Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2801 articles
Browse latest View live

Andaikan Joker Mendalami Zen

$
0
0

Tak banyak film yang saya tonton berulang. Sebagian besar hanya menjadi hiburan yang segera berlalu, segera setelah film usai. Namun, film Joker (2019) adalah sebuah pengecualian. Ia menghibur, dan meninggalkan bekas rasa yang sulit untuk dilepas.

Hiburan dari film Joker tidak sama dengan hiburan dari beragam film lainnya. Ia menghibur melalui rasa sedih dan kecewa. Ada kepahitan yang berjalan bergandengan dengan rasa ceria. Ada kemarahan yang bergandengan dengan tawa yang renyah.

Joker

Film Joker juga penuh pelajaran berharga. Film ini menjadi cermin dari masyarakat yang kehilangan rasa peduli. Ketika kerakusan menjadi Tuhan dari keseharian, kebencian, dan perpecahan adalah buah yang niscaya. Ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin hanya akan menghadirkan neraka di dunia.

Joker adalah seorang pelaku kejahatan yang lahir dari penderitaan. Sejak kecil, kekerasan sudah menjadi bagian hidupnya. Siksaan orangtua, yang juga kehilangan kewarasan, mendorong Joker ke pucuk kegilaan. Tawa yang keluar dari wajahnya justru penuh dengan kengerian.

Hidupnya juga penuh penolakan. Ia lahir dan tumbuh di kota yang sedang dicekik krisis. Tidak hanya ekonomi yang sulit, tetapi hubungan antarmanusia juga membeku. Kekerasan, iri hati dan penipuan menjadi udara keseharian yang dihirup oleh manusia-manusia yang tersesat.

Pada satu titik, akibat perderitaan yang datang bertubi-tubi, Joker melepas segalanya. Ia tersenyum. Ia menari. Ia menjadi dirinya sendiri. Tak ada ketakutan. Tak ada kemarahan. Yang ada hanya: kehidupan.

Di dalam film, setelah saat pencerahan itu, Joker justru menjadi pelaku kejahatan. Ia membunuh dengan kejam, kerap kali disertai tawa yang mengerikan. Ia menyebarkan teror dan kekerasan ke sekitarnya. Dan memang, Joker lalu menjadi salah satu musuh terbesar dari Batman, tokoh superhero fiktif jagoan yang legendaris.

Beberapa hal penting

Tawa dan kengerian film Joker mengajarkan kita beberapa hal penting. Pertama, kita bisa melihat arti penting kesehatan mental seseorang di dalam hidupnya. Perilaku tak datang dari langit, melainkan terbentuk dari sejarah masa lalu. Kesehatan mental berperan penting disini, dan tak bisa dianggap anak tiri, terutama jika dibandingkan dengan kesehatan badan.

Di Indonesia, kesehatan mental masih dianggap kebutuhan orang kaya. Orang miskin tak punya waktu untuk menjadi gila. Ini jelas anggapan yang salah kaprah dan berbahaya. Gelombang radikalisme, terorisme, dan mabuk agama yang sekarang ini melanda Indonesia jelas terkait dengan kondisi kesehatan mental bangsa ini.

Dua, Joker mengalami gelombang kekerasan brutal di masa kecilnya. Masyarakat dan pemerintah cenderung abai akan hal ini. Derita yang diciptakan juga akhirnya amat besar, dan berkepanjangan, bahkan dapat menurun ke generasi berikutnya. Ini kiranya seperti kebijaksanaan klasik di dalam dunia kesehatan mental, bahwa korban kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan di masa depan.

Tiga, tidak hanya anak yang perlu mendapatkan perhatian, tetapi termasuk orang dewasa. Karena beragam sebab, banyak orang dewasa yang tak mampu menjalankan hidupnya secara sehat dan optimal. Di negara dengan paham kapitalisme turbo seperti Indonesia, hal ini tak menjadi perhatian. Negara lebih senang menjual manusia dan sumber daya alam yang ada kepada negara lain, supaya mendapatkan uang cepat untuk memperkaya para pejabat.

Derita Joker adalah derita kita semua. Modernitas menghantam nilai dan budaya. Makna dan keluhuran digantikan dengan gemerlap kemewahan. Kita pun terjebak sendirian menghadapi hidup yang tak henti memberi penolakan.

Joker, Sang Zen Master

Namun, bagaimana jika Joker mendalami Zen untuk memahami derita yang menderanya? Ia akan mengalami pencerahan yang sama, yakni melebur menjadi satu dengan segala sesuatu. Ia akan tertawa. Ia akan menari. Tapi, ia tak akan membunuh.

Ia tak akan membelah dunia ke dalam kumpulan orang jahat dan baik. Ia tidak akan membenci ketidakadilan. Ia tidak akan menyebarkan teror, kekerasan dan ketakutan di sekitarnya. Sebaliknya, ia akan menemukan kedamaian, yakni pembebasan dari derita yang telah seumur hidup mencekiknya.

Ini bisa dilakukan, asal Joker tidak percaya buta pada pikiran dan perasaannya. Memang, akibat kekerasan yang dialaminya, Joker kehilangan kewarasannya. Namun, dengan praktek dan pemahaman meditatif yang tepat, ia bisa menciptakan jarak dengan pikiran dan perasaan yang menyiksanya. Ketika jarak tercipta, penderitaan menjadi objek yang bisa diamati.

Inilah pintu pembebasan dari penderitaan. Joker berpeluang menjadi seorang Zen Master yang amat tercerahkan. Penderitaan adalah tanah subur bagi buah-buah kebijaksanaan, asal ia dipersiapkan dengan tepat. Penderitaan membantu kita menemukan diri kita yang asli, dan melepaskan apa yang palsu, yang menjadi sumber derita tiada tara.

Setelah kedamaian yang sejati tumbuh di hati, Joker bisa secara jernih memahami keadaan. Ia bisa mengambil langkah yang tepat untuk memperbaiki hidupnya, dan keadaan sekitarnya. Kekerasan kiranya tak akan terlintas lagi di pikiran. Ketidakadilan tak harus berbuah amarah, tetapi justru bisa mendorong empati dan solidaritas untuk melakukan perubahan.

Sayangnya, saat-saat pencerahan yang dialami Joker justru menggiringnya menuju kemarahan dan kekerasan. Ia tak menjadi Zen Master, melainkan kriminal dengan dendam dan kemarahan yang memuncak. Mungkin, di alam semesta yang lain, ceritanya tak harus seperti itu. Di keadaan yang serupa, kita tak harus memilih menjadi Joker. Ada kemungkinan lain yang lebih indah.

Joker bisa menari. Joker bisa menyanyi. Ia bisa tertawa. Tetapi, ia tak harus membunuh…

The post Andaikan Joker Mendalami Zen appeared first on BuddhaZine.


Kemeriahan Festival Dusun Krecek

$
0
0

Suasana dusun mendadak meriah, bergaung dari sebuah tempat yang berada di tengah-tengah perbukitan di area perbatasan Kota Temanggung dan Semarang. Penyelenggaraan festival yang dihelat di sebuah Dusun Buddhis, Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Sabtu – Senin (30 November – 2 Desember 2019) ternyata mampu menarik banyak pengunjung baik dari Temanggung maupun dari kota-kota lain.

Festival Dusun Krecek merupakan perhelatan peringatan ulang tahun ke-8 BuddhaZine berpadu acara adat Merti Dusun (bersih desa) dengan tema; Merti Dusun, Mulat Sarira. Latar belakang Dusun Krecek dengan 99,9% penduduknya pemeluk agama Buddha menjadi alasan sebagai tempat penyelenggaraan festival.

Terselenggaranya Festival Dusun Krecek berkat dukungan dari para donatur dan kerjasama berbagai pihak seperti, organisasi pemerintah dan organisasi lintas agama di Kecamatan Kaloran.

Pembukaan acara pada hari pertama dihadiri oleh Bupati Temangggung H. Muhammad Al Khadziq beserta pejabat pemerintah tingkat kecamatan dan desa. Turut diundang juga tokoh lintas agama yang ada di Kecamatan Kaloran untuk mengisi sesi doa lintas agama sebagai pamungkas pembukaan.

Mbah Sukoyo, Kepala Dusun menyampaikan rasa syukurnya karena apa yang beliau dambakan dalam kurun waktu yang lama ternyata bisa terwujud. “Saya sangat bangga dan terharu atas penyelenggaraan festival ini, sejak 26 tahun yang lalu saya menjalani laku tirakat dan selalu melantunkan doa supaya di Krecek ini bisa menjadi tempat berkumpulnya banyak orang dalam suasana yang meriah dan ternyata saat ini bisa terwujud. Saya sangat bersyukur,” tuturnya.

Pawai adat dengan mengusung gunungan hasil bumi menjadi ritual pembuka sebelum acara di panggung utama dimulai.

Acara digelar dengan mengadakan bazar yang menjual berbagai produk lokal dan diikuti kurang lebih 16 stand yang buka mulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB setiap harinya. Selain itu, di luar lokasi bazar terdapat kelas-kelas festival yang dilaksanakan sejak pagi hingga siang hari.

Setiap hari mulai pagi hari ada bermacam kegiatan dan terbagi dalam beberapa kelas diantaranya kelas meditasi yang dibimbing oleh Doktor Bram Hasto pada hari pertama dan Doktor Agung Eko Hertanto pada hari kedua. Dalam kelas-kelas itu kebanyakan diikuti oleh peserta festival yang datang dari luar kota, mereka live in (tinggal bersama) di rumah-rumah warga Dusun Krecek. Ada juga kelas sesaji yang menjelaskan tentang tradisi turun temurun yang tetap terjaga di Dusun Krecek, kelas sesaji diampu oleh Mbah Sukoyo yang merupakan sesepuh dan Kepala Dusun, Mbah Sukoyo menjelaskan ragam makna sesajian yang biasa digunakan oleh masyarakat Dusun Krecek ketika ada acara atau hajatan.

Satu kelas lagi yang tak kalah menarik yaitu kelas ngarit (mencari rumput) untuk pakan ternak. Para peserta nampak antusias mengikuti kelas ngarit ini, di samping asing bagi warga kota namun kelas ini terasa sangat unik. Di mana ngarit yang sudah terbiasa dilakukan warga desa namun menjadi kegiatan yang memberikan sensasi tersendiri bagi para peserta live in. “Ngarit merupakan sebuah bentuk kasih sayang manusia kepada hewan peliharaannya,” tutur Ngasiran sebagai pengampu kelas ngarit.

Acara festival terpusat di panggung utama festival Dusun Krecek selepas acara per kelas. Panggung utama yang terletak di depan stand-stand basar mulai dibuka untuk mengisi festival pada pukul 15.00 WIB setiap harinya hingga selesai acara pada malam hari. Berbagai penampilan kesenian lokal, baik berupa seni tari maupun seni musik dipertunjukkan di panggung utama ini. Permainan tradisional yang dimainkan anak-anak Sekolah Minggu Buddhis (SMB) pun turut memeriahkan acara festival. Sementara untuk mengisi acara pada malam hari lebih fokus untuk kegiatan ritual budaya maupun kegiatan kerohanian buddhis.

Di malam hari kedua, Minggu, 1 Desember bertepatan hari ulang Tahun BuddhaZine acara diisi dengan sarasehan budaya yang menghadirkan tiga Bhikkhu Sangha; Bhante Dhammasubho Mahathera, Bhante Sujano Mahathera, dan Bhante Khemadhiro. Selain para Bhikkhu Sangha juga turut diundang Bapak Supriyadi, Direktur Urusan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama RI. sebagai salah satu pembicara. Bhante Dhammasubho selaku pembicara utama menyampaikan apresiasi serta pesan Dhamma yang dikemas dalam diskusi malam yang dihadiri para umat Buddha dari 18 vihara di sekitar Dusun Krecek.

Hari kedua merupakan acara puncak perayaan ulang tahun BuddhaZine yang ke delapan. Sementara di hari ketiga sebagai penutup festival juga merupakan acara puncak perayaan merti Dusun Krecek. Kesenian tradisional Dusun Krecek dipertunjukan dihari terakhir festival hingga malam hari acara dilanjutkan dengan pegelaran wayang kulit dengan Lakon “Dewa Ruci” yang dibawakan oleh Ki Eko Prasetyo sebagai penutup Festival Dusun Krecek secara keseluruhan.

Kemeriahan acara maupun suasana Dusun Krecek mengundang banyak komentar positif dari para pengunjung maupun para peserta live in dan bazar melalui media online instagramnya.

“Dua hal organik yang mengakar dalam tradisi Dusun Krecek, Temanggung, Jawa Tengah. Seni pertunjukan (tari, wayang, dan musik) menjadi sajian utama. Bagi warga sekitar, seni adalah medium untuk mengekspresikan rasa syukur, menghayati alam, dan mengapresiasi mekanisme kasih saya semesta.” Akun instagram seliradian (4/12).

“Hal unik yang pertama di dusun damai ini. kita jadi susah buat mikir. Berbeda dengan kondisi kota besar yang susah untuk tidak mikir, suasana dusun yang sangat meditatif ini seperti “nyirep” kami untuk berhenti mikir. Berhenti sejenak. istirahat. Dusun ini hampir seluruh penduduknya Buddhis, ada kurang lebih 54 KK dan masih memegang adat Jawa yang kuat. Bersih dan damainya mirip desa Panglipuran di Bangli, Bali. Tapi Dusun Krecek lebih meditatif menurut saya.” Akun instagram omah.wulangreh (4/12).

“Minggu, 1 Desember merupakan perayaan merti desa di Desa Krecek sekaligus ulang tahun BuddhaZine @buddhazine. Untuk merayakaannya di adakan serangkaian kegiatan spiritual, budaya, dan seni di Desa Krecek.” Akun instagram stab_syailendra.

The post Kemeriahan Festival Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Ajaran Borobudur dan Masyarakat Jawa

$
0
0

Borobudur konon telah ada sejak lebih dari satu milenium lampau, diperkirakan masih eksis dalam kegiatan spiritual lebih dari lima abad kemudian. Tata letak, pemilihan lokasi, pemilihan cerita (sutra) dan seluruh bagian candi penuh dengan ajaran hidup yang sarat makna. Bisa dipastikan “creator“-nya dahulu sangat mumpuni dalam susastra ataupun ilmu kehidupan.

