Quantcast
Channel: Buddhazine
Viewing all 2781 articles
Browse latest View live

Inilah 3 Kepribadian Buddha yang Jarang Diketahui

$
0
0

Sejak Buddha Gotama memulai pembabaran Dhamma sekitar 26 abad silam, ada begitu banyak khotbah yang disampaikan. Khotbah tadi bermacam-macam bentuk dan durasinya.

Mulai dari yang pendek hingga yang panjang; dari yang terdiri atas satu kalimat sampai yang satu wacana penuh; dari yang berupa puisi hingga yang berbentuk diskusi. Semuanya lengkap disampaikan kepada para siswa-Nya.

Meski begitu, di antara sekian banyak khotbah yang diberikan, hanya ada sedikit yang memuat informasi tentang kepribadian Buddha. Alhasil, kita jadi lebih banyak tahu tentang ajaran-Nya alih-alih sosok personal dari Buddha itu sendiri.

Kepribadian Buddha sebetulnya cukup penting diketahui. Sebab, kalau kita mengenal kepribadian-Nya lebih dekat, maka hal itu bisa menumbuhkan rasa hormat terhadap Buddha dan membantu kita dalam memahami ajaran-Nya dengan lebih baik.

Umumnya orang-orang mengenal Buddha sebagai pribadi yang penuh welas asih. Dalam sejumlah sutta, Buddha sering disebut mempunyai sifat welas asih yang begitu agung. Sifat ini sudah terlihat sejak ia masih anak-anak.

Sebut saja kejadian ketika Pangeran Siddhattha menyelamatkan seekor angsa yang terluka terkena anak panah yang dilesatkan Pangeran Devadatta. Pada waktu itu, ketika Pangeran Devadatta ingin membunuh angsa tadi, Pangeran Siddhattha berupaya mencegah hal itu.

“Karena angsa ini masih hidup, maka ia bukan milikmu,” kata pangeran, sambil mengobati luka angsa tadi. “Siapa pun yang melindungi kehidupan, maka sesungguhnya ia adalah pemilik kehidupan.”

Devadatta tentu saja tidak terima. Ia berusaha merebut angsa itu karena merasa bahwa ia-lah yang sudah menangkapnya. Namun, upayanya terus dihalangi oleh Pangeran Siddhattha.

Karena masalah ini belum ada solusinya, maka keduanya kemudian menghadap ke dewan kerajaan. Setelah mendengar duduk perkaranya, maka dewan kerajaan memutuskan bahwa Pangeran Siddhattha-lah yang berhak atas angsa tadi karena ia mencoba menyelamatkannya dari marabahaya.

Selain cerita tadi, sesungguhnya masih ada banyak kejadian lain yang memperlihatkan betapa welas asih-nya Buddha. Alhasil, karena cukup sering ditampilkan, maka jangan heran, kalau ada banyak khalayak yang hanya mengenal Buddha sebagai orang yang begitu welas asih terhadap makhluk lain.

Di luar itu, sebetulnya masih ada kepribadian lain dari Buddha yang cukup menarik dibahas. Di sejumlah referensi, saya menemukan beberapa informasi tentang kepribadian Buddha yang cukup jarang diungkap.

Salah satunya berasal dari Ensiklopedia Tipitaka yang disusun oleh G.P. Malalasekera, seorang Sarjana Buddhis yang sangat terpelajar. Biarpun di dalam buku itu, ia tidak menyebutkan secara spesifik kepribadian Buddha, namun, lewat uraian yang ditulisnya, saya bisa merangkum sedikitnya 3 kepribadian Buddha yang mungkin belum banyak diketahui.

Senang menyendiri

Meskipun hidup di tengah-tengah masyarakat, Buddha sering menghabiskan banyak waktu-Nya dengan menyendiri dalam kesunyian. Hal ini bisa dilihat dari rutinitas yang dilakukan Buddha pada pagi hari.

Sehari-hari Buddha rutin bangun pada waktu subuh. Sebelum matahari terbit, Ia biasanya sudah mandi, bermeditasi, dan bersiap melakukan pindapatta. Semua aktivitas ini umumnya dilakukan secara mandiri.

Saat berpindapatta, Buddha sering pergi diiringi oleh para bhikkhu. Namun, dalam sejumlah kesempatan, jika ada orang yang berpotensi tercerahkan, maka biasanya Ia akan pergi sendirian.

Meskipun tempat yang dikunjungi-Nya sangat berbahaya, namun Buddha tidak gentar. Sebut saja peristiwa ketika Ia datang menyadarkan Angulimala. Pada waktu itu, Ia pergi menemui Angulimala tanpa disertai seorang pun.

Sebelum memasuki hutan tempat Angulimala tinggal, ada beberapa penduduk yang memperingatkan Buddha atas bahaya yang bakal dihadapi-Nya. Namun, Ia hanya tersenyum, dan terus melanjutkan perjalanan-Nya. Selebihnya, seperti dimuat di sutta, Buddha berhasil mencerahkan Angulimala.

Kejadian lain yang cukup menarik ialah ketika Buddha pernah membubarkan sekelompok bhikkhu yang membikin keributan. Kegaduhan semacam ini dianggap begitu mengusik keheningan, sehingga Buddha perlu bertindak tegas demikian. Alhasil, pada kesempatan berikutnya, keributan tersebut sudah tidak ada lagi.

Para bhikkhu kemudian menghormati perilaku Buddha ini dengan menjaga keheningan sewaktu Ia sedang berada di tengah-tengah mereka. Makanya, setiap Buddha hadir, mereka biasanya akan menghentikan perbincangan yang dilakukan sebelumnya sehingga suasana menjadi sunyi.

Walaupun Buddha begitu suka kesendirian, namun bukan berarti perilaku ini bebas dari kritikan. Kritikan tadi biasanya berasal dari para petapa dari aliran lain, yang memandang Buddha sebagai orang yang “antisosial”. Biarpun begitu, Buddha tampaknya tidak menanggapi kritikan tadi, dan terus menjalani hidup-Nya dengan penuh ketenangan.

Mempunyai integritas yang tinggi

Baik sebelum maupun sesudah tercerahkan, Buddha dikenal sebagai orang yang berintegritas tinggi. Ia jujur, bisa dipercaya, dan tepat janji. Ia mengatakan apa yang pernah dilakukan-Nya, dan melakukan apa yang dikatakan-Nya.

Sebuah contoh yang memperlihatkan hal ini adalah ketika Ia berjanji kepada Raja Bimbisara bahwa Ia akan datang ke kerajaannya begitu berhasil mendapat “obat” yang bisa mengatasi kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Setelah mencapai pencerahan, Ia tidak lupa janji yang pernah diucapkannya terdahulu. Ia datang dan membabarkan Dhamma di sana.

Harus diakui, kepribadian ini memperlihatkan bahwa Buddha hidup sesuai dengan ajaran-Nya. Orang seperti ini sesungguhnya begitu langka. Jarang sekali ada orang yang sangat menjunjung integritas demikian.

Karena kata-kata Buddha bebas dari dusta, maka jangan heran, kalau ada begitu banyak orang yang meyakini, meresapi, dan menembusi ajaran-Nya. Alhasil, ajaran-ajaran yang disampaikan-Nya pun bisa awet sampai sekarang.

Sangat murah senyum

Walaupun rupang Buddha yang terdapat di sejumlah wihara atau candi umumnya memperlihatkan sosok Buddha yang duduk bermeditasi dengan wajah serius, namun, sebetulnya kepribadian Buddha tidak serius-serius amat.

Buddha dikenal sangat murah senyum. Saat ada orang yang datang menemui-Nya, Ia akan tersenyum, membuat orang tersebut merasa nyaman di dekat-Nya, lalu mengajarkan Dhamma kepadanya.

Perilaku ramah inilah yang membikin orang-orang merasa “sejuk” di dekat-nya. Satu kejadian yang menunjukkan hal ini adalah ketika Rahula mendekati Buddha sewaktu Buddha baru kembali ke Kapilavastu setelah tercerahkan.

Saat berada di dekat Buddha, Rahula berkata, “Ayah, pembawaan-Mu sungguh menenangkan.” Meskipun baru pertama kali berjumpa dengan ayahnya, namun Rahula tidak merasa cemas, khawatir, dan takut. Hal ini bisa terjadi karena Buddha merupakan pribadi yang hangat dan penuh senyum.

***
Mengetahui kepribadian Buddha secara lebih dekat membikin kita menyadari bahwa sesungguhnya Buddha adalah manusia biasa. Biarpun di dalam sutta sering disebut bahwa Buddha mempunyai sejumlah kesaktian yang begitu luar biasa, sehingga Ia sering dipersepsikan secara berlebihan, namun keagungan seorang Buddha tidak hanya dilihat dari hal itu saja.

Keagungan Buddha yang sejati juga bisa dipandang dari perilaku bajik yang diperlihatkan-Nya. Dalam pelayanan-Nya yang panjang, Ia kerap menunjukkan perilaku-perilaku yang luhur. Alhasil, perilaku itulah yang dapat menjadi suri teladan, sehingga jangan heran kalau kita menaruh hormat yang sedemikian dalam pada-Nya.

Salam.

The post Inilah 3 Kepribadian Buddha yang Jarang Diketahui appeared first on BuddhaZine.


Tradisi Sungkeman Saat Hari Suci Umat Buddha di Jawa

$
0
0

 

Perayaan Waisak di desa senantiasa memiliki cerita tersendiri, layaknya hari raya, dalam tradisi di Jawa ada adat sungkeman, atau meminta maaf ketika hari suci.

Kita akan lebih dekat melihat aktivitas dalam momentum Waisak 2020 ketika wabah virus Corona melanda, bersama Pariyanto umat Buddha di Vihara Dhamma Sikhi, Batursari, Tleter, Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah.

The post Tradisi Sungkeman Saat Hari Suci Umat Buddha di Jawa appeared first on BuddhaZine.

Ganjar Pranowo: Semoga Asadha Menjadi Cermin Bagi Bangsa Kita

$
0
0

Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) menggelar peringatan Asadha 2564 B.E/2020 Minggu (5/7), pukul 19.00 – 21.00 WIB. Acara itu digelar secara virtual, disiarkan langsung melalui channel youtube Medkom Sangha Theravada Indonesia (Medkom STI).

Peringatan Asadha merupakan puncak dari rangkaian Indonesia Tipitaka Chanting. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya Indonesia Tipitaka Chanting dan Asadha Maha Puja dihelat di Candi Borobudur, akibat dampak dari pandemic covid-19 acara itu harus digelar secara virtual.

Siaran puja bakti Asadha dipimpin dari Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Berdasarkan pantaun BuddhaZine, puja bakti dipimpin oleh Romo Dharmanadi Chandra, ketua umum Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Beberapa bhikku, para pandita, dan umat yang jumlahnya sangat terbatas mengikuti puja bakti di ruang dharmasala. Mereka semua mengenakan masker dan menjaga jarak sebagai standar protokol pencegahan penularan virus korona.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dari tempat berbeda ikut memberi sambutan dan ucapan selamat merayakan hari Asadha kepada umat Buddha. Dalam sambutannya itu Ganjar mengatakan masih terkenang dengan lantunan sutta-sutta yang dibacakan pada peringatan perhelatan Tipitaka Chanting pada tahun-tahun sebelumnya.

“Baru kemarin kita hadir di candi terberkah di dunia. Mendengarkan parita-parita, melihat tarian yang diiringi doa, dan gamelan, bakan senyum para bhikkhu yang duduk berjejer di samping saya masih terasa sangat hangat. Ketika itu ribuan orang dari beragam agama tumplek blek di sini.

Ada yang hanya berniat wisata ada yang mengantar kawannya yang beragama Buddha yang merayakan hari raya. Tentu juga para bhikkhu yang khusuk melantunkan Tipitaka sebagai tanda peringatan hari raya Asadha,” kata Ganjar.

“Tahun ini saudara-saudara perayaan semegah itu harus kita tunda, di tengah-tengah kita, wabah masih melanda,” Ganjar melanjutkan. “Kondisi itu yang akhirnya memaksa kita untuk melakukan penyesuaian.”

