpen ini tidak mengecewakanmu.

 

The post Catatan Harian Cici Pembina SMB appeared first on BuddhaZine.

Pemujaan Ganesha Versi Buddhis

$
0
0

Beberapa hari yang lalu, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, muncul pemberitaan tentang ditemukannya arca Ganesha yang berukuran cukup besar. Sebenarnya, ini bukan temuan baru, sebab Ganesha “gimbal” yang ada di sana sudah lama diketahui oleh warga, namun tetap dibiarkan tak terurus, bahkan oleh pemerintah daerah setempat.

Ganesha memang merupakan salah satu dewata yang paling populer yang ada di Jawa. Banyak sekali peninggalan Ganesha yang bisa ditemukan di Nusantara. Bila berkunjung ke istana Pura Pakualaman di Jogja misalnya, begitu masuk pintu gerbang utama, di sebelah kanan akan terlihat arca Ganesha yang terlihat gagah. Salah satu kampus terkenal di Indonesia, ITB, juga memakai Ganesha sebagai logonya.

Daya tarik Ganesha sangatlah luas, tidak hanya di kalangan spiritual. Tato maupun t-shirt Ganesha sangat populer di seluruh dunia. Dia bahkan muncul dalam berbagai merek, pemasaran, budaya pop, dan mode di seluruh dunia.

Ganesha memang identik dengan agama Hindu. Secara umum, Ganesha dikenal sebagai “Pengusir segala rintangan”, “Pelindung seni dan ilmu pengetahuan”, maupun “Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan”. Dalam tradisi wayang, ia disebut Bhatara Gana, dan merupakan salah satu putra Bhatara Guru, atau Dewa Siwa.

Namun tahukah bahwa dalam tradisi buddhis juga terdapat sosok Ganesha?

Bagi banyak umat buddhis Mahayana, Ganesha bisa dipandang sebagai sosok Bodhisattwa, atau juga dewa pelindung. Ganesha memang muncul dalam beberapa tradisi dalam Mahayana dan Wajrayana. Dalam satu tradisi, Ganesha Buddha dan Ganesha Hindu sama sekali tidak berhubungan. Namun dalam tradisi yang lain, Ganesha diyakini sebagai makhluk suci buddhis.

Banyak bentuk Ganesha buddhis dalam berbagai tradisi dunia. Mirip dengan versi Hindu, Ganesha buddhis atau yang sering disebut Ganapati diyakini mampu mengatasi rintangan dan membawa kesuksesan. Dalam buddhis Tiongkok, ia diyakini menjadi pasangan Dewi Kwan Im. Di Shingon, atau buddhis Tantra Jepang, ia populer disebut sebagai Kangiten. Di Jepang sendiri terdapat 250 kuil Kangiten yang berdiri sendiri, di mana ia diyakini sebagai dewa kemakmuran dan kebahagiaan.

Sebagai Nritta Ganapti, atau Ganesha yang menari, ia dikenal sebagai penghancur rintangan di kawasan Nepal. Sementara di Thailand, ia disebut Phra Phikanet, dewa keberuntungan dan kesuksesan. Di dalam buddhis Tibetan, salah satu wujud Ganesha adalah sebagai dewata kekayaan, yang diasosiasikan dengan Jambhala.

Dalam kebanyakan tradisi buddhis tantrik, Genesha atau Ganapati muncul sebagai dewa atau pelindung duniawi. Namun ada juga Ganapati Maha Rakta, bentuk buddhis Tantrik Ganapati berwarna merah, yang terkait dengan siklus Tantra Chakrasamwara. Bentuk Ganapati ini dianggap sebagai emanasi Bodhisattwa Avalokiteshvara. Ini adalah bentuk Ganapati merah dengan 12 tangan. Sementara menurut tradisi Atisha Dipankara (Kadam) terdapat sosok Ganapati Ragavajra yang sangat unik. Ganapati ini “menyatu” dengan pasangannya. Menurut simbolik dalam tantra yang kadang sarat dengan unsur tersirat, ini bermakna penyatuan antara elemen kebahagiaan dan kebijaksanaan.

Kembali ke Mahayana yang lebih umum, dalam tradisi ini dikenal adanya dua sutra yang memuat dharani pemujaan terhadap Ganapati. Yang pertama adalah Sutra Dharani Ganapati Emas, yang konon disabdakan Buddha kepada siswa utamanya Sariputra tatkala berada di Shravasti. Yang satu lagi adalah Arya Maha Ganapati Hrdaya Dharani, yang diyakini disampaikan Buddha kepada Ananda di Rajagriha.

Keduanya boleh diucapkan oleh siapapun tanpa membutuhkan abhiseka atau tuntunan khusus. Namun untuk mempraktikkannya, menurut tradisi buddhis biasanya diawali dengan berlindung pada Triratna, dilanjutkan dengan mengucapkan ikrar Bodhisattwa. Sesudah selesai membaca, ditutup dengan pelimpahan jasa, mendedikasikan kebajikan praktik demi pencerahan seluruh makhluk.