Seperti kita tahu, orang Jawa tidaklah menolak ataupun menelan secara “mentah” kepercayaan impor, yang mana kepercayaan “luar” baru masuk itu diolah dan “kembali” ditata sedemikian rupa, disesuaikan dengan budaya dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.

Begitu pula Borobudur, adalah jelas ia berlatar buddhis (berasal dari India) yang kembali dihadirkan diberi citra ‘Jawa’ dalam penampakannya. Mungkin Borobudur pernah hilang digerus masa. Namun tidak dengan ajarannya.

Ragu? Kita uraikan satu-satu,

Kammavibangha, atau Maha Karmawibangga di bagian kaki, ke-160 reliefnya adalah penggambaran dari sebab akibat perbuatan manusia di dunia. Siapa yang menanam akan memetik, tanah mangga berbuah mangga. Ajaran itu telah melekat dalam pribadi orang Jawa, yang dikenal dengan pitutur Ngunduh wohing pakarti sebagai pengingat manusia tentang karma.

Naik pada teras berikutnya, kita disuguhi relief Jataka dan Avadana. Inti dari relief itu adalah berbagai kisah mengenai bagaimana seharusnya hidup dalam masyarakat, bagaimana tata krama, bagaimana tolong menolong, bagaimana hormat kepada ibu, bagaimana menempatkan guru, dan apa arti kesabaran serta ketulusan.

Inti sari kisah-kisah itu juga termaktub dalam pengangan hidup manusia “Jawa” yang mana orang itu hadir bukan untuk dirinya sendiri, manusia ada karena ada manusia lain dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki dan dalam Jawa dikenal dengan Migunani tumpraping ing liyan atau berguna bagi mahkluk (manusia) lain.

Teras selanjutnya kita berada dalam hamparan panel Gandawyuha, kisah perjalanan Sudhana untuk menggapai pencerahan hidup, terbebas dari samsara bertemu dengan 53 guru pembimbing spiritual hingga akhirnya dituntun dan ditunjukkan apa itu pencerahan sejati.

Dalam kisah-kisahnya terdapat berbagai kisah heroik pedoman hidup dari berbagai kalangan ditemui oleh pemuda Sudhana dan bertemu berbagai latar belakang entah raja, dewa, denawa, pedagang, pengemis, anak kecil hingga PSK. Semua memenuhi Dharmanya masing-masing menjalani hidup sesuai perannya masing-masing untuk bisa Memayu hayuning bawana.

Borobudur tidak sepenuhnya sirna, kehadirannya masih melekat dalam pribadi orang Jawa. Belajar dari Borobudur bukan belajar atau mengajak untuk menjadi buddhis semata, tapi bagaimana menjadi manusia seutuhnya, manusia yang peka terhadap dirinya, keluarga, orang lain bahkan pikirannya.

Jangan biarkan ajaran ini sirna, nenek moyang tidak hanya mewarisi Monumen. Borobudur yang tak lebih dari tumpukan batu berukir tanpa kata saja sudah begitu memukau dunia. Apalagi bila kita juga mewarisi ilmu dan ajaran di dalamnya.

*Yosi Cahyono, seorang pemerhati candi. Saat ini bertugas memugar situs Liyangan, Temanggung.

The post Ajaran Borobudur dan Masyarakat Jawa appeared first on BuddhaZine.

Dewa Ruci: Kisah Pencarian Sunyata

$
0
0

Apabila kita memiliki suatu cita-cita, harus ditempuh dengan usaha dan tekad. Usaha berkaitan dengan apa saja yang dilakukan, tekad adalah kekuatan batin yang menjadi pendorong untuk berusaha mewujudkan cita-cita tersebut.” 

Berbeda dengan pertunjukan wayang biasanya, penampilan Ki Eko dan kawan-kawan wiyogo dari ISI Surakarta ternyata mampu mengundang para penonton dari berbagai daerah di Temanggung. Bahkan nampak anak-anak muda yang biasanya enggan untuk menonton wayang, kali ini ikut menonton. Di samping lakon yang menjadi favorit dan populer di kalangan pencinta seni wayang, penampilan dalang, dan wiyogo pun turut mempengaruhi minat masyarakat untuk menonton pertunjukan malam itu, Festival Dusun Krecek (2/12).

Ki Eko dengan nama asli Ki M.Ng. Eko Prasetyo, M.Sn yang kemudian oleh Bhante Dittisampano diberi tambahan nama Gutomo Carito adalah seorang dalang buddhis yang lahir di Lampung Tengah, 13 Juni 1984. Sejak kecil oleh orangtua memang digadang menjadi dalang. Untuk mewujudkan cita-cita orang tuanya, ia menempuh pendidikan seni di SMK N 8 Surakarta, jurusan Seni Pedalangan lulus 2002. Selanjutnya ia meneruskan kuliah di ISI Surakarta jurusan Karawitan, lulus tahun 2007, dan S2 Seni Teater, lulus 2014.

Aktivitas Ki Eko saat ini mengajar di Akademi Seni Mangkunegaran, Surakarta bidang Seni Pedalangan dan di STIAB Smaratungga, Ampel, Boyolali. Ia mengampu UKM Karawitan, di samping itu beliau juga sering mengisi pertunjukan wayang kulit utamanya dalam kegiatan-kegiatan vihara.

Atas permintaan warga Dusun Krecek, Ki Eko membawakan lakon Dewa Ruci, yang menurut warga Dusun Krecek, lakon ini lebih dekat dengan kisah-kisah hidup dan ajaran-ajaran Buddha.

Lakon Dewa Ruci diambil dari Kitab Nawaruci karya Mpu Siwamurti yang diperkirakan ditulis pada era Majapahit akhir. Kitab ini kemudian ditulis ulang oleh Yosodipuro I, Pujangga Keraton Kasunanan Surakarta periode paling awal yang berbentuk Macapat dengan judul Serat Dewaruci. Sumber ini kemudian banyak disalin dan kemudian dijadikan rujukan para dalang untuk menyusun lakon.

Alur carita lakon Dewa Ruci

Dikisahkan Bima sedang berguru tentang ajaran Sunyata kepada Resi Drona. Resi Drona memerintahkan Bima untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Perintah ini sesungguhnya adalah siasat Drona untuk melenyapkan Bima. Drona melakukan ini atas tekanan Doryudana dan Sengkuni yang selalu diliputi kebencian terhadap para Pandawa.

Bima adalah murid yang sangat patuh kepada gurunya. Ia berangkat menuju tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona. Tempat tersebut adalah Gua Sigrangga yang berada di hutan Tikbrasara, lereng Gunung Candramuka.

Namun, apa yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua dan sekitarnya diobrak-abrik hingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka dan membuat dua raksaksa tersebut terbunuh.

Tak lama kemudian, bangkai Rukmuka dan Rukmakala berubah wujud menjadi Batara Indra dan Bayu.

Dikatakan bahwa Kayu Gung Susuhing Angin adalah ukara pepindhan atau kalimat teka-teki. Kayu berarti Kajeng atau keinginan, Gung artinya besar, luhur, Susuhing Angin adalah napas. Jadi, siapa pun yang memiliki keinginan luhur, terlebih dahulu harus mampu mengamati napasnya sendiri dengan penuh kesadaran. Ini sebenarnya adalah ajaran Pranayama yang disampaikan oleh penulis kisah ini.

Setelah mendapatkan wejangan dari Indra (Sakha) dan Bayu, Bima kembali ke Astina. Agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.

Tirta suci

Di Astina, Drona pun memerintahkan Bima untuk menuju samudera demi mendapatkan Tirta Pawitra atau Tirta Amerta (Air Suci). Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Bahkan jika ia harus menemui kemalangan pun ia siap, sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah Dharma (kebenaran).

Sesampai di tepi laut, ia mengatur segala emosi yang timbul, ketakutan, keraguan di dalam diri atas sanggup dan tidaknya ia memasuki samudera raya. Dengan kesaktian aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut dengan menyibak air, bahkan sanggup bernapas di dalam air.

Alkisah ada naga sebesar pohon tal, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Bima sampai tubuhnya tak mampu bergerak. Tak disengaja, kuku Pancanaka milik Bima menancap di leher naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, laut berwarna merah jingga.

Bima pun mati. Di dalam kondisi itulah, Bima bertemu dengan sosok yang agung, Ia adalah Sang Nawa Ruci atau Dewa Ruci, atau juga disebut sebagai Sang Asyintya (yang tak terpikirkan, Jawa: Tan kena kinaya ngapa).

Di situ, Bima mendapatkan wejangan tentang “sunyata” sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan. Bagi orang Jawa, tujuan tertinggi bukanlah surga yang masih memiliki rupa, melainkan sunyata atau padamnya segala kondisi, segala kotoran batin.

Setelah selesai mendapatkan wejangan, Bima dihidupkan kembali. Kemudian diminta kembali ke kehidupannya untuk melanjutkan tugasnya sebagai seorang ksatria pinandita.

“Pesan yang paling mendasar dalam lakon ini adalah apabila kita memiliki suatu cita-cita, harus ditempuh dengan usaha dan tekad. Usaha berkaitan dengan apa saja yang dilakukan, tekad adalah kekuatan batin yang menjadi pendorong untuk berusaha mewujudkan cita-cita tersebut. Ini mirip dengan kisah Buddha saat berusaha mewujudkan cita-cita-Nya. Beliau bisa mencapai Pencerahan karena tekad yang kuat dan usaha yang pantang menyerah,” jelas Ki Eko.

“Mungkin dalam bahasa buddhisnya Saddha. Saya lebih suka menerjemahkan ini tekad, bukan keyakinan atau keimanan,” imbuhnya.

The post Dewa Ruci: Kisah Pencarian Sunyata appeared first on BuddhaZine.

Selamat Hari Ibu

$
0
0

Tanggal 22 Desember ternyatakan sebagai “Hari Ibu.” Segala puja dan puji untuk ibu. Paham patriarki menempatkan kaum ibu sebagai kaum nomer dua. Ada istilah di masyarakat untuk kaum perempuan yakni, “konco wingking”.

Berlaku hormat dengan puja dan puji merebah badan sungkem sujud kepada ibu menjadi tradisi luhur.

Memulikan ibu nilainya seribu kali lipat buah kebajikannya, dan seribu kali lipat berdampak buruk jika menghinakannya.

Ibu telah memberikan segalanya kepada anak-anak. Setidaknya ada dua hal yang tidak tergantikan dari ibu, mengandung dan melahirkan, yang kedua memberikan air susunya.

ASI (Air Susu Ibu) berbeda dengan susu hewan. Air susu hewan yang jika diangin-anginkan bisa lekas basi. Tetapi ASI diangin-anginkan berubah menjadi merah. Karena ternyata ASI adalah saripati dari darah ibu. (Buddha, Agga Bodhi Sutta).

Alam raya, bumi dan langit, ibarat seorang ibu dan ayah. Memberikan yang terbaik untuk melindungi anak-anaknya. Memancarkan pikiran kasih sayangnya tanpa batas. Ke atas, ke bawah, ke samping, dan ke sekeliling. Serta berpesan, Jaga baik-baik kekayaan alam. Gunakan dengan hati-hati warisan harta bumi. Jangan menipu. Jangan menghina siapa saja. Jangan karena marah dan benci mengharap orang lain celaka. Karena itu semua menjadi sebab-sebab bencana.

Jika tradisi sungkem sujud kepada ibu mulai hilang. Bisa jadi buah akibatnya adalah rangkaian bencana alam, bencana kemanusiaan yang akan datang berduyun-duyun?

The post Selamat Hari Ibu appeared first on BuddhaZine.

Taman Baca Samudera: Mari Kita Arungi Samudera Ilmu dengan Bahtera Buku

$
0
0

Taman Baca Samudera (TBS) adalah rumah literasi yang menyediakan sejumlah bacaan yang berfokus utama mencerdaskan anak-anak di sekitaran Desa Sarongan, desa yang terletak di Pesanggaran, Banyuwangi. TBS dijadikan sebagai frasa nama karena Sarongan berada di daerah pesisir Banyuwangi bagian selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia.

Selain menjadi sumber kehidupan laut, filosofinya, samudera memiliki kelebihan serta menyimpan banyak harta yang tidak habis di dalamnya. Mengarungi dan menyelami samudera artinya menjumpai pengalaman, kekayaan, dan ilmu yang berlimpah ruah. Demikian pula dengan keberadaan TBS diharapkan bisa menjadi tempat yang representatif guna menyelami dan menggali sejuta wawasan melalui bacaan. Sesuai dengan slogan ajakannya, “Mari Kita Arungi Samudera Ilmu dengan Bahtera Buku.”


TBS berdiri sejak 10 November 2015 silam, yang diinisiasi oleh Bhikkhu Virasilo selaku putra daerah. Bhante memiliki kegemaran membaca sejak kecil, memiliki pengalaman menyisihkan uang jajan untuk membeli koran, membaca lemekan koran bekas bungkus ikan teri, dan berangkat dari itu Bhante memiliki angan-angan hidup di antara tumpukan buku, memiliki kios atau menyewakan buku-buku.

Pada tahun 2014, ia berpikir bagaimana cara untuk mewujudkan itu semua. Puncaknya, setahun kemudian, bermula dari perbincangan dengan Bhikkhu Gunapiyo (sekarang Yogi Gunavaro), Atthasilani Dhammanandini, dan Atthasilani Gunanandini berdirilah TBS. Niat yang besar menjadi satu modal utama. Tapi tentu niat saja itu tidaklah cukup. Ketika awal-awal berdiri, Bhante membeli sejumlah buku dengan modal Rp. 400.000,-  serta membuatkan rak-rak untuk memajangnya.