“Pertemuan-pertemuan dalam jumlah besar kita urungkan. Sebagai gantinya ruang-ruang virtual kita ciptakan. Salah satu hasilnya umat Buddha di seluruh dunia bisa mengikuti pembacaan Tipitaka secara khidmad, dari sini, dari candi terbesar di muka bumi ini.”

Lebih lanjut Ganjar berharap energi positif dari pembacaan sutta, dan peringatan Asadha tahun ini menjadi cermin energi positif bangsa Indonesia di mata dunia. Juga menjadi cermin besar bagi masyarakat Indonesia, bahwa Negara Indonesia ini beraneka warna, tetapi tetap satu.

“Bapak Ibu, saudara-saudara umat Buddha, selamat merayakan Asadha jangan lelah menebar damai. Pancasila telah merajut kita untuk selalu hidup dalam harmoni, dan saling mencintai,” ucap Ganjar Pranowo menutup sambutannya.

The post Ganjar Pranowo: Semoga Asadha Menjadi Cermin Bagi Bangsa Kita appeared first on BuddhaZine.

Mari Dukung Penyebaran Dharma di Momen Asadha

$
0
0

Menurut Buddha persembahan tertinggi adalah persembahan Dharma. Dengan adanya buku Dharma, kita dapat ikut meneruskan persembahan Dharma

Menyambut Hari Suci Asadha tahun ini, Karaniya akan meluncurkan buku “Membawa Dharma Pulang ke Rumah” jilid I, yaitu Menjadi Diri Sendiri

Mitra Karaniya kembali membuka kesempatan bagi sahabat terkasih yang ingin mempersembahkan buku Dharma karya Jack Kornfield kepada perpustakaan nasional, perpustakaan wihara, anggota Sangha, dan para pandita dengan total sebanyak 1.500 buku

Jack Kornfield adalah salah satu dari guru berpengaruh yang memperkenalkan praktik mindfulness ke dunia Barat. Doktor psikologi klinis ini pernah menjalani kehidupan sebagai biksu di bawah bimbingan Ajahn Chah

Jack Kornfield termasuk 100 tokoh spiritual paling berpengaruh di dunia. Buku-buku karyanya telah diterbitkan dalam 20 bahasa

Dana Rp. 70.000.-/buku

Rekening:
BCA
335 303 2662
A/n Yayasan Karaniya

Tambahkan kode 5 pada akhir nominal transfer

Nama-nama harum akan dilampirkan di halaman akhir buku

Silakan WA #dana, nama, kota# dan bukti transfer ke
0812-9292-6818
contoh: #dana 700.005, Nama, Jakarta#

Layanan dana akan ditutup pada Minggu, 12 Juli 2020

The post Mari Dukung Penyebaran Dharma di Momen Asadha appeared first on BuddhaZine.

Doa Seorang Buddhis

Dikremasi, Jenazah Bhante Suryabhumi Meninggalkan Banyak Relik

$
0
0

Setelah enam hari berturut-turut penyelenggaraan Sepekan Dhamma Talk Dalam Rangka Mengenang Suri Teladan Y.A. Bhante Dharmasurya Bhumi Mahathera, Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Jawa Timur menggelar Dhamma Talk hari ke tujuh pada Jum’at (3/07) sekaligus menjadi sesi penutup Sepekan Dhamma Talk.

Acara menghadirkan nara sumber seorang Profesor Fisika Atom dan Material Elektronik, Institut Teknologi Bandung (ITB), juga menjadi seorang Romo Pandita yaitu Prof. Toto Winata, Ph.D. dan dimoderatori oleh Aditiya, seorang konsultan bisnis. Kurang lebih 40 peserta yang mengikuti acara Dhamma Talk sesi terakhir.

Perjalanan dan kedekatan Romo Toto dengan Bhante Suryabhumi hingga menjadi salah satu murid bhante, mengisahkan kekaguman Romo Toto serta memberikan wawasan yang cukup dalam bagaimana sosok seorang Bhante Suryabhumi di mata murid-muridnya serta umat Buddha yang mengenalnya.

Bagi Romo Toto, Y.A. adalah seorang guru yang luar biasa, oleh karenanya beliau ingin sekali berbagi pengalaman yang disebutnya “3 Masa Bersama YM Bhante Dharmasurya Bhumi”.

“Tiga masa, seperti kata Buddha, dalam hidup selalu ada masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Untuk itu saya bagi tiga masa, yaitu masa sebelum bertemu (pra) dengan Y.A, masa keemasan (semasa) dimana banyak sekali interaksi dan ruang serta waktu yang memungkinkan saya banyak belajar dari bhante. Yang ketiga masa setelah atau pasca saya belajar dengan beliau, bagaimana kita semua menata batin kita sepeninggal Y.A.,”terang Romo Toto mengawali pembicaraan.

Romo Toto yang semasa sekolah SD dan SMP di sekolah Katolik, mengikuti pelajaran agama Katolik namun ternyata tidak menemukan passion dalam ajarannya. Selama menjalani di sekolah Katolik beliau mencari apa yang menjadi bayangannya yaitu belajar meditasi. Hingga SMA baru mulai mengenal ajaran Buddha.

“Beruntung ketika lulus SMP, masuk SMA N 2 Jakarta. Di SMA, pada Jum’at minggu kedua ternyata ada pelajaran agama Buddha dan saya coba masuk untuk ikut. Pertama saya ikut baca paritta kemudian meditasi, dan inilah yang saya cari.,” lanjut Romo.

Ibarat menemukan lahan yang subur, lulus SMA Romo Toto melanjutkan kuliah di ITB yang akhirnya bertemu dengan Dr. Megawati Santosa yang tiba-tiba mengajaknya ke Vihara Vimala Dharma, Bandung. Juga bertemu dengan alm. Dr. Parwati Supangat, dosen Agama Buddha dan Etika Buddha di ITB. Pertemuan tersebut nampaknya semakin memberikan kesempatan yang lebih lebar untuk mempelajari ajaran Buddha.

Vihara Vimala Dharma adalah tempat awal pertemuan beliau dengan Y.A. Bhante Suryabhumi. Sejak pertemuan dengan Y.A., secara intens beliau belajar ajaran Buddha dan meditasi. Sebagai awal beliau belajar meditasi anapanasati, kemudian banyak melakukan diskusi Dhamma.

Menjelang kelulusan di tahun 1985 beliau disarankan oeh Y.A. untuk mengikuti latihan Vipassana dan menjalankan Athasila yang ternyata membawa perkembangan atas benih meditasi yang telah beliau tanam.

“Dan latihan itu sangat membekas bagi saya karena Bhante Suryabhumi waktu itu sangat bergembira sekali. Beliau juga mengajarkan meditasi berjalan, duduk, berbaring, kemudian beliau membuka pengetahuan bagaimana meditasi dengan empat unsur,” kenangnya.

Lebih lanjut dalam perjalanannya belajar meditasi, Romo Toto dibimbing untuk melakukan meditasi berobyek empat unsur yaitu, udara / gerak, suhu, tanah, dan air. Y.A. juga mengajarkan perenungan terhadap tiga corak kehidupan yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta.

“Dengan ketenangan empat unsur inilah, seorang yogi bisa duduk merenungkan tiga corak kehidupan. Anicca atau perubahan, ternyata ketenangan itu berubah. Ketika kita mencoba mempertahankan itulah yang menimbulkan kita kesusahan, dukkha. Lalu apanya yang dukkha? Tidak jelas juga, dan di situlah mulai muncul pemahaman tanpa aku.”

Bukan hanya praktik meditasi, Y.A. juga sangat memperhatikan para muridnya agar kaya akan referensi tentang Dhamma dan meditasi. Hal ini ditunjukkan ketika Y.A. memberikan sebuah buku yang berjudul “Tujuh Tahap Pemurnian Diri” kepada Romo Toto di hari ke tujuh latihan Vipassana. Buku tersebut menjelaskan bagaimana Sila disempurnakan, semangat, pengetahuan dan pandangan tentang jalan. “Itu mungkin yang disebut oleh orang dengan Boddhicitta.”

“Waktu itu saya merasakan pikiran saya menjadi tajam, sangat terang. YA. Mengatakan sudah cukup, lalu bertanya bagaimana saya melihat sekeliling. Biasa saja, saya jawab, kemudian bhante bilang oh ya sudah cukup,cukup.

Di situlah saya merasakan bagaimana metta, karuna, mudita, dari seorang guru yang sangat luar biasa. Yang mengajarkan muridnya dengan sepenuh hati, tidak pilih-pilih, demikian juga dengan murid-murid yang lain. Itulah masa awal penggemblengan,” ungkapnya.

Meski sempat terputus hubungan dengan Y.A. sewaktu beliau kuliah di Australia, namun selesainya kuliah akhirnya bertemu kembali dengan Y.A. Sepulang dari Australia Romo Toto akhirnya menjadi Dosen Agama Buddha dan Etika Buddha di ITB menggantikan alm. Dr. Parwati Supangat.

Sewaktu menjadi dosen beliau mengadakan pelatihan meditasi dan meminta Y.A. untuk membimbing para mahasiswa Buddha ITB latihan meditasi. Bahkan tidak sedikit mahasiswa dari keyakinan lain ikut serta dalam latihan.

Apresiasi Y.A. atas apa yang dilakukannya menjadi kesan tensendiri bago Romo Toto “Begitulah sosok guru yang agung, ingin muridnya menjadi sekaliber beliau syukur-syukur bisa lebih. Dengan cara seperti itu beliau mengajarkan bahkan mengembangkan murid-muridnya.

Sebagai guru yang luar biasa tidak menganggap dirinya lebih unggul sehingga ketika di vihara kita sering berdiskusi Dhamma layaknya seorang sahabat. Demikian juga keika di Trawas, di pendopo kita sering berdiskusi tentang perkembangan batin.”

Di akhir masa kebersamaanya bersama Y.A., Romo Toto sempat menemukan coretan khusus dari Y.A. di ruang kerja yang tertuang dalam lembaran kertas, bagi Romo Toto coretan tersebut menunjukan bahwa Y.A. seorang guru yang patut menjadi tauladan.

“Masih secara jujur dan terbuka, dalam coretan tersebut beliau merasa masih seperti mentok, stagnan, masih belum bisa keluar dari kungkungan bayangan beliau sendiri, sehingga pencapaiannya masih stagnan, mentok. Di situlah saya memahami mengapa beliau dalam surat wasiatnya meminta untuk mendonorkan organ tubuhnya (mata).”

Dalam masa pasca, sepeninggal Y.A., Romo Toto adalah salah satu murid yang bertugas untuk memilah relik-relik yang muncul dari abu kremasi Y.A. Bhante Suryabhumi.

Berbekal semangat, ketekunan, serta keyakinan, Romo Toto dan teman-temannya berhasil menyelesaikan tugasnya dalam waktu 10 hari dari 49 hari waktu yang diberikan oleh Y.M. Bhante Khemacaro Mahathera, ketua Sangha Agung Indonesia (SAGIN).

Romo Toto mengungkapkan bahwa banyak relik yang muncul dari abu jenazah Y.A. Bhante Suryabhumi untuk disebarkan ke vihara-vihara di Indonesia.

“Dan tidak terbayang akan muncul relik yang berwarna-warni, ada kuning keemasan, biru dongker, silver perak, dan hijau toska. Ada juga yang berbentuk seperti kristal, bening. Ini surprise,” katanya.

“Meskipun mendiang sudah tidak ada, tapi semangat dan keyakinan yang beliau tanamkan tidak luntur bahkan berkembang menuju ke kesempurnaan. Semoga ini bisa menjadi inspirasi, menambah keyakinan, serta semangat untuk terus belajar, memperdalam, dan melatih praktik meditasi sehingga cita-cita beliau bisa tercapai,” pungkas Romo Toto.

The post Dikremasi, Jenazah Bhante Suryabhumi Meninggalkan Banyak Relik appeared first on BuddhaZine.