Inilah mantra dharani Ārya Mahā Gaṇapati Hṛdaya:

oṃ namo ‘stu te mahāgaṇapataye svāhā |
oṃ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ |
oṃ namo gaṇapataye svāhā |
oṃ gaṇādhipataye svāhā |
oṃ gaṇeśvarāya svāhā |
oṃ gaṇapatipūjitāya svāhā |
oṃ kaṭa kaṭa maṭa maṭa dara dara vidara vidara hana hana gṛhṇa gṛhṇa dhāva dhāva bhañja bhañja jambha jambha tambha tambha stambha stambha moha moha deha deha dadāpaya dadāpaya dhanasiddhi me prayaccha |

oṃ rudrāvatārāya svāhā |
oṃ adbhutavindukṣubhitacittamahāhāsam āgacchati |
mahābhayamahābalaparākramāya mahāhastidakṣiṇāya dadāpaya svāhā |
oṃ namo ‘stu te mahāgaṇapataye svāhā |
oṃ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ gaḥ |
oṃ namo gaṇapataye svāhā |
oṃ gaṇeśvarāya svāhā |
oṃ gaṇādhipataye svāhā |
oṃ gaṇapatipūjitāya svāhā |
oṃ suru suru svāhā | oṃ turu turu svāhā | oṃ muru muru svāhā |

The post Pemujaan Ganesha Versi Buddhis appeared first on BuddhaZine.

Gendurian Tradisi Bersyukur Masyarakat Jawa Buddha

$
0
0

Pagi itu, Minggu (8/12) sejak pagi hari ruang dapur Mbah Sukoyo, Kepala Dusun Krecek sudah terlihat mengepul. Hingga siang hari, bara api dalam pawon (tungku tradisional) tidak pernah berhenti menganga, melahap setiap kayu bakar yang dimasukkan. Tangan cekatan Sutiah (57), sang penguasa dapur sesekali terlihat membolak-balik karon nasi dengan centong kayu, kadang juga menambah kayu dalam tungku.

“Ini untuk makan orang satu dusun, jadi adange (menanak) nasinya harus banyak,” tutur Sutiah. Sutiah adalah istri kepala Dusun Krecek, sebagai pemilik dapur ia menjadi pimpinan memasak untuk hajatan dusun. Ia dibantu oleh puluhan ibu-ibu yang tak kalah sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang bertugas mencuci beras, mengupas aneka sayuran, memotong tempe, menggoreng dan menyiapkan bumbu. Semua dikerjakan dengan penuh kegembiraan. Obrolan-obrolan ringan dengan canda tawa dari ibu-ibu di dapur sesekali terdengar.

Sementara kaum perempuan sibuk di dapur, para laki-laki juga tak kalah sibuk menyiapkan keperluan di luar rumah. Mereka ada yang mengambil kayu bakar, ada yang menyiapkan lampu penerang jalan, mengambil daun pisang untuk alas makanan gendurian, meminjam karpet hingga menyapu jalanan yang akan digunakan untuk gendurian.

“Ini adalah hajatan bersama, pesta kita bersama jadi harus dikerjakan bersama-sama,” ajak Suyanto, Manggalia Dusun Krecek. Ya, hari itu masyarakat Dusun Krecek tengah bersyukur setelah berhasil menggelar upacara Merti Dusun dengan menyelenggarakan Festival Dusun Krecek, Sabtu 30 November – 2 Desember 2019. Juga sebagai syukuran penggunaan gamelan Arya Badracari yang baru diterima guna pinjam pakai masyarakat Dusun Krecek.

Baru-baru ini Dusun Krecek memang mendapat pinjaman gamelan dari Yayasan Dharmamega Bumi Borobudur. Tak sembarangan, gamelan itu adalah produksi Sanggar Bimo Putro, pimpinan Danang Suseno seorang putra dalang kondang Ki Manteb Soedarsono. Sebagai masyarakat dusun yang mencintai seni budaya, mendapat pinjaman gamelan adalah berkah yang luar biasa. “Tidak menyangka, saya kira becanda Om Salim bisik-bisik mau kasih pinjaman gamelan dan sekarang terlaksana. Tentu kita wajib bersyukur, ini adalah berkah yang luar biasa,” tutur Sukoyo.

Pukul 18.00 semua hidangan gendurian sudah siap di dapur. Sukoyo, sebagai sesepuh dusun keluar dari dapur membawa bara api beralas genteng menuju tempat gamelan. Di tengah-tengah gamelan, Mbah Sukoyo duduk bersila menyalakan kemenyan, doa dipanjatkannya, selesai membaca doa Mbah Sukoyo berdiri membunyikan beberapa gong, kendang, dan perangkat gamelan lain.

Gendurian dilakukan di jalanan dusun, tepat luar rumah Mbah Sukoyo. Mulai dari para sesepuh dusun, orang dewasa, pemuda, anak-anak, perempuan maupun laki-laki ikut dalam acara ini. Barisan rapi memanjang saling berhadapan terlihat di bawah cahaya rembulan yang temaram.

Upacara gendurian dipimpin oleh Suyanto, Manggalia Dusun Krecek dengan membacakan doa-doa dalam bahasa Jawa dan dilengkapi dengan pembacaan paritta pemberkahan. Semua proses berjalan dengan hening. Usai upacara, masyarakat makan bersama dengan lahap.

The post Gendurian Tradisi Bersyukur Masyarakat Jawa Buddha appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live