Persiapan yang tidak kalah penting lainnya adalah tempat atau lokasi. Saat ini samudera ilmu itu bertempat di sebuah rumah milik Bapak dari Bhante Vira sendiri. Rumah berukuran sedang dan tidak terpakai. Didekorasi sederhana menjadi sebuah rumah dan taman baca yang menarik bagi anak-anak. Lokasinya terletak di luar lingkungan wihara.

Tidak terlalu jauh dari wihara Thirta Vana Jaya. Wihara tidak dipilih menjadi lokasi demi alasan agar anak-anak dari kalangan non-Buddhis juga tertarik dan bisa datang dengan hati lapang tanpa harus membawa perasaan sungkan. Sehingga mereka juga mendapatkan manfaat dari keberadaan TBS. Sebuah pertimbangan yang arif mengingat di Sarongan sangat kental dengan kemajemukan agama. Kebanyakan dari mereka yang kemudian datang ke TBS untuk membaca dan bermain beragam dan mayoritas bukan anak-anak Buddhis. Mereka datang dengan satu tujuan yaitu belajar.

Tepat satu tahun setelah keberadaannya, dirayakan sebuah acara yang dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi sekaligus syukuran. Sampai dengan hari ini, setiap bertepatan dengan hari jadinya, TBS selalu diramaikan oleh anak-anak beserta beberapa orang tua datang untuk sekadar kumpul merayakan momentum penting ini dan makan bersama.

TBS buka setiap hari kecuali Minggu. Dibuka dari pukul 10.00 WIB, jam pulang sekolah, sampai dengan 16.00 WIB. Rerata jumlah anak yang datang 20-an setiap hari. Jumlah yang tidak sedikit. Di samping itu, TBS juga memiliki agenda rutin seperti mengisi acara desa, anak-anak membacakan puisi sosial. Di lain kesempatan mereka juga unjuk diri ketika ada perlombaan. Anak-anak ini sudah dibekali di TBS, karena di lingkup TBS sendiri secara berkala selalu mengadakan perlombaan. Anak-anak yang hendak belajar membaca juga tidak jarang datang dan belajar di TBS.

Empat tahun berjalan, berangsur-angsur TBS menjelma tempat yang semakin nyaman untuk dijadikan rumah belajar. Perubahannya nampak secara signifikan dari tahun ke tahun. Baik dari segi dekorasi, sumber bacaan, tenaga penjaga, dan antusiasme anak-anak. Semuanya tidak terlepas dari sumbangsih banyak pihak. Sejauh ini TBS memiliki beberapa orang donatur tetap yang secara berkala menyumbangkan bahan bacaan atau berupa santunan untuk biaya operasional.

Ada pula orang-orang yang perhatian dan berbaik hati, yang meski mengetahui TBS hanya dari perantara maya menyumbangkan bacaan bekas layak baca, alat tulis bahkan cemilan. TBS juga tidak luput dari perhatian Pemda Banyuwangi bagian keperpustakaan. Mereka rutin setiap sebulan sekali membawa perpustakaan keliling sebanyak satu mobil buku. TBS mendapat jatah 10 buku, didrop lalu ambil dan diperbaharui pada bulan berikutnya.

Untuk penjaga dan membantu merawat, TBS memiliki sosok yang rajin, teliti, dan terutama senang hati berinteraksi dengan anak-anak. Namanya Ibu Sri Antini (55), asli Sarongan. Bu Sri merupakan penyandang disabilitas. Delapan tahun yang lalu kakinya diamputasi karena suatu kecelakaan lalu lintas. Saat ini beliau menggunakan bantuan kaki artifisial.

Ada harapan yang terbentang, suatu kelak, TBS memiliki gedung sendiri yang lebih luas dan sesuai. Tempat nyaman yang tidak saja menjadi taman baca untuk anak-anak melainkan pula bagi orang dewasa serta memberikan manfaat lebih dengan difungsikan menjadi tempat kegiatan sosial lainnya. Semoga ini terealisasi suatu hari nanti.

Harapan lain dan yang utama, dengan adanya TBS akan dapat menjadi tempat yang menjadikan generasi muda yang kompeten dan berdaya guna.

Mencetak generasi yang melek akan literasi.  Adalah kebahagiaan tersendiri ketika suatu hari nanti salah seorang dari anak-anak ini datang, saat Bhante atau Ibu Sri telah samar dengan wajah kecil mereka, mengenalkan diri bahwa mereka sudah sukses di bidang masing-masing. Ini bukan harapan yang berlebihan dan TBS bisa menjadi jembatan untuk sampai pada tujuan.

* Transkrip dari hasil wawancara oleh Bhikkhu Ratanajayo dengan Bhikkhu Virasilo dan Bu Sri. Ditulis dengan sedikit banyak tambahan oleh Bhikkhu Pabhajayo. Dengan kilasan singkat ini, harapan kami TBS semakin diketahui keberadaannya. Kami akan sangat senang hati menerima manakala ada tangan dan hati yang baik mendermakan bacaan untuk anak-anak kami. Namaste.

The post Taman Baca Samudera: Mari Kita Arungi Samudera Ilmu dengan Bahtera Buku appeared first on BuddhaZine.

Harmonisasi Warga Dusun Thekelan, Jawa Tengah

$
0
0

 

Dusun Thekelan yang terletak di bawah kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah ini selalu mengajarkan sikap saling menghargai dan menciptakan kehidupan harmonis kepada warganya ditengah perbedaan yang ada.

Suku, ras, budaya, serta adat istiadat menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dipertahankan keharmonisasiannya agar kemajemukan tetap terjaga seperti warga dusun Thekelan hingga saat ini.

The post Harmonisasi Warga Dusun Thekelan, Jawa Tengah appeared first on BuddhaZine.

Perayaan Akbar Gaden Ngamchoe 2019, Merayakan Keagungan Sang Raja Dharma

$
0
0

Sabtu, 21 Desember 2019, Keluarga besar Kadam Choeling Indonesia (KCI) menggelar Perayaan Akbar Gaden Ngamchoe 2019 dan Praktik Doa Umur Panjang untuk Guru Dagpo Rinpoche di Gedung Prasadha Jinarakkhita, Jakarta Barat.

Puja besar dengan total 3000 persembahan yang berlangsung selama 4 hari dari tanggal 21-24 Desember 2019 ini diselenggarakan untuk memperingati puncak International Year of Tsongkhapa, peringatan 600 tahun parinirvana Je Tsongkhapa yang dirayakan oleh komunitas buddhis tradisi Gelug di seluruh dunia. Puja ini juga digelar untuk mendoakan kesehatan dan umur panjang Guru Dagpo Rinpoche.

Hari pertama puja besar ini dibuka dengan arak-arakan rupang Arya Maitreya. Puja lain yang dilakukan adalah puja 1000 persembahan kepada Je Tsongkhapa. Biksu Bhadra Ruci memimpin keseluruhan prosesi selama acara dan memberikan sedikit wejangan di sesi siang. Guru Puja yang merupakan tradisi di setiap peringatan Gaden Ngamchoe juga diselenggarakan di malam hari. Rangkaian acara di hari pertama kemudian ditutup dengan Agnihotra Yajna.

Dalam wejangan yang disampaikannya, Biksu Bhadra Ruci menjelaskan bahwa walau Je Tsongkhapa sudah parinirvana 600 tahun lalu, sampai hari ini pemikirannya masih mengantarkan orang yang mempelajarinya ke pencapaian yang luar biasa.

“Orang bisa belajar sampai mencapai gelar S1, S2, S3, sampai Post-doc hingga menciptakan rumus-rumus dan hadiah nobel, tapi tidak bisa mencapai perkembangan batin. Dalai Lama tidak menempuh pendidikan sekuler, tapi memiliki ketajaman logika dan perkembangan batin yang luar biasa. Pendidikan sekuler hanya bisa menghasilkan satu (kecerdasan logika), tapi ajaran Je Tsongkhapa bisa menghasilkan keduanya (kecerdasan dan perkembangan batin),” terang Biksu Bhadra Ruci.

Je Tsongkhapa adalah guru besar Buddhis abad XIV yang merintis tradisi Gelug, satu dari empat tradisi utama Buddhis Tibet. Salah satu mahakaryanya adalah “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” (Lamrim Chenmo), kitab klasik yang merangkum keseluruhan ajaran Buddha secara lengkap dan sistematis.

Dalam menyusun kitab tersebut, Je Tsongkhapa terinspirasi oleh “Bodhipathapradipa” karya Guru Atisha Dipankara, pandit besar India yang merupakan murid utama dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya. Jilid ketiga dan terakhir dari “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” edisi Bahasa Indonesia juga diluncurkan untuk pertama kali di acara Perayaan Akbar Gaden Ngamchoe 2019 ini, menandai lengkapnya mahakarya Je Tsongkhapa tersebut di Nusantara.

The post Perayaan Akbar Gaden Ngamchoe 2019, Merayakan Keagungan Sang Raja Dharma appeared first on BuddhaZine.


Inspirasi Pemuda Buddhis, Sutrisno Rampungkan Doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia

$
0
0

Hari ini, Jumat 27 Desember 2019, umat Buddha Indonesia yang bergelar Doktor akan bertambah satu orang. Sutrisno, salah satu putra terbaik kelahiran Jepara akan melakukan sidang terbuka promosi Doktor, di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok, Jawa Barat.

Sutrisno lahir di Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kecamatan Keling (Sekarang Donorojo) Kabupaten Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 9 Februari 1982. Ia lahir sebagai anak kedua dari pasangan keluarga petani Bapak Soim dan Ibu Sulastri. Tumbuh dalam keluarga buddhis sederhana, Sutrisno kecil adalah pribadi cerdas dan pekerja keras. Keunikannya adalah lahir dengan pembawaan vegetarian. Didikan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh perintis agama Buddha di Guwo menjadikan Sutrisno akrab dengan organisasi dan aktivitas keagamaan.

Di sekolah, Sutrisno selalu menempati ranking teratas. Atas prestasinya itu dia diganjar beasiswa oleh BRI Jepara. Lulus dari SD Negeri Jugo I, Sutrisno melanjutkan ke SMP N 1 Keling. Jarak tempuh yang jauh dan medan yang berat menjadikan tidak semua anak mau bersekolah ke SMP. Dari 29 orang di angkatannya, hanya 3 orang yang melanjutkan ke SMP. Berkat dorongan para tokoh dan keluarga, serta yang terpenting bantuan Bhante Sudhammo akhirnya Sutrisno remaja pun masuk SMP N 1 Keling.

Di masa itu, untuk memperpendek jarak tempuh, ia ditumpangkan untuk tinggal di rumah orang. Hidup menumpang menuntut kerja keras dan kerja serabutan. Menggembala sapi/kambing, mencari rumput, bersih-bersih rumah dan pekerjaan ekstra orderan tuan rumah adalah keseharian Sutrisno.

Tiga tahun masa belajar yang berat itu terlampaui dengan prestasi yang gemilang. Semua itu dilatarbelakangi kisah-kisah beratnya membangun komunitas beragama Buddha di masa lampau di Desa Guwo. Selepas SMP, Sutrisno semakin aktif di vihara dan membina umat. Karma baik itu terdengar hingga ke Jakarta. Akhirnya, Sutrisno diminta untuk melanjutkan SMA ke Jakarta. Sebuah pilihan yang berat, harus merantau ke kota besar yang penuh tantangan. Akhirnya, keputusan itu pun diambil. Sutrisno mendapat beasiswa dari Yayasan Dharma Pembangunan dan bersekolah di sekolah Buddhis SMA Tri Ratna, Jakarta Barat.

Masa SMA di Jakarta

Di tahun krisis multidimensi 1998, di bulan Juni, Sutrisno muda menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di Jakarta. Ia tinggal di asrama di Jl. Kerajinan Dalam No. 16 Jakarta Barat.

Di asrama tersebut tiap tahunnya ada belasan anak diterima dari berbagai daerah. Asrama Kerajinan adalah asrama yang sederhana. Bahkan di zaman itu banyak keterbatasan. Para penghuni asrama pun masih harus disokong orangtua. Sekalipun demikian motivasi belajar penghuninya dikenal sangat tinggi.

Asrama Kerajinan adalah asrama yang ketat. Saking ketatnya, penghuninya dilarang tidur siang. Sepulang sekolah, anak-anak langsung belajar. Sesudah itu piket masak dan bersih-bersih asrama, lalu kena jam wajib belajar. Begitu seterusnya, dan terkadang masih ada undangan baca Paritta ke umat. Di malam Minggu anak-anak wajib diskusi. Di Minggu pagi olah raga. Lalu ibadah ke Cetiya Tri Ratna dan siang hingga sore ada ekstra seni budaya yang dikelola pengurus Lembaga Beasiswa Dharma Pembangunan. “Sungguh asrama yang sibuk,” kenang Sutrisno.

Diskusi adalah warisan dialektika berpikir dari asrama Kerajinan. Dr. Krishnanda Wijaya-Mukti tokoh Buddhis Nasional adalah pemilik asrama sekaligus mentor kegiatan tersebut. Beliau mewariskan sifat kritis dalam mempelajari Dhamma. Selain itu, juga banyak senior yang sudah kuliah atau aktif di pergerakan mahasiswa hadir dalam diskusi tersebut.

Di masa itu, Sutrisno sangat mengagumi kecerdasan dan nasionalisme Bung Karno yang tergambar di buku-buku. Juga kemampuan bernalar Tan Malaka, dan keilmiahan Moh. Hatta. Sutrisno juga sangat terinspirasi dengan tokoh dari India Dr. Ambedkar, tokoh buddhis dari India yang peduli rakyat jelata.

Kisah orang-orang besar itu mewarnai idealisme pelajar muda Sutrisno. Tekadnya untuk terlibat membesarkan masyarakat Buddhis dan terlibat dalam aktivitas kebangsaan makin membara. Walaupun memiliki pribadi yang menarik, Sutrisno tidak memiliki kisah romantisme anak sekolah di zamannya.

Hidupnya yang serius dan beban titipan tanggung jawab orangtua dan masyarakat daerah kelahiran menjadikan pembelajar yang lempeng. Cita-cita dan kepribadiannya itu rupanya diperhatikan oleh Kepala Sekolah SMA Tri Ratna Pak Jusman. Selepas SMA, Pak Jusman lalu meminta dan membantunya meneruskan kuliah di FISIP Universitas Nasional (Unas) Jakarta.