Rayakan Kebahagiaan Saat Asadha

$
0
0

Hari Raya Asadha diperingati untuk merenungkan kembali peristiwa ketika Buddha pertama kali membabarkan Dharma kepada lima siswa pertama di Taman Rusa Isipatana India.

Hari Raya Asadha 2564 B.E/2020, Karaniya mempersembahkan dua karya untuk para umat Indonesia.

Rayakan kebahagiaan Asadha dengan mengirimkan E-Card Asadha kepada Sangha, keluarga, sanak saudara, teman, kolega Anda. Silahkan unduh E-Card Asadha secara gratis di:
http://karaniya.com/e-card-asadha-2020/

Membaca paritta membawa manfaat, menjaga, dan menenangkan pikiran. Pikiran yang damai dan kuat merupakan fondasi kebajikan, bermanfaat bagi jasmani dan rohani, untuk diri sendiri dan sesama.

Masing-masing negara memiliki pendarasan paritta yang tidak sama. Bahkan di satu negara pun versinya bisa beraneka. Dengan bersama-sama membaca paritta suci di rumah dan menjalankan Dharma, semoga semua berperan positif menyembuhkan dan menyehatkan dunia. Karaniya juga meluncurkan pendarasan Paritta suci yang masih mengikuti lantunan dari generasi awal di Indonesia. Mari kita lestarikan.

Untuk Paritta dalam bahasa Pali:

Untuk Paritta dalam bahasa Indonesia:

Selamat Hari Raya Asadha, semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu sadhu sadhu.

The post Rayakan Kebahagiaan Saat Asadha appeared first on BuddhaZine.

Bhikkhu Sri Pannyavaro: Arti Berlindung Kepada Tri Ratna yang Benar

$
0
0

Asadha sering disebut sebagai munculnya Tri Ratna secara lengkap pada masa Guru Agung Buddha Gotama. Lengkaplah Tri Ratna yaitu, Permata Buddha, Permata Dhamma, dan Permata Sangha. “Tri Ratna inilah yang menjadi pangkal keyakinan segenap umat Buddha,” ujar Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam uraian Dhamma pada perayaan Asadha 2564 B.E/2020 yang digelar secara virtual, Minggu (5/7).

Tri Ratna itulah yang menjadi pangkal perlindungan seluruh umat Buddha. Berlindung yang benar kepada Tri Ratna; Buddha, Dhamma, dan Sangha adalah berlindung yang didasari dengan kesadaran dan kebijaksanaan. Dengan begitu kita akan melihat empat kebenaran arya yang menjadi inti dari ajaran Buddha.

“Empat kebenaran arya itulah the heat of Buddha’s teaching. Itulah yang Guru Agung kita sebutkan sebagai segenggam daun,” jelas Bhante. Sangat banyak daun-daun berserakan di hutan tetapi, Guru Agung kita hanya memungut segenggam. Karena yang segenggam itulah yang berguna, yang diperlukan untuk membebaskan mahkluk-mahkluk dari penderitaan.

Empat kebenaran arya yang pertama, Guru Agung kita mengatakan bahwa kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, juga keinginan yang tidak tercapai adalah penderitaan. Dan apakah tujuan akhir Guru Agung kita membabarkan empat kebenaran arya? Apakah sekadar menjelaskan tentang penderitaan? Menurut Bhante tidak. Tujuan akhir dari Guru Agung kita adalah membebaskan kita, membebaskan mahkluk-mahkluk dari penderitaan.

“Sebagian orang berfikir alangkah bahagianya kita apabila terbebas dari penderitaan. Tentu mereka berfikir demikian, ‘kalau kami terbebas dari penderitaan kami tidak akan mengalami usia tua, karena usia tua adalah penderitaan.”

“Kami akan muda terus. Tentu kami tidak akan sakit lagi, karena sakit adalah penderitaan, kami akan sehat terus. Dan mereka juga berfikir, tentu kalau kami bebas dari penderitaan kami tidak akan meninggal dunia, kami akan hidup terus. Karena kematian disebutkan sebagai penderitaan.”

“Tidak benar Ibu, Bapak dan Saudara. Umur tua, sakit dan kematian adalah fenomena kehidupan yang bisa menjadikan penderitaan. Tetapi umur tua, sakit, dan kematian bukan sebab penderitaan. Guru Agung kita menjelaskan, yang harus dieliminir, yang harus dihapus sebenarnya adalah sebab penderitaan.”

“Kalau sebab penderitaan itu dilenyapkan maka, fenomena yang disebut sebagai penderitaan itu adalah sekedar fenomena kehidupan. Tidak lagi menjadi penderitaan.”

“Ibu, Bapak, dan Saudara dengan kalimat yang lain kalau seseorang, kalau kita bisa melenyapkan sebab penderitaan, seseorang itu pasti masih mengalami umur tua, sakit, kematian. Juga keinginan, keinginan atau rencana-rencana yang tidak tercapai. Tetapi umur tua, sakit, kematian, dan rencana yang tidak tercapai itu bagi mereka yang sudah menyelesaikan sebab penderitaan, bukan lagi menjadi penderitaan.”

“Umur tua sekadar perubahan, fenomena kehidupan ini yang terjadi dengan sendirinya. Sakit, kematian dan rencana-rencana yang tidak bisa tercapai adalah kosekwensi dari kehidupan ini. tidak harus menjadi penderitaan, manakala sebab penderitaan itu sudah diatasi,” terang Bhante Pannyavaro.

“Kemudian apakah yang menjadi sebab penderitaan? kalau usia tua, sakit, kematian dan rencana-rencana yang tidak tercapai bukanlah sebab penderitaan. Sebab penderitaan adalah keinginan (tanha) yang berkobar-kobar. Kalau sebab penderitaan ini diatasi, lenyaplah penderitaan itu. Fenomena kehidupan berjalan terus, tetapi penderitaan itu selesai.”

“Oleh karena itulah jangan mengikuti semua nafsu keinginan. Saring, seleksi dengan pertimbangan yang benar, yang jelas. Rencana itu harus baik, benar! Dan sesuai dengan kemampuan Anda. Bukan ambisi yang luar biasa. Kalau keinginan itu disaring, diseleksi, bahkan disederhanakan, tentu kegagalan akan menjadi sangat kecil. Meskipun demikian kegagalan suatu saat masih bisa terjadi.”

“Selain menyeleksi keinginan, selain menyeleksi semua rencana yang muncul dalam benak pikiran kita supaya rencana itu tidak menjadi liar, langkah yang lain adalah sikap untuk menerima perubahan. Pada saat kita sulit menyadari perubahan, dan sulit menerima perubahan, semua perubahan menjadi penderitaan.”

“Sebenarnya Ibu, Bapak, dan Saudara kematian adalah biasa, sangat biasa. Semua mahkluk mengalami kematian, tidak ada yang istimewa. Tetapi tidak adanya kesadaran untuk menerima kematian itulah kematian menjadi penderitaan.

“Apakah sakit, apakah umur tua, apakah rencana yang tidak tercapai sesuatu yang luar biasa? Tidak saudara! Tetapi sulit menerima usia tua, sulit menerima sakit, sulit menerima perubahan, membuat semuanya itu menjelma menjadi penderitaan,” Bhante menerangkan.

Bhante Pannyavaro memberikan contoh, “Sebelum ada wabah Covid-19 dari pagi sampai malam Saudara mempunyai kegiatan di luar rumah. Hampir setiap hari, sering juga pada hari-hari minggu dan hari libur. Sekarang saudara diminta untuk tinggal di rumah. Siapkah saudara menerima perubahan itu?”

“Kalau saudara tidak bisa menerima perubahan itu maka rumah saudara akan menjadi penderitaan. Ketegangan mental itulah penderitaan, karena Saudara sulit menerima perubahan. Mengapa Saudara sulit menerima perubahan? Nafsu keinginan yang melahirkan kemelekatan.”

“Saudara mempunyai handphone baru, belum lama kurang lebih satu, atau dua bulan. Hp yang harganya puluhan juta,” Bhante memberi contoh lain. Suatu saat tidak sengaja hp itu terjatuh dan masuk kedalam selokan, sulit untuk diambil. Andai kata terambil tidak mungkin bisa digunakan kembali.”

“Hp yang puluhan juta itu habis. Badan Saudara tidak tersakiti seculipun, tetapi Saudara menderita. Menderita karena saudara mempunyai kemelekatan saudara itu.”

“Andaikata hp yang terjatuh itu milik orang lain yang tidak Saudara kenal, saudara akan tenang seimbang. Saudara tidak menderita. Oleh karena itulah kehilangan bukan penderitaan, umur tua bukan penderitaan, sakit bukan penderitaan, perubahan bukan penderitaan manakala Saudara dengan kesadaran menerima perubahan,” tegas Bhante.

Pengertian perubahan memang tidak sulit untuk dimengerti, tetapi menerima perubahan bukan sesuatu yang mudah. Karena itu untuk agar bebas dari penderitaan, menurut Bhante yang harus dilakukan adalah;

Pertama Jangan berbuat buruk. Sebagai perumah tangga bermata pencaharian yang wajar, jangan membunuh, jangan menyakiti mahkluk lain, jangan menipu, jangan korupsi, jangan selingkuh, jangan menghina orang lain, jangan membohongi, jaga ucapan kita, jaga tulisan kita, jangan membiarkan kita dengan minum-minuman keras.“Tidak berperilaku buruk adalah salah satu cara untuk mengurangi nafsu keinginan,” jelas Bhante.

Kedua mempunyai ketengangan batin dengan melatih meditasi. “Duduklah (meditasi) minimal sekali setiap hari supaya batin kita menjadi tenang. Batin yang tenang akan mudah menyeleksi keinginan, batin yang tenang tidak akan mudah terseret dengan keinginan-keinginan yang tidak benar. Batin yang tenang, yang siap menerima perubahan itulah kebijaksanaan yang benar. Kebijaksanaan yang melihat empat kebenaran arya dengan kesadaran, Itulah berlindung yang benar, kepada Tri Ratna.”

“Dalam Dhammapada juga disebutkan, dengan kebijaksanaan yang benar dengan dilandasi kesadaran. Memeriksa semua keinginan dengan sati-sampajana, siap menerima perubahan itulah cara berlindung yang benar kepada Tri Ratna. Berlindung dengan cara itulah kita akan mendapat perlindungan dengan aman, dan berlindung dengan cara yang demikian, semua penderitaan akan lenyap,” terang Bhante.

The post Bhikkhu Sri Pannyavaro: Arti Berlindung Kepada Tri Ratna yang Benar appeared first on BuddhaZine.


Tentang Perempuan

$
0
0

Ah, betapa sulitnya menjadi perempuan. Seperti kata Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Perancis, manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara. Begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.

Siapa yang memilih untuk menjadi perempuan? Ketika lahir, alat kelamin sudah ditentukan oleh alam. Namun, dengan perbedaan kelamin, perbedaan peran sosial pun lahir. “Perempuan” adalah peran sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dan bukan oleh alam.

Semua orang memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan sembilan bulan lamanya. Disanalah kehidupan tercipta, ketika benih pejantan membuahi telur betina. Disanalah keajaiban yang sesungguhnya terjadi.

Ketika pertama kali menginjak dunia, setiap orang juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan. Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa perempuan, keluarga akan tersesat di jalan.

Sayangnya

Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budaya memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak pernah sungguh dihargai.

Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya, semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para pria.

Ajaran beberapa agama mengekangnya begitu erat. Tubuhnya dipenjara, karena takut mengundang nafsu pria. Perempuan bahkan tak bisa memilih, pakaian apa yang sesuai dengan dorongan hatinya. Ia harus tunduk pada ajaran masyarakat yang menindas.

Peradaban lain menelanjanginya. Lekukan tubuhnya dijadikan komoditi dagang. Keindahan ragawinya dijadikan tontonan murahan. Jati diri perempuan disempitkan menjadi semata obyek kepuasan para pria.

Ketika krisis dan perang tiba, perempuan juga menjadi korban. Mereka diperkosa, tanpa ampun. Beberapa dibunuh, setelah diperkosa. Lainnya harus hidup dengan trauma dan rasa malu.