Masa kuliah: pematangan intelektual

Saat itu Agustus 2001, dengan diantar wali kelasnya, Bapak Samirin, Sutrisno mendaftar di Unas. Pilihan di Unas ini tentu berkat petunjuk Pak Jusman. Saat itu Sutrisno hanya tahu sedikit tentang Unas, yaitu pelopor pergerakan, penentang Orde Baru dan didirikan tokoh terkenal Prof. Sutan Takdir Alisyahbana.

“Pada awal masuk ada kekhawatiran, jangan-jangan belajar politik mengikis keyakinan pada kebenaran beragama. Ternyata keyakinan itu salah sama sekali. Justru karena belajar politik di Jurusan Hubungan Internasional saya menjadi paham berbagai fenomena nasional dan internasional. Dari buddhis sendiri kita bisa belajar berdiplomasi yang benar seperti Guru Buddha, yaitu: hati yang hangat dan kepala yang dingin, serta penyampaiannya memenuhi syarat benar, berfaedah, beralasan, dan tepat pada waktunya (Samma-vaca),” terangnya pada BuddhaZine.

Pada tahun kedua masa kuliah Sutrisno mengajar di SMA Sariputra, dan di tahun ketiga ia diminta membantu mengajar di SMA Tri Ratna. Di sekolah ini kecerdasannya yang sedang mekar mendapatkan lahannya.

Kuliah dan mengajar telah menyita begitu banyak waktu. Kebiasaan tidak sempat makan pagi dan siang menyebakan beberapa kali Sdr. Sutrisno terkena tifus parah. Namun, tekadnya untuk maju dan melayani sungguh luar biasa. Dia dikenal sebagai guru yang berdedikasi. Baginya datang ke sekolah terlambat adalah aib bagi guru.

Pagi-pagi jam setengah 5 pagi hari, Sutrisno harus bergegas ke Stasiun Pasar Minggu naik kereta ke Stasiun Mangga Besar. Tiba di sekolah harus menyambut anak atau persiapan mengajar. Tengah hari harus bergegas untuk sampai kampus jam 2 siang. Seterusnya kuliah hingga jam 5 sore. Aktivitas itu menjadi kegiatannya sehari-hari hingga lulus pada tahun 2005 dengan predikat cum laude.

Masa bekerja dan pendidikan lanjutan

Lulus kuliah S1, Sutrisno mendapat tawaran menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jawa Kusuma, Jakarta. Ia mengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila, mata kuliah kesukaannya. “Di Unas, saya belajar Konfigurasi Nilai ala Sutan Takdir Alisyahbana, sesuatu yang jarang diajarkan dosen sebagai pendekatan dalam mata kuliah Pancasila. Dengan sudut pandangan ini, saya merasa memberikan sesuatu yang berbeda bagi muda-mudi yang baru lulus SMA. Selebihnya saya merasa di jalan yang benar, sambil belajar ikut berkontribusi dalam nation and character building,” katanya.

Rupanya dunia pendidikan seperti magnet yang menarik saya lebih dalam, lanjut Sutrisno. “Di tahun 2007, SMA Nalanda meminta saya menjadi guru Sosiologi dan Pendidikan Kewarganegaraan. Lalu setelah itu menanjak menjadi Pembina OSIS dan Wakil Kepala Sekolah. Dari sini medan leadership pendidik mulai diuji. Setahun kemudian, STAB Nalanda meminta saya menjadi dosen mata kuliah Pancasila, Kewarganegaraan dan Teknik Penulisan Imiah. Usia saya terbilang masih muda, 25 tahun. Di tahun 2011, saya diminta untuk menjadi Wakil Ketua Bidang Akademik STAB Nalanda. Di tahun itu saya sudah lulus S2 ilmu politik dengan predikat cum laude dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik,” paparnya.

Tugas memimpin perguruan tinggi adalah ujian pribadi manusia yang sesungguhnya: menjadi pelayan yang berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia. Kreativitas dan kesabaran bisa diuji setiap saat. “Rumus yang selalu saya gunakan adalah nasihat Buddha: meski tergoda hal-hal duniawai, batin harus tetap tenang tak tergoyahkan. Dalam berucap, saya sekuat tenaga berpegang pada ucapan yang benar, berfaedah, beralasan, dan tepat pada waktunya. Formula itu masih terus saya gunakan,” jelasnya.

“STAB Nalanda adalah tempat yang menarik buat saya, tentu tidak relevan secara ekonomi. Menarik karena di sinilah saya ikut cawe-cawe melahirkan tunas-tunas bangsa yang bukan main: guru. Lebih hebat lagi: guru agama. Saya merasa sudah melangkah di jalan yang benar: berdana Dhamma sebagai pemberian yang tertinggi. Cinta saya kepada kampus ini makin lama makin dalam,” ujar Sutrisno penuh harap.

Tak hanya di STAB Nalanda, di tahun 2012 Sutrisno juga diminta mengajar di STMIK Dharma Putra Bekasi juga menjadi Kepala SMP Ananda dan terlibat dalam mendirikan Program Pascasarjana STAB Nalanda.

Di tengah berbagai kesibukan menjadi guru, kepala sekolah dan dosen, nampaknya niat belajar Sutrisno tidak pernah padam. Ia selanjutnya melanjutkan program Doktor di Universitas Indonesia. “Kuliah di UI adalah pekerjaan yang berat, lebih berat lagi jika berbarengan dengan rupa-rupa pekerjaan. Namun, berkat kerja ekstra-keras semuanya bisa dilewati dengan baik. Di masa ini, bisa tidur malam adalah karunia luar biasa,” katanya.

Semua kerja keras Sutrisno kini telah membuahkan hasil. Ia akan menjadi umat Buddha Indonesia yang menyandang gelar Doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Akhirnya, selamat Pak Sutris! Selamat mengabdi ke jenjang berikutnya.

The post Inspirasi Pemuda Buddhis, Sutrisno Rampungkan Doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia appeared first on BuddhaZine.

Wild Wild Country, Dokumenter Apik yang Mengungkap Kultus Osho

$
0
0

Di benak ribuan pengikutnya, Bhagwan Shree Rajneesh (1931-1990) atau yang belakangan familiar dengan panggilan Osho, adalah seorang yang tercerahkan. Osho adalah seorang yang sangat berkharisma, yang mengajarkan kekayaan spiritualitas dunia, tidak hanya kearifan dari tradisi Advaita Hindu, namun juga kebijaksanaan Jainisme, Zoroastrian, Sufi, Hassidisme, Kristianitas, hingga Buddhis.

Pria yang khas dengan jenggot panjang dan busana uniknya itu memang seringkali berkhotbah mengulas ajaran Buddha. Mulai dari Dhammapada, ajaran Mahayana seperti Sutra Hati, hingga ajaran Mahamudra yang ditemukan dalam tradisi Buddhis Tantra.

Osho menggambarkan Buddha Gautama sebagai terobosan terbesar dalam evolusi kesadaran manusia, karena penemuan meditasinya mengalihkan fokus dari berdoa kepada Dewa menuju meditasi; menuju menjadi sadar terhadap potensi setiap manusia menuju kebebasan tertinggi. Bhagwan, begitu dia biasa dipanggil pengikutnya, adalah sosok yang menarik namun juga penuh kontroversi.

Kontroversi tentang Osho dapat disaksikan dalam Wild Wild Country, sebuah seri dokumenter Netflix tentang Osho, asisten pribadinya Ma Anand Sheela, dan para pengikutnya di permukiman Rajneeshpuram di Wasco County, Oregon, AS. Serial ini dirilis di Netflix tanggal 16 Maret 2018 setelah tayang perdana di Festival Film Sundance.

Dokumenter itu awalnya menampilkan situasi Antelope, sebuah kota kecil di Wasco County, Oregon, Amerika Serikat, berpenduduk sekitar 50-an orang. Antelope adalah kota tempat para warganya menghabiskan hari tua.

Hingga pada suatu hari di tahun 1981, semuanya berubah. Antelope kedatangan ribuan orang berbaju ungu, oranye dan merah marun. Mereka semua pengikut seorang guru spiritual dari India, Bhagwan Shree Rajneesh.

Komunitas Osho baru saja membeli sekitar 63.000 hektar tanah berbukit dan berlembah yang disebut Big Muddy Ranch, sekitar 19 mil dari Antelope. Di kawasan gersang itu mereka membangun kota, lengkap dengan aula meditasi, pusat perbelanjaan, bank, butik, lahan pertanian dan peternakan, bendungan, sekolah dasar, hingga lapangan udara. Kota utopia itu mereka beri nama Rajneeshpuram.

Melihat perkembangan tersebut, penduduk Antelope merasa terancam, dan dari sini konflik pun muncul. Konflik mula-mula terjadi di ranah hukum, tetapi dalam perjalanannya semakin mengeras sampai melibatkan pemboman, peracunan massal, dan beberapa kali percobaan pembunuhan.

Wild Wild Country –yang terdiri dari enam episode masing-masing berdurasi sekitar satu jam– menggunakan materi rekaman video (footage) internal dan eksternal dari para pengikut Osho maupun berita televisi masa itu. Tak lupa, ada wawancara terkini dengan tokoh-tokoh penting peristiwa tersebut, termasuk Ma Anand Sheela, yang pernah dipercaya menjadi sekretaris pribadi Osho.

Sang sutradara, Chapman dan Maclain Way, sukses merangkai semua itu menjadi kisah kompleks yang menarik dan tidak sekedar Hitam-Putih. Thriller politik, spionase, drama pengadilan, hingga aksi terorisme bisa disimak di dokumenter ini.

Dokumenter tersebut tanpa berusaha menghakimi memperlihatkan bagaimana kelompok Osho pada akhirnya melakukan beberapa kali percobaan pembunuhan, peracunan massal, penipuan imigrasi, hingga pembelian senjata ilegal. Diterangkan pula bahwa semua aksi gila itu muncul karena adanya provokasi yang terus-menerus dari warga Antelope dan Wasco County yang paranoid dan kebanyakan adalah Kristen konservatif. Warga lokal umumnya memandang para pengikut Rajneesh sebagai sumber kejahatan, yang disebut sebagai Satan dan Anti-Kristus.

Di episode pertama disinggung secara sepintas tentang visi Osho yang ingin menciptakan peradaban manusia baru yang tercerahkan. Manusia baru ini didasarkan pada penyatuan antara spiritualitas Timur dan rasionalitas Barat, sebuah ide yang kini lebih dikenal dengan label “New Age”. Visi itu dipraktikkan lewat penerimaan atas hal-hal yang oleh agama tradisional ditabukan atau dibatasi, termasuk seks. Sampai-sampai, julukan “Sex Guru” disematkan pada Osho yang merupakan penggemar jam tangan mewah dan mobil Rolls-Royce itu.

Di episode dua, diperlihatkan cuplikan sebuah film berjudul Ashram in Poona yang dirilis pada 1981. Dibuat oleh salah seorang pengikut Osho asal Jerman, Wolfgang Drobowolny, film itu menampilkan rekaman video salah satu sesi terapi yang dilakukan para sannyasin, atau pengikutnya. Dalam rekaman itu terungkap beberapa perempuan dan laki-laki, telanjang bulat, saling berteriak, saling pukul, saling peluk, sembari bergulingan campur aduk. Mereka juga terlihat melakukan meditasi duduk bersama, lalu berdansa berangkulan. Pemandangan visual katarsis yang penuh ketelanjangan seperti itu membuat shock Barat, termasuk warga Antelope yang menonton film tersebut.

Dibantu Bill Bowerman, salah satu pendiri perusahaan sepatu Nike yang memiliki lahan dekat Rajneeshpuram, warga Antelope lewat organisasi lingkungan Thousand Friends of Oregon melakukan gugatan hukum terhadap komunitas Rajneesh atas dalih penyalahgunaan lahan. Lahan untuk peternakan menurut mereka, tak bisa digunakan untuk membangun kota. Mereka meminta Rajneeshpuram dibongkar.

Para pengikut Osho lantas melawan dengan cara membeli properti yang ada di Antelope yang memang dijual. Dalam waktu singkat, mereka pun menguasai Antelope. Namun kejadian ini membuat konflik semakin memanas.

Dalam salah satu wawancara di televisi waktu itu, Ma Anand Sheela, sekretaris pribadi Osho sekaligus orang yang menjalankan keseluruhan operasi Rajneeshpuram, ditanya pendapatnya tentang niat Thousand Friends of Oregon yang ingin membongkar kota yang baru saja dibangunnya.

“Bagus. Mereka boleh datang. Aku persilakan. Aku akan berdiri tepat di tengah jalan. Kalau mereka mau tabrak aku, itu pilihan mereka. Aku akan mencat buldozer mereka dengan darahku. Dan aku akan merasa bangga tergilas di bawah buldozer itu!” tegasnya.

Ucapan Sheela mencerminkan aksi nekat para pengikut Osho dalam beberapa tahun ke depan. Namun, semua itu baru mulai terjadi setelah hotel milik komunitas Osho yang terletak di Portland, Oregon, dibom oleh orang tak dikenal. Osho yang marah pun menegaskan bahwa ia tidak mengikuti ajaran nir-kekerasan. Komunitas Osho pun akhirnya membentuk polisi dan pasukan militernya sendiri, lengkap dengan senjata api AK-47 yang digunakan untuk menakuti warga sekitar.

Eskalasi dramatik film ini terus meningkat hingga pada terjadinya konflik internal di komunitas Osho. Ma Anand Sheela dibantu Ma Shanti mencoba membunuh Swami Devaraj, atau dr George Meredith, dokter pribadi Osho. Percobaan pembunuhan ini gagal, yang memaksa Sheela dan 20 orang pengikut setianya melarikan diri dari Rajneeshpuram. Kejadian ini membuat Osho murka, sampai-sampai menyebut Sheela, orang yang pernah menjadi ‘tangan kanannya’ sebagai pelacur yang sempurna.

Lewat satu kesempatan di televisi, Sheela menyebut Osho orang yang jenius namun mengeksploitasi banyak orang, memanfaatkan emosi dan kelemahan mereka. Ia juga menyebut Osho sesungguhnya tidak peduli dengan pencapaian spiritual murid-muridnya. Ia tegas menyebut Osho sebagai penipu.

Salah satu adegan dramatis ada di episode keenam, ketika Osho akhirnya ditangkap polisi saat keluar dari jet pribadinya di Charlotte Douglas International Airport tahun 1985. Osho yang diketahui membawa uang $55.000, senjata api, dan kotak berisi perhiasan/jam mewah ditangkap bersama 6 orang pengikutnya. Osho sendiri mengaku tidak bersalah, dan menuduh Ma Anand Sheela yang melakukan berbagai tindak kriminal. Sheela yang mengungsi ke Jerman lalu ditahan di penjara Oregon, AS, bersama dua pengikutnya. Sementara Osho dideportasi dan terpaksa kembali ke India hingga ia tutup usia di tahun 1990, diduga karena overdosis. Rajneeshpuram pun ditinggalkan para pengikut sang Bhagwan.

Bagi pengikutnya yang masih hidup hingga saat ini, tentulah Osho bukan penipu atau pelaku kriminal. Mereka seharusnya percaya dengan ucapan Osho sendiri yang mengatakan bahwa ia telah tercerahkan. Komunitas Osho pun kini eksis di beberapa negara di dunia, mencoba menyebarkan gagasan dan pemikiran sang guru yang revolusioner.

Tentunya, secara umum, para pengikut Osho di masa kini tak akan menyampaikan berbagai kontroversi yang dimuat dalam film Wild Wild Country, saat mereka mencoba mengenalkan ajaran Osho pada publik. Bisa jadi mereka justru tidak tahu kontroversi yang menyelimuti sosok Osho.


 

Justru, di beberapa web terkait Osho pun, terlihat adanya beberapa klaim sepihak untuk kepentingan promosi ketokohan Osho. Seperti misalnya di oshonews.com muncul hoaks bahwa Karmapa XVI (1924-1981), salah satu tokoh penting Buddhis Tibetan, pernah menyebut Osho sebagai seorang Buddha hidup. Sementara, di oshoworld.com muncul artikel yang menyebut Osho adalah Buddha Maitreya.

Untuk mengenal dan mempelajari sosok Osho, akan lebih fair bila menyimak juga berbagai sumber di luar komunitas Osho. Film Wild Wild Country adalah salah satu acuan yang tepat bagi orang awam untuk memahami kultus Osho dan komunitasnya secara objektif.

The post Wild Wild Country, Dokumenter Apik yang Mengungkap Kultus Osho appeared first on BuddhaZine.

Curhat Seorang Sahabat

$
0
0

“Braaak ….!!!,” aku menutup pintu dengan keras. Aku sendiri terkaget dengan dentuman suara pintu, untung di rumah tidak ada siapa-siapa. Suamiku sedang pergi ke bengkel motor, sementara Marsha putriku sedang bermain ke rumah tetangga.

“Maaf Mei, minggu ini aku tidak ke vihara …” jawab Shania via WA. Itu yang membuatku jadi emosi. Sebenarnya aku tidak boleh emosi, hanya saja akhir-akhir ini aku sedang memiliki masalah.

Shania adalah teman curhat-ku. Sudah tiga minggu Shania dan Syena putrinya tidak ke vihara. Dengan kabar via WA tadi, tepat sebulan Shania tidak ke vihara. Akhir-akhir ini, Shania sekeluarga pergi menjenguk mamanya yang sakit di luar kota. Iya, sebenarnya aku tidak berhak marah.

Entah mengapa, akhir-akhir ini vihara semakin sepi. Anak-anak SMB juga semakin sedikit, entah apa yang salah.

*   *   *

Senin pagi setelah urusan rumah beres, aku sempatkan main ke rumah Shania. Kebetulan sekolah libur, jadi Marsha bisa bermain dengan Syena, aku bisa ngobrol dengan Shania.

Shania teman satu kompleks denganku, hanya berbeda blok. Rumah Shania di blok paling belakang, sedang aku di depan, dekat gerbang masuk kompleks. Dari ujung ke ujung, aku harus naik motor kalau ingin berkunjung ke rumah Shania.

*   *   *

“Mei, aku bingung harus mulai cerita dari mana,” Shania memulai pembicaraan. Wah … seharusnya aku yang mau curhat, eh keduluan Shania yanag curhat.

“Cerita saja, ada masalah apa? Eh iya, gimana kabar Mama?” tanyaku.

“Sekarang sudah mendingan, aku bukan mau cerita soal Mama,” kata Shania. “Hmmm …,” Shania berhenti sejenak. “Aku ingat Dhammadesana Bhante. Kata Bhante, agama mana pun mengajarkan kebaikan. Kita pindah dan jadi manusia yang lebih baik itu lebih bagus daripada di agama ini tapi perilaku kita buruk,” Shania berhenti lagi. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.

Aku mulai menebak ke arah mana pembicaraannya. “Ah … ini tentu tentang Rima, adik Shania yang pacaran dengan pria beda keyakinan. Ini artinya Rima akan segera menikah dan pindah keyakinan,” pikirku.

“Oh … Rima akan segera menikah dan pindah keyakinan ya?” kataku santai tapi dengan penuh keyakinan.

“Oh … bukan!” bantah Shania. “Meilani tentu sudah tahu aku dan suami juga beda keyakinan,” kata Shania. Saat Shania menyebut nama lengkapku, itu artinya ia minta perhatian khusus dariku. Aku duduk lebih tegap, siap menerima kejutan apa yang akan diucapkannya. Sebenarnya aku bisa menerka ke mana arah pembicaraannya, tapi hatiku menyangkal.

“Ko Simon sudah coba mengalah dan ikut pujabakti di vihara. Tapi ia kecewa dengan sikap umat di vihara. Apalagi saat ia tidak ikut pujabakti, ia datang hanya untuk menjemputku dan Syena. Tak seorang pun yang menyapanya. Ia berdiri diam mematung, sementara ada beberapa umat hilir mudik di sekitarnya. Tidak ada yang menyapanya hingga aku dan Syena selesai pujabakti,” Shania diam sejenak.

“Mei ingat ‘kan saat aku sakit DBD? Dua minggu aku tidak ke vihara, tak seorang pun umat Buddha yang datang menjengukku kecuali kamu,” lanjut Shania.

Aku terduduk lemas, meski Shania belum menyelesaikan ceritanya. Ini artinya Shania akan ikut agama suaminya. Beberapa kisah serupa juga aku alami, seolah film yang diputar ulang secara cepat.

Cici-ku yang tinggal di kota lain pernah mengeluhkan hal sama. Ia dan teman-teman dari orangtua anak SMB menjadi panitia pembuatan parsel Waisak. “Kami dua kali kumpul di vihara. Pertama rapat menentukan barang apa yang akan jadi isi parsel, siapa yang bertugas membungkus parsel, siapa bagian pemasaran, dan pertemuan kedua mulai mengerjakan parsel.

Tahu nggak waktu pertemuan ketiga, rapat untuk evaluasi, menghitung laba penjualan, dan pembubaran panitia. Banyak dari kami tidak bisa hadir karena anak-anak sedang ujian. Ketua panitia menulis di group WA, tiba-tiba mengundang Sonny, arsitek yang baru lulus S2 dari universitas luar negeri untuk ikut rapat. Tahu nggak rapatnya di mana? Di restoran, tentu saja sambil makan-makan! Bukan hanya Sonny yang diundang tapi juga istri dan anaknya.

Apa urgensi-nya mengundang Sonny dan keluarganya? Panitia parsel bukan, ahli keuangan juga bukan. Sonny aktif di vihara dan anaknya aktif di SMB? Tidak, ia umat kapal selam. Mungkin karena ia orang kaya dan lulusan luar negeri,” curhat Cici-ku penuh emosi.

Lain lagi kisah sahabatku nun jauh di seberang pulau. “Waktu itu ada acara Kemah Dhamma untuk anak SMB. Entah mengapa tahun itu tidak ada pengumuman di group WA. Begitu aku WA japri ke Cici Pembina SMB, kapan Kemah Dhamma diadakan dan kapan pendaftaran dibuka? Tahu apa jawabnya?” cerita Diana, sahabatku.

“Aduh maaf Cici, peserta Kemah Dhamma sudah penuh.”

“Lho, kok bisa? ‘Kan belum pernah diumumkan kapan pelaksanaannya, di mana lokasinya, kapan pendaftaran dibuka?”

“Iya Cici. Belum diumumkan, tapi sudah banyak yang mendaftar. Yang mendaftar sudah melebihi kuota.”

“Siapa saja yang terdaftar sebagai peserta?”

Cici Pembina SMB mengirimkan daftar peserta.

“Astaga …,” aku menjerit dalam hati. “Ada beberapa nama yang sama sekali tidak aktif di SMB tapi tercatat sebagai peserta. Dari mana ia mendapat info pelaksanaan Kemah Dhamma ini? Mengapa bukan anak-anak SMB yang aktif yang seharusnya diprioritaskan?”

“Di lain kesempatan, anak-anak yang tidak rutin ikut SMB, begitu juga orangtuanya, jarang ikut pujabakti di vihara. Eh… pas ada acara outing anak-anak SMB, anak-anak ini, kedua orangtuanya, dan dua orang bibinya ikutan. Ini acara anak SMB, acara untuk anak-anak. Kalau pun bukan anak-anak, paling ortu anak SMB yang ikut. Sekali lagi, ini acara SMB, pesertanya dipungut biaya murah, untuk intern, bukan tour and travel sehingga siapa pun boleh ikutan. Kasihan anak lain yang ingin ikut tapi terlambat daftar dan tidak bisa ikut karena kuota terbatas. Aku tak tau ini keputusan Cici Pembina atau ada intervensi dari orang yang berkuasa,” begitu curhat Diana, sahabatku nun jauh di seberang pulau.

“Mei …, kok melamun sih?” suara Shania membuyarkan lamunanku.

“Oh maaf. Tadi kamu cerita sampai mana?” aku berusaha kembali ke pembicaraan kami.

“Aku sudah memutuskan untuk ikut keyakinan suamiku. Maaf ya …, mungkin ini mengecewakanmu. Tapi kuakui, memang sambutan umat di vihara jauh dibandingkan tempat ibadah tetangga. Aku beberapa kali ikut suami ke rumah ibadahnya, aku merasa dimanusiakan. Aku disapa, diajak ngobrol dengan wajah penuh senyum,” kata Shania dengan berkaca-kaca.

Aku hanya mengangguk lalu memeluk Shania. “Shania, kamu tetap sahabatku,” ucapku sambil menahan air mata yang akan menetes.

*   *   *

Catatan: Cerpen ini diangkat dari curhat seorang pembaca yang tak ingin disebutkan namanya. Penulis percaya, kisah seperti ini bukan hanya terjadi di vihara. Hal ini dapat terjadi di mana pun. Curhat ini merupakan sebagian dari masalah yang ada dan menjadi masukan bagi kita untuk introspeksi. Hal ini menjadi PR bagi kita semua.

The post Curhat Seorang Sahabat appeared first on BuddhaZine.

Sugeng Tindak Suprapto Suryodharmo

$
0
0

Umat Buddha Indonesia kehilangan sosok seniman buddhis penuh dedikasi, Suprapto Suryodharmo, pencipta Wayang Buddha meninggal dunia di tanah kelahirannya, Solo, Minggu (29/12) dini hari pukul 01.45 WIB. Mbah Prapto – sapaan akrab Suprapto Suryodharmo – dikabarkan meninggal akibat serangan jantung, ia sempat dirawat di rumah sakit dr. Oen selama beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir.

“Sekitar jam 01:45 di RS dr. Oen Bapak Prapto dipanggil kembali ke rumah Yang Maha Pencipta. Saya sama Mbak Melati dan Galih bersama beliau saat pernapasan terakhirnya,” tulis Diane Butler, rekan seniman Mbah Prapto, kepada BuddhaZine melalui pesan singkat.

Mbah Prapto lahir di Surakarta pada tahun 1945. Sejak kecil Mbah Prapto memang sudah gemar olah jiwa dan raga. Gerak tubuh dipelajari Mbah Prapto dari menari tari klasik Jawa dan mengikuti seni bela diri seperti pencak silat dan kungfu. Sedangkan seni olah jiwa didapat dari ayahnya yang menganut aliran Kejawen melalui laku prihatin, relaksasi Jawa (sumara).

Pada tahun 1970-an Mbah Prapto mulai mendalami gerak ekspresi bebas. Namun dalam perjalanan waktu, Mbah Prapto merasa ada kejanggalan dalam dirinya, sehingga ia harus mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Dalam proses pencariannya itu, Ia bertemu dengan ajaran Buddha saat mengikuti meditasi vipassana di bawah bimbingan Bhante Jinaphalo.

“Pada hari terakhir vipassana, saya merasa mendadak menjadi seperti orang biasa lagi, mendadak sadar, menangis. Terus saya langsung minta ditahbiskan menjadi umat Buddha oleh Bhante Jinaphalo, dan saya ditahbiskan dengan nama Surya Dharma,” tutur Mbah Prapto kepada BuddhaZine tahun 2016 silam, di Hotel Pelataran Borobudur, Mungkid, Magelang.

Meditasi vipassana kemudian memengaruhi kreativitas Mbah Prapto dalam setiap pementasannya. Dari sana juga lahir tarian khas Mbah Prapto yang disebut sebagai Joget Amerta.

“Joget Amerta adalah bentuk dari gerak bebas, ada retret. Jadi memang gabungan vipassana bentuk meditasi Jawa (sumara) dan gerak bebas. Dilakukan di candi-candi, pasar,” katanya.