Beberapa perempuan sudah menyerah. Mereka melihat penindasan sebagai takdir yang mesti dijalani. Mereka menyerap penjajahan menjadi bagian dari hidup mereka sendiri. Mereka justru ingin dijajah, dan dijadikan komoditi.

Beberapa perempuan berusaha melawan. Mereka ingin mengungkap berbagai penindasan yang terjadi. Mereka ingin melakukan perubahan sosial. Musuh utamanya adalah mental patriarki, yakni mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan serampangan.

Menanti pembebasan

Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan. Ia mesti sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Pilihan ada di tangannya, asal didasari kesadaran, bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka. Ia mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.

Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci perubahan sosial adalah perubahan di dalam cara perempuan memandang dunianya. Kaum perempuan bisa bekerja sama dengan gerakan-gerakan pembebasan lainnya. Namun, pengalaman perempuan tetaplah sebuah pengalaman yang unik, yang tak tergantikan oleh apapun juga.

Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong pembebasan kaum perempuan. Sekarang.

The post Tentang Perempuan appeared first on BuddhaZine.

Kebijaksanaan dalam Kehidupan Normal Baru: Sebuah Pandangan Psikologis Buddhis

$
0
0

Di tengah pandemi saat ini, bukan alasan untuk tidak mendapatkan pengetahuan tentang Dharma yang disampaikan oleh tokoh dan pemuka agama Buddha, aktif mengikuti webinar, mode seminar dengan memanfaatkan tekhnologi komunikasi virtual.

Seperti webinar yang dilaksanakan oleh Program Studi Psikologi Buddhis, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang. Tepatnya pada hari jumat, 3 juli 2020. Webinar berlangsung pada pukul 14.00 hingga pukul 16.00 WIB.

Webinar tersebut mengambil tema “Kebijaksanaan dalam kehidupan normal baru sebuah pandangan Psikologis Buddhis”. Narasumber adalah Dr. (H.C) Maha Bhiksu Dutavira Sthavira, dipandu oleh moderator Kaprodi Pendidikan Psikologi Buddha STABN Sriwijaya, Dr.Th. Couns. Yuriani, M.Pd.

Peserta yang hadir sebanyak 300 orang yang hadir dalam webinar tersebut, tidak hanya dari kalangan umat Buddhis yang turut hadir, kalangan non Buddhis juga hadir, bahkan dari beberapa daerah di Indonesia.

Penting disampaikan oleh narasumber, bahwasanya kehidupan normal baru tetap berjalan dengan tetap mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran pakar, yang terpenting tetap menjaga sikap perilaku, pikiran tetap tenang terjaga dalam berpikir positif dengan tujuan imunitas tubuh tetap baik dan sehat.

Maha Bhiksu Dutavira Sthavira menyampaikan pandanganya tentang menghadapi new normal dalam pandangan psikologi Buddhis, mengutip dari ayat Sutra Avatamsaka :

Bila kita ingin mengetahui
Kesempurnaan para Buddha,
Lihatlah
Kondisi Alam Semesta …
Semua perbedaan itu
Berasal dari Jiwa, Pikiran dan Perbuatan.

Maha Bhiksu Dutavira Sthavira menjelaskan bahwa tidak hanya bersih-bersih badan akan tetapi juga perlu bersih-bersih batin, mengkondisikan pikiran, sila untuk tetap baik agar hormon kebahagiaan senantiasa ada pada diri.

Hati dan Pikiran masa lalu, Tidak bisa dipegang sebagai landasan. Hati dan pikiran masa sekarang, tidak bisa dipegang sebagai landasan. Hati dan pikiran masa akan datang, tidak bisa dipegang sebagai landasan. mengkondisikan agar pikiran tetap berpikir positif, dan tidak melekat dalam rupa dan kondisi.

Dalam Sutra Vajracchendika Prajna Paramita Sutra/Cin Kang Cing, ayat 19 : dijelaskan tentang Menyatu dalam Alam Semesta. Kehidupan di Alam Semesta ini selalu berubah, penuh ketidakpastian. Akan tetapi, kehidupan manusia itu. Menjalankan kehidupan harus pasti, harus berguna, harus beruntung dan harus berpahala, untuk hal yang nyata ini tentunya dapat melakukan dengan seutuhnya di era memasuki kehidupan baru.

Pertama : Jangan menyalahkan Situasi atau Orang Lain. Pada umumnya kita mudah menyalahkan situasi atau orang lain atas apa yang dialaminya. Dalam Pandemi Covid-19 ini, kita semua mengalami kesusahan yang sama. Jadi, harus bisa belajar Instropeksi, Koreksi Diri dan meningkatkan diri dengan berkreativitas.

Kedua : Harus bisa menggunakan kesempatan dengan baik. New Normal ini memberi semua manusia kesempatan untuk memperbaiki diri, menuju kebiasaan sehat jadi lebih baik lagi, berjuang merubah nasib ke arah yang lebih baik. Untuk itu sangat dibutuhkan kebiasaan yang baik, mau berkumpul di komunitas yang baik, kreatif, belajar bersama mencari solusi /terobosan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kebutuhan.

Ketiga : Harus bisa menggunakan Akal Sehat. Jangan lalai, jangan merasa diri super kuat. Dalam Sutra Vajracchendika Prajna Paramita Sutra/Cin Kang Cing : Ayat 5 Ru Li She Cien : Menilai sesuatu dengan Hati dan Akal yang sehat, baru mampu melihat hakikatnya kehidupan. Ce Chu Thien Cu Ye :“Menolong Diri Sendiri, baru tercipta kondisi yang menolong.“ Hanya diri sendiri yang mampu dan bisa menolong kita.

Keempat : Mau mengikuti petunjuk para ahli. Patuhi protokol kesehatan dengan senang hati serta tanpa beban. Bersih – bersih, sering cuci tangan dengan sabun, pakai masker jika di luar rumah, hindari tempat berkerumunnya orang banyak, Jaga jarak dari orang lain saat di tempat umum, Jaga stamina, tidur yang cukup, minum Vitamin C, Vitamin D, jemur badan di bawah sinar matahari pagi. Bila stamina sedang kurang baik, harus beristirahat. Kelima Pandemi Covid 19 ini kesempatan yang sangat langka, ada 2 sudut pandang :

1. Kita harus belajar merasa beruntung bisa merasakan peristiwa sangat langka ini. Bagi yang staminanya kuat, ia akan mendapatkan hikmah dan pelajaran yang luar biasa.

2. Jangan sampai kita terbawa arus negatif yang menyebabkan antibodi / immunitas menurun, seperti merasa putus asa, selalu merasa resah dan ketakutan, dan lain lain.

Sebagai Buddhis harus memiliki semangat juang hidup yang kuat dan selalu berbuat bajik. Dengan itu, kehidupan Normal Baru pasti akan lebih baik lagi. Sembahyang itu juga berarti samadhi, membuat hati dan pikiran jadi tenang, tentram, damai, otomatis memperkuat semangat juang dalam diri kita. (identik : Hormon endorfin bertambah dalam tubuh kita).

Selalu jaga nyala api semangat dalam diri kita. Jadilah manusia berguna yang selalu gembira berbuat bajik bagi diri sendiri dan orang lain. Saat kita merasa ada pegangan untuk masa depan yang lebih baik lagi dan bersyukur kita beragama Buddha, kita akan merasa gembira dan bahagia.

Maka tubuh otomatis mengeluarkan Hormon endorfin. Hormon endorfin itu hormon rasa bahagia yang akan meningkatkan daya tahan tubuh, hingga badan jadi lebih kuat, tak mudah sakit, daya kreativitas tumbuh dan berumur panjang.

(Amituo Fo itu berarti Buddha Gembira, Pencerahan dan Usia Panjang, membawa kita ke Tanah murni Surga Sukhavati)

Hormon endorfin itu mampu menghilangkan rasa nyeri yang bahkan lebih kuat dari morphin. Hormon endorfin secara alami akan diproduksi tubuh saat kita merasa rilek, berpikir positif, gembira dalam berbuat kebajikan, ada rasa berterima kasih, bersyukur, tersenyum, dan tertawa dari hati yang riang gembira.

Materi yang disampaikan oleh narasumber sangat menarik. Pada saat sesi tanya jawab, antusias peserta terlihat dengan keaktifan saat bertanya kepada narasumber, pemahan dan penjelasan disampaikan oleh narasumber dengan jelas.

Harapan dengan webinar tersebut dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, untuk senantiasa melakukan tindakan positif dan dibarengi dengan pikiran yang positif, demi melahirkan hormon kebahagiaan. pengetahuan tentang psikologi Budhdis semoga dapat diimplementasikan dalam kehidupan saat ini yang tengah menghadapi pandemi.

The post Kebijaksanaan dalam Kehidupan Normal Baru: Sebuah Pandangan Psikologis Buddhis appeared first on BuddhaZine.

Biksu Jepang ini Jadi Viral karena Beatboxing Campur Pendarasan Sutra dan Mantra

$
0
0

Yogetsu Akasaka, seorang pria Jepang berusia 37 tahun, kini menjadi perhatian netizen gara-gara unggahan video YouTube-nya pada bulan Mei lalu yang berjudul “Heart Sutra Live Looping Remix” di mana ia merekam dirinya beatboxing untuk sebuah musik meditasi. Yang unik, ada pendarasan Sutra Hati dalam bahasa Jepang, dan ada pula nyanyian tenggorokan khas Tibet yang keluar dari mulutnya.

Akasaka yang merupakan biksu aliran Zen itu sempat mengatakan kepada Vice Magazine bahwa dia tidak merekam video itu untuk mendapatkan perhatian online, atau untuk menunjukkan bakat uniknya.

“Bukannya saya ingin mendapatkan perhatian untuk keunikan saya, saya hanya ingin melanjutkan hasrat saya terhadap musik,” katanya. “Dengan cara yang sama seseorang memainkan gitar atau drum, saya sendiri hanya pemain [musik] biasa,” katanya, seperti dilansir Nextshark, Senin, 6 Juli 2020.

Dengan mendapat perhatian yang meluas ke luar negeri, biksu tersebut mengatakan kepada South China Morning Post, “Saya benar-benar terkejut ketika menyebar ke negara-negara Asia lainnya, kemudian AS dan Eropa; Saya mengucapkan mantra dalam bahasa Jepang. Karena saya punya banyak pengikut, saya sudah mulai streaming langsung dalam bahasa Inggris – mungkin hanya sekitar 20 persen dari follower saya adalah orang Jepang,” katanya.

Menggabungkan beatboxing dan menyanyi tenggorokan adalah sesuatu yang belum pernah terlihat di tempat lain. Terlebih mengingat bahwa yang terakhir adalah bentuk nyanyian khusus untuk para biksu Buddha Tibetan.

Beatboxing telah menjadi hasrat Akasaka sebelum ia menjadi seorang biarawan. Itu dimulai pada 2005 ketika seorang teman memperkenalkannya kepada beatboxer Jepang Afra dan memberitahunya bagaimana membuat musik hanya menggunakan mulutnya.

“Saya benar-benar terkejut bahwa orang-orang dapat melakukan hal-hal seperti itu, jadi saya tertarik untuk mencobanya. Dan kemudian saya menyadari, saya cukup pandai dalam hal itu,” ungkap sang biksu.

Dia juga pernah bepergian dan mengamen di jalan-jalan di Jepang, Australia, dan AS. Kemudian, pada 2015, Akasaka mengikuti jejak ayahnya yang menjadi seorang biarawan.

“Biasanya di Jepang, orang menjadi biksu karena keluarga mereka tinggal di kuil. Tetapi bagi ayah saya, dia hanyalah orang normal yang memutuskan untuk menjadi seorang biarawan,” kata Akasaka. Ia merasa terinspirasi, dan memutuskan ingin berhasil seperti ayahnya yang saat ini menjabat sebagai kepala biara di sebuah kuil di Prefektur Iwate.