Di dunia pewayangan, Mbah Prapto juga terkenal mengenalkan jenis wayang baru yaitu Wayang Buddha. Wayang Buddha merupakan seni pertunjukan yang memadukan antara laku, mantra, dan meditasi vipassana. Sehingga dalam sebuah pertujukan seni tidak hanya menjadi sebuah tontonan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu menyampaikan pesan moral kepada penonton.

Wayang ini dicipta oleh Mbah Prapto bersama Hajar Satoto, perupa yang juga berasal dari Solo. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wayang Buddha sempat mewarnai dunia pewayangan di Indonesia, bahkan sampai dipentaskan di berbagai negara.

Pentasnya ke Jerman (bersama koreografer Sardono W Kusuma) dalam Festival Pantomim Internasional tahun 1982 mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki pendekatan gerak bebas, sama dengan dirinya. Setiap tahun sejak lawatannya yang pertama itu, Mbah Prapto terus-menerus diundang untuk memberikan workshop dan mementaskan jogetnya di Eropa, Australia, Filipina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat.

Ketika jaringannya mulai tersebar di banyak negara, tahun 1986 ia mendirikan Padepokan Lemah Putih, sebuah wadah untuk menampung murid-muridnya. Di padepokan itulah kemudian lahir komunitas Sharing Movemen. Istilah ini untuk menyebut teknik mengajar Mbah Prapto yang lebih banyak sharing.

Mbah Prapto meninggal di usia 74 tahun. Jenazahnya kini disemayamkan di Rumah Duka Thiong Ting, Jebres, Solo. “Senin jam 12:00 WIB, akan disemayamkan di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo. Kemudian diberangkatkan ke Delingan, Karanganyar untuk dikremasi,” tulis Diane Butler.

Selanjutnya, jenazah akan dibawa ke Delingan untuk dikremasi. Abu Mbah Prapto akan dimakamkan di samping makam istirnya di Tempat Pemakaman Umum Bonoloyo, Solo, Jawa Tengah.

The post Sugeng Tindak Suprapto Suryodharmo appeared first on BuddhaZine.

Zen di dalam Drama Keluarga

$
0
0

Jika Anda sudah merasa tercerahkan, cobalah hidup bersama keluarga Anda. Begitulah kata-kata seorang Zen master terhadap muridnya, setelah ia mendapat pencerahan. Hidup di dalam keluarga tak selalu seperti di dalam surga. Salah kata dan salah sikap bisa memicu konflik panjang yang menyesakkan jiwa.

Kita semua lahir di dalam keluarga. Keluarga bisa menjadi sumber kebahagiaan yang besar. Namun, ia juga bisa menciptakan derita tiada tara. Bahkan, menurut data yang dikumpulkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) pada 2017, dari seluruh perempuan yang menjadi korban pembunuhan, 58% di antaranya terbunuh oleh anggota keluarganya sendiri.

Suami dan istri yang melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik, adalah sumber penderitaan besar bagi yang mengalaminya. Kekerasan menjadi jauh lebih menyakitkan, ketika dilakukan oleh orang terdekat. Kekerasan orangtua terhadap anak, baik verbal maupun fisik, menyisakan trauma besar yang mempengaruhi hidup anak tersebut selanjutnya. Pengalaman kekerasan akan mendorong orang untuk menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.

Drama keluarga adalah konflik yang terjadi, akibat perbedaan nilai, ataupun krisis komunikasi yang ada di dalam keluarga. Drama keluarga merentang luas, mulai dari cekcok ringan, sampai dengan kekerasan yang berujung pada kematian. Perbedaan nilai kerap lahir dari sikap otoriter orangtua yang memaksakan nilainya kepada anak. Jika tak dikelola dengan tepat, konflik atas perbedaan nilai bisa memecah keluarga yang ada.

Drama juga muncul, akibat luka lama yang menganga. Konflik di masa lalu bisa menjadi sumber konflik di masa kini dan masa depan, jika maaf tak terucap, dan pengampunan tak diberikan. Persoalan kecil bisa memicu cekcok besar yang mengguncang seluruh keluarga. Luka yang menganga akan berkembang menjadi trauma, serta membuat komunikasi antarkeluarga menjadi terhalang.

Akar drama keluarga

Setidaknya, ada tiga hal yang memicu lahirnya drama keluarga. Pertama adalah masalah komunikasi. Salah kata bisa berujung pada cekcok raksasa. Seringkali, hal ini tak terhindarkan di dalam keluarga yang tinggal bersama setiap harinya.

Terkadang, diam bisa menjadi jalan keluar. Namun, dalam keadaan tertentu, diam bisa menciptakan salah paham. Konflik pun membesar, akibat diguyur oleh salah paham. Komunikasi dengan kejernihan dan kesadaran memainkan peran penting di sini.

Kedua adalah emosi yang menutupi kejernihan pikiran. Pikiran dan emosi memang selalu berubah. Ada kalanya mereka mereka tenang dan damai. Namun, tak jarang juga, emosi dan pikiran begitu mengguncang batin, sehingga orang kerap kali marah ataupun sedih tanpa alasan yang berarti. Ini bisa memicu konflik di dalam keluarga.

Ketiga adalah kesalahpahaman tentang arti pikiran dan emosi di dalam diri. Emosi adalah sesuatu yang alami di dalam diri manusia. Emosi adalah pikiran dengan daya rasa yang lebih kuat. Ia bisa membuat jantung bergetar, dan badan berkeringat. Namun, inti keduanya adalah sama.

Emosi harus dipahami sebagai kabut yang datang dan pergi. Ia bagaikan tamu yang numpang minum teh. Biarkan ia datang, dan biarkan ia pergi. Yang penting, kita tidak tersesat.

Peran Zen

Bagaimana supaya kita tidak tersesat di dalam emosi dan pikiran yang muncul? Caranya sederhana, yakni jangkarkan perhatian pada kelima indera, entah penciuman, sensasi kulit ataupun pendengaran. Dengan berjangkar pada panca indra, kita ditarik untuk hidup disini dan saat ini. Kita pun tidak hanyut ke dalam emosi dan pikiran yang muncul.

Ini adalah latihan seumur hidup. Tidak ada yang sungguh sempurna menguasainya. Dengan berjalannya waktu, perhatian kita akan secara alami tertuju pada panca indra. Kita pun menjadi jernih, karena tetap berjangkar di saat ini, walaupun pikiran dan emosi menerpa, seperti badai.

Dengan kejernihan, kita bisa melihat keadaan sebagaimana adanya. Kejernihan ini amatlah penting untuk membuat keputusan yang tepat. Kejernihan juga berarti kesadaran akan apa yang terjadi disini dan saat ini, tanpa hanyut ke dalamnya. Inilah inti dari meditasi, dan ini juga merupakan jantung hati dari Zen.

Drama dan kehidupan

Berbagai drama keluarga juga lalu bisa dilihat sebagaimana adanya. Akar masalah akan terlihat. Komunikasi juga bisa dibangun dengan berpijak pada kejernihan tersebut. Jalan keluar dari masalah pun bisa terlihat, dan kemudian menjadi bahan diskusi bersama.

Kita pun bisa bertindak tepat. Ada waktunya, kita harus bertindak lembut penuh kasih. Ada waktunya, kita perlu bersikap tegas, dan mungkin galak. Ini semua amat tergantung pada keadaan, sekaligus kejernihan kita untuk membacanya.

Menanggapi drama keluarga, ada waktunya, kita harus diam. Kita mendengar, dan melakukan refleksi atas diri sendiri. Namun, ada waktunya, kita harus bersuara. Kejernihan pula yang menentukan hal ini.

Drama keluarga tidak harus menjadi masalah. Ia bisa menjadi warna warni yang memperkaya kehidupan. Ia bisa menjadi peluang belajar untuk melatih kesadaran dan kejernihan yang kita miliki. Dipahami seperti ini, drama keluarga adalah sebuah permainan yang mengasyikan, asal kita tidak hanyut di dalamnya.

The post Zen di dalam Drama Keluarga appeared first on BuddhaZine.

Selamat Tahun Baru 2564!

$
0
0

“Hawa-hawa akhir” tahun sepertinya sudah mulai berembus. Tanpa terasa, sebentar lagi, kita akan menyambut tahun yang baru. Hal ini tentu membawa kegembiraan dan harapan. Kita tentu berharap bahwa akan lebih banyak lagi berkah yang diperoleh pada tahun berikutnya.

Harapan yang sama juga berlaku untuk semua “jenis” tahun baru. Maklum, sistem penanggalan yang dikenal oleh masyarakat berbeda-beda. Ada yang menggunakan sistem penanggalan Masehi, Hijriyah, lunar, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tahun barunya pun berlainan waktunya.

Sebagai umat Buddha, kita mengenal sistem penanggalan buddhis. Berbeda dengan penanggalan Masehi, penanggalan buddhis memang mempunyai perhitungan tersendiri. Sebagaimana diketahui, penanggalan ini dihitung setelah Buddha parinibbana. Sejak saat itu, penanggalan ini dimulai dan setiap tahun, diperingati dalam Hari Raya Waisak.

Kalau tahun ini memasuki angka 2563, berarti 2563 tahun sudah berlalu setelah Buddha mangkat. Untuk sebuah ajaran, itu adalah waktu yang sangat panjang. Jarang-jarang ada sebuah ajaran yang terus dipraktikkan selama ribuan tahun, seperti ajaran Buddha!

Hal itu bisa terjadi bukan tanpa sebab. Kalau membaca Kitab Buddhavamsa, kita akan mengetahui bahwa ajaran Buddha Gotama memang lebih “awet” daripada Buddha-Buddha lainnya.

Dalam sebuah kesempatan, Buddha pernah menyampaikan bahwa ajaran yang Beliau babarkan paling lama akan bertahan hingga 5.000 tahun. Selebihnya ajaran Beliau akan pudar, tertutup, sebelum akhirnya ditemukan kembali oleh Buddha berikutnya.

Alasan ajaran Buddha bisa bertahan lama ialah karena Beliau menjelaskan ajarannya dengan sangat rinci. Jika kita merujuk pada kitab angutara nikaya, akan terlihat bahwa Buddha mengajarkan Dhamma secara runtut, mendetil, dan bertahap.

Hal itu mesti dilakukan karena Buddha muncul ketika umat manusia umumnya masih diselimuti kekotoran batin yang tebal. Kegelapan batin memang bisa menjadi dinding, yang menghalangi seseorang untuk menyadari Dhamma yang sesungguhnya.

Hanya saja, ketebalan kekotoran batin masing-masing orang berbeda. Ada yang kotoran batinnya setipis “triplek”, ada pula yang setebal “beton”.

Untuk orang yang kekotoran batinnya sedikit, Buddha biasanya hanya akan menjelaskan ajarannya secara singkat. Buddha merasa bahwa lewat uraian pendek, orang tersebut akan langsung memahami maksud Beliau.

Bhante Bahiya bisa menjadi contoh untuk kasus tersebut. Sewaktu Bhante Bahiya datang menemui Buddha untuk meminta ajaran, Buddha hanya menyampaikan sebuah nasihat pendek, hanya beberapa kalimat saja. Namun, dalam waktu singkat, Bhante Bahiya dapat langsung mengerti penjelasan Buddha, dan merealisasi pencerahan.

Namun, bagi orang yang punya setumpuk kekotoran batin, uraian panjang umumnya diberikan. Ibarat Standard Operating Prosedure (SOP), semakin lengkap suatu uraian, semakin mudah dipahami isinya. Dengan penjelasan yang detil demikian, Buddha berharap orang tersebut akan lebih mudah menjalankan dan menyelami Dhamma setahap demi setahap.

Makanya, jangan heran, setelah parinibbana, Buddha mewariskan banyak sekali ajaran. Ajaran ini kemudian dirawat oleh para siswa Buddha dari berbagai macam mazhab, dan diteruskan turun-temurun hingga sekarang.

Sebelum didokumentasikan dalam bentuk tulis, dulunya, ajaran ini disampaikan secara lisan. Para siswa Buddha terus mengulang dan mengingatnya di dalam pikiran sebelum selanjutnya menyebarkannya ke umat lain lewat ceramah.

Biarpun sekarang semua ajaran Buddha sudah ditulis, pembabaran Dhamma secara lisan masih terus dilakukan. Seperti kata Buddha, sejak Beliau membabarkan Dhamma pertama kali kepada lima petapa sekitar 26 abad silam, roda Dhamma telah berputar, dan akan terus berputar puluhan abad berikutnya!

Pada tahun depan, ajaran Buddha memasuki tahun ke 2564. Di tengah pelbagai persoalan yang datang, seperti penurunan jumlah umat Buddha karena pindah keyakinan, atau konflik dalam organisasi buddhis, kita tentu berharap ajaran Buddha bisa terus lestari agar membawa berkat untuk semua makhluk.

Selamat tahun baru 2564 Buddhis Era!

The post Selamat Tahun Baru 2564! appeared first on BuddhaZine.

Meditasi di Gua Meditasi Dusun Guwo, Jepara

$
0
0

Jum’at (27/12), sejak matahari belum terbit ibu-ibu sudah sibuk mempersiapkan makanan lengkap dengan lauk dan sayur untuk kemudian di bawa ke tempat pelatihan. Di tempat pelatihan meditasi, mereka menata dengan rapi makanan. Mulai pukul empat para remaja putri, yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah SMP hingga SMA, sudah mulai bangun dan membersihkan diri, mengenakan jubah putih, berjalan menuju  satu tempat, berjajar di depan rupang Buddha di sebuah goa kecil.

Para remaja yang kurang lebih tiga puluh anak tersebut sedang belajar untuk menata pikiran mereka dalam sesi meditasi pagi. Belajar untuk diam dalam keheningan. Mereka sedang mengikuti pelatihan atthasila selama kurang lebih enam hari sejak tanggal 24 hingga tanggal 30 Desember 2019 di Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kec. Donorojo, Kab. Jepara.

Berbeda dengan pelatihan sebelumnya, kali ini peserta dari luar Jepara nampak lebih banyak di antaranya dari Kecamatan Kaloran, Kab. Temanggung, Kec. Sumowono dan Kec. Salatiga, Kab. Semarang.

“Seneng banget, selain bisa ikut latihan juga tambah banyak kenalan. Memang saya pernah ikut latihan di tempat lain, tapi di sini saya baru pertama kali. Tempatnya lebih menyenangkan dan latihannya juga lebih ketat. Kalau nanti ke depan ada pelatihan di sini lagi saya pengin ikut lagi,” ungkap pelajar SMK SPP Kanisius Ambarawa, Pargiyatun, peserta asal Dusun Semanding, Kab. Semarang.

“Lebih seneng lagi kalau pas sesi materi dari atthasilani dan sesi ulasan Dhamma dari Bhante, tapi kalau pas meditasi saya suka ngantuk,” imbuhnya disertai tawa kecil.

Beberapa peserta pun ada yang sudah kesekian kalinya mengikuti pelatihan namun tak pernah jenuh untuk ikut latihan lagi, salah seorang peserta mengakui selalu mendapatkan pengalaman berbeda dari setiap latihan yang mereka ikuti.

“Ya memang saya selalu ikut setiap ada pelatihan di sini, tapi saya selalu mendapatkan hal-hal berbeda dalam setiap latihan. Yang jelas bertambah teman karena setiap latihan selalu ada peserta baru dari tahun ke tahun dan juga ada tambahan sesi yang sebelumnya belum ada. Saya juga ingin semakin memperkuat keyakinan saya terhadap Buddhadhamma dan menambah ilmu keagamaan saya. Apalagi setiap ada pelatihan ada pengisi materi yang berbeda-beda jadi kita bisa belajar dari banyak guru di sini. Dan tambah asyik lagi ada kali ini Dhammayatranya agak jauh, ke Kopeng Salatiga,” pengakuan Siti Kartika, peserta asal Dusun Guwo, pelajar di SMA 1 Donorojo.

Bangun pagi, meditasi, baca paritta, mendengarkan ulasan Dhamma dan menjalankan atthasila, itulah yang mereka lakukan setiap harinya selama mengikuti pelatihan. Hujan yang turun di sela-sela waktu latihan pun tak menyurutkan semangat mereka untuk menggembleng kedispilinan dan cara hidup sesuai tuntunan ajaran Buddha.

Bhante Khemadhiro dibantu oleh Samanera Dilarjaya membimbing sesi meditasi dan baca paritta serta memantau kedisiplinan para peserta. Sementara dua atthasilani dari STAB Kertarajasa Batu, Malang yaitu Athasilani Upekhadasini dan Athasilani Khantidasini membantu mengisi sesi materi Dhamma.

Pemandangan lain di balik kelancaran latihan ada beberapa ibu-ibu yang tak pernah lelah  mempersiapkan tempat latihan. Sama sibuknya dengan peserta, mereka sudah bangun bahkan sebelum para peserta bangun, mengecek segala keperluan latihan dan selalu siaga kalau-kalau ada peserta yang membutuhkan bantuan.

“Pagi hari sebelum para peserta bangun saya dengan ibu-ibu yang lain harus sudah mempersiapkan keperluan mereka mulai dari membersihkan kamar mandi dan memastikan air di bak mandi tersedia kemudian membersihkan area latihan. Menjelang waktu sarapan dan makan siang kami membantu mempersiapkan tempat makan dan mempersiapkan minuman untuk peserta, nanti pas wktu istirahat malam ya kami membereskan apa saja yang perlu dibereskan setelah dipakai selama latihan siang hari,” tutur Panisah, salah satu relawan.

Sekitar pukul 10.30 WIB para ibu-ibu lain mulai nampak beriringan menyusuri sebuah jalan setapak menuju lokasi latihan. Mereka berduyun-duyun membawakan makanan untuk makan siang para peserta. Sungguh satu wujud dukungan dalam melestarikan dan mengembangkan Buddhadhamma yang patut mendapatkan apresiasi.

The post Meditasi di Gua Meditasi Dusun Guwo, Jepara appeared first on BuddhaZine.


Mengenang Mbah Prapto, Sosok Seniman Buddhis Penuh Dedikasi

$
0
0

Umat Buddha Indonesia kehilangan sosok seniman Buddhis penuh dedikasi, Suprapto Suryodharmo, pencipta Wayang Buddha meninggal dunia di tanah kelahirannya, Solo, Minggu (29/12) dini hari pukul 01.45 WIB. Mbah Prapto – sapaan akrab Suprapto Suryodharmo – dikabarkan meninggal akibat serangan jantung, ia sempat dirawat di rumah sakit dr. Oen selama beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir.

Mbah Prapto lahir di Surakarta pada tahun 1945. Sejak kecil Mbah Prapto memang sudah gemar olah jiwa dan raga. Gerak tubuh dipelajari Mbah Prapto dari menari tari klasik Jawa dan mengikuti seni bela diri seperti pencak silat dan kungfu. Sedangkan seni olah jiwa didapat dari ayahnya yang menganut aliran kejawen melalui laku prihatin, relaksasi Jawa (sumara).

Pada tahun 1970-an Mbah Prapto mulai mendalami gerak ekspresi bebas. Namun dalam perjalanan waktu, Mbah Prapto merasa ada kejanggalan dalam dirinya, sehingga ia harus mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Dalam proses pencariannya itu, Ia bertemu dengan ajaran Buddha saat mengikuti meditasi vipassana di bawah bimbingan Bhante Jinaphalo.

“Pada hari terakhir vipassana, saya merasa mendadak menjadi seperti orang biasa lagi, mendadak sadar, menangis. Terus saya langsung minta ditahbiskan menjadi umat Buddha oleh Bhante Jinaphalo, dan saya ditahbiskan dengan nama Surya Dharma,” tutur Mbah Prapto kepada BuddhaZine tahun 2016 silam, di Hotel Pelataran Borobudur, Kota Mungkid, Magelang.

Meditasi vipassana kemudian mempengaruhi kreativitas Mbah Prapto dalam setiap pementasannya. Dari sana juga lahir tarian khas Mbah Prapto yang disebut sebagai Joget Amerta.

“Joget Amerta adalah bentuk dari gerak bebas, ada retret. Jadi memang gabungan vipassana bentuk meditasi Jawa (sumara) dan gerak bebas. Dilakukan di candi-candi, pasar,” katanya.

Di dunia pewayangan, Mbah Prapto juga terkenal mengenalkan genre wayang baru yaitu Wayang Buddha. Wayang Buddha merupakan seni pertunjukan yang memadukan antara laku, mantra, dan meditasi vipassana. Sehingga dalam sebuah pertujukan seni tidak hanya menjadi sebuah tontonan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu menyampaikan pesan moral kepada penonton.

Wayang ini diciptakan oleh Mbah Prapto bersama Hajar Satoto, perupa yang juga berasal dari Solo. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wayang Buddha sempat mewarnai dunia pewayangan di Indonesia, bahkan sampai dipentaskan di berbagai negara.

Pentasnya ke Jerman (bersama koreografer Sardono W Kusuma) dalam Festival Pantomim Internasional tahun 1982 mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki pendekatan gerak bebas, sama dengan dirinya. Setiap tahun sejak lawatannya yang pertama itu, Mbah Prapto terus-menerus diundang untuk memberikan workshop dan mementaskan jogetnya di Eropa, Australia, Filipina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat.

Ketika jaringannya mulai tersebar di banyak negara, tahun 1986 ia mendirikan Padepokan Lemah Putih, sebuah wadah untuk menampung murid-muridnya. Di padepokan itulah kemudian lahir komunitas Sharing Movemen. Istilah ini untuk menyebut teknik mengajar Mbah Prapto yang lebih banyak sharing.

The post Mengenang Mbah Prapto, Sosok Seniman Buddhis Penuh Dedikasi appeared first on BuddhaZine.

Belajar dari Bhutan: Menemukan Rahasia Kebahagiaan Sejati

$
0
0

Belum lama ini yaitu tanggal 22 Desember 2019, Komunitas Namcho Semarang mengadakan serangkaian acara menjelang akhir tahun, di CES Hwa Ing, Purwodinatan, Semarang. Salah satunya adalah Dharmadesana bertajuk “Menemukan Rahasia Kebahagiaan Sejati”, yang dibawakan oleh Lopon Dorji Sherab dan Lopon Sangay Chopel, biksu Vajrayana dari Bhutan.

Acara ini diawali dengan presentasi “Rahasia Bhutan menjadi negara paling bahagia”, yang disampaikan oleh Catur Kumala Dewi, seorang praktisi Namcho yang sudah beberapa kali berkunjung ke Bhutan. Sebagai moderator dan pengantar acara ini, Catur menjelaskan “Di Bhutan, yang lebih penting ditekankan adalah GNH (Gross National Happiness) daripada GNP (Gross National Product) menjadi dasar perkembangan Bhutan.” Presentasi mengenai Bhutan ini disampaikan secara interaktif bersama Lopon Dorji Sherab dan Lopon Sangay Chopel.

Lopon Dorji Sherab juga menyebutkan bahwa yang membuat orang Bhutan bahagia adalah ajaran Buddha. Salah satu contoh adalah ajaran mengenai karma. Orang Bhutan memandang orang kaya dan miskin itu sesuai karma mereka masing-masing, jadi tidak perlu untuk iri hati dan gusar satu sama lain dalam melihat kekayaan orang lain. Selain itu juga diajarkan untuk tidak terlalu melekati sesuatu secara berlebihan. Itu yang membuat kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak terlalu jauh di Bhutan. Masyarakat hidupnya selalu puas dan merasa cukup.

Bhutan juga dikelola dengan prinsip keseimbangan yang sesuai dengan ajaran Buddha. Beberapa contoh seperti memancing, berburu, dan membunuh binatang akan didenda, menebang pohon harus memiliki izin dari pemerintah, bahkan ada cerita menarik tentang pemerahan susu sapi. Jika induk sapi memiliki anak-anak sapi, maka tidak boleh puting sapi induk tersebut diperah semuanya, tapi mesti menyisakan sebagian untuk anak-anak sapi.

Di Bhutan tidak ada penjagalan, jadi binatang hidup bahagia di alam dan tidak ada kandang khusus. Prinsip keseimbangan yang lain terkait dengan pentingnya keluarga.

Pemerintah tidak akan memisahkan keluarga dalam kepentingan dinas. Misalkan pegawai negeri mendapat mutasi kerja dan mesti pindah ke kota lain, maka pemerintah memberikan kebijakan bahwa keluarganya juga harus pindah ke kota tersebut.

Lopon Dorji Sherab menjelaskan bahwa GNH memilki empat pilar penting, yaitu: pemerintahan yang bagus (good governance), pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan (sustainable and equitable socio-economic development), pelestarian dan promosi budaya (preservation and promotion of culture), dan konservasi lingkungan (environmental conservation). Suatu bukti ajaran Buddha diterapkan dalam kebijakan pemerintah, terutama komitmen pemerintah dalam mengutamakan GNH.

Di akhir sesi, Lopon Sangay Chopel menjelaskan mengenai 9 ranah GNH, meliputi: kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing), standar hidup (living standard), pemerintahan yang baik (good governance), kesehatan (health), pendidikan (education), vitalitas komunitas (community vitality), keanekaragaman dan ketahanan budaya (cultural diversity and resilience), penggunaan waktu (time use), dan keanekaragaman dan ketahanan ekologis (ecological diversity and resilience). Sembilan ranah ini menjadi indikator untuk mengukur GNH. Beberapa penerapan 9 ranah ini adalah seperti pendidikan dan layanan kesehatan yang gratis bagi orang Bhutan.

Menyimak Dharmadesana ini bukan sekadar informasi Bhutan yang dipahami sebagai Shangri-La terakhir, suatu kerajaan Buddhis yang menerapkan prinsip ajaran Buddha, tapi juga menjadi bahan refleksi untuk kita semua mengenai kebahagiaan.

Dalam menjalani hidup, terutama dalam mempraktikkan Dharma, seberapa besar kebahagiaan dari dalam kita ini? Seperti yang pernah diingatkan oleh Gyatrul Rinpoche, “Orang bijak melihat bahwa penderitaan dan kebahagiaan tergantung pada batin, sehingga mereka mencari kebahagiaan di dalam batin.”

The post Belajar dari Bhutan: Menemukan Rahasia Kebahagiaan Sejati appeared first on BuddhaZine.

Sabu-Zen: Sensasi Tanpa Adiksi

$
0
0

2020 sudah menyentuh hidup kita semua. Sejatinya, tahun memang ilusi. Ia tak sungguh ada. Matahari, planet, bulan, dan bintang tak mengenal waktu, apalagi tahun.

Namun, bagi manusia, waktu sungguh nyata. Detik dan menit bisa menjadi beda antara hidup dan mati. Waktu adalah ilusi yang menjadi nyata, persis karena pikiran manusia. Di tahun 2020 ini, kita hidup di masa yang menarik.

Kita hidup di abad kemudahan. Semua hal menjadi mudah. Semua keperluan bisa dicapai dengan hanya melakukan klik di gawai ataupun komputer. Bahkan, mencari pasangan jiwa kini dilakukan dengan mengklik foto di layar telepon seluler.

Kita juga hidup di abad sensasi. Semua orang ingin mendapat kenikmatan setiap saat, tanpa jeda. Berbagai cara dilakukan, mulai dari makan enak, belanja, bergosip, seks sampai dengan narkoba. Bahkan, sensasi dan kenikmatan dicari kerap kali dengan mengorbankan keseimbangan hidup.

Sensasi adalah kenikmatan sesaat. Panca indra kita dimanjakan oleh berbagai hal. Ia kerap datang, dan pergi setelah beberapa saat. Yang tersisa adalah rasa hampa, dan kerinduan untuk kembali merasakannya.

Manusia pemburu sensasi

Pertama, kerinduan akan sensasi membuat diri kita tak sabar. Kita menjadi rakus akan kenikmatan berikutnya. Kita dipenjara oleh kenikmatan yang kita raih dengan susah payah. Inilah salah satu dilema manusia abad 21: kita dipenjara oleh diri kita sendiri.