“Saya selalu mencintai musik dan ingin melanjutkan hasrat saya bahkan setelah menjadi seorang biarawan,” kata Akasaka, yang juga seorang aktor teater sebelumnya. “Karena itulah saya memutuskan untuk menerima beatboxing lagi.”

Dia mengatakan dia awalnya sedikit khawatir karena ini adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, di luar tradisi. Namun ia mengaku bertujuan untuk mematahkan kesalahpahaman tentang agama Buddha.

“Saya pikir di Jepang, orang sering mengaitkan agama Buddha dengan pemakaman, dan Sutra memiliki sedikit citra negatif dan sedih,” kata Akasaka.

“Saya memiliki penggemar yang mengatakan kepada saya bahwa mereka bisa tidur nyenyak dan bersantai karena video beatboxing saya, yang benar-benar menakjubkan,” tambah Akasaka.

Ia merasa terhormat dapat menggabungkan bakatnya dengan keyakinan agamanya, yang ternyata mampu memengaruhi banyak orang di berbagai belahan dunia.

Penasaran bagaimana aksi biksu itu melakukan beatboxing? Simak dalam video di bawah ini:

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Biksu Jepang ini Jadi Viral karena Beatboxing Campur Pendarasan Sutra dan Mantra appeared first on BuddhaZine.

Cahaya Kehidupan

$
0
0

Minggu, 5 Juli 2020, waktu menunjukkan pukul 8 pagi, matahari sudah menampakkan cahaya nya yang begitu indah dan ceria. Menambah semangat bagi yang melihatnya.

Hari itu saya bersama 6 orang dari tim pengurus anak asuh Bodhinyana Yen Indonesia, Dasa Paramita dan Gavesaka Sukham melakukan kunjungan ke 10 rumah anak-asuh binaan dari Yayasan Bodhinyana Yen Indonesia, Dasa Paramita dan Smile.

Sebelum masa pandemi Covid-19 kami semua biasanya selalu berkumpul bersama untuk saling berbagi cerita serta memberikan motivasi kepada anak-anak. Namun dalam masa pandemi ini maka pertemuan tatap muka belum bisa dilakukan sehingga para penguruslah yang melakukan kunjungan ke rumah mereka satu persatu.

Sembako (beras, minyak goreng, garam, gula, susu, teh dan biskuit) serta pakaian layak pakai kami salurkan ke anak asuh saat kami melakukan kunjungan ini. Beruntung hari itu kami dapat bertemu dengan anak-anak dan orang tua nya. Tidak hanya sebatas memberikan barang tapi kesempatan itupun saya gunakan untuk mengenal lebih dekat kehidupan anak dan keluarganya.

Anak asuh kami adalah murid kelas 8 hingga kelas 12. Mata pencaharian orang tua mereka beragam dari buruh, tukang cuci, mengasuh anak, menjual kue, menjual sayur dan karyawan. Lokasi tempat tinggal mereka pun tersebar di beberapa wilayah Tanggerang seperti Pintu air, Pejagalan, Kampung Baru, Rawa Kucing-Sewan, Kebon Sayur, Rawa Rotan-Selapanjang, Kampung Melayu, Kampung Kelor. Sebagian besar rumah yang mereka tempati adalah kontrak atau tinggal di rumah nenek/keluarga.

Senyum sumringah menebar di wajah para anak asuh kami serta sambutan hangat dari para orang tua membuat hati ini begitu bahagia. Mulai bulan Mei, saya membuat program untuk anak-anak asuh yaitu program Rp 5.000/kebajikan. Seperti apa sih program ini, kenapa program ini dibuat lalu apa tujuan nya…. ?

Dalam program ini setiap hari anak diminta untuk aktif berkomunikasi serta berbagi dan menyalin kembali di buku tentang kutipan Dhammapada/ kata perenungan / quote/ kata-kata atau kisah motivasi yang bersifat positif dan penyemangat. Setiap kutipan yang di-share akan mendapat Rp 5.000/hari, bila dalam sebulan tidak pernah bolong untuk berbagi kebajikan maka anak mendapat tambahan uang sebesar Rp 20.000.

Awal program ini saya buat karena saya melihat anak-anak pasif dalam berkomunikasi, kurang inisiatif- kreatif, cenderung pemalu. Selain itu juga karena ingin memberikan uang saku kepada mereka.

Tujuan dari program ini, saya ingin memacu anak-anak untuk lebih aktif dan kreatif saling menyapa, memberi salam, berbagi motivasi dan dhamma. Anak terbiasa untuk membaca, berbagi hal-hal positif sehingga pikiran anak setiap hari dipenuhi dengan hal-hal yang baik. Karena ini dilakukan setiap maka anak akan lebih mudah mengingat, memahami dan pada akhirnya diharapkan bisa mempraktekkan hal tersebut di atas.

Tertanam dalam diri semua hal yang positif hingga akhirnya menghasilkan anak-anak yang baik secara perilaku dan tutur kata, jujur, berbudi luhur, tangguh, ulet, memiliki semangat yang tinggi dan juga peduli terhadap orang tua, keluarga, sesama dan lingkungan nya, hal ini menjadi dasar bagi mereka untuk hidup sukses dan mandiri.

Selama sebulan evaluasi sejak program ini berjalan terlihat hasil yang memuaskan anak-anak tidak lagi pasi. Mereka lebih rajin menyapa antar teman maupun cici dan koko-nya. Komunikasi berjalan lancar dan yang pasti rajin berbagi kebajikan lewat kutipan-kutipan dhamma dan inspiratif.

Dalam kunjungan hari ini anak-anak dapat menikmati hasil kerja mereka selama sebulan dalam berbagi kebajikan. Hasil yang didapat bisa digunakan untuk uang pulsa, uang saku bahkan untuk membantu orang tua. Selain anak-anak mendapat ilmu juga dapat uang saku.

Tidak terasa hari menjelang sore jam 18.00 kunjungan ini berakhir. Letih dan lelah tidak kami rasakan, hanya kebahagiaan yang tersimpan di hati kami semua. Bahagia melihat senyum dari anak-anak dan orang tuanya. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kami juga. Semoga anak-anak menjadi anak yang sukses, berbakti, berbudi luhur dan berguna bagi sesama. Sadhu.

Pendidikan anak adalah mengajarkan tata karma, mengasuh budi pekerti, menunjukkan jalan, dan memandu ke arah yang benar. Yang Paling indah di langit adalah bintang-bintang yang berkelip-kelip, Yang paling indah di dunia adalah kehangatan cinta kasih
~ Kata Perenungan Master Cheng Yen ~

The post Cahaya Kehidupan appeared first on BuddhaZine.

Dharma Warisan Leluhur untuk Menghadapi Pandemi

$
0
0

Para ilmuwan dan tenaga medis masih berjuang menciptakan obat dan vaksin untuk mengatasi pandemi COVID-19. Sementara itu, pandemi masih terus memberikan dampak pada segala aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, perekonomian, bahkan kondisi mental dan hubungan antarmanusia.

Lantas apa yang bisa dilakukan masyarakat awam sembari menunggu hasil kerja keras para ilmuwan? Ternyata leluhur bangsa kita telah mewariskan “bekal” yang dapat membantu kita melalui situasi sulit ini dengan pendekatan yang berbeda. “Bekal” inilah yang dibahas dalam acara Pabligbagan Virtual #4 yang diselenggarakan Puri Kauhan Ubud dengan tema “Mantra, Tantra, Yantra, dan Karma pada Masa Pandemi”.

Tiga orang “guru loka”–biksu, pandita, agamawan, atau praktisi spiritual yang diandalkan masyarakat untuk memberi bimbingan–telah hadir untuk membagikan pandangan dan panduan menghadapi pandemi dengan sudut pandang holistik yang berangkat dari ilmu filologi, sejarah, arkeologi, antropologi, dan sosio-politik serta merujuk pada sistem keagamaan Nusantara, khususnya Bali.

Ketiga guru loka ini adalah Biksu Bhadra Ruci Sthavira dari Sangha Vajrayana Indonesia (SAGIN), Ida Pendanda Gede Nyoman Talikup dari Grya Koulubyawu, Muncan Karangasem, dan Ida Shri Bhagawan Natha Nawa Wangsa Pemayun dari Kedhatuan Kawista, Blatungan, Tabanan. Acara ini berlangsung pada tanggal 5 Juli 2020 dan dihadiri oleh peserta dari berbagai agama dan kalangan, termasuk duta besar Indonesia untuk Zimbabwe, Sri Lanka, dan Singapura.

Biksu Bhadra Ruci selaku pembicara pertama mengawali pemaparan dengan menyatakan bahwa persoalan pandemi COVID-19 tidaklah rumit jika ditilik dari perspektif Hindu-Buddha. Baik Buddha Dharma maupun Hindu Dharma mengenal praktik pengendalian diri atau “sila”. Sehari-hari kita sudah menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan buruk seperti membunuh, mencuri, dan sebagainya.

Ada aturan yang harus ditaati oleh biksu, ida pedanda, maupun umat awam yang menjadi “pagar” untuk membantu kita menahan diri dari klesha (kotoran batin). Sama halnya dengan menghadapi pandemi, kita perlu menahan diri untuk tidak berkumpul ramai-ramai, memakai masker, mengikuti protokol kesehatan. Buktinya masyarakat Bali bisa disiplin menahan diri selama pandemi.

Kemudian, Biksu Bhadra Ruci juga menjelaskan peran karma dan tantra dari sudut pandang Buddhis. Misalnya jika pesawat jatuh, semua penumpang meninggal kecuali dua orang. Dua orang ini selamat bukan karena “disayang Tuhan”, melainkan karena mereka tidak memiliki karma untuk meninggal di kecelakaan itu.

Begitu pula dengan COVID-19, jika kita memang pernah melakukan sesuatu di masa lampau yang membuat kita bisa mengalami akibat karma berupa sakit, kita akan sakit. Sebaliknya, jika kita tidak memiliki karma itu, kita tidak akan jatuh sakit. Tantra, yoga, dan mantra merupakan contoh teknik untuk mempurifikasi karma seseorang. Kita membawa potensi buah karma yang dapat kita “bersihkan” agar tidak berbuah menjadi penyakit.

Masyarakat awam harus menghadapi banyak permasalahan akibat pandemi dan sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tidak sempat melakukan yoga dan sebagainya, karena itu mereka mengandalkan para rsi wiku dan ida begawan untuk membantu mereka.

Lebih jauh lagi, Biksu Bhadra Ruci memberi nasihat untuk berjuang memurnikan karma dengan tujuan bebas dari penderitaan samsara. Kita perlu memahami hukum karma dengan serius, melatih disiplin sila, dan melakukan yoga atau praktik apapun sedikit demi sedikit sehingga kita terbebas dari nafsu keinginan yang membuat kita menderita di samsara ini.

Pandemi ini menjadi kesempatan kita untuk menambah keseriusan kita dengan menyelami diri dan memperbaiki batin sehingga pola pikir kita berubah. Penderitaan pun bisa kita atasi, termasuk COVID-19. Pembatasan sosial ibarat Nyepi yang tidak hanya satu atau dua hari. Biksu Bhadra Ruci pun berkelakar dengan mengatakan bahwa jika Nyepi berlangsung selama 14 hari atau sebulan, masyarakat Bali tidak hanya akan bebas COVID-19, tapi bahkan banyak yang bisa mencapai moksa.

Setelah Biksu Bhadra Ruci memberikan penjelasan dari perspektif Buddhis, Ida Pedanda Gede Nyoman Talikup melanjutkan dengan perspektif Hindu. Beliau menjelaskan bahwa segala yang terjadi di dunia ini merupakan bagian dari suatu siklus keseimbangan yang dinamis dan saling melengkapi, termasuk pandemi.

Terjadinya pandemi merupakan bagian dari siklus karma yang tidak bisa dihindari, sebuah kekuatan semesta untuk mewujudkan keseimbangan baru yang harus diterima dengan hati yang lapang. Tantra adalah kekuatan yang dapat membantu kita melalui masa sulit ini, tapi kekuatan ini sendiri bersumber dari ketulusan.

Tanpa ketulusan, tidak ada kekuatan. Untuk meraihnya, kita perlu melatih pengendalian diri dan berupaya memerdekakan diri dari klesha (kotoran batin). Kita juga perlu senantiasa menyadari bagaimana tindakan kita berpengaruh pada orang lain dan terus bekerja sesuai dengan kewajiban masing-masing.

Terakhir, Ida Shri Bhagawan Natha Nawa Wangsa Pemayun memberikan penjelasan tentang filosofi di balik tantra, yantra, mudra, dan mandala. Ini semua merupakan bentuk koneksi dengan semesta yang kita warisi dari leluhur Hindu dan Buddha.

Mantra dan berbagai upacara menghasilkan getaran-getaran untuk menghalau segala mala, menenangkan kecemasan, ketakutan, iri dengki, kebencian, dan emosi negatif lainnya yang mungkin muncul karena pandemi atau sebab-sebab lain. Secara khusus, para wiku atau agamawan harus semakin giat melakukan praktik-praktik dan ritual doa untuk memurnikan diri dari kotoran batin sekaligus mendoakan semua orang.

Mereka memiliki peran untuk menentramkan segala kecemasan, menyampaikan kebenaran, dan terus-menerus mendoakan karena tidak semua orang mampu melakukannya.

Setelah ketiga narasumber memberikan pemaparan, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Pada kesempatan ini, Biksu Bhadra Ruci menjawab pertanyaan tentang cara purifikasi karma dari sudut pandang Buddhis. Beliau menjelaskan bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan, salah satu cara yang paling sederhana adalah berbuat banyak kebajikan dan menolong sesama.

Ibarat menambahkan banyak air ke air garam bisa membuat rasa asinnya memudar, menambah banyak karma baik bisa melemahkan akibat karma buruk yang kita miliki. Kita bisa melihat secara langsung maupun di media sosial bagimana permasalahan pandemi membuat orang-orang makin egois dan bersikap seolah paling menderita dan butuh ditolong.

Sikap ini harus dihindari karena akan menambah karma buruk. Sebaliknya, memikirkan orang lain dan memperhatikan tetangga atau siapapun di sekitar kita akan menambah karma baik. Penderitaan kita pun akan berkurang.

Beberapa peserta acara juga turut berkontribusi dalam diskusi. Salah satunya adalah Maria Hartiningsih, mantan wartawan senior Kompas peraih penghargaan yang pernah mewawancarai tokoh agama terkemuka. Beliau berbagi tentang praktik tirakat dalam budaya Jawa, yaitu bangun di malam hari untuk berkontemplasi.

Dengan diam dan merenung, kita bisa benar-benar memahami apa yang terjadi pada diri kita dan sekitar kita. Kita pun lebih bisa menerima keadaan dan mengatasi segala ketakutan dan kecemasan yang ditimbulkan oleh pandemi.

Dari situ, kita bisa membangun optimisme untuk melampaui masa sulit ini. Adapun peserta lain mengingatkan kita dengan konsep Tri Hita Karana dalam keyakinan masyarakat Bali, bahwa kita perlu menjaga keseimbangan agar kehidupan dapat terus berlanjut. Manusia perlu memperbaiki perilaku agar alam dapat pulih kembali.

Ida Ratu Shri Bhagawan juga mendukung pernyataan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan tentang kapan pandemi akan berakhir dengan mengatakan bahwa ketika manusia bisa menenangkan diri dan mengatasi ketamakan, ego, dan kebencian, alam pun akan memberi ketenangan.

Menanggapi pernyataan tersebut, Biksu Bhadra Ruci juga menambahkan bahwa penderitaan yang dialami semua orang saat ini terjadi karena pandemi menyerang ego kita semua.Ketika kita sudah bisa lebih legowo, saling menolong, dan saling peduli, maka keadaan akan membaik dan karma baik akan melindungi kita.

Sebagai penutup, AAGN Ari Dwipayana dan Sugi Lanus selaku host acara menyimpulkan bahwa meski COVID-19 membuat kita berada dalam kondisi avidya–gelap, penuh ketidaktahuan–sehingga merasa cemas dan ketakutan, leluhur kita telah mewariskan metode untuk mengatasinya melalui berbagai tradisi seperti tirakat, tantra, mantra, hukum karma, dan sebagainya.

Dengan berbagai metode tersebut, kita bisa mengubah kewajiban stay at home menjadi praktik spiritual untuk menenangkan batin dan menyucikan diri dari kotoran batin, didukung dengan praktik sila atau disiplin moral, menaati prosedur pencegahan penyakit, serta saling menolong antar sesama. Dengan demikian, COVID-19 ini tak hanya menjadi bencana, tapi juga berkah yang memandu kita untuk belajar dan mewujudkan era baru yang lebih baik.

The post Dharma Warisan Leluhur untuk Menghadapi Pandemi appeared first on BuddhaZine.

Bingung Menentukan Jurusan Kuliah?

$
0
0

Bagi teman-teman yang kini duduk di bangku SMA kelas XII, apakah saat ini teman-teman merasa bingung untuk memilih jurusan ketika kuliah nantinya? Apakah jurusan yang teman-teman inginkan tidak selaras dengan keinginan orang tua kalian? Universitas yang teman-teman dambakan tidak sesuai dengan keinginan orang tua? Teman-teman ingin kuliah di luar pulau atau negara namun tidak dudukung oleh orang tua berdasarkan kondisi-kondisi tertentu? Jika demikian, teman-teman tidak sendiri.

Sesungguhnya kondisi yang teman-teman alami dan rasakan saat ini juga sedang dialami oleh anak-anak seusia teman-teman. Kondisi ini pasti menimbulkan perasaan tidak nyaman. Teman-teman menjadi tidak bisa tidur, terkadang menjadi mudah merasa marah, kalut, merasa tegang, kehilangan motivasi untuk belajar, menjadi malas-malasan dan lain sebagainya.

Perasaan, pikiran dan perilaku ini jika dialami dalam jangka waktu yang lama dapat berakibat buruk kepada diri teman-teman sendiri maupun orang tua. Sebelum itu terjadi, mari tinjau satu persatu untuk menguraikan kekalutan yang sedang teman-teman rasakan dan alami.

Pertama kenali diri teman-teman lebih dalam. Contohnya seperti kekuatan diri, kelebihan diri, kelemahan diri, dan kekurangan diri. Ada hitam pasti ada putih dan begitu juga sebaliknya. Berhentilah terlalu keras untuk menghakimi kekurangan diri.

Mulailah melihat bahwa kekurangan diri juga dapat dijadikan potensi diri untuk berkembang seperti kelebihan yang dimiliki. Kenali juga passion teman-teman. Ini akan lebih mudah bagi teman-teman untuk menjalani masa duduk dibangku kuliah. Karena teman-teman melakukan apa yang teman-teman sukai sehingga apabila teman-teman menghadapi masalah selama perkuliahan berlangsung, teman-teman dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan efektif.

Kedua, teman-teman dapat melakukan psikotes untuk mengetahui minat, bakat dan kepribadian yang teman-teman miliki dengan cara mendatangi layanan psikologi. Hal ini dapat membantu teman-teman dalam memilih jurusan kuliah maupun tempat menempuh perkuliahan.

Tiga, lakukanlah usaha-usaha untuk menambah wawasan dan informasi teman-teman mengenai jurusan perkuliahan yang ada dan persiapkan diri teman-teman untuk mengikuti berbagai tes yang diperlukan untuk masuk universitas maupun jurusan. Berupaya dan berjuanglah semaksimal mungkin, sebaik yang bisa teman-teman bisa lakukan. Berikan apresiasi pada diri teman-teman yang bersedia melakukannya.

Keempat, tunjukkan juga kepada orang tua bahwa teman-teman telah mengusahakan berbagai upaya untuk mencapai jurusan yang teman-teman inginkan dan lakukan negosiasi dengan orang tua serta memohon petujuk beliau. Mulailah untuk saling mendengar pendapat masing-masing dan memahami.

Kemudian carilah jalan tengah atau negosiasi dari keinginan teman-teman dan orang tua agar tidak ada yang merasa diabaikan, dirugikan atau merasa terpaksa. Apabila dilakukan pertama kali belum menunjukkan jalan kesepakatan dengan orang tua, lakukanlah di lain waktu dan tetap rendah hati.

Kelima, ingatlah bahwa diri teman-teman itu berharga sama berhaganya dengan orang tua teman-teman. Diri teman-teman pantas dan layak untuk disayangi, begitu juga dengan orang tua teman-teman. Keinginan teman-teman tidak sepenuhnya salah begitu juga dengan keinginan orang tua teman-teman. Di sini tidak ada yang sepenuhnya benar yang ada hanyalah bagaimana diri teman-teman dan orang tua saling berproses untuk mendewasakan diri.

Pada setiap fase kehidupan manusia memiliki kesulitan dan tantangannya masing-masing. Jadi tidak apa-apa bila teman-teman sedang mengalami satu titik masalah pada fase kehidupan saat ini. Ini tetap baik adanya. Selamat naik kelas dan belajarlah untuk mendewasakan diri dari setiap masalah yang ada. Karena hidup teman-teman adalah milik teman-teman sepenuhnya. Selamat bertumbuh.

The post Bingung Menentukan Jurusan Kuliah? appeared first on BuddhaZine.

Ajahn Buddhadasa Ungkap Buddha Sejati

$
0
0

Ajahn Buddhadasa (1906-1993) adalah salah satu bhikkhu Thailand paling berpengaruh di abad ini. Unesco memasukkan beliau dalam daftar “great international personality” mengingat upayanya dalam perdamaian dan kerukunan hidup beragama.

Beliau menerima delapan gelar doktor honoris causa dan buku-buku karyanya memenuhi perpustakaan nasional Thailand. Agama Buddha yang beliau utamakan adalah agama Buddha sebelum adanya aliran-aliran dan beliau menyebutnya “Buddhayana”.

Meski berlatar belakang tradisi Theravada, beliau mampu menjelaskan istilah “Adi Buddha” dan juga “Amitabha” yang digunakan oleh tradisi Mahayana. Penjelasan tersebut dapat kita simak dalam bukunya yang berjudul “Buddha yang Orang Barat Belum Tahu”, yang belum lama ini diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma. Tentunya penjelasan beliau tentang Buddha sejati menjadi penting bagi umat Buddha di Indonesia, mempersatukan Theravada dan Mahayana dalam memahami Realitas Tertinggi.

Adi Buddha

Menurut Ajahn Buddhadasa, Adi Buddha adalah sumber dari Buddha sejati, Buddha yang orang Barat belum tahu. Bahkan dengan jujur beliau katakan bahwa orang Thailand, orang Burma, dan orang Sri Lanka juga tidak mengenal Buddha ini.

Berbeda dengan kita di Indonesia, karena sebutan Adi Buddha digunakan dalam Undang-Undang, yaitu UU Republik Indonesia No. 43 Tahun 1999. Tertulis dalam penjelasan UU tersebut, bahwa pengucapan sumpah/janji untuk penganut agama Buddha diawali dengan ucapan “Demi Sang Hyang Adi Buddha”.

Ajahn Buddhadasa mengatakan bahwa pada umumnya umat Buddha hanya mengenal satu Buddha, yaitu Buddha historis. Padahal Buddha historis telah menjelaskan tentang Buddha sejati melalui kata-katanya,

“Siapa pun yang melihat Dhamma melihat Saya
dan siapa pun yang melihat paticcasamuppada
melihat Dhamma.”

Buddha juga mengatakan,

“Jika Anda melihat tubuh fisik Saya—bahkan jika Anda menyentuhnya—Anda belum melihat Buddha sejati.” Untuk melihat Buddha sejati, kita harus melihat Dhamma, yaitu melihat paticcasamuppada
‘hukum musabab yang saling bergantung’.

Ajahn Buddhadasa selanjutnya menjelaskan, bahwa ada tiga aspek atau tingkatan Buddha: Buddha manusia yang telah menyadari (paticcasamuppada) hukum alam ini, yang telah merealisasikannya secara menyeluruh dan lalu dapat mengajarkannya; kemudian ada hukum alam ini yang merupakan Buddha sejati; dan di luar itu adalah Buddha pertama, sumber asli atau sebab dari mana hukum alam ini berasal, Adi Buddha.