Dua, abad sensasi dan abad kemudahan juga membuat kita manja. Daya tahan kita menjadi lemah terhadap penderitaan. Sedikit kesulitan hidup akan membuat kita patah tak berdaya. Tak heran, kita kini menjadi spesies tukang mengeluh dan tak pernah puas, walaupun sudah mendapatkan semuanya.

Tiga, gejala kecanduan juga dapat dilihat dari sudut pandang ini. Kerinduan akan sensasi, dibarengi dengan kemanjaan kolektif, mendorong orang masuk ke dalam dunia narkoba. Gesekan dengan penegak hukum pun tak terhindarkan. Walaupun seringkali, suap dianggap menjadi jalan keluar.

Empat, kenikmatan akan selalu bermuara pada penderitaan. Itulah hukum alam yang tak akan bisa digoyang. Sensasi nikmat yang muncul akan berlalu, dan yang tersisa hanya kehampaan. Jika tak dipahami, maka keadaan hampa ini akan memperpanjang dirinya sendiri, dan menciptakan depresi.

Inilah siklus kenikmatan di dunia. Maka, selama kita mencari kenikmatan, kita akan selalu terjebak pada kehampaan. Untuk mengisi kehampaan itu, kita lalu mencari kenikmatan lainnya. Kita dipenjara oleh kerinduan untuk merasakan kenikmatan. Kita pun menderita.

Kecanduan berpikir

Kerinduan akan sensasi juga terkait dengan kecenderungan orang untuk melekat pada pikirannya. Manusia modern memang suka terjebak di dalam berpikir, ataupun menganalisis sesuatu secara berlebihan. Pendek kata, mereka diperbudak oleh pikirannya. Padahal, pikiran itu alat yang amat berguna untuk menjalani kehidupan.

Namun, ketika ia berhenti menjadi alat, dan mulai berlagak sebagai penguasa, maka segala macam masalah pun akan muncul. Masalah yang sebenarnya bagaikan bayangan, karena muncul hanya ada di kepala kita. Dalam jangka panjang, jika keadaan tetap seperti ini, orang pun bisa terjebak pada beragam bentuk penyakit mental. Penderitaan yang dirasakan amatlah besar.

Di sinilah sensasi seolah menjadi jalan keluar. Kenikmatan dicari, supaya orang bisa berjarak dari pikirannya sendiri, dan keluar dari penderitaan di kepalanya. Sebenarnya, inilah fungsi dari beragam bentuk narkoba, yakni supaya orang keluar dari pikirannya sendiri, dan hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Kerinduan akan sensasi adalah pelarian dari penjara pikiran.

Sensasi tanpa adiksi

Di titik ini, ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, sensasi tak sama dengan kebahagiaan. Kenikmatan juga bukanlah kebahagiaan. Kenikmatan akan menciptakan rasa yang berwarna, namun selalu berakhir dengan rasa hampa dan kecewa.

Dua, kebahagiaan sesungguhnya terletak pada kedamaian yang berada di latar belakang semua pikiran dan perasaan. Ia menjadi panggung dari pengalaman kita di dalam hidup. Inilah Sabu-Zen, yakni keadaan yang memberi terang dan kenikmatan, tetapi tidak membuat kecanduan. Dampak yang dihasilkan serupa, yakni energi dan terang pikiran. Namun, ia tidak memenjara batin di dalam kecanduan dalam bentuk apapun, kecuali kehidupan itu sendiri.

Tiga, kecanduan akan kehidupan membuat kita menyentuh „api“ di dalam diri kita. Terkadang, kita menemukan kedamaian. Terkadang, kita menemukan gairah untuk bertindak. Dan kehidupan itu adalah energi. Ia abadi, hanya bentuk-bentuknya saja yang berubah.

Kerinduan akan sensasi tidak akan pernah bisa terpuaskan dengan kenikmatan belaka. Ia membutuhkan sesuatu yang bersifat abadi untuk sungguh memuaskannya. Kehidupan adalah sabu alami itu sendiri. Ia memberikan api, tetapi tidak memenjara orang di dalam kecanduan. Kehidupan itu sendiri adalah “sabu-zen“.

Kehidupan ini bisa sungguh disentuh, jika kita melihat ke dalam. Inilah jalan Zen, sekaligus inti dari semua ajaran pencerahan di dunia. Dunia luar selalu berubah, dan menjebak kita di dalam tipuan kenikmatan. Namun, jika kita melihat ke dalam, kita akan menyentuh inti dari kehidupan itu sendiri. Nama lainnya beragam. Salah satunya adalah Tuhan.

The post Sabu-Zen: Sensasi Tanpa Adiksi appeared first on BuddhaZine.

Prof. Chau Ming: Mahayana adalah Tentang Kepedulian

$
0
0

Mahayana, merupakan salah satu aliran dalam agama Buddha. Aliran Mahayana lebih banyak berkembang di negara-negara Asia Timur seperti, Tiongkok, Jepang, dan Taiwan. Menurut Chen Chau Ming, seorang profesor dari Dharma Buddhis University, Malaysia, lahirnya aliran Mahayana merupakan sebuah proses sejarah. Mahayana lahir di India akibat reaksi terhadap usaha yang dianggap hanya mementingkan diri sendiri. Karena itu ajaran Mahayana fokus pada pengembangan maître karuna.

“Ajaran mendasar dalam aliran Mahayana adalah untuk menyelamatkan diri sendiri dan harus peduli dengan orang lain. Setiap orang harus bertanggung jawab teradap perbuatannya sendiri (karma) tetapi setiap orang juga harus peduli, harus mengembangkan maître karuna,” jelas dosen pengampu mata kuliah Mahayana, STAB Nalanda yang mengajar sejak tahun 1981.

Menurut Prof. Chau Ming, karena filsafat Mahayana sulit untuk dimengerti, sehingga muncul yang dinamakan upaya kausalya yaitu, sebuah metode menyampaikan ajaran yang sulit supaya lebih mudah dimengerti. “Memang filsafat Mahayana itu sulit ya, jadi para guru Mahayana sering menggunakan perumpamaan atau kisah-kisah untuk menyampaikan ajaran. Ada orang menggambarkan begini, apa itu Mahayana, sebenarnya apa sih aktualitasnya?

Upaya kausalya

“Ada 20 orang melakukan perjalanan bersama menuju suatu tempat. Mereka berjalan dari pagi hingga sore hari, tentu haus dan lapar. Pada saat itu, di tengah perjalanan dari kejauhan mereka melihat ada sumber air bersih. Tapi untuk menuju ke sana, harus menaiki bukit. Pada saat naik, ada orang berkata eh ada orang tua tertinggal di bawah, nah kita harus turun lagi untuk memapah orang tua itu untuk naik ke atas,” terang Prof. Chau Ming memberi contoh.

Kembali menjemput orang tua yang kelelahan kemudian memapah orang tua itu adalah wujud dari rasa peduli. “Rasa peduli itu harus ada, lepasnya maître karuna, Dharma Buddha itu tidak akan ada sukmanya. Harus peduli kepada orang lain dan harus peduli juga dengan persoalan sosial di masyarakat, bukan hanya menyembunyikan diri, meditasi. Apalagi di tengah-tengah masyarakat modern sekarang ini, kemiskinan, kebodohan, pengangguran kan lebih banyak kita jumpai. Melihat hal ini, dalam Mahayana kita harus berperan.”

Yang sangat dipentingkan dalam ajaran Mahayana adalah sikap peduli. Orang yang mampu harus membantu orang yang tidak mampu. Tapi kalau ada orang yang kaya raya diminta untuk membantu kemudian dia tidak bersedia membantu karena berpikir ‘ini hasil perjuangan saya selama berpuluh-puluh tahun’ secara rasional memang benar itu harta dia. “Perbedaannya kan mau ngga peduli, bagaimana mengembangkan kepedulian ini tentunya dengan cara melafalkan nama Buddha, namaskara, pujabhakti, dan samadhi. Itu semua adalah cara, yang disebut upaya kausalya sebenarnya seperti itu.

“Tapi tidak boleh berhenti pada konsep upaya kaulsaya yang seperti itu saja. Jadi jangan heran kalau ada orang datang ke vihara berpuluh-puluh tahun tapi tidak mengalami perubahan. Vegetarian berpuluh-puluh tahun, setiap pagi bangun baca doa tapi perilakunya keliatan sekali. Kita lihat ya, kenapa orang tidak bisa merubah karma buruknya, itu karena orang itu tidak mau peduli dengan orang lain, tidak mau berdana. Kemudian orang itu egois dan iri hatinya pun tinggi, hal-hal ini yang sehari-hari itu kita hadapi harus coba kita amati dan kembali melihat ke dalam diri. Tidak peduli itu siapa, guru atau pandita, umat Buddha siapa pun itu harus menerapkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-harinya,” jelasnya.

Perkembangan

Aliran Mahayana yang berkembang di masyarakat sekarang ini antara lain adalah Mahayana yang menitikberatkan pada puja, pelajaran, dan samadhi. “Sebenarnya pelajaran melakukan bakti puja dengan menyebutkan Namo Amitabha Buddhaya itu adalah metode psikologi yang baik sekali. Orang itu disuruh smerti dengan melafalkan nama Buddha agar timbul kebaikan. Tetapi karena kadang yang terlalu dititik-beratkan hanya pada upacara, akhirnya orang melupakan ajaran-ajaran yang memang sulit ya, filsafat Buddha itu memang sulit ya.

“Kemudian Mahayana Zen meditasi, bagus sekali tetapi itu juga sulit. Karena terlalu sulit sehingga biksu-biksu menggunakan kong-an. Kong-an itu dialog of the master. Contoh yang paling gampang; Seorang samanera sudah berdiam selama satu tahun di vihara. Pada suatu hari, samanera itu berkata kepada gurunya, ‘guru saya sudah tinggal di vihara ini satu tahun lebih, tapi saya tidak belajar apa-apa ya guru. Saya mau kembali saja ke rumah saya.’ Gurunya yang mendengar itu kemudian tercengang, ‘hah kamu tidak belajar apa-apa? Nyatanya waktu kami di sini, bangun pagi kamu ketemu dengan saya, kamu mengucapkan selamat pagi guru, saya juga menjawab selamat pagi. Ketika kita makan pagi bersama di sini, kamu mengangkat mangkuk dan bilang mari makan guru, saya pun menjawab, kenapa saya tidak mengajarkan apa-apa?’

“Kan ini metode kalau dilihat perkembangan sekarang, mengajar itu bukan semata-mata maembaca buku dan menghafal. Tetapi dengan contoh yang aktual. Sesungguhnya alangkah baiknya kalau orang-orang mau mempelajari filsafat atau ajaran Mahayana kemudian diterapkan dalam tindakan sehari-hari,” pungkas Prof. Chau Ming.

The post Prof. Chau Ming: Mahayana adalah Tentang Kepedulian appeared first on BuddhaZine.

Bhikkhu Hutan Bantu Relaksasi Relawan Kebakaran di Australia

$
0
0

Keberadaan para bhikkhu di markas Dinas Pemadam Kebakaran Wingello, New South Wales, Australia pada hari Selasa (7/1) adalah pemandangan tak terduga.

Orang-orang berjubah yang menetap di Vihara Hutan Sunnataram, tak terlalu jauh dari kantor pemadam kebakaran itu, ada di sana untuk menunjukkan penghargaan kepada petugas pemadam kebakaran yang telah berjuang untuk melindungi daerah tersebut.

Lantas apa bantuan yang ditawarkan para bhikkhu kepada sukarelawan dan penyintas kebakaran? Pijat atau relaksasi ala Thailand, atau Thai massage.

The Sydney Morning Herald melansir, sikap para bhikkhu yang berasal dari Thailand ini mencerminkan rasa terima kasih yang mendalam setelah sebelumnya sembilan warga Australia membantu menyelamatkan 12 anak laki-laki yang terjebak di gua Thailand yang banjir pada pertengahan 2018.

Bekerja sama dengan perwakilan pemerintah Thailand, para bhikkhu telah bergabung dengan yang lain dari seluruh Australia dan dunia dalam memberikan apa pun yang mereka bisa terkait bencana kebakaran besar di negeri kangguru.

Phra Mana Viriyarampo, kepala vihara yang sebelumnya terancam oleh kebakaran Morton, mengatakan para relawan telah melindungi fasilitas mereka dan para bhikkhu ingin menunjukkan penghargaan mereka.

“Kami mengagumi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mempraktikkan cinta tanpa pamrih dan tidak mementingkan diri sendiri,” katanya, menyebut aksi heroik para pemadam kebakaran.

“Dua tahun lalu, orang Australia membantu menyelamatkan tim sepak bola di gua. Jadi orang Thailand mengatakan kepada saya bahwa mereka merasa bersalah karena ketika Thailand dalam kesulitan, orang Australia membantu.”

“Jadi kami baru saja mendiskusikan [apa yang bisa kami lakukan untuk membantu] … kami ingin memberikan beberapa penghargaan: pijat ala Thailand. Untuk semua petugas pemadam kebakaran, sukarelawan, dan korban dalam krisis ini … mungkin itu akan membantu mengurangi stres, kecemasan.”

Chakkrid Krachaiwong, Konsul Jenderal Thailand di Sydney, mengatakan pemerintahnya dan komunitas Thailand di Australia ingin menunjukkan rasa terima kasih mereka.

“Kami ingin melakukan apa pun yang kami bisa,” katanya.

Dengan semua jenis bantuan membanjiri komunitas Australia – termasuk makanan, pasokan, dan sumbangan jutaan dolar – tawaran pijat adalah salah satu jenis bantuan yang unik. Tapi itu sangat disambut oleh penduduk setempat di Wingello.

Gary Newham, seorang sukarelawan di Rural Fire Service Wingello, adalah salah satu di antara penduduk setempat yang mengatakan siap menikmati fasilitas Thai massage itu.

“Kami melakukan shift 24 jam di sini Sabtu malam. Jadi itu akan sangat bagus. Ya, kami pasti akan mencobanya,” pungkasnya. (Sumber: smh.com.au)

The post Bhikkhu Hutan Bantu Relaksasi Relawan Kebakaran di Australia appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2801 articles
Browse latest View live