Lebih lanjut Ajahn Buddhadasa mengatakan bahwa banyak buku yang telah ditulis tentang agama Buddha dan semuanya hanya berbicara tentang Buddha historis. Sangat sedikit dari buku-buku ini yang menyebutkan hukum alam.

Semua buku adalah tentang Buddha manusia historis dan hanya sedikit yang berbicara tentang Buddha sejati yang diajarkan oleh Buddha manusia. Bahkan buku-buku yang berbicara tentang hukum alam, tidak pernah mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah Buddha sejati.

The post Ajahn Buddhadasa Ungkap Buddha Sejati appeared first on BuddhaZine.


Relasi Jazz & Buddhisme Menurut Perspektif Herbie Hancock dan Wayne Shorter

$
0
0

Para penggemar mainstream jazz –bukan pop jazzy seperti musiknya Tompi atau Tulus– tentunya tidak akan asing dengan nama Herbie Hancock dan Wayne Shorter. Dua nama tersebut adalah “raksasa” di dalam dunia musik jazz. Yang satu adalah pianis, dan yang satu lagi adalah saksofonis.

Terkait keduanya, pada tahun 2016 World Tribune Press telah merilis buku menarik berjudul Reaching Beyond: Improvisations on Jazz, Buddhism, and a Joyful Life. Isinya adalah transkripsi dialog antara Herbie Hancock, Wayne Shorter dan Daisaku Ikeda, tokoh Buddhis dari Jepang yang merupakan Presiden Soka Gakkai International.

Patut diketahui, sebagai seorang pianis dan komposer jazz, Hancock adalah pemenang Grammy sebanyak empat belas kali, termasuk Album Terbaik pada tahun 2008 yang berjudul River: The Joni Letters. Ia adalah artis jazz pertama yang menang dalam kategori ini dalam 43 tahun.

Sementara Wayne Shorter adalah saksofonis sopran dan komposer yang sudah 11 kali memenangkan Grammy. Ia bahkan masih aktif hingga hari ini pada usia hampir kepala 9. Keduanya di tahun 1997 pernah merilis album duet berjudul 1+1, di mana sebuah lagu isinya yang berjudul “Aung San Suu Kyi” memenangkan Grammy untuk Best Instrumental Composition.

Kedua musisi hebat itu merupakan pengikut Buddhisme dengan aliran Nichiren, di bawah naungan organisasi Soka Gakkai International. Karena itu, tak heran jika mereka memiliki kesempatan berdialog dengan Daisaku Ikeda. Keduanya pertama kali bertemu dengan Ikeda pada tahun 1974 dan pembicaraan mereka tentang jazz dan Buddhisme telah berlanjut selama bertahun-tahun, baik secara langsung maupun melalui korespondensi.

Sebagai musisi jazz, Hancock dan Shorter berbagi wawasan unik mereka tentang jazz — sejarah dan perkembangannya sebagai kekuatan dialog kreatif yang menyatukan budaya dan orang-orang — pelajaran yang telah mereka pelajari dari legenda jazz seperti Miles Davis dan Art Blakey. Mereka juga sharing tentang peran musik dan budaya dalam mentalitas manusia untuk hidup dengan berani, dan bagaimana Buddhisme Nichiren telah mempengaruhi kehidupan dan karier mereka.

“Meskipun akar jazz berasal dari pengalaman Afrika-Amerika, perasaan saya selalu bahwa jazz benar-benar berkembang dari aspek mulia dari spirit manusia yang umum bagi semua orang — kemampuan untuk merespons keadaan terburuk dan untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi, atau seperti yang dikatakan Buddhisme, untuk mengubah racun menjadi obat,” tutur Herbie Hancock.

“Pesan yang saya bagikan kepada orang-orang ketika saya bermain adalah ini: Jangan menghindari konfrontasi dengan yang tak terduga dan tak diketahui,” sambung Wayne Shorter. “Selama pertunjukan, banyak tantangan musik muncul. Justru pada saat-saat itulah saya membahas pertanyaan tentang bagaimana cara terlibat dengan hal-hal yang tak terduga, daripada melarikan diri darinya atau hanya mencari kenyamanan yang dikenal. Juga, saya mencoba untuk memberikan kegembiraan petualangan, yang menyedot semua ketakutan keluar dari ruangan,” imbuhnya.

Sementara itu Daisaku Ikeda beranggapan, musik dan agama berbagi di level terdalam untuk tujuan menginspirasi jiwa manusia. “Suara musik — menggerakkan, membangkitkan semangat, dan memberi keberanian — memengaruhi lebih banyak hal daripada hanya seorang individu. Musik yang menggerakkan jiwa seseorang menyebar dengan tiba-tiba dan menyehatkan hati orang lain yang tak terhitung jumlahnya. Efek riak yang menyegarkan dari karakteristik musik ini menunjukkan cara untuk merevitalisasi dan meremajakan masyarakat,” jelasnya.

Di bagian awal buku, Herbie Hancock juga menegaskan, ajaran Buddha tentang penderitaan itu sangat nyata, dan itu menurutnya adalah sumber kekuatan untuk bertumbuh. Hal ini mirip dengan jazz, yang lahir dari penindasan dan kesengsaraan [orang Afro-Amerika], namun memiliki kekuatan untuk menyegarkan pendengarnya.

“Jazz mewakili kebebasan. Pemerintah yang paling menindas pun tidak bisa menekan kebebasan hati,” kata Hancock.

“Jazz adalah proses kreatif, dialog improvisasi yang dapat dipatahkan melalui kendala dangkal dogma, dekrit, dan mandat,” timpal Wayne Shorter.

“Buddhisme mengajarkan kebebasan hidup yang tertinggi, kebebasan yang tidak terbatas dan tanpa rasa takut,” sahut Daisaku Ikeda.

Obrolan antara tiga tokoh yang tertuang di buku Reaching Beyond: Improvisations on Jazz, Buddhism, and a Joyful Life disatukan oleh tujuan dan cita-cita yang sama. Untuk meninggikan kapasitas manusia yang tak terbatas, mengubah penderitaan menjadi kegembiraan dan menunjukkan bagaimana jazz–bahkan semua seni– dan ajaran Buddha, sama-sama berperan untuk menggerakkan kebangkitan budaya yang menyenangkan di masyarakat abad ke-21.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Relasi Jazz & Buddhisme Menurut Perspektif Herbie Hancock dan Wayne Shorter appeared first on BuddhaZine.

Mengagumi Sang Buddha dari Jauh, Menyebar Fakta Kebaikan

$
0
0

“Ayuk, ikut meditasi.”

Seorang teman meminta saya dengan ramah. Itu terjadi belasan tahun lalu. Ajakan itu sempat membuat saya serba salah.

Waktu itu sebenarnya saya sudah mulai banyak kenalan rekan-rekan yang beragama Buddha. Saya pun tahu praktik meditasi sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas apa pun latar agamanya.

Tapi rasanya ada yang mengganjal. Pengalaman persentuhan saya dengan Buddhisme, memang punya nuansa yang enggan tapi rindu.

Dibesarkan di wilayah perkebunan di Provinsi Jambi, kami sangat jarang bertemu dengan rekan yang beragama Buddha. Mungkin sesekali saya berinteraksi dengan rekan yang berlatar etnis Tionghoa, yang kemungkinan besar agamanya Buddha, tapi tidak pernah bisa mengetahui lebih jauh soal sosok dan ajarannya.

Sesekali kami melihat hal terkait Buddha di televisi atau buku-buku pelajaran. Tapi lain dari itu sosok Sang Buddha begitu asing dan sepertinya sering kami jauhi. Apalagi dalam kebiasaan di keyakinan saya sebagai orang Protestan – juga rekan-rekan Muslim sepergaulan saya – biasanya agak curiga pada praktik ibadah dengan ragam simbol fisik, terutama patung-patung.

Namun, perkenalan dengan sahabat lintas iman, lalu ajakan pelatihan meditasi di Vihara Vipasaana Graha Lembang itu menjadi ruang perjumpaan yang cukup luas mengenal ajaran yang dibawa Sang Buddha. Untungnya, saat itu saya memberanikan diri untuk ikut.

Mulanya agak kaku dan sulit, namun kemudian saya merasakan ketenangan batin saat mulai diajar bermeditasi. Bhante yang mendampingi begitu lembut menuntun, amat mengerti batas-batas kita sebagai pemeditasi pemula.

Saya dan rekan yang lain punya sejumlah pertanyaan – kebanyakan yang ikut juga masih kurang tahu soal meditasi dan Buddhisme – namun sang Bikkhu menjawab dengan ramah dan cukup mencerahkan.

Lepas dati pelatihan itu, saya kemudian banyak menghabiskan waktu untuk mengenal dan mencari tahu soal Buddha dan ajarannya.

Upaya meneladani Sang Buddha secara otodidak

Perenungan otodidak atas buku-buku dan rekan diskusi yang Buddhis, memberi cara pandang yang jauh lebih luas bagi saya untuk memahami arti hidup, penderitaan, serta kemanusiaan. Setidaknya ada dua hal yang begitu menginspirasi, bahkan menjadi concern saya dalam berkarya sekarang.

Pertama, saya sangat kagum akan ajaran welas asih yang begitu menghargai kehidupan. Banyak aktivitas saya di gerakan kemanusiaan terinspirasi oleh semangat ini. Kegiatan lintas agama, bakti sosial, penggalangan donasi untuk pemberdayaan masyarakat adalah beberapa contoh kesibukan yang saya geluti karena semangat menghargai kehidupan ini.

Dalam perenungan saya akan ajaran welas asih – saya meyakini tujuan utama kita berkarya baik itu bukanlah unjuk kemampuan atau mengharap pamrih dan terimakasih. Justru kitalah yang mesti berterima kasih karena diberi kesempatan mengerjakan hal baik.

Ini yang membuat saya selalu nothing to lose, saat semua jerih-lelah tidak disorot, tidak dipuji atau bahkan ditolak. Ternyata hidup jadi jauh lebih rileks dan karya bisa berjalan lancar.

Hal kedua adalah sangat menginspirasi terkait metode Buddha mengajarkan dharma. Selalu terbuka, berusaha mengedepankan fakta, tanpa takut diuji. Ehipassiko, datang dan lihat sendiri, ujilah sendiri, kalau sesuai fakta ambil – kalau tidak silahkan tinggalkan.

Itu pula yang kemudian menginspirasi saya dan rekan-rekan menggagas media lokal yang mengedepankan narasi yang baik namun harus faktual.

Saya sadar, banyak sekali orang di masa sekarang yang begitu mudah larut pada berita palsu atau hoax, bahkan tak jarang memakainya untuk kepentingan politis. Namun, tak jarang pula mereka punya niat memberi narasi baik, tetapi terjebak karena tidak menguji faktanya.

Maka lewat media, saya berusaha memberi ruang terbuka, untuk para penulis muda, menyuarakan ide dan semangatnya, namun harus diuji dengan fakta yang ada.

Belakangan di tengah kian besarnya kebutuhan akan karya sosial yang tulus dan berita yang faktual – saya bersyukur sudah jauh-jauh hari bisa mengamalkan hal ini karena terinspirasi Sang Buddha.

Dua hal tadi tentulah masih sangat kecil dari begitu kayanya ajaran Buddha. Tapi saya cukup senang, selaku seorang yang mengagumi Sang Buddha dari jauh, bisa menghidupinya.

The post Mengagumi Sang Buddha dari Jauh, Menyebar Fakta Kebaikan appeared first on BuddhaZine.

Cara Hidup Berkelanjutan di Kamboja: Para Biksu Budidaya Pertanian Organik

$
0
0

Ketika kebutuhan akan gaya hidup berkelanjutan semakin besar, banyak biksu di Kamboja telah mendesain ulang kuil dengan kebun yang memungkinkan mereka untuk menanam bahan makanan mereka sendiri.

Pagoda Serei Sakor Daun Sdoeung, yang terletak di Desa Snay Proem di Distrik Preah Sdach, telah menyediakan sebuah ruang hijau di mana para biksu dapat menanam berbagai jenis beras, buah-buahan, dan sayuran, termasuk diantaranya selada, kangkung, bayam, kale, terong, tomat, jagung, serai, labu, kelapa, bunga lily, pisang, nangka, mangga, jambu, dan pepaya.

Diprakarsai oleh kepala kuil – YM Im Teang, sekitar 10 tahun yang lalu, para bhikkhu sejak itu telah menanam lebih dari 3.000 pohon di tanah sekitar kuil serta mengikuti rutinitas ramah lingkungan lainnya, seperti menghindari penggunaan kantong plastik.

“Saya menghargai kesejahteraan spiritual dan fisik dan saya percaya bahwa menanam buah dan sayuran dapat berkontribusi pada kedua aspek kehidupan itu. Menanam sayuran organik membantu para biksu dan penduduk desa setempat untuk aktif melalui latihan fisik saat mereka berkeringat ketika sedang bercocok tanam, ”ujar YM Teang. “Pagoda tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli sayuran dan risiko mengonsumsi makanan yang tidak sehat” (The Phnom Penh Post).

“Kita menghargai hidup kita [sendiri] dan kita tidak boleh menyakiti orang lain. Bahkan pohon adalah makhluk hidup dan kita tidak boleh merusak pohon atau alam karena mereka adalah makhluk hidup sepertihalnya kita. Saya suka pohon dan tanaman,” jelas YM Teang. “Jika kita harus menebang satu pohon, maka kita harus menanam kembali dua pohon. Pohon menyediakan kanopi hijau bagi bumi dan makhluk hidup lainnya. Mereka melindungi bumi dari pemanasan global” (The Phnom Penh Post).

Prihatin akan keberlanjutan terhadap aspek kesehatan, ekonomi, dan lingkungan, para biksu hanya menggunakan pupuk alami dalam pertanian mereka.

“Saya pikir menanam sayuran organik tidaklah sulit. Teknik ini telah diajarkan oleh nenek moyang kita,” kata YM Teang. “Menanam dan memakan apa yang Anda tanam baik untuk kesehatan [seseorang]. Saat Anda sehat, Anda dapat belajar dan bekerja secara efektif. Bukan tanpa alasan orang mengatakan ‘kamu adalah apa yang kamu makan’” (The Phnom Penh Post).

Pagoda Serei Sakor Daun Sdoeung membantu penduduk desa setempat untuk menanam bahan organik, berbagi bibit padi dengan mereka ketika musim hujan dimulai. Pagoda juga menawarkan stok beras dan sayuran kepada orang-orang yang membutuhkan.

“Kami memiliki lebih banyak sayur dan buah daripada yang kami butuhkan untuk konsumsi sehari-hari. Prioritas kami adalah menyimpannya untuk diberikan kepada penduduk desa setempat. Orang-orang yang datang dari jauh juga bisa mendapatkan bahan makanan dari kami jika masih memiliki stok,” kata YM Teang (The Phnom Penh Post).

Dibangun pada tahun 1874, Pagoda Serei Sakor Daun Sdoeung hampir hancur selama periode Khmer Merah (1975-79). Setelah jatuhnya rezim brutal, para biksu dan penduduk desa mulai bekerja bersama untuk membangun kembali situs ini. Sekarang pagoda ini adalah salah satu pusat agama Budha yang paling terhormat dari 500 pagoda di Provinsi Prey Veng, dan terkenal sebagai kuil terhijau di Kamboja.

Menurut The Phnom Penh Post, pada 2018 Kamboja memiliki 4.932 pagoda, termasuk 563 kuil kuno. Terdapat 68.654 biksu yang kebanyakan mempraktikkan agama Buddha Theravada, yang mengandalkan sumbangan dan dana yang dikumpulkan setiap hari untuk menyokong mereka karena para biksu mengabdikan hidup mereka untuk pengembangan spiritual. Namun, orang-orang memuji praktik pertanian Pagoda Serei Sakor Daun Sdoeung sebagai contoh yang baik dari hidup mandiri dan berkelanjutan.

“Sungguh inspirasi yang hebat untuk kita semua. . . cara hidup berkelanjutan. Saya harus mengunjunginya ketika saya berada di Kamboja,” komentar Srey Thon, seorang pengikut halaman Facebook The Phnom Penh Post.

Sumber : buddhistdoor.net/ Dipen Barua

The post Cara Hidup Berkelanjutan di Kamboja: Para Biksu Budidaya Pertanian Organik appeared first on BuddhaZine.

Asadha (Cover by Sekolah Minggu Vihara Guna Dharma)

$
0
0

ASADHA
Ciptaan Cici Metta

Selamat Hari Asadha 2564 B.E.
Lagu ini merupakan cover versi Sekolah Minggu Vihara Guna Dharma yang direkam di rumah masing-masing mengikuti anjuran pemerintah di saat pandemi COVID-19 yang melanda dunia di tahun 2020.
Penyanyi :
– Orlando
– Emelly
– Jovin
– Cleon
– Rebecca
Musik : KITAVGD

The post Asadha (Cover by Sekolah Minggu Vihara Guna Dharma) appeared first on BuddhaZine.

7 Negara dengan Pengaruh Budaya Buddhis

$
0
0

Budaya suatu negara hampir tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat di negara tersebut. Maka sering kali kita mendengar pepatah yang mengatakan ‘hargailah budaya setempat’ atau ‘dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung’.

Dan bagi orang yang sering sekali bertualang keliling dunia dari satu negara ke negara lain, pepatah ini menggambarkan persamaan sebuah negara dengan sebuah budaya. Turis datang mengunjungi suatu negara salah satunya karena keunikan budayanya.

Budaya sendiri merupakan sebuah istilah yang besar dan mencakup berbagai aspek kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun. Setiap budaya memiliki tatanan dan normanya sendiri yang menjadikannya unik, terkadang bahkan aneh bila dilihat dari kacamata budaya lainnya. Tapi justru itu yang menumbuhkan ketertarikan orang-orang untuk mau mengenal dan mempelajari budaya tersebut.

Salah satu budaya luhur yang ada di dunia adalah budaya buddhis. Budaya ini berlandaskan sistem dan aspek ajaran Buddha sehingga tidak lagi dapat dikerucutkan hanya sebatas satu negara saja. Budaya buddhis, sama halnya dengan budaya agama-agama besar lainnya, telah menjadi suatu budaya lintas negara.

Terkadang sejarah dan kesamaan nasib membantu pengelompokkan budaya semacam ini. Di sisi lain, meskipun agama Buddha dimulai dari tanah India (termasuk Nepal), akibat perkembangan sejarah yang penuh konflik menyebabkan agama Buddha (dan budaya buddhis) secara tidak langsung bergeser dan lebih dominan berpengaruh di Asia Timur dan Tenggara. Berikut adalah tujuh negara yang secara dominan dipengaruhi oleh budaya buddhis.

Tiongkok

Perkembangan agama Buddha di Tiongkok tidak selalu mulus. Dalam sejarahnya, acap kali umat buddha dipersekusi dalam beberapa periode kekaisaran karena dianggap sebagai budaya luar yang dapat mempengaruhi masyarakat disana. Meskipun demikian, agama Buddha berhasil bertahan dan mengakar di daratan Tiongkok.

Keberhasilan ini bahkan menjadikan napas baru ajaran Buddha yang sekarang dikenal agama Buddha Cina atau agama Buddha Han – merujuk pada pengaruh ajaran Buddha terhadap budaya masyarakat Tionghoa disana. Upaya menerjemahkan naskah-naskah buddhis dari India ke dalam bahasa Mandarin turut membantu penyebaran agama Buddha tidak saja di daratan Tiongkok tetapi menyebar ke kawasan Asia Timur lainnya.

Sri Lanka

Sebagai salah satu negara pulau yang berbatasan langsung dengan India, Sri Lanka adalah saksi sejarah yang terus bertahan dari sejak zaman kehidupan Buddha hingga saat ini.

Kala agama Buddha di India menyusut akibat konflik dan peperangan, agama Buddha di Sri Lanka tetap lestari dan tumbuh karena lokasinya yang terpisah dari daratan India. Kini, Sri Lanka dapat dikatakan sebagai satu-satunya negara yang secara dominan dipengaruhi budaya buddhis di kawasan Asia Selatan.

Korea

Agama Buddha telah mulai diperkenalkan di Korea sejak abad ketiga Masehi. Meskipun sempat menikmati keberterimaan dari masyarakat setempat pada awal penyebarannya, umat Buddha mengalami persekusi ekstrim selama era Joseon yang berlangsung selama kurang lebih 500 tahun.

Tapi terbukti agama Buddha tetap bertahan bahkan menjadi salah satu aspek yang secara dominan mempengaruhi budaya Korea selain Konfusianisme. Agama Buddha Korea menjadi bentuk tradisi tersendiri karena usahanya untuk menyelesaikan apa yang dianggap kurang konsisten dalam agama Buddha Mahayana.

Jepang

Dari Korea, agama Buddha kemudian menyebar ke Jepang pada abad kelima Masehi. Sejak itu, agama Buddha memberikan pengaruh besar pada perkembangan budaya masyarakat Jepang hingga saat ini.

Sebelumnya, orang Jepang telah memiliki agama tradisional mereka sendiri yaitu Shinto. Orang Jepang sendiri banyak yang meyakini keduanya dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Perayaan tradisional Jepang yang banyak dipengaruhi budaya buddhis adalah Hanamatsuri dan Obon.

Tibet

Meskipun saat ini Tibet termasuk dalam wilayah kekuasaan Tiongkok, secara umum masyarakat dan adat istiadat Tibet sangat berbeda dengan budaya Tiongkok umumnya. Dulunya, Tibet adalah sebuah kerajaan berdaulat yang memiliki dipenuhi banyak biksu/ni yang mengabdikan hidupnya demi praktek ajaran Buddha.

Akulturasi dengan budaya setempat melahirkan agama Buddha Tibet yang sering dikelompokkan sebagai bagian dari agama Buddha Mahayana dan Vajrayana. Saat ini pengaruh agama Buddha Tibet dapat terlihat di negara-negara kawasan Himalaya lainnya seperti Bhutan, Ladakh dan Sikkim, bahkan Mongolia.

Semenanjung Indochina

Semenanjung Indochina merupakan wilayah yang dipengaruhi oleh budaya India dan Tiongkok karena dihimpit oleh dua negara besar ini. Semenanjung Indochina mencakup Thailand, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Beberapa literatur juga memasukkan wilayah semenanjung Malaysia sebagai bagian dari Semenanjung Indochina.

Oleh karena perkembangan sejarah dan budaya negara-negara di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh budaya India dan Tiongkok, budaya keagamaan yang berkembang pun tak jauh dari budaya buddhis. Secara umum, Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja sangat dipengaruhi oleh agama Buddha Theravada, sedangkan Vietnam dipengaruhi oleh agama Buddha Mahayana.

Mongolia

Agama Buddha adalah agama mayoritas yang dipraktekkan penduduk Mongol. Meskipun banyak dipengaruhi oleh agama Buddha Tibet (terutama dari garis Gelug dan Kagyu), terdapat beberapa perbedaan yang menjadikannya unik. Pengenalan agama Buddha di Mongolia termasuk baru karena dimulai pada abad 12-13 Masehi saat perkembangan Kekaisaran Mongol berlangsung.

Pada abad 13-14 Masehi, Kekaisaran Mongol menjadi kekaisaran terbesar di dunia dengan wilayah mencakup seluruh daratan Tiongkok dan sebagian wilayah Eropa. Kemudian masyarakat Mongol kembali ke tradisi shamanik sejak kejatuhan Kekaisaran Mongol dan akhirnya agama Buddha menyebar kembali pada abad 1

The post 7 Negara dengan Pengaruh Budaya Buddhis appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 2781 articles
Browse latest View live